Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

Mewujudkan Pribadi yang Berwawasan Keislaman,


Kemodernnan dan KeIndonesiaan

Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Islam

Dosen Pengampu :

Disusun Oleh :
Annisa Fikshda A 11181040000067
Alfiyyah Izzah Mujahidah 11181040000068
Dwi Lestari 11181040000072

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019

ii
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, penyusun panjatkan puja dan puji syukur kehadirat-Nya yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya kepada penyusun,
sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah mengenai “Mewujudkan
Pribadi yang Berwawasan Keislaman, Kemodernan, dan KeIndonesiaan”
ini dengan lancar, shalawat serta salam kami panjatkan kepada baginda Nabi
Muhammad SAW yang menjauhkan kita dari jalan kegelapan dan membawa kita
ke jalan yang terang benderang seperti sekarang ini.
Makalah yang berjudul “Mewujudkan Pribadi yang Berwawasan
Keislaman, Kemodernan, dan KeIndonesiaan” inidisusun untuk memenuhi
salah satu tugas Studi Islam jurusan Ilmu Keperawatan, Fakultas Ilmu Kesehatan,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu hingga terselesaikannya makalah ini. Dan penulis memahami jika
makalah ini tentu jauh dari kesempurnaan maka kritik dan saran sangat kami
butuhkan guna memperbaiki karya- karya kami dilain waktu.

Jakarta, 30 Mei 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ...................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 2
2.1 Ajaran-Ajaran Umat Islam dalam Memajukan Umat islam Menghadapi
Tantangan Era Globalisasi .................................................................................. 2
2.2 Islam dan KeIndonesiaan ......................................................................... 5
2.3 Tipologi Masyarakat yang Modern ........................................................ 10
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 13
3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 13
3.2 Saran ........................................................ Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada zaman yang serba modern ini pengaruh-pengaruh dari
agama sudah mulai memudar dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Pribadi yang bersifat keislaman sudah mulai ditinggalkan
masyarakat Indonesia, karena pengaruh rasionalisasi teknologi
saat ini. Hal inilah yang mengharuskan haluan pendekatan
keislaman dirubah dari yang kurang rasional menjadi pendekatan
ilmiah, rasional tanpa harus lepas atau menyimpang dari nilai-
nilai dasar keislaman itu sendiri. Hal ini dilakukan untuk
mengembalikan pengaruh agama Islam di masyarakat.

Pengembalian keislaman ini adalah langkah awal dalam


mengukuhkan pondasi keagamaan seseorang yang merupakan dasar
dalam menghadapi modernisasi. Tidak hanya itu kaum agama
khususnya Islam jua mempunyai peran penting dalam kehidupan
kenegaraan Indonesia yang multikultural ini. Kemajemukan
semacam ini harus juga diperkokoh sebagai ciri khas dan nilai-
nilai luhur yang juga harus dihormati, baik dalam beragama
maupun bermasyarakat.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja nilai-nilai ajaran islam dalam memajukan kehidupan umat islam
menghadapi tantangan globalisasi ?
2. Apa saja yang akan dihadapi umat Islam untuk tetap tegar
melawan arus globalisasi yang ada di Indonesia ?
3. Bagaimana Kehidupan tipologi masyarakat modern ?

1
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui nilai-nilai ajaran Islam dalam memajukan
kehidupan umat Islam menghadapi tantangan globalisasi.
2. Mengetahui apa saja yang akan dihadapi umat Islam untuk
tetap tegar melawan arus globalisasi yang ada di Indonesia
3. Mengetahui Kehidupan tipologi masyarakat modern

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Ajaran-Ajaran Umat Islam dalam Memajukan Umat islam Menghadapi
Tantangan Era Globalisasi

 Era Globaloisasi

Era dapat ditafsirkan “masa”, ”musim”, ”kurun”, atau pun,”lingkup


waktu”, atau masa tertentu.Misalnya,satu abad,satu kurun,atau satu
zaman.Globalisasi berasal dari kata global atau globe.Globe ialah bumi tempat
hunian manusia,al-ardh.Kata global sering diidentifikasikan dengan kata
internasional,yaitu hubungan antar bangsa atau antar negara
(nations).Worldwide berasal dari kata world,yaitu dunia,disusul oleh the
hereafter,yakni akhirat.Maka dikenal dengan istilah duniawi atau ukhrawi.
Worldwide atau globalwide berarti selingkup atau seluruh bumi tempat
barbagai bangsa berada.Regionwide adalah lingkup kawasan ,misalnya
kawasan Asia,Timur Tengah,Eropa,Atlantik Utara,atau Asia
Pasifik.Sedangkan nationwide adalah lingkup nasioanal atau senegara.
Kadang-kadang disebut lingkup dalam negeri atau domestik (Lubis, 1997).

