Anda di halaman 1dari 376

SEJARAH PEMIKIRAN MODERN

KUMPULAN ARTIKEL

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN SEJARAH


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2021
i
SEJARAH PEMIKIRAN MODERN
Kumpulan Artikel

Penulis:
Ahmad Benny Syahputra, Erna Rosalina, Yayan Bagus Prabowo, Nurlaela, Yazra
Mohammad, Yunita Indah Pratiwi, Yulianto, Kholid Irsani, Sinta Wulandari,
Setyo Adi Nugroho, Mijil Sunoto, Asrayanti Marwan, Wahyudi, Dian Sukma,
Huda Kautsar Amin, M. Rikaz Prabowo, Yuliana, Sekar Ayu Mar'Atus Solehah,
Nuzu Chairu Akbar, Indah Monicha

Penanggung Jawab:
Prof. Dr. Drs. Ajat Sudrajat, M.Ag.

Penyunting:
Yulianto
Wahyudi
Dian Sukma
Nuzu Chairu Akbar
Indah Monicha

Editor:
Sinta Wulandari
Mijil Sunoto

Desain Cover dan Tata Letak:


Huda Kautsar Amin

Diterbitkan Oleh:
Progran Studi Magister Pendidikan Sejarah UNY 2020 (Rombel B)

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


ii
MAGISTER PENDIDIKAN SEJARAH UNY 2020 B
KATA PENGANTAR

Semenjak mata kuliah Sejarah Pemikiran Modern dikembangkan di perguruan


tinggi, maka dalam setiap interaksi intelektual di mana seorang guru besar
berkomunikasi dengan mahasiswanya, acap kali akan tampil mereka-mereka yang
ibaratnya memberikan resonansi terhadap getaran-getaran suara yang
mengungkapkan berbagai hal berkaitan dengan materi yang dibicarakan. Rasa ingin
tahu yang diperlihatkan oleh mahasiswa dalam bidang ini memperlihatkan
komunikasi pada panjang gelombang yang sama (on the same wavelength).
Dalam konteks penulisan buku ini, tim penulis yang terdiri dari 20 mahasiswa
S2 Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta (rombongan belajar B) yang
terus-menerus bekerja sama dalam praktik ilmiah berangkat dari keinginan untuk
menyusun berbagai materi yang telah didiskusikan dalam perkuliahan, yang
kemudian dikembangkan. Penulisan buku mengenai sejarah pemikiran modern ini
bermula dari mata kuliah Sejarah Pemikiran Modern yang diasuh oleh Prof. Dr.
Drs. Ajat Sudrajat, M.Ag. setiap hari Senin pukul 11.10-12.50 WIB selama 1
semester (8 Februari 2021-7 Juni 2021).
Tujuan penulisan buku ini adalah membahas sejarah pemikiran modern yang
mencerminkan kekhasan bidang tersebut, dan bukan hanya menceritakan tentang
perkembangan ilmu itu sendiri ataupun memberikan pengertian tentang asas-asas
logika formal saja. Beberapa bagian dari buku ini menceritakan tentang sejarah,
kebenaran, dan ketidakpastian ilmu itu sendiri. Pembahasan bersifat tematis dan
mendeskripsikan perkembangan ilmu pengetahuan secara berkesinambungan.
Meskipun demikian, disebabkan buku ini ditulis oleh 20 orang, maka tidak dapat
dihindari kesan bahwa antar tema satu dengan tema yang lain kurang ada
kesinambungan, tetapi setiap tema diwarnai oleh ciri khasnya masing-masing.
Para penulis tidak berpretensi bahwa buku ini sudah mendekati kesempurnaan,
sehingga diharapkan akan adanya kajian yang lebih mendalam lagi sebagai bentuk
kritik terhadap buku ini. Para penulis berterima kasih kepada Prof. Dr. Drs. Ajat
Sudrajat, M.Ag. yang telah membimbing kami menjalani kuliah Sejarah Pemikiran
Modern selama 1 semester lamanya, Dr. Aman, M.Pd. selaku Kaprodi Pendidikan

iii
Sejarah Pascasarjana UNY, dan khasanah ilmu pengetahuan yang telah diperoleh
dari berbagai referensi sejarah, pemikiran, serta informasi ilmu lain baik yang
klasik, modern, maupun mutakhir.
Akhir kata, tim penulis mengharapkan saran dan kritikan dari para pembaca
sekalian untuk dapat menghasilkan karya yang lebih baik lagi di masa yang akan
datang.

Yogyakarta, 29 Juni 2021

Tim Penulis

iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... v
PEMIKIRAN PADA MASA YUNANI KLASIK (Wahyudi) ......................... 1
PEMIKIRAN POLITIK ISLAM (Nuzu Chairu Akbar) ................................. 19
PEMIKIRAN TEOLOGI ISLAM (M. Rikaz Prabowo) ................................. 36
PEMIKIRAN FILSAFAT ISLAM (Mijil Sunoto) .......................................... 58
PEMIKIRAN SUFIME DALAM ISLAM (Yuliana) ...................................... 88
PEMIKIRAN HUKUM DALAM ISLAM (Sekar Ayu Mar’Atus Solehah) .. 104
PEMIKIRAN ABAD PERTENGAHAN (Kholid Irsani) ............................... 121
PEMIKIRAN MASA RENAISANS DAN REFORMASI (Erma Rosalina) . 135
PEMIKIRAN LIBERALISME BARAT (Setyo Adi Nugroho) ..................... 146
PEMIKIRAN DEMOKRASI BARAT (Indah Monicha) ............................... 185
PEMIKIRAN KAPITALISME BARAT (Sinta Wulandari) .......................... 199
PEMIKIRAN SOSIALISME BARAT (Nurlaela).......................................... 213
KOMPATIBILITAS ISLAM TERHADAP KOSEP DEMOKRASI
(Asrayanti Marwan) ........................................................................................... 239
HAM DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN BARAT
(Huda Kautsar Amin) ......................................................................................... 254
PEMIKIRAN TJOKROAMINOTO : SOSIALISME DAN ISLAM (Yarza
Mohammad) ....................................................................................................... 276
PEMIKIRAN SUKARNO : ISLAMISME, SOSIALISME DAN
NASIONALISME (Yulianto) ........................................................................... 289
PEMIKIRAN MOHAMMAD HATTA : EKONOMI KERAKYATAN
(Ahmad Benny Syahputra)................................................................................. 311
PEMIKIRAN KI HADJAR DEWANTARA : PENDIDIKAN (Yunita Indah
Pratiwi) ............................................................................................................... 324
PEMIKIRAN PEMBAHARUAN KH AHMAD DAHLAN (Yayan Bagus
Prabowo) ............................................................................................................ 345
PEMIKIRAN MUHAMMAD NATSIR : HUBUNGAN ISLAM DAN
NEGARA (Dian Sukma) ................................................................................... 360

v
SOCRATES, PLATO DAN ARISTOTELES:
KEJAYAAN PEMIKIRAN MASA YUNANI KLASIK

Oleh: Wahyudi
NIM. 20718251033

A. Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk berbudaya dan berperadaban. Sebagai bagian dari
alam semesta, manusia dengan segala potensinya dituntut untuk mampu mengelola
alam semesta menjadi alam budaya sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan
hidup manusia. Tuntutan ini pada akhirnya menjadikan manusia mampu
melahirkan kebudayaan yang besar. Dengan kebudayaan ini manusia dapat
bertahan hidup. Dengan jasa ilmu Filsafat yang fungsional, banyak tokoh-tokoh
pemikir yang termashur seperti Socrates, Plato, Aristoteles dan lain-lain. Begitu
juga tokoh pemikir di kalangan umat Islam, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Rusyd,
Ibn Sina dan sebagainya. Semua tokoh pemikir kaliber tersebut terilhami ilmu
filsafat yang mengubah budaya dan peradaban manusia yang semakin mensemesta
di seantero alam jagat raya. (Muh. Idris. ----: 4)
Sejarah pemikiran dimulai sekitar Abad VI sebelum masehi. Walaupun kita
tidak dapat mengharap kepastian tahun, bulan, dan tanggal berapa pemikiran-
pemikiran filsuf mulai muncul, namun yang jelas dapat dipastikan bahwa pemikiran
tersebut dimulai dari kota Miletos, sebuah kota di perantauan Yunani yang terletak
di pesisir Asia Kecil. Untuk orang yang mendapat kehormatan untuk digelari
sebagai pemikir/filsuf pertama adalah Thales.
Sejarah pemikiran dimulai ketika muncul para pemikir/filsuf yang memulai
menentang mitos-mitos yang dipercaya dan berkembang dalam masyarakat.
Mereka mulai menanamkan kesadaran pada masyarakat bahwa manusia
mempunyai kemampuan akal pikir yang dapat digunakan sebagai alat untuk
mencari jawaban terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi. Sebelum muncul
para filsuf, masyarakat pada waktu itu masih dibelenggu dan percaya pada mitos-
mitos sehingga ketika menghadapi persoalan (pertanyaan) dalam kehidupannya
jawaban selalu bersumber pada mitos. Pada waktu itu, masyarakat sangat percaya

1
pada mitos-mitos tentang Dewa-Dewi di Olympus (mitologi Yunani) sehingga
ketika manusia pada waktu itu takjub terhadap gejala alam seperti adanya halilintar
(geledek) maka orang percaya bahwa saat itu Zeus sedang berburu. Ketika ada
pertanyaan mengapa tiba-tiba air banyak jatuh dari langit (hujan), orang percaya
bahwa Dewi-Dewi di Olympus sedang menangis. Para filsuf mulai meletakkan
penghormatan terhadap kemampuan akal pikir untuk menemukan dan
mengembangkan pengetahuan, serta mendobrak hegemoni dan mendelegitimasi
mitologi. (Drs. Mulyono, M.Hum.. ----: 4)
Filsafat Yunani adalah kegiatan berpikir yang dilakukan oleh para filosof
Yunani untuk mencari hakekat kebenaran yang penuh kebijakan dalam menata tata
dunia baru yang lebih bijaksana, elegan dan dinamis dalam mengapresisikan
pemikiran-pemikiran yang konstruktif. Dengan adanya pendidikan, manusia
semakin berbudaya dan berperadaban dalam mengembangkan kepribadiannya yang
lebih kreatif, inovatif dan produktif. (Muh. Idris.---: 13).
Socrates adalah seorang tokoh filosuf Yunani Klasik yang mendobrak
keterbelakangan corak berpikir bangsa Yunani yang cenderung bersikap nihilisme
karena pengaruh filsafat sofistik yang dikembangkan oleh Pyhthagoras dan
Gorgias, sehingga dunia pengetahuan di Yunani mulai mengalami
kemundurankemunduran, kalau pada masa kemajuan Mesir Kuno dan
Mesopotamia bangsa Yunani mengalami kemunduran dalam alam pikiran serta
ilmu pengetahuan karena adanya Mitologimitologi, maka pada zaman Socrates
kemunduran terjadi karena sikap apatis dan zumud dikarenakan akibat adanya
gerakan filsafat sofistik yang cenderung bersikap nihilisme yang merelativitaskan
segala sesuatu. (Fahriansyah, 2014: 24)
Kajian pembahasan tentang konsep manusia juga telah ada berabad-abad silam.
Ilmuan Yunani kuno (the ancient Greek) hingga ilmuan Barat modern mengkajinya
dalam bingkai filsafat. Mereka memiliki pandangan-pandangan konsep manusia
yang dipahami dari perspektif epistemologi. Di antaranya, ada pandangan bahwa
karakteristik manusia itu adalah tukang bertanya, makhluk pencari kebenaran,
hingga Aristoteles berpendapat bahwa manusia itu adalah hewan yang berbicara
berdasarkan akal pikiran (the animal that reason). (Kholili Hasib, 2019: 22)

2
Dalam sejarah pemikiran Yunani, penganut filsafat Ketuhanan (ilahiyyun);
mereka adalah golongan filosof yang percaya kepada Tuhan, mereka para filosof
Yunani seperti Socrates, Plato dan Aristoteles, serta orang-orang yang mengekor
pada pemikiran mereka. (Ahmad Atabik. 2014: 26) Socrates, Plato dan Aristoteles
merupakan filsuf yang memiliki peran besar dalam sejarah pemikiran modern masa
Yunani Klasik.

B. Pembahasan
Socrates hidup dari tahun 470 SM hingga 399 SM. Ia dilahirkan di Athena.
Ayahnya adalah seorang pemahat bernama Sophroniscus dan ibunya seorang bidan
bernama Phaenarete. Setelah ayahnya meninggal dunia, Socrates manggantikan
ayahnya sebagai pemahat. Hingga akhirnya ia berhenti dari pekerjaan itu dan
bekerja dalam lapangan filsafat dengan dibelanjai oleh seorang penduduk Athena
yang kaya. (Drs. Asmoro Achmadi : 1997: 35)
Masa Socrates bertepatan dengan masa kaum sofis. Walaupun begitu, dengan
sekuat tenaga Socrates menentang ajaran para sofis. Ia membela yang benar dan
yang baik sebagai nilai objektif yang harus diterima dan dijunjung tinggi oleh
semua orang. Socrates merupakan contoh istimewa dan selaku filosof yang jujur
juga berani, berkepribadian yang sabar, rendah hati, baik dan adil yang selalu
menyatakan dirinya bodoh. Badannya tidak gagah sebagai biasanya sebagai
penduduk Athena. Meskipun dia orang yang berilmu, tapi dia dalam memilih orang
yang jadi istri bukan dari golongan orang baik-baik dan pandai. Istrinya bernama
Xantipe yang terkenal akan kejudesannya (galak dan keras). Cara penyampaian
ilmu atau filsafatnya dilakukan secara tanya jawab, sehingga memperoleh banyak
simpati.
Masa-masa buruknya hubungan Athena dan Sparta terjadi antara tahun 421 dan
416 SM. Salah seorang murid Socrates menyebabkan Athena kalah di Syracuse 413
SM. Kubu Socrates semakin kuat, orang sofis sudah semakin kehabisan pengikut.
Ajaran bahwa kebenaran itu relatif semakin ditinggalkan, semakin tidak laku,
orang sofis kalap, lalu menuduh Socrates merusak mental pemuda dan menolak
Tuhan-Tuhan, hal ini terjadi pada tahun 399 SM. Walaupun demikian, Kierkegaard

3
yang merupakan Bapak Eksistensialisme Modren mengagumi Socrates bahkan
filsafat Socrates dijadikan model filsafatnya. Karena socrates secara konstan
menentang orang-orang sofis pada zaman itu.
Untuk pembuktian hal itu Socrates diadili oleh pengadilan Athena. Plato
menulis sebuah pidato berjudul Apologia untuk membela Socrates. Dan
mengisahkan adanya tuduhan bahwa socrates tidak hanya menentang agama yang
diakui oleh Negara, dan mengajarkan agama baru buatannya sendiri. Melethus
seorang pendakwa juga mengatakan bahwa Socrates tidak bertuhan menambahkan
bahwa Socrates mengatakan matahari adalah batu dan bulan adalah tanah.
Sehingga, Socrates dinyatakan bersalah dan dituntut hukuman mati dengan
mayoritas 60 suara, 280 melawan 220 (281 melawan 220 menurut Hassan, 1973:74
dan 200 melawan 220 menurut Ahmad Syadali, 1997:67). Selama socrates di dalam
penjara ia masih dapat berbicara dengan sahabatnya. Kriton ialah sahabat socrates
yang mengusulkan Socrates melarikan diri, tetapi Socrates menolak. Dan pada
waktu senja dengan tenang Socrates meminum racun, dikelilingi oleh para
sahabatnya. Sekalipun Socrates mati, ajarannya tersebar justru dengan cepat karena
kematiannya itu. Orang mulai mempercayai adanya kebenaran umum. Plato
membuat pidato berjudul phaidon, ia menceritakan percakapan Socrates dengan
dengan para muridnya pada hari terakhir hidupnya, dan melukiskan Socrates pada
suatu senja dengan tenang meminum racun, dikelilingi oleh para sahabatnya (lihat
Bertens, 1975:83).
Kebiasaan sehari-harinya berjalan keliling kota untuk mempelajari tingkah laku
manusia dari berbagai segi hidupnya. Ia berbicara dengan semua orang dan
menanyakan apa yang diperbuatnya. Pertanyaan itu pada mulanya mudah dan
sederhana. Setiap jawaban disusul dengan pertanyaan baru yang lebih mendalam.
Tujuan Sokrates, melalui pertanyaan-pertanyaan tersebut, adalah untuk mengajar
orang mencari kebenaran.
Cara yang dilakukan Sokrates adalah untuk membantah ajaran kaum Sofis yang
mengatakan bahwa ‘kebenaran yang sebenarnya tidak akan tercapai’. Oleh karena
itu, tiap-tiap pendirian dapat dibenarkan dengan jalan ‘retorika’. Apabila orang
banyak sudah setuju, maka dianggap sudah benar. Dengan cara begitu pengetahuan

4
menjadi dangkal. Cara inilah yang ditentang Sokrates. Tanya jawab adalah jalan
untuk memperoleh pengetahuan. Itulah permulaan dialektik. Dialektik asal katanya
dialog, artinya bersoal jawab antara dua orang. Ia selalu berkata, yang ia ketahui
cuma satu, yaitu bahwa ia tidak tahu. (Ajat Sudrajat. 2021: 3)
Socrates dalam menentang pemikiran sofisme yang berkembang dalam
masyarakat Yunani melakukan dua usaha penting; pertama dengan menyampaikan
pemikiran (gerakan pemikiran) dan kedua melalui lembaga pendidikan (gerakan
pendidikan). Dalam gerakan pemikiran Socrates melahirkan pemikiran anti sofisme
dengan mengemukakan pemikiran sebagai berikut :
1) Dunia bayang-bayang: the story of the caveman
Seseorang yang suka merenung pasti pernah memikirkan tentang makna
hidupnya. Misalnya pertanyaan ini: Apakah tujuan hidup itu? ”atau“ Untuk apa aku
peroleh dan mempunyai ilmu pengetahuan?”. Khusus tentang fungsi Kongkrit
filsafat dan ilmu pengetahuan, yang mengkhususkan diri ke dunia ide pemikiran
dipandang tidak banyak memberikan jawaban nyata atas persoalan kehidupan,
hanya melayang-layang di awang-awang. Benarkah demikian?. Tentu saja banyak
sekali variasi jawaban dari dua peryataan di atas, tergantung latar belakang
kehidupan dan pendidikan serta pandangan dunianya. Pada masa yunani kuno,
pertanyaan-pertanyaan itu berusaha dijawab oleh Socrates. Socrates mengajarkan
bahwa kebajikan adalah hal yang paling berharga diantara semua yang dimilik
seseorang, bahwa kebenaran terletak di luar ” bayang-bayang” pengalaman kita
sehari-hari. Ungkapan Socrates yang sangat terkenal adalah "kenalilah dirimu
sendiri". Manusia adalah makhluk yang terus-menerus mencari dirinya sendiri dan
yang setiap saat harus menguji dan mengkaji secara cermat kondisi-kondisi
eksistensinya. Socrates berkata dalam Apologia, "Hidup yang tidak dikaji" adalah
hidup yang tidak layak untuk dihidupi. Bagi Socrates, manusia adalah makhluk
yang bila disoroti pertanyaan yang rasional dapat menjawab secara rasional pula.
Menurut Socrates, hakekat manusia tidak ditentukan oleh tambahan-tambahan dari
luar, ia semata-mata tergantung pada penilaian diri atau pada nilai yang diberikan
kepada dirinya sendiri. Semua hal yang ditambahkan dari luar kepada manusia
adalah kosong dan hampa. Kekayaan, pangkat, kemasyhuran dan bahkan kesehatan

5
atau kepandaian semuanya tidak pokok (adiaphoron). Satu-satunya persoalan
adalah kecendrungan sikap terdalam pada hati manusia. Hati nurani merupakan "hal
yang tidak dapat memperburuk diri manusia, tidak dapat juga melukainya baik dari
luar maupun dari dalam".
Tabiat Socrates tercermin dalam hal dunia bayang-bayang pernyataannya
sebagai berikut : “Padang rumput dan pohon kayu tak memberi pelajaran apapun
kepadaku, manusia ada. Ia memerhatikan yang baik dan buruk yang terpuji dan
tercela. Suatu saat ia didapati ditanah lapang dimana banyak orang berkumpul, tidak
lama ia berada dipasar. Ia berbicara dengan semua orang, menanyakan apa yang
dibuatnya, ia ingin mengetahui sesuatu dari orang yang mengerjakan sesuatu ia
selalu bertanya tentang pertukangannya. Ia bertanya kepada pelukis tentang apa
yang dikatakan indah, kepada prajurit atau ahli perang, ia tanyakan apa yang
dikatakan berani, kepada ahli politik ditanyakannya berbagai hal yang biasa
dipersoalkan mereka dengan jalan bertanya itu, ia memaksa orang yang ia tanya
supaya memperhatikan apa yang ia tahu dan hingga disisi mana tahunya pertanyaan
itu mulanya mudah dan sederhana setiap jawaban disusul dengan pertanyaan baru
yang lebih mendalam Dari pertanyaan biasa, lalu membawanya kepada
pertanyaanpertanyaan lebih lanjut. (Atang Abdul Hakim. 2008: 181).
2) Kebenaran universal
Sebagaimana para Sofis, Sokrates pun berbalik dari filsafat alam. Sebagaimana
juga para Sofis, Sokrates pun memilih manusia sebagai objek penyelidikannya dan
ia memandang manusia lebih kurang dari segi yang sama seperti mereka: sebagai
makhluk yang mengenal, yang harus mengatur tingkah lakunya sendiri dan yang
hidup dalam masyarakat. Sebagaimana para Sofis, Sokrates pun memulai
filsafatnya dengan bertitik tolak dari pengalaman sehari-hari dan dari kehidupan
yang konkret. Tetapi ada satu perbedaan yang penting sekali antara Sokrates dan
kaum Sofis, yaitu Sokrates tidak menyetujui relativisme yang dianut oleh kaum
Sofis. Menurut Sokrates ada kebenaran objektif, yang tidak tergantung pada saya
atau pada kita. Akan tetapi, sebaiknya kita tidak memandang keyakinan Sokrates
itu dari sudut “kebenaran” saja. (Fahriansyah. 2014: 27)

6
Dalam mencari kebenaran selalu dilakukan dengan berdialog, dengan cara
tanya jawab. Kebenaran harus lahir dari jiwa kawan yang merupakan lawan
bicaranya. Ia tidak mengajarkan, melainkan menolong seseeorang mengeluarkan
apa yang tersimpan dalam hatinya. Sebab itu, metodenya disebut maieutik,
menguraikan.
Karena Sokrates mencari kebenaran dengan cara Tanya jawab, yang kemudian
dibulatkan dengan pengertian, maka jalan yang ditempuhnya adalah metode
induktif dan definisi. Induksi yang dimaksudkan Sokrates adalah
memperbandingkan secara kritis. Ia tidak berusaha mencapai yang umumnya dari
jumlah satu-satunya; ia mencari persamaan dan diuji pula dengan saksi dan lawan
saksi. Begitulah Sokrates mencapai pengertian. Dengan melalui induksi sampai
pada definisi. Definisi yaitu pembentukan pengertian yang bersifat dan berlaku
umum. Induksi dan definisi menuju pengetahuan yang berdasarkan pengertian.
Etika Sokrates. Model mencari kebenaran dengan cara berdialog atau tanya
jawab tersebut, ternyata seperti bunyi pepatah ‘sambil menyelam minum air’,
karena dalam prakteknya tercapai pula tujuan yang lain, yaitu membentuk karakter.
Oleh karena itu Sokrates mengatakan bahwa budi adalah tahu, maksudnya budi-
baik timbul dengan pengetahuan. Budi ialah tahu, adalah inti sari dari ajaran etika
Sokrates. Orang yang berpengetahuan dengan sendirinya berbuat baik. Paham
etikanya ini merupakan kelanjutan dari metode dialektika yang dilakukannya.
Induksi dan definisi menuju kepada pengetahuan yang berdasarkan pengertian. Dari
mengetahui beserta keinsafan moril tidak boleh tidak mesti timbul budi. Siapa yang
mengetahui hukum, mestilah bertindak sesuai dengan pengetahuannya. Tidak
mungkin ada pertentangan antara keyakinan dan perbuatan. Oleh karena budi
berdasar atas pengetahuan, maka budi dapat dipelajari.
Penjelasan di atas memberikan penegasan bahwa ajaran etika Sokrates bersifat
intelektual dan rasional. Oleh karena budi adalah tahu, maka siapa yang tahu akan
kebaikan dengan sendirinya mesti dan harus berbuat yang baik. Apa yang pada
hakekatnya baik, adalah juga baik untuk siapa pun. Oleh karena itu, menuju
kebaikan adalah yang sebaikbaiknya untuk mencapai kesenangan atau kebahagiaan
hidup. (Ajat Sudrajat. 2021: 4)

7
Menurut Sokrates, tidak seorang pun melakukan kejahatan dengan suka rela
melawan pengetahuannya sendiri tentang ‘yang baik’. Siapa yang berbuat jahat, ia
berbuat karena keliru atau lantaran ketidaktahuannya akan ‘yang baik’. Kalau saja
semua orang mengetahui apa hakikat dari ‘yang baik’, niscaya mereka akan
dipenuhi oleh ‘daya kekuatan pengetahuan’ yang baik ini.
Akhirnya, menurut Sokrates, manusia itu pada dasarnya baik. Seperti dengan
segala benda yang ada itu ada tujuannya, begitu juga dengan hidup manusia.
Keadaan dan tujuan manusia adalah kebaikan sifatnya dan kebaikan budinya.
Sokrates percaya akan adanya Tuhan. Alam ini teratur susunannya menurut ujud
yang tertentu. (Hatta, 2006)
Sokrates juga meneruskan prinsip etikanya dalam bidang politik. Tentang
negara misalnya, ia berpendapat bahwa tugas negara aalah memajukan kebahagiaan
para warga negara dan membuat jiwa mereka menjadi sebaik mungkib. Oleh karena
itu, seorang penguasa negara harus mengetahui dan mempunyai pengertian tantang
‘yang baik’. Karena alasan ini, Sokrates tidak menyetujui sistem pemerintahan
demokratis yang berlaku di Athena, di mana para penguasa dipilih berdasarkan
suara mayoritas, padahal mereka belum tentu mempunyai pengertian tentang ‘yang
baik’ (L.Tjahjadi,2004: 43).
Plato dilahirkan di Athena pada tahun 427 SM., dan meninggal pada tahun 347
SM pada usia 80 tahun. Ia berasal dari keluarga aristokrasi yang secara turun
temurun memegang peranan penting dalam politik Athena. Sejak usia 20 tahun,
Plato mengikuti pelajaran Sokrates dan pengaruhnya demikian kuat, sehingga
menjadi muridnya yang setia. Sampai akhir hidupnya, Sokrates tetap menjadi
pujaannya. Tidak lama setelah Sokrates meninggal, Plato pergi dari Athena. Mula-
mula ia pergi ke Megara, tempat Euklides mengajarkan filsafatnya. Dari Megara
pergi ke Kyrena, di sana ia memperdalam pengetahuannya tentang matematika
kepada Theodoros. Kemudian, ia pergi ke Italia Selatan dan terus ke Sirakusa. (Ajat
Sudrajat. 2021: 6)
Plato adalah murid Socrates yang sangat cerdas. Ajaran Sokrates adalah sangat
besar berpengaruh terhadap pemikiran Plato, ia adalah murid setia Socrates yang
banyak mewarisi tradisi keilmuan dan filsafat gurunya, malalui Plato pemikiran-

8
pemikiran Socrates dilestarikan, Socrates mempunyai kelemahan karena buah atau
hasil dari pemikirannya tidak ditulis dalam bentuk tulisan oleh Plato, adalah
kemudian Plato berinisiatif menulis semua pemikiran-pemikiran gurunya, melalui
karya Plato yang fenomenal diantarannya; dialog, republic, negara dan apologia.
(Yudi Widagdo. 2015: 50)
Karena tuduhan bahwa Plato berbahaya bagi kerajaan, Plato akhirnya
ditangkap dan dijual sebagai budak. Tetapi kemudian, Plato diselamatkan oleh
muridnya yang bernama Annikeris dengan cara dibelinya. Murid-murid Plato yang
ada di Athena mengumpulkan uang untuk menggantinya, tetapi Annikeris tidak
mau menerimanya. Akhirnya uang itu dibelikan sebidang tanah yang selajutnya
diserahkan kepada Plato. Di tanah itulah, dibangun rumah dan pondok-pondok.
Tempat itu kemudian diberi nama ‘Akademia’, yang di bawahnya tertulis “Orang
yang tidak tahu matematika jangan masuk ke sini’. Di tempat itulah, sejak usia 40
tahun, pada tahun 387 SM sampai meninggalnya dalam usia 80 tahun. Ia
mengajarkan filsafatnya dan mengarang tulisan yang terkenal sampai sekarang.
Intisari pemikiran filsafat Plato adalah pendapatnya tentang Idea. Konsep
‘pengertian’ yang dikemukakan Sokrates diperdalam oleh Plato menjadi idea. Idea
itu berbeda sekali dengan ‘pendapat orangorang’. Berlakunya idea itu tidak
bergantung kepada pandangan dan pendapat orang banyak. Idea timbul semata-
mata dari kecerdasan berpikir. ’Pengertian’ yang dicari dengan pikiran adalah idea.
Idea pada hakekatnya sudah ada. (Ajat Sudrajat. 2021: 6)
Berpikir dan mengalami menurut Plato adalah dua macam jalan yang berbeda
untuk memperoleh pengetahuan. Pengetahuan yang dicapai dengan berpikir lebih
tinggi nilainya dari pengetahuan yang diperoleh dengan pengalaman. Untuk
menggambarkan hubungan antara pikiran dan pengalaman, Plato menjelaskannya
dengan menyatakan adanya dua macam dunia, yaitu dunia yang kelihatan dan
bertubuh dan dunia yang tidak kelihatan dan tidak bertubuh. Dunia yang tidak
kelihatan dan tidak bertubuh adalah dunia idea, dunia imateril, tetap dan tidak
berubah-ubah. (Ibid: 7)
Semua pengetahuan adalah tiruan dari yang sebenarnya, yang timbul dalam
jiwa sebagai ingatan kepada dunia yang asal. Di sini jiwa sebagai ‘penghubung’

9
antara dunia idea dan dunia yang bertubuh. Segala pengetahuan adalah bentuk
daripada ingatan, demikian kata Plato. Dalam pekerjaan untuk memperoleh
pengetahuan dengan pengertian, jiwa bergerak selangkah demi selangkah ke atas,
ke dunia idea, dunia asalnya. Kerinduan jiwa untuk naik ke atas, ke tempat asalnya,
adalah suatu gerak filosofis, gerak Eros, gerak cinta. Cinta pada pengetahuan,
filosophia,menimbulkan tujuan untuk mengetahui.
Idea merupakan suatu kesatuan yang di dalamnya terdapat peringkatan derajat.
Idea yang tertinggi adalah idea kebaikan, disusul kemudian dengan idea keindahan.
Pemikiran etika Plato, sama dengan Sokrates, juga bersifat intelektual dan
rasional. Dasar ajarannya adalah mencapai budi baik. Budi adalah tahu, oleh karena
itu, orang yang berpengetahuan dengan sendirinya berbudi baik. Sebab itu,
sempurnakanlah pengetahuan dengan pengertian (Mudji Sutrisno dan Budi
Hardiman, 1992: 15).
Tujuan hidup adalah untuk mencapai kesenangan, tetapi kesenangan hidup di
sini bukanlah memuaskan hawa nafsu. Kesenangan hidup diperoleh dengan
pengetahuan yang tepat tentang nilai barangbarang yang dituju. Di bawah cahaya
idea kebaikan dan keindahan orang harus mencapai terlaksananya keadilan dalam
pergaulan hidup. Antara kepentingan orang-orang dan kepentingan masyarakat
tidak boleh ada pertentangan.
Peraturan yang menjadi dasar untuk mengurus kepentingan umum, menurut
Plato, tidak boleh diputus oleh kemauan atau pendapat orang seorang atau oleh
rakyat seluruhnya, melainkan ditentukan oleh suatu ajaran yang berdasarkan
pengetahuan dengan pengertian. Pemerintahan harus dipimpin oleh idea yang
tertinggi, yaitu idea kebaikan. Tujuan pemerintahan yang benar adalah mendidik
warga negara mempunyai budi. Manusia memperoleh budi yang benar hanya dari
pengetahuan, oleh karena itu ilmu harus berkuasa di dalam negara. Plato
mengatakan bahwa ‘kesengsaraan dunia tidak akan berakhir, sebelumfilosof
menjadi raja atau raja-raja yang filosof’.
Negara yang ideal harus berdasar pada keadilan. Keadilan adalah hubungan
antara orang-orang yang bergantung pada suatu organisasi sosial’. Sebab itu
masalah keadilan dapat dipelajari dari struktur masyarakat. Oleh karena struktur

10
masyarakat bergantung kepada kelakuan manusia, maka kelakuan manusia itulah
yang harus dibangun dan dibentuk melalui pendidikan. Negara, menurut Plato
adalah manusia dalam ukuran besar. Kita tidak dapat mengharapkan negara menjadi
baik, apabila kelakuan warga negara tidak bertambah baik. (Ajat Sudrajat. 2021: 8)
Konsep ketuhanan dalam filsafat Plato tidak mempunyai kedudukan yang jelas.
Meskipun Plato sering membicarakan atau menyinggung ‘Yang Ilahi’ dan
sekalipun tidak setuju dengan adanya dewa-dewi dalam mitologi Yunani, namun
paham tentang Allah Pencipta dan Yang Esa tidak begitu jelas. Filsafat plato hanya
menegaskan bahwa ‘idea-idea’ tentu saja merupakan tempat dimana ‘Yang Ilahi’
itu muncul. Oleh karena itu, manusia yang melalui filsafat berusaha mendekati
‘ideaidea’ itu, berarti mendekati ‘Yang Ilahi’ itu (Mudji Sutrisno dan Budi
Haediman,1992: 16).
Epistemologi mendapat bentuknya dalam sistem pemikiran Plato (427-347
SM). Filosof Yunani ini, bahkan disebut-sebut sebagai pencetus epistemologi atau
the real originator of epistemology, karena ia telah menguraikan masalah-masalah
mendasar tentang pengetahuan. Dalam menguraikan pemikiran tentang
epistemologi, Plato mengawalinya dengan menegaskan bahwa realitas itu tidak
berubah. Menurutnya, pengetahuan sejati adalah apa yang disebut epistem, yakni
pengetahuan tunggal dan tidak berubah sesuai dengan idea-idea abadi. Apa yang
nampak di dunia ini hanyalah “bayangan” dari yang baka. Bayangan yang
bermacam-macam dan selalu berubah, sehingga kebenaran menurut Plato bersifat
apriori. Pandangan ini ingin menentukan apa kiranya yang mendahului adanya
segala kenyataan itu? Bagi Plato, benda indrawi bukanlah objek pengetahuan, tapi
objek opini. Juga pencerapan indrawi bukanlah pengetahuan, melainkan sekedar
opini, karena selalu dalam perubahan dan kemungkinan salah. (Nunu Burhanuddin.
2015: 236)
Aristoteles adalah seorang filosof Yunani murid dari Plato selama 20 tahun dan
guru Alexander Agung. Ia menulis beberapa karya dalam bidang fisika, metafisika,
puisi, logika, retorika, politik, pemerintahan, biologi dan zoologi. Namanya cukup
dikenal dalam dunia filsafat, baik di Timur maupun di Barat, karena ia bersama dua

11
filosof Yunani lainnya Sokrates dan Plato cukup berpengaruh di pemikiran Barat.
(Kholili Hasib. 2019: 24)
Aristoteles lahir di Stageria di Semenanjung Kalkidike, Trasia (Balkan) pada
tahun 384 SM., dan meninggal di Kalkis pada tahun 322 SM., di usianya ke-63.
Bapaknya adalah seorang dokter dari raja Macedonia, Amyntas II. Sampai usia 18
tahun ia mendapatkan pendidikan langsung dari ayahnya tersebut. Setelah sang
ayah meninggal, Aristoteles pergi ke Athena dan berguru kepada Plato di
Akademia. 20 tahun lamanya ia menjadi murid Plato. Ia rajin membaca dan
mengumpulkan buku sehingga Plato memberinya penghargaan dan menamai
rumahnya dengan ‘rumah pembaca’. (Ajat Sudrajat. 2021: 10)
Aristoteles adalah murid Plato di akademi, dikenal sebagai pemikir empiris-
realis berbeda dengan Plato yang berfikir utopis dan idealis. Ada yang berpendapat
pemikiran Aristoteles adalah bentuk protes terhadap pemikiran dan gagasan Plato.
(Yudi Widagdo. 2015: 55)
Aristoteles memiliki pandangan yang lebih realis daripada Plato.
Pandangannya ini merupakan akibat dari pendidikan orang tuanya yang
menghadapkannya kepada bukti dan kenyataan. Aristoteles terlebih dahulu
memandang kepada yang kongkrit, yang nyata. Ia mengawalinya dengan fakta-
fakta, dan fakta-fakta tersebut disusunnya menurut ragam dan jenis atau sifatnya
dalam suatu sistem, kemudian dikaitkannya satu sama lain. (Ajat Sudrajat. 2021:
10)
Aristoteles pada fase berikutnya menolak dan menyanggah dengan tegas
pandangan Plato dan Socrates beserta pendahulunya yang mengikuti filsafat
ketuhanan sehingga ia keluar dari ruang lingkup mereka. Hanya sayangnya, dalam
filsafatnya, ia masih menyisakan beberapa hal kecil yang setidaknya masih
mengandung indikasi kekufuran yang belum dapat ia lepaskan. (Ahmad Atabik.
2014: 29)
Aristoteles terkenal sebagai ‘bapak’ logika. Logika tidak lain dari berpikir
secara teratur menurut urutan yang tepat atau berdasarkan hubungan sebab dan
akibat. Ia sendiri memberi nama model berpikirnya tersebut dengan nama
‘analytica’, tetapi kemudian lebih populer dengan dengan sebutan ‘logika’. Intisari

12
dari ajaran logikanya adalah silogistik, atau dapat juga digunakan kata ‘natijah’
daalam bahasa Arab. Silogistik maksudnya adalah ‘uraian berkunci’, yaitu menarik
kesimpulan dari pernyataan yang umum atas hal yang khusus, yang tersendiri. (Ajat
Sudrajat. 2021: 10).
Aristoteles, seperti halnya Plato, berusaha mendamaikan dan mengatasi
pertentangan pemikiran Herakleitos dan Parmenides tentang kualitas yang “ada”.
Namun berbeda dengan Plato, Aristoteles justru berpangkal pada dunia indrawi
yang serba berubah, yang satu per satu dan konkret, sebagai realitas utama. Dunia
idea terbentuk dari realitas indrawi yang bermacammacam. Realitas yang berubah
inilah yang merupakan realitas sejati. Bagi Aristoteles, “ada” atau ousia dalam arti
sebenarnya hanya dimiliki oleh benda-benda konkret. Menurut Aristoteles, yang
sungguh-sungguh ada bukanlah yang umum karena yang umum itu hanyalah nama
atau sebutan belaka.
Contohnya, tentang manusia; yang sejatinya ada itu si Joko, Bambang, Parti,
Endang, Prapto, dan seterusnya, yang satu per satu real, individual, berbeda dan
bermacam-macam; sedangkan kemanusiaan (idea, yang umum) itu hanya abstraksi
saja, tidak real, dan hanya ada di dalam pikiran saja. Bagi Aristoteles, di luar benda-
benda yang konkret, dan di sampingnya, tidak ada sesuatu yang berada. Aristoteles
menegaskan, bahwa “ada” yang bersifat umum dan tetap terdapat di dalam benda-
benda konkret dan bersamasama dengan benda yang konkret itu. Jelaslah, bahwa
pemikiran filosofis Aristoteles pertama-tama diarahkan kepada dunia empirik.
(Budi Mulyono. ----: 8)
Aristoteles membagi logika dalam tiga bagian, yaitu mempertimbangkan,
menarik kesimpulan, dan membuktikan atau menerangkan. Suatu pertimbangana
itu ‘benar’, apabila isi pertimbangan itu sepadan dengan keadaan yang nyata.
Pandangan ini sepadan dengan pendapat Sokrates yang menyatakan bahwa ‘buah
pikiran yang dikeluarkan itu adalah gambaran dari keadaan yang objektif’.
Menarik kesimpulan atas yang satu dari yang lain dapat dilakukan dengan dua
jalan. Pertama, dengan jalan silogistik, atau disebut juga apodiktik, atau deduksi.
Kedua, menggunakan cara epagogi atau induksi. Induksi bekerja dengan cara

13
menarik kesimpulan tentang yang umum dari pengetahuan yang diperoleh dalam
pengalaman tentang hal-hal yang individuil atau partikular.
Menurut Aristoteles, realitas yang objektif tidak saja tertangkap dengan
‘pengertian’, tetapi juga sesuai dengan dasar-dasar metafisika dan logika yang
tertinggi. Dasar metafisika dan logika tersebut ada tiga. Pertama, semua yang benar
harus sesuai dengan ‘adanya’ sendiri. Tidak mungkin ada kebenaran kalau di
dalamnya ada pertentangan. Keadaan ini disebut sebagai hukum identika. Kedua,
apabila ada dua ‘pernyataan’ tentang sesuatu, di mana yang satu meng’ia’kan dan
yang lain menidakkan, tentu hanya satu yang benar. Keadaan ini disebut hukum
penyangkalan. Ketiga, antara dua pernyataan yang bertentangan ‘mengiakan dan
meniadakan’, tidak mungkin ada pernyataan yang ketiga. Keadaan ini disebut
hukum penyingkiran yang ketiga.
Metafisika Aristoteles berpusat pada persoalan ‘barang’ (materi) dan ‘bentuk’.
‘Barang’ atau ‘materi’ dalam pengertian Aristoteles berbeda dengan pendapat
umum tentang materi. Barang adalah materi yang tidak mempunyai ‘bangun’,
substansi belaka, yang menjadi pokok segala-galanya. ‘Bentuk’ adalah
‘bangunnya’. Barang atau materi tidak mempunyai sifat yang tertentu, karena tiap-
tiap penentuan kualitatif menunjukkan bentuknya.
Aristoteles berpendapat bahwa segala yang terjadi di dunia ini adalah suatu
perbuatan yang terwujud karena Tuhan Pencipta alam. Selain itu, bahwa tiap-tiap
yang hidup di ala mini merupakan suatu organism yang berkembang masing-
masing menurut suatu gerak-tujuan. Alam tidak berbuat dengan tidak bertujuan.
Oleh karena itu, Aristoteles dipandang sebagai pencetus ajaran tujuan, teleologi.
Aristoteles dengan pandangannya ini telah meletakkan dasar bagi ‘prinsip
perkembangan (Ajat Sudrajat. 2021: 12).

C. Kesimpulan
Kemunculan sains di Eropa dan dunia pada umumya seringkali merujuk
kepada perkembangan pemikiran rasional yang bermula dari para filosof negara-
negara kota Yunani di akhir aba ke-5 dan ke-6 sM. Pada masa itu banyak lahir

14
pemikir-pemikir yang pada kemudian hasi menjadi rujukan bagi ilmuwan di dunia
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Diantara banyak ilmuwan yang berasal dari Yunani adalah Socrates, Plato dan
Aristoteles. Ketiga tokoh ini memiliki sumbangan pemikiran yang signifikan dalam
perkembangan ilmu di berbagai bidang kehidupan manusia.
Socrates membantah ajaran kaum Sofis yang mengatakan bahwa ‘kebenaran
yang sebenarnya tidak akan tercapai’. Oleh karena itu, tiap-tiap pendirian dapat
dibenarkan dengan jalan ‘retorika’. Apabila orang banyak sudah setuju, maka
dianggap sudah benar. Dengan cara begitu pengetahuan menjadi dangkal. Cara
inilah yang ditentang Sokrates. Tanya jawab adalah jalan untuk memperoleh
pengetahuan. Itulah permulaan dialektik.
Sokrates mencari kebenaran dengan cara Tanya jawab, yang kemudian
dibulatkan dengan pengertian, maka jalan yang ditempuhnya adalah metode
induktif dan definisi. Induksi yang dimaksudkan Sokrates adalah
memperbandingkan secara kritis. Ia tidak berusaha mencapai yang umumnya dari
jumlah satu-satunya; ia mencari persamaan dan diuji pula dengan saksi dan lawan
saksi. Begitulah Sokrates mencapai pengertian. Dengan melalui induksi sampai
pada definisi. Definisi yaitu pembentukan pengertian yang bersifat dan berlaku
umum. Induksi dan definisi menuju pengetahuan yang berdasarkan pengertian.
Intisari pemikiran filsafat Plato adalah pendapatnya tentang Idea. Konsep
‘pengertian’ yang dikemukakan Sokrates diperdalam oleh Plato menjadi idea. Idea
itu berbeda sekali dengan ‘pendapat orangorang’. Berlakunya idea itu tidak
bergantung kepada pandangan dan pendapat orang banyak. Idea timbul semata-
mata dari kecerdasan berpikir. ’Pengertian’ yang dicari dengan pikiran adalah idea.
Idea pada hakekatnya sudah ada.
Aristoteles membagi logika dalam tiga bagian, yaitu mempertimbangkan,
menarik kesimpulan, dan membuktikan atau menerangkan. Suatu pertimbangana
itu ‘benar’, apabila isi pertimbangan itu sepadan dengan keadaan yang nyata.
Pandangan ini sepadan dengan pendapat Sokrates yang menyatakan bahwa ‘buah
pikiran yang dikeluarkan itu adalah gambaran dari keadaan yang objektif’.

15
Menarik kesimpulan atas yang satu dari yang lain dapat dilakukan dengan dua
jalan. Pertama, dengan jalan silogistik, atau disebut juga apodiktik, atau deduksi.
Kedua, menggunakan cara epagogi atau induksi. Induksi bekerja dengan cara
menarik kesimpulan tentang yang umum dari pengetahuan yang diperoleh dalam
pengalaman tentang hal-hal yang individuil atau partikular.

16
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ajat Sudrajat. 2021. Sejarah Pemikiran Antara Dunia Islam Dan Barat.
Yogyakarta: UNY

Abdullah, Hamid dan Mulyono. 1985. Sejarah Kebudayaan Barat dan


Perkembangan Pemikiran Modern. Semarang: BP UNDIP

Asmoro Hadi, 2013, Filsafat Umum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Pesada.

Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebeni, 2008, Filsafat Umum Dari Metologi
sampai Teofilosofi, Bandung: Pustaka Setia.

Drs. Mulyono, M.Hum.. 2005. Sejarah Pemikiran Modern. -------: Universitas


Terbuka.

K. Bertens. 2005. Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius

Muhammad Anas. 2018. Rekonstruksi Epistemologi Ilmu Pengetahuan. Malang:


Universitas Brawijaya Press (UB Press)

Jurnal

Muh. Idris. Hegemoni Filsafat Yunani Dalam Pemikiran Pendidikan Islam. ------

Yudi Widagdo, Hukum Kekuasaan Dan Demokrasi Masa Yunani Kuno, Journal
Diversi, Volume 1, Nomor 1, April 2015 : 1-113

Nunu Burhanuddin, Pemikiran Epistemologi Barat: dari Plato Sampai Gonseth.


Intizar, Vol. 21, No. 1, 2015

Fahriansyah. Antisofisme Socrates. Al ‘Ulum Vol.61 No.3 Juli 2014 halaman 24-
29

Jon Pamil, Transformasi Filsafat Yunani Ke Dunia Islam Dan Kemunculan Filsafat
Islam, Jurnal Pemikiran Islam; Vol. 37, No. 2 Juli-Desember 2012

M. Sidi Ritaudin, Mengenal Filsafat Dan Karakteristiknya, Kalam: Jurnal Studi


Agama dan Pemikiran Islam, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015

Ahmad Atabik, Telah Pemikiran Al-Ghazali Tentang Filsafat, Fikrah, Vol. 2, No.
1, Juni 201426

17
Alim Roswantoro, Filsafat Sosial-Politik Plato dan Aristoteles, Refleksi, Vol. 5,
No. 2, Juli 2015

Muhammad Aziz, Tuhan Dan Manusia Dalam Perspektif Pemikiran Abu Nasr Al-
Farabi, Jurnal Studi Islam, Volume 10, No. 2 Desember 2015

Kholili Hasib, Manusia dan Kebahagiaan: Pandangan Filsafat Yunani dan Respon
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Tasfiyah, Vol. 3, No. 1, Februari 2019,
hlm. 21-40

Aprilinda Matondang Harahap, M. Ag., Metode Filosof Yunani Menemukan


Tuhan, -----

Johannes Hasibuan, Filsafat Aristoteles, Plato, Socrates, ----

Muhammad Azhar, Filsafat Plato: Tentang ldea, Hermeneutika dan Internet, Jumal
ldea, Edisi 5, Tahun l4l9/1999

Internet :

https://nalarpolitik.com/gang-three-socrates-plato-dan-aristoteles/. Diakses pada Minggu,


14 Februari 2021, pukul 16.35 WIB

18
PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

Oleh: Nuzu Chairu Akbar


NIM. 20418251002

A. Pendahuluan
Islam merupakan agama yang mendorong dan mendukung perkembangan
pemikiran. Hal ini banyak dinyatakan oleh kitab suci al-Qur’an yang mengajak
manusia untuk berpikir dan mengkaji alam sekitar dengan menggunakan rasio.
Kondisi ini mengantarkan umat Islam untuk selalu memupuk kebiasaan berfikir
sehingga melahirkan filosof dan saintis Muslim khususnya sebelum abad 14
Masehi, seperti al-Farabi, al-Kindi, dan Ibnu Sina. Kendatipun para filosof itu
banyak mengkaji dan menganalisis filsafat Yunani yang tidak di transfer ke
dunia Islam, namun pemikiran dan filsafat tetap akan muncul di dunia Islam,
karena ajaran Islam senantiasa mendorong umatnya menuju ke arah itu , dan
mendukung perkembangan pemikiran. Para filosof Muslim sangat
mementingkan permasalahan ini. Bahkan dalam pembahasan para Mutakallimin
sangat jelas akan pembahasan mereka tentang Tuhan, seperti bagaimana
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, bagaimana keadilan Tuhan, perbuatan-
perbuatan Tuhan, dan sifat-sifat Tuhan.
Sebagaimana diketahui, sebelum filsafat Islam lahir telah terdapat berbagai
alam pikiran di timur dan barat.Di antaranya adalah pikiran Mesir kuno,
Babylonia, Persia, Cina dan Yahudi. Namun dari pikiran-pikirann tersebut yang
dominan berhubungan dengan dunia Muslim adalah alam pikiran Yunani,
walaupun pikiran Persia dan India juga banyak memberikan sumbangan.
Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa filsafat Yunani yang sampai ke tangan
kaum Muslim bukanlah murni filsafat Yunani, melainkan sudah melewati
pemikiran Romawi yang sudah sudah melewati pemikiran Romawi yang sudah
pengertian pemahaman yang bukan datang dari Tuhan telah menimbulkan
revolusi intelektual yang demikian besar dampaknya pada masa itu maupun
terhadap konsep-konsep selanjutnya.

19
Hampir dapat dipastikan bahwa produk intelek,baik itu pada masa awal
pengaruh masuk dan diterima maupun pada sebagian besar pemikiran muslim
sesudahnya bertumpu pada pengaruh rasional. Didalam ajaran agama yang di
wahyukan semisal Islam,ada dua jalan untuk memproleh pengetahuan, pertama
jalan wahyu dalam artian komunikasi dari Tuhan kepada manusia, dan yang
kedua adalah akal, yang dianugrahkan Tuhan kepada manusia dengan memakai
kesan-kesan yang diproleh panca indra.

Realita sejarah menunjukkan, sejak wafatnya Nabi Muhammad,


muncullah kekhawatiran dari Abu Bakar tentang penggantinya nanti jika
dimusyawarahkan dalam forum terbuka. Hal tersebut diperkirakan akan
mengundang perpecahan karena masyarakat Islam pada waktu itu dipandang
belum cukup matang untuk diajak menyelesaikan masalah-masalah seperti
penentuan kepala negara yang bebas dan terbuka. Karena Nabi Muhammad
dahulu merupakan pemimpin tunggal dengan otoritas yang berdasarkan
kenabian dan bersumber pada wahyu, serta bertanggung jawab atas segala
tindakan beliau kepada Tuhan semata, maka tidaklah demikian yang terjadi
terhadap posisi khalifah pengganti beliau. Hubungan mereka dengan rakyat
atau umat berubah menjadi suatu kesepakatan atau ‘kontrak sosial’ yang
masing-masing memberikan hak dan kewajiban atas dasar timbal balik.. hanya
suatu saat nanti akan menjadi tokoh terkemuka dalam dunia perpolitikan Islam,
seperti halnya Al-Farabi dengan konsepnya yang sama dengan “Negara
Sempurna” Plato atau Muhammad Abduh yang menganut pemikiran
sekularistik, tapi jelas yang diharapkan bukan pemikiran-pemikiran yang
sifatnya mem-plagiat pendapat orang lain ataupun yang keluar dari koridor
Islam, melainkan bentuk pemikiran( Triono: 32).

B. Pembahasan
A. Proses Pergantian Khalifah
Khalifah adalah lembaga pemerintahan dalam islam yang dipimpin oleh
penguasa islam, Secara bahasa berarti perwakilan. Khalifah berarti orang yang
menggantikan kedudukan orang lain dan seseorang yang mengambil alih temat

20
orang lain (Arifin Zain: 2019: 42) Sebagai agama yang paripurna, Islam telah
menggariskan hukum untuk dijalankan oleh umatnya. Dalam upaya untuk
membangun masyarakat di atas nilai-nilai Islam, seharusnya umat Islam
memakai hukum tata negara yang islami. Hanya saja, hukum tata negara yang
islami, kajian maupun sosialisasi masalah ini amatlah minim dilakukan. Jika
ada sebagian negara yang menerapkan hukum Islam, itupun tidak sepenuhnya
hasil adopsi dari al-Qur’an maupun sunah Rasul.

Proses Pergantian Khalifah Seperti diketahui pengganti (khalifah) Nabi


Muhammad saw sebagai kepala negara secara berturut-turut adalah Abu Bakar
al-Shiddiq, Umar ibn al-Khattab, Usman ibn al-Affan, dan Ali ibn Abi Thalib.
Keempat orang khalifah ini dalam diskursus Islam dikenal dengan sebutan
alKhulafa al-Rasyidin. Ada keunikan yang bisa ditemukan dalam proses
suksesi (pergantian) dari satu khalifah ke khalifah yang lain dalam periode ini.
Abu Bakar al-Shidiq, khalifah pertama, mendapatkan baiat (pengakuan)
sebagai khalifah pada hari kedua wafatnya Nabi Muhammad saw(Ajat
Sudrajat, 2021: 16)

Sistem pemerintahan Islam yang ada pada masa awal perkembangan Islam
(Masa Nabi Muhammad) dapat menciptakan masyarakat yang berkeadaban
yang pada mulanya berpola pikir jahiliyyah. Nabi Muhammad Saw berperan
sebagai pemimpin yang tidak dapat di bantah (Unguestionable Leader) bagi
negara Islam yang baru lahir pada masa itu.

Abu Bakar menerima bai’at secara umum di masjid Nabawi.


Memperhatikan Bai’at Saqifah sepertinya tidak representatif, karena tidak
melibatkan sahabat-sahabat senior baik dari kalangan Muhajirin atau Anshar.
Pertemuan itu tidak melibatkan Ali ibn Abi Thalib, Usman ibn Affan,
Abdurrahman ibn Auf, Zubair ibn Awwam, Sa’ad ibn Abi Waqash, Thalhah
ibn Ubaidillah dan lain-lain. Tetapi ketidakikutertaan mereka bukanlah hal
yang disengaja, melainkan karena keadaan genting dan mendesak, sehingga
memerlukan tindakan yang cepat dan tegas. Para sahabat senior ini kemudian
satu persatu membaiat Abu Bakar sebagai khalifah.

21
Sesudah khalifah abu bakar memimpin, selanjutnya kepemimpinan
dipimpin oleh Umar Bin Khattab. Pemilhan Umar bin Khattab berbeda dengan
pemilihan Abu Bakar yaitu dipilihnya umar merupakan wasiat dari khalifah
sebelumnya yaitu khalifah abu bakar. Ketika abu bakar jatuh sakit, umar selalu
ditujun menjadi pengganti imam shalat. Pengangkatan Umar bin Khattab
merupakan fenomena baru yang berbeda dengan proses pengangkatan
sebelumnya dengan melewati perdebatan yang sangat keras.

Umar diangkat melalui rekomendasi atau wasiat dari khalifah sebelumnya


yakni Abu Bakar. Walaupun melalui rekomendasi tetap saja Abu Bakar
memusyawarahkan keputusannya tersebut kepada para sahabat. Sahabat yang
terlibat adalah Abdul Rahman bin Auf, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi
Tholib. Abu Bakar menanyakan kepada Abdurrahman tentang Umar, menurut
Abdurrahman, Umar adalah orang yang mempunyai pandangan terbaik, namun
Umar terlalu keras. Kemudian Abu Bakar menanyakan hal yang sama terhadap
Utsman. Menurut Utsman, Umar adalah orang yang mempunyai isi hati yang
baik dibandingkan dengan lahiriahnya dan tidak ada orang yang sepertinya di
kalangan umat Islam. Selanjutnya Abu Bakar menanyakan kepada Ali, Ali
berpendapat bahwa Umar adalah orang yang keras, Abu Bakar mengatakan
bahwa setelahku butuh orang yang keras.

Sedangkan dalam pemiliahan Usman Bin Affan menjadi khalifah dimulai


dari penunjukan yang dilakukakn oleh umar dengan 5 sahabat nabi lainnya.
Sedangkan pemilihan Utsman Ibn Affan sebagai pengganti Umar melalui
musyawarah ahlul halli wal aqdi (dewan pemilih) yang ditunjuk oleh Umar.
Kepemimpinan Khulafaur Rasyidin cenderung mengutamakan orang- orang
terdekat dengan Muhammad serta memiliki tingkat keimanan dan keshalehan
yang tinggi.

Sementara Ali Ibn Abi Thallib diangkat menjadi khalifah melalui


perebutan kekuasaan dengan Muawiyyah. Ali bin Abi Thalib (nama Abu Thalib
sendiri Abdu Manaf) ibn Abdul Muthallib (namanya adalah Syaibah) ibn
Hasyim (namanya adalah Amr) ibn Abdi Manaf (namanya adalah Mughirah)

22
ibn Qusyhai (namanya aslinya adalah Zaid) ibn kilab ibn Murrah ibn Ka’ab ibn
Lu’ay ibn Ghalib ibn Fihr Malik ibn kinanah. Ali adalah satu dari sepupu orang
yang mendapat jaminan dari Rasulullah Saw untuk masuk surga. Ia adalah
saudara Rasulullah sewaktu terjadi Mu’akhat (jalinan ukhuwah dari Madinah).
Ali adalah juga menantu Rasulullah Saw karena ia menikahi putri beliau,
Fatimah, pemimpin perempuan sedunia. Ali adalah salah satu ulama
Rabbaniyyin, seorang pejuang yang gagah berani, seorang zuhud yang terkenal
ia seorang orator ulung. Ia adalah diantara penghimpun alQuran dan ia bacakan
dihadapan Rasulullah Saw.

Baiat terhadap Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah berjalan dengan suka
rela dari kaum muslimin, hal itu berlangsung setelah terjadi pembunuhan
terhadap Khalifah Utsman oleh tangan-tangan kotor para pemberontak yang
datang dari berbagai penjuru daerah, sehingga peristiwa tersebut
menghantarkan sang Khalifah Rasulullah itu syahid menghadap Allah Swt.

Dengan demikian kekhalifahan Ali sudah berlangsung secara benar,


sempurna dan sesuai dengan prinsip yang mendasari tegaknya khilafah. Ali
tidak menguasai pemerintahan dengan kekuatan dan tidak dengan
mencurahkan tenaga sedikit pun untuk mencapai kedudukan Khalifah. Ia telah
dipilih oleh orang banyak dengan cara musyawarah yang bebas dan dibai’at
oleh mayoritas yang besar kemudian diakui oleh seluruh daerah kecuali daerah
Syam.

B. Perbedaan pendapat tentang Imamah dan khilafah

Khilafah menurut Ibn Khaldun adalah tanggung jawab umum yang


dikehendaki oleh peraturan syariat untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan
akhirat bagi umat dengan merujuk kepadanya. Karena kemaslahatan akhirat
adalah tujuan akhir, maka kemaslahatan dunia seluruhnya harus berpedoman
kepada syariat. Hakikatnya, sebagai pengganti fungsi pembuat syariat
(Rasulullah SAW) dalam memelihara urusan agama dan mengatur politik
keduniaan.10 Pengertian ini sinonim pula dengan imamah secara istilah.

23
Imamah adalah “kepemimpinan menyeluruh yang berkaitan dengan urusan
keagamaan dan urusan dunia sebagai pengganti fungsi Rasulullah SAW.

Secara historis intitusi khilafah muncul sejak terpilihnya Abu Bakar


sebagai pengganti Rasulullah dalam memimpim umat Islam sehari setelah
beliau wafat. Kemudian setelah Abu Bakar wafat berturut-turut terpilih Umar
bin Khattab, Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dalam kedudukan yang
sama.

Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam menjalankan


pemerintahan, kekuasaan, dan penerapan hukum-hukum syariah. Hal itu karena
Islam telah menjadikan pemerintahan dan kekuasaan sebagai milik umat. Untuk
itu diangkatlah seseorang yang melaksanakan pemerintahan sebagai wakil dari
umat. Allah telah mewajibkan kepada umat untuk menerapkan seluruh hukum
syariah. seorang khalifah ketika menduduki jabatannya ia harus mendapat
bai’at dari masyarakat Muslim. Masyarakat Muslim memberikan dan
menyatakan kepatuhannya kepada khalifah, dan khalifah berjanji akan
memerintah sesuai dengan syariat Islam. Khalifah cenderung ke politik dan tata
Negara sedangkan imamah merupakan berkaitan erat dengan sifat dan agama.

Imamah cenderung sering dikemukakan oleh kelompok Syiah , mereka


beranggapan bahwa kepala negara bukanlah hak tiap orang Islam, seperti
dikemukakan kaum Khawarij, bahkan tidak juga merupakan hak setiap suku
Quraisy, seperti dikemukakan Ahlu Sunnah. Dalam pendapat kaum Syi’ah,
imamah (jabatan kepala negara) adalah hak monopoli Ali ibn Abi Thalib dan
keturunannya. Perlu ditegaskan bahwa nama yang dipakai oleh golongan
Syi’ah untuk kepala negara adalah Imam. Imamah yang dikedepankan oleh
golongan Syi’ah ini mempunyai bentuk kerajaan dan turun-temurun dari bapak
ke anak, seterusnya ke cucu dan demikian selanjutnya. Dalam pendapat
mereka, yang berhak menggantikan Nabi Muhammad saw sebagai kepala
negara adalah anak beliau. Tetapi karena Nabi Muhammad saw tidak
mempunyai anak lakilaki yang hidup, maka jabatan itu seharusnya jatuh kepada
anggota keluarganya yang paling dekat.

24
Pengertian Imamah dalam madzhab pemikiran Syi‟ah adalah
kepemimpinan dan revolusioner yang bertentangan dengan rezim-rezim politik
lainnya, guna membimbing manusia serta membangun masyarakat di atas
pondasi yang benar dan kuat, yang bakal mengarahkan menuju kesadaran,
pertumbuhan dan kemandirian dalam mengambil keputusan. Kaum Syi‟ah
memandang adanya Imamah dalam suatu wilayah sangat penting. Karena hal
ini menyangkut prinsip agama dan turut menentukan status seseorang disebut
sebagai pengikut Syi‟ah atau tidak.

C. Pemikiran Politik Islam pada masa klasik dan pertengahan


Ciri umum pemikiran politik islam pada masa klasik dan pertengahan
ditandai dengan pandangan tentang pemerintahan yang terpusat pada khalifah.
Khalifah atau kepala Negara memiliki peranan penting dan memiliki kekuasaan
yang sangat luas.

Pemikiran politik pada saat itu juga dipengaruhi oleh legitimasi suku
quraisy ebagai satu-satunya pihak yang berhak memgang kekuasaan
(Khalifah). Dominasi Quraisy demikian bersumber dari sabda Nabi
Muhammad SAW yang menyatakan kepemimpinan islam harus berasal dari
suku Quraisy ( Mulyono ).

Konsep ilmu pengetahuan yang dahulu hanya diciptakan oleh orang yunani
telah sampai ke dunia islam, ia dipelajari oleh bangsa arab sehingga menjadi
salah satu bagian dar kebudayaan islam dan memgang peranan penting dalam
peradaban islam dan juga dalam filsafat sejarah. Pemikiran islam dahulu juga
masuk dalam bidang politik tata Negara sehingga menghasilkan beberapa
pemikir- pemikir yang terkenal dalam dunia filsafat. (Rustam Tamburaka:
2002: 186).

Para pemikiran Barat ada yang beranggapan bahwa peradaban Islam tidak
memiliki pemikiran politik apa pun. Pendapat yang demikian tentu merupakan
kesalahan yang besar dan tidak berdasar sama sekali. Sebab, orang- orang
Eropa pada abad ke-16 dan abad ke-17 tidak mengetahui secara baik
karakteristik atau tipikalitas pemikiran politik dalam dunia Islam. Berikut ini

25
sejumlah pemikir dan penulis Muslim yang memfokuskan tulisannya di bidang
politik.

1. Ibn Abi Rabi’ (w. 885 M)

Pemikirn politik yang di kemukakan oleh ibn Abi Rabi’, Ibn Abi Rabi’
mengemukakan pendapat tentang politik dalam dunia islam yaitu dalam
pada itu ia juga berpendapat bahwa yang pantas memerintah atau
memimpin negara adalah orang yang termulia di negara tersebut.

Alasannya adalah karena seseorang yang bisa melarang atau


memerintah warga lain haruslah orang yang dapat memberikan contoh
terlebih dahulu.

Menurut Ibn Abi Rabi, khalifah harus memiliki persyaratan sebagai


berikut:

a) Harus anggota dari keluarga raja, dan mempunyai hubungan


nasab yang dekat dengan raja sebelumnya.
b) Aspirasi yang luhur, yang diperoleh melalui pendidikan etika
dan penguasaan terhadap sifat pemarah.
c) Pandangan yang mantap dan kokoh yang diperoleh melalui
penelitian dan pembelajaran terhadap kepemimpinan para
raja sebelumnya.
d) Ketahanan dalam menghadapi kesukaran atau tantangan,
yang dapat diperlihatkan dengan keberanian dan kekuatan.
e) Kekayaan yang besar. Ia dapat memperolehnya dengan cara
menerapkan keadilan bagi rakyat dan terus bekerja dalam
memakmurkan kerajaan. Kekayaan dapat menyebabkan
pemerintahan tetap eksis.
f) Pembantu-pembantu yang setia. Untuk tetap
mempertahankan kesetiaan mereka, ia harus bersikap
lembut dan memperhatikan kebutuhannya. Merekalah yang
menjadikan posisi raja menjadi kuat. (Sudrajat . 2021:25).

26
2. Al-Farabi

Nama lengkapnya adalah Abu Nasr, Muhammad Ibnu Muhammad,


Ibn Tarkhan, Ibnu Uzlag Al-Farabi. Ia adalah Filsuf Islam keturunan
Turki. Al Farabi seringkali menafsirkan ke berbagai buku secara
logika(Rustam Tamburakai . 2002: 197).

Ia juga terkenal akan kemampuan berbagai macam ilmu yang dia


pelajari, Al- Farabi seringkali memandang filsafat secara utuh. Al- Farabi
merupakan perpaduan Aristoteles dan Plato yang digabungkan ke dalam
pemikiran islam. Filsafat Politik seringkali digabungkan dengan yang
namanyaMoral sehingga menciptakan gambaran yang diterima
masyarakat. Karya Al-Farabi yang berhubungan dengan masyarakat
antara lain:

a. Al-Siyasah Al- Madaniyah


b. Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah

Menurut Al-Farabi tidak semua warga negara mampu


dan dapat menjadi kepala negara. Warga bisa menduduki jabatan
kepala Negara sebagai berikut:

g) Harus anggota dari keluarga raja, dan mempunyai hubungan


nasab yang dekat dengan raja sebelumnya.
h) Aspirasi yang luhur, yang diperoleh melalui pendidikan etika
dan penguasaan terhadap sifat pemarah.
i) Pandangan yang mantap dan kokoh yang diperoleh melalui
penelitian dan pembelajaran terhadap kepemimpinan para
raja sebelumnya. utama adalah anggota masyarakat atau
manusia yang paling sempurna. Dan ini tentu harus dari
kelas yang tertinggi. Kepala negara bagi negara utama itu
haruslah seorang pemimpin yang arif dan bijaksana. Oleh
karena itu pemimpin negara itu bolehlah dari kalangan
filosof yang telah mendapatkan kearifan melalui pikiran dan

27
rasio, atau seorang nabi yang mendapatkan kebenaran
melalui wahyu. mensyaratkan dua belas kriteria bagi
seorang kepala negara( Ajat Sudrajat, 2021: 27):
1. Lengkap anggota badannya;
2. Baik daya pemahamannya;
3. Tinggi intelektualitasnya;
4. Pandai mengemukakan pendapatnya dan mudah
dimengerti uraiannya;
5. Pencita pendidikan dan gemar mengajar;
6. Tidak loba atau rakus dalam hal makanan, minuman
dan wanita;
7. Pencinta kejujuran dan pembenci kebohongan;
8. Berjiwa besar dan berbudi luhur;
9. Tidak memandang penting kekayaan dan
kesenangankesenangan duniawi yang lain;
10. Pencinta keadilan dan pembenci perbuatan zalim;
11. Tanggap dan tidak sukar diajak menegakkan keadilan
dan sebaliknya sulit untuk melakukan atau menyetujui
tindakan keji dan kotor; dan
12. Kuat pendirian terhadap hal-hal yang menurutnya
harus dikerjakan, penuh keberanian, tinggi
antusiasme, bukan penakut dan tidak berjiwa lemah
atau kerdil.
3. Al Mawardi

Nama lengkap al-Mawardi adalah Abu Hasan Ali ibn Habib


alMawardi al-Bashri (364H/975M-450H/1059M). dilahirkan di Irak. Al-
Mawardi sebagaimana para pendahulunya, berpendapat bahwa manusia
adalah amkhluk sosial secara alami. Menurutnya, manusia membutuhkan
orang lain karena tidak mungkin dapat memenuhi semua kebutuhannya
sendirian. Al-Mawardi seringkali mengemukakan tentanh konsep

28
Imamah. Dalam konsep bernegara, ada enam sendi utama yang
dibutuhkan oleh negara

a. Agama yang dihayati. Agama diperlukan untuk


pengendali hawa nafsu dan pengawas secara
melekat atas hati nurani manusia. Agama
merupakan sendi paling utama bagi negara.
b. Pemimpin yang berwibawa. Dengan kewibawannya,
ia dapat menyatukan berbagai aspirasi yang berbeda-
beda, menata negara demi mencapai cita-cita luhur,
memelihara agama, dan menciptakan sumber
penghidupan. Pemimpin negara adalah imam atau
khalifah.
c. Keadilan yang menyeluruh. Keadilan ini hendaknya
dimulai dari sikap adil terhadap diri sendiri, dan baru
terhadap orang lain. Keadilan ini meliputi keadilan
terhadap bawahan, keadilan terhadap atasan, dan
keadilan terhadap mereka yang setingkat.
d. Keamanan semesta. Menciptakan suasana aman dan
nyaman bagi semua warga dan tidak dihinggapi oleh
adanya rasa takut. Keamanan yang demikian akan
berkembang inisiatif dan daya kreatif.
e. Kemkmuran sandang-pangan. Kemakmuran
merupakan sendi utama bagi kesejahteraan negara.
Oleh karena itu, penguasa harus menciptakan
kamajuan dalam berbagai bidang yang bisa
menciptakan lapangan kerja.
f. Harapan kelangsungan hidup. Terdapat kaitan erat
antara generasi sekarang dan generasi yang akan
datang. Jika tidak mempunyai harapan akan
kelangsungan hidup, seseorang tidak akan berupaya
mengadakan lebih dari apa yang ia butuhkan( Ajat

29
Sudrajat . 2021: 30)
Dalam pemikiran Al-Mawardi, seharusnya pemimpin Bani abbas
harus berkuasa dalm menentukan kebijakan politik. Dalam
kenyataannya, pemimpin Bani abbas malah di anggap Boneka oleh
petingg Negara. Itulah sebabnya Al- Mawardi kurang menyinggung
masalah pemimpin( Muhammad Al-Ghazali . 2010: 22).

4. Al-Ghazali

Al Ghazali merupakan pemikir yang terkenal di dunia keislaman,


pemikirannya seringkali meliputi seluruh aspek keilmuan. Tidak
heranbanyak pemikir-pemikir islam yang melakukankajian terhadap
ilmunya. Al-Ghazali bernama lengkap Ibn Hamid Muhammad Ibn
Muhammad Al-Ghazali, beliau lahir di kota Thus, Kharasan.

Pemikiran Al-Ghazali mirip dengan pemikiran politik dari A-


Mawardi yaitu tentang Imamah, ia mengemukakan tentang kewajiban
mendirikan suatu pemerintahan dan mengangkat imam untuk mengurusi
persoalan agama ( Muhammad Al-Ghazali . 2010: 25).

Bertolak dari dasar pikiran itu, menurut Ghazali kewajiban


mengangkat seorang kepala negara, tidaklah berdasarkan rasio semata
melainkan berdasarkan keharusan agama. Menurutnya tidak mungkin
mengamalkan ajaran agama secara baik dalam kondisi dan situasi yang
tidak mendukung. Oleh karenanya al-Ghazali menggunakan ungkapan
bahwa agama dan raja ibarat dua anak kembar; agama adalah suatu
fondasi sedangkan khalifah atau sultan adalah penjaganya; sesuatu yang
tanpa fondasi akan mudah runtuh, dan suatu fondasi tanpa penjaga akan
hilang. Untuk itu pengangkatan imam atau khalifah merupakan
keharusan syar’i atau kewajiban agama.

Menurut Al-Ghazali, Allah telah memilih dua kelompok manusia:


pertama, para nabi yang bertugas menjelaskan kepada hamba- hamba
Allah tentang jalan yang benar; dan kedua, para imam atau khalifah

30
dengan tugas agar menjaga manusia tidak saling bermusuhan dan saling
melanggar hak satu sama lain, dan mengarahkan mereka pada kedudukan
yang terhormat. Oleh karena itu para imam atau khalifah adalah bayangan
Allah di atas bumi ini. Dengan demikian, kekuasaan kepala negara, imam
atau khalifah tidak semata datang dari rakyat, melainkan datang dari
Allah. Oleh karena itu kekuasaan kepala anegara adalah muqaddas atau
suci. Juga kepala negara sebagai bayangan Allah di bumi, hukumnya
wajib untuk ditaati rakyatnya. Dengan kata lain sistem pemerintahan al-
Ghazali dapat dikatakan teokrasi. Kriteria yang dikemukakan al-Ghazali
sebagai syarat seorang imam, khalifah, atau kepala negara adalah:

5. Ibn Taimiyah

Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Abu Abbas Ahmad ibn Abd
alHalim ibn Abd al-Salam Abdullah ibn Muhammad ibn Taimiyah
(661H/1263-728H/1329M). Karyanya di bidang politik yang terpenting
adalah Al-Siyasah al-Syar’iyah fi islah al-Ra’i wa al-Ra’iyah (Politik
Yang Berdasarkan Syar’iyah bagi Perbaikan Penggembala dan
Gembala). Tulisan Ibn Taimiyah berangkat dari situasi sosial politik yang
sedang bangkrut disebabkan karena kebobrokan moral para
pemimpin.Ibn Taimiyah berpendapat bahwa mengatur umat memang
merupakan kewajiban yang terpenting, tetapi bukan berarti bahwa agama
tidak dapat hidup tanpa Negara.. Pemerintahan harus dijalankan secara
ber amanat. Amanat menurutnya mempunyai dua arti:

Pertama, amanat adalah kepentingan-kepentingan rakyat yang


merupakan tanggung jawab kepala negara untuk mengelolanya.
Pengelolalan itu akan baik dan sempurna kalau dalam pengangkatan para
pembantu kepala negara memilih orang-orang yang betul-betul memiliki
kecakapan dan kemampuan. Menurut Ibn Taimiyah, kalau seorang kepala
negara menyimpang dan mengangkat seseorang untuk jabatan tertentu,
sedang masih ada orang lain yang lebih tepat, maka kepala negara itu

31
dipandang telah berkhianat, tidak saja kepada rakyat, tetapi juga kepada
Allah dan rasulNya.

Kedua, perkataan amanat berarti pula kewenangan memerintah yang


dimiliki oleh kepala negara, dan kalau untuk melaksanakannya ia
memerlukan wakil-wakil dan pembantu, hendaknya mereka terdiri dari
orang-orang yang betul-betul memiliki persyaratan kecakapan dan
kemampuan. Dengan demikian, pelimpahan kekuasaan dan kewenangan
oleh seorang kepala negara itu harus diberikan kepada orang-orang yang
paling memenuhi syarat kecakapan dan kemampuan.

Ibn Taimiyah pun berbicara tentang amat perlunya ada


pemerintahan. Untuk hal ini ia mengatakan bahwa mendirikan suatu
pemerintahan untuk mengelola urusan umat merupakan kewajiban agama
yang paling agung, karena agama tidak mungkin tegak tanpa
pemerintahan. Alasan lain perlunya pemerintahan adalah untuk
menegakkan amr ma’ruf dan nahi munkar. Dalam hal ini terdapat
persamaan antara Ibn Taimiyah dan al-Ghazali( Ajat Sudrajat . 2021: 34).

Sebagaimana al-Ghazali, Ibn Taimiyah berpendapat bahwa


keberadaan kepala negara diperlukan tidak hanya sekedar untuk
menjamin keselamatan jiwa dan materi saja, melainkan juga untuk
menjamin berlakumya perintah dan hukum Allah. Begitu pula ia
berpandangan bahwa kepala negara, khalifah atau sultan adalah bayangan
Allah di bumi. Dengan demikian sumber kewenangan yang utama adalah
berasal dan bersumber dari Tuhan.

6. Ibn Khaldun

Muhammad ibn Hasan ibn Jabir ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn Abd
al-Rahman ibn Khaldun. Ia dilahirkan di Tunisia pada 27 Mei 1332 M
dan wafat di Kairo pada 19 Maret 1406.Keluarganya berasal dari
Hadramaut, Yaman Selatan. Bukunya yang terkenal berjudul
Muqaddimah Ibn Khaldun.

32
Diantara ulama pemikir politik klasik dan pertengahan, bias
dikatakan bahwa ibn Khaldun merupakan tokoh yang sering
berkecimpung dalam dunia poltik praktis. Kekuatan gagasan dari beliau
terletak pada teorinya yang mengakar pada realitas politik praktis.

Menurut Ibn Khaldun organisasi kemasyarakatan merupakan suatu


keharusan. Manusia, menurutnya, tidak bisa hidup tanpa organisasi
kemasyarakatan. Oleh karena itu tuntutan adanya Negara adalah sesuatu
yang alami belaka. Oleh karena itu pula adanya kepala negara dalam
suatu negara juga merupakan sesuatu yang alami.

Kehadiran seorang kepala negara adalah sebagai penengah, pemisah,


dan sekaligus hakim yang merupakan suatu keharusan bagi kehidupan
bersama manusia dalam masyarakat atau negara. Sementara itu untuk
dapat bertindak sebagai kepala negara maka seseorang harus memiliki
superioritas atau keunggulan dan kekuatan fisik untuk memaksakan
kehendak dan keputusannya . Dia juga memerlukan tentara yang kuat dan
loyal, untuk menjamin keamanan negara terhadap ancaman dari luar,
serta pegawai yang memiliki kekuasaan untuk menarik dana rakyat bagi
pembiayaan operasi negara.

Adapun syarat untuk menduduki jabatan kepala negara, khalifah atau


imam, seseorang calon harus dipilih oleh ahl al-Halli wa al-‘Aqdi. Ada
lima kriteria yang ditetapkan untuk dapat dipilih antara lain:

(1) Berpengetahuan luas,


(2) Adil,
(3) Mampu,
(4) Sehat badan serta utuh semua panca inderanya, dan
(5) Keturunan Quraisy. ( Ajat Sudrajat . 2021: 32)

33
C. Kesimpulan

Islam memberikan pengaruh yang luar biasa dalam munculnya Pemikiran-


Pemikiran di masa lampau, terutama penafsiran di bidang perpolitikan yang ada
pada saat itu. Munculnya kepemiminan Khilafah melahirkan berbagai macam
tokoh filsuf yang memberikan ide, gagasan demi kemajual dunia filsafat politik
islam. Khilafah dan imamah menjadikan kepemimpinan islam pada saat itu
menambah sebuah ungkapan yang ada dalam dunia politik islam.

Sarjana-sarjana islam membawa filsafat ke tengah gelanggang islam.


Memberikan manfaat kepada akal manusia dan memetiknya sebagai ilmu.
Dengan tidak adanya kesepakatan yang bulat di kalangan pemikir politik
muslim baik periode klasik maupun modern mengenai apa sesungguhnya yang
terkandung dalam konsep negara Islam, sehingga sangat mudah terlihat
beragamnya sistem negara dan pemerintahan yang mengklaim dirinya sebagai
negara islam.

34
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ajat Sudrajat. (2021). Sejarah Pemikiran Antara Dunia Islam Dan Barat.
Yogyakarta: UNY
Muhammad Al-Ghazali.(2010). Pemikiran Politik Islam dari masa klasik hingga
Indonesia Kontemporer. Jakarta : Kencana
Rustam Tamburaka. (2002). Pengantar Ilmu sejarah: Teori Filsafat Sejarah,
Sejarah Filsafat dan IPTEK. Jakarta : Rineka Cipta

Jurnal
Arifin Zaain. Khalifah Dalam Islam.Jurnal Manajemen dan Administrasi
Islam. Vol 3, No.1 Januari- Juni 2019, pp 41-55 ISSN: 2549-4961(P)
– ISSN : 2549-6522
Muhliadidi. (2013). Kekuasaan dan Legitimasi Politik menurut Ibnu Khaldun.
Skripsi. Makassar: UIN Alauddin Makassar.
Muhammad Iqbal. (2009). Studi Pemikiran Filsafat dan Tasawuf. Jurnal
Ushuluddin. XV (2).
Triono. (2011). Corak dan Pemikiran Politik dalam Islam Zaman Klasik
Pertengahan dan Kontemporer. Jurnal TAPIs. 7 (12), 31-45.

35
PEMIKIRAN TEOLOGI ISLAM: SEJARAH, ALIRAN-ALIRAN, DAN
PANDANGAN ANTARA WAHYU DAN AKAL

Oleh: Mohammad Rikaz Prabowo


NIM. 20718251036

A. Pendahuluan
Perkembangan pemikiran Islam dari masa klasik hingga modern tidak
hanya menyentuh ranah politik, fikih, atau filsafat secara umum. Lebih dari itu
bahkan juga berkembang ke ranah yang lebih fundamental yang
memperbincangkan soal ketauhidan, keesaan, dan bahkan soal dosa-dosa umat
Islam dalam kajian ilmu Teologi. Teologi berasal dari dua kata dalam bahasa
Yunani, yakni Theos yang berarti Tuhan dan Logos yang berarti ilmu. Kamus
Besar Bahasa Indonesia mendefinisian Teologi sebagai pengetahuan tentang
ketunanan, mengenai sifat Allah SWT, dasar kepercayaan kepada Allah SWT
dan agama, terutama berdasarkan pada kitab suci. Harun Nasution sendiri
menyebutkan Teologi adalah ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari
suatu agama, sebagaimana manusia ingin menyelami seluk beluk agamanya
secara mendalam.1 Oleh sebab itu ilmu teologi juga berkembang di masing-
masing agama yang ada dunia tidak hanya Islam, misalnya Teologi Kristen,
Teologi Hindu, dan sebagainya.
Teologi Islam sering pula disebut sebagai Ilmu Kalam. Hal ini berangkat
dari keyakinan bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum tertinggi umat
Islam, dan Al-Qur’an itu sendiri adalah kalam dari Allah SWT. Hal ini
akhirnya menggiring pada suatu pertanyaan apakah Al-Qur’an itu dicipatakan
atau tidak, yang berawal dari suatu persoalan “apabila Al-Qur’an adalah
Kalam, maka Isa juga sama-sama kalam atau kalimah Tuhan”. Pernyataan ini
akhirnya menggiring ke berbagai pertanyaan polemik lain, misal: Al-Qur’an
itu diciptakan (hadits) atau tidak (qadim)? Jika Al-Qur’an itu qadim berarti Isa
juga Qadim karena sama-sama kalam, dengan begitu dalam keyakinan kaum

1
Subhan M. Ashari, “Teologi Islam Perspektif Harun Nasution”. An-Nur Jurnal Studi
Islam. Vol 10 No. 1, 2020, hal. 74.

36
Nasradni bahwa Isa adalah Tuhan adalah betul karena ia termasuk qadim (tidak
diciptakan). Polemik ini belum selesai, merembet pula muncul pertanyaan yang
mengusik tentang penciptaan Al-Qur’an. Jika kitab suci uma Islam itu
diciptakan (hadits), maka berarti Tuhan sebelumnya tidak mempunyai
perkataan (kalam)? Dengan begitu benarlah tuduhan orang kafir Makkah
bahwa Al-Qur’an adalah karangan Nabi Muhammad belaka.
Sunanto dalam Ashari, menyebutkan bahwa ada dua faktor yang
mendorong lahirnya ilmu kalam atau Teologi Islam. Pertama, untuk menjaga
kemurnian ajaran Islam dari serangan agama lain terutama dari Yahudi dan
Nasrani. Kedua, untuk memecahkan persoalan agama yang semakin hari
semakin rumit dari sisi filsafat dan logika.2
Hal itu akhirnya menggiring intelektual Muslim periode awal, khususnya
ahli teologi untuk berpikir rasional dan filosofis, dan kenyataanya metode-
metode analisis yang diberikan atas masalah teologis tidak berbeda dengan
model filsafat Yunani. Leaman dalam Soleh, menyebutkan bahwa Teologi
Islam menggunakan premis-premis didasarkan atas teks suci, berbeda dengan
filsafat Yunani yang didasarkan atas premis-premis logis, pasti, dan baku.3
Lahirnya kajian Ilmu Kalam diawali dari peristiwa politik yang muncul
pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW, dimana muncul perdebatan diantara
para pihak soal pengganti beliau sebagai khalifah. Perdebatan itu kemudian
memuncak menjadi konflik dan intrik politik yang menyebabkan terpecahnya
umat Islam. Hal itu kemudian mendorong munculnya madzhab dan aliran-
aliran dalam Teologi Islam.
Aliran-aliran ini pada umumnya memiliki pandangan dan pemikiran
sendiri-sendiri yang dianutnya, seputar beberapa permasalahan yakni: Pelaku
dosa besar, Al-Qur’an dan wahyu Allah SWT, melihat Allah SWT, sifat-sifat
Tuhan, kepemimpinanan (khalifah) setelah Rasulullah wafat, dan takwil
terhadap ayat-ayat mutasyabihat. Sedangan persoalan prinsip yang dibahas

2
Ashari, op.cit. hal. 75
3
Soleh Khudori, Filsafat Islam Dari Klasik HIngga Kontemporer, (Yogyakara: Ar-Ruzz
Media, 2016), hal. 30

37
dalam ilmu teologi/kalam itu sendiri yakni: Esensi Tuhan itu sendiri dengan
segenap sifatnya, manusia dan seluruh alam serta hubungannya dengan Tuhan,
serta hubungan yang mempertalikan antara Tuhan sebagai pencipta dengan
alam sebagai ciptaannya melalui utusan-utusan atau ajaran tertentu.4

B. Pembahasan
1. Sejarah Lahir dan Metode Teologi Islam
Lahir dan berkembangnya Teologi Islam, sebagaimana yang telah penulis
paparkan di pendahuluan ialah akibat dari munculnya pertentangan-
pertentangan politik pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW. Pangkal
permasalahannya ialah dimulai ketika Muawiyyah tidak menerima
pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah menggantikan Usman bin
Affan. Akan tetapi apabila ditarik kembali kronologis sejarahnya, maka riak-
riak pertentangan politik itu telah muncul pada saat Umar bin Khattab dibaiat
menjadi khalifah menggantikan Rasulullah SAW pada 8 Juni 632 M.
Rasulullah SAW tidak pernah menunjukkan siapa penggantinya dalam
memimpin umat apabila ia wafat. Pun juga cara pemilihannya tidak pernah
dijabarkan bagaimana. Maka di tengah kebingunan yang semakin memanas
untuk menentukan siapa sosok yang paling pantas menggantikan Baginda
Rasul tersebut, keesokan harinya diadakan pertemuan di Saqifah di balai
pertemuan Sa’idah. Perdebatan sengit terjadi antara kaum Anshar dengan kaum
Muhajirin.
Kaum Anshar mencalonkan Sa’ad bin Ubaidah dengan alasan merekalah
yang menolong Nabi disaat-saat genting. Akan tetapi Kaum Muhajirin
menolak pencalonan itu dengan alasan pemimpin harus dipilih dari kaum
Muhajirin karena kaum itulah yang pertama kali merasa getir dan pahitnya
berjuang bersalam Rasulullah SAW. Dalam perdebatan itu, muncul gagasan
dari Umar yang menunjuk Abu Bakar menjadi pemimpin karena beliaulah

4
Darul Ulum, Studi Pemikiran Kalam, (Pamekasan: IAIN Madura, 2018), hal. 3

38
yang memimpin sholat semasa Nabi hidup. Usulan ini akhirnya disetujui kedua
kaum tersebut dan Abu Bakar dibaiat menjadi Khulafurrasyidin yang pertama.5
Kepemimpinan Abu Bakar cenderung stabil dan konsisten. Begitupula
ketika ia wafat dan kemudian digantikan oleh Umar bin Khattab yang ditunjuk
langsung oleh Abu Bakar ketika ia masih hidup. Pada masa Umar mengalami
kemajuan pemerintahan yang sangat pesat dengan bentang wilayah yang
semakin luas. Setelah Umar wafat, maka pencarian sosok penggantinya sebagai
Khulafaurrasyidin dilakukan melalui tim formatur dan terpilihlah Usman bin
Affan.
Sayangnya masa kepemimpinan Usman bin Affan berlangsung kurang
stabil. Terjadi pemberontakan hingga kota Madinah berhasil dikuasai kaum
pemberontak dan bahkan Usman bin Affan sendiri terbunuh dalam peristiwa
itu. Kaum pemberontak yang menguasai Madinah menuntut untuk segera
mencari pengganti Usman sebagai khalifah yang baru. Ada lima calon
Khulafurrasyidin keempat waktu itu, yakni Sa’ad bin Abi Waqqas, Ibnu Umar,
Thalhah, Zubair, dan Ali. Pada akhirnya terlebih Ali bin Abi Thalib sebagai
khalifah yang kemudian dibaiat oleh rakyat Madinah dan calon-calon lainnya
yang tidak terpilih itu. Terpilihnya Ali sebagai khalifah inilah yang menjadi
titik awal dimulainya perselisihan dikalangan umat waktu itu, salah satunya
Muawiyah (Gubernur Suriah) yang menolak mengakui Ali sebagai Khalifah.6
Muawiyyah menuduh Ali ikut andil dalam pembunuhan Usman bin Affan
yang merupakan keluarganya. Hal ini dikarenakan pembunuhan Usman
melibatkan banyak pihak dan beberapa diantaranya ada di kubu Ali. Maka dari
itu timbul tuntutan kepada Ali untuk menyelidiki kematian Usman terlebih
dahulu dan menemukan pembunuhnya sebelum ia diangkat menjadi khalifah.
Disisi lain, masa pemerintahan Ali yang dibaiat pada 24 Juni 656 M itu masih
rentan dan berada di posisi sulit karena masih banyaknya pemberontak di

5
Muhammad Sabli, “Aliran-aliran Teologi Dalam Islam (Perang Shiffin dan
Implikasinya Bagi Kemunculan Kelompok Khawarij dan Murjiah”. Nur El-Islam: Jurnal Pendidikan
dan Sosial Keagamaan. Vol 2 No. 1, 2015, hal 106
6
Sabli, op.cit. hal. 107

39
Madinah. Untuk itu, Ali memilih untuk menunda pengusutan kematian Usman
dan mengusahakan tercapainya stabilitas di pemerintahan yang baru.
Kebijakan Ali ini tidak disenangi oleh Muawiyyah, termasuk Thalhah dan
Zubair yang juga pernah menuntut pengusutan kematian Usman kepada Ali.
Kekecewaan itu akhirnya membuat Thalhah dan Zubair pergi ke Irak, dan
tanpa diduga banyak pendukung mereka untuk menuntut balas kematian
Usman. Ketegangan ini semakin meruncing, perundingan-perundingan tidak
mencapai hasil perdamain yang diinginkan. Malahan meletus Perang Jamal
(perang onta) di Basrah antara pasukan Ali dengan pasukan di Basrah yang
menuntut balas kematian Usman. Perang itu selesai dengan kemenangan
pasukan Ali.
Dari Basrah, pasukan Ali langsung menuju Suriah untuk menundukkan
Mu’awiyyah yang membangkang sehingga meletuslah Perang Shiffin. Setelah
terdesak, pasukan Muawiyyah akhirnya mengajak pembicaraan damai dengan
“Tahkim”, dimana Amr. Bin Ash mengangkat mushaf Al-Qur’an di atas
tombak. Ali menerima tawaran itu dan menghentikan perang, ia mengutus Abu
Musa Al-Asy’ari sebagai lawan perundingan damai Amr bin Ash yang diutus
oleh Mu’awiyyah.
Apa yang diputuskan Ali dengan menerima Tahkim dari Muawiyyah
inilah sebagai awal munculnya kaum-kaum yang memisahkan diri dan
nantinya membentuk aliran-aliran baru yang mempengaruhi teologi Islam.
Kaum yang memisahkan itu melihat konsekuensi politik dari diterimanya
Tahkim sebagai strategi licik Muawiyyah dan justru merugikan pihak Ali. Hal
ini terbukti, Tahkim gagal total dimana justru menyebabkan meningkatnya
popularitas Muawiyyah yang sebenarnya sudah hampir kalah. Selain itu
kelompok ini memandang penyelesaian masalah tidak menggunakan hukum
Allah SWT, dan barangsiapa tidak menggunakan hukum itu maka telah keluar
dari Islam. Di bawah pimpinan Abdullah ibn Wahab al-Rasyibi, sebanyak
12.000 orang pendukung Ali keluar dan berkumpul di Harura. Mereka
membuat semacam anggaran dasar dan deklarasi sebagai kekuatan politik di

40
liar Ali dan Muawiyah.7 Kelompok ini selanjutnya disebut aliran Khawarij dan
akan dibahas di bagian selanjutnya.
2. Metode Berfikir Teologi Islam
Kembali ke persoalan tentang definisi ilmu kalam. Ahmad Hanafi, dalam
Mukhlis (2020: 2), menyebutkan bahwa ilmu teologi atau kalam
membicarakan kenyataan-kenyataan dan gejala-gejala agama dan
membicarakan hubungan Tuhan dan manusia, baik dengan jalan penyelidikan
maupun pemikiran murni, atau dengan jalan wahyu. Meskipun memiliki
beberapa kesamaan metode dengan filsafat islam seperti pada penggunaan akal
dalam eksplorasi dan juga mengambil argumen dari luar Islam, namun juga
terdapat beberapa perbedaan seperti:8
a) Penganut ilmu kalam percaya kepada pokok persoalan dan mempercayai
kebenarannya, kemudian menerapkan dalil-dalil pikiran untuk
membuktikannya. Sebaliknya, dalam filsafat lepas dari pengaruh dan
kepercayaan-kepercayaan.
b) Ilmu kalam timbul berangsur-angsur dan mula-mula hanya merupakan
persoalan yang terpisah-pisah. Sedangkan filsafat melalui fase
pertumbuhan di Yunani sendiri maupun di negeri lainnya.

Teologi Islam atau ilmu kalan memiliki struktur logika tersendiri beda dari
ilmu teologi lainnya. Josep van Ess memaparkan struktur logis ilmu kalam
menggunakan pola pikir logika Stoik yang bercorak jadali, bukan logika
Aristoteles yang bercorak demonstratif sebagaimana selama ini dipahami
pemerhati muslim. Dengan demikian dapat dipahami tipe-tipe argumen yang
digunakan sekaligus sebagai landasan filosofis-logis dalam membuat argumen
ilmiah pada sisi yang lain.9

7
Abdullah Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Bagaskara,
2015). Hal. 107
8
Febri Hijroh Mukhlis, “Model Penelitian Kalam: Teologi Islam (Ilmu Kalam) Ahmad
Hanafi”. Dialogia: Jurnal Studi Islam dan Sosial. Vol. 13 No. 2. 2015, hal. 5
9
Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: LESFI, 2015), hal. 21

41
Pemikiran dalam pengertian yang dianut para cendikiawan atau filsuf
terbagi dalam dua golongan besar yakni secara eksoteris yang diarahkan ke
dunia luar, dan isoteris yang ditujukan ke arah bagian terdalam dirinya.
Pemikiran eksoteris berkembang di Yunani sebagai awal tumpuan penyebaran,
dimana mendorong kegiatan penelitian terhadap alam sekitar sehingga manusia
mampu memperkaya budayanya dalam melengkapi khazanah peradaban
mereka. Sebaliknya pemikiran isoteris berkembang di Jazirah Arab, India, dan
China yang mengarahkan pemikiran tentang wujud moral, etika, dan estetika.
Hal ini berguna bagi pemeliharaan nilai dan mampu mempertahankan
kehidupan sebagai individu maupun dalam masyarakat hingga merasakan
hidup yang damai dan tenteram. Dengah kata lain, pemikiran eksoteris dikenal
sebagai pemikiran rasional yang tampak dalam dunia materi, sedangkan
isoteris ialah pemikiran kontemplatif, berbentuk immaterial dalam wujud nilai.
Setiap pemikiran dalam bidang apapun, selama tidak bertentangan dengan Al-
Qur’an dan Sunah Nabi maka dapat disebut sebagai pemikiran Islam dan bisa
dalam segala aspek, salah satunya teologi.10

Kemunculan ilmu teologi atau kalam dengan aliran-alirnanya tidak lah


selalu berjalan mulus, salah satunya mengalami pertentangan. Kaum Sufi
misalnya, mengkritik bahwa teologi bersifat elitis karena hanya mereka yang
memiliki kemampuan intelektual yang tinggi yang dapat mengembangkan
teologi. Kaum Sufi juga menilai bahwa pemikiran intelektual tidak dapat
menjelaskan semua permasalahan agama yang seringkali bersifat misteri.
Bahkan mereka juga menilai pemikiran teologis bersifat kering, karena tidak
melibatkan aspek perasaan.11
Sumber-sumber yang digunakan dalam membangun kajian Teologi Islam
terdiri dari sumber ideal dan sumber historis. Sumber ideal adalah Al-Qur’an
dan Hadits yang didalamnya dapat memuat data yang berkaitan dengan objek
kajian dalam Ilmu Tauhid. Sedangkan sumber historis adalah perkembangan

10
Karim, op.cit. hal. 39
11
Saefur Rochmat, “Teologi Kekuasaan, dan Keadilan Dalam Perspektif Sejarah Islam”.
Vol. 4 No. 2. Jurnal Istoria, 2008, hal. 2

42
pemkiran yang berkaitan dengan objek kajian Ilmu Tauhid, baik yang terdapat
dalam kalangan internal umat Islam maupun pemikiran eksternal yang masuk
ke dalam rumah tanggal Islam.12

3. Aliran-Aliran Dalam Teologi Islam


Kemunculan aliran-aliran pada teologi Islam tidak muncul begitu saja
pasca keluarnya sebagian pendukung Ali yang kecewa yang kemudian hari
menamakan diri sebagai kelompok Khawarij. Kelompok ini berpendapat apa
yang dilakukan Ali dengan menerima Tahkim dari Muawiyyah tidak sesuai
dengan syariat. Sebab hukum Alllah SWT sudah jelas, Muawiyyah adalah
pemberontak dan apa yang dilakukannya merupakan tindakan makar pada
pemerintahan yang sah. Dengan melakukan Tahkim, otomatis mereka telah
berhukum dengan produk manusia dan berpaling dari Al-Qur’an. Atas dasar
inilah Khawarij berani mengkafirkan para sahabat yang ikut dalam peristiwa
tahkim.13
Bagaimanapun juga, munculnya kelompok Khawarij hanyalah salah satu
ekses dari kegaduhan politik soal perebutan posisi sebagai khalifah. Persoalan
politik itu akhirnya terbawa-bawa sampai ke permasalahan agama. Membuka
perselisihan-perdebatan tentang dosa besar, apakah dihukumi kafir atau tetap
seorang mukmin yang selanjutnya akan melahirkan aliran-aliran teologi Islam
sebagai berikut:
a. Khawarij
Orang-orang kaum ini awalnya adalah pengikut setia Ali sebelum akhirnya
kecewa karena diterimanya Tahkim yang ditawarkan Muawiyyah. Bagi
Khawarij, “La Hukma Illa Allah”, atau tidak ada hukum kecuali hukum Tuhan
yang mereka ambil dari surah Al-Maidah ayat 45 yang berbunyi “barang siapa
yang tidak berhukum dengan apa yang telah diturunkan Allah SWT, maka
mereka adalah orang-orang kafir”. Dengan melakukan Tahkim, kaum ini

12
Ulum, op.cit. Hal. 5
13
Ashari, op.cit. Hal. 85

43
menilai mereka telah kafir karena menggunakan produk hukum buatan
manusia dan berpaling dari Al-Quran.
Khawarij menganggap Muawiyyah adalah pemberontak dan menurut
hukum Allah SWT harus ditumpas, bukan diselesaikan dengan perdamaian dan
rekonsiliasi. Akhirnya Khwarij justru memusuhi Ali dan mengkafirikan Abu
Musa Al-Asy’ari dan Amru bin Ash. Bahkan Khawarij mengirim pengikutnya
untuk membunuh Ali, Muawiyyah, dan Amru bin Ash. Tetapi mereka hanya
berhasil membunuh Ali ditangan Abdurrahman ibn Muljam.14
Khawarij memiliki keyakinan bahwa jika seseorang tidak berhasil
membuktikan imannya dalam bentuk menghindari dari perbuatan dosa, maka
dapat diterapkan hukum kafir dan dapat dibunuh. Metodologi berfikir yang
digunakan oleh Khawarij berpangkal pada keutuhan mutlak antara unsur-unsur
iman yang terdiri dari pembenaran dalam hati dengan realisasinya dalam
perbuatan yang konkrit.15
Tokoh-tokoh aliran Khawarij yang mengembangkan pemikiran di atas
ialah Nafi’ bin Azraq, Qathar bin Faja’ah, Abu Tahluf, Najdat Ami, dan Abu
Fudaika. Sedangkan dalam pemikiran tentang khalifah atau pemimpin,
golongan ini berpendapat posisi itu harus dipilih secara demokrasi melalui
pemilihan yang bebas.16 Setiap orang berhak menjadi khalifah, bukan hanya
anggota suku bangsa Quraisy saja termasuk orang yang bukan orang Arab
sekalipun. Akan tetapi dengan syarat ia harus Islam, adil, dan menjalankan
syariat Islam.17
b. Syiah
Apabila Khawarij adalah golongan yang menyatakan diri keluar dari
golongan Ali, bahkan kemudian memusuhi dan membunuhnya. Maka kaum
Syiah adalah pengikut yang tetap setia bersama Ali dan barangkali hingga
membentuk suatu fanatisme kepada Ali. Dalam pemikirannya tentang khalifah,
kaum ini menganggap bahwa sahabat Ali bin Abi Thalib lah yang paling

14
Ashari, op.cit. Hal. 85
15
Sabli, op.cit. Hal. 110
16
Ulum, op.cit. Hal. 6-7
17
Ashari, op.cit. Hal. 86

44
berhak sebagai khalifah. Mereka berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad SAW
sebenarnya telah berwasiat sebelum meninggal kepada Ali sebagai
penggantinya. Sehingga khalifah pengganti tidak boleh keluar dari keluarga
Ali. Teori kekhalifan atas dasar Nash dan Wasiat itu telah disepakati oleh para
ulama Syiah.18
Syiah mengakui Muhammad SAW sebagai Rasul dan Al-Qur’an ialah
wahyu Allah SWT. Akan tetapi mereka berkeyakinan bahwa Imam adalah
jabatan sakral yang ditentukan oleh Allah SWT dan bertujuan untuk
mensejahterakan manusia. Imam merupakan seorang yang tidak pernah
berdosa dan terlindungi (Ma’shum), apa yang disampaikan imam
sesungguhnya adalah ucapan Tuhan. Oleh sebab itulah jabatan itu menurut
mereka harus dari Ahl al-Bait.19
Menurut Darul Ulum, ajaran-ajaran utama pada sekte ini antara lain:20
a) Al Ishamah, dimana seorang pemimpin dalam tindak lakunya tidak
pernah berbuat dosa besar maupun kecil, tidak terlihat tanda-tanda
berlaku maksiat, dan tidak boleh berbuat salah ataupun lupa.
b) Al Raj’ah, salah satu keyakinan mengenai datangnya imam mereka
setelah gaib, bertujuan tegaknya keadilan, menghancurkan hal yang
zalim, dan membangun kekuasaan.
c) Al Mahdi, golongan yang menjaga kehormatan, keselamatan jiwa dan
harta benda yang dimilikinya. Karena takut kepada musuhnya, maka
dia menyatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan kata hatinya dan
tidak sesuai dengan hal yang sebenarnya, atau berpura-pura
c. Murji’ah
Kelompok Murji’ah mengambil sikap kompromistis, netral karena tidak
memihak pengikut manapun baik kelompok Khawarij, Ali, maupun
Muawiyyah. Mereka beranggapan bahwa meskipun kelompok yang disebutkan
itu saling beritkai, mereka tetaplah mu’min sekalipun telah melakukan

18
Ashari, op.cit. Hal. 87
19
Karim, op.cit. Hal. 109-111
20
Ulim, op.cit. Hal. 6

45
kesalahan. Murji’ah diambil dari kata arja’a yang artinya menunda.
Maksudnya mereka menunda persoalan-persoalan dosa besar dan keimanan di
hari kiamat nanti.21
Munculnya golongan Murji’ah berangkat dari sikap dan pemikiran
golongan Khawarij yang gemar mengkafirkan muslim berkaitan dengan
kesalahan dan dosa, serta golongan Syiah yang menganggap percaya terhadap
imam merupakan salah satu rukun iman. Demikianlah karakter dasar Al-
Murjiah merujuk pada masalah-masalah keagmaan yang berhubungan dengan
keimanan dan kekafiran, juga hubungan antara amal shaleh dan keimanan.
Murjiah memandang iman itu adalah makrifatullah (mengenal Allah
SWT) dan Rasulnya. Barangsiapa mengenal bahwa tidak ada Tuhan yang patut
disembah melainkan Allah SWT, dan bahwa Muhammad SAW itu adalah
Rasulullah, berarti ia mukmin. Dalam pandangannya terkait imam dan
khalifah, Murjiah juga mewajibkan loyalitas umat pada seorang imam yang
adil, menegakkan hukum Allah SWT, dan memimpin mereka berdasarkan
syariat yang dibawa Rasulullah. Murjiah tidak mempersyaratkan kesukuan
Quraisy dalam soal imamah. Tsawban Al-Murji’i berpendapat bahwa imamah
boleh di luar Quraisy, seorang imam tidaklah ditetapkan kecuali atas
kesepakatan umat. Selain itu, seorang imam dipersyaratkan mampu
menegakkan Kitabullah dan Sunnah.22
Dosa besar juga tidak akan membatalkan imamah seoran imam selama
baiat masih ditetapkan padanya. Berbeda dari pemikiran golongan Khawarij
yang apabila seorang imam telah melakukan dosa besar maka harus diturunkan
dan dibunuh. Oleh sebab itu, Murjiah memandang umat tidak diwajibkan
keluar meninggalkannya (imam), melainkan menunda keputusan hukum
mengenai perbuatannya hingga hari kiamat.23

21
Ashari, op.cit. Hal. 88
22
Hasan Asy-Syafii, Al-Hamid Madkur, Abdurrahman Salim, Ensiklopedia Aliran dan
Madzhab di Dunia Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015), hal: 857
23
Asy-Syafii, Madkur, Salim, op.cit. Hal: 857

46
d. Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah merupakan aliran keempat yang muncul pasca kemelut
politik antara Ali dengan Muawiyyah. Dikenal sebagai kelompok rasionalistik
dalam Islam, yang diduga mendapatkan banyak pengaruh dari filsafat Yunani.
Meyakinan sifat rasional etika, dengan adagiumnya yang berbunyi: “kebaikan
dan keburukan bersifat rasional dan intrinsik (al-husn wa al-qubh al-‘aqliyyan
al-dzatiyyan). 24
Menurut riwayatnya, aliran atau sekte ini berkembang pada abad ke 2
Hijriyah atau 8 Masehi di kota Basrah, Irak. Tokoh kunci yang membentuk
aliran ini ialah Washil bin Atha dan Amr bin Ubaid. Keduanya adalah murid
Hasan Al-Bashri. Mu’tazilah diambil dari kata I’tzala yang artinya berpisah.
Sebab, Washil bin Atha’ dan Amr bin Ubaid berpisah dari gurunya Hasan Al-
Bashri karena berbeda pendapat soal dosa besar.
Dalam suatu kisah diceritakan hal ini bermula ketika seorang hadirin pada
majelis ilmu di Masjid Bashrah yang dipimpin oleh Hasan Al-Bashri meminta
pendapat kepadanya soal hukum pelaku dosa besar. Hasan Al-Bashri
menjawab bahwa pelaku dosa besar tetap mukmin meskipun ia akan dihukum
di neraka kelak, namun Washil bin Atha memiliki pendapat berbeda.
Menurutnya pelaku dosa besar tidak bisa secara mutlak disebut sebagai orang
mukmin dan tidak bisa pula secara mutlak disebut sebagai orang kafir.
Melainkan ia berada di posisi antara keduanya (manzilah baina al-
manzilatain), tidak mukmin dan tidak juga kafir. Sejak itulah Washil bin Atha
memilih memisahkan diri dari gurunya, turut pula Amr bin Ubaid yang menjadi
pendukungnya.25
Aliran Mu’tazilah memiliki lima prinsip dasar yang mereka yakini,
yakni:26
a) At-Tauhid (mengesakan Allah). Mu’tazilah memandang ketauhidan
adalah menyucikan Allah SWT dengan sebenar-benar penyucian,

24
Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2005). Hal. 193
25
Asy-Syafii, Madkur, Salim, op.cit, hal. 1114
26
Ibid, hlm. 1118-1128

47
tanpa disertai unsur penyerupaan terhadap mahluk. Menurut mereka
menetapkan adanya sifat-sifat kepada Allah dapat membawa pada
kesyirikan terhadapnya. Menetapkan adanya sifat-sifat Allah SWT
sangat berlawanan dengan akidah tauhid itu sendiri. Oleh sebab itu
kaum Mu’tazilah diberi sebutan lain yakni Al-Mu’athhillah atau kaum
yang meniadakan sifat-sifat Allah SWT.
b) Al’adl (keadilan). Prinsip keadilan memiliki hubungan erat dengan
prinsip tauhid. Mu’tazilah berdiri tegak di atas keimanan mereka
tentang konsep kebebasan dan kemandirian, di atas akidah Qadariyah.
Mu’tazilah meyakini bahwa Allah SWT tidak menciptakan perbuatan
manusia, tetapi manusia itu sendirilah yang menciptakan
perbuatannya. Seandainya Allah SWT menciptakan perbuatan
manusia, tentu Allah SWT juga memiliki sifat zalim dan jahat.
Dalil naqli yang mengukuhkan pemikiran Mu’tazilah misalnya,
“yang membuat segala sesuatu yang dia ciptakan sebaik-baiknya…”
(Qs. As-Sajdah:7), dan “begitulah perbuatan Allah SWT yang
membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu...” (Qs. An-Naml: 88).
Dengan begitu, sekali lagi menurut Mu’tazilah bahwa perbuatan
manusia diciptakan oleh manusia itu sendiri, dan tidak diciptakan oleh
Allah SWT, sesuai dengan prinsip keadilan.
c) Al-Wa’d wa Al-Wa’id (janji dan ancaman). Kaum Mu’tazilah
berpendapat bahwa janji Allah SWT kepada orang-orang yang taat
untuk diberi pahala, dan ancaman Allah SWT Kepada orang-orang
yang durhaka untuk disiksa mesti akan ditunaikan. Kaum Mu’tazilah
menggunakan beberapa ayat dalam pijakan pemikirannya, misal
dalam surah Az-Zalzalah: 7 dan 8, “Barangsiawa yang mengerjakan
kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)
nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah
pun, niscara dia akan melihat (balasan)nya pula.”
Karena Allah SWT mahasuci dari segala bentuk penyerupaan
makhluk, maka sesuai dengan prinsip tauhid tidak mungkin Allah

48
SWT berdusta atau bermain-main dengan janji dan ancamannya.
Kaum Mu’tazilah dalam prinsip ini juga menafsirkannya dengan suatu
syafaat/pertolongan. Abdul Jabbar bin Ahmad Al-Hamdzani
berpendapat syafaat akan diberikan kepada orang-orang mukmin yang
bertaubat. Mereka bermaksud mengunci pintu angan-angan para
penguasa zalim yan suka melanggar aturan Allah SWT kemudian
berharap mendapatkan ampunannya atau mendapat syafaat
Rasulullah. Hukum Allah SWT akan tetap ditegakkan dan tidak ada
tempat mereka untuk berlari kecuali sungguh-sungguh bertaubat dan
kembali ke jalan yang lurus.
d) Al-Manzilah baina Al-Manzilatain (Kedudukan di antara dua tempat).
Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, menurut kaum Mu’tazilah,
pelaku dosa besar tidak disebut mukmin dan juga tidak disebut kafir,
tetapi disebut fasik. Jadi, ia tidak dihukumi sebagai orang mukmin
atau orang kafir, tetapi diberi hukum tersendiri sebagai orang fasik.
e) Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy’ an Al-Munkar (Menyuruh
kebaikan dan mencegah kemungkaran). Prinsip ini disepakati oleh
setiap aliran maupun individu Islam itu sendiri bahwa amar ma’ruf
nahi munkar merupakan hal yang penting. Mu’tazilah
mendasarkannya pada salah satu ayat Allah SWT, misalnya pada
Surah Ali Imran ayat 104, “dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada
yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar…”
f) Ahlu Sunnah wal Jama’ah
Kelompok yang kelima ini hadir sebagai akibat reaksi terhadap
golongan Mu’tazilah yang menganut faham qadariyah. Pada masa
Khalifah Al-Makmun, mewajibkan kepada siapa saja untuk
mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah mahluk (ciptaan Tuhan seperti
halnya manusia dan alam). Tentu hal ini ditolak oleh kelompok yang
masih berpegang pada sunnah. Menurut mereka Al-Qur’an adalah
kalam Allah SWT yang qadi (dahulu), tidak seperti yang dikatakan

49
kaum Mu’tazilah. Salah satu ulama yang mengembangkan aliran ini
ialah Ahmad bin Hambal.27
Adapun beberapa hal yang penting diketahui tentang pemikiran
aliran Ahlu Sunnah wal Jama’ah, adalah sebagai berikut:28
a) Tentang ketauhidan, aliran ini bertentangan dengan Mu’tazilah
dengan meyakini paham ruyatullah. Menurutnya Allah SWT itu bisa
dilihat pada hari kiamat dengan mata tanpa menyerupakan atau
meniadakan.
b) Tentang janji dan acaman, bahwa aliran Ini meyakini adanya
kebangkitan dari kubur, pertanyaan kubur. Mereka meyakini kekal
abadinya nikmat penghuni surga, siksa atas penghuni neraka karena
kekafiran mereka. Mereka percaya syafaat dan ampunan dari semua
dosa kecuali dosa syirik kepada Allah SWT.
c) Tentang hukum, bahwa aliran ini mewajibkan untuk ikut sholat Jumat
di belakang para imam yang berlepas diri dari ahli sesat. Mewajibkan
menggali hukum syariah dari Al-Qur’an, sunnah, dan ijma para
sahabat. Mampu menguasai ilmu Sunnah Rasul, membedakan antara
hadits shahih dan dhaif, mengetahui ilmu jarh wa ta’dil atau kaidah
tentang perawi hadits.
d) Tentang imamah atau khalifah, bahwa aliran ini mengakui
kepemimpinan Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali Rahiyallahu
Anhum. Mereka memuji dengan baik para pendahulu dari generasi
terbaik umat atau salafussaleh. Mewajibkan taat kepada pemimpin
selagi tidak dalam kemaksiatan. Jadi, Ahlu Sunnah menolak
pandangan bahwa imam haruslah berdasarkan nash (keturunan), dan
lebih sepakat bahwa pemilihan pemimpin didasarkan pada
musyawarah dan baiat.

27
Ashari, op.cit. Hal. 91
28
Asy-Syafii, Madkur, Salim, op.cit, Hal. 155

50
4. Wahyu dan Akal Dalam Teologi Islam
Kajian tentang teologi Islam tidak berhenti hanya kepada munculnya
sejumlah aliran-aliran yang telah penulis paparkan di atas. Lebih jauh lagi, para
ulama dan filsuf Islam juga mulai memperdebatkan antara wahyu dan akal.
Antara keduanya itu manakah yang lebih unggul? Apakah wahyu harus diterima
begitu saja? Bagaimana kedudukan akal dalam menanggapi wahyu? dan
pertanyaan-pertanyaan lain yang seolah tiada habisnya.
Al-Qur’an mengajak untuk berfikir, melakukan penalaran dan
memperhatikan dengan indra, dicerna dengan akal pikiran agar umat muslim
yang melakukan perintahnya maupun larangannya yang berkaitan dengan
akidah-akidah keagamaan. Karena itu, orang Islam harus menggunakan akalnya
untuk memahami Al-Qur’an, Sunnah, dan Hadist Nabi yang datang untuk
menetapkan dan menjelaskan kitab suci ini.29
Harun Nasution mengatakan bahwa perdebatan antara akal dan wahyu
dalam teologi Islam bermula pada dua persoalan pertanyaan tentang bagaimana
manusia mengetahui Tuham, dan bagaimana mengetahui hal yang baik dan yang
buruk. Apakah manusia harus berterimakasih kepada Tuhan meski belum atau
tidak ada wahyu? Apakah manusia wajib melakukan hal baik meski belum ada
wahyu? Bagaimana berterimakasih kepada Tuhan? Dan bagaimana kewajiban
berbuat kebaikan itu? Perdebatan mengenai akal dan wahyu ini memunculkan
tiga aliran besar yaitu Mu’tazilah yang juga ikut meramaikan perdebatan, serta
Asy’ariah dan Maturiddiyah.30
Mu’tazilah sebagai kaum rasionalis Islam menyandarkan segala
pengetahuan dapat diketahui dengan akal. Manusia wajib berterimakasih kepada
Tuhan yang telah menciptakan manusia dan isinya, meskipun belum ada wahyu
dengan berbagai cara misalnya beribadah, bersyukur, dan sebagainya. Siapa
yang tidak berterimakasih akan diadzab Tuhan dan masuk neraka. Tentang
perbuatan baik dan yang buruk, menurut Mu’tazilah manusia dapat mengetahui

29
Sabli, op.cit. Hal. 109
30
Ashari, op.cit. Hal. 92

51
perbuatan itu dengan akal. Maka dari itu, manusia wajib berbuat baik dan
meninggalkan yang buruk dengan atau tanpa adanya wahyu.
Meskipun begitu, wahyu tetap dibutuhkan menurut penganut aliran ini.
Sebab tidak akan mampu mengetahui Tuhan secara rinci, caranya berterimakasih
kepada Tuhan seperti sholat, zakat, puasa, dan sebagainya. Dengan begitu wahyu
tetap diperlukan karena akal hanya dapat mengetahui yang umum saja, tidak
sampai pada hal-hal yang lebih rinci. Wahyu bagi Mu’tazilah lebih berfungsi
sebagai konfirmasi dari pada informasi.31
Pemikiran antara akal dan wahyu yang dianut oleh kaum Mu’tazilah ini
ditentang oleh kaum As’ariyah. Corak aliran ini tidak menjauhkan diri dari
pemakaian akal fikiran dan argumentasi fikiran sebagai bentuk menguatkan nash
yang telah ada. Beberapa tokoh penganut aliran ini selain Al-Asy’ari
(sebelumnya ia penganut Mu’tazilah), yakni Abubakar bin Tayyib Al Baqilanny,
Abu Al-Maaly bin Abdillah, dan Al-Ghazali.32
Al-Asy’ari sangat menekankan terciptanya keseimbangan antara dalil-dalil
syar’i dan dalil-dalil ‘aqli. Dengan memprioritaskan dalil syar’i kemudian
menambahkan dengan dalil ‘aqli untuk menopang dan memperkuat
landasannya. Al-Asy’ari juga mengajak untuk memegang teguh dalil-dalil
syar’i, dengan tidak mengabaikannya agar terhindar dari hal-hal yang menimpa
ahli bid’ah yang mengesampingkan dalil syar’i dan berjalan bersama para
filsuf.33
Dengan demikian bagi aliran Al-Asyari, wahyu memiliki kedudukan yang
sangat penting karena akal hanya mampu mengetahui adanya Tuhan. Akal tidak
dapat mengetahui kewajiban berterimakasih kepada Tuhan, ia juga tidak mampu
mengetahui hal yang baik dan yang buruk, tidak pula mengetahui kewajiban
berbuat baik dan meninggalkan yang buruk. Untuk itulah Tuhan mengirimkan
rasul-rasulnya untuk mengajari manusia dengan Wahyu.34

31
Ashari, op.cit. Hal. 93
32
Ulum, op.cit. Hal. 8
33
Asy-Syafii, Madkur, Salim, op.cit, Hal. 121
34
Ashari, op.cit. Hal. 94

52
Aliran yang ketiga yakni Al-Maturidiyah yang juga tergolong Ahlu Sunnah.
Aliran ini dinamakan demikian karena didirikan dan berkembang di suatu kota
kecil bernama Maturid, daerah Samarqand, negara Uzbekistan saat ini oleh
Muhammad bin Muhammad Abu Mansur pada abad ketiga Hijriah. Al-Maturidi
sendiri mendasarkan pikiran-pikirannya dalam soal-soal kepercaaan kepada
pikiran-pikiran Islam Imam Abu Hanifah yang tercantum dalam kitabnya “al-
fiqh al-akbar dan al-fiqh al-absat”.35
Al-Maturidiyah mengalami perpecahan antara golongan Bukhara dan
Samarkand. Keduanya merujuk pada dua kota yang kebetulan sama-sama berada
di Uzbekistan. Golongan Samarkand berpendapat bahwa akal dapat mengetahui
yang baik dan yang buruk, akan tetapi akal tidak dapat mewajibkan manusia
untuk berbuat baik. Sedangkan golongan Bukhara berpendapat bahwa akal
manusia dapat mengetahui tentang eksistensi Tuhan dan perbuatan baik-buruk.
Akan tetapi, akal tidak dapat dijadikan dasar kewajiban dalam berterimakasih
kepada Tuhan termasuk pula dalam berbuat kebaikan. Akal memang dapat
mengetahui yang mana yang baik dan yang mana yang buruk, namun kewajiban
berbuat baik dan meninggalkan perbuatan buruk adalah ditentukan oleh
wahyu.36 (Ashari, 2020: 94).

C. Kesimpulan

Teologi adalah suatu pengetahuan tentang ketuhanan (ketauhidan)


mengenai sifat-sifat Allah SWT, dasar kepercayaan dan agama berdasarkan
kitab suci. Sedangkan Harun Nasution menyebutkan teologi adalah ilmu yang
membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama, sebagaimana manusia ingin
menyelami seluk beluk agamanya secara mendalam. Dalam agama Islam, ilmu
teologi sering disebut sebagai Ilmu Kalam. Hal ini dikarenakan Al-Quran
merupakan sumber hukum tertinggi umat Islam, dan Al-Quran itu sendiri adalah
kalam dari Allah SWT.

35
Mukhlis, op.cit. Hal. 143
36
Ashari, op.cit. Hal. 94

53
Ilmu kalam lahir karena dua faktor, yakni unutk menjaga kemurndian ajaran
Islam dan memecahkan persoalan agama yang semakin hari semakin rumit dari
sisi filsafat dan logika. Peristiwa politik yang memicu lahirnya teologi Islam dan
aliran-alirannya adalah persoalan tentang khalifah setelah wafatnya Nabi
Muhammad SAW, terutama saat masa kekuasaan Usman bin Affan dan Ali bin
Abi Thalib yang berujung pada Perang Jamal dan Perang Shiffin. Meskipun telah
menerima perdamaian melalui Tahkim, persitegangan antara pengikut
Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib terus terjadi. Hal ini hingga menimbulkan
kekecewaan dan menjadi awal dari munculnya aliran Teologi, yakni kaum
Khawarij yang keluar dan bahkan justru memusuhi Ali.

Kaum Khawarij memiliki pemikiran bahwa jika seseorang tidak berhasil


membuktikan imannya dalam bentuk menghindari dari perbuatan dosa, maka
dapat diterapkan hukum kafir dan dapat dibunuh. Menurut mereka baik
Muawiyyah dan Ali sama-sama telah keluar dari Islam karena tidak
menggunakan hukum Allah dalam menyelesaikan permasalahannya (Tahkim
dianggap hukum buatan manusia). Metodologinya berpangkal pada keutuhan
mutlak antara unsur-unsur iman yang terdiri dari pembenaran dalam hati dengan
realisasinya dalam perbuatan konkrit. Berbeda dengan Ali soal posisi khalifah,
menurut kelompok ini setiap orang berhak menjadi khalifah akan tetapi dengan
syarat ia harus Islam, adil, dan menjalankan syariat Islam.

Sedangkan aliran Syiah adalah kelompok yang tetap setia dengan Ali,
bahkan menjadi pendukung fanatikya. Syiah menganggap sahabat Ali bin Abi
Thalib lah yang paling berhak menjadi khalifah, dengan artian khalifah tidah
boleh keluar dari keluarga Ali. Ajaran-ajaran utama aliran ini antara lain: Al-
Ishamah yakni pemimpin tidak berbuat dosa dan maksiat serta tidak boleh
berbuat salah atau lupa, Al-Raj’ah yakni keyakinan akan datangnya imam yang
menegakkan keadilan, dan Al-Mahdi yakni menjaga kehormatan, keselamatan
jiwa, dan harta benda yang dimiliki.

Beda lagi dengan aliran Murjiah yang mengambil sikap kompromistis dan
netral. Mereka beranggapan seorang yang telah melakukan dosa besar dan

54
bertikai tetaplah mu’min sekalipun telah melakukan kesalahan. Mereka
menunda persoalan-persoalan dosa besar dan keimanan di hari kiamat nanti.
Kelompok ini juga tidak mempermasalahka imamah di luar suku Quraisy
asalkan memang disepakati umat dan mampu menegakkan Kitabullah dan
sunnah.

Aliran lain yakni Mutazilah dikenal sebagai aliran rasionalistik dalam Islam.
Hal ini dikarenakan ia menganut lima prinsip dasar antara lain; 1) At-Tauhid,
yakni menyucikan Allah SWT dengan sebenar-benar penyucian tanpa disertai
unsur penyerupaan mahluk. Sehingga ia meniadakan sifat-sifat Allah SWT. 2)
Al-Adl, yakni berdiri di atas akidah Qadariyah bahwa Allah SWT menciptakan
pebruatan manusia tetapi manusia sendirilah yang menciptakan perbuatannya.
3) Al-Wa’d wa Al-Wa’id (janji dan ancaman), bahwa janji Allah SWT kepada
orang-orang yang taat dan yang durhaka pasti akan ditunaikan. 4) Al-Manzilah
baina Al-Manzilatain, bahwa pelaku dosa besar tidak disebut mukmin maupun
kafir, tapi fasik. 5) Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar.

Kelima yakni aliran Ahlu Sunnag wal Jama’ah yang masih berpegang pada
sunnah bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang qadi (dahulu). Ahlu
Sunnah menganut ruyatullah, bahwa Allah SWT bisa dilihat pada hari kiamat
tanpa menyerupakan atau meniadakan. Percaya akan syafaat dan ampunan dari
semua dosa kecuali dosa syirik. Mewajibkan menggali hukum syariah dari Al-
Qur’an, sunnah, dan ijma para sahabat. Dalam hal imamah mereka mengakui
kepemimpinan semua Khulafaurrasyidin dan pendahulu mereka yang
salafussaleh. Mewajibkan taat kepada pemimpin selagi tidak dalam
kemaksiatan, dan menolak pandangan imam harus berdasarkan nash. Melainkan
didasarkan pada musyawarah dan baiat.

Teologi Islam juga tidak hanya berhenti pada aliran-aliran teologi yang
memperdebatkan soal dosa besar, sifat-sifat Allah SWT, dan imamah semata.
Lebih jauh juga berkembang ke perdebatan soal wahyu dan akal, manakah yang
lebih unggul diantara keduanya? Apakah wahyu dapat diterima begitu saja? Hal

55
ini akhirnya mendorong munculnya tiga aliran besar yang membicarakan
keduanya yakni Mu’tazilah, Asy’ariah, dan Maturiddiyah.

Menurut Mutazilah, meskipu belum ada wahyu manusia wajib


berterimakasih pada Tuhan yang telah menciptakan bumi dan isinya dengan
beribadah dan sebagainya. Perbuatan baik dan buruk, tentu manusia dapat
mengetahuinya dengan akal. Wahyu tetap dibutuhkan, sebab tidak akan mampu
mengetahui tuhan secara rinci. Sebab akan hanya mengetahui yang umum-
umum saja tidak sampai pada hal yang rinci. Jadi, wahyu lebih berfungsi sebagai
konfirmasi.

Sedangkan kaum Asy’ariah, sangat menekankan terciptanya keseimbangan


dalil-dalil syar’i dan dalil-dalil ‘aqli untuk menopang dan memperkuat
landasannya. Wahyu sangat penting karena akal hanya mampu mengetahui
adanya tuhan. Akal tidak dapat mengetahui kewajiban berterimakasih pada
tuhan, tidak mengetahui hal yang baik dan buruk, atau pun mengerjakan dan
meninggalkannya. Untuk itulah Tuhan mengirimkan rasul-rasulnya untuk
mengajari manusia dengan wahyu.

Aliran Al-Maturiddiyah terpecah antara golongan Bukhara dan Samarkand.


Golongan Samarkand berpendapat bahwa akal dapat mengetahui yang baik dan
yang buruk. Akan tetapi akal tidak mewajibkan manusia untuk berbuat baik.
Sedangkan golongan Bukhara berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui
eksistensi Tuhan dan perbuatan baik-buruk, tetapi tidak dapat dijadikan dasar
kewajiban dalam berterimakasih kepada Tuhan termasuk pula dalam berbuat
kebaikan. Karena dua hal itu ditentukan oleh wahyu.

56
DAFTAR PUSTAKA

Ashari, S. M. (2015). Teologi Islam Perspektif Harun Nasution. An-Nur Jurnal


Studi Islam, 10 (1). Retrieved from http://ejournal.iiq-
annur.ac.id/index.php/An-Nur/article/view/82, 73-96.
Asy-Syafi'i, H., Madkur, A.-H., & Salim, A. (2015). Ensiklopedi Aliran dan
Madzhab Di Dunia Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Haidar , B. (2005). Buku Saku Filsafat Islam. Bandung: Mizan.
Karim, A. (2015). Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta:
Bagaskara.
Khudori, S. (2016). Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Mohammad, M. (201). Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan
Keranga Teori Ilmu Pengetahuan. . Yogyakarta: Penerbit LESFI.
Muhammad, S. (2015). Aliran-aliran Teologi Dalam Islam (Perang Shiffin dan
Implikasinya Bagi Kemunculan Kelompok Khawarij dan Murjiah). Nur El-
Islam Jurnal Pendidikan dan Sosial Keagamaan, (2) 1). Retrieved from
https://ejurnal.iaiyasnibungo.ac.id/index.php/nurelislam/article/view/47 ,
105-112.
Mukhlis, F. H. (2015). Model Penelitian Kalam: Teologi Islam (Ilmu Kalam)
Ahmad Hanafi. Dialogia Jurnal Studi Islam dan Sosial, (13) 2. Retrieved
from https://jurnal.iainponorogo.ac.id/index.php/dialogia/article/view/293
, 137-148.
Saefur, R. (2008). Teologi, Kekuasaan, dan Keadilan Dalam Perspektif Sejarah
Islam. Jurnal Istoria, (7) 1. Retrieved from
https://journal.uny.ac.id/index.php/istoria/article/view/6305 , 1-16.
Ulum, D. (2018). Studi Pemikiran Islam. Pamekasan: IAIN Madura.

57
PEMIKIRAN FILSAFAT ISLAM

Oleh: Mijil Sunoto


NIM. 20718251031

A. Pendahuluan

Filsafat merupakan salah satu cabang studi dalam disiplin ilmu pengetahuan.
Secara etimologi filsafat berasal dari Bahasa Arab “falsafah” yang merupakan
turunan dari kata “philosophia”. Dalam Bahasa Yunani philo berarti cinta dan
sophia berarti kebijaksaan, sehingga philosophia dapat diartikan sebagai cinta
kebijaksanaan. Aristoteles mendefinisikan filsafat sebagai sebuah ilmu
pengetahuan yang meliputi kebenaran mengenai ilmu-ilmu metafisika, logika,
retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.37 Sementara menurut Ahmad Azhar
Basyir, filsafat merupakan pemikiran rasional, kritis, sistematis, dan radikal tentang
suatu obyek, berupa segala yang ada, baik itu Tuhan, manusia, dan alam. Jika yang
menjadi obyek kajian adalah Tuhan maka akan melahirkan filsafat Ketuhanan
(Teologi), jika yang menjadi obyek kajian adalah manusia maka akan melahirkan
filsafat manusia, dan jika yang menjadi obyek kajian adalah alam maka akan
melahirkan filsafat alam.38
Pemikiran filsafat masuk dalam dunia islam melalui filsafat Yunani yang
dijumpai oleh para pemikir muslim di Suria, Mesopotamia, Persia, dan Mesir.
Kebudayaan dan falsafah Yunani masuk ke dunia islam dikarenakan adanya
ekspansi Alexander Agung ke Timur di abad ke-4 SM. Politik Alexander Agung
untuk menyatukan kebudayaan Yunani dan kebudayaan Persia meninggalkan
warisan di daeah-daerah yang dikuasainya, sehingga memunculkan pusat-pusat
kebudayaan Yunani di Timur. Faktor lain yang memungkinkan filsafat Yunani
dikaji oleh orang-orang islam adalah karena adanya penerjemahan yang dilakukan
terhadap literatur, karya-karya pemikiran Yunani kedalam Bahasa Arab. Selain itu,

37
Waris, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Stain Press, 2014), hlm. 5.
38
Ajat sudrajat, Sejarah Pemikiran Dunia Islam dan Barat, (Yogyakarta:
Intrans, 2015), hlm. 48.

58
pada masa Pemerintahan Khalifah Al Makmun (813-833 M) dari Dinasti
Abbasiyah/Bani Abbas banyak ilmuwan-ilmuwan muslim yang dikirim ke
Bizantium dalam rangka mencari manuskrip Yunani yang kemudian dibawa ke
Baghdad untuk diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab.

Melalui penerjemahan-penerjemahan tersebut, para pemikir muslim mulai


mengenal pemikiran-pemikiran para filosof Yunani seperti, Socrates, Plato, dan
Aristoteles, serta ajaran-ajaran Neoplatonisme untuk kemudian mereka
kembangkan dan perkaya dengan pendekatan islam, sehingga lahirlah disiplin ilmu
baru dalam dunia pemikiran islam yang dikenal dengan filsafat islam.39 Hadirnya
filsafat islam (al-Falsafah al-Islamiyah) tentu membawa paradigma baru dalam
perkembangan dan pengembangan filsafat dalam dunia pengetahuan. Beberapa
tokoh filsuf islam diantaranya, Al Kindi, Al Faraby, Ibn Sina, Ibn Miskawih, Al
Razi, dan Ibn Rusyd.

B. Pembahasan
1. Filsafat Islam dan Perkembanganya

Secara sederhana, filsafat islam diartikan sebagai pemikiran mengenai segala


hal yang didasari oleh ajaran/agama islam. Filsafat islam merupakan hasil
pemikiran filosof tentang ketuhanan, kenabian, kemanusiaan, dan alam yang
dilandasi ajaran islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis.
Filsafat islam berupaya memadukan antara wahyu dengan akal, akidah dengan
hikmah, agama dengan filsafat, serta menjelaskan bahwa wahyu tidak
bertentangan dengan akal. Dalam perkembangan selanjutnya, filsafat islam
mencakup segala aspek ilmu-ilmu yang terdapat dalam khasanah pemikiran
keislaman, seperti ilmu kalam, ushul fiqih, tasawuf, dan ilmu fikir lainya yang
diciptakan oleh pemikir islam. Ibrahim Makdur memberi batasan filsafat islam
adalah pemikiran yang lahir dalam pemikiran dunia islam untuk menjawab

39
Abubakar Madani, “Pemikiran Filsafat Al Kindi” Lentera, IXX (2),
2015, hlm 107.

59
tantangan zaman, yang meliputi Allah, alam semesta, wahyu, akal, agama, dan
filsafat.40
Perkembangan filsafat islam tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Dinasti
Abbasiyah, yang berpusat di Baghdad, Iraq. Pada masa khalifah Al Makmun,
didirikan sebuah lembaga/pusat penerjemah yang bernama Bait al Hikmah, yang
diketuai oleh Al Kindi. Dari sinilah awal mula lahirnya filsafat islam, yaitu
diawali dengan penerjemahan karya-karya filsuf Yunani, seperti Plato, Socrates,
dan Aristoteles. Dalam perkembangan selanjutnya para pemikir islam berhasil
menghasilkan karya-karya pemikiran mereka sendiri yang kemudian dikenal
sebagai filsafar islam/Arab. Para filosof islam banyak mengambil sebagian besar
pandanganya dari para filsuf terdahulu (Yunani) mencakup berbagai aspek.
Namun demikian, tidak sepenuhnya para filsuf islam menjiplak secara
keseluruhan. Mereka hanya mengambil garis besar dari beberapa pemikiran-
pemikiran dari para filsuf Yunani untuk kemudian dikembangkan sesuai dengan
pemikiranya, tentunya berlandasakan agama/ajaran islam. Menurut Asep
Sulaiman,41 filsafat islam memiliki batasan-batasan yang mencakup 3 hal,
meliputi:

a. Filsafat islam membahas masalah yang sudah pernah dibahas filsafat Yunani,
seperti ketuhanan, alam, ruh. Akan tetapi, selain dalam penyelesaian filsafat
islam berbeda dengan filsafat lain, para filosof muslim juga mengembangkan
dan menambahkan kedalamnya hasil pemikiran mereka sendiri.

b. Filsafat islam membahas masalah yang belum pernah dibahas oleh generasi
yang datang sebelumnya, seperti filsafat kenabian.

c. Dalam filsafat islam terdapat pemaduan antara agama dan filsafat, antara
akidah dan hikmah, serta antara wahyu dan akal.

40
Asep Sulaiman, Mengenal Filsafat Islam, (Bandung: Fadillah Press,
2016), hlm. 13.
41
Ibid., hlm. 13.

60
2. Tokoh-tokoh Pemikir Filsafat Islam

a. Al Kindi (801-873 M)

Al Kindi, alkindus memiliki nama lengkap yaitu Abu Yusuf Ya’kub ibn Ishaq
ibn Sabbah ibn Imran ibn Ismail Al Ash’ats ibn Qais Al Kindi, lahir di Kufah,
Iraq, tahun 801 M, pada masa pemerintahan Harun Al Rasyid, dari Dinasti Bani
Abbas (750-1258 M). Nama Al Kindi merupakan nisbat pada suku yang menjadi
asal usulnya, yaitu Banu Kindah yang sejak lama menempati daerah selatan
jazirah Arab. Al Kindi lahir dari keluarga berada, dari kalangan bangsawan dan
terpelajar. Ayahnya, Ishaq ibn Shabbah merupakan gubernur Kufah pada masa
pemerintahan Al Mahdi dan Harun Al Rasyid dari Dinasti Bani Abbas.

Pendidikan Al Kindi dimulai dengan mempelajari Al Qur’an, tata bahasa


Arab, kesusastraan, ilmu hitung, fiqh, dan teologi. Setelah beranjak dewasa, Al
Kindi mencurahkan perhatianya untuk menerjamah dan mengkaji pemikiran-
pemikiran rasional dari beberapa karya filsuf besar Yunani. Al Kindi banyak
menerjemahkan karya-karya filsafat, menjelaskan hal-hal pelik, dan
meringkasnya kedalam teori-teori. Pada masa pemerintahan Al Makmun (813-
833 M), melalui lembaga Bait al Hikmah, Al Kindi didapuk sebagai ketua tim
penerjemah karya-karya filsafat Yunanai kedalam Bahasa Arab. Pada masa
pemerintahan Al Mu’tashim (833-842 M) dan pemerintahan Al Watsiq (842-847
M), Al Kindi diangkat sebagai penasihat istana. Pada masa inilah, Al Kindi
menghabiskan waktunya untuk menulis karya-karyanya setelah sebelumnya
hanya sebagai penerjemah. Sepanjang hidupnya, Al Kindi telah menghasilkan
setidaknya 270 karya tulis yang diklasifikasikan kedalam 17 bidang ilmu
pengetahuan, meliputi filsafat, logika, ilmu hitung, globular, musik, astronomi,
geometri, sperikal, medis, astrologi, dialektika, psikologi, politik, meteorologi,
besaran, ramalan, dan logam dan kimia.42 Sementara beberapa karya Al Kindi
dalam bidang filsafat meliputi, fil al falsafat al Ula, Kitab al Hassi ‘ala Ta’allum

42
Khudori, Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer, (Yogyakarta:
Ar Ruzz Media, 2016), hlm. 72.

61
al Falsafat, Risalat ila al-Ma’mun fi al-‘illat wa Ma’lul, Risalat al A’dad, Kitab
al Falsafat al Dakhilain wa al masa’il al Manthiqiyyat wa al Mu’tashah wa ma
Faruqa al Thabi’yyat, Kammiyat Kutub Aristoteles, dan Fi al Nafs.43
1. Menyelaraskan Agama dan Filsafat

Al Kindi mendefinisikan filsafat sebagai sebuah ilmu tentang hakikat


(kebenaran) menurut kesanggupan manusia, mencakup ilmu ketuhanan,
keesaan, ilmu keutamaan/etika, ilmu tentang semua yang berguna dan cara
memperoleh, serta cara menjauhi perkara-perkara yang merugikan. Dari
pengertian tersebut, dapat diidentifikasi tujuan filsafat menurut Al Kindi, yaitu
bersifat teoritis dan bersifat praktis. Bersifat teoritis artinya filsafat diperuntukan
untuk memperoleh/mengetahui kebenaran, sementara bersifat praktis artinya
dapat mewujudkan kebenaran yang telah dipahaminya dalam sebuah tindakan.

Al Kindi hidup pada masa filsafat belum dikenal dengan baik dalam tradisi
pemikiran islam, tepatnya pada masa transisi dari teologi tradisional Yunani
menuju filsafat islam. Al Kindi merupakan pelopor dalam memperkenalkan
filsafat ke dunia islam, sehingga kemudian dikenal sebagai filosof bangsa Arab
(failasuf al Arab). Dengan keadaan yang demikian, setidaknya ada dua kesulitan
dan tantangan yang dihadapi Al Kindi. Pertama, kesulitan untuk menyampaikan
gagasan-gagasan filosofis kedalam Bahasa Arab yang ketika itu kekurangan
istilah teknis untuk menyampaikan ide-ide abstrak. Kedua, adanya tantangan
atau serangan yang dilancarkan oleh kalangan tertentu terhadap filsafat, dimana
filsafat dan filosof dituduh bertentangan dengan ajaran islam.44

Untuk mengatasi kesulitan pertama, Al Kindi menerjemahkanya dengan 4


hal, sebagai berikut: (1) Menerjemahkan secara langsung gramatika istilah-
istilah Yunani kedalam Bahasa Arab, misalnya kata hyle diterjemahkan dengan
thin (tanah liat). (2) Mengambil alih istilah-istilah Yunani kemudian

43
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof, dan Filsafatnya, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004), hlm. 43.
44
Khudori, op.cit., hlm. 74.

62
menjelaskanya dengan menggunakan kata-kata Bahasa Arab murni, seperti
failasuf untuk istilah Yunani philosophos (filosof), falsafah untuk istilah
philosophia (filsafat). (3) Menciptakan kata-kata atau istilah baru dengan cara
mengambil kata ganti dan menambahkan akhiran iyah dibelakangnya. Misalnya,
al mahiyah dari kata ma huwa (apakah itu), untuk menjelaskan istilah Yunani to
ti esti (esensi), al huwiyah dari kata ganti huwa (dia) untuk menjelaskan istilah
Yunani to on (substansi). (4) Memberikan makna baru pada istilah-istilah lama,
seperti masya’iyyah.45

Sementara itu, untuk menghadapi tantangan kedua, Al Kindi berupaya untuk


memahamkan masyarakat untuk berpikiran terbuka, mengingat ketika itu sistem
masyarakat islam cenderung tertutup. Al Kindi berpandangan bahwa kebenaran
adalah kebenaran yang bisa datang darimana saja dan umat islam tidak perlu
sungkan untuk mengakui dan mengambilnya. Dalam Falsafah al Ula, Al Kindi
menulis sebagai berikut:

“Kita hendaknya tidak merasa malu untuk mengakui sebuah kebenaran dan
mengambilnya dari mana pun dia berasal, meski dari bangsa-bangsa
terdahulu ataupun dari bangsa asing. Bagi para pencari kebenaran, tidak ada
yang lebih berharga kecuali kebenaran itu sendiri. Mengambil kebenaran dari
orang lain tidak akan menurunkan atau merendahkan derajat sang pencari
kebenaran, tetapi justru menjadikanya terhormat dan mulia”.

Pada dasarnya antara agama dan filsafat tidak saling bertentangan.


Menurutnya filsafat adalah semulia-mulia ilmu (disiplin ilmu pengetahuan),
sementara ilmu tauhid (teologi) merupakan cabang termulia dari filsafat. Dengan
kata lain, setinggi tingginya derajat ilmu pengetahuan adalah filsafat, sementara
setinggi-tingginya filsafat adalah filsafat teologi. Dengan demikian, berfilsafat
tidaklah berakibat mengaburkan dan mengorbankan keyakinan agama, seperti
yang sering dituduhkan orang. Al Kindi menegaskan bahwa filsafat yang paling
tinggi tingkatanya adalah filsafat yang berupaya mengetahui kebenaran/hakekat

45
Ibid.

63
pertama, kausa dari semua kebenaran, yaitu filsafat pertama, dalam hal ini adalah
Tuhan.46

Hubungan keselarasan antara agama dan filsafat oleh Al Kindi disebut


sebagai dalil kesetaraan, yang dikelompokan menjadi dalil kesetaraan Naqli dan
Aqli. Bukti bahwa agama dan filsafat tidak bertentangan dalam Al Qur’an dapat
dilihat di Surat Al Baqarah, ayat 164 dan Surat Al Hasyr, ayat 2 (Naqli).
Sementara bukti empirik (Aqli) dari keselarasan agama dan filsafat yaitu: (1)
Ilmu agama merupakan bagian dari filsafat. Jika ilmu tidak berinduk pada
filsafat, maka ilmu tersebut tidak bisa dikatakan sebagai ilmu, melainkan dogma.
(2) Wahyu yang diturunkan kepada nabi dan kebenaran filsafat saling sesuai. Hal
ini karena sumber ilmu pengetahuan itu pada dasarya sama, yaitu bersumber dari
Allah atau Tuhan. Hanya saja, wahyu diturunkan oleh Allah langsung kepada
utusanya (nabi dan rasul) melalui perantara malaikat jibril, sementara filsafat,
manusialah yang mengejarnya melalui akal. Akal merupakan perangkat yang
diberikan Allah untuk memahami berbagai persoalan, termasuk kebenaran akan
wahyu Allah. Namun, jika akal tidak/belum bisa memahami, maka tidak keliru,
melainkan tidak mampu karena akal mempunyai keterbatasan-keterbatasan.

2. Filsafat Ketuhanan Al Kindi (Falsafah al ‘Ula)

Mengenai keberadaan Tuhan, Al Kindi mengajukan beberapa argumen baik


filosofis maupun teologis. (1) Berdasarkan hukum kausalitas atau sebab akibat.
Semesta ini adalah terbatas dan tercipta dari ketiadaan. Setiap yang tercipta pasti
ada yang mencipta, dan sang pencipta semesta yang dimaksud adalah
Tuhan/Allah. (2) Berdasar prinsip bahwa segala sesuatu tidak dapat menjadi
sebab atas dirinya sendiri karena agar dapat menjadi sebab bagi dirinya, sesuatu
(alam semesta) itu harus ada sebelum dirinya. Artinya, jika semesta tidak dapat
muncul karena dirinya sendiri, maka ia butuh sesuatu dari luar dirinya untuk
memunculkanya, dan itu adalah Tuhan. (3) Berdasarkan analogi antara alam
makrokosmos (semesta) dan mikrokosmos (manusia). Sebagaimana tubuh

46
Ajat Sudrajat, op.cit., hlm. 50.

64
manusia yang bergerak dan berfungsi secara teratur, menunjukan adanya sang
pengatur yang cerdas dan tidak kelihatan yang disebut jiwa. Demikian juga
dengan alam semesta. Perjalanan alam yang teratur, tertib, dan selaras
menunjukan adanya sang pengatur yang sangat cerdas dan tidak leihatan, yaitu
Tuhan. Keberadaan Tuhan dapat diketahui melalui efek-efek pengaturan-Nya
yang bijak sebagaimana yang terwujud dalam alam semesta. (4) Didasarkan atas
argumen teleologis, yaitu dalil al inayah. Dalil ini menyatakan bahwa semua
gejala alam yang tertib, teratur, dan menakjubkan ini tidak mungkin terjadi
secara kebetulan, melainkan pasti karena adanya tujuan dan maksud tertentu,
sekaligus menunjukan adanya Zat Yang Maha Mengatur yang merupakan
pembangkit dari semua pembangkit, pertama dari semua yang pertama, dan
menjadi sebab dari semua sebab, yaitu Tuhan.47

Mengenai sifat-sifat Tuhan, Al Kindi menguraikannya menjadi dua sifat


yaitu, keesaan-Nya dan ketidaksamaan-Nya. Mengenai sifat keesaan-Nya, (1)
Tuhan satu-satunya yang esa, Al Wahid Al Haqiqah (esa yang sejati), sedangkan
esa-esa yang lain di alam ini adalah esa yang relatif. (2) Keesaan Tuhan tidak
mengandung kejamakan, sementara esa-esa yang laun selalu berkonotasi jamak.
(3) Tuhan adalah wujud sempurna yang tidak didahului oleh wujud lain, tidak
berakhir wujudnya, dan tidak ada wujud kecuali dengan-Nya. Misalnya, “di
meja ini hanya ada satu gelas kopi”. Saya tahu itu satu gelas kopi karena ada
banyak gelas kopi yang pernah saya lihat dan saya ketahui, bahwa itu memang
segelas kopi. Artinya, dalam yang tunggal (satu gelas kopi) tersebut terkandung
yang jamak (banyak gelas-gelas kopi yang lain yang telah saya ketahui).

Mengenai Ketidaksamaan-Nya, Al Kindi menguraikanya menjadi beberapa


argumen. (1) Tuhan itu tidak dapat dipahami oleh akal. Jika kita berpikir
langsung/memahami Tuhan, maka akal kita tidak akan sampai. Untuk mengatasi
hal tersebut, Al Kindi mengembangkan jenis teologi untuk memahami Tuhan,
yang disebut Teologi Negatif/Negasi. Menurutnya, satu-satunya sifat Tuhan

47
Khudori, op.cit., hlm. 83.

65
yang boleh disebut secara positif adalah keesaan-Nya, diluar itu tidak boleh ada
yang disebut secara positif. Untuk memahami Tuhan harus secara negasi (tidak).
Misalnya, Tuhan tidak makan, tidak minum, tidak tidur. Tetapi jika demikian,
lalu muncul pertanyaan: Apakah Tuhan Maha Kuasa atau Tuhan tidak Maha
Kuasa ? Jawabanya; Tuhan tidak Maha Kuasa, jika definisi Maha Kuasa seperti
apa yang ada dalam pikiran kita (sesuai definisi kita). Tuhan lebih dari apa yang
ada dalam pikiran kita, lebih dari apa yang bisa kita pikirkan tentang-Nya. Oleh
karena itu, maka kemudia Al Kindi membuat argumen bahwa Tuhan tidak bisa
dipahami oleh akal. (2) Pikiran manusia hanya dapat memahami/membaca
kategori-kategorinya saja yang didapatkan dari pikiran murninya, tidak bisa
masuk ke hakekatnya. (3) Wujud Yang mempunyai keabadian mutlak. (4) Tuhan
tidak mempunyai hakikat dalam arti aniyah dan mahiyah. Tidak aniyah karena
Tuhan tidak masuk dalam kategori benda-benda yang ada di alam, tiidak
tersusun dari materi dan bentuk, karena Tuhan adalah pencipta alam. Tidak
mahiyah karena Tuhan bukan genus/spesies. Tuhan hanya satu dan tidak ada
satupun yang menyamai-Nya.

3. Epistemologi

Epistemologi dalam filsafat ilmu merupakan cara atau usaha yang dilakukan
untuk memperoleh pengetahuan/kebenaran. Epistemologi menurut Al Kindi
diklasifikasikan menjadi 3 macam pengetahuan manusia, meliputi pengetahuan
inderawi, pengetahuan rasional, dan pengetahuan isyraqi/iluminatif. (1)
Pengetahuan inderawi. Pengetahuan inderawi terjadi secara langsung ketika
seseorang mengamati obyek material. Pengetahuan inderawi tidak memberi
gambaran tentang hakekat suatu realitas, pengetahuan inderawi selalu bersifat
parsial. (2) Pengetahuan rasional, merupakan pengetahuan yang diperoleh
dengan jalan menggunakan akal yang bersifat universal, tidak parsial, dan
bersifat immaterial. Obyek pengetahuan rasional bukan individu, melainkan
genus dan spesies. Apa yang diamati dari manusia bukanlan tinggi pendek,
warna kulit, lesung pipit, dan seterusnya yang bersufat fisik; melainkan
mengenai hakikatnya sehingga sampai pada suatu kesimpulan bahwa manusia

66
adalah makhluk berpikir. (3) Pengetahuan isyraqi, merupakan pengetahuan yang
langsung diperoleh dari pancaran Nur Ilahi. Puncak dan jalan ini adalah yang
diperoleh para nabi dan rosul untuk membawakan dan mengajarkan ajaran-
ajaran yang berasal dari wahyu kepada umat manusia. Tuhan telah menyucikan
jiwa mereka dan diterangkan-Nya jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran
dengan jalan wahyu. Pengetahuan dengan jalan wahyu ini merupakan
kekhususan bagi para nabi dan rosul. Namun, tidak menutup kemungkinan ada
manusia selain nabi dan rosul yang dapat memperoleh pengetahuan isyraqi,
meskipun derajatnya dibawah para nabi. Hal ini akan terjadi pada orang-orang
yang suci jiwanya.48

b. Al Farabi (872-950 M)

Nama lengkap dari Al Farabi yaitu Abu Nasr Muhammad ibn Muhammad
ibn Tarkham ibn Uzlagh al Farabi. Al Farabi merupakan putera dari seorang
panglima perang Dinasti Samani (874-999 M) yang berkuasa di daerah
Transoxania dan Persia. Nama Al Farabi diambil dari nama tempat kelahiranya,
yaitu Farab, Transaxonia. Sewaktu muda Al Farabi belajar filsat, logika,
matematika, metafisika, etika, ilmu politik, dan musik di Pusat Pengembangan
Ilmu Pengetahuan dan Filsafat, di Baghdad. Di kalangan filosof muslim, Al
Farabi dikenal dengan julukan al Mu-alim al Tsani (Guru Kedua), sementara
Guru Pertama (al Mu’alim al Awwal) adalah Aristoteles.49

Al Farabi dikenal sebagai salah satu filosof muslim terbesar yang memiliki
keahlian dalam banyak bidang keilmuwan, seperti ilmu bahasa, matematika,
musik, kimia, astronomi, kemiliteran, ilmu alam, ke-Tuhanan, fiqh, dan manthiq.
Tulisan-tulisan Al Farabi baik berupa buku-buku maupun risalah-risalah yang
masih ada dan di publikasikan, serta dapat di akses hingga sekarang kurang lebih
ada 30 judul. Beberapa karya Al Farabi diantaranya, Al Jam’u baina Ra’yay Al
Hakimain Aflathun wa Aristhu, Syarah Risalah Zainun Al Kabir Al Yunani, At

48
Ajat Sudrajat, op.cit., hlm.
49
Ibid.

67
Ta’liqat, Risalah fima Yajibu Ma’rifat Qabla Ta’allumi Al Falsafah, ‘Uyun Al
Masa.

1. Hubungan Filsafat dan Agama

Seperti halnya Al Kindi, Al Farabi juga berpandangan bahwa antara filsafat


dan agama tidak ada pertentangan. Dikatakan demikian, karena menurutnya
agama merupakan bentuk analogis dari filsafat. Gagasan-gagasan teoretis
agama, seperti ketuhanan dan moralitas akan ditemukan argumentasinya dalam
filsafat, sementara agama hanya diturunkan tanpa melalui argumentasi. Agama
hanya menjelaskan hal-hal seperti misalnya, Tuhan itu esa, Tuhan itu satu, tidak
beranak, tidak makan dan minum, tanpa melalui pendalaman argumentasi
melalui penalaran. Bentuk-bentuk praktik amaliah agama, capaian-capainya
tersebut dapat dijumpai dalam filsafat moral. Hal-hal semacam ini telah dikaji
oleh para filosof sebelum datangnya agama.

Al Farabi berpandangan bahwa filsafat lebih dulu ada dibanding agama dan
antara wahyu dan akal tidak saling bertentangan. Apa yang diterima nabi dan
rosul melalui wahyu memiliki derajat kebenaran yang sama dengan temuan-
temuan para filosof melalui penalaran dan perenungan (akal pikiran). Jika nabi
diberi wahyu secara langsung oleh Tuhan, maka para filosof harus
mengenjar/menemukan pengetahuan/kebenaran melalui akal pikiran mereka.
Sebagai contoh, berlaku adil dalam filsafat adalah baik karena adil itu tindakan
yang baik jika ditinjau dengan akal. Sementara dalam agama adil itu tindakan
yang baik karena merupakan perintah Tuhan.

2. Filsafat Metafisika

Filsafat metafisika yang dilontarkan oleh AL Farabi dikenal dengan istilah


emanasi. Emanasi merupakan salah satu pemikiran penting Al Farabi yang
berkaitan dengan realitas wujud. Teori ini berusaha memecahkan masalah-
masalah yang dilontarkan Plato (427 Sm-347 SM) dan Aristoteles (384-322
SM), yaitu hubungan antara Tuhan yang gaib dengan alam yang empiris, antara
substansi dan aksidensi, antara yang tetap dan yang berubah, antara yang Esa

68
dan yang jamak. Menurut Al Farabi, seluruh realitas yang ada ini, baik spiritual
maupun material muncul dari Yang Pertama atau Sebab Pertama melalui
pancaran (faidh) seperti seberkas sinar keluar dari matahari atau panas yang
muncul dari api. Pancaran atau emanasi ini memunculkan wujud-wujud secara
berurutan dan berjenjang. Artinya, wujud-wujud yang muncul tersebut tidak
berada pada derajat yang sama melainkan bertingkat-tingkat secara hirarkis,
dimana wujud yang keluar lebih dahulu dan lebih dekat dengan sebab pertama
dianggap lebih mulia dibanding wujud-wujud lain yang baru muncul
kemudian.50

al Maujud al Awwal Berfikir tentang Tuhan Akal berfikir tentang


(Tuhan) dirinya
Wujud 2 Akal 1 Langit
Wujud 3 Akal 2 Bintang
Wujud 4 Akal 3 Saturnus
Wujud 5 Akal 4 Yupiter
Wujud 6 Akal 5 Mars
Wujud 7 Akal 6 Matahari
Wujud 8 Akal 7 Venus
Wujud 9 Akal 8 Mercurius
Wujud 10 Akal 9 Bulan
Wujud 11 Akal 10 Wujud Roh

Sumber: M. Wiyono. “Pemikiran Filsafat Al Farabi”, Substantia, 18(1), 2016.

Al Farabi beranggapan bahwa segala yang ada di alam semesta ini


memancarkan Zat Tuhan melalui akal-akal yang berjumlah sepuluh. Tuhan
berpikir tentang diriNya dan dari pemikiran ini memancarlah Akal Pertama.
Akal Pertama lalu berpikir tentang Tuhan, lalu muncul Akal Kedua. Akal
Pertama berpikir tentang dirinya, maka muncul Langit (Wujud Pertama). Akal
Kedua berpikir tentang Tuhan, maka muncul Akal Ketiga. Akal Ketiga berpikir

50
Khudori, op.cit., hlm. 97.

69
tentang dirinya lalu muncul Bintang (Wujud Kedua). Begitu seterusnya sampai
Akal Kesepuluh, ang disebut akal (Aql) Fa’al (Akal Aktif/ penghubung antara
Tuhan dan manusia). Akal Kesepuluh ini mengatur dunia fana dan ruh-ruh
manusia, serta empat unsur materi pertama dalam bentuk air, tanah, api, dan
udara. Selanjutnya dari unsur-unsur ini bermunculan materi lain seperti, besi,
alumunium, tembaga, perak, emas, dan muncul juga tanaman-tanaman dan
hewan termasuk juga manusia.51
3. Filsafat Kenabian

Menururt Al Farabi, manusia dapat berhubungan dengan ‘Aql Fa’al (Akal


Kesepuluh/Jibril) melalui dua cara, yaitu penalaran atau renungan pemikiran dan
imaginasi atau intuisi (ilham). Cara pertama hanya dapat dilakukan oleh pribadi-
pribadi pilihan yang dapat menembus alam materi untuk dapat mencapai cahaya
ketuhanan. Sementara cara kedua hanya dapat dilakukan oleh para nabi. Namun,
perbedaan antara kedua cara tersebut hanya pada tingkatanya saja, tidak
mengenai esensinya.52

Al Farabi beranggapan bahwa nabi dan rosul dapat menerima wahyu karena
mereka mempunyai kesanggupan untuk berkomunikasi dengan ‘Aql Fa’al (Akal
Kesepuluh). Dalam pandangan islam, Akal Kesepuluh ini dapat disamakan
dengan malaikat/jibril.53 Nabi dan rosul adalah manusia pilihan, mereka dapat
berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh bukan atas usahanya sendiri, melainkan
atas pemberian Tuhan. Para nabi dan rosul diberi daya imajinasi yang begitu kuat
oleh Tuhan, sehingga mereka dapat berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh
tanpa latihan. Dengan imajinasi yang kuat, para nabi dan rosul dapat melepaskan
diri dari pengaruh panca indera dan dari tuntutan jasmani. Sementara itu, para

51
M. Wiyono, “Pemikiran Filsafat Al Farabi” Substantia, 18 (1), 2016,
hlm. 73.

Qosim Nursheha Dzulhadi, “Al Farabi dan Filsafat Kenabian”Jurnal


52

Kalimah, 12 (1), 2019, hlm. 131.


53
Ajat Sudrajat, op.cit., hlm. 53.

70
filosof dapat berhubungan dengan Akal Kesepuluh melalui akal
mustafad/intelektual dengan melalui latihan-latihan kontemplasi dan
perenungan atau melalui kegiatan berpikir menadalam terhadap sesuatu.54

4. Tentang Akal

Akal daya pikir dalam pandangan Al Farabi mempunyai tiga tingkatan.


Pertama, al ‘aql al hayulani (akal materil/akal potensial). Akal potensial
menangkap bentuk-bentuk dari benda-benda atau obyek yang dapat ditangkap
oleh panca indera. Kedua, al ‘aql bi al fi’l (akal aktuil/actual intellect). Akal
aktuil menangkap dan memahami arti-arti dan konsep-konsep. Ketiga, al ‘aql al
mustafad (acquired intellect). Akal ini mempunyai kesanggupan untuk
mengadakan komunikasi dengan atau menangkap inspirasi dari akal yang ada di
atas dan di luar diri manusia, yaitu Akal Kesepuluh (al Alq al Fa’al/active
intellect), yang mana mengandung bentuk-bentuk segala yang ada semenjak azal
(kekal). Hubungan akal manusia dan Akal Aktif (al Alq al Fa’al) sama halnya
dengan hubungan mata kita dengan matahari. Mata melihat matahari karena ia
menerima cahaya dari matahari. Begitupun dengan akal manusia, dapat
menangkap arti-arti dan bentuk-bentuk karena mendapat cahaya dari Akal
Aktif.55

c. Ibn Sina (980-1037 M)

Ibn Sina merupakan seorang filosof islam yang juga mendalami ilmu
kedokteran. Ibnu Sina memiliki nama lengkap Abu Ali Husain ibn Abdullah ibn
Sina. Ibn Sina lahir di suatu tempat yang bernama Afsyana di Bukhara, pada
tahun 340 H (980 M). Orangtuanya merupakan pegawai tinggi pada
pemerintahan Dinasti Samani. Ketika muda, Ibn Sina belajar berbagai macam
ilmu pengetahuan, seperti Matematika, filsafat, Kedokteran, Logika, Fisika,
Aritmatika.