Globalisasi berasal dari kosakata global yang berarti sebuah proses


penyatupaduan anatara suatu Negara dengan Negara lain, baik yang bersifat
fisik maupun nonfisik, yang terjadi berkat penggunaan teknologi canggih
(Nata, 2019). Sebagian aspek globalisasi diperdebatkan: bagaimana

2
seharusnya istilah itu dipahami apakah istilah itubaru atau tidak dan apa
konsekuensinya. Ada pula yang memandang bahwa globalisasi merupakan
kelanjutan dari tren yang telah lama mapan, yaitu liberarisasi seperti dianut
oleh kaum neo-liberal (Giddens, 2000). Tidak ada definisi globalisasi yang
tepat yang disepakati bersama.Globalisasi dapat dipahami dalam pemahaman
yang beragam sebagai kedekatan jarak, ruang, waktu yang menyempit,
pengaruh yang cepat, dan dunia yang menyempit.Perbedaannya hanya terletak
pada penekanan dan sudut pandang material, ruangan dan waktu, serta aspek-
aspek kognitif dan globalisasi (Held dan Grew, 2000).
Jadi, globalisasi mengandung arti menghilangkan batas-batas kenasionalan
dalam bidang ekonomi (perdagangan) dan membiarkan sesuatu bebas melintas
dunia dan menembus level internasional, sehingga terancamlah nasib suatu
bangsa atau Negara (Qardhawi, 2001). Globalisasi juga bisa berarti eliminasi
batas-batas teritorial antara suatu bangsa dengan bangsa yang lain, antara
tanah air yang satu dengan tanah air yang lain, antara kebudayaan yang satu
dengan kebudayaan yang lain. Hal itu terjadi dikarenakan adanya
perkembangan secara pesat teknologi komunikasi, transformasi, dan
informasi.Pada tataran konsep, globalisasi tidak bertentangan dengan
Islam.Bahkan Islam sejalan dengan globalisasi karena Islam adalah universal
dan “rahmatan lil ’alamin” (Qardhawi, 2001).
 Dampak Positif Dan Negatif Globalisasi Bagi Umat Islam

Dampak negatifnya antara lain, ledakan informasi yang menguasai


kehidupan manusia,yang mengusai media informasi, akan jadi penentu
mempengaruhi masyarakat dunia. Pengaruh negative dari luar dengan leluasa
masuk menusuk jantung rumah tangga kita, dan mempengaruhi sendi
kehidupan masing-masing keluarga. Kehidiupan manusia semakin didorong
individualistis, sangat menonjolkan hak individunya.Kehidupan beragama
hanya diambil ritualnya saja, dan agama hanya dipahami hanya untuk aspek
individual belaka.Dengan demikian, arus globarisasi itu dapat mengancam
kehidupan apabila tidak waspada menghadapinya

3
Dampak positifnya antara lain, informasi dari belahan dunia yang jauh
dapat segera diletahui oleh manusia dibelahan dunia yang lain. Manusia
dengan mudah berkomunikasi, termasuk dapat dengan cepat mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga merata di seluruh dunia. Di
samping dampak positif, arus Globalisasi juga menimbulkan dampak negatif
yang sangat perlu mendapatkan perhatian.

 Ajaran-Ajaran Umat Islam Dalam Menghadapi Globalisasi

Bagi Umat Islam, menghadapi arus Globalisasi ini merupakan tantangan,


sekaligus sebagai peluang untuk dapat dengan cerdas, syiasyah, dan trampil
memanfaatkan untuk Jihad (berjuang sungguh-sungguh) menyampaikan
aspek-aspek ajaran Islam sebagai Rahmat Lil’alamien, memberikan
kesejahteran bagi seluruh alam. Dalam menghadapi tantangan arus
Globalisasi, umat Islam perlu giat memperkokoh Benteng dengan
memperkuat fondasi Aqidah, Syari’ah-Ibadah, Amaliah, dan Akhlaqul
Karimah. Dengan fondasi ajaran Islam ini insyaAllah akan mempu menjadi
filter dan punya daya tangkal terhadap arus negative Globalisasi atau arus
popularitas zaman. Dengan memahami dan menghayati serta mengamalkan
ajaran Islam dengan benar, akan mahir mengendalikan diri dan menyeleksi
pengaruh arus Globalisasi, sehingga dapat selamat, dan justeru dapat
memanfaatkannya sebagai sarana dakwah dan pengembangan Islam di dunia
yang lebih luas.

Dalam rangka untuk menguatkan umat menghadapi arus Globalisasi, maka


perlu dipahami dan dihayati ajaran Allah Swt. Dalam kitabullah Al Qur’an
sebagai pedoman hidup manusia ini untuk menghadapi era globalisasi,antara
lain:

1. Umat Islam harus memperkuat Iman dan juga harus memiliki Ilmu
Pengetahuan yang luas, sehingga Ilmu dan Teknologi yang tumbuh
dan berkembang dilandasi oleh Iman yang kokoh, akan barokah dan
mamfaat bagi kehidupan peradaban manusia dalam Q.S.Al-Mujadallah
(58):11

4
2. Umat dapat mengamalkan konsep hidup manusia dalam mempunyai
orientasi hidup yang jelas bahagia di akhirat, dengan mengupayakan
berbuat baik dan bahagia sejahtera di dunianya.Bebuat kebaikan pada
sesama manusia dengan amal sholehnya.Tidak membuat kerusakan di
bumi dalam Q.S Al-Qoshos (28):77
3. Memperkokoh Rumah Tangga Sakinah dengan landasan Cinta-Kasih-
Sayang, membangun masyarakat yang Marhammah-Qoryatan
Toyyibah (tentram-damai), berlandaskan Ta’awun atau gotong-royong.
Kesemuanya itu saling menjaga, agar jangan sampai dirinya,
keluarganya, dan masyarakatnya, terperosok dalam neraka dalam Q.S
At-Tahrim (66):6
4. Memperkokoh Istiqomah Umat Islam pada pengetahuan-pemahaman-
serta mengamalan ajaran Islam, sehingga benar-benar Muttaqin
(bertaqwa) dan sampai akhir hayat tetap dalam keadaan muslimin
dalam Q.S Ali Imron (3):102

Dengan demikian, Umat Islam akan tegar berani menghadapi arus


Globalisasi, dan bahkan dapat tampil dengan mahir menggguna Ilmu-
Pengetahuan & Teknologi sebagai sarana dan prasarana perjuangan dakwah-
Amar makruf nahi mungkar, sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan
kehidupan umat manusia di seluruh dunia.

2.2 Islam dan KeIndonesiaan


 Keindonesiaan

Dalam perjalananan Republik Indonesia selama 69 tahun, upaya


memadukan keindonesiaan dan keislaman sungguh menarik perhatian. Penuh
dengan dinamika dan masih terus mengalami proses. Sejak sebelum
pernyataan kemerdekaan, hubungan agama (Islam) dan negara (Indonesia)
menjadi masalah pelik. Itu terlihat kalau kita menyimak persidangan Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei hingga 22 Agustus
1945.

5
BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang dipimpin Bung Karno
membahas dasar negara. Panitia kecil itu berhasil merumuskan Piagam Jakarta
pada 22 Juni 1945 yang menjadi Pembukaan UUD. Pada 18 Agustus 1945
Rancangan UUD itu rencananya disahkan dalam persidangan PPKI. Tetapi,
pada 17 Agustus 1945 sore sekelompok pemuda yang mengaku mewakili
umat Kristen dari Indonesia Timur mendatangi Bung Hatta menyampaikan
aspirasi mereka.Mereka menyatakan, umat Kristiani tidak akan bergabung
dengan Republik Indonesia yang belum berusia sehari. Sikap itu diambil
karena Pembukaan UUD yang dikenal sebagai Piagam Jakarta di dalamnya
mengandung kalimat "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya".