54
M. Wiyono, op.cit., hlm. 74.

55
Ajat Sudrajat, op.cit., hlm. 53.

71
Di kalangan bangsa Barat, Ibn Sina dikenal dengan nama Avicenna, seorang
yang ahli dalam bidang filsafat dan juga bidang pengobatan (kedokteran). Dalam
bidang filsafat, karyanya yang terkenal yaitu Al Syifa’, memuat ilmu alam,
logika, ilmu pasti, dan ketuhanan. Sementara dalam bidang kedokteran, Ibn Sina
menulis buku yang berjudul Al Qanun (Canon of Medicine) , yang memuat
semua yang berkaitan dengan ilmu kedokteran, fisiologi, anatomi, dan
pengobatan.56

1. Filsafat Metafisika

Menururt Ibnu Sina, alam ini diciptakan dengan jalan emanasi seperti halnya
yang dikemukakan oleh Al Farabi. Tuhan merupakan wujud pertama yang
immateri dan dariNyalah memancar segala yang ada. Dari Tuhan memancar
Akal Pertama. Dari Akal Pertama memancar Akal Kedua, Dari Akal Kedua
memancar Akal Ketiga, dan seterusnya sampai Akal Kesepuluh. Menurut Ibnu
Sina, Akal-Akal tersebut adalah Malaikat. Akal Pertama merupakan Akal
Tertinggi, sementara Akal Kesepuluh adalah Jibril yang mengatur bumi.

Dalam Teori Emanasi Ibnu Sina, Akal Pertama mempunyai dua sifat, yaitu
sifat wajib wujudNya, sebagai pancaran dari Allah dan sifat mungkin wujudNya
ditinjau dari hakikat dirinya. Dengan demikian, Akal Pertama mempunyai tiga
obyek pemikiran, yaitu Tuhan, diriNya sebagai wajib wujudNya, dan dirinya
sebagai mungkin wujudNya. Dengan begitu, dari pemikitan tentang Tuhan
muncul Akal-Akal, dari pemikiran diriNya sebagai wajib wujudnya muncul
jiwa-jiwa, dan dari pemikiran diriNya sebagai mungkin wujudNya muncul langit
dan planet-planet.57

Jadi, secara hirarkis, penciptaan alam semesta melalui Teori Emanasi Ibn
Sina, sebagai berikut. Tuhan sebagai Al Maujud al Awwal (wujud pertama)

56
Waris, op.cit., hlm. 45.
57
Ahmad Baharuddin, “Ibn Sina dan Pemikiran Teori Emanasi” Jurnal Adabiyah,
15 (2), 2015, hlm. 207.

72
memancarkan Akal Pertama. Akal Pertama berpikir tentang Tuhan, muncul Akal
Kedua. Akal Pertama berpikir tentang dirinya sebagai wajib wujudNya
memunculkan jiwa-jiwa Langit. Kemudian Akal Pertama berpikir tentang
dirinya sebagai mungkin wujudNya, memunculkan Langit. Akal Kedua berpikir
tentang Tuhan memunculkan Akal Ketiga. Akal Kedua berpikir tentang dirinya
sebagai wajib wujudNya memunculkan jiwa-jiwa Bintang, berpikir sebagai
mungkin wujudNya memunculkan Bintang. Begitu seterusnya sampai Akal
Kesepuluh. Dari Akal Kesepuluh memancara segala apa yang ada di bumi yang
berada dibawah bulan, termasuk jiwa manusia.58

2. Tentang Jiwa

Menurut Ibnu Sina, jiwa yang memancar dari Akal Kesepuluh dikelompokan
menjadi tiga jenis. Pertama, jiwa tumbuh-tumbuhan (al nafs al nabatiyyah).
Pada jiwa ini mencakup didalamnya tiga daya, yaitu makan (al ghadaiah),
minum (al namiah), dan berkembang biak (al maulidah). Kedua, jiwa binatang
(al nafs al hawwaniyyah). Pada jiwa ini mencakup dua daya, yaitu gerak (al
muharrikah) dan menangkap (al mudrikah). Daya menangkap dilakukan dengan
dua cara, yaitu menangkap dari luar dengan panca indera dan menangkap dari
dalam dengan indera-indera dalam, meliputi:

i. Indera bersama, yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera.

ii. Representasi, yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama.

iii. Imaginasi, yang dapat menyusun apa yang disimpan dalam representasi.

iv. Estimasi, yang dapat menangkap hal-hal abstrak yang terlepas dari materi.
Misalnya keharusan lari bagi rusa jika ada singa.

v. Rekoleksi, yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh estimasi.

Ketiga, jiwa manusia (al nafs al natiqah). Pada jiwa ini mencakup dua daya,
yaitu daya praktis dan daya teoritis. Daya praktis mempunyai kedudukan penting

58
Ibid.

73
karena berperan dalam mengontrol badan/tubuh manusia (materi). Sementara
daya teoritis berhubungan dengan hal-hal abstrak dan mempunyai empat
tingkatan. (1) Akal materil, yang semata-mata mempunyai potensi untuk
berpikir dan belum dilatih sedikitpun. (2) Akal intelektual/Intellectus in habitu,
yang telah mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal abstrak. (3) Akal aktuil,
yang telah dapat berpikir tentang hal-hal abstrak. (4) Akal mustafad, ysng telah
sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak dengan tidak perlu daya upaya karena
akal ini sudah terlatih sehingga hal-hal asbtrak selamanya ada dalam akal ini.
Akal semacam inilah yang dapat menerima limpahan pengetahuan dari Akal
Kesepuluh (malaikat/Jibril).59

Dalam pandangan mengenai jiwa ini, sifat seseorang sangat bergantung pada
pengaruh diantara tiga macam jiwa pada dirinya. Jika jiwa tumbuhan atau
binatang yang berkuasa pada dirinya, maka orang tersebut akan menyerupai
binatang. Lain halnya jika jiwa manusia yang berkuasa atas dirinya, maka
manusia tersebut dekat dengan kesempurnaan. Disinilah peranan daya praktis
dalam upayanya mengontrol badan manusia, sehingga hawa nafsu yang ada
dalam dirinya tidak menjadi halangan bagi daya teoritis untuk membawa
manusia kepada tingkatan yang tinggi dalam usahanya mencapai
kesempurnaan.60

3. Filsafat Kenabian

Akal manusia terdiri dari empat tingkatan, meliputi akal materil, akal
intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad. Ada kalanya Tuhan
menganugerahkan akal materil yang begitu besar dan kuat, yang oleh Ibnu Sina
disebut al hads (intuisi). Daya yang ada pada akal materil begitu besar, sehingga
tanpa melalui latihan, dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan

Abdullah Nur, “Ibnu Sina: Pemikiran Filsafatnya Tentang Al Fayd, Al Nafs, Al


59

Nubuwwahm dan Al Wujud” Jurnal Hunafa, 6 (1), 2009, hlm. 113.

60
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1978), hlm. 37.

74
dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal seperti ini
mempunyai daya suci dan inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh oleh
manusia. Dalam hal ini terdapat pada para nabi dan rosul.61 Selain itu, para nabi
dan rosul juga memiliki daya mental yang luar biasa. Dengan daya ini mereka
dapat mempengaruhi hal-hal yang bersifat jasmani dan mampu menghasilkan
peristiwa-peristiwa di luar kebiasaan pada umumnya yang dikenal sebagai
mukjizat, tentu atas izin Tuhan.

d. Ibn Miskawih (932-1030 M)

Abu ‘Ali al Khazim ibn Muhammad ibn Ya’qub Miskawih atau yang kita
kenal dengan Ibn Miskawih lahir di Raiy (Teheran) pada 932 M. Ibn Miskawih
belajar dan mematangkan pengetahuanya di Baghdad dan kemudian wafat di
Isfahan, pada 1030 M. Latar belakang pendidikanya tidak memperoleh
keterangan secara rinci. Akan tetapi, ia dikatahui belajar sejarah kepada Abu
Bakr Ahmad Ibn Kamil Al Qadi, pelajaran filsafat diperoleh dari Ibn al
Khammar, dan pelajaran kimia diperoleh dari Abu Thayyib.62

Selain seorang filosof, Ibn Miskawih juga seorang yang ahli dalam bidang
sejarah, kedokteran, sastra dan syair, serta dalam bidang bahasa. Hal ini
dibuktikan dengam berbagai hasil karya tulisanya, baik berupa buku-buku
maupun artikel. Menurut Ahmad Amin, jumlah buku dan artikel yang dihasilkan
sepanjang hidupnya sebanyak 41 buah, dimana sebagaian besar karya filsafatnya
berupa falsafat akhlak. Beberapa karya Ibn Miskawih meliputi, Risalat fi al
Lazzat wa Al Alam, Risalat fi Al Thabiat, Maqalat al Nafs wa Al ‘aql, Kitab
Thaharat Al Nafs, dan yang paling terkenal yaitu Tahzib al Akhlaq.

61
Ahmad Baharuddin, op.cit, hlm. 210.
62
Hariyanto dan Fibriana Anjaryati, “Character Building: Telaah
Pemikiran Ibnu Miskawih Tentang Pendidikan Karakter” JPII, 1 (1), 2016, hlm.
112.

75
1. Filsafat Akhlak

Secara etimologis, akhlak merupakan bentuk jamak dari khuluq yang berarti
budi pekerti, perangai, tingkah laku, tabiat. Ibnu Miskawih mendefinisikan
akhlak sebagai sebuah keadaan jiwa yang mengajak seseorang untuk melakukan
perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan sebelumnya, sehingga
dapat dijadikan fitrah manusia maupun hasil dari latihan-latihan yang telah
dilakukan, hingga menjadi sifat diri yang dapat melahirkan khuluq yang baik.63
Dalam kitab Tahzib al Akhlaq, ia membagi akhlaq menjadi dua, yaitu akhlak
alamiah dan akhlak yang tercipta melalui latihan-latihan (kebiasaan).
Menurutnya, akhlak itu alami sifatnya, namun akhlak dapat berubah cepat atau
lambat melalui disiplin latihan maupun nasehat-nasehat yang mulia.

Dalam kitab Tahzib al Alhkaq, Ibn Miskawih mengklasifikasikan tiga tujuan


pendidikan akhlak. Pertama, mencetak tingkah laku manusia yang baik,
sehingga manusia dapat berperilaku terpuji dan sempurna sesuai dengan
hakikatnya sebagai manusia. Kedua, mengangkat manusia dari derajat rendah
menuju derajat yang lebih tinggi. Ketiga, mengarahkan manusia menuju pribadi
manusia yang lebih baik.64 Pada dasarnya tujuan pendidikan akhlak adalah
terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk
melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik, sehingga mencapai
kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati.

Menururt Ibnu Maskawih ada tiga hal pokok dalam materi pendidikan
akhlak. (1) Hal-hal yang wajib bagi kebutuhan jasmani manusia. (2) Hal-hal
yang wajib bagi kebutuhan jiwa manusia. (3) Hal-hal yang wajib hubunganya
dengan sesama manusia. Dari tiga hal pokok tersebut, Ibn Miskawih kemudian

63
Ibid., hlm. 113.
64
Ahmad Wahyu Hidayat dan Ulfa Kesume, “Analisis Filosofis Pemikiran
Ibnu Miskawih (Sketsa Biografi, Konsep Pemikiran Pendidikan, dan Relevansinya
di Era Modern)” Jurnal Pendidikan Islan, 2 (1), 2019, hlm. 92.

76
mengelompokannya lagi menjadi dua, yaitu ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
pemikiran dan ilmu-ilmu yang berhubungan/berkaitan dengan indera.65

Materi pendidikan akhlak yang wajib dipelajari sesuai dengan kebutuhan


jasmani manusia yaitu shalat, puasa, dan sa’i. Gerakan-gerakan shalat secara
teratur dapat digolongkan kedalam olah tubuh manusia. Gerakan sujud misalnya,
menurut penelitian dapat membantu memperlancar peredaran darah ke otak.
Begitu pula dengan puasa yang dapat merefresh/memaintaince pencernaan
manusia menjadi lebih baik. Selanjutnya materi pendidikan akhlak yang wajib
dipelajari bagi keperluan jiwa yaitu aqidah, mengesakan Tuhan dengan segala
kebesaranNya. Sementara materi pendidikan akhlak yang berkaitan dengan
hubungan sesama manusia yaitu materi dalam ilmu muamalat, pertanian.66

2. Tentang Jiwa

Dalam hubunganya dengan jiwa, Ibnu Miskawih membaginya kedalam tiga


macam kekuatan jiwa. Pertama, bahimiyah atau syahwiyah (kebinatangan atau
nafsu syahwat), merupakan jiwa /sikap mental yang senantiasa mengejar
kenikmatan jasmani. Kedua, sabu’iyah (binatang buas), jiwa atau sikap mental
yang senantiasa bertumpu pada kemarahan dan keberanian. Ketiga, nathiqah
(berpikir), jiwa atau sikap mental yang selalu berpikir tentang hakekat segala
sesuatu. Bila terjadi keselarasan dalam perimbangan diantara ketiganya, maka
tercapailah keutamaan dan kebajikan pada manusia.67

Sementara keutamaan-keutamaan yang lahir dari keselarasan ketiga jiwa


diatas menghasilkan empat hal. (1) Hikmah atau kebijaksanaan, merupakan
keutamaan jiwa cerdas. (2) ‘Iffah atau kesucian, merupakan keutamaan nafsu
syahwat, yang dapat tercapai apabila manusia dapat menyalurkan syahwatnya

65
Ernita Dewi, “Akhlak dan Kebahagiaan Hidup Ibnu Miskawih”, Jurnal
Substantia, 13 (2), 2011, hlm. 262.
66
Ibid.
67
Ajat Sudrajat, op.cit., hlm. 56.

77
sejalan dengan perimbangan akal yang sehat, sehingga terbebas dari perbudakan
syahwat. (3) Syaja’ah atau keberanian, merupakan keutamaan jiwa ghadabiyah
(sabu’iyah). Hal ini dapat tercapai apabila manusia dapat menundukanya kepada
jiwa nathiqah, serta menggunakannya sesuai dengan akal sehat dalam
menghadapi berbagai persoalan. (4). ‘Adalah atau keadilan, merupakan
keutamaan jiwa yang terjadi dari kumpulan ketiga keutamaan diatas, sehingga
bisa berlaku adil kepada diri sendiri dan oranglain.68

3. Filsafat Kebahagiaan

Munculnya filsafat kebahagiaan Ibnu Miskawih dilatarbelakangi oleh dua


pandangan filosof Yunani mengenai kebahagiaan. Plato menganggap bahwa
kebahagiaan yang sebenarnya adalah kebahagiaan rohani. Hal ini dapat
diperoleh ketika rohaniyah terlepas dari jasadnya. Sementara, Aristoteles
menganggap bahwa kebagahiaan dapat dicapai dalam kehidupan di dunia ini dan
berbeda antar manusia. Misalnya, orang miskin kebahagiaanya adalah kekayaan,
orang sakit kebahagiaanya adalah kesembuhan.69 Menurut Ibnu Miskawih,
kebahagiaan itu bisa diperoleh baik secara jasmani maupun rohani. Menurutnya,
kebahagiaan itu ada dua tingkat. Pertama, manusia yang terikat dengan hal-hal
yang bersifat benda dan mendapat kebahagiaan denganya, namun ia tetap
berkeinginan akan kebahagiaan rohani dan berusaha untuk memperolehnya.
Kedua, manusia yang melepaskan diri dari keterikatanya kepada benda dan
memperoleh kebahagiaan lewat rohani. Baginya kebahagiaan bersifat benda
tidak diingkarinya, tetapi dipandangnya sebagai ayat-ayat Allah.70

Ibnu Miskawih membedakan antara kebaikan dan kebahagiaan. Menurutnya,


kebaikan memiliki corak umum dan menjadi tujuan semua orang. Sementara

68
Ibid.
69
Syarifuddin Elhayat, “filsafat Akhlak Perspektif Ibnu Miskawih” Jurnal
Taushiah, 9 (2), 2014, hlm. 54.
70
Ibid.

78
kebahagiaan adalah kebaikan bagi seseorang, tidak bersifat umum, tetapi bersifat
relatif dan berganung kepada individu-individu. Kebahagiaan tertinggi adalah
kebijaksanaan yang menghimpun dua aspek, yaitu hikmah yang bersifat teoritis
dan hikmah yang bersifat praktis. Hikmah yang bersifat teoritis bersumber dari
pengetahuan yang benar, sementara hikmah yang bersifat praktis merupakan
keutamaan jiwa yang mampu melahirkan budi pekerti yang mulia. Menurutnya,
kebahagiaan yang diperoleh melalui kesenangan jasmani adalah kebahagiaan
palsu yang pada umumnya dicari oleh sebagian orang/orang awam.

e. Al Razi (864-925 M)

Nama lengkap Al Razi adalah Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria Ibnu
Yahya Al Razi. Di dunia Barat, Ar Razi dikenal sebagai Rhazes. Ar Razi lahir
di Ray (Selatan Teheran, Iran) pada 864 M. Selain ahli dalam bidang filsafat, Ar
Razi juga ahli dalam musik, bidang pengobatan dan ia merupakan seoarang
dokter. Pada masa mudanya, ia lebih tertarik dengan musik, dimana
ketertarikanya tersebut melahirkan sebuah ensiklopedia musik. Semasa
hidupnya ia juga mempelajari filsafat, matematika, astronomi, kimia, dan
kedokteran (obat-obatan). Hal ini terlihat jelas dengan berbagai karya yang
dihaslkan dari berbagai bidang studi pengetahuan. Karya-karya tersebut
diantaranya, Kitab al Sirr al Maktum (astrologi dan astronomi), Manaqib al
Syafi’i (sejarah), Mafatih al Ghaib, Al Ma’alim fi Usul al Fiqh.

1. Filsafat Lima Kekal

Menurut Ar Razi, Tuhan adalah Maha Pencipta dan pengatur seluruh alam
ini. Alam diciptakan bukan dari tidak ada (creatio ex nihilo), tetapi dari zat yang
telah ada. Oleh karena itu Tuhan merupakan zat yang azali (kekal, abadi).
Menurut Ar Razi, ada lima hal yang kekal dalam kehidupan ini, yang kemudian
dikenal sebagai filsafat Lima Kekal. Kelima hal tersebut, meliputi sebagai
berikut:

1. Tuhan/Allah, Sang Pencipta Alam Semesta Yang Maha Bijaksana lagi


Maha Tahu.

79
2. Roh atau Jiwa, diantara benda-benda ada yang hidup dan oleh karena itu
perlu ada roh. Dan diantara yang hidup ada pula yang berakal yang dapat
mewujudkan ciptaan-ciptaanya yang teratur.

3. Materi, merupakan apa yang ditangkap dengan panca indera tentang benda.

4. Ruang, karena materi mengambil tempat.

5. Zaman/masa, karena materi berubah-ubah keadaanya.

Menururt Ar Razi, dua dari lima yang kekal itu hidup dan aktif, yaitu Tuhan
dan Jiwa/Roh Universal. Satu dari kelimanya tidak hidup dan pasif, yaitu materi.
Dua sisanya tidak hidup, tidak akktif dan tidak pasif, yaitu ruang dan
masa/zaman.71 Materi itu kekal karena creatio ex nihilo (penciptaan dari tiada)
adalah tidak mungkin. Kalau materi itu kekal, ruang juga pasti kekal, karena
materi mengalami perubahan dan perubahan itu menunjuk pada adanya waktu,
maka waktu juga harus kekal. Sungguhpun materi pertama itu kekal, tetapi alam
tidak kekal. Alam diciptakan Tuhan bukan dalam arti creatio ex nihilo, tetapi
dalam arti disusun dari bahan/materi yang telah ada.72

Tuhan adalah Maha Pencipta dan Pengatur seluruh alam ini. Alam diciptakan
Allah bukan dari tiada, tetapi dari sesuatu yang telah ada bahan/materi nya.
Sementara itu, jiwa universal merupakan sumber kekal yang kedua. Pada benda-
benda alam terdapat daya hidup dan gerak, sulit diketahui karena ia tanpa bentuk
yang berasal dari jiwa universal yang juga bersifat kekal. Begitupun Tuhan
menciptakan akal, yang merupakan limpahan dari Tuhan. Tujuan penciptaanya
adalah untuk menyadarkan jiwa yang terlena dalam fisik manusia, bahwa tubuh
itu bukanlah tempat yang sebenarnya, bukan tempat kebahagiaan dan bukan
tempat yang abadi. Kesenangan dan kebahagiaan yang sebenarnya adalah
melepaskan diri dari materi duniawi dengan jalan filsafat.

71
Hambali, “Pemikiran Metafisika, Moral, dan Kenabian dalam Pandangan Al
Razi” Substantia, 12 (2), 2010, hlm. 374.
72
Ajat Sudrajat, op.cit., hlm. 59.

80
Materi pertama menurut Al Razi adalah substansi yang kekal, terdiri dari
atom-atom. Setiap atom-atom itu mempunyai volume. Tanpa volume,
pengumpulan atom-atom itu tidak bisa menjadi suatu yang terbentuk. Bila dunia
dihancurkan, maka ia juga terpisah-pisah dalam bentuk atom-atom. Materi itu
kekal karena tidak mungkin menyatakan bahwa sesuatu berasal dari ketiadaan.
Materi yang padat sekali menjadi bumi, yang lebih renggang menjadi unsur air,
dan yang lebih renggang lagi udara, dan terenggang api.73

2. Filsafat Kenabian

Sebagai seorang rasionalis, Ar Razi hanya percaya pada kekuatan akal dan
tidak percaya dengan wahyu serta perlunya para nabi. Menurutnya, akal manusia
cukup kuat untuk mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk, untuk
mengetahui Tuhan, dan untuk mengatur hidup manusia di dunia ini. Namun,
sekalipun tidak percaya dengan wahyu dan nabi, Ar Razi tetap sebagai filosof
yang percaya kepada Tuhan. Dalam filsafatnya mengenai hubungan masnusia
dengan Tuhan, Ar Razi berpendapat bahwa kesenangan manusia sebenarnya
yaitu kembali kepada Tuhan dengan meninggalkan alam materi. Untuk kembali
kepada Tuhan, roh manusia harus terlebih dahulu disucikan, dan yang dapat
menyucikan roh adalah ilmu pengetahuan dan berpantang mengerjakan sesuatu
yang tidak baik. Manusia hendaknya tidak terjebak dalam kesenangan materi.74

Alasan-alasan yang digunakan Ar razi sebagai penolakan atas Nabi adalah


sebagai berikut. (1) Akal sudah memadai untuk membedakan antara yang baik
dan yang jahat, yang berguna dan yang tidak berguna. Dengan akal semata kita
dapat mengetahui Tuhan dan mengatur kehidupan kita sebaik-baiknya. Lalu
kenapa diperlukan nabi ? (2) Tiada pembenaran bagi pengistimewaan beberapa
orang untuk membimbing semua orang, sebab semua orang lahir dengan
kecerdasan yang sama, perbedaanya bukanlah karena pembawaan alamiah,
melainkan karena pengembangan dan pendidikan. (3) Para nabi saling

73
Hambali, op.cit., hlm. 375.
74
Ajat Sudrajat, loc.cit.

81
bertentangan. Bila mereka berbicara atas nama satu Tuhan yang sama, kenapa
terdapat pertentangan (praktek dalam keagamaan/ibadah) ? Ar Razi
berpandangan bahwa, para nabi tidak berhak mengklaim dirinya sebagai orang
yang memiliki keistimewaan khas, baik pikiran maupun rohani karena semua itu
sama dan keadilan Tuhan, serta hikmahNya mengharuskan tidak membedakanya
antara seseorang dengan yang lainya.75

f. Ibn Rusyd (1126-1198 M).

Abu al Walid Muhammad ibn Muhammad ibn Rusyd atau yang akrab
dipanggil Ibn Rusyn lahir di Cordoba, Andalusia (Spanyol), pada 520 H/1126
M, dari keluarga bangsawan dan terpelajar. Ibn Rusyd dikenal sebagai orang
yang mempunyai minat besar dalam bidang keilmuwan. Pendidikan awalnya
ditempuh di Kordoba, dengan mempelajari tafsir, hadis, fiqh, teologi, sastra arab,
matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat, dan kedokteran. Karirnya dimulai
ketika pada tahun 1159 ia dipanggil gubernur Seville untuk membantu reformasi
pendidikan disana. Karir nya semakin menanjak ketika menjadi hakim di Seville
pada tahun 1169 dan puncaknya ketika diangkat menjadi hakim agung di
Kordoba, pada tahun 1182 M.

Selama hidupnya, Ibn Rusyd banyak meninggalkan karya tulis. Tercatat,


Ernert Renan mengidentifikasi karya-karya Ibn Rusyd sebanyak 78 buah judul
buku, mencakup 28 buku dalam bidang filsafat, 20 buku dalam bidang
kedokteran, 8 buku dalam bidang hukum, 5 buku bidang teologi, 4 buku bidang
astronomi, 2 buku bidang sastra, dan 11 buku bidang ilmu-ilmu lain.76 Beberapa
judul karya/buku Ibn Rusyd, yaitu Bidayah al Mujtahid, Kitab al Kulliat,
Maqalah fi ‘ilm al Nafs, Kitab al Kasyf ‘an Manahij al Adillah fi Aqaid al Millah,
Maqalah fi al Harakah al falak.

75
Joni Harnedi, “Al Razi: Ilmuwan dan Filosof Islam” Jurnal Al Aqidah, 7
(1), 2015, hlm. 59.
76
Khudori, op.cit., hlm. 123.

82
1. Filsafat dan Agama

Ibn Rusyd memiliki pendapat bahwa antara islam dan filsafat tidak
bertentangan. Menurutnya bahwa setiap orang islam diwajibkan atau sekurang-
kurangnya dianjurkan mempeljari filsafat. Tugas filsafat tidak lain adalah
berpikir tentang wujud untuk mengetahui pencipta segala yang ada (alam
semesta beserta isinya). Tanda-tanda bagi orang yang berpikir adalah apabila
manusia berpikir tentang wujud dan alam sekitarnya untuk mengetahui Tuhan.
Hal ini karena banyak ayat Al Qur’an yang menyatakan demikian, maka
sesungguhnya Al Qur’an menyuruh manusia untuk berfilsafat.

Secara lebih lanjut, Ibn Rusyd menyatakan bahwa setiap muslim hendaknya
percaya pada tiga dasar keagamaan, meliputi: (1) adanya Tuhan, (2) adanya
Rasul, (3) adanya pembangkitan. Apabila seseorang tidak percaya kepada salah
satu dari ketiga dasar tersebut, maka dapat digolongkan sebagai orang kafir.77

2. Tentang Pembelaan Terhadap Filosof

Pembelaan terhadap filosof dilatarbelakangi dengan pandangan/pernyataan


dari Al Ghazali terhadap para filosof, khususnya filosof islam/muslim. Al
Ghazali berpandangan bahwa para filosof telah menjadi kafir karena tiga
pendapatnya, (1) alam itu bersifat kekal, (2) Tuhan tidak mengetahui perincian
yang terjadi di alam ini, (3) pembangkitan jasmani tidak ada. Oleh karena
pandangan tersebut, Ibn Rusyd berupaya untuk menjawab kritik tersebut dengan
pandanganya.78

i. Kekekalan alam. Kaum teolog berpendapat bahwa alam ini diciptakan oleh
Tuhan dari tiada (creatio ex nihilo). Menurut Ibn Rusyd, pendapat seperti ini
tidaklah berdasar. Menurutnya, alam ini dijadikan bukanlah dari tiada, tetapi dari
sesuatu yang telah ada (zat/materi). Dalam beberapa ayat di Al Qur’an merujuk

77
Sudrajat, op.cit., hlm. 60.
78
Ibid.

83
pada keadaan itu, misalnya Surat Hud, ayat 7; Surat Hamim, ayat 11; Surat Al
Anbia, ayat 30. Dari beberapa ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa sebelum
bumi dan langit terbentuk, telah ada benda/zat/materi lain, yang dalam beberapa
ayat benda tersebut adalah uap dan air. Berdasarkan ayat-ayat tersebut, dapat
disimpulkan bahwa alam itu kekal. Memang benar bahwa alam itu diwujudkan,
tetapi diwujudkan secara terus menerus.

ii. Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam. Ibn Rusyd
berpandangan bahwa Al Ghazali telah keliru dalam memahami pemikiran-
pemikiran filosof, karena filosof tidak mengatakan demikian. Apa yang
dikatakan kaum filosof adalah bahwa pengetahuan Tuhan tentang perincian yang
terjadi di alam, tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu.
Pengetahuan manusia dalam hal ini mengambil efek, sementara pengetahuan
Tuhan merupakan sebab. Pengetahuan manusia adalah baru, sementara
pengetahuan Tuhan adalah qadim (tidak berawal).

iii. Pembangkitan jasmani tidak ada. Dalam membantah gugatan/pendapat Al


Ghazali, Ibn Rusyd menggambarkanya melalui analogi tidur. Ketika manusia
tidur, maka jiwa tetap hidup. Begitu pula ketika manusia mati, badan akan
hancur, tetapi jiwa tetap hidup, bahkan jiwa lah yang akan dibangkitkan.
Perbandingan antara kematian dan tidur dalam masalah ini adalah bukti bahwa
jiwa itu hidup terus karena aktivitas dari jiwa berhenti bekerja pada saat tidur,
dengan cara membuat tidak bekerjanya organ-organ tubuhnya, akan tetapi
keberadaan dan kehidupan jiwanya tidaklah berhenti. Dengan begitu, sudah
semestinya keadaanya pada saat kematian akan sama dengan keadaanya ketika
tidur.

C. Kesimpulan

Filsafat islam merupakan hasil pemikiran filosof tentang ketuhanan, kenabian,


kemanusiaan, dan alam yang dilandasi ajaran islam dalam suatu aturan pemikiran
yang logis dan sistematis. Filsafat islam berupaya memadukan antara wahyu
dengan akal, akidah dengan hikmah, agama dengan filsafat, serta menjelaskan

84
bahwa wahyu tidak bertentangan dengan akal. Dalam perkembangan selanjutnya,
filsafat islam mencakup segala aspek ilmu-ilmu yang terdapat dalam khasanah
pemikiran keislaman, seperti ilmu kalam, ushul fiqih, tasawuf, dan ilmu fikir lainya
yang diciptakan oleh pemikir islam.

Perkembangan awal filsafat islam dimulai di awal abad ke-9, pada Dinasti
Abbasiyah, yang ditandai dengan berdirinya Lembaga Bait Al Hikmah pada masa
pemerintahan Al Makmun. Bait Al Hikmah merupakan lembaga penerjemah karya-
karya filsuf besar Yunani, yang dipimpin oleh Al Kindi yang disebut sebagai
seorang filsuf islam pertama. Al Kindi berusaha menyatukan persepi hubungan
antara Agama dan Filsafat. Setelah hadirnya pemikiran-pemikiran Al Kindi, seiring
berjalanya waktu filsafat islam semakin mengalami perkembangan. Hal ini
dibuktikan dengan lahirnya filsuf-filsuf islam setelahnya, seperti Al Farabi, Ibn
Sina, Ibn Miskawih, Al Razi, dan Ibn Rusyd.

85
DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Khudori. 2016. Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer. Yogyakarta: Ar


Ruzz Media.

Nasution, Harun. 1978. Filsafat dan Mistisme dalam Islam. Jaakrta: Bulan
Bintang.

Sudrajat, Ajat. 2015. Sejarah Pemikiran Dunia Islam dan Barat. Yogyakarta:
Intrans.

Sulaiman, Asep. 2016. Mengenal Filsafat Islam. Bandung: Fadillah Press.

Waris. 2014. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Stain Press.

Zar, Sirajuddin. 2004. Filsafat Islam, Filosof, dan Filsafatnya. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.

Artikel Jurnal:

Baharuddin, Ahmad. 2015. Ibn Sina dan Pemikiran Teori Emanasi. Jurnal
Adabiyah. 15 (2), 204-214.

Dewi, Ernita. 2011. Akhlak dan Kebahagiaan Hidup Ibnu Miskawih. Jurnal
Substantia. 13 (2), 257-266.

Dzulhadi, Qosim Nursheha. 2014. Al Farabi dan Filsafat Kenabian. Jurnal


Kalimah. 12 (I), 123-135.

Elhayat, Syafruddin. 2019. Filsafat Akhlak Perspektif Ibnu Miskawih. Jurnal


Taushiah. 9 (2), 49-58.

Hambali. 2010. Pemikiran Metafisika, Moral, dan Kenabian dalam Pandangan Al


Razi. Substantia. 12 (2), 365-382.

Harnedi, Joni. 2015. Al Razi: Ilmuwan dan Filosof Islam. Jurnal Al Aqidah. 7 (1).
53-64.

Hariyanto dan Anjaryati, Fibriana. 2016. Character Building: Telaah Pemikiran


Ibnu Miskawih Tentang Pendidikan Karakter. JPII. 1 (1), 111-118.

Hidayat, Ahmad Wahyu dan Kesume, Ulfa. 2019. Analisis Filosofis Pemikiran
Ibnu Miskawih (Sketsa Biografi, Konsep Pemikiran Pendidikan, dan
Relevansinya di Era Modern). Jurnal Pendidikan Islam. 2 (1), 87-107.

86
Madani, Abubakar. 2015. Pemikiran Filsafat Al Kindi. Lentera. IXX (2), 106-117.

Nur, Abdullah. 2009. Ibnu Sina: Pemikiran Filsafatnya Tentang Al Fayd, Al Nafs,
Al Nubuwwah, dan Al Wujud. Jurnal Hunafa. 6 (1), 105-116.

Wiyono, M. 2016. Pemikiran Filsafat Al Farabi. Substantia. 18 (1), 67-80.

87
PEMIKIRAN SUFISME DALAM ISLAM

Oleh: Yuliana
NIM. 20718251037

A. Pendahuluan

Arus modernisasi dan globalisasi akan menciptakan sebuah sistem yang dapat
melepas dan membebaskan manusia dari belenggu serta keterikatan terhadap ajaran
agama, nilai-nilai spiritualitas, adat-istiadat dan sebagainya. Paradigma seperti ini
manusia secara individual merasa berhak atas segalanya dan bebas menentukan
nasibnya sendiri secara rasional tanpa ikatan agama maupun norma masyarakat.
Kehidupan yang semakin kompetitif dan daya saing semakin keras berdampak
banyaknya manusia yang mengalami stress dan frustasi yang luar biasa. Masyarakat
modern secara tidak langsung akan menganut dan mengikuti pola hidup
materialistis, kapitalis, hedonis dan individualis. Untuk meminimalisir hal tersebut
manusia perlu disirami dan disinari oleh nilai-nilai ajaran Islam yang penjabaran
serta penerapannya terdapat dalam ajaran Tasawuf.
Kecenderungan manusia untuk mencari kembali nilai-nilai Ketuhanan
merupakan bukti manusia pada dasarnya sebagai makhluk rohani dan makhluk
jasmani. Sebagai makhluk jasmani manusia butuh sesuatu yang bersifat materi,
namun sebagai makhluk rohani manusia membutuhkan sesuatu yang bersifat
immateri atau rohani. Hal ini sesuai dengan orientasi ajaran dalam tasawuf yang
lebih menekankan pada aspek rohani sesuai dengan fitrah manusia yang pada
dasarnya cenderung bertasawuf.
Manusia akan merasa kehilangan dan kekosongan rohani bila dalam hidupnya
hanya mengandalkan ilmu materi saja tanpa mengimbanginya dengan ilmu agama.
Hakikat jalan hidup manusia yang dijalani harus berlandaskan pada fitrahnya yaitu
jalan menuju kehidupan serta kebahagiaan yang hakiki dengan landasan iman yang
kokoh dan kuat, jiwa yang tenang dan tentram, hidup yang aman menuju
kebahagian dunia sampai akhirat.

88
Manusia sering kali dikendalikan oleh dorongan nafsu pribadi dan tidak dapat
memegang kendali hawa nafsunya. Keadaan demikian akan mendorong manusia
untuk berbuat sesuai dengan kenginannya tanpa memperhatikan orang lain,
melakukan persaingan tidak sehat dengan menghalalkan berbagai cara, mencari
kenikmatan dan kesenangan dunia dengan sebebas-bebasnya. Cara hidup yang
demikian menurut Al-Ghazali akan membawa manusia pada kehancuran moral.
Pandangan hidup tersebut akan menjurumuskan manusia kearah pertentangan
dengan sesamanya sehingga dia melupakan hakikat dirinya sebagai hamba Allah
yang harus berjalan sesuai aturan-aturan yang sudah ditetapkan-Nya.
Berbicara tentang nafsu pribadi, sebenarnya manusia tidak boleh mematikan
sama sekali hawa nafsunya, tetapi harus menguasai agar nafsu tersebut tidak sampai
menjerumuskan kepada kesesatan. Nafsu merupakan potensi yang diciptakan
Tuhan dalam diri manusia agar dapat hidup lebih maju penuh kreativitas dan
bersemangat. Memang nafsu manusia sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an
mempunyai kecenderungan baik dan buruk. Nafsu akan menjadi baik bilamana
dibersihkan dari sifat-sifat tercelah dengan cara menanamkan nilai-nilai dan ajaran
agama sejak dini sehingga tabiat nafsu yang jahat itu dapat dikendalikan.
(Khoiruddin, 2016: 114)
Proses pembersihan jiwa yang mengotori hati manusia dari sifat-sifat tercelah
seperti rasa dengki (hasad), rasa sombong (takabbur), membanggakan diri (ujub),
pamer (riya), pemarah (ghadab) dan sebagainya serta mensucikan dan menghiasi
hati manusia dengan sifat-sifat terpuji seperti ikhlas, qona’ah, sabar, zuhud, sabar,
tawadlu, waro’ dan sifat-sifat terpuji lainnya merupakan salah satu bagian dari nilai-
nilai ajaran tasawuf yang ditawarkan.

B. Pembahasan
A. Pengertian ilmu dan sejarah tasawuf
1. Pengertian ilmu tasawuf
Istilah tasawuf berasal dari bahasa Arab dari kata ”tashowwafa-
yatashowwafu-tashowwuf ”mengandung makna(menjadi) berbulu yang
banyak, yakni menjadi seorang sufi atau menyerupainya dengan ciri khas

89
pakaiannya terbuat dari bulu domba/wol (suf), walaupun pada prakteknya tidak
semua ahli sufi pakaiannya menggunakan wol. Menurut sebagian pendapat
menyatakan bahwa para sufi diberi nama sufi karena kesucian(shafa) hati
mereka dan kebersihan tindakan mereka. Di sisi yang lain menyebutkan bahwa
seseorang disebut sufi karena mereka berada dibaris terdepan (shaff) di
hadapan Allah, melalui pengangkatan keinginan mereka kepada-Nya. Bahkan
ada juga yang mengambil dari istilah ash-hab al-Shuffah, yaitu para shahabat
Nabi SAW yang tinggal di kamar/serambi-serambi masjid (mereka
meninggalkan dunia dan rumah mereka untuk berkonsentrasi beribadah dan
dekat dengan Rasulullah SAW).
Pada intinya tasawuf merupakan suatu usaha dan upaya dalam rangka
mensucikan diri (tazkiyyatunnafs) dengan cara menjauhkan daripengaruh
kehidupan dunia yang meyebabkan lalai dari Allah SWT untukkemudian
memusatkan perhatiannya hanya ditujukan kepada Allah SWT.Menurut
Syaikh Muhammad Amin al-Kurdibahwa tasawuf adalah ilmu yang
menerangkan tentang keadaan-keadaan jiwa (nafs) yang dengannyadiketahui
hal-ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannyadari (sifat-
sifat) yang buruk dan mengisinya dengan sifat-sifatyang terpuji,cara
melakukan suluk, jalan menuju Allah, dan meninggalkan (larangan-larangan)
Allah menuju (perintah-perintah) Allah SWT.
Beberapa penulis mengira bahwa ada hubungan antara tasawuf dan zuhud.
Oleh karenanya, setiap orang yang diketahui
hidupzuhuddanmengonsentrasikan diri pada Allah dinisbatkan kepada
tasawuf, seperti Fudhayl bin’Iyadh, Abdullah bin Mubarak, Ibrahim bin
Adham, dan ahli-ahli zuhud lainnya. Pada kenyataannya, ada pendapat lain
yang membedakan antara zuhud dan tasawuf. Zuhud di dunia adalah sebuah
keutamaan dan amalan yang disyari’atkan dan disunnahkan, serta merupakan
akhlak para Nabi, wali, dan hamba-hamba yang shalih yang mengutamakan
apa yang disisi Allah di atas kenikmatan duniawi dan keterlenaan pada yang
mubah. Sedangkan tasawuf adalah konsep yang berbeda, karena jika
seorangsufimantap dalam kesufiannya, maka zuhud baginya adalah sesuatu

90
yang tidak bermakna. Ia terkadang membutuhkan zuhud pada permulaan
tarikat sufistik, yang pada akhirnya ia harus mencela apa yang dibebankan
padanya.
Dengan demikian tasawuf atau sufisme adalah suatu istilah yang lazim
dipergunakan untuk mistisisme dalam Islam dengan tujuan pokok memperoleh
hubungan langsung dengan Tuhan. Dalam hal ini pokok-pokok ajarannya
tersirat dari Nabi Muhammad SAW yang didiskusikan dengan para sahabatnya
tentang apa-apa yang diperolehnya dari Malaikat Jibril berkenaan dengan
pokok-pokok ajaran Islam yakni: iman, islam, dan ihsan. Ketiga sendi ini
diimplementasikan dalam pelaksanaan tasawuf.

2. Sejarah tasawuf
Banyak pendapat yang pro dan kontra mengenai asal-usul ajaran tasawuf,
apakah ia berasal dari luar atau dari dalam agama Islam sendiri. Adapun kaum
orientalis, mereka berpendapat bahwa tasawuf Islam lahir dari kompilasi
sumber-sumber asing di luar Islam, baik kristen, india, maupun yang lain. Salah
satu orientalis yang fanatis yakni Prof. Duboir yang mengembalikan tasawuf
Islam di masa pertumbuhannya pada tradisi mistis Kristen dan India. Nicholson
menjelaskan bersikap fanatis dengan kebudayaannya dan memandang bahwa
tasawuf Islam terpengaruh oleh tradisi mistisme kristen, terutama dalam hal
kezuhudan (asketisme). Bahkan ia mengatakan gerakan zuhud terinspirasi oleh
idealisme Kristen. Namun, pendapatnya itu tidak di dukung oleh bukti dan dalil
sehingga tidak berapa lama kemudian ia menarik kembali pendapatnya Dan
pada akhirnya ia pun mengakui bahsawanya tasawuf Islammeskipun dalam
pertumbuhan dan perkembangannya terpengaruh oleh kebudayaan umat-umat
lain, akan tetapi tetap mempunyai keterkaitan secara internal dengan ajaran-
ajaran Islam sendiri.
Banyak perbedaan pendapat mengenai kapan munculnya istilah sufi
pertama kali. Menurut Abdul Qosim Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul
Malik bin Talha bin Muhammad al Qusyairi (tokoh sufi dari Iran 376-465 H),
istilah Tasawuf telah dikenal sebelum tahun 200 H. Tetapi ajaran pokok yang

91
selanjutnya merupakan inti tasawuf itu baru muncul secara lengkap pada abad
ke 3 Hijriyah, Pada abad kedua Hijriyah itu belum dikenal adanya orang-orang
yang disebut sufi. Sementara itu dari data yang terungkap orang pertama yang
mendapat gelar sufi adalah Abu Hasyim al-Kufi (wafat 150H/761M)
Menurut Muchlis Sholihin istilah tasawuf pertama kali diperkenalkan oleh
seorang tokoh bernama Abu Hisyam, seorang zahid dari Syiria (wafat pada
tahun 780). Ia mendirikan lembaga kaum Sufi yang dinamakan taqiyah (sejenis
padepokan sufi). Bertolak dari hal itu, Dr. Hamka sebagaimana dikutip dari
Mustafa Zahri mengatakan bahwa timbulnya tasawuf dalam Islam bersamaan
dengan kelahiran agama Islam itu sendiri, bertumbuh di dalam jiwa pendiri
Islam itu sendiri yaitu Muhammad SAW disauk airnya dari Al-Qur‘an itu
sendiri.

3. Kedudukan tasawuf dalam islam

Ajaran tasawuf dalam Islam, memang tidak sama kedudukan hukumnya


dengan rukun-rukun Iman dan rukun-rukun Islam yang sifatnya wajib, tetapi
ajaran Tasawuf bersifat sunnat. Maka Ulama Tasawuf sering menamakan
ajarannya dengan istilah Fadailu al-A‘mal (amalan-amalan yang hukumnya
lebih afdhal, tentu saja maksudnya amalan sunnat yang utama. Tasawuf
merupakan pengontrol jiwa dan membersihkan manusia dari kotoran-kotoran
dunia di dalam hati, melunakan hawa nafsu, sehingga rasa takwa hadir dari hati
yang bersih dan selalu merasa dekat kepada Allah. Tujuan tasawuf itu
menghendaki manusia harus menampilkan ucapan, perbuatan, pikiran, dan niat
yang suci bersih, agar menjadi manusia yang berakhlak baik dan sifat yang
terpuji, sehingga menjadi seorang hamba yang dicintai Allah SWT. Oleh
karena itu, sifat-sifat yang demikian perlu dimiliki oleh seorang muslim.
(Ulum, 2020: 213).
Maka dengan bertasawuf, seseorang akan bersikap tabah, sabar, dan
mempunyai kekuatan iman dalam dirinya, sehingga tidak mudah terpengaruh
atau tergoda oleh kehidupan dunia yang berlebihan dengan bersikap qona‘ah,
yaitu sabar dan tawakal, serta menerima apa yang telah diberikan Allah

92
walaupun sedikit. Oleh karena itu tasawuf betul-betul mendapatkan perhatian
yang lebih dalam ajaran Islam. Oleh karena harus ada penyucian diri dengan
selalu berusaha membersihkan hati, supaya kita memperoleh jiwa yang
tenteram dan menjadi orang yang bahagia hidup di dunia dan akhirat. Seperti
halnya Rasulullah saw, beliau adalah pembesar dari seluruh ahli tasawuf yang
berdaya upaya dengan sangat kepada kesucian hati serta menjauhi dari sifat-
sifat hati yang jelek.
Roh sebelum masuk ke tubuh manusia memang suci, tetapi setelah bersatu
dengan tubuh sering kali menjadi kotor karena digoda hawa nafsu tubuh. Agar
bisa mendekatkan diri kepada Tuhan yang maha suci, roh manusia harus
terlebih dahulu disucikan. Dan sufi-sufi besar telah merintis jalan penyucian
jiwa itu yang dikenal dengan nama Thariqah, yakni jalan yang mempunyai
maqamat atau stasiun-stasiun. Yang mana di stasiun inilah orang yang ingin
menjadi sufi membersihkan diri dari kotoran-kotoran yang melekat dalam
dirinya.

4. Tokoh-tokoh Tasawuf dan ajarannya


Tasawuf sunni adalah bentuk tasawuf yang para penganutnya memagari
atau mendasari tasawuf mereka dengan al-qur’an dan al-sunnah, serta
mengaitkan keadaan (ahwaal) dan tingkatan (maqoomaah) rohaniah mereka
kepada kedua sumber tersebut. Tasawuf sunni juga didefiniskan sebagai
tasawuf yang berwawasan moral praktis dan bersandarkan kepada al-qur’an
dan al-sunnah.
Tasawwuf sunni ialah aliran tasaawuf yang berusaha memadukan asapek
hakekat dan syari'at, yang senantiasa memelihara sifat kezuhudan dan
mengkonsentrasikan pendekatan diri kepada allah, dengan berusaha sungguh-
sugguh berpegang teguh terhadap ajaran al-Qur'an, Sunnah dan Shirah para
sahabat. Dalam kehidupan sehari-hari para pengamal tasawwuf ini berusaha
untuk menjauhkan drii dari hal-hal yang bersifat keduniawian, jabatan, dan
menjauhi hal-hal yang dapat mengganggu kekhusua’an ibadahnya.

93
Tasawuf dalam perkembangannya diawali dari pemahaman makna
institusi-institusi Islam. Ketika zaman sahabat dan tabi’in, kecenderungan
orang terhadap ajaran Islam secara lebih analitis mulai muncul. Ajaran Islam
yang ada kemudian dilihat dan dipahami dari dua aspek yang melingkupinya,
yaitu aspek lahiriyah dan aspek batiniyah atau aspek “luar” dan aspek “dalam”.
Pendalaman terhadap aspek dalamnya mulai menunjukkan posisinya sebagai
hal yang paling utama, tentunya tanpa mengabaikan aspek luarnya. Pengkajian
dan perenungan kaum intelektual muslim –terutama dalam hal ini para tokoh
sufi- lebih lebih berorientasi pada aspek dalam, yaitu cara hidup yang lebih
mengutamakan rasa, makna, hakekat, nilai utama di balik aspek lahiriyah
dalam beribadah dan juga praktek-praktek keagaamaan lainnya yang
membawa pada suasana batin yang lebih mendalam, tentram dan tenang, lebih
mementingkan keagungan Tuhan dan bebas dari egoisme pribadi.

a) Tokoh-tokoh tasawuf sunni dan ajaranya


1) Hasan al-Basri.
Nama lengkapnya adalah Abu Sai’d al-Hasan bin Yasar, adalah seorang
zahid yang amat masyhur dikalangan tabi’in. ia dilahirkan di Madinah pada
tahun 21 H (79632 M) dan wafat pada hari kamis bulan Rajab tanggal 10 tahun
110 H (728 M). ia dilahirkan dua malam sebelum khalifah Umar ibn Khattab
wafat. Ia dikabarkan80 bertemu dengan 70 orang sahabat yang turut
menyaksikan peperangan Badr dan 300 sahabat lainnya.
Proses pengembaran intelektual dan spiritual Hasan al-Basri di mulai dari
proses menuntut ilmu di Hijaz. Ia berguru kepada hampir semua ulama yang
ada di Hijaz. I a kemudian pindah bersama ayahnya ke Basrah. Basrah inilah
tempat yang membuatnya masyhur dengan nama Hasan al-Basri. Puncak
keilmuannya ia peroleh di sana. Hasan al-Basri terkenal dengan keilmuannya
yang sangat dalam. Tak heran bila ia menjadi imam di Basrah secara khusus

79
Falsafi, A. D. T. Tasawuf falsafi: Tokoh-tokoh dan ajarannya. AKHLAQ
SOSIAL.Hlm.60

94
dan daerah-daerah lainna secara umum. Tak heran pula bila ceramah-
ceramahnya dihadiri seluruh kelompok masyarakat. Disamping dikenal
sebagai zahid, ia pun dikenal sebagai seorang yang wara’ dan berani dalam
memperjuangkan kebenaran. Diantara karya tulisnya berisi kecaman terhadap
aliran kalam Qadariyah dan tafsir-tafsir al-Qur’an.
Diantara beberapa pokok ajaran tasawuf Hasan al-Basri adalah sebagai
berikut:
a) Perasan takut yang menyebabkan hati tentram lebih baik daripada rasa
tentram yang menimbulkan perasaan takut.
b) Dunia adalah negeri tempat beramal. Maka barang siapa bertemu dunia
dengan perasan benci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh
faedah darinya. Namun barang siapa bertemu dengannya dengan perasan
rindu dan hatinya tertambat dengan dunia, ia akan sengsara dan akan
berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapat ditanggungnya.
c) Tafakur membawa kita kepada kebaikan dan berusaha
mengerjakannnya.Menyesal atas perbuatan jahat menyebabkan kita untuk
tidak mengulanginya lagi.
d) Dunia adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali
ditinggalkan mati suaminya.
e) Banyak duka cita di dunia memperteguh semangat amal shaleh
2) Al-Ghazali
Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn
Muhammad ibn Ahmad al-Thusi al-Syafi’i. Ia lebih dikenal dengan nama al-
Ghazali. Ia dilahirkan pada tahun 450 H /1058 M di suatu kampung yang
bernama Gazalah, di daerah Tus yang terletak di wilayah Khurasan.
Al-Ghazali ketika masih kecil belajar pada salah seorang faqih di kota
kelahirannya, Thus, yaitu pada Ahmad al-Radzkani. Kemudian al Ghazali
pergi ke Jurjan dan belajar pada Imam Abu Nasr al-Ismaili. Setelah itu dia
kembali ke Thus dan terus pergi ke Nishapur. Di sana dia belajar pada seorang
teolog aliran asy’ariyah yang terkenal, Abu Ma’al al-Juwaini, yang bergelar
Imam al-Haramain.

95
Diantara ajaran tasawuf Al Ghozali adalah sebagai berikut: Ma’rifah,
ukasyafah dan Musyahadah.
Ma’rifat, mukasyafahdan musyahadah adalah merupakan konsep utama
tasawuf Al Ghazali. Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan al-
qur’an dan sunnah ditambah dengan doktrin ahlussunnah wal jamaah. Dari
faham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecenderungan gnotis yang
mempengaruhi para filosof Islam. Corak tasawufnya adalah menanamkan
pemikiran-pemikiran tasawuf tersebut melalui jalur resmi pemikiran Sunni,
yaitu fikih.
Al Ghazali menganggap bahwa ibadah tidak hanya berupa praktek
zhahiriyah semata, tetapi juga mencakup aspek bathiniyah. Ia berusaha
memberikan signifikasi spiritual lebih mendalam terhadap semua ibadah wajib
dalam Islam. Bersuci, shalat, puasa, zakat, dan haji bukan hanya merupakan
amal zhahir, tetapi juga merupakan amal batin. Selain itu, al-Ghazali juga
berusaha memperlebar arti ibadah hingga tidak hanya mencakup hal-hal yang
wajib. Semua aktivitas manusia dapat pula dianggap sebagai ibadah asalkan
disisipi dengan makna-makna spiritual.
Al-Ghazali membangun metodologi tasawufnya melalui penyatuan antara
ilmu dan amal. Menurutnya, mempelajari ilmu tasawuf harus didahulukan
sebelum menceburkan diri ke dalam dunia tasawuf. Ilmu sangatlah dibutuhkan
dalam dunia tasawuf dan lebih utama dari semua ibadah yang dijalankan tanpa
ilmu.12Realitas ini menandakan bahwa al- Ghazali memasuki dunia tasawuf
setelah menguasai ilmunya. Ilmu itu diperolehnya melalui kitab-kitab karya
para imam sufi.
Tasawuf merupakan pengantar dalam mengarungi samudera spiritualitas.
Melalui ilmu tasawuf segala ketentuan dalam menjalani dunia kesufian akan
diketahui, juga hal-hal yang semestinya didahulukan dan hal-hal yang
seharusnya diakhirkan. Ilmu tasawuf akan memberikan informasi mengenai
tata-cara membersihkan hati dari entitas selain Tuhan. Namun, selain
penguasaan terhadap ilmu, olah diri juga harus dilakukan dengan banyak
berbuat amal kebajikan dan selalu lebur dalam dzikir-dzikir Tuhan agar jiwa

96
menjadi suci. Apabila itu terjadi, maka akan terwujudlah mukâsyafah dan
musyâhadah, yang nantinya akan berujung pada tingkatan fana. Dalam
pengertian lain ketiga konsep tersebut masuk dalam bingkai konsep ma’rifat.
Mukâsyafah tidak didapatkan melalui pengkajian atau penalaran.
Mukâsyafahadalah buah dari olah diri dan pensucian yang dilakukan para sufi.
Itu semua bagaikan kajian keilmuan yang dilakukan para ulama. Dalam hal ini,
kajian keilmuan juga mendapatkan pengetahuan dari lawh al-mahfûzh.
3) Rabi’ah al Adawiyah
Nama lengkapnya adalah Rabi’ah binti Isma’il al-adawiyah. Pemberian
nama Rabi’ah dilatarbelakangi oleh sensibilitas keluarganya, sebagai anak
keempat dari empat bersaudara, disamping tiga orang putri lainnya, dari
keluarga miskin di Basrah. Sedemikian miskinnya hingga minyak lampu untuk
menerangi saat kelahirannya pun orang tuanya tidak punya.Rabiah Adawiyah
lahir di Basra pada tahun 105 H dan meninggal pada tahun 185 H. Siti Rabiah
Al Adawiyah adalah salah seorang perempuan sufi yang mengabdikan seluruh
hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Seorang wanita yang alur
kehidupannya tidak seperti wanita pada umumnya, ia terisolasi dalam dunia
mistisme jauh dari hal-hal duniawi. Sebgaimana yang dikemukakan oleh Ibn
Khalkan saat mengutarakan biografi Rabiah Adawiyah, bahwa namanya adalah
Ummul Khair Rabiah binti Ismail al-Adawiyah al-Basriyah al-Qisiyah. Ia
merupakan symbol utama paradigma kehidupan ruhani Islam pada kurun kedua
hijriah.
Rabi’ah Al-dawiyah seumur hidupnya tidak pernah menikah, dipandang
mempunyai saham yang besar dalam memperkenalkan konsep cinta (al-hubb)
khas sufi ke dalam mistisisme dalam Islam. Sebagai seorang wanita zahibah.
Dia selalu menampik setiap lamaran beberapa pria salah. Tidak ada sesuatu
yang lebih dicintainya di dunia yang melebihi cintanya kepada Allah.
Kehidupannya seolah hanya untuk mendapatkan ridho Allah, tidak ada suatu
tujuan apapun selain itu. Ia lahir di Basrah, dan merupakan budak keluarga
Atik. Ia senantiasa melakukan shalat semalaman penuh. Ketika fajar muncul,
ia tidur sejenak dalam shalatnya hingga fajar pergi. Diceritakan pula bahwa

97
ketika terbangun dari pembaringannya, ia senantiasa berkata: “Wahai jiwa!
Sudah seberapa sering engkau tidur, dan hingga seberapa sering lagi engkau
akan tidur. Aku khawatir, jika engkau tertidur, engkau tak bangun kembali
kecuali di kuburan. Itu semua adalah ancaman bagimu jika engkau mati.
Ajaran asawuf Rabi’ah al-Adawiyah ialah:
a. Mahabbah
Secara etimologi kata Mahabbah berasal dari kata ahabba,
yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara
mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam. Dalam
Mu’jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalah
lawan dari al-bughd, yakni cinta lawan dari benci . Al-Mahabbah
dapat pula berarti al-wadud yakni yang sangat kasih atau penyayang.
Mahabbah adalah merupakann hal (keadaan) jiwa yang mulia yang
bentuknya, adalah disaksikannya (kemuttlakannya) Allah SWT,
oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta
kepada yang dikasihinya-Nya dan yang seorang hamba mencintai
Allah SWT.
Pengertian yang diberikan kepada mahabbah anatara lain sebagia
berikut:
1. Memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci melawan
kepadaNya.
2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3. Mengosongkan hati dan segalan-galanya kecuali dari yang
dikasihi, yaitu Tuhan.

b. Zuhud
Berasal dari kata zahada-yazhadu-zuhdan, artinya menjauhi.
Secara istilah zuhud dimaknai menjauhi segala sesuatu selain Allah.
Zuhud yang menurut konsep Hasan al Basri, yaitu takut dan
pengharapan dinaikkan oleh Rabi’ah kepada zuhud karena cinta.

98
Konsep ini berarti bahwa tiada yang pantas kecuali Tuhan satu-
satunya yang menjadi objek kezuhudannya (cinta yang transenden).
menurut riwayat dari Imam Sya’rani, pada suatu masa adalah
seorang yang menyebut-nyebut azab siksa neraka dihadapan
Rabi’ah, maka pingsanlah beliau lantaran mendengar hal itu, pingsan
didalam menyabut-nyebut istighfaar memohon ampunan Tuhan.

.4. Junaid Al-Baghdadi


Nama lengkapnya adalah Abu Al-Qasim Al-Junaid Bin Muhammad
Al-Kazzaz Al-Nihawandi. Dia adalah seorang putera pedagang barang
pecah belah dan keponakan Surri Al-Saqti serta teman akrab dari Haris
Al-Muhasibi. Dia meninggal di Baghdad pada tahun 297/910m. Dia
termasuk tokoh sufi yang luar biasa, yang teguh dalam menjalankan
syari`at agama, sangat mendalam jiwa kesufiannya. Dia adalah seorang
yang sangat faqih, sering memberi fatwa sesuia apa yang dianutnya,
madzhab abu sauri: serta teman akrab Imam Syafi`i.
Ajaran Tasawuf Al-Junaid dikenal dalam sejarah tasawuf sebagai
seorang sufi yang banyak membahas tentang tauhid. Pendapat-
pendapatnya dalam masalah ini banyak diriwayatkan dalam kitab-kitab
biografi para sufi, antara lain sebagaimana diriwayatkan oleh al-qusyairi:
“oang-orang yang mengesakan Allah adalah mereka yang merealisasikan
keesaan-Nya dalam arti sempurna, meyakini bahwa Dia adalah Yang
Maha Esa, dia tidak beranak dan diperanakkan. Di sini memberikan
pengertian tauhid yang hakiki. Menurutnya adalah buah dari fana`
terhadap semua yang selain Allah. Dalam hal ini dia menegaskan.
Al-Junaid juga menandaskan bahwa tasawuf berarti “allah akan
menyebabkan mati dari dirimu sendiri dan hidup di dalam-Nya.”
Peniadaan diri ini oleh Junaid disebut fana`, sebuah istilah yang
mengingatkan kepada ungkapan Qur`ani “segala sesuatu akan binasa
kecuali wajah-Nya

99
5. Tujuan tasawuf
Tasawuf sepenuhnya adalah disiplin ilmu yang berdasarkan ajaran Islam
bertujuan untuk membentuk watak dan pribadi muslim menempuh insan kamil,
dengan cara mengharuskan mereka melaksanakan sejumlah peraturan, tugas
dan kewajiban serta keharusan lain. Dengan demikian dapatlah sekiranya
dikatakan bahwa proses pembentukan insan kamil atau menjadi pribadi muslim
yang menyadari sepenuhnya kedudukan dirinya dihadapan Allah SWT adalah
merupakan tujuan utama dari tasawuf. Selain itu ditarik dari beberapa uraian
pengertian tasawuf, maka dapat dijelaskan bahwa tujuan tasawuf adalah
berusaha untuk melepaskan diri dari hawa nafsu dan keinginan yang dianggap
menyimpang dari ajaran-ajaran agama dan berusaha untuk menyadari
kehadiran-Nya.
Dalam islam tujuan seorang sufi adalah mendekatkan diri sedekat mungkin
dengan Tuhan sampai ia dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya bahkan
bersatu dengan ruh Tuhan. Karena Tuhan adalah Maha Suci, Ia tidak dapat
didekati kecuali oleh diri yang suci. Melalui sholat puasa dan ibadah-ibadah
yang lain, seorang sufi melatih diri untuk menjadi bersih. Maka langkah
pertama yang dilakukan oleh calon seorang sufi adalah membersihkan diri dari
segala dosa dengan memperbanyak bertaubat.
Dengan demikian, tasawuf bertujuan memberikan pemahaman untuk mati
dalam diri kita dan hidup abadi dalam kehidupan untuk-Nya, membentuk
akhlak yang mulia dengan memahami sepenuhnya atas posisi seorang hamba
dihadapan Tuhan supaya hidup bahagia di dunia dan di akhirat atau menuju
kebahagiaan yang abadi. Selain itu tasawuf bertujuan untuk memperoleh
hubungan khusus dengan Tuhan. Kesadaran tersebut akan mengarah pada
hubungan komunikasi antara Tuhan dengan makhluk-Nya.

B. Aliran-aliran Dalam Tasawuf


1. Aliran Bashrah
Aliran Bashrah mulai Nampak pada abad kedua Hijriyah. Aliran ini
muncul dengan ciri khasnya yaitu, sikap asketisme yang sangat kuat dan lebih

100
ekstrim serta mengembangkan sikap yang amat takut terhadap murka Allah,
serta amat sangat takut terhadap siksa diakhirat. Pada periode inilah, mulai
meluas dan berkembangnya sufisme. Artinya konsep-konsep yang tadinya
semata-mata sebagai sikap hidup saja kemudian disusun sebagai upaya untuk
mencapai tujuan. Tokoh terpenting dari aliran ini. Antara lain; Malik Ibnu
Dinar dan Hassan Al-Bashri.
2. Aliran Madinah
Aliran Madinah Sejak masa permulaan Islam, di Madinah sudah terlihat
kelompok-kelompok asketis yang berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-
sunnah dan menempatkan rosulullah sebagai idola kezuhudan mereka. Ciri
yang paling utama di aliran ini adalah kekuatan dan kekhusyu’an beribadah
kepada Allah, konsekuen serta kensisten dalam sikap walaupun dating berbagai
godaan. Bagi mereka yang terpenting bagi mereka adalah mendepatkan diri
kepada Allah serta menjauhkan diri dari segala hal yang dapat mengurangi
kekhusyu’an beribadah kepada Allah. Tokohnya yang terkenal diantaranya
adalah Salman Al-Farisi dan Abdullah Ibnu Mas’ud.
3. Aliran Kufah
Apabila kedua aliran diatas lebih mengarahkan perhatian kepada ibadah
dan menghindari pengaruh-pengaruh yang merusak. Maka, aliran Kuffah lebih
bercorak idealis. Gemar kepada hal-hal yang bersifat imajinatif yang biasanya
dituangkan dalam bentuk puisi, tekstualis dalam memahami ketetapan dan
sedikit cenderung kepada aliran syi’ah. Namun, secara keseluruhan aliran ini
masih berpola Ahlu sunnah wal jama’ah. Ciri khas aliran ini yaitu rasa
keagamaan yang kental, asketisme yang keras, kerendahan hati dan
kesederhanaan hidup. Tokohnya yang terkenal yaitu, Shufyan Al-Tsauri.
4. Aliran Mesir
Aliran mesir memiliki kesamaan cirri dengan aliran madinah. Sebab aliran
ini sebenarnya adalah perluasan dari aliran madinah yang tersebar melalui
sahabat yang ikut serta ke Mesir pada saat Islam memasuki kawasan itu.
Tokohnya adalah Dzuu al-Nun al mishri.Sulit dipastikan kapan asketisme itu
beralih ke sufisme, tetapi yang pasti sufisme yang awal adalah sufisme yang

101
konsisten dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip Islam. Karena itu tasawuf
tipe awal ini dapat diterima sebagian besar ulama terutama ulama ahlu sunnah
wal jama’ah. Hal ini pula yang menyebabkan penamaan tasawuf sunni. Dari
aliran-aliran diatas dapat dilihat bahwa tokoh-tokoh aliran-aliran tersebut
adalah ahlu zuhud. Namun tidak setiap yang zuhud bias disebut sufi, tapi
sebaliknya tidak mungkin menjadi sufi tanpa melalui zuhud atau asketisme.

C. Kesimpulan
Tasawuf adalah sebagian Ilmu ajaran islam yang membahas cara-cara
seseorang mendekatkan diri kepada Allah, seperti berakhlak yang tinggi (mulia),
tekun dalam beribadah tanpa keluh kesah.,memutuskan hubungan selain Allah
karena kita merasa tidak memiliki suatu apapun didunia ini dan kita tidak dimiliki
oleh siapapun di kalangan makhluk, menolak hiasan-hiasan duniawi seperti
kelezatan dari harta benda yang biasa memperdaya manusia, dan menyendiri
menuju jalan Allah dalam Kholwat ( mengasingkan diri dari keramaian dunia )
untuk beribadah. Secara sederhana, bahwa Tasawuf adalah suatu sistem latihan
dengan kesungguhan (riyadlah-mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggi,
dan memperdalam kerohanian dalam rangka mendekatkan (taqarrub) kepada Allah,
sehingga dengan itu maka segala konsentrasi seseorang hanya tertuju kepada-Nya.

102
DAFTAR PUSTAKA

Badrudin. ( 2015). Pengantar ilmu Tasawuf. A-Empat: Serang


Falsafi, A. D. T. Tasawuf falsafi: Tokoh-tokoh dan ajarannya. AKHLAQ SOSIAL.

Khoiruddin, M. A. (2016). Peran Tasawuf Dalam Kehidupan Masyarakat Modern.


Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman

Ulum, M. (2020). Pendekatan Studi Islam: Sejarah Awal Perkenalan Islam dengan
Tasawuf. Al-Mada: Jurnal Agama, Sosial, Dan Budaya

103
PEMIKIRAN HUKUM DALAM ISLAM

Oleh: Sekar Ayu Mar’Atus Solehah


NIM. 20718251038

A. Pendahuluan
Hukum banyak sekali seginya dan luas sekali cakupannya karena hukum
mengatur semua bidang kehidupan masyarakat, tidak hanya masyarakat suatu
bangsa tetapi juga masyarakat dunia yang selalu mengalami perkembangan dan
perubahan terus menerus. Perkembangan sejarah kehidupan umat manusia
senantiasa menyebabkan terjadinya perubahan tentang apa yang di maksud dengan
hukum dari masa kemasa, sebelum manusia mengenal Undang-Undang hukum
identik dengan kebiasaan dan tradisi yang menjadi pedoman dalam kehidupan. 1
Pertanyaan tentang apa itu hukum merupakan pertanyaan yang memiliki jawaban
yang lebih dari satu sesuai dengan pendekatan apa yang dipakai oleh karna itu
hukum pada hakekatnya bersifat abstrak.
Terlepas dari penyebab intern, yaitu keabstrakan hukum dan keinginan hukum
untuk mengatur hampir seluruh kehidupan manusia, kesulitan pendefinisian juga
bisa timbul dari faktor eksteren hukum, yaitu faktor bahasa itu sendiri. Jangankan
hukum yang memang bersifat abstrak sesuatu yang konkritpun sering sulit untuk di
defenisikan.
Hukum dapat didefenisikan dengan memilih satu dari 5 kemungkinan di bawah
ini yaitu:
a. Sesuai sifat-sifatnya yang mendasar, logis, relijius, atau pun etis.
b. Menurut sumbernya, yaitu Undang-Undang.
c. Menurut efeknya di dalam kehidupan masyarakat.
d. Menurut metode pernyataan formalnya atau pelaksanaan otoritasnya.
e. Menurut tujuan yang ingin di capainya.
Selain itu masih banyak lagi defenisi-defenisi hukum yang berbeda beda
akan tetapi kalau diperhatikan defenisi-defenisi atau pengertian-pengertian hukum

104
tersebut, satu hal adalah pasti bahwa hukum itu berhubungan dengan manusia
dalam masyarakat81.
Istilah hukum Islam berasal dari dua kata dasar, yaitu ‘hukum’ dan ‘Islam’.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ‘hukum’ diartikan dengan 1) peraturan
atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa
atau pemerintah; 2) undang-undang, peraturan, dsb. untuk mengatur pergaulan
hidup masyarakat; 3) patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dsb.)
yang tertentu; dan 4) keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam
pengadilan); vonis. Secara sederhana hukum dapat dipahami sebagai peraturan-
peraturan atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu
masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan
cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Dalam ujudnya, hukum ada yang
tertulis dalam bentuk undang-undang seperti hukum modern (hukum Barat) dan ada
yang tidak tertulis seperti hukum adat dan hukum Islam.
Dari gabungan dua kata ‘hukum’ dan ‘Islam’ itulah muncul istilah hukum
Islam. Dengan memahami arti dari kedua kata yang ada dalam istilah hukum Islam
ini, dapatlah dipahami bahwa hukum Islam merupakan seperangkat norma atau
peraturan yang bersumber dari Allah Swt. dan Nabi Muhammad Saw. untuk
mengatur tingkah laku manusia di tengah-tengah masyarakatnya. Dengan kalimat
yang lebih singkat, hukum Islam dapat diartikan sebagai hukum yang bersumber
dari ajaran Islam82.
Istilah “perbandingan hukum” (bukan “hukum perbandingan”) itu sendiri telah
jelas kiranya bahwa perbandingan hukum bukanlah hukum seperti hukum perdata,
hukum pidana, hukum tata negara dan sebagainya, melainkan merupakan kegiatan
memperbandingkan sistem hukum yang satu dengan yang lain. Yang dimaksudkan
dengan memperbandingkan di sini ialah mencari dan mensinyalir perbedaan-
perbedaan serta persamaan-persamaan dengan memberi penjelasannya dan meneliti

81
repository umy, 2021: 1-3
82
Marzuki : 6-8

105
bagaimana berfungsinya hukum dan bagaimana pemecahan yuridisnya di dalam
praktek serta faktor-faktor non hukum yang mana saja yang memperngaruhinya.
Penjelasannya hanya dapat diketahui dalam sejarah hukumnya, sehingga
perbandingan hukum yang ilmiah memerlukan perbandingan sejarah hukum. Jadi
memperbandingkan hukum bukanlah sekedar untuk mengumpulkan peraturan
perundan-undangan saja dan mencari perbedaan serta persamannya saja, akan tetapi
perhatian yang paling mendasar dalam perbandingan hukum ditujukan kepada
pertanyaan sampai seberapa jauh peraturan perundang-undangan atau kaidah yang
tidak tertulis itu dilaksanakan didalam masyarakat. Untuk itu dicarilah perbedaan
dan persamaan. Dari perbandingan hukum ini dapat diketahui bahwa disamping
banyak perbedaan juga kesamaannya83.

B. Pembahasan
1. Sejarah Hukum Islam
Hukum Islam merupakan rangkaian kata dari kata “hukum” dan “islam”.
Kedua kata ini berasala dari bahasa Arab, namun apabila dirangkai menjadi
“hukum Islam”, kata tersebut tidak dikenal dalm terminologi Arab. Kita tidak
dapat menemukan kata itu dalam al-Qur’an, hadis atau literatur Arab lainnya.
Kata Hukum Islam meruoakan kata yang sudah melembaga, dipakai secara
lumrah di Indonesia. Kata ini mulai muncul ketika di Indonesia muncul tiga
hukum yang saling bersinggungan (trikotomi hukum), yaitu hukum islam,
hukum Adat dan hukum Barat. Penyebutan “hukum islam” itu sendiri bertujuan
untuk memisahkan antara hukum yang bersumber dari ajaran agama islam,
hukum yang berasal dari ada istiadat bangsa Indonesia dan hukum Barat yang
dibawa oleh Kolonial Belanda.
Apabila didefiniskan, hukum Islam ada : “seperangkat oeratruan
berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasulullah tentang tingkah laku manusia
mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua orang yang beragama
islam”. Selain itu, ada pula pendapat yang mengambil pengertian hukum sebagai

83
A Annam. 2015: 1-2

106
hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian dari agam islam. Meskipun
begitu, penyebutan ruang lingkup dan obyek hukum islam sendiri masih terkesan
belum jelas di dalam masyarakat, yang sangat meungkin disebabkan karena
kekeliruan dalam mengartikan syariat dan fiqih.
Dalam khazanah pemikiran hukum islam dikenal bahwa produk pemikiran
hukum islam memiliki empat kategori :
1. Fikih, yakni bangunan ilmu pengetahuan keislaman yang meliputi
ibadah dan mu’amalah secara menyeluruh.
2. Fatwa, yakni produk pemikiran hukum yang dikeluarkan oleh
perorangan mauoun secara koletif atas pertanyaan hukum dari anggota
masyarakat tehadap persoalan-persoalan tertentu. Fatwa tidak memiliki
daya ikat pada orang yang meminta fatwa-fatwa perorangan di zaman
modern, khususnya di Indonesia merupakan hutang langka, tetapi fatwa
yang dilakukan oleh kelembagaan hingga kini masih dirasakan eksis,
misalnya fatwa MUI yang hamper selalu mengikuti setiap persoalan
kontemporer.
3. Putusan Pengadilan, yakni produk pemikiran hukum yang dikeluarkan
oleh lembaga peradilan, yang keputusannya mengikat bagi pihak yang
berperkara.
4. Perundang-undangan (taqnin), yaitu produk politik dalam menerpakan
suatu hukum oleh dewan legislative yang diusulkan oleh eksekutif.
Biasnaya, perundang-undangan ini mempunyai keterbatasan,
diantaranya cakupan materi yang dimuat sangat spesifik, hanya
mencakup bidang hukum tertentu undang Dasar 45, TAP MPR,
Undang-undang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah (PERDA).

Dilihat dari cara penerapannya, hukum dapat dibagi menjadi dua bagian :

1. Produk hukum yang tidak memerlukan keterlibatan birokrasi atau


legislasi hukum oleh negara (mulzimun binafsibi), msialnya
mengucapkan dua kalimat syahadat dan melaksanakan kwajiban shalat.

107
Pemerintah tidak mengatur teknik pelaksanaan, baik bersifat perorangan
atau kelembagaan. Produk hukum seperti ini adalah fikih dan fatwa.
2. Produk hukum yang memerlukan ketelibatan birokrasi atau legislasi
hukum oleh negara atau ulil amri (mulziman binafshibi). Produk hukum
seperti ini adalah putusan pengadilan dan perundang-undangan.

Hukum Islam sejak kedatangannya di bumi Indonesia hinggga sekarang


tergolong hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat. Bukan saja karena
hukum Islam merupakan entitas agama yang dianut oleh mayoritas penduduk
hingga saat ini, akan tetapi dalam dimensi amaliahnya di beberapa daerah ia telah
menjadi bagian tradisi atau adat masyarakat yang dianggap sakral.

Dialektika hukum Islam terjadi secara dinamis dan pasang surut sesuai
dengan visi politik hukum penguasa. Visi politik hukum VOC terhadap hukum
Islam tentu berbeda dengan politik hukum penguasa Hindia Belanda. Pada masa
kolonial Belanda, hukum Islam dilawankan dengan hukum adat sebagai “teman
dialog”, sedangkan pada masa pasca kemerdekaan hukum Islam disandingkan
dengan hukum positif. Perbedaan ini tercermin dalam kebijakan pemberlakuan
hukum Islam oleh masing-masing rezim politik. Teori-teori pemberlakuan
hukum Islam yang telah dicetuskan dan dirumuskan oleh beberapa pakar pada
zamannya bisa memberikan gambaran mengenai realitas sejarah tersebut secara
mudah.

Memang benar bahwa dalam beberapa segi terdapat perbedaan pandangan


antara kedua sistem hukum ini, suatu situasi di mana dalam proses pembuatan
keputusan hukum kemungkinan munculnya konflik merupakan hal yang wajar.
Namun dalam masyarakat Indonesia, hukum adat dan hukum Islam secara
tipikal berjalan berdampingan dengan lancar sesuai dengan jurisdiksinya
masing-masing, walaupun kadangkadang keduanya saling beroposisi. Beberapa
area hukum adat dipandang sebagai bagian dari hukum Islam, demikian pula
dalam proses administrasi peradilan dalam masyarakat, kompromi yang didasari
atas elemen-elemen dari dua sistem merupakan bentuk solusi yang paling umum.

108
Dalam masyarakat di mana hubungan antara hukum adat dan hukum Islam
biasa digambarkan sebagai bentuk hubungan konflik, senantiasa akan ada usaha
untuk mendemonstrasikan yang sebaliknya melalui dua cara; pertama, bahwa
dalam kehidupan realitas individu kemungkinan munculnya konflik yang teoritis
sifatnya antara kedua institusi hukum, pada kenyataannya tidak pernah ada.
Kedua, Kedua sistem tidak hanya salng melengkapi, tetapi pada kenyataannya
juga merupakan bagian dari sistem yang sama, keduanya sama-sama
menemukan akar yang sama, yaitu dari Tuhan dan Islam.

Adanya kenyataan bahwa hukum adat bisa menyatu dengan hukum Islam,
merupakan bukti nyata bahwa sebenarnya kedua hukum ini bisa berjalan seiring-
seirama bergelindan menjadi aturan hukum di masyarakat. Dan apa yang
diupayakan Belanda dengan memperlawankan hukum Islam vis a vis hukum
adat menjadi sia-sia belaka84.

2. Penerapan Hukum Islam


Hukum Islam telah diakui eksistensinya sebagai bahan baku hukum
nasional, di samping hukum adat dan hukum umum. Bahkan hukum Islam
mempunyai kedudukan lebih strategis karena wataknya yang menekankan
moralitas agama berupa adanya pertanggungjawaban di hadapan Tuhan. Hal ini
secara empirik sesungguhnya sudah menjadi komitmen para hakim dalam
memutuskan perkara yaitu selalu berdasar kepada Tuhan YME. Dilihat dari akar
sejarah, sebagai sumber hukum, syari’at Islam sangat mungkin dimasukkan di
dalam undang-undang.
Hukum Islam pada masa Orde Baru sudah ditempatkan secara layak, namun
yang perlu dicatat adalah bahwa kelayakannya hanya pada pengukuhan adanya
hukum Islam atau sekedar penerapan saja. Menggunakan bahasa Marzuki
Wahid, politik hukum Islam di Indonesia dari segi pembentukannya pada masa
orde baru masih berkarakter semi responsif. Sementara dari segi materi
hukumnya politik hukum Islam di Indonesia berkarakter otonom. Dari segi
implementasi hukumnya politik hukum Islam di Indonesia berkarakter fakultatif.

84
Purwanto, 2017: 6-12

109
Dari segi fungsi hukum, politik hukum Islam di Indonesia berkarakter regulatif
dan legitimatif.
Ketika runtuhnya rezim Orde Baru, muncullah tuntutan atau aspirasi
sebagian kelompok Islam untuk memformalkan Piagam Jakarta atau syari’at
Islam. Namun disisi lain, ada kekhawatiran dari kelompok Islam yang lain,
karena banyaknya ketentuan-ketentuan dalam syari'ah Islam yang dianggap
tidak sejalan dengan demokrasi. Perbedaan di atas, memang dapat dimaklumi,
sebab dilihat dari orientasi keberagamaan masyarakat Indonesia dapat dilihat
dari beberapa aspek: Pertama, kelompok yang menjadikan Islam sebagai
ideologi yang manifestasinya berbentuk penerapan syari’at Islam. Kedua,
kelompok yang hanya berorientasi dari moral etik beragama, tanpa harus ada
formalisasi syari’at Islam. Alasan dari kelompok ini, formalisasi syari’at Islam
sesungguhnya merupakan langkah mundur dalam berdemokrasi85.
Hukum Islam memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan
karakteristik sistem hukum lain yang berlaku di dunia. Berbedanya karakteristik
ini disebabkan karena hukum Islam berasal dari Allah SWT, bukan buatan
manusia yang tidak luput dari kepentingan individu dan hawa nafsu. Salah satu
karakteristik hukum Islam adalah menyedikitkan beban agar hukum yang
ditetapkan oleh Allah ini dapat dilaksanakan oleh manusia agar dapat tercapai
kebahagiaan dalam hidupnya.
Kompilasi hukum Islam yang secara formal disahkan melalui intruksi
Presiden nomor 1 tahun 1991 adalah merupakan refleksi dan puncak
perkembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia. Pernyataan ini didasarkan
pada diadakannya seminar nasional, yang dihadiri oleh para ulama fiqh dari
organisasi-organisasi Islam, ulama fiqh dan institusi pendidikan tinggi, dari
masyarakat umum dan bahkan dari semua lapisan ulama fiqh ikut sertadalam
pembahasan- pembahasan itu, sehingga patut dinilai sebagai ijma’ ulama
Indonesia.