Esoknya Bung Hatta lalu mengadakan pertemuan dengan sejumlah tokoh


Islam yaitu Ki Bagus Hadikusumo, KHA Wahid Hasyim, Mr Kasman
Singodimedjo, dan Teuku Mohamad Hasan membahas masalah rumit dan
mendesak itu. Berminggu-minggu para tokoh pendiri bangsa itu berdebat alot
memilih Pancasila atau Islam sebagai dasar negara. Dan akhirnya musyawarah
menghasilkan titik temu berupa dasar negara Pancasila dengan mencantumkan
tujuh kata Piagam Jakarta pada sila pertama, dan kini hasil musyawarah itu
ditolak pada hal esoknya harus disahkan.

Sungguh luar biasa tanggapan para tokoh Islam terhadap penolakan itu.
Dengan jiwa besar, penuh rasa tanggung jawab, semangat mendahulukan
kepentingan bangsa di atas kepentingan golongan Islam, mereka tidak ragu
segera mencoret tujuh kata Piagam Jakarta sehingga Pembukaan UUD
berbunyi dan tertulis seperti sekarang. Dan tindakan itu kemudian diterima
tokoh-tokoh Islam lain. Maka, langkah pertama memadukan Indonesia dan
Islam berhasil dilakukan tokoh-tokoh IslamTerintegrasinya antara pemikiran
keislaman dan keindonesiaan diatas titik temu Pancasila dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang harmonis. Tidak terdapat
kesenjangan anatara keislaman dan keindonesiaan, antara Islam dengan
Pancasila, selaras dengan realitas sosial budaya bangsa Indonesia dengan ciri
utama, kemajemukan dan perkembangan.

6
 Hubungan Islam Dan Keindonesiaan
Mengiringi krisis ekonomi tahun 1997-1998 dan kekecewaan para
mahasiswa dan berbagai elemen bangsa atas rapuhnya moralitas dan
hegemoni struktural dan kultural yang cenderung bersifat homogenisasi dan
standardisasi regim Orde Baru, Indonesia seolah-olah memasuki babak baru
sejarah memperbaharui keIndonesiaan. “Umat Islam” yang sudah majemuk
sejak sangat lama secara orientasi keagamaan, budaya, bahasa, sosio-
ekonomik, dan politik, pun bergerak lagi, memunculkan kemajemukan yang
lebih terbuka dan vokal di ranah publik.
Di antara mereka, ada yang menekankan penyamaan karena yang mereka
lihat kebebasan dan kemajemukan yang tidak terkendali; ada juga yang
menitikberatkan kesamaan-kesamaan dan menganggap perbedaan-perbedaan
harus dipinggirkan karena cenderung memecah belah; ada pula yang
menyuarakan persamaan dan perbedaan sebagai dimensi positif dan
konstruktif.
Sekarang, titik balik (turning point) sejarah itu sudah terlewatkan lebih
dari sepuluh tahun, dan berbagai elemen masyarakat, termasuk yang
menganggap diri mereka sebagai bagian dari umat Islam, masih terus mencari
makna Islam di tengah keIndonesiaan, lokalisasi dan globalisasi: bagaimana
menjadi manusia Muslim (being Muslim), dan menjadi manusia Indonesia
(being Indonesian). Sebagian juga mencoba menemukan kembali (reinvent)
identitas lokal: menjadi Jawa, menjadi Aceh, menjadi Papua, dan sebagainya.
Pencarian dan penegasan kembali berbagai identitas (agama, suku, bangsa,
jender, kelas sosial, ideologi politik) berlangsung sebagai respons terhadap
tantangan-tantangan baru. Dalam wacana global, ada citra umat Islam di
Indonesia yang toleran, demokratis, dan akomodatif terhadap Budaya-budaya
lokal, tapi di sini lain, sebagian umat Islam terlibat aksi kekerasan dan
terorisme, memiliki dan menganjurkan ideologi kekerasan, dan masih terlibat
dalam tindak pidana korupsi dan penyakit-penyakit moralainnya. Karena itu,
upaya merekonstruksi hubungan Islam dan KeIndonesian yang bhineka itu
tetap penting baik bagi sarjana maupun tenaga pendidikan, dan para pemimpin
dan masyarakat luas.