85
Sirajuddin, 2009: 3-8

110
Kompilasi hukum Islam indonesia disahkan melalui intruksi Presiden
Republik Indonesia nomor 1 tahun 1991. Kemudian ditindaklanjuti keputusan
Menteri Agama Republik Indonesia nomor 154 tahun 1991, dan disebarluaskan
melalui surat edaran direktur pembinaan badan peradilan agama Islam nomor
3694/EV/HK. 003/AZ/91. Oleh karena itu, kompilasi hukum Islam, yang
dikatakan sebagai ijma’ ulama atau kesepakatan manyoritas umat Islam
Indonesia, mengikat umat Islam Indonesia untuk mempedomani dan
menerimanya dengan senang hati sebagai refleksi dari kesadaran hukum mereka.
Kewajiaban mematuhi ketentuan-ketentuan hukum yang dikeluarkan oleh
pemerintah yang akan mendatangkan kemslahatan itu memiliki asas yang kuat.
Hukum Islam dalam bentuk fatwa, sifatnya kasuistik. Ia merupakan respon
atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa. Fatwa
tidak mempunyai daya ikat, dalam arti sipeminta fatwa tidak harus mengikuti isi
hukum fatwa yang diberikan kepadanya. Menurut Atho’ Mudzhar, fatwa
biasanya cenderung bersifat dinamik karena merupakan respon terhadap
perkembangan baru yang sedang dihadapi oleh masyarakat sipeminta fatwa. Isi
fatwa itu sendiri belum tentu dinamis, karena boleh jadi diambil dari kitab-kitab
fiqh yang dibacanya. Tetapi sifat responsifnya itu yang dapat dikatakan dinamis.
Dalam konteks sekarang ini, meskipun telah ada kompilasi hukum Islam, tidak
tertutup kemungkinan bahwa lembaga fatwa tetap diperlukan. Undang-undang
nomor 7 tahun 1989 pasal 52 perkara 1, secara implisit membuka peluang hakim
untuk memberikan fatwa, pengadilan dapat memberikan keterangan,
pertimbangan, dan nasehat tentang hukum Islam kepada institusi pemerintah
didaerah hukumnya, apabila diminta.
Dengan memperhatikan ragam produk pemikiran hukum Islam tersebut
diatas, muncul pertanyaan, apakah kompilasi hukum Islam tersebut dapat
dikatakan sebagai karya fiqh, atau sebagai perundang-undangan, atau kedua-
duanya sekali. Mengingat ia ditegaskan melalui intruksi presiden dan ditindak
lanjuti dengan keputusan menteri agama sebagai pemimpin dan pemerintah yang
sah, maka kompilasi lebih dekat, dapat dikatakan, sebagai perundang- undangan.
Paling tidak dapat dikatakan sebagai fiqh dalam bahasa perundang-undangan.

111
Namun demikian, terlepas dari persoalan tersebut, kompilasi merupakan karya
bersama ulama dan umat Islam Indonesia. Karena itu, sepatutnya ia dipahami
dan ditempatkan sebagi pedoman hukum yang dijadikan reference hukum dalam
menjawab setiap persoalan hukum yang muncul, baik di pengadilan agama
maupun didalam masyarakat.
Selanjutnya, dengan melihat sumber rujukan yang digunakan dalam
penyusunan kompilasi hukum Islam yang dianggap lengkap, mulai dari kitab-
kitab fiqh klasik dan modern, pendapat dan pemikiran ulama Indonesia, produk
pemikiran berupa fatwa dan keputusan pengadilan, dan juga hukum yang
berlaku diberbagai negara muslim didunia. Diharapkan kompilasi hukum Islam
tersebut aspiratif dalam menjawab tuntutan keadilan bagi masyarakat dan bangsa
Indonesia yang senantiasa dihadapkan kepada kemajuan dan perkembangan.
Jadi, dapat ditegaskan bahwa umat IslamIndonesia, sejak zaman
kolonialisme sampai sekarang, sesungguhnya tidak pernah berhenti berfikir
dalam menghadapi setiap masalah yang timbul. Pada zaman kolonial
pemikiranIslamyang hadir ditengah masyarakat terpusat pada usaha pembebasan
daripada penjajahan, pencerdasan umat dan bangsa, pembersihan akidah dari
syirik. Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, pemikiran Islam terutama
terpusat pada usaha mengisi kemerdeaan itu dengan sebaik -baiknya. Isu-isu
politik pada masa kemerdekaan telah banyak menyedot energi umat Islam.
Debat dalam usaha pembentukan negara persatuan, dan perdebatan dimajelis
kontitusi tentang dasar negara, sampai konsep nasakom dan demokrasi
terpimpin, sedikit banyak telah menguras energi umat Islam dan para
pemimpinnya. Pemikiran- pemikiran Islam yang lahir waktu itu mencoba
menanggapi berbagai masalah yang timbul, ada yang berjangka pendek dan ada
pula yang berjangka panjang . Jadi, gerakan pemikiran hukum di Indonesia pada
dasarnya telah dirintis dalam waktu yang cukup lama seiring dengan
keberhasilan perjuangan fisikal bangsa Indonesia. Dalam perspektif historis,
ketika dirumuskan dan disahkan dalam piagam Jakarta, yang kemudian
termanifestasikan kedalam pembukaan undang-undang dasar 1945, adalah
rentetan perjalanan sejarah pemikiran hukum Islam di indonesia, untuk

112
mengakhiri cengkeraman teori iblis receptie yang diwujudkan oleh pemerintah
kolonioal melalui politik tipu daya pihak penjajah itu.

3. Tokoh Pemikiran Hukum Islam


1. Hasbi Ash-Shiddieqy: Fikih Indonesia

Hasbi Ash-Shiddieqy merupakan seorang pemikir kenamaan Indonesia


yang menekuni berbagai disiplin ilmu keislaman. Khusus dalam bidang hukum,
beliau berpendirian bahwa syariat Islam bersifat dinamis dan elastis, sesuai
dengan perkembangan masa dan tempat. Ijtihad merupakan sarana untuk
melahirkan hukum-hukum lewat pemahaman terhadap wahyu dalam rangka
mengantisipasi setiap perkembangan yang timbul dalam masyarakat. Olehnya
itu, beliau melihat pentingnya upaya perumusan kembali fikih yang
berkepribadian Indonesia. Menurut beliau, umat Islam harus dapat menciptakan
hukum fikih yang sesuai dengan latar belakang sosio kultur dan religi
masyarakat Indonesia.
Adapun Fikih Indonesia yang diinginkan Hasbi yakni fikih yang ditetapkan
yang sesuai dengan kepribadian Indonesia, sesuai dengan watak dan tabiat
Indonesia. Gagasan ini berangkat dari kondisi yang ada, di mana fikih yang
berkembang dalam masyarakat Indonesia kala itu sebagiannya adalah fikih

113
Hijazi, atau fikih Misri, yakni fikih yang terbentuk atas dasar adatistiadat dan
kebiasaan Mesir, atau fikih Hindi, yaitu fikih yang terbentuk atas urf dan
adatistiadat yang berlaku di India. Pemberlakuan fikih-fikih tersebut didasarkan
taklid, bangsa Indonesia belum mampu mewujudkan kemampuannya untuk
berijtihad dalam rangka mewujudkan hukum fikih yang sesuai dengan
kepribadian Indonesia. Atas dasar hal tersebut, Hasbi menyerukan agar proses
perumusan hukum Islam hendaknya memperhatikan kondisi objektif dan aspek-
aspek atau pranata sosial kehidupan masyarakat Indonesia sehingga hasilnya
nanti akan cocok dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat Indonesia. Olehnya
itu, dalam pelaksanaanya tidak dibatasi dengan hanya menggunakan satu
pendekatan saja.
2. Hazairin: Mazhab Nasional Indonesia

Hazairin adalah mantan Guru Besar Hukum Islam dan Hukum Adat
Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Seperti diketahui, di antara sumbangsih
beliau dalam pemikiran hukum Islam adalah upayanya mengintroduksi teori
receptie exit. Hazairin merupakan penggagas pembentukan Mazhab Nasional,
mazhab yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia dan kebutuhan
zaman. Menurut beliau, hanya dengan menghilangkan taklid dan menggantinya

114
dengan kebebasan berijtihad, kita dapat dengan sempurna mempertautkan
hukum adat dengan kehendak Ilahi
Pemikiran beliau dalam hukum Islam antara lain adalah mengenai asas
bilateral dalam hukum kewarisan. Menurut beliau, sistem kekeluargaan
(perkawinan dan kewarisan) dalam alquran adalah bilateral. Pernyataan
tersebut, konon merupakan kesimpulan atas hasil telaahbeliau terhadap ayat-ayat
perkawinan dan kewarisan dalam Alquran. Beliau meyakini alquran adalah anti
kepada masyarakat yang unilateral, yakni masyarakat yang berclan-clan menurut
sistem kekeluargaan secara matrilineal dan patrilineal. Jadi, Alquran hanya
meridhai masyarakat yang bilateral.
Gagasan ini dinilai lebih mencerminkan keadilan terhadap pihak-pihak yang
harusnya mendapatkan keadilan. Dengan adanya aturan tersebut, maka pihak si
anak dari orang tua yang meninggal dunia akan terhindar dari prilaku semena-
semena si paman yang bermaksud menguasai semua harta sang kakek dan
mengabaikan perasaan anak yang telah ditinggal mati orang tuanya.

3. Munawir Syadzali: Reaktualisasi Hukum Islam

Reaktualisasi berasal dari kata dasar “aktual” yang mempunyai arti “baru
dan sedang menjadi perbincangan umum, nyata dan sesungguhnya”. Jadi,
reaktualisasi berarti penyegaran dan pembaruan nilai-nilai kehidupan

115
masyarakat. Dalam hal ini, penyegaran atau tindakan untuk menjadikan aktual
(baru, hangat) kembali. Maka reaktualisasi ajaran Islam berarti penyegaran atau
pembaruan kembali pemahaman dan pengamalan umat Islam atas pedoman atau
petunjuk dalam agama. Khusus dalam hukum Islam, kata reaktualisasi menjadi
sangat populer di Indonesia pada tahun 1985. ketika Munawir Syadzali
melontarkan ide mengenai bunga bank dan pembagian warisan sama antara anak
laki-laki dan perempuan.
Ide tersebut mendapat banyak respon dari berbagai kalangan, baik pro
maupun kontra. Hal ini dapat dimaklumi, karena ketika itu Munawir menjabat
Menteri Agama, ditambah cara melontarkannya dengan sangat menarik, dan
materi yang dilontarkannya pun sangat aktual. Ide peninjauan ulang atas
institusiinstitusi hukum Islam, khususnya kewarisan dan lembaga perbankan
didasarkan atas pengamatan Munawir terhadap gejala sikap mendua masyarakat
Indonesia dalam berbagai kasus penyelesaian kewarisan dan perbankan.
Maka, ia mengajak umat Islam Indonesia agar memberanikan diri untuk
secara kolektif mencontoh sikap khalifah Umar dalam pengambilan
keputusankeputusan hukum yang pasti, tidak mendua, dengan bermodal akidah
yang kuat serta memanfaatkan akal secara bertanggung jawab dan kejujuran
kepada Islam.
4. Ibrahim Hosen: Memfikihkan Nash Qat’i

Ibrahim Hosen adalah salah satu pakar fikih Indonesia yang cukup
terkemuka. Beliau pernah menjabat guru besar Fakultas Syari’ah IAIN

116
(sekarang UIN) Sayarif Hidayatullah Jakarta. Pemikirannya tentang pembaruan
hukum Islam dimunculkan untuk menyambut gagasan Munawir. Dasar
pemikiran beliau adalah bahwasanya ketentuan hukum bagi setiap aktivitas tidak
semuanya tercantum secara tegas dalam nash. Maka, perlu ada ijtihad dalam
menghadapi berbagai persoalan baru, dengan berdasarkan pada pedoman dan
kaidah-kaidah yang telah diakui dan ditetapkan dalam Ilmu Ushul Fikih.
Maka, berdasarkan kategorisasi ini, berarti hukum Islam kategori syari’ah
jumlahnya relatif lebih sedikit dibandingkan dengan kategori fikih. Dengan
demikian, lapangan ijtihad sangat luas. Selanjutnya beliau menegaskan beberapa
aspek yang terkait dengan fikih, yaitu kebenarannya nisbi, wataknya berbeda,
elastis dan dinamis, tidak mengikat, harus menjadi rahmat, mengutamakan
kemashlahatan serta adanya campur tangan pemerintah. Sehingga semakin
teranglah bahwa memang sangat terbuka peluang untuk melakukan pembaruan
di dalamnya.
5. Ali Yafie dan Sahal Mahfuz: Fikih Sosial

Ali Yafie dan Sahal Mahfuz dikenal sebagai tokoh yang memperkenalkan
wacana fikih sosial. Padahal, keduanya merupakan tokoh intelektual berbasis
tradisional. Banyak yang menilai, langkah mereka dimotivasi oleh maraknya
wacana yang cenderung memarjinalkan fikih klasik. Melalui elaborasi yang
komprehensif, mereka berupaya menggali khasanah fikih klasik untuk dibawa
ke masa kini dalam melalui sebuah reformulasi kontekstual masyarakat modern.
Fikih sosial (al-fiqh al-ijtima) menekankan kajiannya pada aspek ajaran tentang

117
hubungan antar sesama manusia, yakni individu dengan masyarakat dan
masyarakat dengan masyarakat lainnya.

Dalam hal ini, fikih sosial merupakan fikih yang berdimensi sosial atau fikih
yang dibangun atas dasar hubungan antar individu atau kelompok di dalam
masyarakat. Bagi Ali Yafie dan Sahal Mahfuz, fikih yang ada sekarang ini telah
cukup memadai secara materi. Hanya saja, sistem penyajian dan reformulasinya
menemui kendala-kendala. Selain itu, anomali penilaian yang hampir menjadi
patologi sosial, disebabkan oleh kelaziman dalam mengimplementasikan fikih
yang sering kali hanya berkutat pada dimensi ibadah saja, itupun tidak utuh.
Padahal, aspek ibadah hanya seperempat dari keseluruhan kandungan fikih,
karena ia meliputi juga bidang mu‟amalat, munakahat dan jinayat.

Menelaah intisari pemikiran dari kedua tokoh tersebut, tampak semakin


jelas bahwa keduanya terobsesi untuk memberdayakan fikih sebagai produk
hukum Islam melalui sebuah reformulasi yang disesuaikan dengan tuntutan
dunia kontemporer dengan tetap mengacu pada khasanah keilmuan Islam klasik
yang telah dihasilkan oleh ulama-ulama masa lampau. Bahwasanya upaya
pembaruan yang dilakukan tidak berarti harus menghapus sama sekali warisan
keilmuan masa lalu, terlebih jika hal itu masih relevan untuk diterapkan di masa
kini.

C. Kesimpulan

Hukum Islam merupakan rangkaian kata dari kata “hukum” dan “islam”. Kedua
kata ini berasala dari bahasa Arab, namun apabila dirangkai menjadi “hukum
Islam”, kata tersebut tidak dikenal dalm terminologi Arab. Kita tidak dapat
menemukan kata itu dalam al-Qur’an, hadis atau literatur Arab lainnya. Kata
Hukum Islam meruoakan kata yang sudah melembaga, dipakai secara lumrah di
Indonesia.

Hukum Islam telah diakui eksistensinya sebagai bahan baku hukum nasional,
di samping hukum adat dan hukum umum. Bahkan hukum Islam mempunyai
kedudukan lebih strategis karena wataknya yang menekankan moralitas agama

118
berupa adanya pertanggungjawaban di hadapan Tuhan. Hal ini secara empirik
sesungguhnya sudah menjadi komitmen para hakim dalam memutuskan perkara
yaitu selalu berdasar kepada Tuhan YME. Dilihat dari akar sejarah, sebagai sumber
hukum, syari’at Islam sangat mungkin dimasukkan di dalam undang-undang.

Secara keseluruhan, pembaruan hukum Islam di Indonesia, berjalan agak


Perlahan dibandingkan dengan negara-negara muslim lainnya, terutama di negara
timur tengah, Lahirnya pembaharuan hukum Islam di Indonesia semisal KHI antara
lain didasarkan pada ide-ide pembaruan yang dilontarkan oleh beberapa tokoh
terkemuka. Mereka ini telah melontarkan gagasan-gagasan pembaruannya dalam
rangka menciptakan hukum Islam yang berkarakter keindonesiaan, yakni sesuai
dengan kondisi masyarakat Indonesia. Tokoh-tokoh dan gagasan-gagasannya
adalah: 1) Hasbi Ash-Shiddieqy (Fikih Indonesia);

2) Hazairin: Mazhab Nasional Indonesia;

3) Munawir Syadzali: Reaktualisasi Hukum Islam;

4) Ibrahim Hosen: Memfikihkan Nash Qat’i;

5) Ali Yafie dan Sahal Mahfuz: Fikih Sosial.

119
DAFTAR PUSTAKA

Mubarok, J. (2016). Dinamika Pemikiran Hukum Islam di Indonesia. UNISIA, (48).


A.Annam. (2015). Teori Perbandingan Hukum (Pengertian Perbandingan Hukum).
UIN Malang

Sopyan, Y. (2010). Tarikh tasyri': sejarah pembentukan hukum Islam. Rajawali


Pers.
Purwanto, M. R. (2017). Hukum Islam dan Hukum Adat Masa Kolonial: Sejarah
Pergolakan Antara Hukum Islam dan Hukum Adat Masa Kolonial Belanda.
Sirajuddin, M. (2009). Wacana Penerapan Hukum Islam dalam Tinjauan Politik
Hukum Nasional. Jurnal Sosio-Religia, 8(3), 809-820.
Zulhamdi, Z. (2019). Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia Dan Tokoh-
Tokohnya. Jurnal Ilmiah Islam Futura, 19(2), 239-258.

120
PEMIKIRAN ABAD PERTENGAHAN
(Pemikiran Santo Agustinus dan Thomas Aquinos)

Oleh: Kholid Irsani


NIM. 20718251028

A. Pendahuluan
Abad pertengahan merupakan kurun waktu yang khas. Secara singkat
dikatakan bahwa dominasi agama kristen sangat menonjol. Perkembangan alam
pikiran harus disesuaikan dengan ajaran agama. Demikian pula filsafat, harus diuji
apakah tidak bertentangan dengan ajaran agama islam. Filsafat abad pertengahan
menggambarkan suatu zaman yang baru di tengah-tengah suatu perkumpulan
bangsa yang baru, yaitu bangsa eropa barat. Filsafat yang baru ini disebut skolastik.
Pada masa pertumbuhan dan perkembangan filsafat eropa ( sekitar lima abad )
belum memunculkan ahli pikir ( filosuf ), akan tetapi setelah abad ke-6 masehi, baru
muncul ahli pikir yang mengadakan penyelidikan filsafat. Jadi, filsafat Eropa yang
mengawali kelahiran filsafat barat abad pertengahan.
Filsafat barat abad pertengahan ( 476-1492 M ) juga dapat dikatakan sebagai
abad gelap. Berdasarkan pada pendekatan sejarah gereja, saat itu tindakan gereja
sangat membelenggu kehidupan manusia. Manusia tidak lagi memiliki kebebasan
untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya. Para ahli pikir saat itu
juga tidak mempunyai kebebasan berpikir. Apalagi terdapat pemikiran-pemikiran
yang bertentangan dengan agama ajaran gereja. Siapa pun orang yang
mengemukakannya akan mendapatkan hukuman berat. Pihak gereja melarang
diadakannya penyelidikan-penyelidikan berdasarkan rasio terhadap agama. Karena
itu, kajian terhadap agama (teologi) yang tidak berdasarkan ketentuan gereja akan
mendapatkan larangan ketat. Yang berhak mengadakan penyelidikan terhadap
agama hanyalah pihak gereja. Kendati demikian, ada juga yang melanggar
peraturan tersebut dan mereka dianggap orang murtad dan kemudian diadakan
pengejaran (inkuisisi).86

86
Maksum, Ali, 2010. Pengantar Filsafat. (Jogjakarta : Ar Ruzz Media) hlm. 99

121
Pada abad pertengahan ada dua tokoh yang sangat berpengaruh terhadap
ajaran-ajaran yang lain pada waktu. Mereka adalah Agustinus dan Aquinas seorang
filosof yang jenius, teori-teorinya dapat dikolaborasikan dengan filsafat-filsafat
modern.

B. Pembahasan
1. Sejarah filsafat abad pertengahan

Sejarah filsafat Abad Pertengahan dimulai kira-kira pada abad ke-5 sampai
awal abad ke-17. Para sejarawan umumnya menentukan tahun 476, yakni masa
berakhirnya Kerajaan Romawi Barat yang berpusat di kota Roma dan munculnya
Kerajaan Romawi Timur yang kelak berpusat di Konstantinopel (sekarang
Istanbul), sebagai data awal zaman Abad Pertengahan dan tahun 1492 (penemuan
benua Amerika oleh Columbus) sebagai data akhirnya.87

Masa ini diawali dengan lahirnya filsafat Eropa. Sebagaimana halnya dengan
filsafat Yunani yang dipengaruhi oleh kepercayaan, maka filsafat atau pemikiran
pada Abad Pertengahan pun dipengaruhi oleh kepercayaan Kristen. Artinya,
pemikiran filsafat Abad Pertengahan didominasi oleh agama. Periode abad
pertengahan mempunyai perbedaan yang mencolok dengan abad sebelumnya.
Perbedaan ini terletak pada dominasi agama. Timbulnya agama kristen pada
permulaan abad masehi membawa perubahan besar terhadap kepercayaan agama.
Zaman pertengahan adalah zaman keemasan bagi kekristenan.88 Disinilah yang
menjadi persoalannya, karena agama kristen itu mengajarkan bahwa wahyu
tuhanlah yang merupakan kebenaran sejati. Hal ini berbeda dengan pandangan
Yunani kuno mengatakan bahwa kebenaran dapat dicapai oleh kemampuan akal.89

87
Petrus, Simon. 2004. Petualangan Intelektual. (Yogyakarta: Kanisius) hlm. 102
88
Mustansyir, Rizal. 2009. Filsafat Ilmu. (Yogyakarta: Pustaka Belajar Offset)
hlm. 9
89
Surajiyo. 2005. Ilmu filsafat suatu Pengantar. (Jakarta: Bumi Aksara) hlm. 157

122
2. Periode-periode pada abad pertengahan
Secara garis besar, filsafat abad pertengahan dapat dibagi menjadi dua periode
yaitu Zaman Patristik dan Zaman Skolastik.

a. Zaman Patristik

Patristik berasal dari kata patres (bentuk jamak dari pater) yang berarti bapak-
bapak. Yang dimaksudkan adalah para pujangga Gereja dan tokoh-tokoh Gereja
yang sangat berperan sebagai peletak dasar intelektual kekristenan. Mereka
khususnya mencurahkan perhatian pada pengembangan teologi, tetapi dalam
kegiatan tersebut mereka tak dapat menghindarkan diri dari wilayah kefilsafatan.
Masa Patristik dibagi atas Patristik Yunani (atau Patristik Timur) dan Patristik Latin
(atau Patristik Barat). Bapak Gereja terpenting pada masa itu antara lain
Tertullianus (160-222), Justinus, Clemens dari Alexandria (150-251), Origenes
(185-254), Gregorius dari Nazianza (330-390), Basilus Agung (330-379),
Gregorius dari Nyssa (335-394), Dionysius Areopagita, Johanes Damascenus,
Ambrosius, Hyeronimus, dan Agustinus (354-430).

Tertullianus, Justinus, Clemens dari Alexandria, dan Origenes adalah pemikir-


pemikir pada masa awal patristik. Gregorius dari Nazianza, Basilus Agung,
Gregorius dari Nyssa, Dionysius Areopagita,dan Johanes Damascenus adalah
tokoh-tokoh pada masa patristik Yunani. Sedangkan Ambrosius, Hyeronimus, dan
Agustinus adalah pemikir-pemikir yang menandai masa keemasan patristik Latin.
Agustinus adalah seorang pujangga gereja dan filsuf besar. Setelah melewati
kehidupan masa muda yang hedonistis, Agustinus kemudian memeluk agama
Kristen dan menciptakan sebuah tradisi filsafat Kristen yang berpengaruh besar
pada abad pertengahan. Agustinus menentang aliran skeptisisme (aliran yang
meragukan kebenaran). Menurut Agustinus skeptisisme itu sebetulnya merupakan
bukti bahwa ada kebenaran. Menurut Agustinus, Allah menciptakan dunia ex nihilo
(konsep yang kemudian juga diikuti oleh Thomas Aquinos). Artinya, dalam
menciptakan dunia dan isinya, Allah tidak menggunakan bahan. Filsafat patristik
mengalami kemunduran sejak abad V hingga abad VIII. Di barat dan timur tokoh-

123
tokoh dan pemikir-pemikir baru dengan corak pemikiran yang berbeda dengan
masa patristik.

b. Zaman Skolastik

Zaman Skolastik dimulai sejak abad ke-9. Kalau tokoh masa Patristik adalah
pribadi-pribadi yang lewat tulisannya memberikan bentuk pada pemikiran filsafat
dan teologi pada zamannya, para tokoh zaman Skolastik adalah para pelajar dari
lingkungan sekolah-kerajaan dan sekolah-katedral yang didirikan oleh Raja Karel
Agung (742-814) dan kelak juga dari lingkungan universitas dan ordo-ordo
biarawan. Filsafat mereka disebut “Skolastik” (dari kata Latin “scholasticus”,
“guru”), karena pada periode ini filsafat diajarkan dalam sekolah-sekolah, biara dan
universitas-universitas menurut suatu kurikulum yang baku dan bersifat
internasional.90

Tokoh-tokoh terpenting masa skolastik adalah Boethius (480-524), Johannes


Scotus Eriugena (810-877), Anselmus dari Canterbury (1033-1109), Petrus
Abelardus (1079-1142), Bonaventura (1221-1274), Singer dari Brabant (sekitar
1240-1281/4), Albertus Agung (sekitar 1205-1280), Thomas Aquinas (1225-1274),
Johannes Duns Scotus (1266-1308), Gulielmus dari Ockham (1285-1349), dan
Nicolaus Cusanus (1401-1464). Anselmus mengemukakan semboyan credo ut
intelligam, yang artinya aku percaya agar aku mengerti. Kepercayaan digunakan
untuk mencari pengertian, filsafat sebagai alat pikiran, teologi sebagai kepercayaan.
Sumbangan terpenting Anselmus yaitu suatu ajaran ketuhanan yang bersifat
filsafat. Dalam menjelaskan kedatangan dan kematian Kristus Anselmus
menjelaskan bahwa kemuliaan Tuhan telah digelapkan oleh kejatuhan malaikat dan
manusia. Hal ini merupakan penghinaan bagi Tuhan yang patut dikenai hukuman.
Untuk menyelamatkan manusia, Tuhan menjelma menjadi anakNya agar hukuman

90
Tim Penyusun MKD.2011. Pengantar Filsafat. (Surabaya : IAIN Sunan Ampel
Press) hlm. 26

124
dapat ditanggung. Dengan demikian keadilan, rahmat dan kasih Tuhan telah genap
dan dipenuhi.91

Peter Abelardus dianggap membuka kembali kebebasan berpikir dengan


semboyannya: intelligo ut credom (saya paham supaya saya percaya). Pemikiran
Abelardus yang bercorak nominalismei ditentang oleh gereja karena mengritik
kuasa rohani gereja. Dalam ajaran mengenai etika, Abelardus beranggapan bahwa
ukuran etika ialah hukum kesusilaan alam. Kebajikan alam menjadikan manusia
tidak perlu memiliki dosa asal. Tiap orang dapat berdosa jika menyimpang dari
jalan kebajikan alam. Akal manusia sebagai pengukur dan penilai iman.

Bagi Thomas Aquinas, tidak ada perbedaan antara akal dan wahyu Kebenaran
iman hanya dapat dicapai melalui keyakinan dan wahyu (dunia diciptakan Tuhan
dalam 6 hari). Ada kebenaran teologis alamiah yang dapat ditemukan pada akal dan
wahyu (sebagai jalan menemukan kebenaran), tetapi hanya ada satu kebenaran,
yaitu teologi iman. Pengetahuan tidak sama dengan kepercayaan. Pengetahuan
didapat dari indra dan diolah dari akal, tetapi akal tidak bisa mencapai realitas
tertinggi. Dalil akal harus diperkuat oleh agama. Aquinas yang pemikirannya
dipengaruhi Aristoteles, melakukan pula pengristenan teori Aristoteles dalam
teologi Kristen. Salah satu penyempurnaan teori Aristoteles oleh Aquinas yaitu
pandangan bahwa wanita adalah pria yang tidak sempurna. Pria dianggap aktif dan
kreatif, wanita dipandang pasif dan reseptif. Bagi Aqunias pria dan wanita memiliki
jiwa yang sama, hanya sebagai makhluk alamlah wanita lebih rendah, jiwanya
sama.

Aku percaya sebab mustahil”, demikian semboyan Occam sebagai suatu


gambaran terhadap hubungan tidak harmonis antara kepercayaan dan pengetahuan.
Pandangan dengan corak nominalis ini banyak dikritik oleh gereja karena dianggap
otoritas gereja. Bagi Occam, ”bukan saja akal manusia tidak akan dapat mengerti
pernyataan Tuhan, tetapi juga akal akan menyerang segala ikrar keputusan gereja

91
Bakry, H. 1991. Di Sekitar Filsafat Skolastik Kristen. (Jakarta: Firdaus.) hlm.
79

125
dengan hebat sebab akal manusia sekali-kali tidak bisa memasuki dunia ketuhanan.
Manusia hanya dapat menggantungkan kepercayaan kepada kehendak Tuhan saja
yang telah dinyatakan dalam alkitab”. Dengan demikian, antara keyakinan yang
bersumber terhadap agama dan pengetahuan yang bersumber pada akal harus
dipisahkan. Akibat pandangan ini Occam dihukum penjara oleh Paus, namun
mendapat suaka dari Raja Louis IV.

Periode ini terbagi menjadi tiga tahap:92

1. Periode Skolastik awal (800-120)

Ditandai oleh pembentukan metode yang lahir karena hubungan yang rapat
antara agama dan filsafat. Yang tampak pada permulaan ialah persoalan tentang
universalia. Ajaran Agustinus dan neo-Platonisme mempunyai pengaruh yang luas
dan kuat dalam berbagai aliran pemikiran.

Pada periode ini, diupayakan misalnya, pembuktian adanya Tuhan berdasarkan


rasio murni, jadi tanpa berdasarkan Kitab Suci (Anselmus dan Canterbury).
Problem yang hangat didiskusikan pada masa ini adalah masalah universalia
dengan konfrontasi antara “Realisme” dan “Nominalisme” sebagai latar belakang
problematisnya. Selain itu, dalam abad ke-12, ada pemikiran teoretis mengenai
filsafat alam, sejarah dan bahasa, pengalaman mistik atas kebenaran religious pun
mendapat tempat.

2. Periode puncak perkembangan skolastik (abad ke-13)

Periode puncak perkembangan skolastik: dipengaruhi oleh Aristoteles akibat


kedatangan ahli filsafat Arab dan yahudi. Filsafat Aristoteles memberikan warna
dominan pada alam pemikiran Abad Pertengahan. Aristoteles diakui sebagai Sang
Filsuf, gaya pemikiran Yunani semakin diterima, keluasan cakrawala berpikir
semakin ditantang lewat perselisihan dengan filsafat Arab dan Yahudi. Universitas-
universitas pertama didirikan di Bologna (1158), Paris (1170), Oxford (1200), dan

92
Surajiyo. 2005. Ilmu filsafat suatu Pengantar. (Jakarta: Bumi Aksara) hlm. 157

126
masih banyak lagi universitas yang mengikutinya. Pada abad ke-13, dihasilkan
suatu sintesis besar dari khazanah pemikiran kristiani dan filsafat Yunani. Tokoh-
tokohnya adalah Yohanes Fidanza (1221-1257), Albertus Magnus (1206-1280),
dan Thomas Aquinas (1225-1274). Hasil sintesis besar ini dinamakan summa
(keseluruhan).

3. Periode Skolastik lanjut atau akhir (abad ke-14-15)

Periode skolastik Akhir abad ke 14-15 ditandai dengan pemikiran islam yang
berkembang kearah nominalisme ialah aliran yang berpendapat bahwa
universalisme tidak memberi petunjuk tentang aspek yang sama dan yang umum
mengenai adanya sesuatu hal. Kepercayaan orang pada kemampuan rasio memberi
jawaban atas masalah-masalah iman mulai berkurang. Ada semacam keyakinan
bahwa iman dan pengetahuan tidak dapat disatukan. Rasio tidak dapat
mempertanggungjawabkan ajaran Gereja, hanya iman yang dapat menerimanya.

3. Biografi dan pemikiran aurelius agustinus dan thomas aquinas


1. Aurelius Augustinus, (354-430)
Augustinus lahir di tagasta, numidia ( sekarang Algeria), pada 13 november
354. ayahnya, patricius , adalah seorang pejabat pada kekaisaran romawi, yang telah
kafir sampai kematiannya pada tahun 370. ibunya, monica (monnica), adalah
penganut Kristen yang amat taat. Dalam bahasa latin augustinus di kenal dengan
nama aurelius. Pendidikan yang mula-mula diterimanya ialah dalam bidang
gramatika dan aritmetika. Ia sangat benci sama gurunya yang menggunakan
hukuman dalam metode mengajarnya. Bahasa yunani dibencinya sehingga ia tidak
mempunyai pengetehuan yang sempurna tentang bahasa itu.
Tatkala berumur sebelas tahun, ia dikirim ke sekolah madaurus, suatu tempat
orang kafir, atau sebutlah lingkungan kafir. Lingkungan itu telah mempengaruhi
perkembangan mral dan agamanya sementara ibunya selalu mendoakan agar
anaknya itu menerima ajaran Kristen. Keinginan ibunya ditulis oleh augustinus
dalam bukunya confessionnnns, yang bila diterjemahkan kira-kira berarti
“pengakuan” atau “syahadat”. Tahun 369-370 dihabiskannya di rumah sebagai

127
penganggur, tetapi suatu bacaan tentang Cicero pada bukunya, hortensius, telah
membimbingnya ke filsafat.
Pada tahun 370, karena bantuan kawanya, romanianus, ia pergi ke kartago. Di
sana ia tinggal bersana seorang guru wanita yang melahirkan seorang anak
untuknya yang bernama adeodatus 371. di sana ia menjadi seorang Manichean,
yaitu suatu ajaran agama yang mengajarkan bahwa mani adalah mani yang terakhir,
benar-benar sebagai juru selamat yang di janjikan oleh kristus. Ia lahir dipersia
tahun 216. Pada tahun 373-374 ia mengajar di Tagasta, dan sembilan tahun
berikutnya ia mengajar di kartago. Kemudian ia pindah ke roma, dan di sana ia
mendirikan sekolah retorika, dan ia pun meninggalkan ajaran mani, lalu menjadi
seorang skeptis.sethun kemudian ia mendirikan sekolah di Milan.
Ada beberapa pengaruh yang di terimanya, di anataranya ialah dari saint
ambrose, dari temannya simplicianus, dan dari neo-platonisme. Semua itu
menggiringnya untuk menerima gereja Kristen. Tobatlah ia. Pada hari paskah 25
april 378 ia dan anaknya, adeodatus, dibaptiskan. Segera setelah itu ia dan
kelurganya kembali ke afrika. Di Ostia, pelabuhan Roma, ibunya meninggal dunia
setelah terjadi suatu pembicaraan yang indah dengannya yang direkamnya dalam
confessions. Setelah ia mengalami konversi, ia mengabdikan seluruh dirinya
kepada tuhan dan melayani pengikut-pengikutnya. Setelah ia kembali ke tagasta
pada tahun 388, ia menjual seluruh warisan, dan uang hasil penjualan it diberikan
semuanya kepada fakir miskin. Yang tinggal hanyalah sebuah rumah yang di
rumahnya menjadi duatu tempat masyarakat biarawan. Ia sebenarnya tidak
berminat menjadi pendeta, tetapi pada tahun 391 ia di habiskan menjadi pendeta
karena didesak oleh hampir semua orang di tempat tinggalnya dekat kota Hippo
(sekarang masuk wilayah Aljazair).
Pada tahun 395-396 ia ditahbiskan lagi menjadi pembantu uskup di Hippo.
Hippo adalah sebuah kota yang berpenduduk kira-kira tiga puluh ribu orang, tetapi
gereja Kristen disana tidaklah kuat karena penduduknya campuran penganut
berbagai agama dan berbagai suku. Tahun terakhir kehidupannya adalah tahun-
tahun peperangan bagi Imperium Romawi. Pada bulan agustus tahun 403, Valdal,
yang menuju kebarat setelah menguasai Kartago, mengepung Hippo. Di tengah-

128
tengah penyerbuan pada tanggal 28 Agustus 430, Augustinus meninggal dunia
dalam kesucian dan kemiskinan yang memang sudah lama dijalaninya. Setelah
penaklukan itu orang Vandal menghancurkan semua yang dijumpai mereka kecuali
gereja dan perpustakaan Augustinus, yang dibiarkan tanpa diganggu. (lihat Mayer:
355-357; Encyclopedia Americana, 2:685-686; Runes:28).
2. Thomas Aquinas (1225-1274)
Ia lahir di Roccasecca, Italia, pada tahun 1225 dari keluarga bangsawan, baik
bapaknya maupun ibunya. Pada masa mudanya dia hidup bersama Pamannya yang
menjadi pemimpin ordo di Monte Cassino. Ia berada di sana pada 1230-1239. Pada
tahun 1239-1244 ia belajar Universitas Napoli, tahun 1245-1248. di Universitas
Paris di bawah bimbingan Albertus tetap berada di Cologne. Tahun 1252 ia kembali
belajar di Universitas Paris pada fakultas teologi. Tahun 1256 ia diberi Ijazah
(Licenti Docendi) dalam bidang teologi, dan ia mengajar di sana sampai tahun
1259. Tahun 1269-1272 ia kembali ke Universitas Paris untuk menyusun tantangan
terhadap ajaran Ibnu Rusyd. Sejak tahun 1272 ia mulai mengajar di Universiti
Napoli. Ia meninggal pada tahun 1247 di Lyons. karyanya yang paling penting ialah
Suma Contra Gentiles (1258-1264) dan Summa Theologcai . (1266-1273) (Lihat
Avey: 99).

4. Ajaran-ajaran Aurelius Agustinus dan Thomas Aquinas.


1. Ajaran-ajaran Agustinus
a. Teori Agustines tentang jiwa.
Agustines menentang ajaran yang mengatakan bahwa jiwa itu material.
Menurutnya jira atau roh itu imaterial. Agustines membuktikan immaterialnya jira
dengan mengatakan bahwa jira itu di dalam badan, ada dimana-mana dan dalam
waktu yang sama,bila jiwa itu material ia akan terikat pada tempat tertentu dalam
badan, hanya dengan mengatakan bahwa jiwa itu material kta dapat menjelaskan
kegiatan jiwa di dalam badan (Mayer: 359). Menurut Agustinus, jiwa tidak
mempunyai bagian karena ia imaterial. akan tetapi jiwa mempunyai tiga (3)
kegiatan pokok, pertama: Mengingat. Kedua : Mengerti. Ketiga : Mau, oleh karena
itu jiwa memiliki atau menggambarkan ketritunggalan alam (The Cosmic Trinity).

129
Agustinus menolak pandangan neo-platonesme yang mengatakan bahwa ada
dunia jiwa dan dunia roh. Menurut Agustinus yang adalah jiwa yang tunggal dan
individual, dikatakan tunggal karena jiwa ada dalam badan. Jiwa tidak ada bila
badan tidak ada. Akan tetapi, ia juga mengatakan bahwa jika tidak bergantung pada
badan, badan akan binasa sedangkan jiwa tidak. Ia juga mengatakan bahwa jiwa itu
Immortal (Immortal artinya tidak bisa musnah) katanya kebenaran bersifat abadi,
jiwa memiliki kebenaran itu (Kebenaran itu ada di dalam jiwa ) karena itu mestilah
jiwa itu bersifat abadi.
b. Teori Pengetahuan
Agustinus menolak teori kemungkinan, kita, katanya, tidak pernah dituntut
oleh ukuran relatif, inilah argumennya, saya tau bahwa saya tau dan mencinta.
Bagaimana jika anda bersalah? saya bersalah, jadi saya ada, kesalahan saya
membuktikan adanya saya, jika saya tau bahwa saya tidak bersalah, saya pun tau
bahwa saya ada. saya mencintai diri saya, baik tatkala saya bersalah tak kala saya
tidak bersalah, kedua-duanya tidak palsu. Bila kedua-duanya palsu, maka saya
mencintai objek yang palsu, jadi saya mencintai objek yang tidak ada. akan tetapi
karena saya benar-benar ada, jadi tidak ada orang yang ingin tidak ada sebab
bagaimana mungkin seseorang memiliki kebahagian sementara ia tidak ada.
Dalam argumen ini sesungguhnya Agustinus mengandalkan rasio dan logika,
ia mengandalkan kesadaran,jadi mengandalkan persamaan, keadaan saya bersalah,
atau keadaan saya tidak bersalah menyebabkan saya menyadari bahwa saya ada,
kesadaran saya mencintai diri saya telah membawa kepada perasaan bahwa saya
ada, begitu pula ia menggunakan kesadaran seseorang yang ingin bahagia. Sejak
Agustinus meyakini adanya dirinya, ia yakin bahwa dirinya dapat memahami
prinsip-prinsip metafisika seperti Plato, ia berpendapat bahwa tugas manusia ia
memahami segala kenyataan yang selalu berubah. jadi ia memperjelas perbedaan
penginderaan yang hanya memberikan kepada kita pandangan semula (a Partiel
View) tentang sesuatu dengan yang memberikan kepada kita sesuatu dengan yang
memberikan kepada kita sesuatu pengertian tentang kebenaran, yang sebenarnya,
yang abadi, yaitu kebenaran yang berada dibawah permukaan.

130
2. Ajaran-ajaran Aquinas
a. Pemikiran Aquinas dalam teologi
Aquinas mendasarkan filsafatnya pasa kepastian adanya Tuhan. Ia mengetahui
banyak ahli teologi percaya pada adanya Tuhan hanya berdasarkan pendapat umum.
Ada juga ahli teologi yang menganggap eksistensi Tuhan tidak dapat diketahui
dengan akal; Itu hanya diketahui berdasarkan iman. menurut Aquinas, eksistensi
Tuhan dapat diketahui dengan akal. Untuk membuktikan pendapatnya ini ia
mengeajukan lima dalil (argumen) seperti yang diringkaskan berikut ini.
Argumen pertama diangkat dari sifat alam yang selalu bergerak. Di dalam ini
segala sesuatu bergerak. Dari sini dibuktikan Tuhan ada. Bierman dan Gould
(1973:639) menamakan argumen ini argumen gerak. Jelas sekali bahwa alam ini
bergerak. Setiap yang bergerak pasti digerakkan oleh yang lain sebab tidak
mungkin suatu perubahan dari potensialitas bergerak aktualitas bergerak tanpa ada
penyebabnya, dan penyebab itu tidak mungkin ada pada dirinya sendiri. Dengan
katalain, tidak mungkin sesuatu bergerak sendiri. Gerakan adalah perubahan dari
potentia ke actus; potentia tanpa sebab lain tidak mungkin Iactus. Akan tetapi,
timbul persoalan: bila sesuatu bergerak hanya ada penggerak yang
menggerakkannya, tentu penggerak itu pun memerlukan pula penggerak diluar
dirinya.Bila demikian, terjadilah penggerak berangkai yang tidak terbatas.
Konsekuensinya ialah tidak ada pada penggerak. Menjawab persoalan ini Aquinas
mengatakan bahwa justru karena itulah maka sepantasnya kita sampai pada
Penggerak Pertama, yaitu Penggerak yang tidak digerakkan oleh yang lain.
Argumen kedua disebut sebab yang mencukupi (efficient cause).
Ringkasannya kira-kira sebagai berikut. Di dalam dunia indrawi kita saksikan
adanya sebab yang mencukupi. Tidak ada sesuatu yang mempunyai sebab pada
dirinya sendiri sebab, bila demikian, ia pasti menjadi lebih dulu dari pada dirinya.
Ini tidak mungkin. Dalam kenyatannya yang ada ialah rangkaian sebab dan
musabab. Seluruh sebab berurutan dengan teratur: penyebab pertama menghasilkan
musabab, musabab ini penjadi penyebab yang kedua yang menghasilka musabab
yang kedua, musabab kedua ini menjadi penyebab yang ketiga yang menghasilkan
musabab yang ketiga, dan begitu seterusnya sehingga terjadi rangkaian penyabab.

131
Itu berarti bahwa membuang sebab sama dengan membuang musabab. Artinya, bila
tidak ada sebab pertama, tentu tidak akan ada rangkaian sebab itu tadi, dan ini
berarti tidak akan ada apa-apa. Nyatanya apa-apa itu ada. Oleh karena itu, wajarlah
untuk menyimpulkan adanya sebab pertama, dan itu Tuhan.
Argumen ketiga ialah argumen kemungkinan dan keharusan (possibility and
neccesity). Kita menyaksikan di alam ini bersifat mungkin. Kesimpulan itu kita
ambil karena kenyataanya isi alam ini dimulai tidak ada, lalu muncul, lantas
berkembang, akhirnya rusak atau menghilang. Kenyataan itu, yaitu alam
berkembang menuju hilang, membawa kita kepada konsekuensi bahwa alam ini
tidak mungkin selalu ada karena ada dan tidak ada tidak mungkin menjadi sifat
sesuatu sekaligus dalam waktu yang sama. Bila sesuatu tidak mungkim ada, ia tidak
akan ada. Nah, mestinya sekarang tidak ada sesutau. Ini berkawanan dengan
kenyataan. Kalau demikian, harus ada sesuatu yang ada sebab tidak mungkin
muncul yang ada bila ada pertama itu tidak ada. Sebab, bila pada suatu waktu tidak
ada sesuatu, maka tidak mungkin muncul sesuatu yang lain. Jadi, ada pertama itu
harus ada karena adanya alam dan isinya ini. Akan tetapi, ada pertama itu, ada yang
harus ada itu, dari mana? Terjadi lagi rangkaian penyebab. Kita harus berhenti pada
penyebab yang harus ada; itulah Tuhan.
Argumen keempat memperhaitikan tingkatan yang terdapat pada alam ini. Isi
alam ini masing-masing berkelebihan dan berkekurangan, misalnya dalam hal
kebaikan, keindahan, kebenaran. Ada orang yang dihormati, ada yang lebih
dihormati, ada yang terhormat. Ada indah, lebih indah, terindah. Benar juga
demikian. Tingkatan tertinggi menjadi sebab tingkatan dibawahnya. Api yang
mempunyai panas adalah sebab untuk panas dibawahnya. Yang maha sempurna,
Yang maha benar, adalah sebab bagi sempurna dan benar pada tingkatan dibawah-
nya. Tuhan, karena itu, adalah tingkatan tertinggi. begitu juga tentang ada. Tuhan
memiliki sifat ada yang tertinggi; ada yang dibawahnyadisebabkan oleh ada yang
tertinggi itu.
Argumen kelima berdasarkan keteraturan alam. Kita saksikan isi alam dari
jenis yang tidak berakal bergerak atau bertindak menuju tujuan tertentu, dan pada
umumnya berhasil mencapai tujuan itu, sedangkan mereka tidak mempunyai

132
pengetahuan tentang tujuan itu. Dari situ kita mengetahui bahwa benda-benda itu
diatur oleh sesuatu dalam bertindak mencapai tujuannya. Sesuatu yang tidak
berakal mestinya tidak mungkin mampu mencapai tujuan. Nyatanya mencapai
tujuan. Itu tidak mungkin seandainya tidak ada yang mengarahkan mereka. Yang
mengerahkan itu pasti berakal dan memengaraui. Kita lihat anak panah diarahkan
oleh pemanah. Yang mengarahkan alam semesta dan isinya ini harus ada, harus
berakal dan harus berpengetahuan. Itulah Tuhan. Demikian lima argumen tentang
adanya Tuhan. Argumen ini amat terkenal pada Abad pertengahan. Argumen ditulis
oleh Aquinas dalam summa teologica yang dari sana Mayer mengutip. Dapat juga
dalam Bierman dan Ould sebagaimana dikutip dalam karangan ini; juga boleh
diperiksa dalam Randal (1950:271-2). Sebenarnya kelima argumen ini tidak tidak
ada yang dapat meyakinkan kita tentang adanya Tuhan. Argumen ontologis dari
Anselmus dan argumen moral dari Kant lebih dapat meyakinkan.

C. Kesimpulan
Zaman pertengahan ialah zaman dimana Filsafat Abad Pertengahan dicirikan
dengan adanya hubungan erat antara agama Kristen dan filsafat. Abad pertengahan
memiliki sebutan lain misalnya abad kegelapan, jaman skolastik atau masa
patristik, yang semuanya menggambarkan corak pemikiran filsafat dan keilmuan
yang dibentuk sesuai dengan perkembangan peradaban Kristen. Abad ini ditandai
dengan keruntuhan budaya Romawi dan upaya untuk kembali membangun
peradaban berdasarkan ajaran filsafat Yunani dan ajaran agama Kristen.
Perkembangan ilmu dan filsafat berlangsung di gereja-gereja pada awalnya, untuk
kemudian mengalami perpecahan dikarenakan dominasi kuat agama terhadap
berbagai aspek kehidupan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat
berlangsung dengan lambat tetapi pasti sejalan dengan kontak budaya dengan
budaya Islam dan semangat untuk kembali pada kejayaan peradaban Yunani. Masa
ini berakhir dengan pemisahan kekuasaan dan pemikiran antara ajaran agama yang
bertahan di gereja dan perkembangan keilmuan yang mendapat tempat di lembaga
sekolah. Pada abad pertengahan muncul Agustinus dan Aquinas seorang filosof
yang jenius, teori-teorinya dapat di kolaborasikan dengan filsafat-filsafat modern.

133
DAFTAR PUSTAKA

Ajat Sudrajat. 2021. Sejarah Pemikaran Antara Dunia Islam dan Barat. Jogjakarta:
Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri
Yogyakarta.

Bakry, H. 1991. Di Sekitar Filsafat Skolastik Kristen. Jakarta: Firdaus.


Hanafi, A. 1983. Filsafat Skolastik. Jakarta: Pustaka Alhusna
Maksum, Ali. 2010. Pengantar Filsafat. Jogjakarta : Ar Ruzz Media
Mustansyir, Rizal. 2009. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Belajar Offset
Petrus, Simon. 2004. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius
Surajiyo. 2005. Ilmu filsafat suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara
Tim Penyusun MKD.2011. Pengantar Filsafat. Surabaya : IAIN Sunan Ampel
Press

134
PEMIKIRAN MASA RENAISANS DAN REFORMASI

Oleh: Erna Rosalina


NIM. 20718251022

A. Pendahuluan
“Renaisans” berdasarkan istilah Perancis sekarang secara umu menunjuk
pada kebangkitan kembali sastra dan seni pada abad ke-14 dan abad ke-15 di
Italia, pemulis-penulis kontemporer cenderung merujuk pada gerakan itu
dengan memakai istilah lain, seperti “restorasi”, “revival”,
“kebangunan/kesadaran” dan “perkembangan kembali”. (Italia disini tentu saja
mempunyai arti geografi, tidak politis). Pada tahun 1546 Paolo Giovio merujuk
ke abad ke-14 sebagai “abad kebahagian dalamnya tulisan-tulisan Latin
dipandang telah lahir kembali”, yang mengantisipasi perkembangan ini.
Sejarawan-sejarawan tertentu, yang paling perlu dicatat adalah Jacob
Burckhardt, telah mengemukakan bahwa Renaisans melahirkan era modern.
Dalam era inilah, demikian menurut Burckhardt, umat manusia untuk pertama
kali mulai berpikir mengenai diri mereka sebagai individu-individu. Kesadaran
komunal dari periode Abad Pertengahan mengalah terhadap kesadaran
individual dari Renaisans. Florence menjadi Atena baru, ibukota intelektual dari
suatu dunia baru yang berani, dengan sungai Arno yang memisahkan dunia
lama dan dunia baru.93
Menurut Husein Haikal (1989) reformasi merupakan salah satu kelanjutan
perkembangan gerakan renaisans. Namun reformasi disini juga berpijak pada
nuansa-nuasa yang cukup komplek serta terjalin sedemikian rupa, maka dari itu
luluhlah menjadi satu dengan unsur-unsur lainnya. Sebagai suatu gerakan,
reformasi telah menjadi sebab adanya polarisasi dalam agama Nasrani.
Kesatuan masyarakat Nasrani telah hilang, sebagai gantinya kemudian lahir

93
Alister E. McGrath, Reformation Thought : An Inroduction (2nd ed), Sejarah
Pemikiran Reformasi, Terj. Liem Sien Kie, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2016), Hlm.
143.

135
berbagai gerakan pembaharuan, yang masing-masing cenderung menganggap
kelompok sendiri yang benar dan kelompok lainyang salah. 94
B. Pembahasan
1. Renaisans
Zaman Renaisans (abad XIV-XVI) merupakan satu “Abad Keemasan”
(Golden Age) dalam peradaban Barat. Zaman ini merupakan sebuah fase
transisi yang menjembatani zaman Kegelapan (Dark Age) dengan zaman
Pencerahan (Enlightenment Age). Dengan lahirnya Renaisans, seberkas
kemilau cahaya peradaban barat mulai bersinar. Tanpa adanya Renaisans,
Eropa mungkin tidak akan menapaki abad-abad modern begitu cepat. 95
Secara etimologis Renaisans (Perancis : Renaissance, berasal dari kata-
kata Re, (kemali) dan Natire (lahir)) berate “kelahiran kembali”. Dalam
konteks sejarah Barat, istilah itu mengacu pada terjadinya kebangkitan
kembali minat yang sangat besar dan mendalam terhadap kekayaan warisan
Yunani dan Romawi kuno dalam berbagai aspeknya. Manusia Renaisans
begitu bersemangat mempelajari karya-karya “pemikir agung” Yunani
Kuno seperti Plato, Plotinus dan Aristoteles.96
Setelah mengalami masa kebudayaan tradisional yang sepenuhnya
diwarnai oleh ajaran kristiani, kini orang mencari orientasi dan inspirasi
baru sebagai alternative bagi kebudayaan tradisional tersebut, dan perhatian
mereka diarahkan pada kebudayaan Yunani-Romawi sebagai satu-satunya
kebudayaan lain yang mereka kenal dengan baik. Kebudayaan klasik ini
dipuja dan dijadikan model serta dasar bagi peradaban manusia. Pertama,
karena pada masa ini manusia berhasil mencapai prestasi gemilang dalam
berbagai bidang seni, filsafat, literatur, sains, politik, pendidikan, agama,
perdagangan dan lain-lain. Kedua, Renaisans telah membangkitkan kembali
cita-cita, alam pemikiran, filsafat hidup yang kemudian menstrukturisasi

94
Ajat, Sudrajat, Sejarah Pemikiran (Antara Dunia Islam dan Barat), (Program
Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta, 2021), hlm. 137.
95
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2007), hlm. 109.
96
Ibid., hlm. 109.

136
standar-standar dunia modern seperti optimisme, hedonisme, naturalisme
dan individualisme. Ketiga, terjadinya kebangkitan kembali minat
mendalam terhadap kekayaan warisan Yunani dan Romawi Kuno.
Keempat, terjadinya kebangkitan humanisme sekuler yang menggeser
orientasi berfikir manusia dari yang bersifat teosentrik menjadi
antroposentris. Kelima, terjadinya pemberontakan terhadap gereja yang
kemudian muncul kebebasan intelektual dan agama. Dalam hal masa ini
telah memaklumkan bahwa manusia sendiri adalah kaidah segala sesuatu
yang ada, bukan Gereja atau Alkitab.97
Terdapat pula beberapa faktor yang menyebabkan lahirnya Renaisans
yaitu seperti pengaruh kebudayaan Saracenic dan Byzantium;
perkembangan perdagangan yang baik; pertumbuhan kotakota; kebangkitan
kembali hasrat mempelajari warisan-warisan klasik; pertumbuhan sikap
kritis kaum filosof; dan adanya jalan keluar yang bertahap dari dunia
kerahiban kepada dunia nyata. Selain itu terdapat faktor lain yang secara
langsung mendorong lahirnya renaisans (Edward N. Burn, 1954): pertama,
munculnya kembali hasrat mempelajari hukum-hukum Romawi yang
menjadi pendorong tumbuhnya keinginan-keinginan duniawi; kedua,
menjalarnya kehausan intelektual yang menyebabkan berdirinya
universitas-universitas; ketiga, adanya faham skolastik Aristotelian yang
berisi pengakuan terhadap otoritas pemikir-pemikir pagan (klasik);
keempat, tumbuhnya naturalisme dan sastera dan seni; dan kelima,
tumbuhnya semangat menggali sains, sebagaimana ditunjukkan oleh hasil
karya Adelard, Roger Bacon dan sejumlah ilmuwan lainnya.98
Awal mula dari suatu masa baru ditandai oleh suatu usaha besar
Descartes (1596 -1650) untuk memberikan kepada filasafat suatu bangunan
yang baru. Memang di dalam bidang filsafat zaman Renaisans kurang
menghasilkan karya penting bila dibandingkan dengan bidang seni dan

97
Hasyim Asy’ari, Renaisans Eropa dan Transmisi Keilmuan Islam ke
Eropa, (JUSPI (Jurnal Sejarah Peradaban Islam), 2(1), 2018) Hlm. 3.
98
Ajat Sudrajat, op.cit., hlm. 125.

137
sains. Namun di antara perkembangan itu terjadi pula perkembangan dalam
filsafat. Descartes sering disebut sebagai tokoh pertama filsafat modern.99
Sejak itu, dan juga telah dimulai sebelumnya, yaitu sejak permulaan
Renaisans, sebenarnya Individualisme dan Humanisme telah dicanangkan.
Descartes memperkuat idea-idea ini. Humanisme dan individualisme
merupakan ciri Renaisans yang penting. Humanisme ialah pandangan
bahwa manusia. mampu mengatur dunia dan dirinya. Oleh karena itu sering
juga disebut zaman Humanisme, maksudnya manusia diangkat dari abad
pertengahan.100
2. Pemikiran Masa Renaisans
Pada masa Renaisans ini juga berkembang bentuk pemikiran manusia
yang baru, yang sama sekali terlepas dengan gereja. Diantara pemahaman
itu adalah humanisme, rasionalisme, empirisme, dan materialism:
a. Humanisme
Zaman Renaissance ini sering juga di sebut sebagai zaman humanisme.
Maksud ungkapan ini adalah manusia diangkat dari abad pertengahan. Pada
abad pertengahan itu manusia di anggap kurang di hargai sebagai manusia.
Kebenaran diukur berdasarkan ukuran dari gereja (kristen), bukan menurut
ukuran yang dibuat oleh manusia. Humanisme menghendaki ukuran
haruslah dari manusia. Karena manusia mempunyai kemampuan berfikir,
maka humanisme menganggap manusia mampu mengatur dirinya dan
dunia. Tujuan pendidikan diarahkan pada pembentukan manusia berani,
bebas, dan gembira. Berani diartikan sebagai percaya kepada diri sendiri,
bukan taat kepada kekuasaan. Tuhan seperti jaman pertengahan. Berani pula
untuk memperoleh kemashuran yang telah dicita-citakan oleh ahli filsafat
pada jaman Yunani dan Romawi. Bebas diartikan lepas dari ikatan gereja
dan tradisi, berkembang selaras, individualistis, bukan manusia kolektifistis
seperti pada abad pertengahan. Gembira berarti menunjukkan dirinya
kepada kenikmatan duniawi, bukan kepada keakhiratan seperti abad

99
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Jakarta: Kanisius), hlm. 18.
100
Hasyim Asy’ari, op.cit., hlm. 3-4.

138
pertengahan. Pengaruh humanisme dalam organisasi sekolah: orang
berpendapat bahwa negara harus turut campur dalam pengelolaannya.
Pengaruh dalam penetapan bahan pelajaran: terdiri dari artes liberalis yang
7, dengan ditambah ilmu alam, menggambar, dan puisi.101
b. Rasionalisme
Rasionalisme adalah faham filsafat yang mengatakan bahwa akal
(reason) adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan
mengetes pengetahuan. Jika empirisme mengatakan bahwa pengetahuan di
peroleh dengan alam mengalami objek empiris, maka rasionalisme
mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berfikir. Alat dalam
berfikir itu adalah kaidah kaidah logis atau kaidah kaidah logika.
Rasonalisme ada dua macam, dalam bidang agama dan filsafat. Dalam
bidang agama rasionalisme adalah lawan autoritas, dalam bidang filsafat
rasionalisme adalah lawan empirisme Rasionalisme dalam bidang agama
adalah kemampuannya untuk mengkritik ajaran agama, rasionalisme dalam
bidang filsafat terutama berguna sebagai teori pengetahuan. Sebagai lawan
empirisme, rasionalisme berpendapat bahwa sebagian dan bagian penting
pengetahuan datang atau bersumber dari penemuan akal.102
c. Empirisme
Empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan
pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri
dan mengecilkan peranan akal, istilah empirisme diambil dari bahasa yunani
empeiria yang berarti coba-coba atau pengalaman.103 Empirisme sebagai
lawan rasionalisme berpendapat bahwa pengetaahuan diperoleh dari
pengalaman dengaan cara observasi/penginderaan baik pengalamaan
lahiriyah yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniyah yang

101
A.M.Irfan Taufan Asfar & A.M.Iqbal Akbar Asfar, Pendidikan Masa
Renaissance: Pemikiran dan Pengaruh Keilmuan, (Universitas Negeri Makassar, 1-19,
2019), hlm. 10.
102
Ibid.
103
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), hlm. 173.

139
menyangkut pribadi manusia. Pengalaman merupakan faktor fundamental,
dan merupakan sumber dari pengetahuan manusia.104
d. Materialisme
Paham ini di pelopori oleh Lamettrie (1709-1751). Baginya manusia
tak lain dari mesin begitu pula halnya dengan binatang, sehingga tak ada
bedanya antara manusia dengan binatang. Lamettrie mengingkari prinsip
hidup pada umumnya. Mencoba membuktikan, bahwa bahan (badan) tanpa
jiwa mungkin hidup (bergerak), sedangkan jiwa tanpa bahan (badan) tak
mungkin ada, jantung katak yang dikeluarkaan dari tubuh katak masih
berdenyut beberapa detik (hidup kata Lamettrie), sedangkan tak mungkin
ada katak, jika tak ada badannya. Lamettrie bahwa prinsip hidup itu tak ada
dan tentu tak ada prinsip hidup yang rohani.105
3. Renaisans di Italia
Pada umumnya, pemerintahan dan keamanan yang stabil merupakan
suatu kondisi yang sangat diperlukan untuk pengembangan suatu
kebuadayaan yang tinggi, namun sebelumnya ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan karena renaisans lahir di tengah-tengah suasana kekacauan
politik. Renaisans tidak hanya muncul di Itali saja, namun masih ada
beberapa negara lainnya, kebetulan renaisans lahir ketika suatu keadaan
dunia sedang mengalami kekacauan.106
Ketika itu, permusuhan terjadi dimana-dimana serta partai politik
melakukan pemberontakan. Banyak orang pergi dan lebih memilih untuk
bergabung dengan pihak oposisi. Bergabungnya orang tersebut, mereka
tanamkan rasa bangga dan egoism yang tinggi. Segala bentuk cara untuk
mengejar kekuasaan dan keakayaan dianggap hal yang benar, lalu didorong
agar mengejar kebahagiaan jasmaniyah. Setiap orang menghalalkan segala
cara untuk mencapai sebuah kebahagiaan termasuk dengan cara menindas
satu sama lain. Hal tersebut merupakan memicu suatu perubahan sosial

104
Ibid., hlm. 11.
105
Ali Maksum, Pengantar Filsafat, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 357.
106
Ajat Sudrajat, op.cit., hlm. 127.

140
sehingga melahirkan kekacauan dunia perpolitikan. Sehingga terbentuklah
didalam jiwa setiap masing-masing orang yaitu jiwa petualangan dan
mencetak suatu kepribadian sebagai usaha untuk mengeraskan jalan
mencapai sebuah kebahagian serta kekuasaan. Periode ini dimana
persaingan sangat ketat dan tidak sehat terjadi dalam bidang perdagangan.
Dari kondisi seperti inilah terciptalah renaisans.107
4. Reformasi
Reformasi Luther baru dimulai pada tahun 1522 yaitu ketika Luther
kembali ke Wittenberg dari perasingan di Wartburg. Pada tahun 1521
Luther di kutuk oleh Sidang Umum (Kekaisaran) di Worms. Karena
khawatir mengenai keselamatanya, pendukung-pendukungnya yang
mempunyai kedudukan kuat memindahkannya secara rahasia ke benteng
yang dikenal dengan sebagai “Wartburg” hingga ancaman terhadap
keselamatanya berhenti. Selama masa pengasingannya, Andreas Bodenstein
von Karlstadt, seorang kolega Luther di Wittenberg, mulai melaksanakan
program pembaharuan di Wittenerg. Namun tampaknya tindakannya ini
justru mengakibatkan reformasi merosot ke dalam kekacauan. Dengan
keyakinan bahwa ia dibutuhkan untuk memawa reformasi itu ke jalan yang
sebenarnya dan tekad untuk memulihkan kembali keadaan khaos yang
ditimbulkan karena tindakan bodoh Karlstadt, Luther tampil dari tempat
pengamannya dan kembali ke Wittenberg.108
Di titik ini, program pembaharuan akademis Luther berubah menjadi
suatu program untuk pembaharuan gereja dan masyarakat. forum kegiatan
Luther tidak lagi dalam dunia ide-ide universitas, sekarang dirinya
dipandang sebagai pemimpin suatu gerakan pembaharuan keagamaan,
sosial politik, yang tampak bagi para pengamat sezamannya membuka jalan
untuk suatu tatanan sosial dan keagamaan yang baru di Eropa. Dalam
kenyataanya, program pembaharuan Luther jauh lebih konservatif daripada
pembaharuan yang dikaitkan dengan kolega-kolega reformednya, seperti

107
Ibid., hlm. 128.
108
Alister E. McGrath, op.cit., hlm. 8.

141
Huldrych Zwingli. Lebih lanjut lagi, pembaharuannya dianggap masih
kurang berhasil dibandingkan dengan apa yang diantisipasikan oleh
beberapa orang. Gerakan itu terus bercokol di wilayah-wilayah di Jerman
kecuali Skandinavia tidak pernah memperoleh basis kekuatan di luar negeri
yang tampaknya bagaikan buah apel yang masak, yang siap jatuh.
Pemahaman Luther mengenai peranan “pangeran yang dipilih Allah” (yang
secara efektif meyakinkan bahwa raja mempunyai wewenang untuk
mengontrol gereja) tampaknya tidak menarik perhatian sebagaimana yang
diharapkan. Secara khusus, dapat dilihat dalam terang sentimen-sentimen
golongan republik di antara pemikir-pemikir reformed pada umumnya,
Calvin misalnya. Kasus di Inggris benar-benar memberikan gambaran yang
jelas disini, seperti di Belanda, teologi Protestan yang akhirnya mendapat
tempat adalah teologi reformed dan bukan Lutheran.109
Penyebab lahirnya gerakan Martin Luther erat kaitannya dengan
penjualan surat pengampunan, surat aflat. Surat tersebut bermaksud untuk
mengajak pengikut Nasrani untuk berpartisipasi dalam perang Salib oleh
Paus. Sekita akhir abda XI, umat Nasrani mengalami kesulitan dalam
menghadapi serangan dari umat Islam, yaitu Turki Usmani, dalam perang
Salib, maka dijualah surat altaf tersebut sebagai surat pengampunan.
Melihat keuntungan dari penjualan surat aflat tersebut, maka penjualan surat
ampunan diperluas. Namun dalam perkembangannya penjualan surat
pengampunan tersebut mengarah untuk kepentingan-kepentingan dunia.
Mengadapi kenyataan yang demikian, Luther menekankan pada tiga hal
pokok, yaitu:
1) Berkaitan dengan adanya penyelewangan dalam bidang keuangan.
erkaitan dengan penyelewengan-penyelewengan dalam bidang
keuangan. Seandainya Paus mafhum akan papanya orang-orang Jerman,
Paus akan merelakan St. Peter runtuh daripada dibangun di atas
kesengsaraan dan cucuran keringat bahkan tetesan darah gembalanya.

109
Ibid., hlm. 9.

142
2) Berkenaan dengan penyelewengan dalam bidang doktrin. Paus tidak
mempunyai wewenang berkaitan dengan penebusan dosa di akhirat.
Seandainya Paus mempunyai wewenang sudah merupakan kewajiban
dia untuk mengosongkan isi neraka dari para penghuninya dengan tanpa
bayaran apapun.
3) Berhubungan dengan penyelewengan dalam bidang agama. Gereja yang
seharusnya mementingkan kekayaan ruhani, justru mengabaikannya.
Lebih dari itu gereja telah terlalu basah dengan gelimang kekayaan
duniawi.110

C. Kesimpulan
Beberapa faktor yang menyebabkan lahirnya Renaisans yaitu seperti
pengaruh kebudayaan Saracenic dan Byzantium; perkembangan perdagangan
yang baik; pertumbuhan kotakota; kebangkitan kembali hasrat mempelajari
warisan-warisan klasik; pertumbuhan sikap kritis kaum filosof; dan adanya
jalan keluar yang bertahap dari dunia kerahiban kepada dunia nyata.
Pada masa Renaisans ini juga berkembang bentuk pemikiran manusia yang
baru, yang sama sekali terlepas dengan gereja. Diantara pemahaman itu adalah
humanisme, rasionalisme, empirisme, dan materialism.
Ketika itu, permusuhan terjadi dimana-dimana serta partai politik
melakukan pemberontakan. Banyak orang pergi dan lebih memilih untuk
bergabung dengan pihak oposisi. Bergabungnya orang tersebut, mereka
tanamkan rasa bangga dan egoism yang tinggi. Segala bentuk cara untuk
mengejar kekuasaan dan keakayaan dianggap hal yang benar, lalu didorong agar
mengejar kebahagiaan jasmaniyah. Setiap orang menghalalkan segala cara
untuk mencapai sebuah kebahagiaan termasuk dengan cara menindas satu sama
lain. Dari kondisi seperti inilah terciptalah renaisans.
Lahirnya gerakan Martin Luther erat kaitannya dengan penjualan surat
pengampunan, surat aflat. Surat tersebut bermaksud untuk mengajak pengikut
Nasrani untuk berpartisipasi dalam perang Salib oleh Paus. Sekita akhir abda

110
Ajat Sudrajat, op.cit., hlm. 138.

143
XI, umat Nasrani mengalami kesulitan dalam menghadapi serangan dari umat
Islam, yaitu Turki Usmani, dalam perang Salib, maka dijualah surat altaf
tersebut sebagai surat pengampunan. Melihat keuntungan dari penjualan surat
aflat tersebut, maka penjualan surat ampunan diperluas. Namun dalam
perkembangannya penjualan surat pengampunan tersebut mengarah untuk
kepentingan-kepentingan dunia.

144
DAFTAR PUSTAKA

Asfar, A. I. T., & Asfar, A. I. A. (2019). Pendidikan Masa Renaissance: Pemikiran


dan Pengaruh Keilmuan. Universitas Negeri Makassar, 1-19.

Asy'ari, H. (2018). Renaisans Eropa dan Transmisi Keilmuan Islam ke


Eropa. JUSPI (Jurnal Sejarah Peradaban Islam), 2(1), 1-14.

Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Jakarta: Kanisius. Maksum, Ali.
2010. Pengantar Filsafat. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

McGrath, Alister E. 1993. Reformation Thought: An Inroduction (2nd ed) Sejarah


Pemikiran Reformasi. Liem Sien Kie. 2016. Jakarta: PT BPK Gunung
Mulia.

Sudrajat, Ajat. 2021. Sejarah Pemikiran (Antara Dunia Islam dan Barat). Program
Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta.

Suhelmi, Ahmad. 2007. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka


Utama.

Tafsir, Ahmad. 2007. Filsafat Umum. Bandung: Remaja Rosdakarya.

145
PEMIKIRAN LIBERALISME BARAT

Oleh: Setyo Adi Nugroho


NIM. 20718251030

A. Pendahuluan
Liberalisme merupakan paradigma berpikir dan kebudayaan yang tengah
menjadi mainstream dunia. Atmosfer pemikiran maupun konstelasi kemanusiaan
kontemporer didominasi paradigma liberal ini. Berbagai perubahan yang
melahirkan idiom-idiom global, seperti kebebasan pers, pasar bebas, serta
demokrasi, nampaknya tidak dapat dilepaskan dari liberalisme sebagai titik
tolaknya. Idiom-idiom tersebut secara imperatif memaksakan perubahan di
berbagai kawasan dunia, tidak hanya dalam hal tatanan politik dan ekonomi,
melainkan juga pada budaya, bahkan agama sekalipun.111
Liberalisme adalah ideologi atau paham yang mengutamakan dan menjunjung
kebebasan individu serta hak-hak yang dimiliki setiap individu dalam berbagai
aspek kehidupan baik agama, politik, ekonomi, sosial, dan berbagai aspek lainnya.
Secara tidak langsung, ini menunjukan bahwa negara dan pemerintahnya harus
melindungi dan menghormati hak serta kebebasan setiap warga negara. Paham
liberalisme memiliki konsep kebebasan sebagai dasarnya, sehingga paham ini dapat
berkembang dengan baik dalam sistem demokrasi. Namun, kebebasan individu
adalah kebebasan yang dipertanggungjawabkan bukan semata-mata kebebasan
yang tidak terbatas.
Liberalisme menempati posisi sentral dalam menjelaskan tujuan akhir individu
dan pencarian kebenaran moral. Pemikir liberal percaya bahwa manusia
mempunyai kemampuan rasio dan logika untuk menentukan hal-hal yang benar dan
terbaik baginya. Kemampuan manusia tersebut terlepas dari nilai-nilai yang harus
ditanamkan oleh kekuatan yang lebih besar, seperti penguasa maupun kepercayaan
spiritual tertentu. Penteori liberal seperti Isiah Berlin, John Rawls, dan Robert

111
Moch. Tolchah, “Pendidikan dan Faham Liberalisme”, (At-Ta’dib, Vol. 3, No. 2,
2007), hlm. 163-164.

146
Nozick mengemukakan pandangan bahwa manusia adalah makhluk otonom yang
dapat menentukan sendiri arah dan tujuan kebenaran hidupnya.112 Dalam tulisan
ini, penulis tertarik untuk membahas mengenai bagaimana pemikiran liberalisme
Barat mampu berkembang menjadi sebuah trend setter dalam kehidupan masa kini.

B. Pembahasan
1. Pengertian Liberalisme
Secara etimologi, kata “liberal” berasal dari kata liberte dalam bahasa
Prancis dan liberty dalam bahasa Inggris yang berarti kebebasan atau
kemerdekaan.113 Dalam bahasa Latin, liber berarti bebas dan bukan budak atau
suatu keadaan di mana seseorang bebas dari kepemilikan orang lain.114 Secara
epistemologi, liberalisme adalah paham yang berusaha memperbesar wilayah
kebebasan individu dan mendorong kemajuan sosial. Manusia memiliki
kebebasan dalam landasan pemikirannya dan mampu untuk bertindak sesuai
dengan apa yang diinginkannya.115
Liberalisme dapat pula diartikan sebagai paham yang menghendaki
adanya suatu kebebasan individu dalam segala bidang, baik bidang politik,
ekonomi, maupun agama. Menurut paham ini, titik pusat dalam kehidupan ini
adalah individu karena berkat individu masyarakat dapat tersusun; berkat
individu negara dapat terbentuk. Masyarakat atau negara harus dilindungi
kebebasan dan kemerdekaan individu. Tiap-tiap individu harus memiliki
kebebasan dan kemerdekaan dalam bidang politik, ekonomi, maupun
negara.116
Secara politis, liberalisme adalah ideologi politik yang berpusat pada
individu; dianggap memiliki hak dalam pemerintahan, termasuk persamaan

112
Alia Azmi, “Individualisme dan Liberalisme dalam Sekularisme Media Amerika”,
(Humanus, Vol. XII, No. 1, 2013), hlm. 33.
113
Budi Munawar Rachman, Reorientasi Pembaharuan Islam, (Jakarta: The Asia
Foundation, 2018), hlm. 321-322.
114
Hamid Fahmy Zarkasyi, “Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama
Missionaris, Orientalis, dan Kolonialis”, (Jurnal Tsaqafah, Vol. 5, No. 1, 2009), hlm. 3.
115
Budi Munawar Rachman, loc. cit.
116
Leo Agung, Sejarah Intelektual, (Yogyakarta: Ombak, 2013), hlm. 59.

147
hak dihormati, hak berekspresi, dan bertindak; serta bebas dari ikatan-ikatan
agama dan ideologi. Dalam konteks sosial, liberalisme diartikan sebagai suatu
etika sosial yang membela kebebasan (liberty) dan persamaan (equality) secara
umum. Menurut Prof. Alonzo L. Hamby dari Universitas Ohio, liberalisme
adalah paham ekonomi dan politik yang menekankan pada kebebasan
(freedom), persamaan (equality), dan kesempatan (opportunity).117
Liberalisme meyakini kebebasan sebagai prinsip dan orientasi, motivasi
dan tujuan, serta pokok dan hasil dalam kehidupan manusia. Liberalisme
merupakan sistem pemikiran yang dipakai untuk mensifati kegiatan manusia
yang bebas. Dengan kata lain, liberalisme merupakan aliran pemikiran yang
berorientasi kepada kebebasan individu, menghormati kemerdekaan setiap
orang, dan meyakini bahwa tugas pokok negara adalah melindungi kebebasan
warganya, seperti kebebasan berpikir, berekspresi, dan kepemilikan. Seperti
yang tergambar dalam pemikiran Abad Pencerahan (Aufklarung), pemikiran
ini memosisikan manusia sebagai Tuhan dalam segala hal. Aliran ini
memandang bahwa manusia dengan seluruh akalnya mampu memahami segala
sesuatu. Manusia dapat mengembangkan diri dan masyarakatnya melalui
kegiatan rasional dan bebas. Aliran ini juga dibangun di atas prinsip sekular
yang mengagungkan kemanusiaan dan berpandangan bahwa manusia dapat
dengan sendirinya mengetahui segala kebutuhan hidupnya.118
2. Sejarah Liberalisme
Lahirnya liberalisme tidak terlepas dari perkembangan mutakhir Barat
sejak era Renaissance (abad ke-14 sampai abad ke-17) dan Aufklarung (abad
ke-17 sampai abad ke-18), yang secara masif mendasari berbagai perubahan
besar dalam kultur dan peradabannya. Liberalisme muncul karena adanya
kebutuhan setiap individu di Barat membentuk tata nilai yang mengatur diri
mereka sendiri, sebagai dampak atas perkembangan kesadaran humanistik

117
Hamid Fahmy Zarkasyi, loc. cit.
118
Ajat Sudrajat, Sejarah Pemikiran: Antara Dunia Islam dan Barat, (Yogyakarta:
Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, 2021),
hlm. 143.

148
yang menempatkan manusia sebagai pusat semesta intelektual. Hak-hak
eksklusif kelompok tertentu sebagai pemegang otoritas kekuasaan untuk
menentukan berbagai kebijakan dan tata aturan yang diwariskan secara turun-
temurun digugat meski mengatasnamakan Tuhan. Ini dikarenakan adanya
kebutuhan setiap individu untuk ikut serta membentuk tata aturan dan nilai
yang mengatur diri mereka sendiri.119
Secara konseptual, ini merupakan kelanjutan tradisi berpikir Yunani kuno
yang mengedepankan otoritas rasio dan mengesampingkan mitos ataupun
tradisi. Meski secara diskursif para filosof, seperti Socrates, Plato, dan
Aristoteles terdapat perbedaan pandangan tentang tingkat kemampuan manusia
dalam berpikir, tetapi tradisi Yunani yang sudah terbiasa dengan pola pikir
rasional dan pragmatis dihidupkan kembali. Manusia diberi hak merumuskan
sendiri tata nilainya sendiri. Hukum dan tata nilai yang dibuat manusia
selanjutnya memiliki kekuasaan di atas manusia, yang karenanya ketaatan
hukum tumbuh bukan karena keterpaksaan, rasa takut, atau kepasrahan,
melainkan kesadaran sendiri.120
Pola berpikir semacam ini sempat mengalami kemandegan ketika pada
Abad Pertengahan (abad ke-5 sampai abad ke-15) kebebasan berpikir berada
di bawah bayang-bayang gereja. Gerakan Renaissance dan Aufklarung
membangkitkan kembali tradisi humanisme Yunani, di mana pemikiran murni
menjangkau keluasan ruang dan kedalaman waktu. Humanisme menekankan
pada kebutuhan manusia akan kesejahteraan yang bersifat kekinian di dunia.
Dalam diskursus kefilsafatan, humanisme memandang individu rasional
sebagai nilai tertinggi, yang ditujukan untuk membina perkembangan kreatif
dan moral individu dengan cara bermakna dan rasional tanpa merujuk pada
pandangan-pandangan adikodrati. Pemberian tempat istimewa terhadap
rasionalitas dengan sendirinya juga berarti penghargaan terhadap hak-hak
individu. Masyarakat Barat tidak saja diliputi pemikiran rasional dan empiris,
melainkan juga menjadi masyarakat yang pragmatis-utilitarianis; dan di sisi

119
Moch. Tolchah, op. cit., hlm. 164-165.
120
Ibid., hlm. 165.

149
lain hedonis, di mana norma-norma eskatologis tersisihkan oleh norma-norma
yang ditentukan sendiri oleh manusia.121
Gagasan yang pernah membeku selama Abad Pertengahan tersebut
bangkit kembali dan diperkokoh secara konseptual oleh para pemikir sejak era
Renaissance dan modern. Implikasi paling nyata atas lahirnya kembali paham
liberal paling tampak pada pemikiran-pemikiran politik, di mana kaum
Monarchomacha (penentang raja) mempertegas konsep kedaulatan rakyat
dengan argumen-argumen duniawi, dan mengesampingkan dogma agama.
Sebagai dampak lanjutannya, rakyat menjadi lebih membutuhkan parlemen
sebagai agen rakyat dari pada raja sebagai agen Tuhan. Tuntutan tersebut
dikejawantahkan ke dalam sekularisasi yang menandai berakhirnya kekuasaan
agama, dalam hal ini gereja.122
Seiring melemahnya kesakralan raja, revolusi politik Eropa khususnya
Prancis dan Inggris yang berpadu dengan tuntutan akan revolusi sosial dan
ekonomi, merebak dengan memperjuangkan jargon liberté (kebebasan),
egalité (keadilan), dan fraternité (persaudaraan). Pada tataran politik,
kesadaran ini melahirkan keinginan berbagai kelompok suku bangsa untuk
membangun komunitas (negara) sendiri dan melahirkan republik-republik
kecil di Eropa. Kesadaran komunal tersebut mengalami pengentalan atas dasar
berbagai ikatan kepentingan yang kemudian melahirkan paham nasionalisme.
Paham ini meruntuhkan dominasi feodalisme yang kokoh di Eropa sejak abad
ke-8 dan menumbuhkan tatanan baru yang memungkinkan aktualisasi hak-hak
individu. Tatanan baru tersebut dikenal dengan istilah demokrasi, yang pada
awalnya masih bersifat elitis dan hanya sebagai ajang kelompok elite sosial dan
ekonomi yang memiliki nilai tawar tinggi terhadap penguasa feodal.123
Aliran liberalisme berkembang pada abad ke-16 melalui tulisan Francis
Bacon (1561-1626) dan Thomas Hobbes (1588-1679). Mana kala di Prancis
muncul Rene Descartes (1596-1650) yang memberi penekanan baru terhadap

121
Ibid., hlm. 165-166.
122
Ibid., hlm. 166.
123
Ibid., hlm. 166-167.

150
logika akal. Di Jerman pula, muncul tokoh falsafah kritis Immanuel Kant
(1724-1804). Kebebasan intelektual yang berusaha untuk bebas dari agama dan
Tuhan itu kemudian tumbuh secara rasional menjadi liberalisme dalam
pemikiran keagamaan. Pada abad ke-17, ahli falsafah Prancis, Rene Descartes,
mempromosikan doktrin rasionalisme atau enlightenment yang berakhir pada
pertengahan abad ke-18. Doktrin utamanya adalah percaya pada akal manusia,
keutamaan kepada individu, berpikir dengan diri sendiri atau subjektif terhadap
Tuhan dan percaya manusia itu berkembang dan dapat dikembangkan.124
Liberalisme pada zaman ini bermula dengan revolusi tidak berdarah pada
tahun 1688 yang kemudian dikenal dengan The Glorious Revolution of 1688.
Revolusi ini berjaya menjatuhkan Raja James II dari Inggris dan Irlandia
(James VII dari Skotlandia) serta menaikan William II dan Mary II sebagai
raja. Tahun seterusnya, parlemen Inggris meluluskan sebuah undang-undang
hak rakyat (Bill of Right) yang berisi beberapa kekuasaan raja dan jaminan
terhadap hak-hak asasi dan kebebasan masyarakat Inggris. Pada waktu yang
sama, ahli falsafah Inggris, John Locke (1632-1704), menekankan hak asasi
manusia dengan dakwaan setiap orang lahir di muka bumi ini mempunyai hak-
hak dasar (natural right) yang tidak boleh dirampas. Hak-hak asasi itu meliputi
hak untuk hidup, hak untuk memiliki sesuatu, kebebasan membuat pandangan,
beragama, dan berbicara. Di dalam bukunya, Two Treatises of Government
(1690), John Locke berpendapat bahwa pemerintah memegang tugas utama
untuk menjamin hak-hak asasi tersebut dan jika ia tidak menjaga hak-hak asasi
itu, rakyat mempunyai hak untuk membuat revolusi.125
Semenjak tahun 1700, ahli falsafah Prancis, Montesquieu (1689-1755),
dalam bukunya, The Spirit of the Laws (1748) berpendapat bahwa pemisahan
kekuasaan negara (separation of powers) kepada pelaksana (eksekutif),
pemantau (yudikatif), dan lembaga pembuat dasar (legislatif) merupakan

124
Norsaleha Mohd Salleh, Phayilah Yama, Fadilah Zakaria, dan Noor Hafizah Mohd.
Haridi, “Historiografi Liberalisme dalam Kalangan Masyarakat Barat”, (Al-Irsyad: Journal
of Islamic and Contemporary Issues, Vol. 3, No. 1, Juni 2018), hlm. 72.
125
Ibid.

151
kemajuan untuk mengurangi kekuasaan politik yang mutlak. Mana kala J.J.
Rousseau (1712-1778), di dalam bukunya The Social Contract (1762)
berpendapat bahwa pemerintahan itu melambangkan refleksi dari harapan
rakyat yang diperintah. Kekuasaan bukan milik raja atau penguasa, tetapi milik
rakyat. Begitu juga Voltaire (1694-1778) menentang pemerintah yang terlalu
campur tangan dalam kebebasan individu. Ketiga tulisan ahli falsafah tersebut
pada teorinya menyatakan hak-hak dan kebebasan individu.126
Implikasi dari tulisan mereka itu melahirkan Revolusi Prancis pada tahun
1789. Peperangan pada sekitar 1775-1783 telah memerdekakan Amerika
Serikat dari penjajahan Inggris. Pada tahun 1788, undang-undang Amerika
Serikat memutuskan pemerintahan demokrasi melalui kekuasaan yang dibagi
kepada kuasa presiden, kongres, dan pengadilan federal. Pada tahun 1789,
rakyat Amerika Serikat membuat keputusan perlembagaan yang dikenal
sebagai Bill of Rights. Pada tahun 1971, pindaan perlembagaan ini dijadikan
salah satu keratan undang-undang dasar. Kandungan utama dari Bill of Rights
adalah jaminan hak-hak asasi, seperti kebebasan berbicara, media massa,
beragama, dan sebagainya. Pada akhir abad ke-18 dengan doktrin romantisisme
yang menekankan pada individualisme di mana individu menjadi sumber nilai
terhadap sesuatu. Kesadaran sendiri (self consciousness) mengambil tempat
kesadaran ber-Tuhan (God consciousness) dalam pengertian agama. Tokoh
yang memperkenalkannya adalah Jean-Jacques Rousseau (1712-1778),
Immanuel Kant (1724-1804), dan Friedrich Schleiermacher (1768-1834).127
Benih ideologi liberalisme dibesarkan di Prancis pada abad ke-18 yang
diambil dari pemikiran dan institusi-institusi di Inggris. Namun, para pemikir
pencerahan Prancis berlainan dari guru-guru Inggris mereka. Kecenderungan
anti agama terhadap aliran Katolik tradisional lebih tinggi apabila dibanding
penentangan terhadap aliran Protestanisme. Manakala di Inggris doktrin
deisme yang merupakan kepercayaan tentang pengetahuan, akal, dan pikiran
seseorang boleh menentukan bahwa Tuhan adalah wujud. Di mana pada

126
Ibid., hlm. 72-73.
127
Ibid., hlm. 73.

152
asalnya kepercayaan ini cenderung dimasukkan dalam kelompok unitarianisme
yang merupakan salah satu sub dominasi Protestan dalam teologi Kristen.
Unitarian adalah suatu ajaran yang menekankan keesaan Tuhan. Ia menjadi
salah satu alternatif yang jauh lebih radikal bagi gereja yang kukuh di
Prancis.128
Ketika teori pencerahan mendapat kuasa pada Revolusi Prancis 1789, yang
diperoleh adalah sebuah agama baru liberalisme yang sekular dengan pusatnya
di Catedral Notre Dame. Dalam bidang ekonomi, liberalisme berkembang
melalui strategi laissez faire oleh seorang ahli ekonomi Scotties bernama Adam
Smith di bukunya bertajuk The Wealth of Nations (1776). Gagasan-gagasan
ekonomi Adam Smith ini dijadikan ukuran untuk mendirikan sistem ekonomi
kapitalis yang mempromosikan liberalisasi bagi kegiatan ekonomi bagi setiap
orang. Strategi ini membatasi negara untuk campur tangan dalam kegiatan
ekonomi rakyat.129
Dengan mendasarkan diri pada nilai-nilai liberal-kapitalis, Barat
menawarkan demokrasi konstitusional sebagai tatanan politik berdasarkan
hukum (rule of law). Demokrasi Barat menjanjikan akses yang sama pada
setiap individu dan kelompok untuk menyatakan pendapat dan mengakses
kekuasaan. Dalam konteks ketatanegaraan, demokrasi sering diselenggarakan
dengan sistem perwakilan yang dilaksanakan melalui wakil-wakil masyarakat
yang dipilih secara berkala, bebas, dan melalui persaingan terbuka untuk
meraih kekuasaan politik.130
Kebebasan tersebut juga berimplikasi luas dalam masalah ekonomi, di
mana liberalisme dalam perkembangannya mendasari tumbuhnya kapitalisme.
Terlebih kebebasan berpikir dan berkreasi. Liberalisme juga berdampak luar
biasa besar terhadap perkembangan sains dan teknologi di Barat yang dijadikan
sebagai penopang pesatnya industrialisasi. Dalam perkembangan selanjutnya
bahkan disinyalir motif kapital inilah yang mendominasi kecenderungan Barat,

128
Ibid.
129
Ibid.
130
Moch. Tolchah, op. cit., hlm. 167.

153
sehingga seluruh aspek tindakan Barat dalam lapangan sosial, budaya, dan
politik sepenuhnya diabdikan dalam rangka kepentingan kapital.131
Era liberal-kapital telah menempatkan pemilik modal menjadi penentu
arah kebijakan politik, distribusi kesejahteraan, bahkan tata nilai. Kesenjangan
sosial yang sangat tegas antara kelompok kaya dan miskin; antara majikan dan
buruh semakin tak terjembatani akibat konsentrasi modal, termasuk tanah pada
segelintir orang. Kebebasan yang semula ditujukan sebagai pembukaan akses
setiap individu justru membuka lahan persaingan yang tidak berimbang.
Kebebasan hanya melapangkan jalan bagi yang kuat untuk mendominasi serta
mengekploitasi yang lemah.132
Sebagai respons atas menguatnya liberalisme yang mengambil wajah
kapitalisme, munculah ideologi politik yang berbasis pemikiran sosialisme
sebagai antitesa. Secara lebih ekstrem, sosialisme berkembang dengan
mengambil bentuk komunisme, yang oleh para penganutnya seringkali diklaim
sebagai tafsiran paling autentik atas sosialisme. Paham liberalisme-kapitalisme
dinilai sebagai biang ketidakadilan sosial.133
Di tengah situasi seperti ini, komunisme memperoleh lahan persemaian
dengan berpijak pada pemikiran Marxisme dan Leninisme. Pemikiran Karl
Marx menjadi antitesa atas liberalis-kapitalis yang dianggap menindas dan
merendahkan martabat manusia. Mereka menawarkan perlawanan sebagai
dialektika perubahan. Kaum proletar harus merebut kekuasaan negara agar
dapat membangun diktator proletariat. Mereka menawarkan demokrasi yang
berbeda, di mana perjuangan kaum proletar merebut kekuasaan melalui
revolusi. Mereka menyebutnya sebagai perjuangan demokrasi (the battle of
democracy).134
Dalam hal ini, demokrasi dimaknai sebagai suatu sistem pemerintahan
dengan kelas proletar berkuasa menjalankan kekuasaan atas nama dan untuk

131
Ibid.
132
Ibid., hlm. 167-168.
133
Ibid., hlm. 168.
134
Ibid.

154
kepentingan rakyat. Diktator proletar sendiri oleh Karl Marx ditempatkan
sebagai fase pendahuluan sebelum tercapainya penghapusan negara
(whithering away the state) dan masyarakat tanpa kelas (classless society)
dalam jangka panjang. Konsep sosial politik ini semula ditujukan untuk
membangun sebuah tatanan politik dan sosial, di mana semua orang dijanjikan
mendapat kebebasan yang sama di semua bidang kehidupan melalui solidaritas
dan pengorganisasian masyarakat, tetapi kemudian direduksi kepada
komunisme yang justru menghasilkan situasi yang jauh dari nilai-nilai dasar
demokrasi.135
3. Karakteristik Liberalisme
Karakter paling kuat yang ada dalam aliran liberalisme adalah kebebasan
individu dan rasionalisme. Pertama, setiap orang bebas berbuat apa saja tanpa
campur tangan siapa pun, termasuk negara. Fungsi negara adalah melindungi
dan menjamin kebebasan tersebut dari siapapun yang mencoba untuk
merusaknya. Oleh karena itu, liberalisme sangat mementingkan kebebasan
dengan semua jenisnya. Kekebasan berkreasi, berpendapat, menyampaikan
gagasan, berbuat dan bertindak, bahkan kebebasan berkeyakinan adalah tema
yang mereka ingin wujudkan dalam kehidupan ini. Kebebasan dalam
pandangan mereka tidak berbatas, selama tidak merugikan dan bertabrakan
dengan kebebasan orang lain. Kaidah kebebasan mereka berbunyi, “Kebebasan
Anda berakhir pada permulaan kebebasaan orang lain.”136
Kedua, penganut liberalisme meyakini bahwa akal manusia mampu
mencapai segala kemaslahatan hidup yang dikehendakinya. Standar kebenaran
adalah akal atau rasio. Karakter ini sangat kentara dalam pemikiran liberal.
Rasionalisme di antaranya tampak pada137:
a. Keyakinan bahwa hak setiap orang bersandar kepada hukum alam.
Sementara hukum alam tidak dapat diketahui kecuali dengan akal
melalui media indera/materi atau eksperimen. Dari sini dikenal aliran

135
Ibid., hlm. 168-169.
136
Ajat Sudrajat, loc. cit.
137
Ibid., hlm. 143-144.

155
atau paham materialisme (aliran filsafat yang mengukur setiap
kebenaran melalui materi) dan empirisme (aliran filsafat yang
menguji setiap kebenaran melalui eksperimen).
b. Negara harus bersikap netral terhadap semua agama. Karena tidak ada
kebenaran yang bersifat mutlak atau absolut, yang ada adalah
kebenaran yang bersifat relatif, yang dikenal dengan relatifisme
kebenaran.
c. Perundang-undangan yang mengatur kebebasan ini semata-mata hasil
dari pemikiran manusia, bukan syariat agama.
Nicholas F. Gier dari University of Idaho menyatakan bahwa karakteristik
pemikiran tokoh-tokoh liberal Amerika Serikat antara lain138:
a. Percaya pada Tuhan, tetapi tidak mau terikat dengan ajaran Tuhan
(agama). Dalam liberalisme, konsep Tuhan dan doktrin agama
merupakan persoalan yang dianggap mengganggu kebebasan. Karena
itu, sebagaimana kaum ateis, kaum liberal juga mengejek dengan
mengatakan 'Tuhan telah mati'.
b. Memisahkan antara ajaran agama dan moral. Mereka berkesimpulan
bahwa orang yang tidak beragama sekalipun dapat menjadi moralis.
Oleh karena itu, kaum liberal seperti Irshad Manji yang menulis buku
berjudul Allah, Cinta, dan Kebebasan, dianggap seorang moralis
karena sikapnya pada sesama manusia bersifat humanis, sekalipun
pemikiran dan perilakunya menghina Allah dan menista Nabi
Muhammad SAW.
c. Percaya penuh pada kebebasan dan toleransi beragama. Kebebasan
beragama sepenuhnya berarti bukan hanya kebebasan dalam
beragama, tetapi juga bebas untuk tidak beragama, dan bebas dari
segala ikatan agama.

138
Ibid., hlm. 144.

156
d. Menolak campur tangan agama dalam urusan publik atau negara.
Sekalipun mereka mengaku beragama tertentu, tetapi tidak mau
terikat dengan ajaran agamanya dalam segala urusan kehidupannya.
Dalam perkembangan sejarahnya, liberalisme ternyata meliputi berbagai
atau bahkan seluruh aspek kehidupan manusia, di antaranya yang paling
menonjol adalah: Pertama, aspek ideologi. Liberalisme merupakan suatu
paham yang membebaskan diri dari ajaran agama. Mereka mengakui adanya
Tuhan, tetapi tidak mau terikat dengan ajaran Tuhan (agama). Kedua, aspek
politik. Liberalisme adalah pemikiran yang tidak bisa dipisahkan dari paham
individualisme. Liberalisme merupakan paham politik yang memberikan
superioritas individu. Mereka memiliki hak dalam pemerintahan, termasuk
persamaan hak dihormati, hak berekspresi dan bertindak, serta bebas dari
ikatan-ikatan agama dan ideologi. Ketiga, aspek ekonomi. Liberalisme
menyatakan bahwa hidup perekonomian merupakan bidang yang harus
dikembangkan sesuai dengan kodrat manusia yang bebas, sehingga
perekonomian itu memang seharusnya berdasar pada prinsip pasar bebas. Basis
filosofisnya bahwa manusia yang merdeka mengetahui sendiri apa yang paling
baik bagi dirinya sendiri. Biarlah manusia sendirilah yang mengatur
kehidupannya sesuai dengan selera dan kehendaknya. Dalam hal ini,
pemerintah yang baik adalah yang tidak banyak campur tangan dalam bidang
ekonomi, biarlah kehidupan ekonomi ditangani oleh masyarakat atau swasta.139
4. Konsep dan Pandangan Liberalisme
Idealisme liberal sesungguhnya adalah produk dari modernisasi Barat
yang telah menggilas cara pandang lama yang membuat cara berpikir manusia
dikendalikan oleh sesuatu di luar dirinya. Ide modernisme yang menonjol
adalah pencerahan (enlightment), sebuah proses kesadaran dari belenggu adat
dan budaya kegelapan yang memasung pikiran manusia selama berabad-
abad.140

139
Ibid., hlm. 144-145.
140
Muhammad Yunus Abu Bakar, “Pengaruh Paham Liberalisme dan Neoliberalisme terhadap
Pendidikan Islam di Indonesia”, (Jurnal TSAQAFAH, Vol. 8, No. 1, April 2012), hlm. 137-138.

157
Liberalisme klasik melahirkan banyak pemikir yang memiliki cita-cita
untuk mengangkat individu menjadi pemilik dunianya secara otonom dan
membebaskan diri dari penghalang yang memasung kebebasan indvidu untuk
mengekspresikan diri sebagai manusia. Oleh karena itu, liberalisme dan
individualisme menjadi suatu hal yang tak terpisahkan. Keduanya membentuk
suatu ideologi dan cara pandang yang sangat penting bagi awal-awal
pertumbuhan ide-ide modern di Barat.141
Tradisi berpikir liberal dapat diidentifikasi menjadi enam prinsip dasar
yang pernah disebutkan oleh seorang pemikir liberal asal Filipina bernama
Julio Teehankee142:
a. Individualisme
Kaum liberal percaya bahwa pribadi atau individu adalah sesuatu yang
sangat penting. Seluruh kebijakan liberal mengarah atau diarahkan
untuk memberikan ruang kepada kebebasan dan hak-hak individu.
Bagi liberal, individualisme lebih penting dari kolektivisme.
b. Rasionalisme
Kaum liberal percaya bahwa dunia memiliki struktur yang rasional,
yang dapat dipahami secara logis. Keteraturan dunia bisa dipahami
lewat deliberasi pikiran dan pencarian kritis secara terus menerus.
c. Kebebasan
Tak ada kata yang lebih penting bagi seorang liberal selain kebebasan.
Kebebasan adalah kemampuan untuk berpikir dan bertindak sesuai
dengan mata hati (conscience) dan determinasi. Seluruh filosofi
liberalisme berangkat dari kebebasan manusia.
d. Tanggung Jawab
Kebebasan tanpa tanggung jawab adalah keliaran. Orang sering salah
memahami liberalisme sebagai liarisme. Liberalisme adalah
kebebasan + tanggung jawab.
e. Keadilan

141
Ibid., hlm. 138.
142
Ibid., hlm. 138-139.

158
Kaum liberal percaya bahwa keadilan adalah nilai moral yang harus
dijunjung tinggi. Keadilan bukan berarti mengorbankan hak seseorang
demi membela hak yang lainnya. Keadilan adalah pemberian
kesempatan kepada setiap individu untuk bersaing dan menggapai
hak-haknya.
f. Toleransi
Sebuah sikap menerima atau menghormati pandangan atau tindakan
orang lain, sekalipun pandangan atau tindakan itu belum tentu
disetujuinya. Toleransi adalah dasar bagi kebersamaan dan kerukunan
hidup. Tanpa toleransi, kebebasan tidak dapat ditegakkan.
Idealismenya seperti itu, meskipun pada kenyataannya nilai-nilai ideal
dalam banyak hal tidak terwujud. Terlalu banyak berteriak kebebasan dan tidak
berbuat apa-apa untuk memperolehnya atau sudah mendapatkan kebebasan
untuk dirinya sendiri, tetapi membiarkan orang lain terpasung, atau kebebasan
yang mengasingkan. Kebebasan semacam ini kadang kala tidak berakar pada
realitas.143
Para pencetus liberalisme sesungguhnya menggagas nilai-nilai yang
dianggapnya ideal bagi watak manusia. Mereka memandang tiap orang pada
dasarnya dilahirkan bebas, dan memiliki nilai-nilai moral yang berbeda. John
Rawl misalnya mengatakan: “Bahwa kita memiliki satu konsep mengenai
kebaikan yang lebih baik dari pada konsep lain tidaklah relevan dari sudut
pandang moral”.144
Liberalisme dewasa ini menerima tesis Weber bahwa nilai-nilai bukanlah
bagian dunia objektif. Dunia nilai adalah soal pilihan individu. Pandangan
bahwa dunia tidak mengandung nilai-nilai objektif sering bersamaan dengan
pandangan mereka mengenai kebebasan, yaitu individu bebas untuk memilih
nilainya sendiri. Mendasari tekanan liberal atas kebebasan orang untuk
memilih konsep-konsep mereka sendiri tentang kebaikan adalah kegagalan
liberalisme untuk menghadapi kebebasan ini, yang mana orang dikosongkan

143
Ibid., hlm. 139.
144
Ibid.

159
dari standar-standar untuk mengerahkan pilihan mereka. Kenyataan yang
menindas kebebasan ini adalah proses rasionalisasi, tujuan-tujuan konsumsi,
dan kekuasaan yang didesakkan secara sosial.145
Inilah yang membuat Ross Poole menyakini bahwa liberalisme adalah
nihilisme, sedangkan paham neoliberalisme sesungguhnya merupakan
eksistensi dari paham kapitalisme liberal, yaitu paham liberalisme yang sudah
mengarah pada sektor ekonomi, paham ekonomi politik free market. Paham
yang membatasi peran pemerintah dalam mengelola pasar dan pengekangan
pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah.146
Sejarah liberalisme dimulai dari zaman Renaissance, sebagai reaksi
terhadap ortodoksi religius. Saat itu kekuasaan gereja mendominasi seluruh
aspek kehidupan manusia. Semua aturan kehidupan ditentukan dan berada di
bawah otonomi gereja. Hasilnya, manusia tidak memiliki kebebasan dalam
bertindak. Otonomi individu dibatasi, bahkan ditiadakan. Kondisi ini memicu
kritik dari berbagai kalangan yang menginginkan otonomi individu dalam
setiap tindakan dan pilihan hidup. Otonomi individu dipahami sebagai
keterbebasan dari determinasi dan intervensi eksternal, berupa pembatasan,
pemaksaan, atau berbagai bentuk ancaman dan manipulasi dalam melakukan
tindakan. Menurut liberalisme, individu adalah pencipta dan penentu
tindakannya. Dengan konsep seperti ini, maka kesuksesan dan kegagalan
seseorang ditentukan oleh dirinya sendiri, oleh tindakan-tindakannya, dan
pilihan-pilihan terhadap tindakan tersebut. Intinya, manusia memiliki
kebebasan dalam hidupnya; manusia adalah pribadi yang otonom.147
Dalam perkembangannya, ada dua corak liberalisme, yaitu liberalisme
yang dipelopori oleh John Locke dan liberalisme yang dipelopori oleh Jean
Jacques Rousseau. John Locke berpendapat bahwa kebebasan yang menjadi
nilai dasar liberalisme dipahami sebagai ketidakhadiran intervensi eksternal

145
Ibid., hlm. 139-140.
146
Ibid., hlm. 140.
147
Ridha Aida, “Liberalisme dan Komunitarianisme: Konsep tentang Individu dan
Komunitas”, (Demokrasi, Vol. IV, No. 2, 2005), hlm. 95-96.

160
dalam aktivitas-aktivitas individu. Kebebasan adalah hak properti privat. Oleh
karena itu, pemerintah bersifat terbatas (minimal) terhadap kehidupan
warganya. Untuk itu harus ada aturan hukum yang jelas dan lengkap dalam
menjamin kebebasan sebagai hak properti privat ini. Corak liberalisme ini
kemudian mendasari dan menginspirasi munculnya libertarianisme yang
dipelopori oleh Alexis de Tocqueville, Friedrich von Hayek, dan Robert
Nozick.148
Di sisi lain, J. J. Rousseau berpendapat bahwa pemerintah harus tetap
berfungsi menjamin terlaksananya kebebasan individu dalam masyarakat.
Corak liberalisme ini selanjutnya mendasari dan menginspirasi munculnya
liberalisme egalitarian, dengan tokohnya antara lain John Rawls dan Ronald
Dworkin. Liberalisme ini berusaha menyatukan ide kebebasan dan kesamaan
individu dalam masyarakat. Pemerintah dibutuhkan untuk meredistribusikan
nilai-nilai sosial dalam melaksanakan untuk mencapai kebebasan dan
kesamaan individu-individu dalam masyarakat.149
Perbedaan terpenting antara liberalisme dan libertarianisme adalah
pandangan tentang kebebasan individu. Menurut libertarianisme, kebebasan
yang menjadi hak individu merupakan satu bentuk properti privat, tidak
seorang pun atau apa pun yang dapat merampas dan mencabutnya dari
seseorang tanpa dianggap telah melanggar hak orang tersebut. Seperti
libertarianisme, liberalisme juga mengutamakan kebebasan. Kebebasan
menurut liberalisme tidak dapat dikorbankan untuk nilai yang lain, untuk nilai
ekonomi, sosial, dan politik. Kebebasan hanya dapat dibatasi dan
dikompromikan ketika ia konflik dengan kebebasan dasar yang lain yang lebih
luas. Oleh karena itu, kebebasan menurut liberalisme bukan sesuatu yang
absolut, kebebasan hanya dapat dibatasi demi kebebasan itu sendiri.150
Konsep otonomi individu dalam pandangan liberalisme tidak hanya
berupa kebebasan individu dalam bertindak dan memilih cara hidup yang baik.

148
Ibid., hlm. 96.
149
Ibid.
150
Ibid., hlm. 96-97.

161
Namun, juga untuk mengkritisi, merevisi, dan bahkan meninggalkan nilai dan
cara hidup yang telah dipilihnya. Menurut, liberalisme, siapa pun dapat keliru
dalam pilihan hidupnya. Tindakan seperti ini bebas dilakukan oleh siapa pun
apabila nilai dan pilihan hidupnya semula tidak lagi tampak berharga untuk
dikejar dan tidak lagi sesuai dengan nilai yang mereka yakini saat ini. Dengan
demikian, otonomi individu tidak harus ditundukkan oleh keanggotaannya
pada suatu kelompok, seperti kelompok agama, etnis, dan sebagainya. Mereka
bebas untuk tetap berada atau menarik diri dari kelompoknya.151
Setiap orang bebas memilih konsep tentang hidup yang baik, meskipun
sangat berbeda dengan nilai dan pilihan hidup anggota komunitas yang lain.
Namun, konsep tersebut tidak boleh melanggar prinsip keadilan. Orang-orang
dengan konsep hidup yang berbeda-beda akan saling menghormati, bukan
karena hal ini mempromosikan satu cara hidup bersama. Mereka mengakui
bahwa tiap-tiap orang memiliki klaim pertimbangan yang sama. Tidak ada
tugas khusus yang ditetapkan komunitas terhadap individu. Tidak ada
kelompok atau praktik sosial tertentu yang memiliki kewenangan di luar
penilaian dan kemungkinan penolakan individu. Tidak ada yang “ditetapkan
untuk seseorang” atau tidak ada yang berwewenang memberikan penilaian
terhadap seseorang selain nilai yang ditetapkan oleh orang tersebut.152
Pengakuan terhadap otonomi atau kebebasan individu dalam bertindak
mengindikasikan adanya pengakuan terhadap pluralitas dalam masyarakat.
Kebebasan dan kesamaan perlakuan terhadap individu dalam bertindak dan
memilih cara hidup akan menghasilkan pluralitas nilai dan pilihan hidup.
Setiap orang bebas untuk bertindak dan memilih cara hidup yang baik
menurutnya. Pengakuan terhadap pluralitas tindakan dan pilihan hidup
mendapat perlakuan yang sama. Untuk menjamin tercapainya kesamaan
perlakuan tersebut, maka liberalisme mengemukakan ide netralitas negara.153

151
Ibid., hlm. 97.
152
Ibid.
153
Ibid.

162
Pemerintah menurut liberalisme harus bersikap netral terhadap konsep apa
pun tentang hidup yang baik, yang dianut dan dipilih oleh warganya.
Pemerintah tidak boleh memberikan prioritas pada satu nilai di atas nilai yang
lain, atau tidak menyokong dan mengabaikan salah satu nilai yang ada.
Liberalisme menganggap bahwa intervensi pemerintah untuk menyokong
salah satu nilai atau pilihan hidup dan mengabaikan nilai atau pilihan hidup
yang lain dianggap melanggar dan membatasi otonomi individu yang menjadi
nilai liberalisme.154
Ide netralitas negara tidak membenarkan adanya tindakan atas dasar
superioritas atau inferioritas intrinsik dari berbagai konsep tentang kehidupan
yang baik. Tidak boleh ada tindakan yang secara sengaja atau tidak sengaja
berusaha memengaruhi penilaian-penilaian orang tentang nilai dari berbagai
konsep yang berbeda ini. Kebebasan sebagai nilai yang esensial dalam
kehidupan manusia akan terancam dengan adanya pemaksaan suatu pandangan
khusus tentang kehidupan yang baik pada setiap orang.155
Netralitas negara yang bertujuan untuk menjamin kebebasan dan
kesamaan individu dalam masyarakat, dengan sendirinya mendorong
berkembangnya cara hidup yang bernilai dan mendorong tersingkirnya cara-
cara hidup yang tidak bernilai. Netralitas negara terhadap pluralitas nilai
tersebut dengan sendirinya menyeleksi nilai-nilai yang ada, mana yang tetap
bertahan dan diminati banyak orang atau tersingkir karena tidak menarik minat
orang.156
Kegagalan sosialisme dan marxisme dalam mengatasi konflik pada
masyarakat seperti terlihat di Uni Soviet dan negar-negara lain di dunia
menjadikan liberalisme sebagai konsep yang dominan saat ini. Namun, ini
tidak berarti liberalisme menjadi satu ideologi yang tanpa cacat. Cacat inilah
yang dilihat oleh komunitarianisme dan memunculkannya dalam bentuk kritik
terhadap liberalisme. Komunitarianisme mengkritik nilai-nilai liberalisme

154
Ibid., hlm. 97-98.
155
Ibid., hlm. 98.
156
Ibid.

163
yang dianggap tidak sensitif terhadap keanggotaan pada satu kelompok,
terutama kelompok kultural yang menjadi perdebatan sengit dalam filsafat
politik saat ini.157
5. Liberalisme dalam Berbagai Bentuk
a. Liberalisme “Absolut” Thomas Hobbes
Dalam pemikiran filsafat Hobbes, gagasan tentang kebebasan total
individu di dalam lingkungan alami diciptakan untuk mengandaikan
perlunya menerima ketaatan yang sepenuhnya di dalam masyarakat.
Lingkungan alami di sini adalah ‘lingkungan peperangan’, suatu situasi
ketika seseorang tidak bisa mencegah terjadinya pembunuhan atau saling
melukai. Oleh karena itu, menurutnya terdapat kebutuhan pada semua
individu untuk keluar dari lingkungan alami ini.158
Menurut Hobbes selanjutnya, gagasan tentang hak alami mengarah
pada diciptakannya hukum alami, yang mengarahkan manusia untuk
memasang batas-batas terhadap hak alaminya untuk melakukan apa pun
yang mereka kehendaki. Hukum alami karenanya akan meminta ‘aku’
menyerahkan ‘hakku’ untuk menyakiti ‘aku yang lain’, asalkan ‘aku yang
lain’ juga menyerahkan haknya untuk menyakiti ‘aku’. Oleh karena itu,
bukan hanya perlu bagi setiap orang untuk terlibat dalam ‘kontrak’ untuk
meninggalkan haknya menyakiti orang lain, tetapi juga perlu adanya suatu
kekuasaan yang bisa menjamin bahwa siapa pun tidak bisa saling
menyakiti atau saling melukai satu sama lain.159
Meskipun demikian, bagi Hobbes, tak seorang pun yang punya
kewajiban alami terhadap masyarakat, tak seorang pun yang secara alami
punya sesuatu hak atas orang lain, dan satu-satunya kewajiban adalah
bahwa setiap orang terlibat secara bebas untuk memenuhi kepentingan
dirinya sendiri. Pandangan inilah yang menjadi ciri dasar liberalisme.
Namun, pandangan Hobbes ini tidak dapat disamakan dengan

157
Ibid.
158
Ajat Sudrajat, op. cit., hlm. 145.
159
Ibid.

164
otoritarianisme karena Hobbes tetap mendukung adanya ‘intervensi’
berdasarkan hak alami setiap orang untuk melakukan apa pun yang
diperlukan bagi kelangsungan hidup pribadi.160
Pemikiran Hobbes ini menyediakan kerangka yang di dalamnya
kesimpulan-kesimpulan absolut bisa dideduksikan dari premis-premis
yang merupakan landasan bagi paham liberalisme. Manusia itu setara,
tetapi secara alami tidak bersifat sosial. Namun kemudian mereka
memutuskan berdasarkan kepentingan mereka sendiri untuk menyepakati
agar negara memaksa mereka menjadi makhluk sosial dengan
menempatkan satu individu di atas semua individu yang lain, dan
mengizinkan si penguasa itu menciptakan perbedaan peringkat di dalam
masyarakat.161
b. Liberalisme “Konstitusional” John Locke
Pandangan umum tentang masyarakat yang dianut kelas penguasa
baru setelah tumbangnya feodalisme Eropa sangatlah individualistik.
Mereka memiliki pandangan bahwa setiap orang adalah arsitek atas
nasibnya sendiri, yang tentu saja berarti bahwa mereka yang menduduki
jabatan tinggi dan memiliki kekayaan besar, akan bernasib baik
dikarenakan bakat, keterampilan, dan kecerdasan pribadi. Pandangan
tentang masyarakat yang demikian ini merupakan bentuk dari liberalisme
yang opimistis dan rasionalistis.162
Artikulasi filosofis pandangan liberalisme yang optimistis ini
dikemukakan oleh John Locke pada masa Revolusi Inggris yang kedua
tahun 1688. Liberalisme Locke ini lebih disukai oleh kaum borjuis
daripada liberalisme Hobbes yang cenderung membela absolutisme.
Locke menyatakan bahwa hak alami adalah serangkaian hak spesifik yang
terkait dengan kewajiban terhadap orang lain.163

160
Ibid.
161
Ibid., hlm. 145-146.
162
Ibid., hlm. 146.
163
Ibid.

165
Selanjutnya ditegaskan Locke bahwa hak alami memiliki kandungan
yang terbatas. Pertama, manusia memiliki hak untuk hidup. Hak ini
berbentuk hak kepemilikan, yaitu bahwa seseorang memiliki tubuhnya
sendiri. Hak untuk hidup ini tidak bisa dihilangkan, yang berarti tidak bisa
dijual kepada siapa pun, atau sebaliknya, tidak bisa diambil dari siapa pun.
Kedua, manusia mempunyai hak atas hasil kerjanya sendiri. Jika seseorang
telah mengambil untuk dirinya sendiri bagian dari alam, maka orang lain
punya kewajiban untuk tidak mengganggunya.164
Menurut Locke, ‘lingkungan alami’ pada dasarnya adalah suatu
keadaan yang berlimpah ruah dan situasi yang diliputi suasana
perdamaian. Pandangan ini berbeda dengan Hobbes yang memandang
lingkungan alami sama dengan suasana perang. Oleh karena itu, menurut
Locke, kalaupun lembaga-lembaga seperti negara dan sistem legal
diperlukan, ini dikarenakan beberapa orang bodoh atau durjana yang
memaksakan kehendaknya atau terus menambah hak alaminya dan
berusaha merampas kehidupan dan hak milik orang lain.165
Kekuasaan negara dengan demikian didasarkan pada ‘kontrak’ antara
para anggota masyarakat yang menyerahkan hak alami mereka untuk
menghukum pelanggaran hak alami itu kepada para pemegang kekuasaan
yang secara khusus diadakan untuk tujuan itu. Dalam hal ini filsafat sosial
Locke ini didasarkan pada prinsip-prinsip liberal untuk mendukung
pemerintahan yang konstitusional dan demokratis. Berangkat dari
pandangan ini, bagi Locke, negara merupakan abdi rakyat. Posisi ini bukan
hanya berlaku bagi kebijakan luar negeri, kemiliteran, dan fiscal, tetapi
juga terhadap kebijakan dalam negeri, di mana layanan utama yang
diharapkan dari negara adalah melindungi rakyat dan hak miliknya.166

164
Ibid.
165
Ibid.
166
Ibid., hlm. 147.

166
c. Liberalisme Utilitarian David Hume
Menurut David Hume, lingkungan alami manusia dipenuhi dengan
berbagai konvensi. Titik tolak pandangan filsafatnya tentang masyarakat
adalah adanya perasaan yang sungguh-sungguh dimiliki oleh orang, serta
kesepakatan atau konvensi yang benar-benar melibatkan mereka. Dalam
pandangannya, lembaga-lembaga sosial dibentuk secara berangsur-angsur
dari kepentingan diri yang tercerahkan.167
Hume berkeyakinan bahwa setiap individu memiliki kecenderungan
alami untuk berkumpul bersama individu lain dan pada saat yang
bersamaan memiliki kecenderungan alami untuk saling menolong para
sahabat dan keluarganya, dan inilah yang merupakan fondasi semua
hubungan sosial. Pandangan Hume ini jauh lebih positif daripada
Hobbes.168
Pada mulanya, formasi yang berupa kelompok-kelompok keluarga
dan para sahabat memberikan pengalaman kepada setiap orang bahwa
saling tolong dan saling percaya itu sangat menguntungkan, dan oleh
karena itu menyebabkan mereka terbiasa bekerjasama. Karena
pengalaman tersebut, dengan perasaan yang kuat, betapa meruginya jika
mengalami bahwa sesuatu yang mereka perlukan direbut dari mereka.
Selanjutnya, ketika orang semakin merasakan manfaat untuk tidak
mengganggu milik orang lain, asalkan orang-orang lain tidak melakukan
hal yang sama, mereka mulai mengembangkan tindakan-tindakan artifisial
untuk menjaga mereka.169
Tindakan-tindakan tersebut menurut Hume tidak didasarkan pada apa
pun seperti kontrak atau janji eksplisit lainnya, melainkan lebih didasarkan
pada konvensi yang tidak terucapkan. Meskipun demikian, tindakan-
tindakan itu mengikat pada kelompok-kelompok yang saling kenal, yang

167
Ibid.
168
Ibid.
169
Ibid.

167
berangsur-angsur meluas ketika orang di luar kelompok itu pun merasakan
manfaat bagi semua orang yang bersangkutan.170
Ide tentang keadilan dan ketidakadilan pun tumbuh dari konvensi
yang tidak terucapkan. Demikian halnya dengan ide tentang hak milik,
yang menurut Hume, merupakan label bagi barang-barang yang
kepemilikannya secara konstan ditetapkan berdasarkan konvensi.
Demikian pula kebiasaan untuk menghormati perjanjian bermula sebagai
konvensi yang tidak terucapkan. Dalam perkembangannya, ketika tuntutan
keadilan kian dirasakan, kepemilikan semakin kuat, dan perjanjian itu
mesti dipenuhi, orang-orang mulai merasakan perlunya prosedur yang
formal. Untuk memenuhi tuntutan itu, diperlukan lembaga-lembaga yang
dapat mengurusi kebutuhan mereka bersama.171
Dalam menolak konsep tentang hak alami, serta menekankan
konvensi yang didasarkan pada kebiasaan yang berkembang secara
perlahan seiring berjalannya waktu, Hume hingga derajat tertentu
menyerang ide sentral liberalisme awal. Liberalisme awal adalah suatu
pemikiran tentang perubahan sosial menyeluruh yang didasarkan dan
diarahkan oleh akal. Berdasarkan pada pandangan-pandangannya, filsafat
sosialnya pada rasa nyaman dan pada manfaat lembaga-lembaga sosial,
Hans Fink menilai bahwa Hume merupakan pelopor dari corak liberalisme
yang lebih bergairah dan bersifat utilitarian.172
d. Liberalisme “Kedaulatan Rakyat” Jean-Jacques Rousseau
Rousseau berpendapat bahwa manusia pada dasarnya baik, dan
kebaikan dasar itu tidak bisa dicapai dengan jalan mengganti prasangka
tradisional dengan akal. Rousseau bahkan curiga bahwa pemujaan
terhadap rasionalitas telah menjauhkan orang dari berbagai kebajikan
moral, seperti kerendahan hati, keakraban, dan kesediaan menolong.
Untuk melawan peradaban kontemporer (pemujaan atas rasio), Rousseau

170
Ibid., hlm. 147-148
171
Ibid., hlm. 148.
172
Ibid.

168
justru menjadikan yang alami sebagai cita-cita. Rousseau menyerukan
untuk kembali ke alam, yaitu suatu kehidupan yang seimbang serta
kebebasan nyata di dalam komunitas yang sederhana.173
Menurut Rousseau, berbeda dengan Hobbes dan Locke bahwa kontrak
akan membatasi kebebasan seseorang, kontrak itu akan menciptakan
kebebasan dalam bentuk yang lebih tinggi. Tujuan legislasi seharusnya
bukan membatasi kebebasan individu, melainkan justru memperbesar
kebebasan itu. Oleh karena itu, kedaulatan harus ada di tangan rakyat, dan
harus ada di tangan mereka selamanya.174
Menurut Rousseau, dalam masyarakat yang bebas, individu akan
mendapatkan kebebasan baru, kebebasan seorang warga negara, dan
kebebasan ini hanya dibatasi oleh ‘kehendak umum’. Kehendak umum
adalah kehendak masyarakat yang mengungkapkan kepentingan umum
masyarakat; dan karena kehendak individu terangkum dalam kehendak
umum, ia tidak bisa benar-benar dibatasi olehnya. Jadi, jenis legislasi yang
dibayangkan adalah ekspresi langsung atas kehendak rakyat. Legislasi
tidak membatasi kebebasan rakyat, melainkan hanya mengingatkan apa
yang sesungguhnya mereka inginkan.175
Dalam filsafat Rousseau, terlihat bahwa kehendak umum itu
merupakan kristalisasi kehendak masyarakat sebagai suatu kesatuan, dan
bukan sekadar jumlah total dari kehendak-kehendak individu. Kehendak
umum itu tidak boleh dibayangkan sebagai hasil pemilu atau survei opini,
melainkan lebih sebagai ‘kesepakatan’ sepenuhnya yang bisa dicapai
melalui diskusi yang bersifat informal terbuka dalam suatu kelompok yang
memiliki tugas bersama. Namun, Rousseau tidak mengajukan saran apa
pun tentang bagaimana keadaan seperti itu bisa diwujudkan.176

173
Ibid.
174
Ibid.
175
Ibid., hlm. 149.
176
Ibid.

169
e. Liberalisme “Egalitarian/Akal Murni” Immanuel Kant
Filsafat sosial Immanuel Kant merupakan ungkapan liberalisme yang
amat jelas dan sistematis. Namun, filsafatnya ini dikemukakan dalam
kerangka filosofis yang mengakomodasi pelanggaran sepenuhnya atas
prinsip-prinsip liberalisme dalam politik aktual negara. Menurut Kant,
orang bisa memiliki pengetahuan tentang hak dan kewajiban yang sahih
secara universal, tetapi pengetahuan ini tidak diturunkan dari pengalaman,
melainkan dari refleksi atas hakikat pikiran manusia itu sendiri.177
Kant memandang manusia sebagai binatang yang memiliki kebutuhan
dan nafsu, tetapi juga rasional. Kehidupan binatang diarahkan oleh hukum
alami; sedang perilaku manusia tidak boleh diarahkan oleh hukum alami,
melainkan oleh hukum akal. Hukum itu adalah hukum kebebasan. Dalam
pengertian bahwa mengikuti hukum itu tidak lain adalah mengikuti akal
manusia itu sendiri. Hukum akal yang mendasar adalah menghindari
kontradiksi diri dalam pandangan dan tindakan seseorang; ini berarti ia
selalu bertindak sedemikian rupa, sehingga prinsip tindakan seseorang bisa
dijadikan hukum universal.178
Contoh dari prinsip tindakan universal adalah: ‘jika seseorang sedang
berpikir untuk berdusta agar bisa keluar dari situasi yang sulit (tersangka
korupsi misalnya), menurut Kant, ia harus mempertimbangkan apakah ia
setuju bahwa tindakan ‘berdusta’ itu menjadi ‘hukum universal’ setiap kali
seseorang dihadapkan dengan situasi yang sulit’. Jika ia setuju, dan ‘dusta’
itu menjadi ‘hukum universal’, maka tidak ada seorang pun yang akan
percaya pada siapa pun juga, dan komunikasi akan runtuh sepenuhnya.179
Menurut Kant, bahwa seseorang dapat menemukaan di dalam dirinya
sendiri suatu basis bagi hak maupun kewajibannya terhadap orang lain.
Jika manusia sekadar atau sekelas binatang, mereka tidak akan punya

177
Ibid.
178
Ibid.
179
Ibid., hlm. 149-150.

170
kewajiban apa-apa, dan jika mereka malaikat yang tidak memiliki nafsu
kebinatangan sama sekali, maka mereka tidak akan membutuhkan apa pun.
Namun, pada kenyataannya manusia adalah binatang yang rasional, yang
baginya hukum akal mengambil bentuk berupa tuntutan agar mereka
bertindak sesuai dengan akal daripada menyerah terhadap godaan nafsu
kebinatangan.180
Hukum akal yang mendasar menurut Kant adalah imperatif kategoris.
Hukum itu bersifat kategoris dalam pengertian bahwa ia tidak tergantung
pada apa pun, dan secara khusus tidak ada kaitannya dengan sesuatu yang
mungkin menyenangkan, memuaskan, atau membanggakan.
Melaksanakan ‘kewajiban’ seseorang berarti bertindak sesuai dengan
imperatif ini, dan kebajikan moral itu tidak lebih daripada pelaksanaan
kewajiban itu saja. Agar bermoral, motifnya juga harus benar: “kewajiban
harus dilaksanakan hanya demi kewajiban itu saja, dan bukan berdasarkan
motif apa pun”. Jadi, sudah merupakan kewajiban seorang pedagang untuk
untuk tidak menipu. Jika seorang pedagang melakukan kewajiban itu
(tidak menipu) hanya karena takut kehilangan kepercayaan dari
pelanggannya, maka ia belum bertindak secara moral.181
Menurut Kant, pengetahuan diri seseorang sebagai makhluk rasional
tidaklah didasarkan pada pengalaman; dan dalam pengetahuan diri inilah
dasar prinsip-prinsip universal yang abstrak tentang moralitas, hukum, dan
politik harus ditemukan. Oleh karena itu, manusia seharusnya hidup dalam
komunitas makhluk-makhluk rasional yang sempurna, suatu ‘kerajaan
tujuan-tujuan’. Dalam komunitas seperti ini, setiap orang akan memiliki
kebebasan bertindak yang sama besarnya dengan yang dimiliki setiap
orang lain.182
Dalam suatu komunitas rasional, kebebasan seseorang akan bertemu
dengan kebebasan orang lain. Kebebasan hanya dibatasi oleh kebebasan.

180
Ibid., hlm. 150.
181
Ibid.
182
Ibid.

171
Kerajaan tujuan-tujuan versi Kant, di mana “kebebasan seseorang tidaklah
mengandung ketidakbebasan orang lain”, merupakan ungkapan paling
sempurna atas liberalisme egalitarian yang bebas dari konflik dan friksi.
Kant menganggap cita-cita ini bisa dibenarkan secara universal, tetapi ia
juga sadar bahwa manusia memiliki sisi kebinatangan yang terus menerus
menghalangi realisasinya.183
Kant percaya bahwa masyarakat meningkatkan kebebasan individu
dan bukannya mengurangi kebebasan itu. Ia menciptakan kemungkinan
untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dengan cara yang rasional,
dan bukannya membiarkan mereka tergantung pada sifat kebinatangan. Ia
sepakat dengan kontrak sosial sebagai asal-mula masyarakat sipil. Namun
seperti Rousseau, bahwa legislasi harus sedemikian rupa, sehingga ia bisa
disepakati secara sukarela oleh masyarakat.184
Dalam kaitannya dengan pemikiran politik, Kant cenderung kepada
republik demokratis sebagai bentuk pemerintahan yang paling mendekati
ideal. Ia berpendapat bahwa penjenjangan politik yang turun temurun
adalah sesuatu yang menyimpang. Meskipun demikian, ia mengambil
kesimpulan dengan berpendapat bahwa suatu monarki konstitusional
memberikan manfaat yang besar, dan jika terdapat golongan bangsawan,
ia harus diizinkan untuk tetap memiliki hak istimewa politik. Untuk
pendapatnya ini, tampaknya Kant tidak bisa melepaskan dirinya dari
konteks politik Jerman ketika itu.185
f. Liberalisme “Utilitarianisme-Hedonik” Jeremy Bentham
Menurut Bentham, titik tolak pemikiran tentang masyarakat harus
berangkat dari individu dan perasaannya, lembaga-lembaga masyarakat,
serta negara hanya bisa dibenarkan sejauh mereka menciptakan
kenikmatan terhadap individu. Menurutnya, setiap tindakan manusia
adalah upaya untuk menghasilkan kenikmatan dan menghindari rasa sakit.

183
Ibid., hlm. 150-151.
184
Ibid., hlm. 151.
185
Ibid.

172
Gagasan manusia tentang yang baik dan yang durjana, atau yang benar dan
yang salah, hanya bisa didasarkan pada rasa kenikmatan ataupun rasa
sakit.186
Dalam pandangan Bentham, tidak ada tempat bagi perintah-perintah
ilahi, atau hak alami, atau pun kewajiban yang dideduksikan dari renungan
tentang akal murni manusia model Kant. Tindakannya hanya bisa dinilai
berdasarkan konsekuensinya. Misalnya, jika saya mempertimbangkan
bahwa ‘berdusta’ atau ‘mencuri’ akan menguntungkan saya, maka bukan
hal yang keliru jika saya melakukannya.187
Menurut Bentham, suatu masyarakat tidak lebih dari individu-
individu yang menyusun masyarakat itu; dan kepentingan masyarakat
secara keseluruhan adalah memaksimalkan perimbangan rasa nikmat di
atas rasa sakit bagi para anggotanya. Ia berpendapat bahwa secara
keseluruhan kepentingan ini tidak dapat benar-benar dipenuhi dengan cara
menyerahkan semua urusan pada tindakan bebas berupa pertimbangan-
pertimbangan individual. Kepentingan itu akan lebih bisa dipenuhi jika
terdapat lembaga-lembaga sosial yang bisa memastikan bahwa orang-
orang yang melakukan tindakan tertentu, yang bisa menyakiti orang lain,
akan secara artifisial menanggung sejumlah rasa sakit.188
Penyesuaian-penyesuaian yang ditetapkan secara publik terhadap
berbagai konsekuensi dari tindakan tertentu, seperti halnya korupsi adalah
suatu bentuk hukuman yang bisa dibenarkan. Dengan demikian, hukuman
bagi mereka yang bersalah karena melakukan kejahatan adalah sebagai
bentuk ‘pencegahan’ umum dari tindakan-tindakan yang secara
keseluruhan lebih cenderung menyebabkan ‘ketidaknikmatan’ atau
‘ketidaknyamanan’ bersama.189

186
Ibid.
187
Ibid.
188
Ibid., hlm. 151-152.
189
Ibid., hlm. 152.

173
Pemikiran Bentham di atas adalah bentuk ‘utilitarianisme’, yaitu suatu
teori yang menyatakan bahwa setiap tindakan dan lembaga hanya bisa
dinilai berdasarkan konsekuensi-konsekuensi dalam kaitannya dengan
kenikmatan dan ketidaknikmatan yang mereka hasilkan bagi semua yang
terlibat. Meskipun pandangan ini berbeda sekali dengan teori liberalisme
yang didasarkan pada hak alami, liberalaisme yang bercorak
utilitarianisme-hedonik ini berfungsi sebagai legitimasi liberal bagi
lembaga-lembaga sosial yang bercorak kapitalistik.190
g. Liberalisme “Utilitarianisme-Sosial” John Stuart Mill
Pemikiran Mill dalam konteks ini masih dalam wilayah utilitarianisme
dengan cara memodifikasi berbagai seginya. Kebebasan dalam konsep
Mill tidaklah didasarkan pada hak-hak alami. Fondasi kebebasan itu
didasarkan pada prinsip-prinsip utilitarian, yaitu tunduk pada tafsir
kebahagiaan dan kenikmatan. Selanjutnya, basis teoritis modifikasi itu
adalah pembedaan antara bentuk-bentuk kebahagiaan atau kenikmatan
yang tinggi dan rendah. Kebahagiaan atau kenikmatan rohani,
umpamanya, lebih tinggi daripada kebahagiaan atau kenikmatan jasmani.
Menurut Mill, bahkan kebahagiaan atau kenikmatan rohani yang sedikit
saja lebih disukai daripada kebahagiaan dan kenikmatan jasmani yang
besar.191
Mill berpendapat bahwa setiap orang harus dibiarkan bebas
mengembangkan kemampuan mereka, sehingga dapat mencapai bentuk-
bentuk kebahagiaan dan kenikmatan yang lebih tinggi. Dalam
pertimbangan yang sama, karena beberapa bentuk kebahagiaan dan
kenikmatan yang bisa dicapai oleh mereka yang terpelajar, negara harus
mewajibkan anak-anak untuk bersekolah. Kendati sebagai akibatnya, pada
pengalaman pertama, mereka barangkali lebih banyak merasakan
ketidaknikmatan daripada kenikmatan.192

190
Ibid.
191
Ibid.
192
Ibid., hlm. 152-153.

174
Menurut Mill, hak individu atas pengembangan diri secara bebas itu
lebih penting daripada efisiensi jangka pendek, dan hal itu harus dilindungi
dari gangguan pihak lain, kendati mereka adalah mayoritas yang jauh lebih
besar. Kebebasan berpikir, berbicara, dan pers, dengan demikian harus
dilestarikan dengan pengorbanan apa pun tanpa memandang apakah
mereka memberikan sumbangan bagi kebahagiaan atau kenikmatan dalam
situasi tertentu. Apabila kemudian persaingan bebas mengancam
kebebasan itu, maka negara harus melakukan campur tangan.193
Pemikiran Mill di atas sering disebut sebagai bentuk dari liberalisme
sosial karena ia memadukan individulisme tradisonal dengan kepedulian
terhadap hak-hak politik dan perkembangan pribadi serta kebebasan bagi
semua orang. Ia telah melangkah lebih jauh dengan membela partisipasi
demokratis secara luas dalam pemerintahan. Mill merupakan pembela
yang gigih bagi kesetaraan politik kaum perempuan, dan juga menganggap
bahwa suatu ketika akan perlu memberikan hak suara kepada kaum buruh
yang tidak mempunyai hak kepemilikan.194
h. Liberalisme “Klasik” Friedrich August Hayek
Pemikiran Hayek mengenai ‘kebebasan’ dalam The Constution of
Liberty, dan kemudian disarikan oleh Eugene F. Muller dalam bentuk
ikhtisar dalam buku versi Indonesia yang berjudul Kondisi Kebebasan:
Liberalisme Klasik F.A. Hayek, sangat membantu untuk mengetahui
pemikiran Hayek. Ikhtisar yang telah dibuat oleh Eugene F. Muller dalam
buku yang telah ditulisnya sebagaimana terurai dalam point-point
berikut.195
Argumen ini dalam The Constution of Liberty adalah menyangkut
kebebasan dalam maknanya bagi individu, masyarakat, dan peradaban
secara umum. Tanpa kebebasan dalam bertindak, tidak mungkin akan
terjadi kemajuan baik bagi individu, masyarakat, dan peradaban.

193
Ibid., hlm. 153.
194
Ibid.
195
Ibid.

175
Kebebasan yang dimanfaatkan oleh satu orang dari sejuta individu
mungkin lebih penting bagi masyarakat dan lebih bermanfaat bagi
sebagian besar anggota masyarakat. Pada saat yang sama, Hayek pun
menekankan peranan kebebasan bagi masyarakat secara umum dan bagi
kemajuan peradaban.196
Menurut Hayek, peradaban modern sedang mengalami krisis karena
Barat telah kehilangan kepercayaan terhadap prinsip-prinsip kebebasan
atau kemerdekaan. Pada akhirnya, pemikiran menuntut tindakan. Hayek
berupaya membentuk ulang pikiran melalui filsafat politik,
mempertahankan nilai-nilai fundamental, mengartikulasikan cita-cita yang
menjadi panduan bersama dalam bentuk kedaulatan hukum, dan
memperjelas standar yang seharusnya menentukan kebijakan.197
Kebebasan menuntut agar paksaan terhadap sekelompok orang oleh
kelompok lain dalam masyarakat sedapat mungkin dikurangi. Salah satu
fungsi pemerintah adalah mencegah individu melakukan paksaan terhadap
individu lain. Akan tetapi, pemerintah juga harus dicegah melakukan
paksaan dengan cara yang tidak layak.198
Dalam sebuah masyarakat bebas, pemakaian kekuasaan memaksa
pemerintah dibatasi dan bisa diperkirakan melalui aturan umum yang
berlaku bagi semua orang, termasuk mereka yang membuat dan
menegakkan hukum. Masyarakat yang bebas memberdayakan semua
anggotanya untuk berkembang dan mengikuti rencana hidup mereka
sendiri. Semua upaya memanipulasi lingkungan di mana individu berada,
misalnya dengan tidak menyampaikan informasi, merupakan bentuk-
bentuk pemaksaan yang tersembunyi dan berbahaya. Kebebasan dan
tanggung jawab tidak dapat dipisahkan. Tanggung jawab berarti setiap
individu harus menanggung akibat dari tindakannya. ‘Individu’ menurut
kriteria Hayek, sepenuhnya terbenam dalam hubungan sosial. Dengan

196
Ibid.
197
Ibid., hlm. 154.
198
Ibid.

176
melupakan bahwa pengetahuan manusia sangat terbatas, rasionalisme
modern terus menerus tergoda untuk merencanakan dan membetuk masa
depan secara komprehensif.199
Rasionalisme modern berasal dari abad ke-17, tetapi kemudian
ditunjukkan dengan lebih kuat oleh sosialisme dalam beragam bentuknya.
Rasionalisme modern memicu pencarian bagi kesempurnaan yang bersifat
merusak, di mana aturan-aturan, tradisi-tradisi, dan nilai-nilai moral yang
diwariskan dicampakkan tanpa pikir panjang. Ketidaktahuan menjadi
suatu yang tidak terelakkan dan merupakan kenyataan bagi semua orang,
termasuk mereka yang menduduki kursi kekuasaan. Hayek sangat
mengecam birokrasi modern.200
Tatanan sosial berkembang baik melalui pertumbuhan spontan
maupun konstruksi disengaja dan terukur. Pertumbuhan spontan terjadi
manakala individu dan kelompok dengan pengetahuan terbatas
berinteraksi dengan individu dan kelompok lain, serta tanpa disengaja
membentuk pola-pola perilaku dan berbagai bentuk kelembagaan.201
Hayek memberikan pujian kepada filosof Skotlandia dan Inggris dari
abad ke-18 dan awal abad ke-19 karena mampu memahami pentingnya
pertumbuhan spontan; dan berdasarkan ide mereka, Hayek membangun
teori evolusi sosial yang mendukung filsafatnya tentang kebebasan.
Dengan mengacu pada orang-orang Skotlandia, Hayek dengan tegas
menolak teori-teori liberal terdahulu yang berasal dari John Locke dan
para pengikutnya, yang bermula dari hak-hak alamiah dan kontrak
sosial.202
Hayek menolak pemikiran tentang kesetaraan ‘alamiah’ atau ‘faktual’
di antara sesama manusia. Pada saat bersamaan, ia menegaskan bahwa
individu memiliki ‘martabat’ yang harus dihormati. Hayek menjanjikan

199
Ibid.
200
Ibid.
201
Ibid.
202
Ibid., hlm. 155.

177
‘pembenaran mutlak’ bagi kebebasan, yang betapa pun harus dihubungkan
dengan pemikiran tentang martabat individu, tetapi ia tidak pernah
memberi penjelasan yang memuaskan. Meskipun demikian, ia bersikeras
bahwa kedaulatan hukum memungkinkan ketimpangan sosial yang sisi
baiknya secara umum diabaikan oleh para pendukung ‘keadilan sosial’
yang sesat.203
Hayek memandang demokrasi sebagai bentuk pemerintahan terbaik
yang dapat dipraktikkan selama kaum mayoritas memiliki komitmen
terhadap kebebasan individu, kedaulatan hukum, dan pemerintahan
terbatas. Pada dasarnya, demokrasi bukan sebuah pandangan hidup,
melainkan seperangkat prosedur untuk menyusun dan menjalankan
pemerintahan. Tidak ada tujuan substantif atau kayakinan inti yang
melekat di dalamnya, yang hakiki bagi sebuah pemerintahan yang
demokratis.204
Hayek menerapkan pemahamannya tentang perkembangan
evolusioner masyarakat pada umumnya pada perkembangan lembaga-
lembaga hukum dan kedaulatan hukum. Ia menelusuri perkembangan ini
ke Inggris, Amerika, dan Jerman, tetapi secara umum mengabaikan
pemikiran Prancis tentang masalah-masalah hukum, yang lebih condong
ke pendekatan rasional terhadap hukum yang bertentangan dengan
masyarakat bebas.205
Kedaulatan hukum yang ‘ideal’ menyaratkan bahwa hukum yang ada
memiliki ciri-ciri yang sama. Hukum harus bersifat umum; hukum harus
diketahui dan pasti, serta diterapkan secara adil pada semua orang; hukum
harus menyediakan pengadilan yang mandiri; hukum harus membatasi
pihak eksekutif dengan aturan-aturan legislatif dan yudikatif; dan hukum
harus menjamin hak-hak dasar dan kebebasan sipil.206

203
Ibid.
204
Ibid.
205
Ibid.
206
Ibid.

178
Hayek tidak menghendaki pemerintahan yang pasif, melainkan
pemerintahan yang berupaya memberi keuntungan bagi masyarakatnya.
Meski ia juga memiliki ‘praduga kuat yang menentang pemerintah yang
secara aktif terlibat dalam upaya ekonomi’. Ia menyatakan bahwa ‘formula
lama laissez faire atau tanpa campur tangan tidak memberikan kriteria
yang memadai untuk memungkinkan membedakan apa yang dapat
diterima dan apa yang tidak dapat diterima dalam sebuah sistem yang
bebas’.207
Dalam penjelasan selanjutnya, Hayek menyatakan bahwa “yang
penting adalah sifat, bukan banyaknya kegiatan pemerintah”. Dalam hal-
hal yang berkaitan dengan ekonomi misalnya, pemerintah yang aktif yang
membantu kekuatan-kekuatan pasar yang spontan lebih baik daripada
pemerintahan yang tidak terlalu aktif yang melakukan berbagai kesalahan.
Dalam hal ini, ia mengikuti kelompok liberal klasik seperti Adam Smith.
Apabila terjadi ‘paksaan’, tindakan kebijakan pemerintah dibatasi oleh
kedaulatan hukum. Dalam kasus-kasus lain, Hayek menyarankan agar
kebijakan pemerintah dinilai berdasarkan azas manfaat (expediency) atau
apa yang dianggap paling baik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.208
Di bagian akhir dari The Constitution of Liberty, Hayek mengulas
berbagai hal yang menyangkut kebijakan kontemporer, seperti jaminan
sosial, pajak, kesehatan, perumahan, perencanaan kota, sumber daya alam,
dan pendidikan berdasarkan prinsip-prinsip kebebasan. Ada dua hal yang
menonjol, yaitu Hayek ingin agar pemerintah menyediakan berbagai
layanan sosial sesuai dengan prinsip-prinsip; dan ia dengan teguh
menentang kebijakan-kebijakan yang bertujuan mendistribusi ulang
kekayaan atau keadilan sosial.209

207
Ibid., hlm. 155-156.
208
Ibid., hlm. 156.
209
Ibid.

179
i. Dua Konsep Kebebasan Isaiah Berlin
Pada tahun 1958, dalam ceramah pengukuhannya sebagi profesor di
Universitas Oxford, Isaiah Berlin mengangkat tema Two Concept of
Liberty. Berlin mengontraskan dua pandangan tentang kebebasan, yaitu
‘kebebasan positif’ (bebas untuk) dan ‘kebebasan negatif’ (bebas dari).
Dua konsep kebebasan ini secara baik dan ringkas disampaikan oleh
Ahmad Sahal dalam pengantar buku tersebut edisi Indonesia yang berjudul
Empat Esai Kebebasan.210
Kebebasan positif (bebas untuk) adalah kebebasan dalam pengertian
Kantian, yakni kebebasan sebagai realisasi diri, kontrol, dan penguasaan
diri oleh rasionalitas. Dalam pandangan Berlin, kebebasan positif yang
mengaitkan realisasi dan penguasaan diri berdasarkan rasionalitas
mengandaikan bahwa semakin rasional seseorang, maka ia pun semakin
bebas. Asumsi dari kebebasan positif adalah adanya pembagian diri ke
dalam dua bagian, yaitu ada bagian diri rasional, yang merupakan aspek
diri yang sejati dan yang lebih tinggi derajatnya; dan ada bagian diri yang
tidak rasional, yaitu diri empiris yang dikendalikan oleh emosi, prasangka,
dan nafsu. Kebebasan positif berarti bahwa diri kita yang rasional
mengontrol diri kita yang tidak rasional. Menurut Berlin, mengaitkan
kebebasan dengan rasionalitas dalam dunia politik bisa menjadi sangat
problematis karena dengan demikian akan ada kelompok yang merasa
lebih tahu tentang apa yang baik bagi masyarakat dan merasa mewakili
diri yang rasional (entah itu negara, partai, maupun lembaga agama).
Kelompok ini beranggapan bahwa dirinya harus mengontrol dan
menguasai kelompok lain yang dianggap mewakili diri yang tidak
rasional.211
Kebebasan negatif (bebas dari) adalah tidak adanya ‘kekangan’ dan
‘paksaan’ pada diri seorang individu dari luar atas nama apa pun. Oleh
karena itu, Berlin lebih memahami kebebasan dalam pengertiannya yang

210
Ibid.
211
Ibid., hlm. 156-157.

180
negatif ini. Menurutnya, kebebasan dalam arti yang kedua ini seorang
individu dapat mengaktualisasikan secara penuh apa yang John Stuart Mill
disebut sebagai ‘percobaan-percobaan dalam hidup’, sehingga bisa
berkembang ke keragamannya yang paling kaya. Kebebasan negatif
memungkinkan situasi ‘bebas memilih’, suatu situasi yang justru sangat
esensial bagi seseorang. Karena pada kenyataannya, seseorang memang
akan selalu berada dalam pluralitas yang disertai dengan tragic sense of
life. Pluralitas Berlin adalah pluralitas dengan tragic sense of life karena
dalam pluralitasnya, keharusan memilih tetap menjadi niscaya. Akan
tetapi, pada saat yang sama patut disadari akan adanya sesuatu yang hilang
dan tak tergantikan, itulah situasi tragis manusia.212
Ahmad Sahal mengutip apa yang dikemukakan Berlin sebagai
berikut: “Bentrokan nilai bahkan mungkin terjadi dalam diri seorang
individu. Dan tidak berarti yang satu benar dan yang satu salah. …
Menurutku, gagasan tentang keseluruhan yang sempurna, bukan saja tidak
bisa dicapai, melainkan juga secara konseptual tidak koheren. Nilai-nilai
yang baik dan luhur tidak bisa hidup bersamaan dan tidak bisa digabung
bersama-sama. Kita terpaksa memilih, dan setiap pilihan akan membawa
risiko kehilangan yang tidak tergantikan”.213
Selanjutnya dinyatakan oleh Sahal, sikap Berlin yang selalu curiga
terhadap kebebasan Kantian (akal murni) yang rasional dan selalu
menekankan ‘kebebasan untuk memilih’, tetapi dengan kesadaran bahwa
‘setiap pilihan akan membawa risiko kehilangan yang tak tergantikan’
adalah pandangan liberal yang unik. Ia berbeda dengan liberalisme John
Stuart Mill yang utilitarian, yang melihat kebebasan sebagai sarana untuk
mencapai kebahagiaan bersama.214

212
Ibid., hlm. 157.
213
Ibid.
214
Ibid., hlm. 157-158.

181
C. Kesimpulan
Konsep individualisme liberalisme bertujuan untuk menjadikan individu
sebagai fokus atau subjek perhatian. Individu merupakan aspek pokok yang harus
diperhatikan keberadaannya. Meskipun individu-individu membentuk atau berada
pada satu komunitas, tetapi eksistensinya tidak dapat direduksi atau diabaikan demi
nilai individu-individu yang lainnya atau nilai komunitas secara keseluruhan. Oleh
karena itu, liberalisme sangat menekankan nilai kebebasan yang akan menghasilkan
otonomi pada individu. Individu yang otonom akan bertindak dan memilih cara
hidup yang baik sesuai dengan keyakinan dalam dirinya, tanpa intervensi dari luar.
Namun, konsep kebebasan ini di sisi lain dapat menimbulkan keegoisan dan
meniadakan solidaritas di antara individu dalam komunitas. Masing-masing hanya
memikirkan kebebasan yang dimilikinya, sehingga sering tidak peduli atau
memikirkan keadaan dari individu-individu yang lain dalam komunitas. Penekanan
pada konsep kebebasan bagi setiap individu menghendaki konsep kesamaan.
Kebebasan dimiliki secara sama oleh setiap individu. Setiap individu berhak untuk
perlakuan yang sama dalam kebebasannya.
Konsep kesamaan ini selanjutnya menghendaki netralitas pemerintah terhadap
warga-warganya. Pemerintah tidak boleh melakukan intervensi, baik dalam bentuk
dukungan atau pengabaian terhadap salah satu nilai yang dianut oleh warganya. Di
satu sisi, netralitas pemerintah dapat menjamin bahwa tidak satu pun nilai-nilai
yang dianut akan didiskriminasi dalam pelaksanaannya, semuanya diperlakukan
secara sama dan mendapat kesempatan yang sama untuk berkembang. Namun, di
sisi lain netralitas pemerintah justru akan menimbulkan ketimpangan terhadap
pertumbuhan dan perkembangan nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai yang maju dan
subur semakin diminati dan berkembang pesat. Sementara nilai-nilai yang tidak
maju dan terbelakang semakin tidak berkembang dan ditinggalkan karena tidak
menarik minat orang. Padahal, setiap individu memiliki kapasitas yang berbeda-
beda dalam bertindak dan melaksanakan cara hidup yang baik yang telah
dipilihnya.
Ketidaksamaan ini menghendaki peranan pemerintah untuk menyiasatinya
agar tercapai kesamaan kesempatan dalam pilihan dan pencapaian tujuan hidup,

182
sekaligus mewujudkan otonomi individu yang diinginkan. Oleh sebab itu, netralitas
pemerintah menjadi sesuatu yang sangat diperlukan. Konsep kebebasan dan
kesamaan yang dikemukakan liberalisme dan netralitas pemerintah dalam
menghadapinya akan menghasilkan pluralitas nilai yang dianut dalam masyarakat.
Setiap orang memiliki kebebasan dalam memilih dan mengejar tujuan hidupnya.

183
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Agung, Leo. 2013. Sejarah Intelektual. Yogyakarta: Ombak.
Rachman, Budi Munawar. 2018. Reorientasi Pembaharuan Islam. Jakarta: The
Asia Foundation.
Sudrajat, Ajat. 2021. Sejarah Pemikiran: Antara Dunia Islam dan Barat.
Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Yogyakarta.

Artikel Jurnal
Aida, Ridha. “Liberalisme dan Komunitarianisme: Konsep tentang Individu dan
Komunitas”. Demokrasi, Vol. IV, No. 2, 2005.
Azmi, Alia. “Individualisme dan Liberalisme dalam Sekularisme Media Amerika”.
Humanus, Vol. XII, No. 1, 2013.
Bakar, Muhammad Yunus Abu. “Pengaruh Paham Liberalisme dan Neoliberalisme
terhadap Pendidikan Islam di Indonesia”. Jurnal TSAQAFAH, Vol. 8, No. 1,
April 2012.
Salleh, Norsaleha Mohd, Phayilah Yama, Fadilah Zakaria, dan Noor Hafizah Mohd.
Haridi. “Historiografi Liberalisme dalam Kalangan Masyarakat Barat”. Al-
Irsyad: Journal of Islamic and Contemporary Issues, Vol. 3, No. 1, Juni 2018.
Tolchah, Moch. “Pendidikan dan Faham Liberalisme”, (At-Ta’dib, Vol. 3, No. 2,
2007).
Zarkasyi, Hamid Fahmy. “Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama
Missionaris, Orientalis, dan Kolonialis”. Jurnal Tsaqafah, Vol. 5, No. 1, 2009.

184
PEMIKIRAN DEMOKRASI BARAT

Oleh: Indah Monicha


NIM. 20418251005

A. Pendahuluan

Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos adalah rakyat, kratos
atau kratein adalah kekuasaan atau berkuasa (Atmaja, 2011:5). Menurut asal
katanya berarti rakyat berkuasa atau goverment by people. Demokrasi yang di
usung pada saat itu adalah demokrasi langsung yang mana hak rakyat untuk
membuat keputusan politik yang dijalankan secara langsung oleh seluruh warga
negara berdasarkan prosedur mayoritas (Ubaidillah, 2002: 195).
Demokrasi menyangkut aturan manusia, aturan majelis, aturan partai,
aturan umum, kediktatoran kaum ploretar, partisipasi politik, kompetisi para
elite dalam meraih suara, multipartai, pluralisme sosial dan politik, persamaan
hak, kebebasan berpolitik dan sipil, sebuah masyarakat yang bebas, ekonomi
pasar bebas, dan lain-lain. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dimana
kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat, dilaksanakan langsung oleh mereka
atau oleh wakil terpilih dalam sistem pemilu yang bebas. Definisi lain
demokrasi adalah partisipasi rakyat (Lewis, 2002: 3). Demokrasi bertalian
dengan hubungan antara penguasa dan rakyat, dalam pengertian sejauh mana
peran serta rakyat dalam menetapkan kekuasaan pemerintah di dalam suatu
Negara disatu sisi berhadapan dengan hak-hak dan kekuasaan pemerintah
terhadap rakyat pada sisi lain. Artinya hubungan antara yang memerintah dan
yang diperintah (Alim, 2001: 1).
Demokrasi selalu mengalami perubahan, baik bentuk formalnya maupun
substansinya sesuai dengan konteks dan dinamika sosio-historis dimana konsep
demokrasi lahir dan berkembang. Demokrasi juga berkembang secara evolutif,
secara perlahan tapi pasti. Konsep dan implementasi tidak harus sesuai dengan
demokrasi pada zaman Yunani kuno (Sudrajat, 2021:158).

185
Demokrasi semakin berkembang di Barat seiring lahirnya gerakan
renaisans pada abad XIV dan gerakan reformasi pada abad ke XVI-XVII.
Gerakan Renaisans melahirkan gagasan-gagasan demokrasi dengan
perjuanganya menentang kekuasaan gereja yang absolut yang
mengatasnamakan agama, desakralisasi gereja, memperjuangkan kebebasan
beragama, kebebasan berfikir dan mengemukakan pendapat dan mempelopori
terbentuknya negara bangsa. Gerakan reformasi melahirkan penemuan baru
tentang teknologi yang sangat bermanfaat bagi kaum intelektual untuk
menyebarkan gagasan intelektualnya dan konsep demokrasi.
Pada masa inilah gagasan-gagasan demokrasi menjadi perhatian dan
kajian para pemikir Barat seperti Jean Bodin, Rousseau, Locke, Montesquieu,
dan pemikir Barat lainya. Jean Bodin sangat terkenal dengan filsafatnya tentang
masalah kemasyarakatan dan kenegaraan. Hegemoni kaum gereja di Prancis
begitu besar dan peperangan antara kaum Huguenot berlarut-larut yang
menimbulkan banyak korban. Jean Bodin mengusulkan agar diciptakan suasana
toleransi beragama dan memberikan keleluasaan pada golongan protestan untuk
menjalankan ajaran agamanya sesuai dengan keyakinan yang dianut.
Kekuasaan dan kedaulatan negara dipercayakan pada Raja (Rozi dan
Heriwanto, 2019: 2). Konsep tersebut malahirkan kosep teori kedaulatan.
Gagasan teori kedaulatan ini membawa implikasi pada terbentunya sentralisasi
administrasi dan batasan teretorial negara relatif jelas. Komunitas politik
dipandang lebih otonomi, tidak lagi tunduk dibawah otoritas kaum gereja. Teori
kedaulatan Jean Bodin telah menjadi pijakan bagi pembentukan gagasan
demokrasi modern ( Azhari, 2005: 11). Jean Bodin ini berhasil menyelamatkan
Prancis dari kekacauan akibat sengketa antar agama yang berlarut-larut dan
dianggap sebagai cikal bakal terbentuknya konsep negara- kebangsaan (nation-
state).

186
B. Pembahasan
1. Pemahaman Terhadap Demokrasi

Konsep demokrasi bukanlah konsep yang mudah dipahami, demikian


dinyatakan Suhelmi dalam (Sudrajat 2021: 158), sebab ia memiliki banyak
konotasi makna variatif, evolutif, dan dinamis. Demokrasi bermakna
variatif, karena sangat bersifat interpretatif. Setiap penguasa negara berhak
mengklaim negaranya bersifat demokratis, meskipun nilai yang dianut atau
praktik-praktik kekuasaannya amat jauh dari prinsip-prinsip dasar
demokrasi. Karena sifatnya yang interpretatif tersebut, maka
berkembanglah berbagai tipologi demokrasi seperti demokrasi liberal,
demokrasi rakyat, demokrasi proletar, demokrasi komunis, demokrasi
terpimpin, demokrasi Pancasila, demokrasi parlementer, dan lain-lain.
Demokrasi juga merupakan konsep evolutif dan dinamis, bukan konsep
yang statis. Dengan kata lain, konsep demokrasi selalu mengalami
perubahan, baik bentuk-bentuk formalnya maupun substansialnya sesuai
dengan konteks dan dinamika sosio-historis dimana konsep demokrasi lahir
dan berkembang. Demokrasi berkembang secara evolutif, secara perlahan
tapi pasti. Oleh karena itu, apa yang dipahami sebagai gagasan- gagasan
demokrasi pada masa Yunani Kuno, misalnya, tidak harus selalu sesuai dan
relevan dengan gagasan-gagasan demokrasi yang berkembang dewasa ini
(Sudrajat, 2021: 158).
Pertumbuhan ide demokrasi tidak hanya berkaitan dengan gagasan-
gagasan bagaimana pemerintah atau negara dicita-citakan, melainkan lebih
mendasar mengenai pemikiran-pemikiran mengenai masyarakat serta
hubungan rakyat dengan negara (pemerintah). Dengan demikian tercakup
pemikiran tentang bagaimana rakyat seharusnya diperlakukan, apa hak-hak
yang paling mendasar dan mekanisme apa yang harus diciptakan untuk
memperoleh dan mempertahankan hak-hak tersebut.
Menurut Diane Ravicth Demokrasi diberi pengertian sebagai suatu
pemerintahan oleh rakyat dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan

187
rakyat dan dijalankan langsung oleh rakyat atau wakil-wakil yang mereka
pilih di bawah sistem pemilihan bebas. Demokrasi adalah suatu sistem di
mana warga negara bebas mengambil keputusan melalui kekuasaan
mayoritas (Sudrajat, 2021: 162). Dari pendefinisian yang demikian bisa
dilihat adanya implikasi antara lain terhadap: (a) cara pengangkatan kepala
negara atau semua jajaran pejabat lembaga pemerintahan, (b) cara
pengambilan keputusan tentang suatu perundang-undangan atau peraturan
pemerintah.
Sejumlah nilai yang terkandung dalam demokrasi (Miriam Budiardjo,
2012: 118) adalah:
1. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga.

2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara perlahan dalam


masyarakat yang sedang berubah.

3. Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur.

4. Membatasi pemakaian kekerasan sampai tingkat minimum.

5. Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman.

6. Menjamin tegaknya keadilan

Selanjutnya ditegaskannya pula bahwa untuk melaksanakan nilai- nilai


demokrasi di atas, perlu diselenggarakan beberapa lembaga (Miriam
Budiardjo, 2012: 120):
1. Pemerintahan yang bertanggung jawab.
2. Suatu dewan perwakilan rakyat yang mewakili golongan-golongan dan
kepentingan-kepentingan masyarakat dan yang dipilih dalam suatu
pemilu yang bebas dan rahasia.
3. Suatu organsasi politik yang mencakup satu atau lebih partai politik.
4. Pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapat.
5. Sistem peradilan massa yang bebas untuk menjamin hak-hakasasi dan
mempertahankan keadilan.

188
Dari berbagai padangan tentang demokrasi dapat ditarik kesimpulan
bahwa pada hakekatnya demokrasi adalah sebuah sarana untuk mencapai
suatu tujuan yang lebih mulia yaitu kebebasan, perkembangan
kemanusiaan, dan nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai tersebut tidak terpecah-
pecah melainkan bersatu padu.

2. Gagasan Demokrasi dari berbagai perspektif

a. Demokrasi Klasik

The Peloponnesian War karyanya Thucydides merupakan buku


yang mengungkapkan bagaimana perjalanan demokrasi pada masa
Yunani Kuno. Disini dijumpai konsepsi oligarki dan demokrasi yang
sangat populer dalam kajian pemerintahan. Oligarki memberi peluang
adanya partisipasi politik, tetapi hanya terbatas pada kalangan elit.
Sementara demokrasi memberikan kekuasaan pada rakyat untuk
memerintah dirinya sendiri (Adnan, 2016: 17).

Perkembangan pranata demokrasi di Athena melibatkan beberapa


tokoh berikut: Solon, Pesistradis, Kleisthenes dan Ephialtes serta
Perikles. Parikles merupakan salah satu tokoh penting dalam
perkembangan demokrasi Yunani Kuno. Perikles adalah negarawan
Athena yang berjasa mengembangkan konsep demokarasi. Demokrasi
yang dikembangkan oleh Perikles menganut beberapa prinsip pokok,
yaitu kesetaraan warga negara, kemerdekaan, penghormatan terhadap
hukum dan keadilan dan kebaikan bersama. Prinsip kebaikan bersama
yang dianutnya tersebut menuntut kepada setiap warga negara untuk
menempatkan kepentingan republik dan kepentingan bersama di atas
kepentingan diri dan keluarga. Pada zamannya ini, laki-laki dan
perempuan diberi kesempatan yang sama untuk berbicara dan
menyatakan pendapatnya (Hatta dalam Sudrajat, 2021: 158).

Demokrasi yang berkembang pada masa Yunani Kuno ini tidak


terikat dengan nilai-nilai spiritualisme. Demokrasi tersebut sepenuhnya

189
bersifat sekuler. Dalam konteks kekuasaan, pengertian sekuler berarti
bahwa kekuasaan yang dimiliki negara sepenuhnya ditentukan oleh
negosiasi atau perjanjian antara warga negara. Kedaulatan negara
demokrasi sepenuhnya tergantung pada kehendak rakyat. Suara rakyat
adalah suara Tuhan. Rakyatlah sebagai pemegang supermasi kekuasaan
tertinggi (Ahmad Suhelmi dalam Sudrajat, 2021: 159-159).
Demokrasi Yunani Kuno Telah menumbuhkembangkan kesadaran
untuk melihat rakyat sebagai kumpulan individu yang berhak
memerintah dirinya sendiri, bebas, pengenalan lembaga-lembaga politik
seperti lembaga perwakilan, lembaga peradilan dan rotasi
kepemimpinan dalam sebuah sistem pemerintahan. Semua ini
merupakan hal yang fundamental bagi perkembangan demokrasi.

b. Demokrasi Abad Pertengahan

Pembicaraan demokrasi Abad Pertengahan menggunakan


pendekatan klasik-normatif, yang lebih banyak membicarakan ide-ide
dan model-model demokrasi secara substansif. Pendekatan ini
mengikuti garis pemikiran klasik dari zaman Yunani Kuno.