7
 Empat Orientasi Ideologis Hubungan Islam dan Keindonesiaan:
1. Islamization Yes, Indonesianization No
Mereka yang berkeyakinan Islam itu satu dan Indonesia itu satu. Di
antara mereka, ada yang berpendapat Islam dan Indonesia adalah dua
identitas yang bertentangan, dan tidak ada persinggungan atau
kesesuaian antara keduanya. Bagi kelompok-kelompok seperti Hizbut
Tahrir (HT), Islam adalah wahyu Allah, sementara Indonesia adalah
buatan manusia, yang meskipun lahir dalam konteks melawan
penjajahan (kolonialisme dan imperialisme), tidak lahir atas landasan
syariat Islam dan kekhilafahan (seperti yang mereka pahami).

2. Islam First, Indonesia Second

Sebagai orientasi ideologis kedua, ada kelompok yang terlibat


dalam proses demokratisasi di Indonesia, yang memperjuangkan
Islam sebagai sistem yang komprehensif namun dalam konteks
Indonesia yang majemuk secara budaya, agama, dan ideologi. Partai-
partai politik “Islamis”seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan
Partai-partai lain yang segagasan dengannya, mengutamakan Islam
sebagai sistem yang paling baik dan paling benar, namun berjuang
mewujudkannya dalam konteks falsafah Negara Pancasila, UUD 45
(dan hasil amandemen) dan peraturan-peraturan lainnya.Namun
demikian, mereka memahami konstitusi dan falsafah ini bukan
sebagai prioritas utama.

Kelompok-kelompok Islamis menjadikan Indonesia sebagai bangsa


dimana umat Islam menjadi pemilik utamanya, dan menjadikan Islam
sebagai din, atau pola hidup (way of life) yang lebih daripada definisi
sempit “agama” yang private dan personal saja. Mereka
menomorsatukan Islam sebagai ideologi perjuangan, dan mengakui
kebhinekaan budaya Indonesia sejauh itu tidak menghambat
supremasi pemajuan Islam dan kemajuan umat Islam di Indonesia dan
di manca Negara.

8
3. Formalistic Islam No, Substantive Islam & Indonesia, Yes
Orientasi ideologis ketiga, ada kelompok yang menyebut diri
mereka “progresif”, termasuk mereka yang mengusung ide-ide
liberalisme, pluralisme, dan sekulerisme, dalam pengertian yang tidak
bertentangan dengan nilai-nilai substansi Islam. Bagi mereka, Islam,
keIndonesian, dan progresifitas saling mendukung.Bagi mereka, yang
mengambil rujukan pada berbagai sumber baik klasik, pertengahan
maupun modern, Muslim dan non-Muslim, Islam memiliki nilai-nilai
universal dan nilai-nilai partikular.Mereka lebih mengutamakan nilai-
nilai universal itu, seperti keadilan, persamaan hak, kesejahteraan,
kesetaraan. Bagi kalangan progresif, nilai-nilai yang universal bisa
diterapkan dalam konteks Indonesia, dan setiap nilai universal dengan
sendirinya adalah Islami, tanpa harus diberi label Islam. Nilai-nilai
Islam bagi mereka bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah, dan sejarah
serta dari tokoh-tokoh zaman dan tempat yang terus berkembang,
memberikan tempat terhormat bagi akal pikiran yang kritis terhadap
sumber-sumber itu.Mereka menolak teokrasi, mempromosikan ide-ide
demokrasi, hak-hak minoritasnon-Muslim dan Muslim, hak-hak
perempuan, dan kebebasan berpikir.
4. Islamization Yes, Indonesianization Yes
Orientasi ideologis keempat, dianggap “mainstream”, yaitu
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, dan masyarakat yang
berkembang dari tradisi madrasah, pesantren, dan IAIN (termasuk
UIN dan STAIN) dan PTAI lainnya. Kelompok “mainstream” di
Indonesia yang sering disebut “moderat” itu memiliki jasa yang besar
dalam pembentukan karakter masyarakatMuslim dan bangsa
Indonesia. Rumusan Muhammadiyah tahun 1959 “menegakkan dan
menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam
yan sebenar-benarnya”, menunjukkan tujuan ormas ini yang tidak
berorientasi pada politik kekuasaan, tapi pada masyarakat.
(Hasyim, 2008)