Milestone (tonggak) perkembangan demokrasi masa ini adalah


lahirnya Magna Charta (piagam besar) pada 15 Juli tahun 1215. Magna
Charta berisikan 2 pesan yang berjangkauan luas yaitu : (1) Bahwa
kekuasaan adalah terbatas . (2) Bahwa hak asasi manusia lebih dari pada
kedaulatan raja (Adnan, 2016: 24). Selanjutnya perkembangan
demokrasi abad ini ditandai oleh adanya konsep emansipasi dalam
bidang sosial dan agama yang berlangsung awal abad 17. Hal ini disebut
sebagai iklim pencerahan (the enlightment) dalam masyarakat eropa.
Rene Descrates (1596-1650) adalah tokoh yang mengilhami lahirnya
gagasan nilai-nilai kebebasan manusia dengan ucapannya yang terkenal
“Cogito Ergo Sum” (saya berpikir maka saya ada). Hal ini

190
melambangkan adanya sebuah kebebasan yang mendasar yang dimiliki
oleh manusia dalam kehidupannya (Adnan, 2016: 24).

Konsep demokrasi baru mengalami perkembangan pesat dengan


munculnya gerakan Renaissance dan reformasi antara abad ke-14
sampai abad ke-17. Gerakan ini telah memberikan landasan yang kuat
bagi gagasan demokrasi. Yaitu dengan perjuangannya untuk menentang
kekuasaan sewenang-wenang atas nama agama desakralisasi kekuasaan
gereja, memperjuangkan kebebsan beragama, kebebasan berfikir,
kebebasan mengeluarkan pendapat dan mempelopori gagasan
pembentukan negara bangsa (Sudrajat, 2015:182). Pada zaman
renaissance ini telah memberikan pondasi yang kokoh terhadap
perkembangan konsep demokrasi pada abad ke-18 yakni abad
pencerahan. Pada masa inilah munculnya pemikiran berkenaan dengan
teori kontrak sosial dan pemisahan kekuasaan yang merupakan usaha
untuk mendobrak pemerintahan absolut dan menetapkan hak-hak politik
rakyat. Filosof-filosof yang berjasa besar dan telah melahirkan gagasan
tersebut antara lain J.J. Rosseau dan John Locke yang telah melahirkan
teori kontrak sosial, sedangkan Baron De Montesquieu telah
merumuskan gagasannya yang dikenal umum dengan teori Trias
Politica.

c. Demokrasi Modern

Pemikiran awal dalam sistem demokrasi modern ini merupakan


buah dari Pencerahan dan Revolusi Industri yang mendobrak dominasi
Gereja sebagai pemberi legitimasi sistem Monarki Absolut dan
mengantarkan pada dua revolusi besar yang membuka jalan bagi
terbentuknya sistem demokrasi modern, yaitu Revolusi Amerika (1776)
dan Revolusi Perancis (1789). Revolusi Amerika melahirkan sebuah
sistem demokrasi liberal dan federalisme (James Madison) sebagai
bentuk negara, sedangkan Revolusi Perancis mengakhiri Monarki

191
Absolut dan meletakkan dasar bagi perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia secara universal.
Dalam perkembangan demokrasi selanjutnya di masa modern,
momentum yang juga sangat menentukan adalah saat ditetapkannya
Declaration of Human Rights (Deklarasi Hak Asasi Manusia) sedunia
pada Desember 1948. Deklarasi ini merupakan ekspresi perlawanan
manusia yang paling mengesankan terhadap tirani, dan penindasan
individu. Lebih jauh deklarasi ini memberi ketegasan akan hak dan
kebebasan yang dimiliki semua orang tanpa mempertimbangkan ras,
warna, jenis kelamin, bahasa, agama, paham politik atau yang lainnya.
nilai-nilai itulah yang pada akhirnya menjadi kesadaran bersama untuk
dikembangkan dalam kehidupan masing-masing negara. Dengan
demikian demokrasi menjadi isu sentral dalam kehidupan bernegara dan
berbangsa umat manusia di masa modern.
3. Tokoh-Tokoh Pemikir Demokrasi Barat

Pemikiran demokrasi dari tokoh-tokoh tersebut dijabarkan sebagai


berikut:

1) John Locke (1632-1704)

Dalam karya John Locke Two Treatises of Government, Locke


menjelaskan bahwa di dalam state of nature, manusia pada dasarnya
bebas dan setara, karena nalar membuat manusia memiliki
kemampuan berpikir untuk mengikuti hukum alam. Bagi Locke,
kebebasan merupakan bentuk dasar dari manusia.

Locke membagi perkembangan masyarakat menjadi tiga yakni


1). Keadaan alamiah, 2). Keadaan Perang dan 3). Negara

Dalam pandangan Locke, negara dalam satu bentuk


pemerintahan harus membatasi kekuasaanya. Ada dua cara yang
dapat ditempuh sebuah negara untuk membatasi kekuasaanya yaitu
Cara pertama adalah dengan membentuk konstitusi atau Undang-

192
Undang Dasar yang ditentukan oleh parlemen berdasarkan prinsip
mayoritas. Cara kedua adalah adanya pembagian kekuasaan dalam
tiga unsur: legistlatif, eksekutif, dan federative

Dalam pandangan Locke, susunan aparat pemerintah bukan


merupakan pemindahan seluruh hak-hak subyek kepada domain
politik. Hak pembuatan-hukum dan penegakan hukum (hak
legislatif dan eksektuif) memang merupakan pengalihan dari hak
individu-individu, namun keseluruhan prosesnya mensyaratkan
pemerintah menjalankannya untuk tujuan esensial yang
dimandatkan, yakni: melindungi “life, liberty and estate”
(kehidupan, kebebasan dan hak milik). Sementara, kekuasaan yang
berdaulat, yakni kapasitas untuk menentukan penggunaan
kekuasaan politik, sepenuhnya berada di tangan rakyat. Inilah model
kontrak sosial yang diajukan oleh Locke, Gagasan dasar kontrak
sosial adalah: Pertama, kedaulatan negara bukanlah sesuatu yang
berasal dari Tuhan. Kedaulatan merupakan sebuah produk dari
proses perjanjian sosial antara individu dan masyarakat yang tidak
ada sangkut pautnya dengan pendelegasian kekuasaan atau berasal
dari Tuhan kepada seorang penguasa tertentu. Kedua, bahwa dunia
dikuasai oleh hukum yang didasarkan pada kodrat yang
mengandung prinsip-prinsip keadilan universal, yang berlaku untuk
semua waktu serta semua manusia. Ketiga, Karena kekuasaan
(kedaulatan) negara berasal dari rakyat, maka harus ada jaminan atas
hak-hak individu dalam masyarakat. Hak tersebut antara lain hak-
hak sipil dan hak-hak politik. Hak-hak sipil antara lain hak untuk
hidup, hak untuk memiliki harta benda, hak berbendapat, kebebasan
beragama, dan lain-lain. Sedangkan hak-hak politik antara lain hak
untuk berpartisipasi politik, hak untuk melakukukan kritik, dan lain-
lain. Keempat, Perlunya kontrol kekuasaan, agar penguasa negara
tidak melakukan penyalah gunaan kekuasaaan (Suhelmi dalam
Sudrajat 2021: 165).

193
Ini merupakan ide pemisahan kekuasaan dalam negara dalam
pemikiran Locke, pemisahan kekuasan ini sangat penting karena di
dalam demokrasi aktivitas politik sangatlah bersifat instrumental,
karena menjaga kerangka kerja atau kondisi bagi kebebasan,
sehingga tujuan-tujuan dari setiap individu bisa bertemu dalam
wilayah masyarakat sipil. Menurut Locke, penciptaan komunitas
politik atau pemerintahan merupakan hal penting yang harus
dilakukan individu-individu untuk mengamankan tujuan-tujuan atau
keinginan-keinginan mereka.

2) Baron De Montesquieu (1689-1755)

Montesquieu dalam karyanya De I’Esprit des Lois menyatakan


bahwa bentuk pemerintahan terbaik adalah sebuah sistem kebebasan
dimana warga negara memiliki hak untuk melakukan apa saja
sepanjang tidak melanggar hukum. Hanya saja ia juga mengingatkan
bahwa kebebasan dapat mengancam demokrasi. Oleh karena itu
menurutnya adanya pembagian kekuasaan (separation of powers).
Disamping itu diperlukan pula adanya kontrol yang ditunjukkan
untuk mengekang kecendrungan penyalahgunaan kekuasaan. Teori
Trias Politica yang dikembangkan oleh Baron De Montesquieu, juga
merupakan sumbangan besar bagi gagasan demokrasi. Bentuk
pemisah kekuasaan yang ditawarkannya gagasan Trias Politica
adalah Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif (Adnan, 2016: 26) .
Yudikatif disini bertugas untuk mengawasi kekuasaan. Gagasan
inilah yang menginspirasi lahirnya konstitusi Amerika sebagai
bentuk pengembangan konstitusi modern pasca Revolusi Perancis.

3) Jean-Jacques Rousseu (1712-1778)

Rousseau memandang manusia alamiah sebagai orang hidup


polos, mencintai diri secara spontan. Ia bebas dari segala wewenang
lain dan secara hakiki sama kedudukannya. Kepolosan alamiah ini

194
menjadi hilang setelah terjadi proses pemasyarakatan manusia.
Manusia adalah makhluk sosial yang untuk menjamin kebutuhan
hidup bermasyarakat. Adanya dilema tersebut melahirkan pemikiran
bagi Rousseau untuk menunjukkan beragama negara seharusnya
supaya manusia di dalamnya tetap bebas dan alamiah.

Rousseau percaya bahwa negara sebagai kehendak umum


(volonte generale), yaitu kehendak bersama semua individu yang
mengarah pada kepentingan bersama, kepentingan umum. Itu berarti
kehendak negara oleh kehendak rakyat. Ketaatan kepada negara
berarti juga menaati diri mereka sendiri. Oleh sebab itu Rousseau
menganut paham negara Republik.

Bagi Rousseau manusia memasukkan diri seluruhnya ke dalam


negara. Negara itu total karena identik total dengan rakyat. Negara
adalah kehendak rakyat sendiri, ia menolak adanya lembaga
perwakilan rakyat, berdasarkan pemikiran tersebut, Rousseau
merupakan pendukung demokrasi langsung. Undang-undang dibuat
dalam pertemuan seluruh rakyat. Permasalahan yang timbul, adalah
bagaimana cara pelaksanaan demokrasi langsung dalam negara yang
berpenduduk banyak. Hal ini ternyata kurang kesewenangan, yaitu
kehendak umum diidentikkan dengan kehendak dan mayoritas,
sehingga tampak golongan minoritas diabaikan dan dicap sebagai
orang yang belum sadar. Minoritas akhirnya dipaksa menyesuaikan
diri, dan kalau tidak mau, akan dihancurkan. Walaupun demikian
Rousseau telah berjasa dalam melahirkan negara republik, sebagai
urusan seluruh masyarakat. Kegagalan demokrasinya terutama pada
keinginannya untuk mencapai identitas total antara kehendak rakyat
dan negara. Konsekuensi keinginannya itu membuka kemungkinan
bagi kekuasaan total atas rakyat.

195
4) Jean Bodin (1530-1596)

Jean Bodin sangat terkenal dengan filsafatnya tentang masalah


kemasyarakatan dan kenegaraan. Hegemoni kaum gereja di
Prancis begitu besar dan peperangan antara kaum Huguenot
berlarut-larut yang menimbulkan banyak korban. Jean Bodin
mengusulkan agar diciptakan suasana toleransi beragama dan
memberikan keleluasaan pada golongan protestan untuk
menjalankan ajaran agamanya sesuai dengan keyakinan yang dianut.
Kekuasaan dan kedaulatan negara dipercayakan pada Raja. Konsep
tersebut malahirkan kosep teori kedaulatan. Gagasan teori
kedaulatan ini membawa implikasi pada terbentunya sentralisasi
administrasi dan batasan teretorial negara relatif jelas. Komunitas
politik dipandang lebih otonomi, tidak lagi tunduk dibawah otoritas
kaum gereja.

Teori kedaulatan Jean Bodin telah menjadi pijakan bagi


pembentukan gagasan demokrasi modern. Jean Bodin ini berhasil
menyelamatkan Prancis dari kekacauan akibat sengketa antar agama
yang berlarut-larut dan dianggap sebagai cikal bakal terbentuknya
konsep negara- kebangsaan (nation-state). Pada akhir abad ke 19
gagasan mengenai demokrasi mendapat wujud yang kongkret
sebagai program dan sistem politik. Demokrasi pada tahap ini
semata-mata bersifat politis dan mendasarkan dirinya atas asas-asas
kemerdekaan individu, kesamaan hak (equal right), serta hak pilih
untuk semua warga negara (universal suffrage).

C. Kesimpulan
Konsep demokrasi bukanlah konsep yang mudah dipahami, sebab ia
memiliki banyak konotasi makna variatif, evolutif, dan dinamis. Demokrasi
bermakna variatif, karena sangat bersifat interpretatif. Setiap penguasa negara
berhak mengklaim negaranya bersifat demokratis, meskipun nilai yang dianut
atau praktik-praktik kekuasaannya amat jauh dari prinsip-prinsip dasar

196
demokrasi. Karena sifatnya yang interpretatif tersebut, maka berkembanglah
berbagai tipologi demokrasi seperti demokrasi liberal, demokrasi rakyat,
demokrasi proletar, demokrasi komunis, demokrasi terpimpin, demokrasi
Pancasila, demokrasi parlementer, dan lain-lain.

Demokrasi merupakan konsep yang tidak mudah dipahami hal ini


dikarenakan konsep demokrasi bersifat evolutif dan dinamis. Konsep
demokrasi ini sudah ada sejak zaman Yunani Kuno. Konsep tersebut
pertamakali dikemukakan oleh negarawan Athena yang bernama Perikles.
Demokrasi yang dikembangkan oleh Perikles menganut beberapa prinsip
pokok, yaitu kesetaraan warga negara, kemerdekaaan, penghormatan terhadap
hukum dan keadilan dan kebaikan bersama.

Demokrasi merupakan Ideologi yang menonjolkan pemerintahan negara


berada di tangan rakyat. Didalam demokrasi, kedaulatan rakyat berada di
kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan. Pemerintah harus membuat kebijakan
bersama dengan rakyat, sehingga pemerintahan lebih transparan. Hukum
didalam demokrasi juga berasal dari kebijakan publik yang disesuaikan dengan
peraturan yang ada dalam undang-undang.

Dalam perkembangan demokrasi selanjutnya di masa modern, momentum


yang juga sangat menentukan adalah saat ditetapkannya Declaration of Human
Rights (Deklarasi Hak Asasi Manusia). Deklarasi ini merupakan ekspresi
perlawanan manusia yang paling mengesankan terhadap tirani, dan penindasan
individu. Lebih jauh deklarasi ini memberi ketegasan akan hak dan kebebasan
yang dimiliki semua orang tanpa mempertimbangkan ras, warna, jenis kelamin,
bahasa, agama, paham politik atau yang lainnya. nilai-nilai itulah yang pada
akhirnya menjadi kesadaran bersama untuk dikembangkan dalam kehidupan
masing-masing negara. Dengan demikian demokrasi menjadi isu sentral dalam
kehidupan bernegara dan berbangsa umat manusia di masa modern.

197
DAFTAR PUSTAKA

Adnan, Fachri. 2016. Demokrasi. Padang: UNPress

Ubaedillah, A. 2015 . Pendidikan Kewarganegaraan Pancasila demokrasi dan


korupsi. Jakarta: Media Group.

Atmadja, I Gede Dewa. 2015. Ilmu Negara: Sejarah, Konsep dan Kajian
Kenegaraan. Malang: Setara Press,.

Azhari, Aidul Fitricia. 2005 Menemukan Demokrasi. Surakarta: Muhammadiyah


University Press.

Budiardjo, Miriam. 2012. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.

Kuntowijoyo. 2018. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara wacana

Lewis, Bernand. 2002. Islan Liberalisme Demokrasi: Membangun Sinergi Warisan


Sejarah, Doktrin Dan Konteks Global. Jakarta: Paramadina.

Rahayu, Ani Sri. 2014. Pendidikan Pancasila & Kewarganegaraan (PPKn).


Jakarta: Bumi Aksara.

Ridho, M. Rosyid. 2012. Perkembangan Demokrasi Dewasa ini antara Pemikiran


Barat dan Timur

Rozi, Shofwan dan Heriwanto. 2019. Demokrasi Barat. Problem dan Implementasi
di Dunia. Jurnal Al-Aqiqah, Volume 11, edisi 2 Desember 2019

Sudrajat, Ajat. 2015. Sejarah Pemikiran Dunia Islam dan Barat. Malang: Intrans
Publishing.

Sudrajat, Ajat. 2021. Sejarah Pemikiran (Antara Dunia Islam dan Barat). Program
Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta.

Suhelmi, Ahmad. 2007. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka


Utama.

Suryani, Elvira. Tanpa Tahun. Demokrasi VS Liberalisasi, (Online), dalam Portal


Garuda(http://id.portalgaruda.org/index.php?ref=browse&mod=viewarticle&ar
ticle=91352), diakses 15 April 2021

Syam, Firdaus. 2010. Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan
Pengaruhnya Terhadap Dunia Ke-3. Jakarta: Bumi Aksara.

Zed, Mestika. (2004). Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Pustaka


Obor.

198
PEMIKIRAN KAPITALISME BARAT

Oleh: Sinta Wulandari


NIM. 20718251029

A. Pendahuluan

Manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia pasti


memerlukan adanya interaksi antar sesama untuk memenuhi kebutuhannya.
Salah satu bentu interaksi itu tergambar dalam kegiatan ekonomi. Manusia
yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi membutuhkan manusia yang
lebih rendah untuk menciptakan sebuah sinergi dalam aktifitas ekonomi,
begitu juga sebaliknya. Sebuah hubungan, akan lebih baik jika disertai
dengan peraturan-peraturan. Dalam hal ini, agama muncul sebagai pengatur
tatanan sosial dalam masyarakat. Dengan adanya agama, maka akan
tewujud keharmonisan yang memberikan imbalan keadilan dan kepuasan
bagi pemeluknya.

Atas dasar itu, Max Weber mencoba untuk membuat sebuah gagasan
menarik mengenai pengaruh agama, pada saat itu adalah Protestanisme,
yang mempengaruhi munculnya kapitalisme modern di Eropa. Weber
melihat adanya bentuk ritual-ritual atau konsep-konsep dalam Protestan
menjadi dasar atas munculnya Kapitalisme. Hal tersebut bertentangan
dengan pandangan Marx yang menganggap bahwa agama sangat
bergantung pada kondisi ekonomi (Pals, 2012:201). Pertanyaan yang
diajukan oleh Weber adalah mengapa beberapa negara di Eropa mengalami
kemajuan yang pesat di bawah sistem kapitalisme. Setelah itu, Weber
melakukan analisis dan mencapai kesimpulan bahwa salah satu
penyebabnya adalah Etika Protestan.

Kapitalisme merupakan system ekonomi politik yang di dasarkan pada


hak milik pribadi dimana dalam kapitalisme terdapat tujuan untuk
kepentingan pribadi tanpa menghargai kebutuhan masyarakat dan
menghormati kepentingan umum. Dan lebih mengarahkan kemampuan dan

199
potensi yang ada untuk meningkatkan kekayaannya. Namun dengan adanya
system capital ini menjadikan masyarakat lebih bersemangat untuk bekerja,
melatih untuk lebih kreatif dalam menjalankan usahanya.

B. Pembahasan
1. Etika Protestan oleh Max Weber

Max Weber pada tahun 1904 berpendapat orang, protestan mempunyai


“need for achlevement” (kebutuhan akan prestasi/motif berprestasi)
yang lebih tinggi dari orang-orang Katolik. Menurut Weber, pembaharu
protestan misalnya John Calvin dan Martin Luther banyak memberikan
kebebasan individu. Keadaan inilah yang akhirnya melahirkan kapitalisme
industri modem di Eropa.

Dari beberapa penelitian Weber ditemukan, bahwa orang-orang


Protestan bekerja lebih keras, lama dan lebih berhasil dalam usahanya
dibanding rekannya orang-orang Katolik. Keadaan ini dipengaruhi oleh
ajaran agama (ke-protestanan) terhadap etos kerja seseorang. Aliran
protestan pertama-tama mengatakan bahwa seorang manusia bertanggung
jawab melaksanakan sebaik-baiknya peranan apa saja yang diberikan Tuhan
dalam hidupnya. Kedua, kaum Protestan yakin bahwa mereka adalah umat
pilihan Allah yang akan masuk ke surga. Kondisi ini mengakibatkan mereka
sangat konsisten terhadap tugas duniawi, sehingga bekerja lebih keras dan
tidak menikmati hasil kerja secara pribadi.

Etika Protestan Weber secara realita juga banyak didukung oleh ke-
Protestanan itu sendiri. Seperti yang dikatakan Martin Luther, seseorang
tidak harus tergantung pada gereja atau pendeta tetapi harus membaca
sendiri Kitab Suci dan meminta petunjuk langsung dari Tuhan. Keadaan ini
oleh Winterbottom disimpulkan sebagi keahlian membaca sehingga
merupakan kebiasaan. Selanjutnya keadaan ini akan meningkatkan motif
berprestasi, khususnya pada anak-anak Protestan.

200
Berbeda dengan gagasan Calvin, la berpendapat, seluruh yang ada di
dunia ini telah diberikan Tuhan pada manusia agar dipelihara. Pada suatu
saat manusia harus mempertanggungjawabkannya pada Tuhan. Jadi kaum
Protestan lebih banyak mendasarkan kerjanya sebagai “untuk Tuhan” atau
“untuk kemuliaan Tuhan”.

2. Sejarah Kapitalisme

Kapitalisme atau capital adalah suatu paham yang meyakini bahwa


pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan
sebesar-besarnya dimana pemerintah tidak dapat melakukan intervensi
pasar.

System kapitalisme sepenuhnya memihak dan menguntungkan pihak-


pihak pribadi kaum bisnis swasta. Seluruh keputusan yang menyangkut
bidang produkasibaik itu alam dan tenaga kerja dikendalikan oleh pemilik
dan diarahkan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Secara
sosiologis paham kapitalisme berawal dari perjuangan terhadap kaum
feodal salah satu tokoh yang terkenal Max Weber dalam karyanya “The
Protestan Etic of Spirrit Capitalism” mengungkapkan bahwa kemunculan
kapitalisme erat sekali dengan semangat religious terutama kaum
protestan. Pendapat Weber ini didukung Marthin Luther King yang
mengatakan bahwa lewat perbuaatan dan karya yang lebih bain manusia
dapat menyelamatkan diri dari kutukan abadi. Tokoh yang mendukung
adalah Benjamin Franklin dengan motonya yang sangat terkenal: “Time is
Money’, bahwa manusia hidup untuk bekerja keras dan memupuk
kekayaan.Kapitalisme memiliki sejarah yang panjang, yaitu sejak
ditemukannya system perniagaan yang dilakukan oleh pihak swasta. Akan
tetapi bukan hanya kritik saja yang mengancam kapitalisme melainkan
juga idiologi lain yang ingin melenyapkannya seperti,komunisme.
Kapitalisme mulai mendominasi kehidupan perekonomian ekonomi dunia
Barat sejak runtuhnya feodalisme. Kaum kapitalisme memandang

201
kebebasan adalah suatu kebutuhan bagi individu untuk menciptakan
keserasian antara dirrinya dan masyarakat. Sebab kebebasan itu adalah
suatu kekuatan pendorong bagi produksi karena ia benar-benar menjadi
hak manusia yang menggambarkan kehormatan kemanusiaan.

a. Fase fase Kapitalisme


i. Kapitalisme awal
Pada akhir abad pertengahan (abad 16 – 18), industry di Inggris
sedang terkonsentrasi pada industry sandang. Industry sandang di
Inggris menjadi industry sandang terbesar di Eropa. Meskipun
banyak masalah yang dihadapi akan tetapi industry sandang di Ingris
menjadi industry yang sangat pesat. Industry sandang inilah yang
menjadi pelopor lahirnya kapitalisme di Eropa sebagai suatu system
sosial dan ekonomi.
ii. Kapitalisme klasik
Pada fase ini ditandai dengan adanya revolusi industry di Inggris. Di
inggris mulai banyak diciptakan mesin-mesin besar yang sangat
berguna untuk menunjang industry. Revolusi industry dapat
didefinisikan sebagai periode peralihan dari dominasi modal
perdagang atas modal industry ke dominasi modal industry atas
modal perdagangan (Dudley Diller 1987:22).
iii. Kapitalisme lanjut
Peristiwa besar yang menandai fase ini adalah terjadinya Perang
Dunia. Kapitalisme lanjut sebagai peristiwa penting ini ditandai
paling tidak oleh tiga momentum, yaitu :
- Pergeseran dominasi modal dari Eropa ke Amerika.
- Bangkitnya kesadaran bangsa-bangsa di Asia dan Afrika
sebagai akses dari kapitalisme klasik, yang kemudian
memanifestasikan kesadaran itu dengan perlawanan.
- Ravolusi Bolshevik Rusia yang berhasrat meluluh lantahkan
institusi fundamentak kapitalisme yang berupa kepemilikan
secara individu atas penguasaan sarana produksi, struktur

202
kelas sosial, bentuk pemerintahan dan kemampuan agama.
Dari sama muncul ideology tandingan yaitu komunisme.

3. Hubungan Etika Protestan dan semangat Kapitalisme

Weber memperlihatkan suatu sikap tentang perilaku manusia untuk


memenuhi kebutuhan materialnya dengan konsep 'semangat kapitalisme',
kata lain untuk menunjukkan manusia sebagai 'homo economicus'.
Menurut pendapatnya konsep ini dari dulu sampai sekarang, di mana ia
datang untuk menguasai kehidupan ekonomi, telah mengajarkan dan
mengarahkan subjek-subjek ekonomi yang diperlukannya melalui proses
penyesuaian yang sangat sesuai. Para pekerja dan pengusaha yang tidak
dapat menyesuaikan perilakunya dengan cara baru ini -perilaku kapitalis -
secara spontan akan tersisihkan dan tetap dalam keadaan terbelakang dan
ketinggalan (Ajat Sudrajat, 1997: 28).

Semangat kapitalisme yang terdapat dalam agama Protestan -


khususnya dalam sekte-sekte Puritan -menurut Weber bermula dari
praktik-praktik kehidupan yang telah dilakukan oleh Benyamin
Franklin(1706 -1790). Karena itu pada masa sebelum Franklin, agama
Protestan tidak memiliki cukup kekuatan yang dapat mendorong
terselenggaranya kegairahan kerja sesuai dengan cita-cita kapitalsme.
Agama Protestan benar-benar menjadi kapitalistis setelah dilengkapi oleh
'ajaran-ajarannya. Benjamin Franklin, meskipun ia dibesarkan dalam suatu
lingkungan yang memiliki kepercayaan Puritan Calvinis, tetapi dalam
dirinya tidak terlihat kesan yang mencerminkan bahwa ia sebagai pengikut
Calvinis. Sebaliknya ia justru lepas dari kepercayaan itu, dalam pengertian
ia tidak mengikatkan diri dengan komunitas itu.

Konsepsi yang mendorong pertumbuhan ekonomi menurut Weber


adalah adanya hubungan timbal balik yang penting antara faktor-faktor
pemikiran keagamaan dengan pembaruan yang terjadi pada lembaga-
lembaga ekonomi. Salah satunya adalah kosepsi tentang

203
‘panggilan’(calling). Semua kekuasaan di atas dunia ini dipandang sebagai
pemberian Tuhan dan diyakini bahwa kekuasaan tersebut diserahkan
kepada para pemegangnya sebagai tugas suci. Dengan demikian makna
pengejaran keuntungan di bidang material berkait erat dengan adanya
‘panggilan, terhadap tugas duniawi.

Menurut Weber, yang menjadi inti bagi perusahaan kapitalis modern


adalah adanya penghitungan yang rasional antara keuntungan dan
kerugian yang diungkapkan dalam bentuk uang. Kapitalisme modern tidak
bisa dibayangkan tanpa perkembangan akuntansi kapital. Menurutnya, tata
buku yang rasional merupakan pengungkapan yang paling integral dari
yang menyebabkan jenis modern dari industri kapitalis tidak sama dengan
jenis-jenis sebelumnya. Dalam pengertian yang lebih luas, rasionalisasi
birokrasi merupakan prasyarat yang diperlukan dalam produksi kapitalis
(Anthony Gidens, 1986: 220)

Berikut ini adalah etika-etika protestan yang mendukung lahirnya sistem


kapitalisme:

- Bekerja merupakan panggilan dari Tuhan, bukan hannya dalam


rangka memenuhi kebutuhan hidup .
- Hidup hemat, rajin bekerja, disipilin sebagai bentuk pemujaan
terjadap Tuhan.
- Hidup santai dan bersenang-senang adalah dosa.
- Calvinis meyakini bahwa mereka tidak akan diberi ganjaran oleh
tuhan kecuali mereka sukses dalam kehidupan. Hal ini menuntut
manusia harus bekerja dan bekerja.
- Bekerja tekun bukan alat untuk keselamatan tetapi merupakan
tanda lahiriah bahwa ia telah dirahmati oleh Tuhan.

204
4. Tokoh tokoh Kapitalisme
a. Adam Smith

Adam Smith lahir di kota Kirkcadly, di pantai timur Skotlandia,


dekat kota Edinburg pada bulan Juni 1723. Menurut Adam Smith pada
hakikatnya manusia memiliki sifat serakah, rakus,egoistis dan selalu
ingin mementingkan diri sendiri. Sifat yang demikian, juga
digambarkan oleh para filosofYunani Kuno,
terutama oleh Plato. Smith berpendapat
bahwa sikap egoistis dan mementingkan diri
sendiri pada manusia tidak akan
mendatangkan kerugian dan masyarakat
sepanjang ada persaingan bebas. Lebih lanjut
dikatakan bahwa setiap orang yang
menginginkan laba atau keuntungan dalam
jangka panjang, artinya serakah, tidak akan pernah menaikkan harga di
atas harga pasar. Misalnya, jika seorang penjual gudeg atau bakpia
mencoba menetapkan harga lebih tinggi dari harga yang ditetapkan
olehpesaing-pesaingnya, demikian kata Smith, maka bisnis gudegnya
pasti akan hancur. Mengapa?, hal itu disebabkan orang tidak mau
membeli lagi gudeg dan bakpianya dan berpindah pada pesaingnya
(Dede Mulyanto, 2012: 31).

Pemikiran Smith lainnya adalah berkenaan dengan konsep ‘paradok


nilai’. Smith memperhatikan dan sekaligus bertanya, mengapa
‘berlian’itu harus dihargai ‘demikian mahal’, sementara ‘air’dihargai
‘begitu murah’, padahal yang disebut pertama (berlian) hampir-hampir
tidak bergunasedangkan yang disebut kemudian (air) begitu
pentingbagi kehidupan manusia. Jawaban atas pertanyaan itu adalah,
yang pertama sangat jarang dan yang kedua tersedia secara berlimpah.
Menurut Smith, bahwa suplai dan permintaan hanya akan

205
diperhitungkan karena faktor ‘harga’dan bukan karena faktor ‘nilai’,
yaitu, untuk mengapa ada suatu permintaan di tempat pertama.

b. John Stuart Mill

Latar belakang keluarga Mill berperan penting dalam karirnya. Dia


lahir di London, dan besar di bawah asuhan ayah yang cerdas, John Mill
(1773-1836). Mill senior adalah kawan dekat David Ricardo dan
Jeremy Bentham,seorang utilitarian radikal. John Stuart Mill, seperti
dinyatakan Skousen, adalah anak yang terlalu cepat dewasa. Dia dididik
oleh ayahnya yang suka mengatur-atur, yang ingin melakukan
semacam eksperimen kepadaanaknya ini. John Mill adalah seorang
pendidik besar abad ke-19. Pendidikan John Stuart Mill semuanya
diperoleh di rumah dan
gurunya adalah ayahnya
sendiri. Dia dia tidak diajari
agama, tetapi dengan cepat
dapat mempelajari kalkulus,
geometri, filsafat, dan ajaran
ulilitarianisme Bentham,
sehingga menjadi seorang ‘radikal filosofis’ (Skousen, 2012:144)

Pemikiran Adam Smith, seperti telah diuraikan di atas,


mendapatkan tantangan dari Robert Malthus dan David Ricardo, dua
orang intelektual yang juga memiliki pengaruh yang besar. Keduanya
mengemukakan doktrin yang muram tentang ‘hukum besi upah
subsisten (standar minimum)’ dan ‘penderitaan kelas buruh yang tiada
akhir’. Ramalan yang pesimis dari kedua tokoh tersebut segera diikuti
oleh munculnya John Stuart Mill, yang pandangannya berada di posisi
antara kebebasan (liberty) dan sosialisme (Mark Skousen, 2012: 2),
karena pada akhir hayatnya ia menyebut dirinya ‘sosialis’ (Dede
Mulyanto, 2012: 58).

206
Pemikiran Mill yang terungkap dalam bukunya yang berjudul
Principles of Political Economy, memperlihatkan pandangan-
pandangannya yang lebih manusiawi. Dalam pandangannya,
individualism tidak lagi tampil kasar dan kaku. Dia membela kebebasan
berusaha tetapi dia juga mengaku sosialis. Mill telah berselingkuh
dengan sosialisme sepanjang karirnya, dan mencemaskan soal
kelebihan penduduk, dan mendukung teori distribusi Ricardo.
Kesukaannya kepada faham utilitarianisme Bentham menyebabkan
dirinya mendesak pemerintahuntuk tetap campur tangan dalam masalah
perekonomian (Skousen, 2012: 142).

c. John Mynard Keynes

John Mynard Keynes


adalah seorang elit intelektual
sejak masa kanak-kanaknya.
Saat masih kecil konon dia
pernah ditanya, bagaimana dia
mengucapkan namanya. Dia
menjawab, “Keynes, seperti
dalam bisnis”. Keynes lahir pada tahun 1883 di tengah lingkungan yang
terkenal. Dia merupakan anak dari John Neville Keynes, seorang
profesor ekonomi di Cambridge University dan kawan dari Alfred
Marshall. Keynes bersekolah di Eton, sebuah sekolah eksklusif, dan
kemudian masuk ke Cambridge University. Di Universitas tersebut ia
mendapat gelar matematika pada tahun 1905. Bukunya yang kemudian
menjadi bestseller berjudul The Economic Consequenses of the Peace,
yang ditulisnya pada tahun 1920; disusul kemudian dengan bukunya
yang berjudul The General Theory of Employment, Interest and
Money(1936).

Keynes dikenal dengan teorinya tentang ‘pembelanjaan defisit’.


Keynes selalu menganjurkan ketersediaan lapangan kerja yang bersifat

207
masif, bahkan yang tidak produktif sekalipun. Akan tetapi, faktanya
menunjukkan bahwa istilah ‘pembelanjaan defisit’ atau ‘pembiayaan
defisit’, tidak ditemukan dalam karya-karyanya, demikian dinyatakan
Macrone (2012: 355). Justru yang kemudian dapat ditemukan, terutama
dalam buku The General Theory of Employment, Interest and Money
adalah pandangannya yang ambisius, yaitu usaha yang sangat tidak
biasa untuk menganalisis jalinan kerja berskala besar atau faktor-faktor
-faktor agregat ekonomi. Pendekatan ini sekarang dikenal dengan
sebutan ‘makro ekonomi’ atau ‘ekonomi baru’. Di satu masa ketika
kebanyakan ekonom sibuk mempelajari pohon-pohon, Keynes telah
memper-timbangkan hutan, demikian perumpamaan Macrone (2012:
355).

Pendapat klasik bahwa jumlah tabungan akan selalu sama dengan


jumlah investasi dibantah oleh Keynes. Menurutnya, karena alasan dan
motif orang untuk menabung tidak sama dengan motif pengusaha
dalam berinvestasi. Pengusaha melakukan investasi didorong oleh
keinginan untuk mendapatkan laba, sementara rumah tangga didorong
oleh motif yang berbeda, seperti motif untuk berjaga-jaga untuk
menghadapi persiapan ‘hajatan’, anak masuk sekolah, dan keadaan
darurat lainnya. Karena umumnya investasi lebih kecil dari tabungan,
maka menurutnya permintaan agregat juga lebih kecil dari penawaran
agregat. Apabila keadaan ini dibiarkan dan tidak diantisipasi, akan
menyebabkan ketidak seimbangan dalam perekonomian, yang berujung
pada daya beli yang rendah dan tingkat pengangguran (Dede Mulyanto,
2012: 168-169). Oleh karena itu, seperti sudah dinyatakan di atas,
dalam situasi seperti ini perlu adanya intervensi pemerintah dengan
kebijakan-kebijakan ekonominya.

208
5. Perbedaan Kapitalisme, Sosialisme dan Liberalisme

• Kapitalisme: Sistem ekonomi yang memberikan kebebasan penuh


terhadap individu atau sektor swasta untuk bisa berperan aktif dalam
kegiatan ekonomi demi mendapatkan keuntungan.
• Sosialisme: Serangkaian sistem ekonomi dan sosial yang ditandai dengan
kepemilikan sosial atas alat-alat produksi dan manajemen mandiri pekerja.
• Liberalisme: Sebuah ideologi, pandangan, atau tradisi politik berdasarkan
pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik yang
utama. Liberalisme punya cita-cita agar masyarakat bisa bebas, terutama
bebas berpikir bagi masing-masing orang.

6. Sisi Negatif dari Kapitalisme


• Egoistic
Dalam system kapitalisme individu dan sekelompok kecil pribadi
mendominasi pasar untuk mencapai kepentingan sendiri tanpa
menghargai kebutuhan masyarakat dan menghormati kepentingan
umum
• Monopolistic
Dalam system kapitalisme seorang kapitalis memonopoli
komonditas dan menimbunnya. Apabila barang tersebut habis di
pasar ia mengeluarkannya untuk di jual dengan harga mahal yang
berlipat ganda mencekik konsumen dan orang orang lemah. Terlalu
berpihak pada hak milik pribadi. Kapitalisme terlalu mengagungkan
hak milik pribadi. Sedangkan komunisme malah menghilangkan hak
milik pribadi.
• Persaingan
System dasar kapitalisme membuat kehidupan menjadi arena
perlombaan harga. Semua orang berlomba mencari kemenangan.
Sehingga kehidupan dan system kapitalisme berubah menjadi riba

209
dimana yang kuat menerkam yang lemah. Hal ini sering
menimbulkan kebangkrutan pabrik atau perudahaan tertentu.
• Perampasan tenaga produktif. Kapitalisme membuat para tenaga
kerja sebagai barang komoditas yang harus tumbuh kepada hokum,
permintaan dan kebutuhan yang menjadikan dia sebai barang yang
dapat ditawarkan setiap saat. Pekerja ini bisa jadi sewaktu-waktu
diganti dengan orang lain yang upahnya lebih rendah dan mampu
bekerja lebih banyak dan pengabdiannya lebih baik.
• Pengangguran
Suatu fenomena umum dalam masyarakat kapitalis ialah munculnya
pengangguran yang mendorong milik perusahaan untuk menambah
tenanga yang akan memberatkannya. Kehidupanyang penuh gejolak
Ini adalah akibat logis dari persaingan yang berlangsung antara dua
kelas. Yang satu mementingkan pengumpulan uang dengan segala
cara. Sedangkan yang satu lagi tidak diberi kesempatan mencari
sendiri kebutuhannya tanpa kenal belas kasihan.
• Penjajahan
Karena didorong mencari bahan baku dan mencari pasar baru untuk
memasarkan hasil produksinya kapitalisme memasuki petualangan
pejajahan terhadap semua bangsa. Pada mulanya dalam bentuk
penjajahan ekonomi pola piker politik dan kebudayaan. Kemudian
memperbudak semua bangsa dan mengeksploitasi tenaga-tenaga
produktif demi kepentingan penjajahan.
• Peperangan dan mala petaka. Umat manusia telah menyaksikan
berbagai bentuk pembunuhan dan pembantaian luar biasa
biadabnya. Itu terjadi sebagai akibat logis dari sebuah penjajahan
yang menimpa umat manusia dibumi yang melahirkan bencana
paling keji dan kejam.
• Didominasi hawa nafsu. Orang kapitalisme berpegang pada prinsip
demokrasi politik dan pemerintahan. Pada umumnya demokrasi

210
yang mereka gebar-gemborkan diikuti dengan hawa nafsu yang
mendominasi dan jauh dari kebenaran dan keadilan
• Riba. System kapitalisme tegak diatas landasan riba. Sedangkan riba
merupakan akar penyakit yang membuat seluruh dunia menderita.
Tidak bermoral. Kapitalisme memandang manusia sebagai benda
materi. Karna itu manusia dijauhkan dari kecenderungan ruhani dan
akhlaknya. Bahkan dalam system kapitalisme antara ekonomi dan
moral dipisahkan jauh-jauh.
C. Kesimpulan
Etika Protestan merupakan sebuah konsep dan teori
dalam teologi, sosiologi, ekonomi, dan sejarah yang di teliti Max Weber
dalam karyanya yang berjudul The Protestant Ethic and The Spirit of
Capitalism dengan membahas masalah-masalah manusia yang dibentuk
oleh nilai-nilai budaya disekitarnya, khususnya nilai agama. Kepercayaan-
kepercayaan dalam agama Protestan telah merangsang kegiatan ekonomi.
Weber menjelaskan bagaimana Calvinisme berbeda dengan kebanyakan
agama. Ajarannya mendorong untuk memusatkan diri pada pekerjaan
duniawi, dan pada saat yang sama juga mewujudkan kehidupan sederhana,
rajin beribadah, dan hidup hemat. Ajaran inilah yang menurut Weber
memicu timbulnya kapitalisme karena hasil produksi tidak dikosumsi secara
berlebihan melainkan harus di investasikan kembali secara efisien untuk
keuntungan lebih besar. Kapitalisme merupakan sebuah system yang
muncul dari sebuah pemikiran dunia Barat. Kapitalisme mulai mendominasi
kehidupan perekonomian dunia barat sejak runtuhnya feodalisme. Dalam
bidang ekonomi, di Eropa akhirnya dikenal system kapitalisme, yaitu
sebuah system yang mencakup hubungan-hubungan pemilik modal besar.
Di Indonesia, kapitalisme terasa pada persaingan antara pasar modern
dengan pasar tradisional. Seperti halnya yang kita jumpai banyaknya toko
swalayan seperti carefour, indomaret, alfamart yang menjamur di Indonesia
dan mengalahkan pasar tradisional, baik dalam pelayanan mutu maupun
penarikan konsumen : Makalah Kapitalisme.

211
DAFTAR PUSTAKA

Dudley, Dillard. 1987. Kapitalisme Dulu dan Sekarang. Terj. M. Dawam Rahardjo.
Jakarta: LP3ES.
Giddens, Anthony. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Terhadap
Karya Tulis Marx, Durkheim, dan Max Weber. Terj. Soeheba Kramadibrata.
Jakarta: UI Press, 1986.
Macrone, Michael. 80 Ide Hebat Yang Mengubah Dunia. Terj.M. Kahfi.
Yogyakarta: Baca, 2008.
Mulyanto, Dede. Geneologi Kapitalisme: Antropologi dan Ekonomi Politik Pranata
Eksploitasi Kapitalistik. Yogyakarta: Resist Book, 2012.
Pals, Daniel L. 2012. Seven Theories of Religion. Terj. Inyiak Ridwan Muzir.
Yogyakarta: IRCiSoD.
Skousen, Mark. Sejarah Pemikiran Ekonomi: Sang Maestro Teori-Teori Ekonomi
Modern. Terj. Tri Wibowo Budi Santoso. Jakarta: Prenada, 2012.
Sudrajat, Ajat. 1994. Etika Protestan dan Kapitalisme Barat, Relevansinya dengan
Islam Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara
Weber, Max. 2006. Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme. Terj. TW. Utomo,
Yusup Priya Sudiarja. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

212
PEMIKIRAN SOSIALISME BARAT

Oleh: Nurlaela
NIM. 20718251024

A. Pendahuluan
Di era globalisasi seperti sekarang ini, persoalan ideologi jarang sekali
dibicarakan karena secara umum perhatian dunia mengarah pada persoalan
pertumbuhan ekonomi dan kaitannya dengan stabilitas ekonomi global. Namun
demikian hal ini tidak berarti persoalan ideologi menjadi hilang begitu saja.
Disadari atau tidak, persoalan yang bersangkutan dengan ideologi masih ada dan
bahkan menjadi semakin krusial di masa globalisasi ini karena terjadinya
“percampuran” bermacam-macam ideologi. Globalisasi telah membuka kran
informasi sehingga segala hal yang berasal dari sumber asing bisa dengan mudah
masuk dan mempengaruhi kehidupan masyarakat, salah satunya ideologi tersebut.
Hal ini menimbulkan persoalan khususnya bagi masyarakat atau negara yang tidak
memiliki basis ideologis kuat karena bisa menjadi rentan untuk terkontaminasi
dengan berbagai ideologi yang berasal dari luar. Ada berbagai macam ideologi yang
berkembang dalam sejarah manusia diantaranya liberalisme, sosialisme,
komunisme, dan fasisme. Di antara ideologi-ideologi tersebut, ada ideologi yang
berkembang menjadi ideologi besar dan dianut oleh banyak negara, namun ada juga
ideologi yang tidak dianut oleh banyak negara sehingga tidak mampu bertahan
dalam perkembangan dunia saat ini.215
Sosialisme merupakan salah satu ideologi yang cukup berpengaruh terhadap
perkembangan politik internasional pada abad ke 19. Kemunculan sosialisme
sebagai ide baru dalam panggung ideologi dunia juga tidak dapat dipisahkan dengan
dialektikanya dengan ideologi lain yang lebih tua, bahkan secara historis dapat
dilihat bahwa sosialisme mendudukkan diri secara berhadap-hadapan dengan
kapitalisme. Perbedaan orientasi ideologis membuat kedua ideologi ini menempuh
perseteruan ideologis yang panjang. Filsuf-filsuf beraliran kiri berusaha menentang

215
Reno Wikandaru dan Budhi Cahyo. “Landasan Ontologis Sosialisme”. (Jurnal
Filsafat, Vol. 26 No. 1, Februari 2016) hlm 114.

213
dan meruntuhkan kapitalisme yang pada saat itu menjadi arus utama dalam
panggung ideologi dunia.216
Sosialisme muncul sebagai alternatif bagi berkembangnya liberalisme dan
kapitalisme yang bagi beberapa pihak dianggap tidak mampu mewujudkan kondisi
ideal bagi masyarakat. Ada sosialisme moderat yang menempuh cara-cara yang
lunak di dalam memperjuangkan idealismenya, namun ada juga sosialisme radikal
yang berusaha mewujudkan kondisi ideal masyarakat dengan cara revolusi.217
Sosialisme radikal memandang bahwa perubahan sosial hanya dapat dicapai
melalui revolusi, sementara sosialisme demokratis memandang bahwa perubahan
sosial dapat dilakukan melalui reformasi sosial, dimana parlemen merupakan alat
perjuangan kebijakan publik untuk memperjuangkan kesejahteraan sosial
masyarakat.218
Meskipun pada akhirnya sosialisme tidak banyak dianut oleh negara di dunia,
satu hal yang menarik bahwa ideologi ini sempat menjadi pusat perhatian dunia
politik internasional terutama pada abad ke-19. Ideologi ini juga mendapat
perhatian dari para pendiri negara (founding fathers) Indonesia yang kemudian
melahirkan Pancasila sebagai dasar filsafat dan ideologi negara Indonesia.

B. Pembahasan
Secara etimologi, istilah sosialisme atau dalam bahasa Inggris dengan istilah
socialism berasal dari bahasa Perancis, yaitu “sosial” yang berarti
“kemasyarakatan”. Sedangkan menurut istilah, sosialisme merupakan paham atau
ajaran kenegaraan yang berusaha agar harta benda, industri dan perusahaan menjadi
milik negara.219 Secara historis, istilah sosialisme pertama kali muncul di Perancis
sekitar tahun 1830. Umumnya sebutan itu dikenakan bagi aliran atau pandangan
yang masing-masing hendak mewujudkan masyarakat yang berdasarkan pada hak

216
Eko Handoyo, dkk. 2018. “Pertarungan Ideologi Pancasila di Tengah Kepungan
Ideologi-Ideologi Dominan”. (Semarang: UNNES Press) hlm 129.
217
Reno Wikandaru dan Budhi Cahyo, op.cit., hlm 114
218
Saiman. “Sosialisme: Antara Ideologi dan Realita Masyarakat Sosial”. (Jurnal
Ilmiah Bestari, No. 30 Th XIII, 2000) hlm 21.
219
M. Sholahuddin. “Kritik Terhadap Sistem Ekonomi Sosialis dan Kapitalis”. (Jurnal
Ekonomi Pembangunan, Vol. 2 No. 2, Desember 2001) hlm 193.

214
milik bersama terhadap alat-alat produksi, dengan maksud agar produksi tidak lagi
diselenggarakan oleh orang-orang atau lembaga perorangan atau swasta yang hanya
memperoleh laba, semata-mata untuk melayani kebutuhan masyarakat.220
Dalam Encyclopedia of Social History sosialisme didefinisikan sebagai sebuah
istilah yang mengacu pada sebuah pergerakan atau sebuah teori organisasi sosial
yang menginginkan kepemilikan atau pengontrolan secara bersama-sama terhadap
produksi dan distribusi. Sosialisme pertama kali muncul sebagai reaksi atas
berkembangnya industrialisme dan kapitalisme pada abad ke 19 sampai abad ke 20.
Kebanyakan dari teoritisi sosialisme menyarankan pentingnya kerja sama,
perencanaan, dan kepemilikan publik, untuk melawan kompetisi dan pencarian laba
individual sebagaimana digagas oleh kapitalisme.221
Kapitalisme telah mengubah secara radikal wajah sosial masyarakat Eropa dari
wajah lamanya yang bersifat feodalistik. Dalam masyarakat kapitalis, masyarakat
dibentuk dalam beberapa kelas berdasarkan penguasaannya atas alat produksi.
Kondisi ini melahirkan ketimpangan kesejahteraan antara masyarakat pemilik alat
produksi (borjuis) dengan masyarakat pekerja (proletar). Bagi sebagian filsuf,
realitas itu merupakan realitas yang buruk dan bertentangan dengan cita-cita sejati
manusia. Oleh karena itu, kapitalisme harus diruntuhkan agar masyarakat tidak adil
itu bisa dibentuk lagi menjadi masyarakat tanpa kelas. Sosialisme menawarkan
sebuah pendekatan sosiologis yang memungkinkan masyarakat tanpa kelas tercipta.
Hal ini didasarkan pada gagasan inti dari sosialisme yang berasumsi bahwa sebuah
masyarakat yang adil mensyaratkan adanya tindakan sosial yang bertujuan, atau
dalam kalimat negatif, tindakan yang didasarkan pada kepentingan swasta akan
menghalangi tercapainya sebuah masyarakat yang adil.222
1. Pemikiran Sosialisme Sebelum Marx
a. Sosialisme Utopis
Sosialisme sebelum Marx sering dimasukkan ke dalam sosialisme (utopis).
Kata “Utopis” sendiri berasal dari judul buku “Utopis” paling terkenal “Utopia”

220
Reno Wikandaru dan Budhi Cahyo, op.cit., hlm 116.
221
Ibid., hlm 117.
222
Eko Handoyo, dkk. Op.cit., hlm 130-131.

215
yang ditulis oleh Thomas Morus atau Sir Thomas More (1478-1535) yang terbit
pada tahun 1516. Kata “Utopia” memiliki kesamaan dalam bahasa Yunani
“Autopos” yang berarti tempat “yang baik”.223 Dalam buku tersebut More
menjelaskan bahwa di sebuah pulau khayal bernama “Utopia”, yang juga dapat
ditafsirkan sebagai sebuah “negara”, semua milik merupakan milik bersama.
Semua orang tinggal dalam suatu tempat bersama. Makanan serta segala
kebutuhan lainnya disediakan secara bersama-sama pula. Untuk menghasilkan
barang-barang dan jasa, semua orang harus bekerja. Masyarakat diminta untuk
hidup sederhana. Masing-masing orang tidak perlu bekerja mati-matian dalam
waktu terlalu lama, melainkan cukup sekedar dapat memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Dalam hidup penuh kebersamaan ini, uang tidak diperlukan.
Pakaian semuanya seragam, sehingga tidak perlu mode. Lebih ekstrem lagi,
perhiasan emas dan perak tidak dihargai. Toleransi hidup bermasyarakat sangat
diutamakan. Pemerintah dijalankan secara demokratis dan pimpinan untuk
seumur hidup yang merupakan hasil pemilihan rakyat. Demikian gambaran
mengenai negara-impian versi More yang utopis.224
Tulisan More diikuti oleh berbagai penulis lain, antara lain Campanella
(1568-1639), seorang rohaniwan Italia dari tarekat S. Dominicus, menulis buku
“Negara Matahari” yang ditata menurut cita-cita komunis. William Godwin
(1756-1836) menulis “Utopi Sosialis-Agraris” dengan mengacu pada gerakan
The Lavellers. Dalam perang saudara di Inggris abad ke-17 The Lavellers
menuntut pembagian tanah para tuan tanah kepada kaum tani. Di Prancis,
Gabriel Mably (1709-1785) memperjuangkan pemilikan bersama. Morelly
(1755) untuk pertama kali menyebarkan gagasan dasar kolektivisme, yaitu
bahwa semua warga masyarakat harus sama hak dan kesejahteraannya dan

223
Mita Rosaliza dan Essy Syam. “Masyarakat Utopis Dan Distopis Dalam Teks The
Ones Who Walk Away From Omelas, Karya Ursula Le Guin”. (Jurnal Ilmu Budaya, Vol.
15 No. 1, Agustus 2018) hlm 13.
224
Ajat Sudrajat. 2021. Sejarah Pemikiran: Antara Dunia Islam dan Barat.
(Yogyakarta: Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Yogyakarta) hlm 193.

216
bahwa untuk mencapai keadaan itu kekayaan harus dimiliki bersama dan
pekerjaan produktif diatur secara sentral.225
Zaman pencerahan tidak mendukung perkembangan cita-cita sosialis
karena dimotori oleh kelas borjuasi, sementara borjuasi memperjuangkan
kebebasan politik untuk dapat bebas berusaha dan berdagang justru agar dapat
mengumpulkan milik pribadi sebebas-bebasnya. Yang mereka tuntut adalah
kesamaan politis dan kesamaan di depan hukum, dan bukan kesamaan
ekonomis. Jean-Jacques Rousseau pun (1712-1778) yang sering dianggap
sebagai sosialis utopis modern pertama sebenarnya tak pernah mengharapkan
bahwa masyarakat akan kembali ke keadaan semula dimana menurutnya
manusia memang memiliki semua bersama. Rosseau juga tidak banyak
berpengaruh atas perkembangan sosialisme selanjutnya.226

b. Sosialisme Komunitas Bersama


Apabila Thomas More berkhayal tentang masyarakat ideal seperti pada
uraian sebelumnya, di pihak lain ada tokoh-tokoh sosialis yang berusaha
merealisasikan cita-cita sosialisnya dalam kehidupan nyata. Di antara mereka
ada nama Robert Owen (1771-1859), Charles Fourier (1772-1837), dan Louis
Blanc (1811-1882). Inti dari tujuan mereka adalah menciptakan suatu
masyarakat yang akan memungkinkan perkembangan secara utuh potensi dan
kemampuan manusia. Seperti dikatakan Saint Simon, tujuannya ialah untuk
menghasilkan kesempatan yang seluas mungkin kepada seluruh anggota
masyarakat bagi perkembangan kemampuan-kemampuan diri mereka. Seperti
yang juga dinyatakan Friedrich Engels berkenaan dengan draft awal Communist
Manifesto bahwa tujuan dari kaum komunis adalah untuk mengorganisir
masyarakat dengan cara sedemikian rupa sehingga setiap anggotanya bisa
mengembangkan dan menggunakan segenap kemampuan dan kekuatannya

225
Franz Magnis-Suseno. 2016. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke
Perselisihan Revisionisme. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama) hlm 17-18.
226
Ibid.

217
dengan bebas sepenuhnya tanpa melanggar kebutuhan-kebutuhan dasar
masyarakatnya.227
Robert Owen (1771-1859) adalah anak seorang pedagang kecil. Dalam
umur 19 tahun ia sudah memimpin sebuah pabrik permintalan di New Lanark,
Skotlandia. Untuk kaum miskin yang bekerja di pabrik ini dengan upah sangat
rendah dengan jam kerja yang panjang, dengan kebiasaan mabuk-mabukan,
seringkali ditangkap karena mencuri, dan pada umumnya adalah pada tingkat
intelektual dan perkembangan moral yang sangat rendah. Ketika mengambil
alih pabrik New Lanark itu, Owen mulai memperbaiki kondisi-kondisi kaum
pekerja dengan mengurangi jam kerja menjadi 10,5 jam, dan ketika pabrik itu
mengalami kemacetan dikarenakan kekurangan bahan mentah, ia tidak melepas
pekerja tersebut sebagaimana yang lazim dilakukan ketika timbul krisis. Selama
berbulan-bulan Owen tetap membayar penuh upah-upah mereka. Ia juga
menunjukkan kepedulian yang besar akan asuhan dan pendidikan anak-anak
dengan mengorganisasikan taman anak-anak di Inggris. Usaha-usaha yang
dilakukan Owen menghasilkan suatu perbaikan dalam moral kaum buruh,
karena suatu kesadaran akan martabat kemanusiaan telah membangkitkan
semangat para buruh. Bersamaan dengan itu, pendapatan pabrik meningkat
dengan pesat. Dengan demikian, Owen berhasil membuktikan bahwa upah dan
kondisi kerja yang baik tidak mesti merugikan perusahaan.228
Owen memandang bahwa pertumbuhan tenaga-tenaga produksi Inggris
yang mengakibatkan pemiskinan justru orang-orang yang mengoperasikan
tenaga-tenaga produktif itu. Ia berkata “Dunia kini digenangi kekayaan, dengan
kemampuan-kemampuan yang tiada habisnya dan terus meningkat namun
begitu kesengsaraan merajalela!”. Perubahan ke arah yang lebih baik diperlukan
dan perubahan itu akan mudah sekali. “Dunia mengetahui dan merasakan
adanya kejahatan itu: ia akan memandang tatanan baru segala sesuatu yang

227
Ajat Sudrajat, op.cit., hlm 194.
228
G.V Plekhanov“Utopian Socialism of The Nineteenth Century,” Alih Bahasa Ira
Iramanto dalam “Sosialisme Utopian Abad XIX”. 2005. Edi Cahyono’s Experience, hlm
17-18.

218
disarankan, menyetujui, menghendaki perubahan itu, dan terjadilah perubahan
itu”. 229
Agar dunia menyetujui reformasi yang disarankan itu, terlebih dahulu ia
harus mengetahui bagaimana sifat manusia itu, telah menjadi apakah manusia
itu dikarenakan dampak lingkungannya dan dapat menjadi apa dalam kondisi-
kondisi baru yang diciptakan bersesuaian dengan keharusan-keharusan
penalaran. Sebagaimana dinyatakan Owen, sebelum manusia dapat bijaksana
dan bahagia, pikirannya harus dilahirkan kembali. Untuk mendorong kelahiran
kembali pikiran manusia, Owen menulis Essaynya yang terkenal mengenai
pembentukan watak manusia dengan judul “A New View of Society; or Essays
on the Principle of the Formation of the Human Character, and Application of
the Principle of the Practice”. Seluruhnya terdapat empat esai, dua esai
diumumkan pada akhir tahun 1812 dan dua lainnya pada awal tahun 1813.230
Dalam buku tersebut, ia menyatakan bahwa lingkungan sosial berpengaruh
pada pembentukan karakter manusia. Ia berusaha mencari cara dengan
meningkatkan kesejahteraan pekerjanya. Dalam buku tersebut juga
dipersoalkan tentang pendidikan, dimana kejahatan-kejahatan dalam
masyarakat disebabkan keadaan, bukan oleh kejatuhan moral manusia sehingga
pendidikan dalam suatu lingkungan yang baru akan dapat menghasilkan
manusia-manusia rasional yang mempunyai kebiasaan teratur, sabar dan
rajin.231
Akan tetapi, lama kelamaan Owen menyadari bahwa percuma
mengharapkan diadakannya reformasi sosial semata-mata dari penambahan
pengetahuan para penguasa. Perbaikan nasib hanya akan terjadi apabila
diperjuangkan oleh kaum buruh sendiri. Apabila reformasi sosial dilaksanakan,
tidak akan ada lagi krisis-krisis ekonomi, kemalasan, kriminalitas, mabuk-
mabukan dan kelakukan asusila akan menghilang karena itu juga tidak perlu
lagi ada ancaman hukuman, penjara dan hukuman mati. Owen mencoba

229
Ibid.
230
Ibid.
231
Eko Handoyo dkk, op.cit., hlm 132-133.

219
mempraktikkan apa yang diperjuangkannya dengan mendirikan komunitas-
komunitas dan koperasi-koperasi teladan. Pada tahun 1825 ia mendirikan
sebuah pemukiman sosialis di Amerika Serikat, namun gagal. Kembali dari
Amerika, Owen diangkat sebagai pemimpin gerakan serikat buruh dan koperasi
yang semakin kuat di Inggris.232 Akan tetapi, banyak pemikiran Owen yang
bersifat utopis dan tidak pernah terlaksana. Komunitas-komunitas yang
didirikan olehnya dan para pengikutnya pada akhirnya gagal.
Charles Fourier (1772-1837) adalah contoh khas seorang pemikir utopis dan
romantis. Ia yakin bahwa sistem pemikirannya merupakan peristiwa terbesar
dalam sejarah umat manusia dan memandang dirinya sebagai penyelamat dunia.
Pada zamannya pun ia sudah dianggap sebagai pengkhayal dan orang aneh. Ia
percaya bahwa bintang-bintang berjiwa dan kawin satu sama lain dan
menggagaskan binatang baru di masa keselamatan mendatang, misalnya si
“anti-singa” yang tidak lagi memiliki ciri-ciri seekor pemangsa seperti singa
sekarang. Pemikiran liar utopis seperti ini sudah lama tersingkir oleh kritik Karl
Marx atas sosialisme utopis.233
Meskipun Fourier adalah anak keluarga pedagang besar Prancis, ia tidak
suka pada profesi itu. Ia berkeyakinan telah menemukan cara untuk
membebaskan umat manusia dari segala malapetaka dan kejelekan sosial.
fourier tidak bicara tentang masyarakat sosialis, melainkan masyarakat
“societer”. Kritik Fourier terhadap keadaan sosial zamannya tajam dan realistis,
namun cara untuk mengubahnya bukan revolusi. Fourier benci pada segala
gagasan revolusioner. Pendekatannya teknokratis mirip dengan Saint-Simon.
Menurut Fourier, kemelaratan dan pengisapan kaum buruh serta krisi-krisis
ekonomi merupakan akibat organisasi pekerjaan dan pertukaran dalam
masyarakat yang salah. Jadi, organisasi itulah yang harus direformasi. Di
tingkat internasional, Fourier menuntut penciptaan kerajaan perdamaian antar
bangsa. Ia adalah salah satu orang yang mengemukakan bahwa penindasan
nafsu-nafsu merupakan sumber ketidakpuasan dan ketegangan sosial.

232
Franz Magnis-Suseno, op.cit., hlm 27-28.
233
Ibid., hlm 28-29.

220
Sebenarnya semua kebutuhan dan hasrat orang-orang dapat disesuaikan satu
sama lain tanpa adanya konflik. Apabila diorganisasikan dengan tepat, suatu
masyarakat tanpa konflik dapat diciptakan.234
Meskipun memiliki kesamaan dengan Owen, Charles Fourier
mewujudkannya bukan dengan koperasi, melainkan mendirikan phalange atau
phalanx. Phalanx merupakan sutu unit komunitas terdiri dari sejumlah orang,
sekitar 800 sampai 1000 orang atau bahkan lebih. Mereka tinggal bersama
dalam suatu apartemen hotel atau phalanstery. Di dalam suatu phalanstery
dilengkapi dengan toko-toko yang melayani kebutuhan setiap orang. Phalanx
dikelilingi oleh daerah pertanian sendiri, yang merupakan tempat kebutuhan
makanan dihasilkan. Dalam sebuah phalanx setiap orang harus bekerja menurut
kesukaan, kecakapan, dan bakat masing-masing. Pada akhir tahun pembukuan,
keuntungan dibagi menurut prestasi kerja, capital, dan kecakapan masing-
masing. Dalam pikiran Fourier, model phalanx ini harus dikembangkan ke
seluruh penjuru dunia. Selanjutnya, seluruh phalanx dipersatukan menurut tata
hierarki di bawah satu pemerintahan dunia. Pemikiran Fourier ini tertuang
dalam bukunya yang berjudul Theory of Four Movement (1808).235
Louis Blanc (1811-1882) juga merupakan penggagas koperasi. Namun
Blanc hanya memfokuskan untuk koperasi produksi. Louis Blanc adalah anak
seorang pedagang kaya, semula menjadi guru lepas, kemudian menjadi
wartawan dan menulis banyak karangan dan buku. Bukunya yang paling
terkenal adalah Organisation du Travail (Organisasi Pekerjaan) yang menjadi
karya klasik sosialisme purba Prancis. Menurut Blanc, manusia sebenarnya
baik. Ia menjadi jelek karena persaingan. Blanc percaya pada “hukum besi
upah” yang mengatakan bahwa dalam ekonomi kapitalis upah buruh tak pernah
dapat melampaui minimum yang perlu untuk tidak mati.236
Untuk mengatasi nasib buruk buruh dalam kapitalisme purba, Pekerjaan
perlu diorganisasikan kembali agar nasib buruk buruh dalam kapitalisme purba

234
Ibid., hlm 29-30.
235
Ajat Sudrajat, op.cit., hlm 194.
236
Franz Magnis-Suseno, op.cit., hlm 40.

221
dapat diatasi. Kelompok borjuasi harus bekerja sama dengan kelas buruh.
Negara harus mengorganisasikan produksi dan lama kelamaan menghapus
persaingan tanpa batas. Blanc mencoba menghubungkan sosialisme dengan
ilmu ekonomi dan karena itu pantas disebut memperjuangkan sosialisme
ilmiah.237

2. Konsep Sosialisme Marx dan Lenin


a. Karl Marx (1818-1883)
Karl Heinrich Marx lahir di kota Trier di distrik Moselle, Prussian
Rhineland, Jerman pada tanggal 5 Mei 1818.238 Dilihat dari silsilah keluarga,
Marx termasuk keturunan rabbi Yahudi dari garis keturunan ibunya yang
bernama Henrietta. Ayahnya bernama Heinrich seorang pengacara sukses dan
terhormat di Trier. Marx dan keluarganya penganut Kristen Protestan.
Kepribadian Marx sangat berbeda dengan ayahnya, Marx memiliki bakat
intelektual, tetapi keras kepala, kasar, agak liar dan jarang mengedepankan
perasaan. Pada usia 18 tahun, sesudah mempelajari hukum selama satu tahun di
Universitas Bonn, Marx pindah ke Universitas Berlin. Di Universitas Berlin,
Marx berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Hegel. Meskipun pada waktu itu
Hegel telah meninggal tetapi semangat dan filsafat yang diwariskannya masih
diminati dan menguasai pemikiran filsafat sosial di Eropa.239
Hingga tahun 1844, Marx sangat dipengaruhi oleh pemikiran Hegel yang
mengasumsikan segala sesuatu di dunia atau di masyarakat memiliki
kontradiksinya yang kemudian kontradiksi itu akan menghasilkan sintesis
sehingga segala sesuatu yang ada selalu akan mengalami dialektika. Namun
setelah itu Marx berubah karena menganggap apa yang dipikirkan Hegel dan
Kant sangat idealis sehingga sulit untuk diwujudkan. Menurut Marx, pemikiran
Kant dan Hegel hanya bersifat ide bukan kenyataan dan pengalaman. Sampai

237
Eko Handoyo, op.cit., hlm 139.
238
Afifuddin. “Pendidikan dengan Pendekatan Marxis-Sosialis”. (Jurnal Adabiyah,
Vo. 5 No.2, 2015) hlm 191.
239
Yohanes Bahari. “Karl Marx: Sekelumit tentang Hidup dan Pemikirannya”. (Jurnal
Pendidikan Sosiologi dan Humaniora, Vol. 1 No.1, April 2010) hlm 1.

222
tahun 1845 Marx menjalani kehidupannya di Paris bersama istrinya. Di Paris
Marx terbentuk sebagai seorang yang kritis terhadap masalah-masalah
kemasyaratakatan. Paris pada waktu itu merupakan kota yang dipenuhi dengan
kegiatan-kegiatan radikal, intelektual dan sebagai pusat liberalisme.240
Di Paris, Marx bertemu dengan tokoh-tokoh sosialis baik Prancis seperti
Proudhon, maupun pelarian dari Jerman. Ia juga bertemu dengan Friedrich
Engels yang kemudian menjadi teman karib dalam hidupnya. Di Paris, Marx
berhadapan untuk pertama kalinya dengan kaum buruh industri.241 Interaksinya
dengan berbagai tokoh sentral intelektual, radikal dan revolusioner di Paris
kemudian membawanya peduli dengan kaum buruh dan rakyat kecil yang
tertindas. Kepeduliannya tersebut tampak ketika Marx menolak sistem kapitalis
yang meluas dan berusaha menggantikannya dengan sistem sosialis.242
Di paris Marx menjadi seorang sosialis, artinya ia pun menerima anggapan
dasar sosialisme bahwa sumber masalah sosial terletak pada lembaga hak milik
pribadi. Ada tiga tulisan penting Marx pada periode ini. Yang pertama adalah
Philosophical and Economic Manuscripts dari tahun 1844 yang juga disebut
Naskah-Naskah Paris yang baru dicetak untuk pertama kalinya pada tahun 1928
di Moscow. Di dalamnya, Marx menganalisis segi-segi utama keterasingan
manusia dalam pekerjaan. Tulisan kedua yaitu The Holy Family (sindiran
tentang kakak beradik Bauer bekas kawan Marx dalam Klub Doktor di Berlin).
Buku ini sebagian juga ditulis oleh Engels. Di dalamnya Marx menyatakan diri
berpisah dari teman-teman Hegelian Muda dulu yang dinilainya idealistis atau
religius karena mereka mencari akar keterasingan manusia dalam cara berpikir,
bukan dalam susunan sistem produksi yang keliru.243
Pada tahun 1846, Marx bersama Engels menulis buku The German Ideology
yang tidak menemukan penerbit dan karena itu baru dicetak dalam abad ini.
Buku ini penting karena melanjutkan apa yang sudah mulai digariskan dalam
The Holy Family, peralihan pemikiran Marx ke posisinya yang definitif. Dalam

240
Ibid., hlm 2.
241
Franz Magnis-Suseno, op.cit., hlm 49-50.
242
Yohanes Bahari, op.cit., hlm 2.
243
Franz Magnis-Suseno, op.cit., hlm 49-50.

223
buku ini, Marx merumuskan perbedaannya dengan Feuerbach (yang tetap
dikaguminya) serta menyerang Marx Stirner, seorang anarkis dan individualis
ekstrim. Dalam The German Ideology, Marx meninggalkan gaya bicara
humanistis. Ia menegaskan bahwa sosialisme, penghapusan hak milik pribadi
bukan sekedar tuntutan etis, melainkan keniscayaan objektif. Marx mengklaim
bahwa ia menemukan hukum yang mengatur perkembangan masyarakat dan
sejarah, dan hukum itu adalah prioritas bidang ekonomi. Karena itu Marx
menyebut anggapannya “pandangan sejarah yang materialistis”. Mulai saat itu
Marx menganggap dirinya sebagai penemu Sosialisme Ilmiah.244
Sosialisme ilmiah adalah sosialisme yang tidak berdasarkan harapan dan
tuntutan belaka, melainkan berdasarkan analisis ilmiah terhadap hukum
perkembangan masyarakat. Dalam buku tersebut, Marx merumuskan premis
dasar bahwa bidang ekonomi menentukan bidang politik dan pemikiran
manusia, bahwa bidang ekonomi ditentukan oleh pertentangan antara kelas-
kelas pekerja dan kelas-kelas pemilik, bahwa pertentangan itu dipertajam oleh
kemajuan teknik produksi, dan bahwa pertentangan itu akhirnya meledak dalam
sebuah revolusi yang mengubah struktur kekuasaan di bidang ekonomi serta
mengubah struktur kenegaraan dan gaya manusia berpikir. Ia menyatakan
bahwa kapitalisme pun akan berakhir dalam sebuah revolusi, tetapi revolusi itu
berbeda dari semua revolusi sebelumnya. Revolusi ini akan menghapus
perpecahan masyarakat ke dalam kelas-kelas yang saling bertentangan dan
demikian menghapus hak milik pribadi dan menghasilkan masyarakat yang
sosialis. Buku The German Ideology memuat rumusan pertama “Materialisme
Historis” atau Materialisme Dialektik”, pandangan inti marxisme.245
Pada tahun 1867, terbit buku dari karya utama Marx yang dimaksudkan
untuk membuktikan kebenaran ramalannya tentang kehancuran Kapitalisme
yaitu buku Das Kapital. Dalam ini, Marx berusaha untuk memperkenalkan
model alternatif untuk ekonomi klasik Adam Smith. Sistem ini dimaksudkan
untuk menunjukkan secara ilmiah bahwa sistem kapitalisme mengandung cacat

244
Ibid.
245
Ibid.

224
fatal, yakni hanya menguntungkan kapitalis dan bisnis besar dengan
mengeksploitasi kaum buruh, dan kapitalisme akan mengalami krisis, yang
pada akhirnya akan menghancurkan dirinya sendiri. Dalam banyak hal, model
Marxis merupakan rasionalisasi dari keyakinannya bahwa sistem kapitalis harus
digulingkan dan digantikan dengan komunisme.246
Berkaitan dengan teori nilai kerja, Marx merasa cocok dengan sistem
Ricardian (model pemikiran dari David Ricardo) yang berkonsentrasi pada
produksi ‘komoditas’ tunggal dan homogen, dan pendistribusian pendapatan
dari produksi komoditas ke dalam kelas-kelas. Dalam sistem kelas Ricardo,
buruh memainkan peran kritis dalam menentukan nilai. Ricardo, dan kemudian
Marx, mengklaim bahwa tenaga kerja adalah satu-satunya penghasil nilai. Nilai
satu komoditas harus sama dengan jumlah rata-rata dari jam kerja yang dipakai
dalam menciptakan komoditas itu. Selanjutnya dalam Teori Nilai Surplus, jika
tenaga kerja adalah satu-satunya penentu nilai, lalu ke mana keuntungaan dan
bunganya? Marx menyebut keuntungan dan bunga sebagai “nilai surplus”. Oleh
karena itu, cukup satu langkah lagi untuk menyimpulkan bahwa para kapitalis
dan pemilik tanah adalah pihak-pihak yang mengeksploitasi pekerja. Jika semua
nilai adalah produk tenaga kerja, maka semua keuntungan yang diterima oleh
para kapitalis dan pemilik tanah pastilah merupakan nilai surplus, yang diambil
secara tidak adil dari pendapatan kelas pekerja.247
Marx berpendapat bahwa keuntungan dan eksploitasi dapat dinaikkan
dengan memperpanjang hari kerja dan mempekerjakan kaum perempuan dan
anak-anak dengan upah yang lebih rendah ketimbang laki-laki dewasa. Lebih
jauh, mesin dan kemajuan teknologi menurut Marx hanya menguntungkan
kaum kapitalis, bukan kaum buruh. Misalnya, mesin dapat membuat para
kapitalis bisa mempekerjakan kaum perempuan dan anak-anak untuk
menjalankan mesin. Keadaan ini akan semakin mengakibatkan lebih banyak
eksploitasi. Meskipun para pengkritiknya mengatakan bahwa kapital adalah
produktif dan pantas mendapatkan pengembalian yang masuk akal, tetapi Marx

246
Ajat Sudrajat, op.cit., hlm 197.
247
Ibid .

225
bersikeras bahwa kapital tak lain adalah tenaga kerja beku dan karenanya upah
akan menyerap keseluruhan dari produksi ekonomi.248

b. Vladimir Ilich Lenin (1870-1924)


Lenin lahir pada tanggal 22 April 1870, dengan nama Vladimir Ilyich
Ulyanov, di Simbirsk (Ulyanovsk). Nama Lenin sebenarnya adalah nama
samaran yang diambil dari nama Sungai Lena di Siberia. Orang tua Lenin
bernama Ilya Nikolaevich Ulyanov dan Maria Alexandrovna Blank. Ilya adalah
seorang pegawai negeri Kekaisaran Rusia yang berjuang mewujudkan
demokrasi dan pendidikan bebas bagi semua orang di Rusia. Lenin terkenal
pandai dalam bahasa Latin dan bahasa Yunani ketika di sekolah. Pada bulan
Mei 1887, kakaknya yang bernama Alexander Ulyanov dihukum gantung
karena ikut merencanakan pembunuhan Tsar Alexander III. Hal ini mengubah
karakter Lenin menjadi radikal yang membuatnya dikeluarkan dari Universitas
Kazan karena turut serta dalam demonstrasi mahasiswa. Setelah itu ia belajar
secara otodidak dan pada tahun 1891 berhasil memperoleh izin menjadi seorang
pengacara.249
Ketika bekerja sebagai seorang pengacara di Saint Petersburg, ia mulai
mengenal karya-karya Marx dan Engels. Karena karya tentang Marxisme
dilarang di Rusia, tahun 1896 dibuang ke Siberia dan dipenjara selama setahun.
Saat dipenjara pun, Lenin menunjukkan bakatnya dengan mengalahkan para
penghuni penjara yang lain dalam hal bermain catur.Pada bulan Juli 1898,
masih di Siberia, Lenin menikahi seorang wanita sosialis bernama Nadezhda
Krupskaya. Pada tahun 1899, ia menulis buku tentang perkembangan
kapitalisme di Rusia. Tahun 1900, ia diperbolehkan pulang dari Siberia, lalu
berkeliling Eropa dan mengunjungi konferensi Marxis.250
Vladimir Ilich Lenin merupakan bapak revolusi Rusia. Dua karya tulis
Lenin yang terpenting adalah The Development of Capitalism in Russia dan

248
Ibid.
249
Ris Yuwono Yudo Nugroho. “Pemikiran Ekonomi dari Lenin, Revisionis, dan Kiri
Baru,Serta Relevansinya Di Indonesia Saat Ini”. (Media Trend, Vol. 9 No. 1, Maret 2014) hlm 3.
250
Ibid.

226
Imperialism, the Highest Stage of Capitalism. Lenin, tidak sabar menunggu
kejatuhan kapitalisme seperti yang diramalkan oleh Marx. Oleh karena itu, ia
berpikir lebih baik mendirikan negara komunis pertama di Rusia. Maksudnya
itu tercapai setelah berhasil melakukan Revolusi Bolshevik 1917.251 Sebagai
pengagum dan pengikut Marx, Lenin banyak mempelajari karya-karya Marx.
Pemikiran-pemikiran Marx tersebut kemudian dimodifikasinya untuk
membangun masyarakat sosialis di Rusia. Gagasan yang paling diminatinya
adalah berkaitan dengan ”tahapan terakhir kapitalisme”, yang disebutnya
sebagai “kapitalisme monopoli” (monopoly capitalism) dan tentang
“imperialisme”. Tulisannya tentang imperialisme disesuaikan dengan
ambisinya untuk memimpin revolusi di Rusia.252
Menurut Lenin, demikian dikatakan Deliarnov (2012: 93), kapitalisme pada
tahap akhir akan mengarah ke monopoli. Negara kapitalis monopoli akan
didominasi oleh perusahaan-perusahaan raksasa, kartel dan monopoli. Sebagian
besar di antaranya beroperasi atas basis internasional. Bangkitnya monopoli
sebagai organisasi ekonomi dominan merupakan pertanda akan berakhirnya
kapitalisme. Selanjutnya, Lenin menegaskan beberapa karakteristik kapitalisme
monopoli.
1. Konsentrasi produksi berada di tangan industri yang semakin sedikit
jumlahnya;
2. Merger (penggabungan) finansial dan kapital industri, sewaktu bank-
bank dan lembaga-lembaga finansial semakin menguasai kontrol atas
alokasi sumber-sumber modal;
3. Bangkitnya ekspor kapital (dan bukan komoditas) sebagai bentuk utama
pertukaran internasional;
4. Pembagian dunia ke dalam lingkungan ekonomi dipengaruhi dan
dikontrol oleh kapitalis monopoli;

251
Ajat Sudrajat, op.cit., hlm 199.
252
Ibid

227
5. Pembagian lebih lanjut (sub-divisi) dunia ke dalam lingkungan politik
yang dipengaruhi oleh pemerintahan negara-negara kapitalis mapan.253
Seperti halnya Marx, Lenin percaya bahwa perjuangan kelas akan berlanjut
di negara-negara kapitalis. Akan tetapi, perjuangan mereka diperlunak dengan
digunakannya oganisasi serikat-serikat pekerja untuk menyogok kelas pekerja
dengan “bagian nilai surplus” (keuntungan). Langkah ini diperlukan, sebab
kemakmuran negara-negara imperialis akan tergantung dari eksploitasi negara-
negara kolonial yang lemah. Karena sudah disogok, kaum proletar tidak lagi
melakukan gerakan perlawanan terhadap kaum pemilik modal, apalagi para
pemilik modal ini sekarang ini lebih memusatkan perhatian untuk
mengekpoitasi tenaga buruh dari negara-negara jajahan atau negara
berkembang.254
Teori Pembangunan Tak Imbang merupakan pijakan sekaligus batu
loncatan bagi Lenin berkenaan dengan lokus revolusi proletariat. Menurutnya,
pertumbuhan di setiap negara itu berbeda-beda, termasuk di negara-negara
kapitalis. Negara-negara kapitalis tertentu mengalami pertumbuhan yang tinggi,
sementara negara-negara kapitalis lainnya mengalami pertumbuhan yang
semakin lemah. Pada saat yang bersamaan, negara-negara kapitalis yang baru
muncul, sulit untuk memperoleh sumber daya dari negara-negara jajahan,
karena sudah dikuasai oleh negara kapitalis (monopoli) yang sudah mapan.255
Menurut Lenin, hukum tentang “pembangunan tak imbang” mengizinkan
dan memungkinkan terjadinya kompetisi dan konflik global di antara negara-
negara imperialis. Pada saat yang sama, melemahnya kekuatan negara-negara
imperialis akan mendorong masyarakat di negara-negara jajahan bangkit
melawan negara agresor-kapitalis tadi. Kemungkinan terjadi karena di sanalah
kontradiksi dan konflik paling kuat. Dengan demikian, revolusi kaum proletar
pertama menurut Lenin tidak terjadi di Amerika, Jerman, atau Inggris,
melainkan di Rusia, negara terlemah di antara negara-negara kapitalis yang ada.

253
Ibid
254
Ibid
255
Ibid

228
Kaum proletar di Rusia dieksploitasi dari dua arah, yaitu oleh perusahaan-
perusahaan monopoli dan oleh negara. Berdasarkan argumentasi di atas, Lenin
kemudian melancarkan revolusi Bolshevik tahun 1917 di Rusia, dan berhasil
mendirikan negara sosialis-komunis pertama di dunia.256

c. Aliran Kiri Baru (The New Left)


Aliran kiri baru dipengaruhi oleh berbagai aliran sosialis yang sangat berbeda-
beda, mulai dari pendiri aliran marxisme ortodoks (Marx, Engels, Lenin) hingga
kaum radikal yang sering melakukan kritik terhadap kapitalisme (Paul Baran, Paul
Sweezy, Ernest Mandel dan lain-lain) dan bahkan juga penulis non Marxis lainnya
(JK. Galbaith, Herbert Marcuse, dan C. Wright Mills). Juga pimpinan-pimpinan
revolusioner lainnya seperti Mau-Tse tung, Ho Ci Minh, Fidel Castro, dan Che Gue
Vara juga menonjol sebagai pemikir-pemikir aliran kiri baru.257
Selanjutnya menurut Deliarnov, secara sederhana aliran kiri baru dapat
diartikan sebagai kombinasi dari Marxisme dan Leninisme ortodoks dengan
pemikiran-pemikiran radikal baru. Secara keseluruhan aliran kiri baru lebih dari
sekedar kebangkitan kembali pemikiran Marxisme. Akan tetapi dalam kenyataan
berbeda dalam berbagai hal. Jika diperhatikan, terdapat persamaan dan perbedaan
antara kubu Kiri Baru dengan kubu Marxis ortodoks. Kesamaannya adalah kedua
kubu setuju bahwa sistem kapitalis tidak harmonis dan karenanya
ditransformasikan menjadi suatu masyarakat sosialis baru. Kedua kubu tidak
tertarik dengan revolusi sosial dan berbeda pendapat dengan kaum revisionis yang
merasa reformasi sosial akan menyingkirkan keinginan untuk revolusi.258
Sedangkan perbedaan yang paling mencolok antara kedua kubu adalah tentang
tidak terelaknya sosialisme. Kaum Kiri Baru setuju dengan kaum revisionis bahwa
kejatuhan kapitalisme bukan tidak terelakkan. Bahkan mereka menganggap bahwa
kejatuhan tersebut tidak perlu harus terjadi. Mereka beranggapan demikian karena
kelas pekerja di negara-negara kapitalis sudah terintegrasi ke dalam masyarakat

256
Ibid
257
Ris Yuwono Yudo Nugroho, op.cit., hlm 14
258
Ibid.

229
kapitalis dan tidak bisa diharapkan untuk melaksanakan reformasi radikal.259 Kaum
kiri baru membuat kecaman yang mirip kecaman Marx terhadap kapitalisme
modern. Yang paling tidak mereka sukai terhadap kapitalisme modern adalah
ketidak seimbangan distribusi kekuatan ekonomi dan politik dalam masyarakat
kapitalis. Bagi kaum Kiri Baru terdapat hubungan erat antara status ekonomi
dengan kekuatan politik.Selain itu aliran kiri baru juga percaya bahwa para buruh
akan tetap beralienasi walau kaum buruh di negara-negara kapitalis maju lebih
makmur. Hal ini dikarenakan para buruh dipisahkan dari kontrol atas pekerjaan
mereka, dan kontrol tersebut dipegang oleh mereka yang menguasai kapital dan
teknologi. Mereka diisolasi dari pengambilan keputusan sehingga kebebasan
memilih di pasar tenaga kerja di batasi statifikasi sosial.260

d. Sosialisme Pasar
Sosialisme pasar adalah salah satu model reformasi ekonomi yang pertama kali
diterapkan di negara-negara Eropa Timur khususnya Uni Soviet pada tahun 1920-
an. Reformasi ini bertujuan untuk meningkatkan sistem perencanaan terpusat Uni
Soviet, dengan cara menggantikan bentuk perintah pusat dengan hubungan
kontraktual, pemberian kredit untuk menggantikan hibah anggaran, pemberian
insentif material, dan mempercanggih sistem untuk menghadapi sistem pasar,
terutama pasar dunia. Sebagai model teoritis, sosialisme pasar baru dikembangkan
di Barat pada tahun 1930-an oleh Oscar Lange. Oscar Lange adalah seorang
penganut Marxisme dan berprofesi sebagai ekonom yang pertama kali mencetuskan
gagasan tentang sosialisme pasar. Gagasan ini awalnya muncul sebagai upaya
mengatasi kritik dari Ludwig von Mises bahwa alokasi sumber daya rasional tidak
mungkin dapat dilakukan dalam ekonomi sosialis.261
Lange beranggapan bahwa dengan sosialis pasar atau sosialis yang
terdesentralisasi, tidak akan timbul lebih banyak masalah dari perusahaan swasta

259
Ibid.
260
Ibid.
261
Fuad Hasan Lubis. “Sosialisme Pasar di Cina”. (Jurnal Ilmu Politik, Vol. 8 No. 2,
Oktober 2017) hlm 65.

230
yang kompetitif dalam mencapai tingkat harga yang rasional dan alokasi sumber
daya secara optimal.262 Dalam sistem ekonomi sosialis pasar Lange, alat-alat
produksi dalam perekonomian dimiliki oleh publik. Central Planning Board (CPB)
tetap ada dalam sistem sosialis ini dengan fungsi antara lain mengangkat direktur
dari perusahaan dan dari keseluruhan industri; menetapkan aturang mengenai
keputusan produksinya; menetapkan harga atas semua barang kapital dan input-
input non tenaga kerja (harga barang-barang konsumen dan tingkat upah ditentukan
secara bebas oleh kekuatan penawaran dan permintaan di dalam pasar); memilih
tingkat akumulasi kapital (investasi) dan menetapkan tingkat bunga untuk
menyeimbangkan jumlah penawaran dari modal dan permintaannya.263
Oskar Lange, seorang sosialis Polandia, dan Fred M. Taylor, presiden AEA
(American Economic Review), berpendapat bahwa dewan perencanaan pusat dapat
menentukan harga melalui “trial and error”. Harga dapat ditetapkan untuk
menentukan permintaan dan penawaran setiap produk. Jika terjadi kekurangan,
harga dapat dinaikkan; jika terjadi surplus berlebihan, harga dapat diturunkan.
Lange bahkan menyarankan agar dewan perencanaan pusat menetapkan harga
‘secara acak’ dan kekurangan atau surplus akan menentukan respon dewan.264
Pemikiran yang dikemukakan Lange ternyata mendapatkan respon yang positif
dari para ekonom. Para ekonom percaya bahwa pendekatan “trial and error” yang
dipakai oleh para pengikut sosialis pasar ini memang bisa bekerja. Seperti
dinyatakan oleh Jan Drewnowski, ‘semua orang dewasa ini menyepakati kekeliruan
pendapat Mises yang menyatakan bahwa kalkulasi ekonomi di bawah sosialisme
secara teoritis adalah mustahil’. Bahkan, Joseph Schumpeter, salah satu murid
Mises yang paling cemerlang, menolak pendapat gurunya tersebut. Dia menulis,
“dapatkah sosialisme bekerja? Tentu saja bisa”. Lebih lanjut dikatakannya, “tatanan
kapitalis cenderung menghancurkan dirinya sendiri dan sosialisme
sentral…tampaknya akan menjadi penggantinya”.265

262
Ledi Trialdi, dkk. “Transformasi Sistem Ekonomi Indonesia Menuju Sistem
Ekonomi Sosialisme Pasar”. (Buletin Ekonomi dan Perbankan, Juni 1999) hlm 88.
263
Ibid.
264
Ajat Sudrajat, op.cit., hlm 202.
265
Ibid.

231
Paul Samuelson adalah termasuk orang yang percaya dengan keunggulan
ekonomi Soviet. Pada tahun 1989, Samuelson dan Nordhaus dengan yakin
menyatakan bahwa ekonomi Soviet merupakan bukti bahwa ekonomi sosialis dapat
berfungsi dan bahkan lebih makmur. Selain Samuelson, adalah Richard G. Lipseyy
dan Peter O. Steiner, pada tahun 1987 dengan tegas menyatakan bahwa standar
hidup warga Soviet jauh lebih tinggi daripada satu dekade yang lalu, dan kini
semakin naik dengan cepat, sampai mereka merasa nyaman. J. Schumpeter
demikian juga, dia membela ekonomi sosialis, bahkan meramalkan hancurnya
kapitalisme.266

e. Sosialisme Versus Komunisme


Ideologi komunisme adalah gerakan sosial dan politik yang memiliki tujuan
menciptakan masyarakat tanpa kelas yang dapat hidup bernegara dengan terstruktur
pada kepemilikan umum dari alat-alat produksi yang ada, muncul pertama kali di
Prancis sekitar tahun 1830 bersamaan dengan kemunculan ideologi sosialisme. Dua
ideologi ini pada awalnya memiliki arti yang sama tetapi kata “Komunisme”
dipakai untuk aliran sosialis yang lebih radikal, yang menuntut adanya penghapusan
total hak-hak milik pribadi dan kesamaan milik konsumsi serta menginginkan
keadaan yang lebih baik. Bukan dari kebaikan pemerintah atau rezim penguasa
melainkan dari upaya perjuangan kaum miskin dan kelas bawah.267
Dalam kehidupan sehari-hari, kata “sosialisme” sering dipakai bergantian
dengan istilah ‘komunisme’. Antara sosialisme dan komunisme memang tidak
banyak perbedaannya, bahkan Marx sendiri menggunakan kedua istilah tersebut
secara bergantian. Sejak Revolusi Bolshevik tahun 1917, istilah sosialisme sering
digantikan dengan istilah komunisme. Oleh karena itu, sejumlah ilmuwan
membedakan di antara keduanya.268 Perbedaan tersebut antara lain dikemukakan
oleh oleh Ebeinstein. Menurut Ebeinstein, sosialisme dan komunisme bukan
merupakan dua hal yang sejenis. Keduanya mewakili dua cara berpikir dan cara

266
Ibid.
267
Susi Fitria Dewi. 2017. Perbandingan Ideologi Pancasila dan Ideologi-Ideologi di
Dunia. (Yogyakarta: Gre Publishing) hlm 4.
268
Ajat Sudrajat, op.cit., hlm 192.

232
hidup yang berbeda. Ada beberapa faktor yang menyebabkan pertentangan diantara
kaum sosialis dan kaum komunis tidak dapat didamaikan, yaitu:
1. Kaum komunis berusaha untuk mengakhiri kapitalisme dengan suatu
tindakan berupa pemberontakan revolusioner dan perang saudara. Kaum
sosialis sebaliknya, berpegang teguh pada tata cara konstitusional. Kaum
sosialis mencari kekuasaan dengan cara pemilihan bukan dengan peluru.
Sekali kaum sosialis memegang pemerintahan, mereka menyadari bahwa
kekuasaan yang mereka miliki tidaklah bersifat langgeng, sangat mungkin
mereka akan kalah pada pemilihan yang selanjutnya.
2. Persoalan yang berkaitan dengan kepemilikan oleh masyarakat. Kaum
komunis membayangkan peralihan dari perusahaan kapitalis menjadi
pemilikan oleh masyarakat sebagai suatu kejadian yang sekonyong-
konyong dan segera terlaksana seluruhnya. Tidak ada ganti rugi atas harta
kekayaan yang disita, karena kaum komunis beranggapan bahwa hak milik
kapitalis berasal dari harta curian. Sebaliknya, kaum sosialis tidak percaya
bahwa peralihan dari kapitalisme ke pemilikan secara umum harus
berlangsung secepatnya, segera dan sempurna. Kebanyakan kaum sosialis
percaya dengan rencana ‘gradual’ atau bertahap. Pemilikan alat-alat
produksi oleh masyarakat harus dilakukan secara perlahan. Berkenaan
dengan ‘kompensasi’, kaum sosialis cenderung meyakini keyakinan
demokratis pada umumnya, yakni tidak seorang pun warga negara yang
boleh dirampas hak miliknya tanpa proses dan kompensasi sewajarnya.
3. Kepemilikan umum. Kaum komunis berusaha agar segala alat produksi,
distribusi, dan tukar menukar dioper kepada negara dengan meninggalkan
kebijaksanaan yang bebas bagi perseorangan untuk barang-barang
konsumsi. Kaum komunis menghendaki nasionalisasi total, karena dogma
mereka mengatakan bahwa ‘harta kekayaan yang dimiliki secara umum
selalu lebih baik daripada usaha perseorangan. Sebaliknya, kaum sosialis
berusaha berpegang pada prinsip-prinsip empiris mengapa suatu industri
atau departemen harus ditempatkan di bawah pemilikan dan pengawasan
umum atau berada dalam penguasaan atau monopoli pemerintah.

233
4. Perbedaan secara filosofis dan politis. Pemikiran komunisme model Lenin
mengenai kaum revolusioner professional berdasar pada anggapan bahwa
mayoritas rakyat (kelas pekerja) tidak sanggup berpikir untuk diri sendiri.
Suatu minoritas, yaitu partai komunis mempunyai tugas memimpin kaum
proletar. Dalam minoritas tersebut, segolongan kecil orang, kaum
revolusioner profesional, harus merumuskan politik-politik dan memegang
pimpinan. Konsep ‘elit’ ini ditolak oleh kaum sosialis, yang kepercayaannya
terhadap demokrasi dan kekuasaan mayoritas dalam partai sama dengan
kepercayaannya terhadap bangsanya sendiri.
5. Kaum sosialis percaya akan anjuran secara damai sebagai satu-satunya cara
untuk memajukan rencana mereka. Sedangkan kaum komunis memiliki
keyakinan sebaliknya, bahwa cara-cara perubahan dengan anjuran damai
tidak ada gunanya. Menurut kaum komunis, semua alat komunikasi,
pendidikan, dan propaganda lainnya telah berpihak dan menguntungkan
kaum kapitalis.
6. Dalam pandangan kaum komunis, setiap sistem kapitalis, apakah itu sistem
demokrasi, otoriter, maupun fasis, adalah wujud dari kediktatoran borjuis.
Kaum komunis mendapat kesimpulan yang logis untuk mengatakan bahwa
kekerasan adalah satu-satunya jalan untuk mengadakan perubahan.
Sementara kaum sosialis memiliki pandangan sebaliknya, mengadakan
pembedaan yang fundamental di antara dua macam sistem kapitalisme,
kediktatoran politik, dan demokrasi. Dalam sistem liberal demokrat, kaum
sosialis pada umumnya percaya terhadap cara main menurut aturan.
7. Kaum sosialis menolak tesis kaum komunis yang menyatakan bahwa hanya
ada dua pilihan dalam negara demokrasi yaitu antara kapitalisme penuh dan
kolektivisme. Kaum sosialis membayangkan terjadinya peralihan dari
ekonomi yang sangat dipengaruhi kapitals ke ekonomi yang lebih
dipengaruhi sosialis, bukan hasil dari suatu revolusi, tetapi sebagai hasil
tindakan perlahan-lahan. Sementara kaum komunis berpikir dalam tiga
kemutlakan, yaitu kapitalisme, revolusi, dan kediktatoran komunis. Kaum
sosialis berpikir dalam konsep yang relatif. Ekonomi yang dipengaruhi

234
kapitalis merupakan titik permulaan, periode panjang perubahan yang
perlahan-lahan dan akhirnya ke ekonomi yang lebih bersifat sosialis.269

C. Kesimpulan
Secara etimologi, istilah sosialisme atau dalam bahasa Inggris dengan istilah
socialism berasal dari bahasa Perancis, yaitu “sosial” yang berarti
“kemasyarakatan”. Sedangkan menurut istilah, sosialisme merupakan paham
atau ajaran kenegaraan yang berusaha agar harta benda, industri dan perusahaan
menjadi milik negara. Secara historis, istilah sosialisme pertama kali muncul di
Perancis sekitar tahun 1830. Sosialisme pertama kali muncul sebagai reaksi atas
berkembangnya industrialisme dan kapitalisme pada abad ke 19 sampai abad ke
20. Kebanyakan dari teoritisi sosialisme menyarankan pentingnya kerja sama,
perencanaan, dan kepemilikan publik, untuk melawan kompetisi dan pencarian
laba individual sebagaimana digagas oleh kapitalisme.
Sosialisme yang muncul sebelum Marx dinamakan sosialisme Utopis.
Tokoh sosialisme Utopis yang terkenal adalah Sir Thomas More. Selanjutnya
ada sosialisme Komunitas bersama yang berusaha untuk mewujudkan khayalan
dalam dunia nyata. Tokoh sosialisme komunitas bersama adalah Robert Owen,
Charles Fourier dan Louis Blanc. Selanjutnya muncul sosialisme komunis yang
menginginkan adanya revolusi sosial. dua tokoh dari sosialisme komunis adalah
Karl Marx yang meramalkan keruntuhan kapitalisme dan Vildimir Illich Lenin
yang mempelajari karya-karya Marx dan membentuk negara komunis pertama
di Rusia.
Aliran kiri baru dipengaruhi oleh berbagai aliran sosialis yang sangat
berbeda-beda, mulai dari pendiri aliran marxisme ortodoks (Marx, Engels,
Lenin) hingga kaum radikal yang sering melakukan kritik terhadap kapitalisme
(Paul Baran, Paul Sweezy, Ernest Mandel dan lain-lain) dan bahkan juga
penulis non Marxis lainnya (JK. Galbaith, Herbert Marcuse, dan C. Wright
Mills). Juga pimpinan-pimpinan revolusioner lainnya seperti Mau-Tse tung, Ho

269
Ibid., hlm 203-204.

235
Ci Minh, Fidel Castro, dan Che Gue Vara juga menonjol sebagai pemikir-
pemikir aliran kiri baru.
Sosialisme pasar adalah salah satu model reformasi ekonomi yang pertama
kali diterapkan di negara-negara Eropa Timur khususnya Uni Soviet pada tahun
1920-an. Reformasi ini bertujuan untuk meningkatkan sistem perencanaan
terpusat Uni Soviet, dengan cara menggantikan bentuk perintah pusat dengan
hubungan kontraktual, pemberian kredit untuk menggantikan hibah anggaran,
pemberian insentif material, dan mempercanggih sistem untuk menghadapi
sistem pasar, terutama pasar dunia. Sebagai model teoritis, sosialisme pasar
baru dikembangkan di Barat pada tahun 1930-an oleh Oscar Lange.
Dalam perkembangannya, ideologi sosialisme sering digunakan bersamaan
dengan komunisme. Ideologi komunisme adalah gerakan sosial dan politik yang
memiliki tujuan menciptakan masyarakat tanpa kelas yang dapat hidup
bernegara dengan terstruktur pada kepemilikan umum dari alat-alat produksi
yang ada, muncul pertama kali di Prancis sekitar tahun 1830 bersamaan dengan
kemunculan ideologi sosialisme. Dua ideologi ini pada awalnya memiliki arti
yang sama tetapi kata “Komunisme” dipakai untuk aliran sosialis yang lebih
radikal, yang menuntut adanya penghapusan total hak-hak milik pribadi dan
kesamaan milik konsumsi serta menginginkan keadaan yang lebih baik. Bukan
dari kebaikan pemerintah atau rezim penguasa melainkan dari upaya perjuangan
kaum miskin dan kelas bawah.

236
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ajat Sudrajat. 2021. Sejarah Pemikiran: Antara Dunia Islam dan Barat.
Yogyakarta: Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas
Negeri Yogyakarta.

Eko Handoyo, dkk. 2018. Pertarungan Ideologi Pancasila di Tengah Kepungan


Ideologi-Ideologi Dominan. Semarang: UNNES Press.

Franz Magnis-Suseno. 2016. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke


Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Ira Iramanto. 2005. Sosialisme Utopian Abad XIX. Edi Cahyono’s Experience.

Susi Fitria Dewi. 2017. Perbandingan Ideologi Pancasila dan Ideologi-Ideologi di


Dunia. Yogyakarta: Gre Publishing.

Artikel Jurnal

Afifuddin. “Pendidikan dengan Pendekatan Marxis-Sosialis”. Jurnal Adabiyah, Vo.


5 No.2, 2015.

Fuad Hasan Lubis. “Sosialisme Pasar di Cina”. Jurnal Ilmu Politik, Vol. 8 No. 2,
Oktober 2017.

Ledi Trialdi, dkk. “Transformasi Sistem Ekonomi Indonesia Menuju Sistem


Ekonomi Sosialisme Pasar”. Buletin Ekonomi dan Perbankan, Juni 1999.

M. Sholahuddin. “Kritik Terhadap Sistem Ekonomi Sosialis dan Kapitalis”. Jurnal


Ekonomi Pembangunan, Vol. 2 No. 2, Desember 2001.

Mita Rosaliza dan Essy Syam. “Masyarakat Utopis Dan Distopis Dalam Teks The
Ones Who Walk Away From Omelas, Karya Ursula Le Guin”. Jurnal Ilmu
Budaya, Vol. 15 No. 1, Agustus 2018.

Reno Wikandaru dan Budhi Cahyo. “Landasan Ontologis Sosialisme”. Jurnal


Filsafat, Vol. 26 No. 1, Februari 2016.

Ris Yuwono Yudo Nugroho. “Pemikiran Ekonomi dari Lenin, Revisionis, dan Kiri
Baru,Serta Relevansinya Di Indonesia Saat Ini”. Media Trend, Vol. 9 No.
1, Maret 2014.

237
Saiman. “Sosialisme: Antara Ideologi dan Realita Masyarakat Sosial”. Jurnal
Ilmiah Bestari, No. 30 Th XIII, 2000.
Yohanes Bahari. “Karl Marx: Sekelumit tentang Hidup dan Pemikirannya”. Jurnal
Pendidikan Sosiologi dan Humaniora, Vol. 1 No.1, April 2010.

238
KOMPATIBILITAS ISLAM DAN DEMOKRASI

Oleh: Asrayanti Marwan


NIM. 20718251032

A. Pendahuluan
Istilah demokrasi identik dengan kekuasaan rakyat yaitu konsep klasik untuk
menunjukkan adanya sistem kekuasaan dan pemerintahan partisipatif serta
konstitusi yang sah. Demokrasi bukanlah suatu doktrin yang absolut dan dogmatis,
melainkan sesuatu yang terbuka untuk diperdebatkan. Di kalangan para pemikir
muslim, persoalan demokrasi telah menjadi “wacana” yang hingga kini masih
diperbincangkan. Pembicaraan mengenai kompatibilitas antara Islam dan
demokrasi menjadi objek bahasan yang mewarnai perdebatan tersebut.270

Dalam konteks negara-negara muslim, banyak di antara intelektual Islam telah


mengamati dan mendiskusikan kesesuaian antara Islam dan demokrasi. Bahkan
pemerintahan di negara-negara muslim mengklaim bahwa sistem politik mereka
sedang bergerak kearah yang demokratis, meskipun ditafsirkan dengan cara
sendiri-sendiri. Sedangkan meningkatnya partisipasi gerakan-gerakan Islam dalam
proses demokratisasi pada akhir 1980-an dan 1990-an yang terus menuju ke pusat-
pusat kekuasaan seakan menunjukkan gejala kecenderungan kepada kesesuaian
antara Islam dan demokrasi. Namun bersamaan dengan gejala itu, sebenarnya
muncul problem filosofis terutama karena demokrasi dipandang berdasarkan pada
sekularisme, sedangkan Islam adalah agama yang berdasarkan pada kepercayaan
kepada Tuhan.271

Di kalangan komunitas Muslim terutama di Indonesia, masih ada perdebatan


bagaimana seharusnya Islam berekonsiliasi, beradaptasi dan membawa nilai-nilai
normatif Islam berhadapan dan berdialog dengan nilai-nilai lain seperti modernitas.

270
Abdul Jalil. “Kompatibilitas Islam dan Demokrasi: Tantangan dan Hambatan
Demokratisasi Di Dunia Islam”. (Jurnal Diklat Teknis Pendidikan dan Keagamaan, Vol.
8, No. 1, Juni 2020), hlm 431
271
Winengan. “Wacana Intelektual Muslim IndonesiaTentang Kompatibilitas
Islam Dengan Demokrasi”. (Jurnal Ulumuna, Vol. 9 No. 2, Juli-Desember 2005), hlm 204

239
Sehingga muncul perdebatan apakah nilai-nilai Islam kompatibel dengan nilai-nilai
modernitas, seperti demokrasi, liberalisme, pluralisme, HAM (Hak Asasi Manusia)
dan kesetaraan gender.272 Secara metodologis, membandingkan antara Islam dan
demokrasi tidaklah tepat, karena Islam merupakan agama dan risalah yang
mengandung asas-asas yang mengatur ibadah, akhlak, dan muamalah manusia.
Sedangkan demokrasi hanyalah gagasan atau pandangan hidup yang
mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi
semua warga negara.273

B. Pembahasan
1. Mendudukan posisi Islam dan Demokrasi
Islam adalah agama. Sebagai agama, Islam diyakini dan dipahami merupakan
seperangkat ketentuan dan aturan (aqidah wa al-syari’ah) yang bersumber dari
Allah SWT. Agama, dalam keseluruhan aspek ajarannya, dimaksudkan untuk
menjadi panduan bagi manusia. Karena ia menjadi panduan bagi kehidupan
manusia, berarti ia juga harus menjadi basis bagi semua atau keseluruhan perilaku
manusia, yang antara lain meliputi perilaku politik, ekonomi, sosial dan
seterusnya.274

Islam merupakan ad-din; dan istilah ad-din dalam Al-Qur’an tercantum dalam
QS. Ali ‘Imran [3]:19 dan QS. Al-Ma’idah [5]:3). Perkataan ad-din dalam bahasa
Indonesia diterjemahkan dengan perkataan “agama”.275 Dalam Bahasa Arab,
istilah agama sering disebut dengan ad-din. Secara konseptual, sesungguhnya
perkataan agama dan ad-din mengandung konotasi masing-masing yang berbeda.
Perkataan agama yang sudah lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia berasal dari
Bahasa Sanskerta yang memiliki konotasi sangat erat dengan tradisi dalam agama

272
Ahmad Ali Nurdin. “Kaji Ulang Konsep Hubungan Islam dan Demokrasi”.
(Jurnal Review Politik, Vol. 6, No. 1, Juni 2016), hlm 2
273
Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1999),
Hlm 220
274
Ajat Sudrajat. Khazanah Intelektual Politik Islam. (Yogyakarta: True Media
Utama, 2011), Hlm 56
275
Zuhraini. “Islam: Negara, Demokrasi, Hukum dan Politik”. (Jurnal Studi
Keislaman, Vol. 14, No. 1, Juni 2014), hlm 31

240
Hindu dan Budha.276 Perkataan ad-din sebagaimana tercantum dalam dua ayat Al-
Qur’an di atas merupakan suatu konsep yang terdiri dari dua komponen pokok
pengaturan hubungan manusia dengan Allah (hubungan vertikal) dan antara
manusia dengan manusia dalam masyarakat atau negara, bahkan mungkin pula
antar negara serta antar manusia dengan lingkungan hidupnya (hubungan
horizontal).277

Din Al-Islam sebagai agama wahyu terakhir, mengandung ajaran yang terdiri
dari tiga komponen: akidah (iman, keyakinan), syariah (hukum), dan akhlak
(moral) yang mengatur segala tingkah-laku manusia dalam berbagai hubungan,
baik hubungan manusia dengan Tuhannya, maupun hubungan manusia dengan
dirinya sendiri, masyarakat, benda atau makhluk lainnya.278 Sebagai agama yang
komprehensif, Islam menyatukan berbagai persoalan moril dan materil, serta
mencakup berbagai kegiatan manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Nilai di dalam agama Islam pada hakikatnya adalah kumpulan dari prinsip-
prinsip hidup, ajaran-ajaran tentang bagaimana seharusnya manusia menjalankan
kehidupannya di dunia ini. Nilai-nilai Islam yang tegas, pasti dan tetap tidak
berubah karena keadaan, tempat dan waktu, adalah nilai yang bersumber kepada
agama.279

Sebagai kumpulan ajaran Allah SWT, Islam terkodifikasikan dalam Al-Qur’an.


Al Qur’an inilah yang kemudian menjadi rujukan perilaku manusia. Tetapi, karena
ajaran-ajaran dalam Al-Qur’an memerlukan penjelasan, maka keberadaan Nabi
Muhammad SAW., adalah berperan sebagai orang yang menjelaskan Al-Qur’an
(Mubayyin Al-Qur’an). Nabi Muhammad lah yang kemudian memberikan
penjelaskan secara operasional terhadap ajaran-ajaran yang terdapat di dalam Al-
Qur’an. Karena itu kemudian, keduanya Al-Qur’an dan Sunnah menjadi rujukan

276
Abdul Jalil, op.cit., hlm 432
277
Zuhraini,op,cit., hlm 32
278
Mohammad Daud Ali. Asas-Asas Hukum Islam (Hukum Islam I): Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta: Rajawali Press, 1990), Hlm 28
279
Zakiah Daradjat. Ilmu Jiwa Agama. (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 155-
156

241
bagi perilaku umat Islam. Memperhatikan Islam sebagai kumpulan ajaran yang
berasal dari Allah Swt., dan kemudian dilembagakan melalui Nabi Muhammad
SAW., dapat dikatakan bahwa yang bisa disebut memiliki kemutlakan untuk
mengatur manusia di sini adalah Allah. Dalam pandangan ini Allah lah yang
memiliki kedaulatan atas manusia. Allah lah (al-Khaliq) yang menentukan segala
ketentuan dan aturan untuk sekalian ciptaannya (al-Makhluq), termasuk di
dalamnya adalah manusia. Dengan demikian manusia harus tunduk dan patuh
kepada semua ketentuan dan aturan Allah ini.280

Di pihak lain dikenal adanya faham tentang ‘demokrasi’. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia demokrasi diartikan sebagai pemerintahan oleh rakyat di mana
kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka
atau wakil-wakil yang mereka pilih dibawah sistem pemilihan bebas atau
pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta
perlakuan yang sama bagi semua warga negara.281 Sedangkan pengertian demokrasi
menurut istilah adalah seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan, namun
juga mencakup prosedur yang terbentuk melalui sejarah panjang dan sering berliku-
liku. Jadi demokrasi adalah pelembagaan dan kebebasan.

Dalam paparan Affan Gafar, ilmu politik membagi dua macam pemahaman
terhadap demokrasi: pemahaman secara normatif dan pemahaman secara empirik.
Dalam pemahaman secara normatif, demokrasi merupakan sesuatu yang secara
ideal hendak dilakukan atau diselenggarakan oleh sebuah negara, seperti misalnya
terungkap dalam pernyataan Abraham Lincoln bahwa demokrasi adalah suatu
“pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dari pernyataan ini bisa
dinyatakan bahwa demokrasi dibangun di atas dua prinsip yaitu pemerintahan
sendiri dan penetapan atau pembuatan undang-undang secara langsung oleh rakyat.
Sedangkan pemahaman demokrasi secara empirik biasanya menggunakan sejumlah
indikator antara lain seberapa banyak ruang gerak yang diberikan pemerintah

280
Ajat Sudrajat, op,cit., hlm 56-57
281
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi III.
(Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Hlm 249

242
kepada warga negara untuk berpartisipasi. Warga negara atau rakyat dalam
demokrasi selalu mendapatkan perhatian, bahkan terfokus padanya. Oleh karena itu
selalu ditekankan peranan warga negara yang senyatanya dalam proses politik. Oleh
karena itu dalam demokrasi, pemerintah hanyalah salah satu unsur yang hidup
berdampingan dalam suatu struktur sosial dari lembaga-lembaga yang banyak dan
bervariasi: partai politik, organisasi dan asosiasi. Namun diakui bahwa yang
memiliki kemutlakan dan kedaulatan adalah manusia atau rakyat.282

Salah satu sifat demokrasi adalah kemampuannya untuk menghilangkan bentuk-


bentuk kekuasaan yang absolut, karena paham absolutism menyebabkan
kediktatoran. Mengatasi hal tersebut, maka lahirlah konsep Trias Politika yang
dicetuskan oleh seorang filsuf dari Perancis, Montesquieu. Konsep inilah yang
disebut-sebut sebagai ukuran demokratis tidaknya suatu negara. Menurut Trias
Politika, kekuasaan negara terdiri dari tiga macam, yaitu: kekuasaan legislatif
(membuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (pelaksana undang-undang),
kekuasaan yudikatif (yang mengadili atas pelanggaran undang-undang).283

Demokrasi mengandung makna suatu sistem pemerintahan atau aturan dalam


masyarakat yang mengikutsertakan seluruh anggota masyarakat baik secara
langsung maupun melalui perwakilan untuk mengambil keputusan yang
menyangkut soal-soal kenegaraan dan kepentingan bersama, dengan berlandaskan
kepada nilai-nilai kebersamaan, keadilan, kebebasan dan pluralisme. Demikian pula
negara yang menganut sistem demokrasi diselenggarakan berdasarkan kehendak
dan kemauan rakyat.284

Fokus dan ruang lingkup demokrasi adalah pada persoalan kemanusiaan, dari
manusia kepada manusia. Lebih fokus lagi adalah persoalan kekinian, duniawi.
Dalam demokrasi tidak ada intervensi yang berasal dari pihak luar, di luar diri
manusia, yaitu Allah SWT. Dengan demikian, dalam demokrasi tidak ada nilai-

282
Ajat Sudrajat, op,cit., hlm 58
283
Abdul Jalil, op.cit., hlm 435
284
Mohammad Mahfud MD. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi. (Yogyakarta:
Gema Media, 1999), Hlm 8.

243
nilai yang bercorak ilahiah. Tidak ada nilai-nilai yang dipandang transendental
yang abadi. Justifikasi benar dan salah yang dihasilkan dari demokrasi bercorak
relatif, sangat bergantung kepada hasil kesepakatan bersama suatu masyarakat.
Keputusan dan aturan yang dilembagakan sebagai hasil demokrasi tidak memiliki
kemutlakan dan nilai transenden (spiritual). Produk aturan demokrasi semata
bersifat temporal dan kekinian (duniawiah) semata.285

2. Persoalan krusial Islam dan Demokrasi


1. Masalah Kedaulatan Tuhan VS Kedaulatan Manusia
Kedaulatan dari berbagai bahasa dapat diartikan sebagai wewenang satu
kesatuan politik. Kedaulatan adalah konsep mengenai kekuasaan tertinggi dalam
negara.286Kedaulatan atau as-Siyaadāḥ adalah sebuah konsepsi yang relatif baru
yang sebelumnya tidak dikenal hingga abad ke-16. Kedaulatan memiliki arti
sejumlah kewenangan, otoritas, dan kompetensi yang hanya dimiliki oleh
kekuasaan politik dalam sebuah negara dan menjadikannya sebagai sebuah
kekuasaan pemerintah tertinggi. Barangkali di antara kewenangan dan otoritas
tersebut yang penting adalah kapasitas dan kekuasaannya untuk memaksakan
kehendak secara sepihak kepada lembaga dan individu yang kehendaknya secara
otomatis dan dengan sendirinya berlaku efektif tanpa sama sekali tergantung
kepada persetujuan pihak yang diperintah.287

Lebih lanjut Kedaulatan didefinisikan sebagai “kekuasaan tertinggi dengan


mana rakyat diperintah dan bahwa seseorang atau sekelompok orang dalam suatu
negara, secara politik tidak ada yang lebih tinggi. Dalam pandangan Maududi,
kedaulatan yang demikian hanya pantas diberikan kepada Allah SWT. Allah-lah
yang berdaulat atas manusia, yang di dalamnya meliputi kehidupan moral, sosial,
budaya, ekonomi, dan politik manusia. Menurutnya konsep kedaulatan ini
sebenarnya cukup sederhana, karena didalam Al-Qur’an secara jelas dikatakan

285
Ajat Sudrajat, op.cit., hlm 59-60
286
Jimly Asshidiqie. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia: Pasca
Reformasi, (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2008), hlm. 158.
287
Wahbah az-Zuhaili. Fiqih Islam Wa Adillayuhu: Jilid 8 (terj:Abdul Hayyie al-
Kattani dkk.), cet ke- 1, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 436.

244
bahwa Allah adalah Pencipta, Pemelihara dan Penguasa alam semesta ini. Oleh
karena itu kehendak-Nyalah yang dominan dalam kehidupan alam ini.288

Teori kedaulatan Tuhan adalah kekuasaan tertinggi dalam negara berasal dari
Tuhan. Raja atau penguasa negara mendapat kekuasaan tertinggi dari Tuhan
sehingga kehendak raja atau penguasa merupakan kehendak Tuhan 289. Teori ini
menganggap bahwa Tuhan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara.
Teori kedaulatan Tuhan dimana teori ini mengajarkan bahwa yang memiliki
kedaulatan dalam negara adalah Tuhan. Di dalam Al-Qur’an, berkali-kali Allah
menjelaskan, bahwa Ia adalah Pencipta alam Semesta, Tuhan segala yang ada dan
Penguasa Mutlak, sedangkan semua manusia adalah hamba-Nya. Manusia sebagai
makhluk sama dalam pandangan Allah. Semua makhluk yang hidup dalam kerajaan
atau negara Allah harus patuh dan tunduk kepada segala perintah dan peraturan-
peraturan-Nya.290

Di antara ayat-ayat Al-Qur’an yang dirujuk Maududi sebagai dasar pijakan


konsep kedaulatan Allah (Sovereignity of God) adalah firman Allah dalam surat
Yusuf (12):40 yang berbunyi:“…Keputusan itu hanyalah keputusan Allah. Dia
telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang
lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. Juga dalam surat Al-Maidah
(5):45 yang berbunyi:“…Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa
yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim”. Juga
dalam surat Al-Nahl (16):116 yang berbunyi: “Dan janganlah kamu mengatakan
terhadap apa yang disebut- sebut oleh lidahmu secara dusta ‘ini halal dan ini
haram”.291

Menurut Maududi, demokrasi tidak kompatibel dengan Islam, bahkan demokrasi


bisa dipandang bertentangan dengan ajaran Islam karena mempercayai adanya

288
Ajat Sudrajat. Op.cit., hlm 61
289
Aidul Fitriciada Azhari. Sistem Pengambilan Keputusan Demokratis Menurut
Konstitusi, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2000), hlm. 26
290
Fauzan Ali Rasyid. “Dasar-Dasar Politik Islam (Upaya Membangun
Paradigma Ilmu Politik Islam)”, (Jurnal Adliya, Vol. 8, No. 1, Januari-Juni 2014), Hlm
269
291
Ajat Sudrajat, op.cit., hlm 61-62

245
kedaulatan manusia selain kedaulatan Tuhan. Pandangan Maududi cenderung
mengikuti pendapat gurunya Sayyid Qutb yang menolak adanya ide kedaulatan
rakyat. Bagi Qutb, hanya Allah lah yang mempunyai kedaulatan. Kedaulatan Allah
(Hakimiyat Allah) mengandung arti bahwa yang berhak untuk mengatur dunia ini
hanyalah hukum Allah, sebagai Dzat Yang Maha Mengatur. Konsekuensinya,
pemimpin politik dan kaum intelektual tidak mempunyai kedaulatan. Loyalitas
akhir dan absolute bagi kaum beriman tanpa ragu lagi adalah harus kepada Allah
(hukum-Nya), dan dimanapun aksi sebuah pemerintahan yang bersebrangan
dengan hukum Allah, maka seorang beriman tidak harus mengikutinya bahkan
diwajibkan untuk menentangnya.292

Dari pernyataan dan ayat diatas, maka Islam tidak kompatibel dengan
demokrasi. Oleh karena dalam demokrasi, kekuasaan dan hukum sepenuhnya
diputuskan dan berada di tangan rakyat, apakah itu langsung maupun melalui
perwakilan. Dalam demokrasi hukum dan perundang-undangan diubah dan diganti
semata-mata berdasarkan pendapat dan keinginan rakyat.293

2. Masalah Kewarganegaraan
Kewarganegaraan selalu berkaitan dengan keseimbangan antara hak dan
kewajiban warga negara di hadapan negara. Ada beberapa unsur yang dapat
dijadikan modal sebagai unsur formatif suatu negara, seperti agama, ras, bahasa,
wilayah dan nasib yang sama. Namun demikian, seberapa jauh keabsahan suatu
negara yang hanya mendasarkan pada unsur-unsur tertentu, agama misalnya.
Sehingga pada saatnya, negara itu akan membedakan hak dan kewajiban warga
negaranya atas dasar agama.294 An-Na’im menegaskan bahwasanya logis untuk
menerima premis bahwa mayoritas dan minoritas tidaklah didasarkan pada faktor
insidental yang permanen dan primordial seperti ras atau jenis kelamin, yang tidak
bisa diubah oleh individu. Seseorang tidak bisa dipaksa untuk meninggalkan atribut
esensialnya bagi kebebasan dan martabat kemanusiaannya seperti kebebasan

292
Ahmad Ali Nurdin. Op.cit., hlm 10
293
Ajat Sudrajat, op.cit., hlm 62
294
Ibid. Hlm 69

246
beragama dan berkeyakinan, hanya karena ia bukan bagian dari mayoritas. Oleh
karena itu, suatu kebijakan dan hukum harus selalu dibangun di atas dasar rasional,
yang dihormati dan didukung oleh seluruh warga negara, tanpa memandang ras,
jenis kelamin, dan agama atau keyakinannya. Dengan demikian, menurutnya,
konsep ummah sebagai wakil kolektif kedaulatan Allah dan kedaulatan manusia
itu, dapat menjadi landasan konstitusionalisme aktif hanya jika cakupan umat
dalam Islam direvisi dengan memasukkan‘seluruh warga negara atas dasar
kesamaan mutlak’, tanpa diskriminasi berdasarkan agama, ras, maupun jenis
kelamin.295

a. Persoalan Warga Negara Non-Muslim


Dalam konteks hubungan dengan non-Muslim, Islam selain menetapkan
persamaan dan keadilan sebagai dasar utamanya, juga menegaskan prinsip
tolerasi yang tidak kalah pentingnya dengan prinsip persamaan dan keadilan.
Ringkasnya at-tasamuh atau toleransi adalah interaksi dengan orang lain
dengan penuh kemudahan, kelonggaran dan kerelaan, baik dalam aksi suka
atau tidak suka.

Sekalipun ada kebebasan dalam beragama akan tetapi tidak ada kebebasan
berpolitik dalam negara Islam. Dan karena itu dengan sendirinya berarti terjadi
diskriminasi yang dilakukan oleh negara terhadap hak warga negara, yang
dalam sistem demokrasi sangat dijunjung tinggi. Dalam negara Islam tidak ada
tempat bagi warga negara yang non-Muslim. Syari’ah Islam tidak memberikan
tempat tinggal yang tetap bagi non-Muslim di dalam negara Islam, kecuali jika
ada izin tinggal sementara, atau jika mereka dijamin dalam status ahl al-
dzimmah. Ahl al-dzimmah tidak memiliki hak sipil dan politik yang penuh,
meskipun mereka lahir dan dibesarkan di wilayah negara Islam. Akibatnya, ahl
al-dzimmah, meskipun dijaga keamanan jiwa dan harta bendanya dengan
aman, namun mereka tidak berhak untuk berpartisipasi sepenuhnya dalam
kehidupan masyarakat secara luas.296 Pendapat Ibn Taimiyah seperti

295
Ibid.
296
Ibid. Hlm 70

247
dinyatakan oleh Khalid Ibrahim Jindan memperlihatkan batasan-batasan yang
diberikan kepada ahl al-dzimmah, antara lain: (a) tidak diberi kesempatan
untuk menduduki pos-pos penting dalam pemerintahan dan administrasi, (b)
diharuskan mengenakan pakaian yang berbeda dengan busana orang-orang
Muslim, (c) perumahan ahl al-dzimmi tidak diperbolehkan melebihi ketinggian
rumah-rumah orang Muslim, (d) tidak diperbolehkan mempraktekan ibadat
atau menyebarkan simbol-simbol mereka di kawasan yang dihuni umat Islam,
dan (e) tidak diperbolehkan membangun tempat-tempat peribadatan dengan
tanpa izin pemerintan.297

Suatu komunitas ahl-dzimmah hanya diberi hak untuk mengatur dirinya


dalam masalah pribadi, namun harus tetap tunduk kepada perundang-undangan
negara Islam dalam urusan publik. Syari’ah menentukan bahwa juridiksi semua
urusan publik harus tetap menjadi wilayah eksklusif umat Islam. Oleh karena
itu, ahl-dzimmah hanya memiliki kebebasan berpendapat atau beragama,
berekspresi dan berserikat di dalam komunitas mereka sendiri. Bahwa
kebebasan yang dimiliki ahl al-dzimmah adalah berkaitan dengan praktek
keagamaan dan pelaksanaan urusan-urusan pribadi mereka di dalam kerangka
komunitas mereka sendiri.298

Berbeda dengan pendapat di atas adalah yang dikemukakan Soraoush.


Soroush menyatakan bahwa demokrasi bagi dunia Islam di dasarkan pada dua
pilar. Satu di antaranya adalah, bahwa untuk menjadi orang yang benar-benar
beriman, seseorang harus bebas. Keimanan atau keyakinan yang berada di
bawah ancaman atau paksaan adalah bukan keimanan yang benar. Dan apabila
seorang yang beriman secara bebas tunduk dan patuh, bukan berarti bahwa ia
mengorbankan kebebasan. Ia juga tetap memiliki kebebasan untuk
meninggalkan keyakinannya. Sangat kontradiksi apabila pada mulanya ada
kebebasan untuk beriman, tetapi kemudian menghilangkan kebebasan itu.
Kebebasan ini merupakan pilar (basis) demokrasi. Menurut Soroush

297
Ibid. Hlm 70-71
298
Ibid

248
keyakinan dan keinginan dari mayoritas harus membentuk negara Islam yang
ideal. Demokrasi Islam bukan disuntikan dari atas; ia adalah sah apabila
dirubah oleh mayoritas, termasuk orang-orang yang tidak beriman.299

b. Persoalan Kedudukan Perempuan


Keberadaan perempuan dalam kehidupan politik di manapun
memperlihatkan gambaran yang tidak menggembirakan. Ide bahwa politik
bukan wilayah yang diperuntukkan untuk kaum perempuan adalah ide yang
selalu didengungkan selama berabad-abad. Ide yang dibawa oleh faham
demokrasi adalah adanya partisipasi politik yang harus melibatkan semua
warga negara, termasuk kalangan perempuan.300
Quraish Shihab menyatakan, ada sementara ulama yang menjadikan firman
Allah surah An-Nisa (4):34 “Laki-laki adalah pemimpin perempuan…”sebagai
dasar pijakan syari’ah Islam untuk membedakan perlakuan antara warga negara
laki-laki dan perempuan. Berbeda dengan pendapat yang dinyatakan oleh
Quraish Shihab Ia menilai bahwasanya tidak tepat untuk menjadikan ayat 34
surat An-Nisa sebagai dasar pembedaan hak politik antara laki-laki dan
perempuan. Menurutnya pendapat itu bukan saja tidak sejalan dengan ayat
tersebut, tetapi juga tidak sejalan dengan makna sebenarnya yang diamanatkan
oleh ayat tersebut. Ayat ini terutama berbicara mengenai kepemimpinan
seorang suami terhadap seluruh keluarganya dalam urusan rumah
tangga.Kepemimpinan ini pun tidak mencabut hak-hak isteri dalam banyak
segi, seperti pemilikan harta pribadi dan hak pengelolaannya walaupun tanpa
persetujuan suami.301

3. Tentang Kompatibilitas Islam dengan Demokrasi


Dari uraian diatas yang didasarkan kepada Al-Qur’an dan al-Sunnah memang
tidak kompatibel dengan demokrasi. Dalam hal ini yang bisa dilakukan adalah
adanya adaptasi yang parsial terhadap sejumlah ajaran Islam sehingga ia

299
Ibid. Hlm 73
300
Ibid. Hlm 75
301
Ibid. Hlm 76

249
kompatibel dengan demokrasi. Adaptasi parsial bisa dilakukan dengan menelusuri
sejumlah prinsip-prinsip pokok yang ada di dalam Islam yang bisa dijadikan
sebagai ukuran. Dalam kaitan ini akan dikemukakan sejumlah prinsip yang sering
dikemukakan oleh beberapa kalangan ilmuwan Islam. Di antara ilmuwan Muslim
yang menyatakan bahwasanya Islam kompatibel dengan demokrasi adalah Abdul
Karim Soroush. 302

Soroush menyatakan bahwa demokrasi bagi dunia Islam di dasarkan pada dua
pilar. Pertama, untuk menjadi orang yang benar-benar beriman, seseorang harus
bebas. Keimanan atau keyakinan yang berada di bawah ancaman atau paksaan
adalah bukan keimanan yang benar. Dan apabila seorang yang beriman secara
bebas tunduk dan patuh, bukan berarti bahwa ia mengorbankan kebebasan. Ia
juga tetap memiliki kebebasan untuk meninggalkan keyakinannya. Sangat
kontradiksi apabila pada mulanya ada kebebasan untuk beriman, tetapi kemudian
menghilangkan kebebasan itu. Kebebasan ini merupakan pilar (basis) demokrasi.
Kedua, pemahaman umat Islam terhadap dan tentang Islam senantiasa berkembang.
Teks kitab suci tidak berubah dan tidak akan berubah, tetapi penafsiran umat Islam
terhadap teks suci itu senantiasa berkembang, karena pemahaman itu dipengaruhi
oleh masa dan keadaan. Lebih lanjut dikatakannya bahwa tidak ada penafsiran yang
absolut dan bersifat tetap yang berlaku sepanjang waktu dan di setiap tempat. 303

Ilmuwan lain yang berbicara tentang Islam dan demokrasi adalah Rachid al-
Ghannouchi. Ghannouchi merupakan pemikir Islam yang lahir dari situasi yang
berkembang di Tunisia. Berbeda dengan Soroush yang berlatar belakang Syi’ah,
Ghannouchi memiliki latar belakang Sunni. Dalam kaitannya dengan demokrasi ia
menganjurkan suatu ‘sistem yang islami’, yang karakteristiknya adalah
pemerintahan mayoritas, pemilihan yang bebas, kebebasan pers, perlindungan
kepada mayoritas, adanya perlakuan yang sama terhadap semua partai (sekular dan
keagamaan), dan pemenuhan hak-hak kepada kaum wanita. Peran Islam adalah

302
Ibid. Hlm 77
303
Ibid. Hlm 78

250
memberikan suatu sistem dengan nilai-nilai moral.304 Pendapat lain bahwa Islam
kompatibel dengan demokrasi dikemukakan oleh Laith Kubba, direktur
International Forum for Islamic Dialogue yang berkedudukan di London.
Persoalan kompatibilitas Islam dengan demokrasi, menurutnya dapat dilihat dari
berbagai perspektif. Kubba menyatakan bahwa Islam mengajarkan prinsip
kebebasan, menghargai martabat manusia, persamaan di antara manusia,
pemerintahan dengan kontrak, kedaulatan rakyat (popular sovereignity), dan
penegakan hukum.305

C. Kesimpulan
Islam adalah agama. Sebagai agama, Islam diyakini dan dipahami merupakan
seperangkat ketentuan dan aturan (aqidah wa al-syari’ah) yang bersumber dari
Allah Swt. Agama, dalam keseluruhan aspek ajarannya, dimaksudkan untuk
menjadi panduan bagi manusia. Karena ia menjadi panduan bagi kehidupan
manusia, berarti ia juga harus menjadi basis bagi semua atau keseluruhan perilaku
manusia, yang antara lain meliputi perilaku politik, ekonomi, sosial dan seterusnya.
Nilai di dalam agama Islam pada hakikatnya adalah kumpulan dari prinsip-prinsip
hidup, ajaran-ajaran tentang bagaimana seharusnya manusia menjalankan
kehidupannya di dunia ini. Nilai-nilai Islam yang tegas, pasti dan tetap tidak
berubah karena keadaan, tempat dan waktu, adalah nilai yang bersumber kepada
agama.

Di pihak lain dikenal adanya faham tentang ‘demokrasi’ diartikan sebagai


pemerintahan oleh rakyat di mana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan
dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-wakil yang mereka pilih dibawah
sistem pemilihan bebas atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak
dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.

Ketika orang yang mengatakan bahwa Islam sepenuhnya kompatibel dengan


demokrasi, pernyataan itu barangkali tidak melihat keutuhan Islam sebagai agama.
Jika ditelusuri secara lebih saksama dan terperinci akan ditemukan sejumlah ajaran

304
Ibid. Hlm 79
305
Ibid. Hlm 80

251
dan pandangan yang memang tidak sejalan dengan demokrasi. Membandingkan
antara Islam dan demokrasi tidaklah tepat, karena Islam merupakan agama dan
risalah yang mengandung asas-asas yang mengatur ibadah, akhlak, dan muamalah
manusia. Sedangkan demokrasi hanyalah gagasan atau pandangan hidup yang
mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi
semua warga negara.

252
DAFTAR PUSTAKA

Aidul Fitriciada Azhari. Sistem Pengambilan Keputusan Demokratis Menurut


Konstitusi, (Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Ajat Sudrajat. 2011. Khazanah Intelektual Politik Islam. Yogyakarta: True Media
Utama.

Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi III.
Jakarta: Balai Pustaka.

Depdikbud. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Jimly Asshidiqie. 2008. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia: Pasca


Reformasi. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.

Mohammad Daud Ali. 1990. Asas-Asas Hukum Islam (Hukum Islam I): Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.

Mohammad Mahfud MD. 1999. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi. (Yogyakarta:


Gema Media.

Wahbah az-Zuhaili. 2011. Fiqih Islam Wa Adillayuhu: Jilid 8 (terj:Abdul Hayyie


al-Kattani dkk.), cet ke- 1. Jakarta: Gema Insani.

Zakiah Daradjat.1976. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang.

Abdul Jalil. “Kompatibilitas Islam dan Demokrasi: Tantangan dan Hambatan


Demokratisasi Di Dunia Islam”. Jurnal Diklat Teknis Pendidikan dan
Keagamaan. Vol. 8, No. 1, Juni 2020

Ahmad Ali Nurdin. “Kaji Ulang Konsep Hubungan Islam dan Demokrasi”. Jurnal
Review Politik. Vol. 6, No. 1, Juni 2016.

Fauzan Ali Rasyid. “Dasar-Dasar Politik Islam (Upaya Membangun Paradigma


Ilmu Politik Islam)”. Jurnal Adliya, Vol. 8, No. 1, Januari-Juni 2014.

Winengan. “Wacana Intelektual Muslim IndonesiaTentang Kompatibilitas Islam


Dengan Demokrasi”. Jurnal Ulumuna, Vol. 9 No. 2, Juli-Desember 2005.

Zuhraini. “Islam: Negara, Demokrasi, Hukum dan Politik”. Jurnal Studi


Keislaman, Vol. 14, No. 1, Juni 2014.

253
HAM DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN BARAT

Oleh: Huda Kautsar Amin


NIM. 20718251035

A. Pendahuluan
Hak Asasi Manusia merupakan tuntutan yang secara moral bisa dibenarkan,
agar seluruh manusia dapat menikmati dan melaksanakan kebebasan dasar, harta
benda, dan pelayanan mereka yang dipandang perlu untuk mencapai harkat
kemanusiaan. Dalam definisi ini hak asasi manusia tidak hanya sekedar dikaitkan
dengan sesuatu yang secara kaku menjadi kepentingan perorangan. Hak asasi
manusia merupakan suatu prosedur atau cara bertindak yang harus diikuti oleh
lembaga-lembaga pemerintah serta masyarakat dalam hubungannya dengan
kemerdekaan, harta benda dan pelayanan-pelayanan.306

Dengan kata lain, bila hak-hak seseorang diabaikan, maka tidak hanya sistem
perlindungan individu yang dipertaruhkan melainkan juga melibatkan masyarakat
sosial politik secara keseluruhan, dan bahkan bisa meluas dalam skala internasional.
Bila kemerdekaannya dilanggar atau miliknya dirusak secara semena-mena, maka
seluruh manusia harus juga merasa dalam bahaya. Bila dikaji lebih lanjut, hak-hak
dasar dan kebebasan tersebut tentunya harus dilindungi oleh suatu tata aturan atau
kekuatan tersendiri, yang dalam hal ini adalah negara. Hal ini tentu saja akan
menjadi bias, karena kemerdekaan rakyat yang didapat adalah kemerdekaan yang
terbatas pada kemerdekaan orang lain, atau terhadap kekuasaan yang bisa berubah-
ubah. Akan semakin kompleks bila kemudian dihubungkan dengan kebebasan
manusia dalam konteks agama.

Konsep HAM dalam paham barat telah berkembang sejak adanya Magna
Charta tahun 1215 yang merupakan pelegalisasian HAM yang termuat dalam
konstitusi kenegaraan di Inggris hingga pada piagam hak-hak asasi manusia
universal yang dipromosikan PBB tahun 1948. Menanggapi HAM dalam piagam

306
Sydney Hook, Renungan Tentang Hak Asasi Manusia, 1987, hlm. 19.

254
PBB tersebut, sejumlah negara Muslim seperti Sudan, Pakistan, Iran, dan Saudi
Arabia, mengajukan kritik, karena menurut mereka piagam tersebut tidak
memperhatikan konteks budaya dan keagamaan yang terdapat di negara-negara
non-Barat.307

Sementara itu, umat Islam juga meyakini bahwa hak-hak asasi manusia
universal yang telah diwahyukan oleh Allah adalah diperuntukkan untuk semua
tempat dan keadaan. Bagi mereka hak hak asasi manusia universal yang diajarkan
oleh Islam adalah yang paling tua, paling sempurna, dan paling baik. Islam adalah
agama universal yang rahmatan lil alamin. Bahwa perbedaan antara individu satu
dengan individu yang lain ditentukan oleh kualitas ketaqwaannya, adalah batasan
yang sangat qualified. Dalam arti, bahwa Islam tidak membedakan manusia dari
suku, ras, golongan maupun etnik tertentu. Hal ini memunculkan suatu bukti bahwa
Islam sangat menjunjung asas persamaan. Namun, dalam beberapa hal hukum
HAM Islam yang berlaku saat ini masih kurang relevan jika dibandingkan
kehidupan saat ini.

B. Pembahasan
a. Pengertian Hak Asasi Manusia
Secara Kata, Hak Asasi Manusia terdiri dari tiga suku kata yakni hak, asasi dan
manusia. Dari sudut kebahasaan, hak adalah unsur normatif (baku) yang fungsinya
sebagai pedoman berprilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin
adanya peluang bagi manusia untuk menjaga harkat dan martabatnya. Ada beberapa
unsur hak, yaitu pemilik hak,ruang lingkup penerapan hak, dan pihak yang bersedia
dalam penerapan hak.308

Ketiga unsur tersebut menyatu dalam pengertian dasar tentang hak sehingga
dapat diidentifikasi bahwa hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri
setiap manusia. Penerapan unsur normatif tersebut mencakup pada ruang lingkup

307
Ajat Sudrajat. Khazanah Intelektual Politik Islam. (Yogyakarta: True Media
Utama, 2011), hlm 39
308
James W. Nickel, Hak Asasi Manusia; Refleksi Filosofis atas Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia, terj. Titis Eddy Arini (Jakarta: PT. Gramedia Utama, 1996),
hlm. 38

255
hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu
atau dengan kelompok. Secara lebih konkrit, HAM diartikan sebagai suatu hak
moral universal, sesuatu yang semua di manapun terus menerus ingin mempunyai
sesuatu yang tidak seorang pun dapat disingkirkan tanpa menentang keadilan,
sesuatu yang berhubungan dengan tiap-tiap manusia, secara sederhananya karena
ia adalah manusia.309

Menurut Pasal 1 Piagam PBB, salah satu tujuan PBB adalah untuk mencapai
kerja sama internasional dalam mewujudkan dan mendorong penghargaan atas hak-
hak asasi manusia dan kemerdekaan yang mendasar bagi semua orang, tanpa
membedakan suku, bangsa, kelamin, bahasa, maupun agama.

Adapun hakikat HAM adalah upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia


secara utuh melalui aksi keseimbangan yaitu keseimbangan hak dan kewajiban,
serta keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum.
Begitu juga upaya menghormati, melindungi dan menjunjung tinggi HAM, menjadi
kewajiban dan tanggungjawab bersama antara individu, pemerintah baik sipil
maupun militer.

Sesuai dengan uraian tersebut, maka HAM dapat dipahami sebagai hak dasar
utama yang merupakan anugerah bagi manusia sejak dilahirkan sehingga wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Sebab itu, jika terdapat perbuatan seseoarang atau kelompok orang termasuk aparat
negara yang disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan
hukum, mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi
Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, maka
yang demikian disebut dengan pelanggaran HAM.

309
Faisar Ananda Arfa, Teori Hukum Islam Tentang Hak Asasi Manusia
(Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2008), hlm. 18.

256
b. Sejarah Hak Asasi Manusia
Pada umumnya para pakar di Eropa sependapat bahwa lahirnya HAM di
kawasan Eropa dimulai dengan lahirnya Magna Charta tahun 1215 yang antara lain
memuat pandangan bahwa raja yang memiliki kekuasaan absolut (raja yang
menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat dengan hukum yang dibuatnya),
menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat diminta pertanggung jawaban di
muka hukum.310 Artinya, dalam Magna Charta tersebut hak absolutisme raja
dihilangkan.

Sejak lahirnya piagam ini maka dimulai babak baru bagi pelaksanaan HAM
yaitu jika raja melanggar hukum ia harus diadili dan mempertanggungjawabkan
kebijaksanaannya kepada parlemen. Hal ini menunjukkan bahwa sejak itu sudah
mulai dinyatakan bahwa raja terikat dengan hukum dan bertanggungjawab kepada
rakyat, namun kekuasaan membuat undang-undang pada masa itu lebih banyak
berada di tangannya. Dengan demikian, kekuasaan raja mulai dibatasi sebagai
embrio lahirnya monarki konstitusional yang intinya kekuasaan raja sebagai simbol
belaka.

Pasal 21 dari Maghna Charta menggariskan “Earls and barons shall be fined
by their aqual and only in propotion to thes measure of the offence” (Para Pangeran
dan Baron akan dihukum berdasarkan atas kesamaan , dan sesuai dengan
pelanggaaran yang dilakukan) selanjutnya pada pasal 40 ditegaskan lagi “.. No one
will we denny or delay righ or justice” (... tidak seorangpun menghendaki kita
mengingari atau menunda tegaknya hak atau keadilan).311

Lahirnya Maghna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih
konkrit, dengan lahirrnya Bill of Rights di Inggris pada tahun 1689. Bersamaan
dengan peristiwa tersebut timbul adagium yang intinya bahwa manusia sama di
muka bumi (equality before the law). Adagium ini selanjutnya memperkuat

310
A. Masyhur Effendi, Dimensi dan Dinamika HAM dalam Hukum Nasional dan
Internasional (Jakarta: Ghalia, 1994), hlm. 29.
311
Hafniati. “Hak Asasi Manusia dalam”. (Jurnal Al-Adyan, Vol. 13, No. 1, Juli-
Desember, 2018), hlm 264.

257
dorongan timbulnya supremasi negara hukum dan demokrasi. Keadialan Bill of
Rights telah menghasilkan asas persamaan harus diwujudkan, betapapun berat
resiko yang dihadapi, karena hak kebebasan baru dapat diwujudkan bila ada hak
persamaan. Untuk mewujudkan asas persamaan itu maka lahirlah teori “kontrak
sosial” J.J. Rosseau. Setelah itu kemudian disusul oleh Mountesqueu dengan
doktrin trias politikanya yang terkenal yang mengajarkan pemisahan kekuasaan
untuk mencegah tirani. Selanjutnya John Loke di Inggris dan Tomas Jefferson di
Amerika Serikat dengan gagasan tentang hak hak dasar kebebasan dan
persamaan.312

Sejarah hak-hak asasi manusia tumbuh dan dan berkembang pada waktu hak-
hak asasi manusia mulai diperhatikan dan diperjuangkan. Orang pertama yang
memperhatikan hak-hak asasi manusia ini adalah tokoh-tokoh hukum alam dan dari
pakar-pakar hukum alam atau dengan kata lain pakar pemikir dunia yang
memberikan pengaruh besar kepada hak-hak asasi manusia adalah John Locke dan
Rousseou. Kedua tokoh inilah yang memberikan inspirasi kepada revolusi negara-
negara besar untuk mencantumkan di dalam konstitusinya hak-hak asasi manusia.
Untuk pertama kali dengan resmi dalam declaration of independence (Amerika)
tahun 1776 atas jasa seorang seniman yang kemudian menjadi presiden USA
Thomas Jefferson. Kemudian declaration of independence (Amerika) ini menjadi
dasar Konstitusi Negara Amerika itu ditahun 1897. Sejak inilah mulai dipertegas
bahwa manusia sudah merdeka sejak dalam perut ibunya, sehingga tidaklah masuk
akal apabila sesudah lahir ia harus dibelenggu.

Selanjutnya, pada tahun 1789 lahir the french declaration, dimana hak-hak asasi
manusia ditetapkan lebih rinci lagi yang kemudian menghasilkan dasar-dasar
negara hukum atau the rule of law. Dalam dasar-dasar ini antara lain dinyatakan
bahwa tidak boleh terjadi penangkapan dan penahanan yang semena-mena,
termasuk ditangkap tanpa alasan yang sah atau ditahan tanpa surat perintah, yang

312
A. Ubaidillah, Abdul Rozak dkk,Pendidikan Kewarganegaraan (Demokrasi,
HAM & Masyarakat Madani).Penerbit IAIN Jakarta Press : Jakarta, 2000, hlm. hal 208-
209

258
dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Di dalamnya dinyatakan pula asas presumeption
of innocence, yaitu bahwa orang-orang yang ditangkap, kemudian ditahan dan
dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap menyatakan ia bersalah. Selanjutnya dipertegas juga
dengan asas freedom of exspression (kebebasan menganut keyakinan/agama yang
dikehendaki), the Righ of property (perlindungan hak milik), dan hak-hak dasar
lainnya.

Pada mulanya hak asasi manusia terdiri dari hak untuk hidup, hak kemerdekaan
pribadi dan hak milik, sebagaimana dikemukakan oleh John Locke di atas.
Kemudian pada permulaan perang dunia kedua (1941) Presiden Amerika Serikat
Franklin D. Rossevelt menganjurkan untuk mempertahankan hak-hak asasi
manusia dari penginjak-injakan tentara nazi Jerman yaitu sebagai berikut :

1. Hak untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat

2. Hak kemerdekaan agama

3. Hak kebebasan manusia dari ketakutan

4. Hak kebebasan dari kekurangan.

Dalam perkembangan selanjutnya untuk memperjuangkan hak-hak asasi


manusia ini terjadilah penandatanganan pernyataan bersama antara kepala-kepala
negara barat. Tiga tahun setelah itu pada tanggal 10 Desember 1948 lahirlah
Universal Declaration of Human Right. 313

Beberapa hak-hak asasi manusia yang tercantum pada deklarasi PBB tersebuat
adalah :

1. Hak hidup, setiap manusia berhak untuk hidup dan meneruskan kehidupan
dangan keturunannya serta mempertahankan kehidupannya itu dengan bebas
dan wajar.

313
Hafniati, op.cit., hlm 267.

259
2. Hak berpendapat, setiap manusia dalam kalbunya ingin bebas menyatakan
pendapatnya menurut jalan pikiran serta pandangan hidupnya tanpa campur
tangan dan bebas menerima pendapat orang lain tanpa batasan tertentu.

3. Hak memeluk suatu agama, setiap manusia ingin bebas memeluk suatu agama
dan menjalankan ibadahnya sesuai dengan pandangan hidupnya.

4. Hak berserikat dan berkumpul, setiap orang bebas mendapatkan pekerjaan yang
sesuai dengan bakat dan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.

5. Hak mendapatkan pekerjaan, setiap orang bebas mendapatkan pekerjaan yang


sesuai dengan bakat dan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.

6. Hak mendapatkan pendidikan dan pengajaran, setiap orang memerlukan


pendidikan dan pengajaran guna meningkatkan taraf hidupnya.

7. Hak menentukan hari depannya sendiri dan menikmati kehidupan secara wajar
dan bebas. Hari depan setiap manusia tidak dapat dipaksakan kepadanya,
diberiakn kebebasan untuk menikmati kehidupan ini sesuai dengan
keinginannya.

c. Konsep HAM dalam Ideologi Barat


1. Liberal
Liberalisme adalah ideologi yang bertumpu kepada falsafah individualisme,
satu pandangan yang mengedepankan kebebasan orang per orang. Individu
dengan segala kemampuannya diberi kesempatan seluasluasnya
mengaktualisasikan dirinya secara maksimal untuk mengembangkan
potensinya dalam rangka memacu perkembangan kehidupan masyarakat.
Perkembangan yang diharapkan adalah meliputi aspek politik, ekonomi dan
sosial.314

314
A. Masyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) dan
Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM) (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2005), hlm. 17.

260
Berdasarkan uraian di atas dapat dapat dipahami bahwa pandangan politik
individualisme memberi ruang gerak kepada setiap individu untuk berlomba
mengembangkan potensi dirinya dalam rangka kemakmuran masyarakat.
Sedangkan dalam bidang ekonomi, doktrin laissez faire menegaskan bahwa
negara hanya berfungsi memelihara dan mempertahankan keamanan dan
ketertiban dalam masyarakat. Wujud ekonomi dalam liberalisme adalah
kapitalisme yang bertentangan dengan doktrin sosialisme liberal yang muncul
untuk mengurangi kesenjangan ekonomi yang disebabkan doktrin kapitalis
liberal.
Sebagaimana dikutip Effendi dari Maurice Cranston, konsepsi HAM
menurut paham liberal secara formal dapat dibaca dalam deklarasi kemerdekaan
13 negara negara Amerika 1776, ”...we hold these truths to be self-evident; that
all men created equal; that they are endowed by their creator with certain
inalianable rights, liberty and the pursuit of happiness.”315
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa hak asasi manusia merupakan reaksi
keras terhadap sistem pemerintahan, politik, sosial sebelumnya yang absolut.
Pernyataan tersebut sekaligus sebagai perlawanan formal terhadap rezim
totaliter yang berpendapat hanya negara yang berhak mengatur segalanya,
termasuk hak asasi manusia. Dengan demikian, lewat paham liberal hak asasi
manusia diakui, dijunjung tinggi oleh negara dan dilaksanakan oleh pemerintah.
Konsepsi HAM ini tidak terlepas dari kesadaran masyarakat dunia
mengenai pengakuan terhadap adanya hukum alam. Hukum alam menurut
Marcus G. Singer merupakan satu konsep dari prinsip-prinsip umum moral
tentang sistem keadilan dan berlaku untuk seluruh umat manusia dan umumnya
diakui/ diyakini oleh umat manusia sendiri.316 Hukum alam mempunyai ukuran
yang berbeda dengan hukum positif yang berlaku pada suatu masyarakat.
Berdasarkan konsep teori hukum alam, individu mempunyai hak alam yang
tidak dapat dicabut atau dipindahkan.

315
Ibid., hlm. 18.
316
Arfa, Teori Hukum, hlm. 19.

261
2. Sosialis
Dasar ajaran sosialis sebagaimana yang dipahami antara lain adalah
memberi peran negara dalam beragam aktivitas masyarakat, sehingga
kesejahteraan masyarakat tercapai. Dalam kaitan itu, negara selalu ikut campur
dalam semua gerakan sosial terutama dalam bidang perekonomian. Paham ini
bertentangan dengan paham individual liberal. Sedangkan paham komunis yang
dibangun Karl Marx dan dipraktekkan di Uni Soviet (1918-1987) sifatnya
revolusioner. Langkah-langkah keras dijalankan semata-mata untuk mencapai
tujuan negara. Hak perseorangan dihapus secara paksa tanpa memberi
kesempatan kepada warga untuk berbeda pendapat.

Dalam konsep sosialis disebutkan bahwa makna hak asasi manusia tidak
menekankan kepada hak masyarakat, tetapi justeru menekankan kewajiban
terhadap masyarakat. Dengan demikian konsep hak asasi manusia menurut
paham sosialisme bermaksud mendahulukan kesejahteraan daripada kebebasan.
Karena itu, hak asasi bukan bersumber kepada hukum alam, tetapi bersumber
dari penguasa (pemerintah, negara) sehingga kadar dan bobotnya tergantung
kepada kemauan negara.317

d. HAM dalam Perspektif Islam


Konsep HAM dalam pandangan Islam diperkenalkan oleh Nabi Muhammad
SAW dalam khutbah haji perpisahan (khutbat al wada’). Khutbah tersebut
menegaskan penghargaan terhadap kehidupan, harta dan martabat kemanusiaan
(life, property, and dignity). Dalam pidatonya, Nabi Muhammad SAW.
menegaskan bahwa tugas sucinya adalah untuk menyeru manusia kepada jalan
Tuhan Yang Maha Esa dan menghormati apa yang menjadi hak-hak suci sesama
manusia.318

317
A. Masyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) dan
Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM) (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2005), hlm. 17.
318
Nurcholis Madjid, “Hak Asasi Manusia dalam Tinjauan Semangat
Keagamaan” dalam jurnal Islamika No. 6 (Jakarta: 1995), hlm. 85

262
Terdapat perbedaan mendasar antara konsep HAM dalam Islam dan HAM
dalam konsep Barat sebagaimana yang diterima oleh dunia Internasional. HAM
dalam Islam didasarkan pada aktivitas manusia sebagai khalifah Allah di muka
bumi. Sementara dunia Barat percaya bahwa pola tingkah laku hanya ditentukan
oleh hukum-hukum negara atau sejumlah otoritas yang mencukupi untuk
tercapainya aturan-aturan publik yang aman dan perdamaian universal. Perbedaan
lain yang mendasar juga terlihat dari cara memandang HAM itu sendiri. Di Barat
perhatian kepada individu-individu dari pandangan yang bersifat anthroposentris,
di mana manusia merupakan ukuran terhadap gejala sesuatu. Sedangkan dalam
Islam, menganut pandangan yang bersifat theosentris, yaitu Tuhan Yang Maha
Tinggi dan manusia hanya untuk mengabdi kepada-Nya.

Berdasarkan pandangan yang bersifat anthroposentris tersebut maka nilai-nilai


utama dari kebudayan Barat seperti demokrasi, institusi sosial dan kesejahteraan
ekonomi sebagai perangkat yang mendukung tegaknya HAM itu berorientasi
kepada penghargaan terhadap manusia. Berbeda keadaannya pada dunia Islam yang
bersifat theosentris, larangan dan perintah lebih didasarkan atas ajaran Islam yang
bersumber dari Al-Quran dan Hadis. Al-Quran menjadi transformasi dari kualitas
kesadaran manusia. Manusia diperintahkan untuk hidup dan bekerja dengan
kesadaran penuh bahwa ia harus menunjukkan kepatuhannya kepada kehendak
Allah. Oleh karena itu mengakui hak-hak antar manusia adalah sebuah kewajiban
dalam rangka kepatuhan kepada-Nya.

Dalam perspektif Barat manusia ditempakan dalam suatu tempat di mana


hubungannya dengan Tuhan sama sekali tidak disebut. Hak asasi manusia dinilai
hanya sebagai perolehan alamiah sejak kelahiran. Sementara HAM dalam
perspektif Islam dianggap dan diyakini sebagai anugerah dari Tuhan dan oleh
karenanya setiap individu akan merasa bertanggung jawab kepada Tuhan. Dengan
demikian, penegakan HAM dalam Islam tidak hanya didasarkan kepada aturan-
aturan yang bersifat legal-formal saja tetapi juga kepada hukum-hukum moral dan
akhlaqul karimah.

263
Menurut An-Naim, kesulitan utama yang dihadapi hukum Islam ketika
berhadapan dengan isu-isu hak-hak asasi manusia universal adalah adanya
kerangka acuan (frame of referenced) yang telah dimilikinya. Meskipun demikian,
hukum Islam pada substansinya sejalan dengan norma-norma legal hak-hak asasi
manusia universal, sehingga dapat sejalan dengan berbagai kebutuhan masyarakat
kontemporer dan standar-standar hukum internasional. Hukum publik di negara-
negara Muslim harus tetap didasarkan pada hukum Islam karena sekulerisme tidak
mempunyai legitimasi dalam Islam.319

Al-Qur’an pada mulanya diwahyukan sebagai respon terhadap situasi


masyarakat saat itu, yang kemudian tumbuh dan berkembang lebih luas lagi.
Hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an itu pun, masih ada yang
memerlukan penafsiran dan mempunyai potensi untuk berkembang. Jika pada masa
Rasulullah SAW, dalam memahami ayat-ayat semacam itu, penjelasan diberikan
langsung oleh beliau dengan sunnahnya. Akan tetapi, pada masa berikutnya, ketika
beliau sudah wafat dan masyarakat Islam mengalami perkembangan pesat, serta
wilayah kekuasaan Islam semakin luas, penjelasan itu dilakukan oleh para
sahabat.320

Menghadapi isu-isu hak asasi manusia universal, An-Naim menekankan


pentingnya penalaran dalam menafsirkan sumber-sumber ajaran Islam. Dalam hal
ini, dengan menggunakan prinsip evolusioner Mahmoud Muhamed Taha, ia
terlebih dahulu membagi al-Quran ke dalam dua corak pesan yang berbeda secara
kualitatif. Pertama adalah teks-teks al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad di Makkah. Teks-teks al-Quran di kota tersebut menurutnya
mengandung esensi universalisme Islam dan mempunyai kandungan makna yang
abadi, seperti misalnya tentang persaudaraan, koeksistensi damai, kesetaraan antar
jenis kelamin dan kebebasan beragama. Sementara itu, teks-teks al-Quran yang
diwahyukan di Madinah mengandung gagasan dan ajaran yang di dalamnya berisi

319
Ajat Sudrajat, op.cit., hlm 40.
320
Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam. (Bandung: Rosdakarya,
2001), hlm. 4.

264
pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan individu, termasuk diskriminasi
terhadap perempuan dan non- Muslim.321

e. Prinsip Resiprositas dan Interpretasi Evolusioner


Tujuan dari prinsip resiprositas adalah mencoba mencapai taksiran yang paling
dekat untuk menempatkan dirinya dalam posisi orang lain. Penerapan prinsip ini
haruslah bersifat saling menguntungkan, artinya ketika seseorang
mengidentifikasikan orang lain, maka seseorang hendaknya menggunakan prinsip
timbal balik yang sama. Dalam hal ini kriteria yang dikedepankan dalam
mengidentifikasi hak-hak asasi manusia universal adalah bahwa hak-hak itu
diberikan atas dasar kemanusiaan. Dengan demikian, ketika hak-hak asasi manusia
universal itu diklaim oleh suatu tradisi untuk anggota-anggotanya, maka dengan
sendirinya tradisi tersebut harus mengakui anggota-anggota dari tradisi lain.322

Selain mendasarkan pada prinsip resiprositas, An-Naim juga mendasarkan


pemikirannya pada dua kekuatan utama yang memotivasi seluruh tingkah laku
manusia, yaitu kehendak untuk hidup dan kehendak untuk bebas. Kehendak untuk
hidup artinya manusia selalu usaha keras untuk menjamin kebutuhan makan,
perumahan, dan kesehatannya, serta apa saja yang berkaitan dengan kelangsungan
hidupnya. Pada saat yang sama, manusia juga berusaha keras untuk memperbaiki
kualitas hidupnya melalui perjuangan politik untuk mencapai distribusi
kesejahteraan dan kekuasaan dengan adil dan jujur. Pada tahap tertentu, antara
kedua kehendak ini bisa tumpang tindih, tetapi pada tahap yang lain kehendak untuk
bebas dapat melampuai kehendak untuk hidup. Hal ini dikarenakan kehendak untuk
bebas merupakan kekuatan yang menggerakkan kehendak untuk hidup.323

Menurut An-Naim, agar penerapan prinsip resiprositas ini dapat menopang hak-
hak asasi manusia universal, maka harus dilakukan penafsiran secara cerdas, yaitu
suatu penafsiran yang akan mencakup pihak lain dari seluruh umat manusia dengan
mengabai kan jenis kelamin, agama, ras, atau bahasa. Untuk itu, menurutnya ada

321
Ajat Sudrajat, op.cit., hlm 41.
322
Ibid, hlm 41.
323
Ibid, hlm 42.

265
dua kondisi yang harus dipenuhi. Pertama, penafsiran yang berkaitan dengan pihak
lain haruslah valid dan dapat dipercaya dari sudut pandang Islam. Kedua, tradisi-
tradisi budaya yang lain secara bersamaan harus pula menjalankan proses
penafsiran yang serupa.

Dalam rangka melakukan penafsiran yang valid dan dapat dipercaya dari sudut
pandang Islam, digunakan prinsip evolusioner untuk meraih inisiatif kreatifnya.
Islam diyakini sebagai agama yang universal tidak terbatas pada ruang dan waktu
tertentu. Al-Quran sendiri menyatakan bahwa ajaran Islam berlaku untuk seluruh
umat manusia. Oleh karena itu Islam seharusnya dapat diterima oleh setiap
manusia. Karena agama Islam itu sendiri dapat berhadapan dengan masyarakat
modern, sebagaimana ia dapat berhadapan dengan tantangan modernitas, dan
agama Islam dituntut dapat menghadapi tantangan moderenitas perlu dijelaskan
tentang sifat dan ajaran Islam324

Muhammad Taha membedakan antara term Islam dan syariah. Menurutnya,


Islam adalah sebuah ketundukan dan kepasrahan secara total dan meyakini Allah
sebagai Tuhan. Adapun syariah bukanlah Islam itu sendiri melainkan hanyalah
interpretasi terhadap teks/nash yang dipahami melalui konteks historis tertentu.
Konsekuensi logis dari pemahaman tersebut adalah suatu kesalahan besar jika
menerapkan syariah yang berlaku di abad ke tujuh ke abad ke dua puluh karena
adanya perbedaan tingkat yang cukup tajam antara abad ke tujuh dan abad ke dua
puluh.325

Teori evolusioner Mahmoud Muhamed Taha menyarankan agar dilakukan


pengujian secara terbuka terhadap teks teks Al-Quran dan Sunnah yang melahirkan
dua tingkat atau tahap risalah Islam, yaitu periode Makkah dan Madinah. Pesan
Makkah menurutnya merupakan pesan Islam yang abadi dan fundamental, yang
menekankan martabat yang inheren pada seluruh umat manusia, tanpa
membedakan jenis kelamin (gender), keyakinan keagamaan, ras, dan lain-lain.