9
2.3 Tipologi Masyarakat yang Modern
 Tipologi
Tipologi masyarakat adalah pengelompokkan masyarakat, baik
berdasarkan sumber mata pencaharian masyarakat maupun berdasarkan
wilayah tinggalnya (Afri, 2008). Pada dasarnya masyarakat Islami adalah
sistem sosial yang tumbuh dan berkembang ataupun ditumbuhkan menurut
nilai-nilai (values), akidah-akidah (principles), dan norma-norma yang Islami.
Dengan kaya lain,manusia dengan cara hidup dan berkehidupannya harus
menurut ajaran islam.Dilahat dari sudut budaya (tamaddun) dan sikap hidup
(peradaban civilization),yang meliputi cara.rasa,dan karsa (daya pikir
kreatif,sentimental,keinginan,dan aspirasinya),masyarakat itu dinamakan
masyarakat Islami jika cara berpikir,cara mengendalikan sentiment dan
menumbuhkan kembangkancita-cita dan tujuannya berdasarkan ajaran
Islam,baik lahirlah maupun batiniah.
Dilihat dari intensitas dan efektivitas pengahayatan dan pengalaman ajaran
Islam,kehidupan masyarakat Islam itu mengenal gradasi atau peringkat,yakni:
1. Peingkat taqiyyah
2. Peringkat ajadiyb
3. Peringkat qi’yan

Masyarakat Islami dengan peringkat taqiyyah adalah tingkat yang lebih


tinggi,karena pada masyarakat taqiyyah itu ajaran islam berperan sepenehnya
sebagai acuan dan pedoman hidup.Lahannya begitu subur untuk tumbuhnya
kehidupan yang islami, terbuka sepenuhnya dengan penuh keimanan dan
ketakwaan untuk menghayati (internalisasi) ajaran-ajaran islam. Jika ajaran
islam itu di ibaratkan sebagai curahan hujan, maka masyarakat taqiyyah
merupakan lahan yang tipe tanahnya cukup mesra menyerap ajaran-ajaran
islam. Pada masyarakat ajadiyb, tipe tanah lahan itu tidak begitu terbuka
untuk menerima dan menyerap ajaran islam, meskipun disana-sini terdapat
bagian-bagian yang pori-porinya masih terbuka untuk menyerap agama islam.

Pada masyarakat qiy’an, sifatnya sudah mutlak menolak, seperti lahan


dengan tanah padas yang licin dan tak sedikit pun ada lagi sifat absorbsinya

10
terhadap ajaran agama islam. Sementara masyarakat taqiyyah menerima
ajaran islam secara menyeluruh dan sepenuhnya, completely, kaaffah. Bahkan
menjadikan ajaran islam sebagai dasar filasafat dan ideologi untuk semua
dimensi kehidupannya, baik kehidupan sosial politik, sosial ekonomi,
maupun sosial budaya. Namun, pada masyarakat ajadiyb, disana sini
kehidupannya masih berbaur dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip lain yang
belum tentu sesuai dengan ajaran islam. Sedangkan pada msyarakat qiy’an ,
total berbeda dengan nilai-nilai dan ajaran islam.

Kearah tipe mana suatu masyarakat akan tumbuh dan berkembang,


tergantung pada kemungkinan-kemungkinan dan prasyaratnya. Yakni, antara
lain :

a) internal , yakni potensi dari dalam masyarakat sendiri.


b) eksternal, yakni faktor-faktor peluang yang berupa faktor pendukung dan
faktor penghambat dari luar.

Dalam konteks pembangunan masyarakat, generasi umat pembangunan


itu harus menjadi generasi zamannya, dalam arti dipengaruhi oleh zamannya,
sekaligus merekayasa masyarakat zamannya.Generasi umat itu harus
dibangun, tetapi sekaligus turt aktif membangun.Generasi umat itu harus
mampu berperan sebagai sutradara tetapi juga sekaligus sebagai aktor.Untuk
kesemua peran ini, perlu dipenuhi tiga prasyarat yang telah dipaparkan diatas,
yakni kemampuan iptek, kemampuan manajerial, dan kemampuan modal
spiritual serta material. Juga perlu didukung bersama serta digotong-
royongkan oleh semau potensi umara, ulama,aghniyadan dhuafa. Dan ini
memerlukan metoda pendekatan. Kemajuan dan kemunduran dalam
mengkondisikan keterpaduan antara potensi-potensi itu, dan juga kemajuan
dan kemunduran dalam mengandalkan prasyarat yang dimiliki, akan
mementukan tipe masyarakat islami yang akan lahir dan terbentuk.

(Qardhawi, 1998)

 Dimensi

11
Sebagaiman keadaan masyarakat umumnya, ataupun satu bangsa, atau
suatu kelompok sosial adalah satu system, satu entitas, satu kebulatan, yang
terdiri dari beberapa subsisten, beberapa komponatau unsur, dan disebut juga
beberapa dimensi atau matra, yang satu sama lain bertalian erat, bahkan
saling mempengaruhi. Masyarakat yang beragama islam itu juga mempunyai
beberapa dimensi yang harus dilihat sekaligus secara global. Tatapi, dalam
beberapa hal, ia juga harus dilihat secara satu persatu, dimensi per dimensi.

1. Dimensi Manusianya
Mengenai dimensi manusia ini, yang dilihat ialah populasinya, baik
secara kuantitas maupn kualitas, baik bobot fisik maupun bobot mentak-
spiritual. Dalam hal ini dilihat kedalman pengetahuan agama: keimanan,
ketakwaan, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), serta
nilai-nilai sosial yang mengitarinya, yang bersifat menunjang dan
menghalang pertumbuhan serta perkembangan untuk menjadi umat islam
yang baik.
2. Dimensi Lingkungan
Dalam hal ini, umat islam itu dilihat menurut lingkungannya yang
meliputi masyarakat manusia lain yang ada disekitarnya, serta alam tempat
ia berkediaman, hidup, dan berkehidupan sehari-hari, harus diperhitungkan
faktor-faktor sosial dan alam yang mungkin mempengaruhi dirinya, baik
yang sifatnya positif maupun negatif. Harus diteliti, aspek kehidupannya
yang mana pengaruh itu berlangsung.Apakah terhadap faktor fisik atau
terhadap faktor rohaniah, spiritual, misalnya perkembangan mental
religiositasnya.

12
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Globalisasi berasal dari kosakata global yang berarti sebuah proses
penyatupaduan anatara suatu Negara dengan Negara lain, baik yang bersifat
fisik maupun nonfisik, yang terjadi berkat penggunaan teknologi canggih,
antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain yang ada di
Indonesia. Hal itu terjadi dikarenakan adanya perkembangan secara pesat
teknologi komunikasi, transformasi, dan informasi. Umat Islam khususnya
harus siap melawan arus globalisasi yang semakin kuat ini dengan berpegang
tegung pada Islam dan pancasila yang merupakan dasar keindonesiaan karena
keduanya berjalan beriringan.Pada tataran konsep, globalisasi tidak
bertentangan dengan Islam.Bahkan Islam sejalan dengan globalisasi karena
Islam adalah universal dan “rahmatan lil ’alamin”.

13
DAFTAR PUSTAKA

Afri, Awang San. 2008. Panduan pemberdayaan lembaga masyarakat desa hutan
(LMDH. Jakarta: Harapan Prima.

Anwar, M Syafi’i. 1995. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian
tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru . Jakarta: Penerbit Paramadina.

Feillard, Andrée. 1999. NU vis-a-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna.
terj. Lesmana. Yogyakarta: LkiS.

Giddens, Anthony. 2000. The Third Way. Jakarta: Gramedia.

Hasyim, Syafiq, dkk. 2008. Islam & Multikulturalisme. Jakarta:


International Center for Islam and Pluralism.

Held, David dan Grew, Anthony. 2000. The Global Tranformation Reder.
Malden: Blackwell Publisher.

Lubis, M.Solly. 1997. Umat Islam Dalam Globalisasi. Jakarta:Gema Insani


Press.

14
Natta, Abuddin. 2019. Pembaruan pendidikan Islam Di Indonesia. Jakarta:
Kencana

Qardhawi, Yusuf. 2001. Islam dan Globalisasi Dunia. Jakarta: Pustaka al-
Kautsar.

Qardhawi,Yusuf. 2001. Ummat Islam menyongsong Abad 21 (Ummatan aina


Qornain). Solo: Era Intermedia.

Qardhawi,Yusuf. 1998. Kebangkitan Islam dalam Perbincangan Para Pakar.


Jakarta: Gema Insani

15

Anda mungkin juga menyukai