324
Mohamed Taha, The Second Message of Islam. (New York: Syracuse
University Press.1987), hlm. 5.
325
Ibid, hlm. 6.

266
Pesan itu ditandai dengan persamaan antara laki-laki dan perempuan dan kebebasan
penuh untuk memilih dalam beragama dan keimanan.326

Ketika pesan universal yang terkandung pada teks-teks yang turun di Makkah
belum bisa diterima dan dilaksanakan, maka pesan yang lebih realistik diberikan
dan diturunkan di Madinah. Dengan demikian, pesan-pesan universal periode
Makkah yang belum siap dilaksanakan tersebut, ditunda dan diganti dengan prinsip-
prinsip yang lebih praktis yang diwahyukan dan diterapkan di Madinah. Namun
demikian, menurut Mahmoud Muhamed Taha, bahwa aspek aspek pesan universal
Makkah yang ditunda tersebut tidak akan pernah hilang sebagai sebuah sumber
hukum. Pesan-pesan tersebut hanya ditangguhkan pelaksanaannya, menunggu
waktu yang tepat.327

Menurut Mahmod Muhamed Taha selanjutnya, perbedaan teks teks al-Quran


Makkah dan Madinah bukan karena persoalan waktu dan tempat, melainkan
sebenarnya karena perbedaan kelompok sasaran. Implikasi utama dari penegasan
ini terhadap masa sekarang adalah bahwa hukum publik Islam selama ini lebih
didasarkan pada teks-teks al-Quran dan Sunnah ada masa Madinah dari pada
Makkah. Dengan memperhatikan isu hak-hak asasi manusia universal yang
menyangkut diskriminasi atas dasar gender dan agama, An-Naim menggunakan
teori evolusioner Mahmoud Muhamed Taha, untuk memberikan jawabannya.
Dengan kata lain, An-Naim mengusulkan evolusi basis hukum Islam dari teks-teks
Madinah ke teks-teks masa Makkah. Prinsip interpretasi evolusioner yang
dimaksudkan adalah membalikkan proses penghapusan hukum suatu teks (naskh)
sehingga teks-teks yang dihapus pada masa lalu dapat digunakan dalam hukum
Islam sekarang. Ketika usulan ini diterima sebagai basis hukum Islam modern,
maka keseluruhan produk hukumnya akan sama Islaminya dengan hukum Islam
yang ada selama ini.328

326
Ajat Sudrajat, op.cit., hlm 43.
327
Ibid., hlm 43.
328
Ibid, hlm 44.

267
f. Rekonsiliasi Syariah dari Hak-Hak Asasi Manusia
Dalam rangka membangun hubungan yang universal, hukum Islam
mendapatkan tantangan isu-isu besar. Isu-isu besar itu antara lain berkaitan dengan
masalah perbudakan dan diskriminasi, yaitu diskriminasi atas dasar jenis kelamin
dan agama. Dalam mengatasi problem tersebut, berangkat dari prinsip resiprositas
dan kehendak untuk hidup bebas, An-Naim menggunakan metode rekonsiliasi.
Metode ini memberi kemungkinan bagi dilakukannya penggantian aspek-aspek
syariah yang tidak berlaku dan kuno dengan prinsip-prinsip hukum Islam yang
modern dan manusiawi. Dalam hal ini An-Naim menggunakan pendekatan
evolusioner yang diusulkan oleh Mahmoud Muhamed Toha.329

Menurut An-Naim, selama masa-masa pembentukan syariah (dan paling tidak


selama seribu tahun), konsepsi hak-hak asasi manusia universal belumlah dikenal.
Sesuai dengan konteks historis tersebut, adanya perbudakan adalah sah menurut
hukum. Selain itu, sampai abad ke-20, adalah normal di seluruh dunia untuk
menentukan status dan hak-hak seseorang berdasarkan agama. Sejalan dengan itu,
sampai abad ke-20 pun perempuan secara normal tidak diakui sebagai pribadi yang
mampu menggunakan hak-hak dan kapasitas hukum yang sebanding dengan yang
dinikmati oleh laki-laki. Dilihat dari konteks historis, pandangan hukum Islam yang
membatasi hak-hak asasi manusia universal dengan demikian dapat dibenarkan.
Sesuai dengan konteks historis pula, maka hukum Islam sebagai sistem hukum yang
praktis tidak dapat mengesampingkan konsepsi hak-hak asasi manusia universal
jika harus diterapkan pada masa sekarang.

Menurut An-Naim, pendekatan yang efektif untuk mencapai pembaruan hukum


Islam yang memadai dalam kaitannya dengan hak-hak asasi manusia universal
adalah dengan mengidentifikasi teks-teks al-Quran dan Sunnah yang tidak sesuai
dengan hak-hak asasi manusia universal dan kemudian menjelaskannya dalam
konteks historis. Pada saat yang bersamaan dicari pula teks-teks yang mendukung
hak-hak asasi manusia universal sebagai basis prinsip-prinsip dan aturan-aturan
hukum Islam yang secara sah dapat diterapkan sekarang.18 Dalam hal ini, An-Naim

329
Ibid, hlm. 45.

268
menyarankan dilakukannya revisi atas hukum-hukum Islam, tentu saja dari sudut
pandang Islam, untuk memelihara hak-hak asasi manusia universal. An-Naim tetap
mengingatkan bahwa pembaruan yang dituju haruslah mementingkan keabsahan
Islaminya. Menurut An-Naim, ada tiga isu yang merupakan problem fundamental
yang dihadapi hukum Islam, yaitu masalah perbudakan, diskriminasi atas dasar
gender dan agama.330

g. Deskriminasi Gender dalam Agama Islam


Salah satu tema utama dan sekaligus menjadi prinsip pokok dalam ajaran
agama Islam adalah persamaan antara manusia tanpa mendiskriminasikan
perbedaan jenis kelamin, negara, bangsa, suku dan keturunan, semuanya berada
dalam posisi sejajar. Perbedaan yang digarisbawahi dan kemudian dapat
meninggikan atau merendahkan kualitas seseorang hanyalah nilai pengabdian dan
ketaqwaan kepada Allah.

Tuhan menciptakan manusia, baik laki-laki dan perempuan, dalam prinsip


hubungan kemitraan. Demikian juga dalam konteks keluarga, hubungan suami-
istri, mereka diciptakan untuk saling melindungi, dan diibaratkan seperti pakaian.
Dan dalam beberapa ayat Al-Quran diungkapkan bahwa hak dan tanggung jawab
sebagai manusia adalah sama dan tidak dibedakan, baik laki-laki dan perempuan,
di hadapan Allah, di antara sesama manusia, maupun dalam keluarga. Dari
beberapa ayat itu jelas bahwa Islam menunjunjung tinggi keadilan, kesejajaran, dan
menolak segala diskriminasi atas jenis kelamin. Islam menempatkan perempuan
sama dengan laki-laki, yang diukur menurut Allah hanyalah tingkat kualitas
taqwa.331

Sejarah telah memberikan diskripsi yang nyata, bahwa sejak lima belas abad
yang lampau, Islam telah menghapuskan diskriminasi berdasarkan kelamin.
Bahkan jika terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan akibat fungsi dan
perannya, maka perbedaan tersebut tidak harus menjadi harga mati untuk saling

330
Ibid, hlm. 46.
331
Yusuf Wibisono, “Konsep Kesetaraan Gender dalam Perspektif Islam” dalam
jurnal Al Mabsut, vol 6. No.1, 2013) hlm. 9.

269
menunjukkan superioritasnya. Islam bahkan menganjurkan untuk saling
membantu, melengkapi, dan melindungi.

Selama ini berkembang pola pikir yang membentuk pandangan stereotipe


tentang perempuan. Pandangan ini kemudian memunculkan rumusan sepihak
mengenai bagaimana hakekat menjadi perempuan yang sebenarnya. Pada giliranya
hal ini membentuk tingkah laku dan sikap perempuan yang diterjemahkan menjadi
kodrat perempuan yang tak dapat diubah. Pola pikir itu demikian kuatnya dibentuk
dan menjadi semacam ajaran agama yang berkembang subur dalam masyarakat
sampai kini. Pandangan semacam ini justru seringkali diperkuat oleh pemahaman
ajaran agama, baik bersumber dari Al-Qur’an maupun Hadis.

Dalam tradisi Arab pra-Islam, pemikiran masyarakat dipengaruhi oleh


dominasi doktrin Fir’aun yang memandang perempuan sebagai makhluk hina.
Paham ini cukup mempengaruhi pemahaman masyarakat sehingga dalam setiap
kelahiran perempuan dianggap aib yang sangat memalukan, maka untuk
menghilangkan aib, anak perempuan yang lahir harus dibunuh, yang lebih tragis
lagi, mereka dibunuh hidup-hidup. Doktrin ini dipengaruhi oleh masyarakat Arab
yang menganut budaya patriarki, yang meletakkan laki-laki pada peran dominan
dalam berbagai sektor, terutama sektor publik.332

Dalam hal ini al-Qur’an menggambarkannya dalam surah An-Nahl: 58-59:

Tatkala diberitakan kepada seseorang di antara mereka tentang kelahiran


anak perempuan, wajahnya cemberut menahan sedih. Ia bersembunyi dari
orang banyak, disebabkan buruknya berita yang diterimanya; boleh jadi ia
akan memeliharanya dengan penuh hina atau menguburkannya (hidup-
hidup) ke dalam tanah‛.

Dalam ketimpangan tersebut Islam datang membawa pesan moral


kemanusiaan sebagai konsekuensi tujuannya untuk memberikan rahmat terhadap
seluruh alam, ‚rahmatan lil alamin‛. Islam tidak hanya mengajak manusia

332
Ibid, hlm. 10.

270
melepaskan diri dari belenggu dan tirani kemanusiaan, tapi lebih jauh lagi,
mengajak membebaskan diri dari belenggu ketuhanan yang poleteis menuju
kebebasan dengan satu Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini eksplisit dalam kalimah
persaksian ketika kita memasuki agama Islam: “Aku bersaksi tiada Tuhan selain
Allah dan Muhammad SAW utusan Allah”.

Tapi visi dan misi kesetaraan yang demikian tingginya dalam Islam, tidak
terwujud secara menyeluruh dalam kehidupan nyata. Diakui atau tidak, Islam dalam
realitas sejarahnya juga turut memberikan kontribusi terhadap kelanggengan
struktur sosial bias jender lewat teks-teks tafsir yang cenderung mensubordinasikan
perempuan. Hal inilah yang banyak dikritik oleh kalangan aktivis dan intelektual
yang memperjuangkan hak-hak perempuan baik dari kalangan Islam maupun non-
Islam. Bagi mereka, Islam identik dengan jargon-jargon perlawanan terhadap
segala upaya pemberdayaan perempuan.

Dalam perdebatan gender ini ada hal-hal yang masih dapat diupayakan hukum
HAM dalam Islam untuk menyesuaikan dengan zaman. Contoh praktik
diskriminasi atas perempuan antara lain:

1. Laki-laki Muslim dapat menikahi hingga empat perempuan dalam waktu yang
sama, tetapi perempuan Muslim hanya dapat nikah dengan seorang laki-laki.

2. Seorang laki-laki Muslim dapat menceraikan isterinya dengan meninggalkan


begitu saja tanpa akad talaq, sebaliknya seorang perempuan Muslim baru dapat
bercerai apabila ada kerelaan dari suaminya.

3. Dalam soal pewarisan, seorang perempuan Muslim menerima bagian lebih


sedikit dari bagian laki-laki Muslim, padahal keduanya memiliki posisi yang
sama dalam hubungannya dengan orang yang meninggal.

4. Seorang laki-laki Muslim boleh menikahi perempuan Kristen atau Yahudi, tetapi
seorang laki-laki Kristen atau Yahudi tidak boleh menikahi perempuan Muslim.
Baik laki-laki maupun perempuan Muslim tidak boleh menikahi orang-orang
kfir.

271
5. Perbedaan agama adalah penghalang dari seluruh pewarisan. Oleh karena itu
seorang Muslim tidak akan menerima bagian warisan dari non-Muslim, atau
mewariskan hartanya kepada non Muslim.

Menurut An-Naim dalam hal ini masyarakat dapat melihat kecukupan historis
berbagai pembenaran yang dapat ditawarkan berkaitan dengan persoalan
diskriminasi di atas, dilihat dari sudut pandang ekonomi maupun politik. Akan
tetapi bagi An-Naim, dengan mengabaikan berbagai perbedaan tentang kecukupan
pembenaran pembenaran historis, berbagai masalah diskriminasi terhadap
perempuan di bawah payung hukum Islam tidak lagi dapat dibenarkan.
Diskriminasi atas dasar gender di bawah payung hukum Islam tersebut jelas
melanggar penegakkan hak-hak asasi manusia universal. Diskrimasi yang
mendasarkan baik gender maupun agama secara moral dan politik tidak dapat
diterima.333

Menurut An-Naim, jika hukum Islam tidak segera digeser dari teks-teks al-
Quran dan Sunnah periode Madinah, yang merupakan dasar konstruksinya, maka
hukum Islam lah yang paling bertanggung jawab terhadap pelanggaran yang
mencolok dan serius akan hak asasi manusia universal. Sepanjang masih tetap
menggunakan kerangka hukum Islam yang lama, maka hukum Islam tidak punya
kesempatan lagi untuk mengeliminasi seluruh diskrimiansi terhadap perempuan
dan non-Muslim. Pembaruan harus segera dilakukan dengan cara memadukan teks-
teks periode Madinah yang bersifat transisional dengan periode Makkah yang
bersifat universal. Untuk memenuhi kebutuhan vital masyarakat global dewasa ini,
yaitu prinsip hidup berdampingan secara damai, umat Islam harus menekankan
pesan-pesan abadi solidaritas universal pesan Makkah daripada semangat
solidaritas Muslim eksklusif pesan-pesan transisional Madinah.

Dengan menggunakan dan menerapkan prinsip evolusioner yang diajukan oleh


Mahmoud Muhammed Taha, teks-teks al-Quran yang menekankan solidaritas
eksklusif di Madinah, untuk memenuhi kebutuhan vital hidup berdampingan secara

333
Ajat Sudrajat, op.cit., hlm 48.

272
damai sekarang ini, umat Islam harus menggantikannya dengan pesan-pesan
solidaritas universal periode Makkah. Demikian juga dengan kandungan surat al-
Nisa ayat 34, karena ketergantungan perempuan terhadap laki-laki tidak ada lagi,
maka perwalian laki-laki atas perempuan pun harus dihapuskan. Baik laki-laki
maupun perempuan sekarang memiliki kebebasan dan tanggung jawab yang sama
di depan hukum, yang menjamin kesempatan ekonomi dan keamanan bagi seluruh
anggota masyarakat.334

Penerapan prinsip interpretasi evolusioner juga akan menghapus kemungkinan


larangan perkawinan antara perempuan Muslim dengan laki-laki non-Muslim, atas
dasar asumsi bahwa seorang isteri lebih rentan terhadap pengaruh suaminya.
Dengan kata lain, jika perkawinan itu berlangsung, maka akan lebih mungkin
bahwa suami non-Muslim akan mempengaruhi isteri Muslimnya keluar dari Islam,
dari pada si isteri tersebut dapat membawa suaminya ke dalam Islam. Menurut An-
Naim, alasan ini adalah bagian dari fenomena sosiologis yang lebih luas, yaitu
kelemahan kepercayaan diri dan integritas dalam diri perempuan. Oleh karena itu,
pendidikan dan upaya lain dibutuhkan untuk menghapuskan fenomena sosiologis
ini dan seluruh berbagai manifestasinya. Tugas ini dapat dimulai dengan
mengganti, melalui penerapan prinsip evolusioner Mahmoud Mohamed Taha,
seluruh aspek hukum yang mendiskriminasi terhadap perempuan, dengan jalan
mendorong dan menopang suatu pandangan positif terhadap perempuan.335

C. Kesimpulan
Terdapat perbedaan mendasar antara konsep HAM dalam Islam dan HAM
dalam konsep Barat sebagaimana yang diterima oleh dunia Internasional. HAM
dalam Islam didasarkan pada aktivitas manusia sebagai khalifah Allah di muka
bumi. Sementara dunia Barat percaya bahwa pola tingkah laku hanya ditentukan
oleh hukum-hukum negara atau sejumlah otoritas yang mencukupi untuk
tercapainya aturan-aturan publik yang aman dan perdamaian universal. Perbedaan

334
Ibid, hlm. 49.
335
Ibid, hlm. 50.

273
lain yang mendasar juga terlihat dari cara memandang HAM itu sendiri. Di Barat
perhatian kepada individu-individu dari pandangan yang bersifat anthroposentris,
di mana manusia merupakan ukuran terhadap gejala sesuatu. Sedangkan dalam
Islam, menganut pandangan yang bersifat theosentris, yaitu Tuhan Yang Maha
Tinggi dan manusia hanya untuk mengabdi kepada-Nya.
Penghadapan antara hukum Islam dan hak-hak asasi manusia universal
memang telah melahirkan persoalan sendiri bagi umat Islam. Sangat wajar apabila
kemudian muncul wacana yang beragam dalam meresponnya. Menurut An-Naim
pembaruan hukum Islam yang berkaitan dengan persoalan diskriminasi harus
berpijak pada prinsip resiprositas. Apabila selama ini hukum Islam tidak
kompatibel dengan hak-hak asasi manusia universal, itu disebabkan karena hukum-
hukum tersebut didasarkan pada teks-teks Madinah yang bersifat transisional dan
eksklusif. Oleh karena itu, dengan menggunakan teori evolusioner, sudah saatnya
sekarang ini hukum Islam mengambil dasar pijakan hukumnya pada teks-teks
Makkah yang bersifat universal. Dengan demikian, produk hukum Islam yang
dilahirkannya tentu akan tetap sama Islaminya dengan hukum-hukum yang
sebelummnya.

274
DAFTAR PUSTAKA

A. Masyhur Effendi. 1994. Dimensi dan Dinamika HAM dalam Hukum Nasional
dan Internasional. Jakarta: Ghalia.

A. Masyhur Effendi. 2005. Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) dan
Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM).
Bogor: Ghalia Indonesia.

A.Ubaidillah, Abdul Rozak dkk. 2000. Pendidikan Kewarganegaraan (Demokrasi,


HAM & Masyarakat Madani). Penerbit IAIN Jakarta Press : Jakarta.

Ajat Sudrajat. 2011. Khazanah Intelektual Politik Islam. Yogyakarta: True Media
Utama.

An-Na’im Abdullahi Ahmed. 2001, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmad Suaedy


dan Amiruddin ar-Rany, Yogyakarta : LKIS.

Faisar Ananda Arfa. 2008. Teori Hukum Islam Tentang Hak Asasi Manusia.
Bandung: Citapustaka Media Perintis.

James W. Nickel. 1996. Hak Asasi Manusia: Refleksi Filosofis atas Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia, terj. Titis Eddy Arini. Jakarta: PT.
Gramedia Utama.

Lahmuddin Nasution. 2001. Pembaruan Hukum Islam. Bandung: Rosdakarya.


Mahmoud Mohamed Taha. 1987. The Second Message of Islam. New
York: Syracuse University Press.

Sidney Hook. 1987, “Renungan Tentang Hak Asasi Manusia”, dalam Harun
Nasution dan Bahtiar Effendy ( peny.), Hak Asasi Manusia Dalam Islam.

Hafniati. “Hak Asasi Manusia dalam”. Jurnal Al-Adyan, Vol. 13, No. 1, Juli-
Desember, 2018.

Nurcholis Madjid, “Hak Asasi Manusia dalam Tinjauan Semangat Keagamaan”


dalam jurnal Islamika No. 6, Jakarta: 1995.

Yusuf Wibisono, “Konsep Kesetaraan Gender dalam Perspektif Islam” dalam


jurnal Al Mabsut, Vol. 6. No. 1, 2013.

275
SOSIALISME dan ISLAM: PRESPEKTIF TJOKROAMINOTO

Oleh: Yazra Mohammad


NIM. 20718251025

A. Pendahuluan

Awal abad ke-20 di Hindia Belanda, bermunculan para pemikir dan penggerak
dari kalangan pribumi yang sangat memperhatikan kehidupan rakyat kecil yang
pada saat itu tata nasib nya mengalami ketimpangan. Salah satunya adalah H.O.S.
Tjokroaminoto. H.O.S Tjokroaminoto dikenal sebagai seorang reformis, politikus,
ekonomi Islam yang sangat berpengaruh di abad ke 20. Pemikirannya mengenai hal
tersebut memiliki pandangan tentang persoalan bangsa.

Haji Oemar Said Tjokroaminoto lahir di desa Bakur pada tanggal 16 Agustus
1882, beliau termasuk salah satu tokoh yang sangat berperan dalam
memperjuangkan bangsa dan agama dari penindasan kolonial Belanda, sehingga
beliau di beri anugerah atau penghargaan oleh pemerintah sebagai pahlawan
nasional. Di dalam tubuh Tjokroaminoto mengalir darah kyai dan priyayi,
bangsawan budi dan bangsawan darah sekaligus. Karenanya, dalam perkembangan
jalan hidupnya di kemudian hari kedua unsur tersebut sangat mempengaruhinya.
Oleh Soekarno beliau diakui sebagai gurunya. Sedangkan oleh penjajah Belanda ia
disebut sebagai De Ongekronnde Koning van Java (raja Jawa yang tak
dinobatkan).336

Tjokroaminoto tidak dapat dilepaskan dari dinamika organisasi Syarikat Islam


(SI) yang kemudian berubah menjadi Partai Sarikat Islam (PSI) dan Partai Syarikat
Islam Indonesia (PSII). Tjokroaminoto merupakan Ketua Syarikat Islam dan
menjadi pemimpin PSI dan PSII hingga akhir hayatnya. Besarnya pengaruh
Tjokroaminoto dalam SI dapat terlihat dari bagaimana kader-kader partai tersebut
memperlakukannya sebagai tokoh kharismatik yang amat dihormati dan diidolakan

336
Sobagjo, Harsono Tjokroaminoto Mengikuti Jejak Sang Ayah, Jakarta: Gunung
Agung, 1985, hlm. 1.

276
kaum partai. Penghormatan terlihat dengan gelar yang digunakan dalam partainya
yaitu ‘Yang Utama H.O.S. Tjokroaminoto’, dan juga diciptakan lagu khusus
‘Hymne H.O.S. Tjokroaminoto’ yang dinyanyikan pada acara-acara resmi partai.
Bahkan di sebagian kalangan masyarakat Tjokroaminoto dianggap sebagai ratu adil
yang membawa kebenaran dan memimpin jalan ke surga.337 Sebagai seorang tokoh
pergerakan yang juga merupakan tokoh Islam politik, salah satu pemikiran
Tjokroaminoto yang memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan SI, PSI
dan PSII secara khusus dan terhadap pemikiran politik Islam Indonesia secara
umum adalah pemikiran politiknya tentang sosialisme Islam. Tjokroaminoto
meletakkan dasar pemikiran politik yang menghubungkan antara ajaran Islam dan
pemikiran sosialisme di Indonesia.

Makalah ini akan mencoba menelaah perspektif politik H.O.S. Tjokroaminoto


tentang sosialisme Islam. Telaah perspektif Tjokroaminoto tersebut dilakukan
dengan maksud memberikan penjelasan bagaimana pemikiran sosialisme Islam di
Indonesia terutama yang dipengaruhi oleh pemikiran Tjokroaminoto.

B. Pembahasan
1. Riwayat hidup HOS Tjokroaminoto
HOS Tjokroaminoto lahir pada tanggal 16 Agustus 1882 yang menurut cerita
bertepatan dengan meletusnya gunung Krakatau, sehingga dikemudian hari, ia lebih
dimitoskan oleh pengikutnya. Ia mempunyai nama asli Raden Mas Haji Oemar Said
(HOS). Tjokroaminoto adalah anak kedua dari Raden Mas Tjokroamisono, seorang
Wedana di Kleco, Madiun. Kakeknya adalah Raden Mas Cokronegoro, Bupati
Ponorogo. RM. Cokronegoro ini anak dari Kiai Bagus Kasan Besari, pengasuh
Pondok Pesantren di Tegalsari Ponorogo yang beristerikan seorang putri dari Sri
Susuhunan Pakubuwono III Surakarta.338 Oleh karena itu, dalam tubuh HOS
Tjokroaminoto bersatu darah ningrat dan kiai.

337
Niel. Munculnya Elit Modern Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya, 2009. hlm 158
338
Amelz, HOS. Cokroaminoto Hidup Dan Perjuangannya. Jakarta: Bulan
Bintang, hlm. 40-50

277
Sebagai seorang keturunan ningrat H.O.S Tjokroaminoto terbiasa hidup dalam
suasana ke Islaman dengan tetap memperoleh pendidikan model Barat. H.O.S.
Tjokroaminoto pula di kenal kawan-kawannya karena kenakalannya. Tetapi yang
paling menarik dari seorang H.O.S Tjokroaminoto adalah sejak kecil memiliki sifat
merakyat. Meskipun terlahir dari keluarga bangsawan tetapi beliau tidak membeda-
bedakan kawan-kawan sepermainannya.339
Pada masa kecilnya, HOS Tjokroaminoto terkenal anak yang nakal dan suka
berkelahi. Akan tetapi, di balik itu, ia suka dan berani membela kebenaran. Ia
terhitung anak yang disegani dan sekaligus dicintai oleh kawan-kawan sebaya dan
sepermainannya. Sebagai akibat dari kenakalannya, sekolahnya sering berpindah-
pindah. Meskipun demikian, berkat kecerdasannya di sekolah, tak tanggung-
tanggung para guru memberikan penghargaan karena mendapat persetasi yang luar
biasa, bahkan dapat masuk dan menyelesaikan studinya selama 5 tahun di
Opleideng School Voor Inlandsche Ambtenaran (OSVIA), yaitu sekolah calon
Pegawai Pangreh Praja di Magelang pada tahun 1902, sekolah ini tidak hanya
diperuntukkan bagi kalangan priyayi, juga bisa kalangan pribumi.340
Pada tahun 1905, H.O.S Tjokroaminoto bekerja sebagai kuli di pelabuhan
Semarang untuk menyambung hidup. Pekerjaan yang baru ini dirasakan sangat
berat oleh H.O.S Tjokroaminoto, pengalaman ini mendorong dirinya untuk
memperhatikan kehidupan kaum buruh baik di pelabuhan, kereta api, pengadilan,
maupun perkebunan.10341 Menjalani pekerjaan-pekerjaan yang yang rendah dan
dilakukan oleh masyarakat, membuat H.O.S Tjokroaminoto menjadi pemimpin
yang sangat memperhatikan rakyat kecil, dengan berusaha memperjuangkan
kepentingan-kepentingan rakyat yang mengangkat hakikat dan derajat.
Tiga tahun berikutnya beliau bekerja sebagai juru tulis di Kepatihan Ngawi,
bahkan sempat berhasil menjadi patih, tetapi tidak lama kemudian beliau
meninggalkan pekerjaan itu untuk pindah ke Surabaya dan bekerja pada perusahaan

339
Mansur, Sejarah Sarekat Islam dan Pendidikan Bangsa, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 13
340
Ibid hlm. 40-50.
341
Op. cit, hlm 50

278
Belanda. Di kota tersebut beliau mengikuti kursus-kursus pada malam hari dalam
soal teknik mesin di Sekolah Teknik Mesin. Pada tahun 1908, beliau mulai
menekuni dunia jurnalistik. Tulisan-tulisannya di berbagai media cetak dikenal
sangat tajam. Dunia jurnalistik inilah yang membuatnya meninggalkan tugasnya
dari pemerintahan Hindia Belanda. Tetapi kemudian beliau melamar menjadi
masinis, lalu bekerja sebagai ahli kimia disebuah pabrik gula di daerah dekat
Surabaya.
Setelah menunaikan ibadah haji, beliau lebih suka memperkenalkan nama
dirinya dengan gelar keningratannya Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau lebih
dikenal dengan nama panggilan akrab HOS Tjokroaminoto dan sebutan De
Ongekroonde van Java atau "Raja Jawa Tanpa Mahkota" yang menjadikan HOS
Tjokroaminoto salah satu pelopor pergerakan di Indonesia dan sebagai guru para
pemimpin-pemimpin besar di Indonesia, berangkat dari pemikirannya yang
melahirkan berbagai macam ideologi pada saat itu, rumah beliau sempat dijadikan
rumah kost para pemimpin besar untuk menimbah ilmu padanya, seperti Semaoen,
Alimin, Muso, karno, Kartosuwiryo, bahkan Tan Malaka pernah berguru padanya.
Pada bulan Mei 1912, Tjokroaminoto mendirikan organisasi Sarekat Islam
yang sebelumnya dikenal Serikat Dagang Islam dan terpilih menjadi ketua. Perilaku
pemerintah kolonial yang semena-mena menjadi awal keinginan H.O.S
Tjokroaminoto terlibat dalam Sarekat Islam. Dengan adanya perkumpulan yang
mengatasnamakan Islam diharapkan dapat menjadi alat pemersatu yang kokoh
dalam menggalang kekuatan melawan kolonialisme. Menurut H.O.S
Tjokroaminoto, Sarekat Islam merupakan organisasi yang cukup kuat untuk dapat
menumbuhkan rasa nasionalisme. Hal ini dikarenakan Sarekat Islam tidak bercorak
kedaerahan dan memperjuangkan kepentingan rakyat banyak.
Tjokroaminoto merupakan guru politik sekaligus teman berdiskusi beberapa
tokoh pergerakan nasional seperti Soekarno, Kartosoewiryo, Abikoesno, Alimin,
dan Muso. Tjokroaminoto merupakan tokoh yang tidak dapat lepas dari
perkembangan organisasi Syarikat Islam (SI) yang kemudian berubah menjadi
Partai Sarikat Islam (PSI) dan Partai Sarikat Indonesia (PSII). Tjokroaminoto

279
merupakan Ketua Sarikat Islam dan menjadi pemimpin PSI dan PSII hingga akhir
hayatnya.

2. Perspektif Sosialisme Islam Tjokroaminoto


Dalam tradisi pemikiran politik Barat, sosialisme berkembang karena
terjadinya ketimpangan, kemiskinan dan eksploitasi yang menimpa individu pada
abad ke 19, suatu fenomena yang justru terjadi bersamaan dengan munculnya dan
berkembangnya industrialisasi dan demokrasi. Sosialisme oleh karenanya
berkembang sebagai ideologi yang memfokuskan perhatiannya pada penderitaan
kelompok individu dengan kekuasaan ekonomi, sosial dan politik yang relatif
kecil.342
Kaum sosialis meyakini bahwa manusia secara alamiah adalah mahluk sosial
atau mahluk komunal. Individu tidak hidup atau bekerja secara terisolasi,
melainkan dengan berkerja sama satu dengan yang lainnya. Kerjasama antar
individulah, bukan kompetisi di antara mereka, yang dipahami oleh kaum sosialis
sebagai fondasi dari masyarakat dimana setiap orang dapat menikmati secara layak
kebebasan, keadilan dan kesejahteraan.343
Dalam pandangan kaum sosialis, kepemilikan pribadi merupakan sumber dari
pembagian kelas yang akan menempatkan sebagian individu pada posisi pemegang
kekuasaan dan memiliki privilese, sementara sebagian individu lainnya menjadi
miskin dan tidak memiliki kekuasaan. Oleh karenanya sosialisme menawarkan
program-program yang akan mendistribusikan kesejahteraan dan kekuasaan secara
lebih merata di dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan semua hasil produksi
individu pada tingkatan tertentu adalah produk sosial, dan semua orang yang
berpartisipasi dalam proses produksi mempunyai hak untuk menikmatinya. Dengan
demikian masyarakat secara keseluruhanlah, bukan individu tertentu, yang harus

342
Danziger, James N. Understanding the Political World: A Comparative
Introduction to Political Science. New York: Pearson, 2005. hlm. 41
343
Ball &Terence and Richard Dagger. Political Ideologies and the
Democratic Ideal. New York: Pearson, 2004 hlm. 115

280
memiliki dan mengontrol properti demi kebaikan atau manfaat seluruh anggota
masyarakat.344
Perkataan sosialisme awalnya dari perkataan bahasa latin socius, maknanya
dalam bahasa Belanda maker, bahasa Melayu; teman, bahasa Jawa: kita dan bahasa
Arab: sahabat. Jadi di dalam paham, sosialisme berakar angan-angan (pikiran) yang
nikmat, yaitu angan-angan.345 Sosialisme menghendaki cara hidup yang bersatu dan
bersama yaitu cara hidup yang memperjuangkan hak bersama, bahwa manusia
menanggung tanggung jawab atas perbuatannya masing-masing.
Konsep pemikiran Tjokroaminoto berbeda dengan konsep Sosialisme Barat.
Maka dari itu, Beliau merombak ajaran sosialisme tersebut dengan. membentuk
sosialisme secara Islam yang bertujuan untuk mencapai kehidupan masyarakat yang
sejati dengan berperilaku berdasarkan keimanan kepada Allah S.W.T dan setiap
muslim yang sungguh-sungguh menjalankan ajarannya harus melalui tingkatan-
tingkatan yang bermakna keselarasan dunia dan akhirat sebagai simbol menuju
derajat kesempurnaan hidup. Pandangan H.O.S Tjokroaminoto, sosialisme yang
dimaksud adalah mencari keselamatan dunia dan juga keselamatan akhirat. Wujud
dari keselamatan itu adalah terciptanya sebuah masyarakat yang adil tanpa
penindasan satu oleh yang lainnya, serta terwujudnya sama rata sama rasa yang
didasari nilai-nilai ketauhidan, sebagaimana yang telah dicontohkan Nabi
Muhammad dan empat sahabatnya.
Sosialisme Islam menurut Tjokroaminoto bukanlah sosialisme yang lahir atau
mendapatkan pengaruh dari sosialisme Barat, namun sosialisme yang didasarkan
pada ajaran agama Islam. Praktik sosialisme Islam tersebut juga telah berkembang
jauh sebelum sosialisme Barat berkembang di masyarakat Eropa pada abad ke-19,
karena sosialisme Islam telah diterapkan sejak periode kepemimpinan Rasulullah
Saw. Terdapat dua macam sosialisme yang di kenal oleh Islam, yaitu:346
1. Staats-sosialisme, baik yang bekerja dengan kekuatan satu pusat maupun
yang bekerja dengan kekuatan.

344
Ibid. hlm.115.
345
Tjokroaminoto,Islam dan Sosialisme.Bandung:Sega Arsya,2013,hlm 11
346
HOS Tjokroaminoto. hlm. 22

281
2. Industri-sosialisme, Jika satu negeri bersifat sosialis, maka pekerjaan
kerajinan (pabrik atau industri) harus diatur seluas-luasnya secara sosialis juga.
Maka di dalam negeri yang demikian itu, keberadaan tanah menjadi pokok
segala hasil dan pokok semua pekerjaan industri besar. Kalau hendak dijalankan
seluas-luasnya industry-socialisme dan staat-socialisme, maka bentuk sosialisme
ini lah yang terutama sekali dijalankan oleh Islam. Sejak Nabi Muhammad S.A.W
memegang kekuasaan negara, maka negara itu segera beliau aturnya secara sosialis,
dan semua tanah dijadikannya sebagai milik negara.
Berdasarkan model sosialisme di atas, maka negara baik di tingkat pusat
maupun daerah memegang peranan penting dalam praktik sosialisme. Salah satu
tugas dari negara adalah penguasaan terhadap tanah sehingga tidak dikenal
pemilikan pribadi. Ajaran sosialisme Islam Tjokroaminoto tidak hanya berupa
teori-teori namun berupa praktik yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari oleh
umat Islam, bahkan beberapa diantaranya merupakan praktik yang wajib
dilaksanakan oleh kaum muslim. Dengan demikian ajaran sosialisme Islam tidak
hanya bersifat tekstual dan normatif belaka namun diterjemahkan dalam kehidupan
sehari-hari sebagai sebuah perilaku sehari-hari umatnya. Beberapa contoh praktik
sosialisme Islam tersebut antara lain:
1. Semua umat Islam, kaya atau miskin, dari berbagai macam suku bangsa
dan warna kulit, pada setiap Jum'at diwajibkan untuk berkumpul dan menjalankan
shalat di masjid dengan tidak mengadakan perbedaan sedikitpun tentang tempat
atau derajat, di bawah pimpinan orang yang dipilih dalam perkumpulan itu.
2. Dua kali dalam setahun penduduk suatu kota atau tempat berkumpul untuk
melaksanakan shalat Idul Fitri dan Idul Adha serta berjabat tangan serta
berangkulan satu sama lain dengan rasa persaudaraan.
3. Setiap umat Islam diwajibkan bagi yang mampu untuk mengunjungi
Mekah dalam rangka menunaikan ibadah haji pada waktu yang telah dan sangat
sederhana, terlepas dari ditentukan untuk berkumpul di suatu tempat dengan
pakaian yang sama tinggi dan rendah derajatnya dan perbedaaan bangsa dan warna
kulit.

282
Contoh-contoh di atas menurut Tjokroaminoto merupakan bentuk sosialisme
cara Islam dalam rangka mewujudkan persamaan dan persaudaraan. Praktik
tersebut akan menanamkan perasaaan bahwa semua manusia itu satu persatuan dan
diwajibkan kepada mereka untuk berlaku satu sama lain dengan persamaan yang
sempurna sebagai anggota satu persaudaraan.347
Ajaran Islam lainnya yang bersifat sosialistik adalah perilaku kedermawanan.
Dalam Al-Qur'an, pemberian sedekah tidak hanya terkait dengan kebajikan namun
merupakan kewajiban yang tidak boleh dilalaikan. Kedermawanan adalah tindakan
kebajikan untuk meraih ridha Allah S.W.T seperti sedekah, baik itu sedekah yang
bergantung dari kemuan si pemberi dan sedekah yang dijawibkan oleh Allah S.W.T
yaitu zakat. Nabi Muhamad S.A.W memerintahkan kita untuk berlaku dermawan
dengan asas-asas yang bersifat sosialis, sedang Al Qur'an berulang-ulang
menyatakan bahwa memberi sedekah itu bukannya kebajikan, tetapi bersifat satu
kewajiban yang tidak boleh dilalaikan. Besarnya bilangan zakat adalah ditentukan
sekian persen, sehingga apabila semua manusia mentaati hukum Islam tentang
zakat, ditambah dengan kedermawanannya yang lain-lainnya sebagai tuntutan
ajaran Islam yang bertujuan mencapai perikeadilan sosialisme, perikeadilan
kesamarataan dan perikeadilan. HOS. Tjokroaminoto memandang ada tiga hal
perintah tentang kedermawanan dalam Islam yang mempunyai dasar sosialis:348
1. Akan membangun rasa ridha-mengorbankan diri dan rasa melebihkan
keperluan diri sendiri
2. Akan membagi kekayaaan sama rata di dalam dunia Islam, dengan lantaran
menjadikan pemberian zakat sebagai salah satu rukun Islam.
3. Akan menuntun perasaan orang, supaya tidak menganggap kemiskinan itu
satu kehinaan tetapi menganggap kemiskinan itu lebih baik daripada kejahatan.
Tiga komponen tersebut dimuat dalam paham sosialisme serta diberbagai
peraturan-peraturan Islam dan diimplementasikan oleh Nabi Muhammad S.AW,
yaitu kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan. Islam adalah sebenar-benarnya
suatu agama yang bersifat demokratis dan telah menetapkan beberapa hukum yang

347
Ibid hlm. 40.
348
Ibid. hlm. 43

283
bersifat sosialistik bagi orang-orang yang memeluknya. Islam mendekatkan pada
tali persaudaraan yang didasarkan atas ketaqwaan seorang muslim terhadap sesama
muslim lainnya yang dibangun bukan dari segi suku, ras dan strata sosialnya.
Sosialisme merupakan perwujudan kehidupan yang adil, setara serta merata untuk
mencapai kesejahteraan yang didasarkan oleh nilai-nilai tauhid yang bersifat sistem
sosial, budaya, ekonomi dan politik yang tidak hanya berupa konsep namun
dipraktikkan oleh umat-nya, dan bahkan pada tingkatan tertentu berupa kewajiban
untuk menjalankan praktik-praktik tersebut.
Sistem pemerintahan sosialisme Islam menurut Tjokroaminoto adalah sistem
sebagaimana pernah diterapkan oleh Khalifah Umar bin Khatab. Sistem
pemerintahan tersebut secara tegas menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian dan
persamaan (dalam hal apapun) di antara sesama manusia tanpa kecuali sosialisme
Islam menentang kapitalisme, karena Islam melarang (mengharamkan) riba. Hal
hal yang terkait dengan tindakan eksploitasi, seperti memakan hasil pekerjaan orang
lain tidak memberikan bagian keuntungan yang seharusnya menjadi bagian dari
orang yang bekerja dan berkontribusi terhadap keuntungan tersebut, dilarang oleh
Islam karena termasuk ke dalam perbuatan memakan riba. Oleh karenanya, Islam
bertentangan dengan kapitalisme karena dasar dari kapitalisme adalali memakan
riba yang diharamkan oleh hukum Islam. sosialisme Islam meyakini keberadaan
Allah Swt yang menurunkan agama sebagai alat atau cara untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan yang ada dalam masyarakat. Terkait dengan hal-hal yang
menjadi dasar dari sosialisme Islam. Tjokroaminoto mengemukakan hal-hal
sebagai berikut:349
1. Dasar sosialisme Islam adalah ajaran dalam Al-Qur'an (Surat Al-Baqarah
ayat 213) yang menyatakan bahwa seluruh umat manusia itu bersaudara atau
bersatu, Oleh karena umat manusia bersaudara dan bersatu, maka merupakan
kewajiban seluruh individu untuk mencapai keselamatan bersama.
2. Al-Qur'an juga mengajarkan umatnya untuk menciptakan perdamaian,
selain itu terdapat ajaran bahwa Allah Swt telah memisah-misahkan kita menjadi

349
Ibid. hlm. 37-38.

284
golongan-golongan dan suku-suku agar supaya kita mengenal satu sama lain (QS
Al-Hujurat:12).
3. Rasulullah Saw bersabda bahwa Allah Swt telah menghilangkan
kecongkakan dan kesombongan di atas asal turunan yang tinggi, sehingga seorang
Arab tidak lebih tinggi dan mulia daripada seorang orang asing, melainkan karena
takut dan baktinya kepada Allah Swt.
4. Rasulullah Saw juga bersabda bahwa Allah Swt hanyalah satu, dan asalnya
sekalian manusia itu hanyalah satu, dan mereka mempunyai agama hanyalah satu
juga.
Sosialisme Islam, sebagaimana diungkapkan oleh Tjokroaminoto, dengan
demikan merupakan perwujudan kehidupan yang adil, setara, merata untuk
mencapai kesejahteraan yang didasarkan oleh nilai-nilai tauhid. Sosialisme Islam
merupakan suatu sistem sosial, budaya, ekonomi dan politik yang tidak hanya
berupa konsep namun dipraktikkan oleh umatnya, dan bahkan pada tingkatan
tertentu berupa kewajiban untuk menjalankan praktik-praktik tersebut.
H.O.S Tjokroaminoto berhasil memperkuat sosialisme dengan argumentasi
bahwa perintah-perintah agama Islam bersifat sosialistik dalam penjelasan sebagai
berikut:
“Orang Islam, kaya atau miskin, dari berbagai macam suku bangsa dan warna
kulit, pada setiap jumat harus datang berkumpul di dalam masjid dan menjalankan
salat dengan tidak mengadakan perbedaan sedikitpun juga tentang tempat atau
derajat, dibawah pimpinan orang yang dipilih dalam perkumpulan itu. Dua kali
dalam tiap-tiap tahun sekalian penduduk satu kota atau tempat, datang berkumpul
untuk menjalankan sembahyang dan berjabat tangan serta berangkul-rangkulan satu
sama lain dengan rasa persaudaraannya. Dan akhirnya tiap orang Islam diwajibkan
satu kali dalam hidupnya untuk mengunjungi mekah yang datang dari tempat yang
jauh semua berkumpul disatu tempat, semuanya sama berpakaian rupa yang
sederhana, bukan kepala dan kaki telanjang, orang-orang yang tinggi dan rendah

285
derajatnya dan bermacam-macam negeri dan tempat, macam-macam pula bangsa
dan warna kulitnya”350
Salah satu contoh konsep sosialisme Islam menurut H.O.S Tjokroaminoto yaitu
konsep mengadopsi perintah nabi tentang berlaku dermawan yang merupakan asas-
asas yang bersifat sosiolistik. Dalam Al- Qur’an Allah berfirman yang artinya:
“Kamu tidak pernah akan dapat mencapai keadilan, kecuali apabila kamu telah
memberikan daripadanya apa yang kamu cintai, dan tuhan mengetahui apa yang
kamu berikan itu”.351
Sosialisme islam mengajarkan sikap kasih dan syukur pada sesama
bahwasanya segala sesuatu yang berkaitan kepemilikan pribadi mesti dihilangkan
karena hakikat manusia lahir ke dunia, tidak membawa apapun, dan dunia telah
dipersiapkan sebelumnya oleh Allah sebagai pemiliknya. Manusia lahir di dunia
tanpa membawa bekal apapun, dan hal demikian juga berlaku bagi manusia lainnya
sebagai makhluk Tuhan.352
Berdasarkan uraian di atas maka jelas kiranya sosialisme islam dalam
pandangan H.O.S Tjokroaminoto bahwasanya ketika tatanan sosial dimasyarakat
tercipta sama rata dan sama rasa, sehingga perlu untuk ditanamkan dihati umat
hakikat sosialisme islam dalam pergaulan hidup bersama.

C. Kesimpulan
Pemikiran politik H.O.S. Tjokroaminoto tentang sosialisme Islam memberikan
gambaran tentang faham sosialisme yang dibangun atas dasar ajaran agama Islam,
yang inti ajaran bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah. Sosialisme Islam yang
dikemukakan oleh Tjokroaminoto merupakan sosialisme yang telah berjalan sejak

350
H.O.S. Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme. Bandung: Sega Arsya,
2013. Hlm. 24-25.
351
Terjemahan Sekarang: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan
(yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.
Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya
(Q.S. Ali Imran/3: 92), Kementrian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya
(Jakarta: Halim Publishing dan Distributing, 2007, hlm 62.
352
Nasihin, Sarekat Islam Mencari Ideologi (1924-1945). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2012 hlm 146

286
masa kepemimpinan Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Dengan demikian
sosialisme Islam tidaklah dipengaruhi oleh faham sosialisme yang berasal dari
Barat yang baru berkembang pada abad ke-19. Pemikiran politik sosialisme Islam
tersebut dengan demikian mempunyai kesamaan dengan pemikiran Kiri Islam,
yang menempatkan Al-Quran dan As-Sunnah sebagai sumber utama
pergerakannya. Namun demikian, terdapat prinsip-prinsip sosialisme yang serupa
antara sosialisme Islam dengan sosialisme Barat. Prinsip keadilan, kesetaraan, dan
persaudaraan merupakan prinsip yang dipegang teguh baik oleh sosialisme Islam
maupun sosialisme Barat. Selain itu, sosialisme Islam dan sosialisme Barat sama-
sama bertujuan menciptakan kesejahteraan bagi seluruh anggota masyarakat. Selain
persamaan, terdapat pula perbedaan antara sosialisme Islam dan sosialisme Barat.
Sosialisme Islam dibangun atas dasar ketentuan atau aturan-aturan berdasarkan
firman Allah SWT atau hadist Rasulullah SAW. Sosialisme Islam juga dibangun
atas dasar keyakinan terhadap keberadaan Allah SWT sebagai dzat yang Maha
Kuasa. Sosialisme Barat lahir dari kondisi masyarakat industri Eropa pada abad ke-
19 dimana terjadi ketimpangan kondisi sosial, ekonomi dan politik. Sosialisme
Barat dengan demikian tidak terkait dengan agama, sedangkan sosialisme Islam
sangat terkait dengan ajaran agama.

287
DAFTAR PUSTAKA

Asfar, A. I. T., & Asfar, A. I. A. (2019). Pendidikan Masa Renaissance: Pemikiran


dan Pengaruh Keilmuan. Universitas Negeri Makassar, 1-19.

Asy'ari, H. (2018). Renaisans Eropa dan Transmisi Keilmuan Islam ke


Eropa. JUSPI (Jurnal Sejarah Peradaban Islam), 2 (1), 1-14.

Ball, Terence and Richard Dagger. Political Ideologies and the Democratic Ideal.
New York: Pearson, 2004.

Danziger, James N. Understanding the Political World: A Comparative


Introduction to Political Science. New York: Pearson, 2005

Gonggong, Anhar. H.O.S. Tjokroaminoto. Jakarta: Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan, 1985.

Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Jakarta: Kanisius.

Maksum, Ali. 2010. Pengantar Filsafat. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

McGrath, Alister E. 1993. Reformation Thought: An Inroduction (2nd ed) Sejarah


Pemikiran Reformasi. Liem Sien Kie. 2016. Jakarta: PT BPK Gunung
Mulia.

Niel, Robert van, 2009. Munculnya Elit Modern Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sudrajat, Ajat. 2021. Sejarah Pemikiran (Antara Dunia Islam dan Barat). Program
Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta.

Suhelmi, Ahmad. 2007. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka


Utama.

Tafsir, Ahmad. 2007. Filsafat Umum. Bandung: Remaja Rosdakarya.

288
PEMIKIRAN SOEKARNO: ISLAMISME, SOSIALISME, dan
NASIONALISME

Oleh: Yuliyanto
NIM. 20718251027

A. Pendahuluan
Berbicara tentang sejarah Indonesia tidak bisa terlepas dari tokoh yang
bernama Soekarno. Sosok Soekarno sebagai salah satu founding father
bangsa Indonesia telah begitu besar jasanya bagi perjuangan negeri ini.
Bersama Moh. Hatta beliau ditunjuk oleh para pemuda pasca peristiwa
Rengasdengklok untuk menandatangani naskah teks proklamasi sebagai
wakil dari bangsa Indonesia, keesokan harinya kemudian naskah tersebut
dibacakan di jalan Pegangsaan Timur nomor 56 Jakarta sebagai penanda
bangsa Indonesia sebagai sebuah bangsa yang merdeka.
Soekarno menjabat sebagai presiden Republik Indonesia sejak Agustus
1945 setelah ditetapkan oleh PPKI dalam sidangnya pada tanggal 18
Agustus 1945. Pemilihan Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai presiden
dan wakil presiden pertama Republik Indonesia secara aklamasi dilakukan
oleh PPKI. Masa kepempinan Soekarno sebagai presiden bisa dibilang
cukup panjang, beliau diturunkan dari jabatan presidennya pada tahun 1966
setelah terjadi gejolak politik akibat peristiwa G.30/S. PKI dan laporan
pertanggugjawabannya ditolak oleh MPRS dan DPRS. Laporan
pertanggungjawaban Soekarno ditolak karena diindikasii keterlibatannya
dalam peristiwa 30 September.353
Soekarno lahir di Surabaya pada tanggal 6 Juni 1901 dari pasangan
Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai Srimben. Ayahnya
adalah seorang penganut Islam Abangan yang beraliran Theosofi Jawa.
Raden Soekemi berasal dari golongan priyayi.354 Dalam masyarakat Jawa

353
Arif Zulkifli. 2010. Seri Buku Tempo: Paradoks Revolusi Indonesia. (Jakarta:
Gramedia) hlm. 25
354
Ensiklopedi Indonesia Jilid 3. 1983. Soekarno. (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve) hlm. 3228

289
istilah priyani merupakan keturunan dari seorang bupati, atau biasa dalam
Kasultanan Yogyakarta para golongan priyayi ini secara umum disebut
sebagai bangsawan.355 Masa kecil Soekarno tidak lama tinggal bersama
dengan orang tuanya yang berprofesi sebagai seorang guru. Soekarno
dititipkan oleh ayahnya untuk melanjutkan pendidikan HBS nya di
Surabaya dirumahnya HOS Tjokroaminoto yang merupakan teman akrab
sang ayah. HOS Tjokroaminoto merupakan tokoh Sarekat Islam, sebuah
organisasi politik sebelum Indonesia merdeka dan merupakan sebuah
organisasi yang besar dengan jumlah pengikut yang banyak. Soekarno
dalam berbagai hal banyak belajar terhadap Tjokroaminoto, ia dianggap
sebagai mentor politik pertama Soekarno.
Selama tinggal di rumah HOS Tjokroaminoto, Soekarno banyak
bertemu dan belajar dari orang orang yang kelak menjadi tokoh tokoh besar
di negeri ini. Ia kemudian bertemu dengan banyak tokoh pergerakan yang
berbeda beda aliran salah satunya adalah Ki Hajar Dewantara, pendiri
perguruan Taman Siswa dan merupakan salah satu pendiri tiga serangkai
yang tergabung dalam Indische Partij, sebuah partai radikal pertama yang
secara terang terangan berani memunculkan ide Indonesia merdeka. Belajar
dari sosok Ki Hajar Dewantara ini, Soekarno mulai bisa memadukan
pandangan antara budaya Jawa dengan budaya Barat. Dari rumah HOS
Tjokroaminoto ini pula Soekarno berkenalan dengan Hendrik Sneevliet,
seorang sosialis Belanda yang mendirikan Indische Sociaal Democratische
Vereeniging (ISDV) sebuah organissasi sosialis yang mengedukasi orang
orang Indonesia untuk mencari cara bagaimana menentang pemerintah
kolonial Belanda kala itu. Selain itu, Soekarno juga mengenal tokoh
marxisme yang lain yaitu Alimin yang nantinya kelak menjadi tokoh
pergerakan kemerdekaan Indonesia dan juga tokoh komunis dan pernah
menjadi pemimpin PKI.356

355
John D, Legge. 1996. Soekarno Sebuah Biografi Politik. (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan) hlm. 31
356
Arif Zulkifli 2010. Buku Seri Tempo: Paradoks Revolusi Indonesia. (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan) hlm. 4

290
Setelah menyelesaikan pendidikan HBS nya di Surabaya pada 10 Juni
1921, Soekarno kemudian melanjutkan pendidikan tingginya ke Bandung
tepatnya di Technishe Hoogeschool sekarang Institut Teknologi Bandung.
Ketika berada di Bandung Soekarno menghabiskan masa mudanya dan
memulai karirnya dalam bidang politik. Masa mudanya adalah bagian
kehidupan Soekarno yang sangat perlu untuk dicermati dan diperhatikan,
karena pemikiran pemikiran yang dikembangkannya kemudian, dapat
dilacak konsistensinya pada saat itu, dan yang paling penting pada usis yang
ke -26 tahun Soekarno merasa matang dalam hal kepercayaan kepada
Tuhan.357 Di Bandung Soekarno banyak berkenalan dengan tokoh tokoh
sekuler seperti, E.F.E Douwes Dekker dan dr, Tjipto Mangunkusumo.
Perkenalan ini kemudian telah membawa warna baru dalam kehidupan
Soekarno, terutama pemikiran Douwes Dekker yang cenderung bersifat
nasionalisme sekuler. Sebuah paham yang menolak dasar Islam dan
rasionalisme sosialis komunis sekaligus, tetapi mengingkan sebuah bentuk
negara merdeka yang mengakomodir semua ras, suku dan agama dalam satu
wadah kesetiaan terhadap satu tanah air. Pemikiran Soekarno ini sangat
berbeda dengan pemikiran para tokoh tokoh yang telah ditemuinya selama
ini di Surabaya. Selama masa perkuliahannya di Bandung Soekarno banyak
sekali membaca buku buku sosial dan dia juga turut aktif dalam kelompok
kelompok diskusi yang arah gerakannya bersifat politik radikal. Salah satu
artikel yang berhasil ditulis Soekarno pada waktu itu yang kemudian
menginspirasi sepanjang hidupnya adalah, Nasionalisme, Islam dan
Marxisme.
Setelah menyelesaikan pendidikan pada Technishe Hoogeschool dan
mendapatkan gelar insinyur bukan berarti memadamkan semangat
Soekarno untuk berkiprah dalam dunia politik. Tawaran untuk menjadi
pegawai pada pemerintah kolonial Belanda tak pernah digubrisnya.
Soekarno kemudian mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) di

357
Cindy Adam. 1998. Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia terj.
Abdul Bar Salim. (Jakarta: Haji Mas Agung) hlm 31-37

291
Bandung yang merupakan gabungan dari berbagai gerakan kemerdekaan.
Program PNI pun sudah sangat jelas yaitu mengusahakan kemerdekaan
Indonesia dengan slogannya merdeka sekarang juga. Satu tahun setelah
terbentuknya PNI, pada kongresnya tahun 1928 gerakan tersebut
mengumumkan berdirinya sebuah partai baru yaitu Partai Nasional
Indonesia (PNI).
Keterlibatan Soekarno dalam dunia politik dan gerakan gerakan
kemerdekaan pada saat itu membuat pemerintah Belanda khawatir,
sehingga pada akhirnya Soekarno bersama tokoh tokoh PNI yang lain
dijebloskan di Penjara Banceuy Bandung atas tuduhan akan melalukan
pemberontakan terhadap pemerintah. Selama berada di dalam penjara tidak
terus membuat Soekarno bungkam, selama di dalam penjara dia terus
membuat tulisan dan menyiapkan sebuah pembelaan atas tuduhan yang
disangkakan oleh pemerintah. Indonesia Menggugat adalah sebuah pidato
pembelaaan Soekarno saat dalam persidangan di pengadilan Bandung.
Marxisme merupakan dasar dari dari teori komunisme modern, teori ini
tertuang dalam buku Manifesto Komunis yang ditulis oleh Karl Marx dan
Frederich Engels. Menurut Karl Marx, Marxisme merupakamn sebuah
bentuk protes atas sistem kapitalisme yang berkembang selama ini.
Soekarno banyak menulis tentang kontribusi Marxisme dalam perjuanganya
terhadapp anti kolonialisme Belanda. Menurut Soekarno negara negara
jajahan merupakan sebuah korban ambisi dari sebuah kapitalisme modern,
dimana negara jajahan akan diekploitasi oleh penjajah, dan rakyat menjadi
menderita. Semangat nasionalisme dari rakyat yang terjajah kemudian
berpadu dengan semangat Marxisme maka akan menumbuhkan semangat
gerakan anti penjajahan. Semangat nasionalisme ini lah yang kemudian
mendaji dasar semangat dari PNI untuk menumbuhkan sikap hidup baru di
kalangan Rakyat Marhaen Indonesia.
Soekarno banyak belajar ilmu filsafat dari Karl Marx, filsafat Karl Marx
tentang materialisme historis dan materialisme dialektika yang tercantum
dalam Das Kapitas banyak mempengaruhi pemikiran Soekarno. Pemikiran

292
Soekarno yang banyak terilhami oleh tulisan Karl Marx tidak kemudian
dirinya mengklaim sebagai komunis, tetapi dia tetap berpandangan sebagai
tokoh nasional. Hal ini dapat dibuktikan ketika pada tahun 1948
sekembalinya Muso dari Moskow setelah tinggal di sana selama 220 tahun,
yang kemudian melakukan pemberontakan di Madiun dengan dalih ingin
mendirikan negara Soviet Indonesia, kala itu Soekarno jelas jelas menolak
dan kemudian melakukan operasi militer untuk menumpas gerakan tersebut.
Muso dalam mencapai tujuannya menegaskan bahwa kepemimpinan
revolusi nasional harus berada di tangan komunis dan Indonesia harus
bersatu dengan Uni Soviet sebagai pelopor perjuan melawan imperialisme.
Pemerintahan RI di bawah pimpinan Soekarno dan Moh Hatta lantas dengan
tegas menolak tuntutan Muso tersebut.

B. Pembahasan
1. Pandangan Soekarno Terhadap Islam
Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas bangsa
Indonesia telah memberikan warna tersendiri dalam berbagai sendi
kehidupan. Pemikiran para tokoh pendiri bangsa terhadap agama Islam
menjadi sebuah topik bahasan yang sangat menarik apalagi tentang
pandangan tentang agama Islam menurut Soekarno. Secara latar
belakang keluarga Soekarno bukan lah berasal dari keluarga muslim
yang kuat. Hal ini dapat dilihat dari latar belakang keluargamya dimana
sang ayah merupakan penganut Islam abangan sedangkan sang ibu yang
berasal dari Bali menganut agama Hindu. Perkenalan Islam dalam diri
Soekarno dimulai ketika dia bertemu dengan sosok Haji Agus Salim.
Hal ini dimulai ketika Soekarno bertukar pikiran dengan Agus Salim.358
Berbicara konsep Tuhan dalam pemikiran Soekarno merupakan
suatu hal yang sangat menarik apalagi Soekrno dipandang sebagai
sosok yang pro dan kontra dalam berbagai hal, termasuk dalam

358
Yusni Biliu. 2017. Pemikiran Soekarno Tentang Islamisme dan Pemahaman
Pendidikan Islam. (Jurnal ilmiah Al jauhari Vol.2 No. 2) hlm 169

293
kehidupan politik dan keagamaannya. Sebagaimana ditulis dalam
berbagai buku tentang kisah Soekarno dalam pencarian Tuhan
merupakan sebuah kajian tentang kehidupan keagamaan Soekarno.
Perkenalan Soekarno dengan Islam bermula ketika usia 15 tahun
Soekarno dititipkan sang ayah untuk bersekolah di Surabaya di rumah
HOS Tjokroaminoto. Setiap kali HOS Tjokroaminoto memberikan
ceramah agama Soekarno sering diajaknya. Selain itu Soekarno juga
sering bertemu dengan tokoh tokoh pergerakan kebangsaan seperti Haji
Agus Salim, Musso, Alimin, Darsono, dan Kartosuwiryo yang
semuanya semula beraliran Islam murni.359
Suatu ketika Agus Salim datang ke Bandung dan Soekarno
menemuinya untuk bertukar pikiran tentang masalah masalah
pergerakan dan politik, kemudian beralih kepada maslah maslalh
ketuhanan. Uraian Agus Salim tentang ketuhanan tidak dapat diterima
oleh Soekarno, sehingga terjadi pertentangan pendapat antara Soekarno
dengan Agus Salim. Mereka berdebat hingga larut malam, akhirnya
Soekarno berkata “Saya belum tau benar artinya Allah, tetapi saya
merasa kepastian adanya Allah”. Sambi berkata demikian Soekarno
pamitan pulang dan Agus Salim hanya tersenyum.360 Sejak dialog
malam itu maka pemikiran Soekarno tentang Islam khusunya tentang
Allah selalu membayangi pikirannya, soekarno menjadi sangat
penasaran mengapa orang lain tahu sedangakan Soekarno tidak tahu.
Pada kesempatan yang lain Soekarno bertemu dengan seorang
Pastur yang bernama Van Lith, pada waktu itu juga terjadi sebuah
perdebatan tentang arti sebuah ketuhanan. Tuhan yang digambarkan
oleh pastur Van Lith tidak dapat diterima oleh akal Soekarno. Menurut
pastur Van Lith, Tuhan hanya mempunyai kekuasaan untuk berbuat

359
Syarifuddin. 2013. Tuhan Dalam Pergulatan Pemikiran Soekarno. (Jurnal
Substantia Vol. 15 No. 2) hlm 240
360
Ahmad Notosutardjo. 1997. Bung Karno Mencari dan Menemukan Tuhan.
(Jakarta: Lembaga Pencari dan Penghitung Sejarah Revolusi Indonesia) hlm 47

294
baik dan tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat kejahatan.
Soekarno mengatakan, “Tuhan itu memiliki kekuasaan yang tidak
terbatas, lalu mengapa pastur hanya mengaku Tuhan hanya mempunyai
kekuasaan untuk berbuat baik dan tidak punyak kekusaan berbuat
kejahatan? Kenapa tidak diakui oleh Van Lith bahwa kejahatan itu juga
datangnya dari Tuhan? Pastur itu kemudian marah, lalu berkata: “Kau
ini orang yang berdosa, berani menjelekkann Tuhan”.361
Faktor yang membuat Soekarno tidak tertarik kepada teologia
Kristen, karena ia merasa bahwa ajaran agama tersebut tidak
memenuhu unsur kerasionalan dan kesederhanaan. Prinsip
kesamarataan dan kesederhanaan yang dimiliki agama Islam
merupakan sebuah kunci kemajuan dan peradaban yang dicapai umat
Islam pada masa keemasannya. Oleh karena itu Soekarno
mengganggap Islam is Progress, yang artinya Islam adalah kemajuan.
Sesuatu yang bersifat kemajuan maka hal itu adalah sesuai dengan
Islam. Sebaliknya apabila ada sekelompok golongan umat Islam yang
yang belum mencapai kemajuan dalam kehidupannya hal itu dapat
diartikan bahwa umat tersebut belum dapat menangkap arti Islam yang
sebenarnya. 362
Menurut Soekarno, Islam merupakan agama besar yang dianut oleh
sebagaian besar penduduk Indonesia dan Islamlah sebagai agama yang
menghendaki manusia untuk berhubungan langsung dengan Tuhan dan
kepada manusia. Hal ini sangat berbeda dengan agama lain yang pernah
dipelajari Soekarno, sehingga bagi Soekarno ketika mereka
berhubungan dengan Tuhannya, mereka lupa dengan masyarakatnya
dan lupa kepada manusia. Penganut agama selain Islam bahkan
mematikan diri, menghubungkan diri dengan Tuhan, menyendiri di gua

361
Ibid hlm. 48
362M. Ridwan Lubis. 2010. Sukarno dan Modernisasi Islam. (Jakarta:
Bambu) hlm 151

295
gua, di hutan, di gunung dan menurut Soekarno cita cita Islam tidaklah
begitu.363
2. Kondisi Umat Islam Indonesia
Eropa merupakan salah satu benua di dunia yang negara negaranya
dapat diketegorikan sebagai negara maju dan mempunyai peradaban
yang tinggi. Umat Islam seandainya ingin maju dan mempunyai tingkat
pengetahuan yang tinggi maka mereka harus memperdalam berbagai
macam disiplin ilmu. Seperti yang pernah dilakukan oleh bangsa
bangsa Eropa dahulu, ketika ingin maju mereka harus belajar banyak
ke negeri negeri Islam. Demikian pula untuk umat Islam sekarang,
apabila mereka ingin maju maka mereka harus banyak menuntut ilmu
dari bangsa bangsa barat kemudian dikembangkan dinegaranya,
sehingga mampu untuk mengejar ketertinggalan ilmu pengetahuan dan
teknologi. (Ahmad Jumhan. 2016).
Soekarno mulai memikirkan perkembangan kemajuan yang terjadi
di Eropa, dimana segala macam ilmu pengetahuan dan teknologi
berkembang. Sementara Indonesia masih dalam kondisi terjajah, bodoh
miskin dan terbelakang. Kemudian Soekarno mulai mengembangkan
pemikirannya lewat surat suratnya selama masa pembuangannya di
Ende. Seperti diketahui bahwa masyarakat Ende saat itu merupakan
masyarakat yang kurang berpendidikan, sehingga Soekarno merasa
prihatin melihat keadaan tersebut.
Kaum modernis selalu memandang umat Islam mundur, miskin
dan terbelakang. Di berbagai negara umat Islam selalu dalam posisi
yang terdesak, Islam yang seharusnya mampu mengatasi berbagai
masalah justru malah umat Islam sendiri yang menimbulkan masalah.
Salah satu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri yaitu pada abad 19
dimana posisi umat Islam menjadi demikian terbelakang. Cara
mengatasi keterbelakangan umat Islam tersebut adalah dengan cara

363
Yusni Biliu hlm 170

296
membangkitkan para pemikir pemikir Islam untuk mencari suatu jalan
pemecahan guna membawa kemajuan bagi umat Islam.
Soekarno yang telah mempelajari tulisan dari para pemikir Islam
yang beraliran pembaharuan khususnya yang berasal dari Mesir, Turki
dan India. Tokoh yang sering disebutnya sewaktu dia berada di Ende
maupun Bengkulu adalah Amir Ali penulis buku The Spirit of Islam,
yaitu sebuah buku yang banyak membicarakan Islam dari sudut
364
pandang rasional dan tuntutan kehidupan modern. Berdasarkan
pemahamannya dari tulisan dari tokoh tokoh Islam tersebut, Soekarno
berkesimpulan betapa mundurnya umat Islam di Indonesia dibanding
dengan umat Islam yang berada di Mesir, Turki maupun India.
Menurut Soekarno, penyebab mundurnya umat Islam di Indonesia
adalah taklid. Semenjak munculnya taklid di tubuh masyarakat Islam di
Indonesia disitulah faktor kemunduran Islam. Umat Islam mempunyai
kyai kyai dan ulama ulama tetapi pengetahuannya tentang sejarah
umum nihil. Paling mujur mereka hanya mengetahui sejarah Islam saja,
dan inipu hanya terambil darii buku buku sejarah Islam yang kuno yang
tak teruji oleh ilmu pengetahuan modern. (Ahmad Jumhan. 2010).
Melihat potensi umat Islam yang sangat besar di Indonesia, Soekarno
memanfaatkan untuk memacu suatu perubahan, untuk itu menggiring
umat Islam Indonesia menjadi maju dan modern adalah suatu
keharusan. Jika Islam disebarkan secara ilmiah, menurut Soekarno
seluruh dunia akan mengakui kebenaran Islam, sebaliknya kalau Islam
disebarluaskan dengan cara yang tidak masuk akal maka banyak kaum
cendikiawan yang menjauhi Islam. Islam modern adalah Islam yang
mengajak umatnya untuk berpikir dan bertindak sesuai dengan tuntutan
zaman.
Prinsip rasionalitas Islam yang dipegang Soekarno ini juga
merupakan kelanjutan dari ketertarikannya pada perkembangan

364
M. Ridwan Lubis hlm 92

297
pemikiran yang ada di Mesir dan India. Pemikiran Al Afghani dan
Abduh di Mesir serta Amir Ali dan Ahmad Khan dari India sangat
menekankan prinsip rasionalitas dalam pemikiran Islam. Menurut
pemukiran mereka, agama Islam adalah sebuah hasil pemikiran rang
rasional bukan sesuatu yang digaib gaibkan serta proses terjadikan
sesuatu merupakan sebuah sebab akibat bukan merupakan sebuah
kebetulan belaka.365
Pendapat Soekarno bahwa Islam adalah kemajuan mempunyai
makna tersendiri dalam pemikiran keislamannya. Ia memegang prinsip
bahwa kemajuan peradaban umat manusia bukan saja hanya sesuai
dengan Islam tetapi lebih jauh lagi yaitu bahwa Islam adalah sebuah
kemajuan. Karena itu kemajuan akan identik dengan Islam dan Islam
tidak akan bertentangan dengan kemajuan. Pola pikir intelektual
Indonesia saat itu sangat menganggap bahwa agama Islam identik
dengan kebodohan dan kemunduran, hal itu sangatlah wajar sebab para
intelektual tersebut merupakan produk hasil pendidikan barat. Dalam
posisi ini Soekarno ingin mengubah pola pikir mereka hal ini lah yang
menyebabkan lawan lawan politiknya banyak yang meragukan
pemikiran Soekarno tentang Islam.
3. Polemik Negara Islam
Persoalan hubungan antara agama dan negara sebetulnya merupakan
warisan barat yang memengaruhi pola pikir manusia di berbgai penjuru
dunia. Secara terang terangan dan tegas meisahkan urusan agama
dengan urusan negara. Dalam pandangan mereka agama adalah urusan
manusia dengan Tuhannya. Didalamnya tidak ada sama sekali
hubungannya dengan urusan dunia termasuk masalah kenegaraan.
Pandangan ini yang kemudian kita kenal sebagai pandangan sekuler.

365 Ibid hlm 150

298
Akibatnya di kalangan umat Islam sendiri terbelah menjadi dua
kelompok disamping ada pula yang berdiri di tengah. 366
Rusaknya Islam di mata negara negara Barat diantaranya terkait
dengan bentuk negara Islam. Dalam pandangan negara Barat, Islam itu
agama yang kejam, penyiksa dan sejumlah keburukan lainnya apalagi
kalau sudah menyatu dengan negara. Karena itu umat Islam sangat
berkepentingan untuk menjelaskan tentang konsep negara Islam yang
sesungguhnya. Hal yang benar tentang negara Islam adalah negara yang
penuh dengan toleransi, egaliter dan beradab. Semua itu terjadi karena
bersumberkan pada kesempurnaan nilai nilai Islam. Artinya ketika nilai
Islam diimplementasikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk
negara akan melahirkan sebuah konsep kenegaraan sesuai yang dicita
citakan manusia. 367 Buruknya kesan tentang negara Islam pada praktik
praktik “jinayat” oleh negara, mengenai “qishos”. Seluruhnya
dianggap sebagai bentuk kekejaman dari sebuah “negara Islam” yang
dianggap melanggar hak asasi manusia.
Dalam hubungan ini patut dicatat pandangan seorang orientalis barat
yang cukup konsen dan objektif dalam menilai tentang Islam termasuk
konsep tentang negara Islam. Louis Gardet, menyebutnya sebagai
“theocrataic laique egalitaire”. Merupakan sebuah negara teokrasi
yang kekuasaan tertingginya di tangan Tuhan, dimana penguasa di
bumi adalah orang orang biasa yang tidak merupakan lembaga
kekuasaan rohani serta menjunjung tinggi persamaan hak dari seluruh
lapisan dan golongan masyarakat.368
Baiknya sebuah perangkat hukum, terlebih hukum Islam tidak akan
berarti apa apa tanpa adanya sebuah kekuasaan yang menegakkannya.
Dalam hubungan ini, sebuah negara sangat diperlukan untuk

366
Munawir Sjadzali. 1990. Islam dan Tata Negara, Ajaran Sejarah dan
Pemikiran. (Jakarta: UI Press) hlm. 1
367
Rusli Kustiawan Iskandar. 2003. Polemik Dasar Negara Islam Antara
Soekarno dan Mohammad Natsir. (Jurnal Mimbar Vol 2 No 2 April-Juni) hlm 218
368
Ensiklopedi Indonesia hlm. 120

299
menegakkan hukum. Karena itu negara menjadi alat utama untuk
penegakkannya. Dalam hubungan ini Mohammad Natsir dapat
dianggap sebagai penganut ajaran legal formal. Artinya tanpa adanya
negara hukum Islam tidak dapat ditegakkan. Itulah sebabnya negara
dengan agama merupakan “two sides of the one coin”. Negara dan
agama harus merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi,
memperkokoh dan memperkuat.
Pada posisi ini pemikiran Mohammad Natsir berbeda dengan
pandangan Soekarno, Soekarno menghendaki adanya pemisahan antara
agama dengan negara, dan hukum Islam ditegakkan melalui pendekatan
sosiologis yakni menjadi tanggungjawab masing masing pemeluk
Islam. Menurut Soekarno yang penting bagi manusia untuk bertemu
dengan Tuhan adalah meningkatkan keimanannya. Tuhan tidak dimana
mana, Tuhan itu esa, tetapi Tuhan ada dimana mana. Siapa saja yang
berkeinginan untuk bertemu dengan Tuhan, tidak harus manusia naik
ke langit setinggi tingginya dengan memakai berbagai macam
peralatan. Manusia boleh saja bercita cita untuk dapat bertemu dengan
Tuhan Sang Pencipta, namun menurut Soekarno manusia harus turun,
turun di sini (dengan penuh keyakinan sambil Soekarno menunjuk
kedadanya), turun ke dalam hatinya. 369
4. Polemik Piagam Jakarta
Masalah tentang Piagam Jakarta juga menjadi polemik tersendiri
tentang pandangan sebuah konsep negara Islam antara Soekarno
dengan tokoh tokoh Islam lainnya. Piagam Jakarta merupakan hasil
sebuah consensus nasional antara golongan nasionalis Islam dengan
golongan nasionalis sekuler. Kesepakatan itu tertulis dalam Piagam
Jakarta “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk pemeluknya”. 370

369
Soekarno. tt. Amanat PJM Presiden Soekarno Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar
Revolusi Indonesia/Pahlawan Islam dan Kemerdekaan Pada Peringatan Hari Hari Besar Islam
1961-1963. (Jakarta: Cendikia) hlm. 15
370
Rusli Kustiawan hlm. 220

300
Rumusan konsensus ini mengalami perubahan pada tanggal 18
Agustus 1945 menjadi “Ketuhanan Yang Masa Esa”. Perubahan ini
dilakukan atas dasar pertimbangan keterdesakan negara dalam
menghadapi tentara Belanda yang ingin mengembalikan kekuasaannya
di Indonesia. Untuk itu umat Islam dengan sukarela mengesampingkan
prinsip prinsip mereka sendiri tentang filsafat negara (Islam) dalam
konstitusi demi mempertahankan kemerdekaan yang baru saja
diproklamasikan dengan harapan di masa depan bisa dimusyawarahkan
kembali. Bagi kalangan umat Islam, secara substansial perubahan
menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” bukanlah merupakan sebuah
fenomena sosiologis, melainkan implementasi dari ajaran tauhid
371
sebagai urat tunggal iman dalam sistem kepercayaan Islam.
Perubahan ini dipandang sebagai kekalahan politik wakil wakil umat
Islam di dalam perjuangannya.
5. Pandangan Soekarno Tentang Komunis
Karl Marx dan Frederich Engels bukanlah nabi nabi yang bisa
membuat aturan yang dapat dipakai sepanjang zaman, demikianlah
Soekarno menggambarkan pemahamannya tentang komunis. Menurut
Soekarno untuk mencapai suatu masyarakat yang seperti diinginkan
oleh Karl Marx maka perlu adanya penyesuaian atau perubahan taktik
dari pergerakan kaum komunis. Komunis dan gerakan gerakan lainnya
perlu membentuk suatu komunitas persahabatan dengan golongan
golongan kaum nasionalis dan agama (Islam) terutama di wilayah Asia.
372

Konsep Marhaen dalam pemikiran Soekarno berbeda dengan kaum


proletar menurut pandangan barat sebagai kelompok orang orang yang
tertindas. Kaum Marhaen menurut Soekarno bukan hanya kaum
proletar (buruh) saja tetapi adalah kaum melarat diantaranya adalah

371
Ahmad Syafii Maarif. 1985. Islam dan Masalah Kenegaraan. (Jakarta: LP3ES) hlm
109-110
372
Arfandi A. Cenne. 2016. Pemikiran Politik Soekarno Tentang Nasakom Rentang Waktu
1959-1966. (Skripsi Jurusan Ilmu Politik Pemerintahan Unhas) hlm. 32

301
kaum pedagang kecil, kaum ngarit, kaum tukang, kaum tukang kaleng,
kaum nelayan dan kaum kaum lainnya. 373
Meskipun pemikiran Soekarno banyak dipengaruhi oleh pemikir
sosialis sosialis barat tetapi dalam perjuangannya Soekarno yakin
bahwa pemikirannya bukan merupakan Marxisme Sosialis. Hal ini
seperti pernyataan Sooekarno: Tak Seorangpun manusia progresif yang
berpikiran sehat akan menentang cita cita komunis dalam bidang sosial
dan ekonomi, kami menyetujui itu semua, akan tetapi aku tidak
melupakan Tuhan, jadi aku tidak mungkin jadi komunis. 374
Pergerakan kaum Marxis di Indonesia menurut Soekarno pasti
menumbuhkan rasa nasionalisme dari kaum buruh untuk menentang
golongan kaum kapitalis ataupun penjajah. Demikian pula kebencian
kaum Marxis terhadap agama dikarenakan oleh sikap kaum gereja yang
reaksioner, hal ini tentunya tidak sama dengan golongan kaum muslim
Indonesia yang anti terhadap penjajahan, anti kapitalis, anti riba dan
menginginkan sebuah bentuk kemerdekaan.
Pandangan Soekarno tentang riba dikemukakan dalam tulisannya
pada tahun 1921 di Oetoesan Hindia dan tahun 1926 di Hindia Muda
yang berjudul Nasionalisme, Islamisme, Marxisme. Ketiga aliran itu
mengandung beberapa aspek yang bertentangan, khusunya antara Islam
dan Marxisme. Tetapi menurut Soekarno ada satu hal yang dapat
mempersatukan antara Islam dan Marxisme, yaitu kedua duanya sama
sama menentang penghisapan manusia terhadap manusia lain.
Tindakan penghisapan yang oleh kaum Marxisme disebut sebagai
Meerwarde, adalah sama dengan riba dalam pandangan Islam. Oleh
karena itu kaum Islamis tidak boleh lupa bahwa kapitalis adalah musuh
dari Marxisme dan kapitalis juga merupakan musuh dari Islam. 375

373
Guntur Arie Wibowo. 2013. Konsep Nasionalisme Soekarno Dalam PNI 1927-
1930. (http://e-journal.unipma.ac.id Vol 3 No 02) hlm 10
374
Cindy Adams. hlm. 272
375
M. Ridwan Lubis hlm. 195

302
Soekarno sendiri menolak kalau dikatakan bahwa komunisme
adalah sekolompok kaum yang menyembah benda, atau kaum yang
ber”tuhan”kan materi atau atheis. Pandangan tersebut merupakan
bentuk kekeliruan dan merupakan sebuah propaganda anti terhadap
Marxisme dengan membolak balikkan dua paham utama dalam
Marxisme yaitu Materialiasme Historis dan Materialisme Dialektika.
Menurut pandangan Soekarno dalam sebuah negara jajahan ketiga
paham ini seharusnya saling menutupi dan tidak saling berseberangan.
Untuk mencapai hal tersebut perlu dibentuk sebuah lembaga yang
mampu menampung dan mempersatukan ideologi dengan anggota yang
siap memberi dan menerima. Kaum Islam dan Marxisme memang
pernah mengalami perpecahan pada tahun 1900an ketika di bawah
Sarekat Islam. Soekarno sendiri saat itu masih menjadi siswa HBS di
rumahnya pimpinan Sarekat Islam.
Keinginan Soekarno untuk menyatukan ketiga ideologi ini dalam
satu konsep membuat penulis beranggapan bahwa Soekarno bukanlah
seorang pemikir yang ahli dalam bidang ideologi. pemikiran Soekarno
dalam rangka menyatukan ketiga ideologi tersebut lebih banyak
dipengaruhi ketika dia berada di Surabaya. Selama Soekarno berada di
rumah HOS Tjokroaminoto, beliau banyak belajar dari beberapa tokoh
tentang kondisi bangsa Indonesia yang menderita akibat penjajahan. 376

6. Pandangan Soekarno Tentang Nasionalisme


Rasa nasionalisme yang dikembangkan oleh Soekarno di Indonesia
adalah sebuah rasa cinta terhadap tanah air dan anti terhadap
kolonialisme dan imperialisme. Kolonialisme dan imperialisme yang
telah menguasai semua sektor di negara jajahan , baik itu politik,
ekonomi maupun sosial budaya telah membuat rakyat di negara jajahan
hidup dalam sebuah penderitaan. Penderitaan bangsa Indonesia akibat

376
Arfandi A. Cenne hlm 34

303
adanya penjajahan ini lah yang membuat rasa nasionalisme dalam diri
Soekarno muncul. Pola pendidikan barat yang selama ini telah
diterimanya mulai dari pendidikan dasar sampai dengan perguruan
tinggi tidak kemudian menjadikan sosok Soekarno lupa akan jati
dirinya. Soekarno tetap merasa bahwa ia adalah bagian dari sebuah
negara yang saat ini menderita akibat adanya penjajahan. 377
Nasionalisme yang berkembang di Indonesia berbeda dengan
nasionalisme yang berkembang di Eropa dua abad yang lalu. Pada saat
itu di Eropa sedang terjadi transisi perubahan masyarakat yang besar
besaran dari masyarakat agraris menuju masyarakat berpola
industrialisasi. Pada pola transisi masyarakat inilah kemudian muncul
golongan masyarakat kelas atas, menengah dan bawah, stratifikasi
masyarakat inilah yang kemudian memunculkan semangat
nasionalisme. Sementara itu nasionalisme yang berkembang di wilayah
Asia, terutama di Indonesia muncul sebagai akibat adanya praktik
kolonialisme dan imperialisme.
Hadirnya kolonialisme yang dilakukan oleh bangsa Belanda di
Indonesia telah membuat kehidupan bangsa Indonesia menjadi
menderita. Hal ini kemudian mendorong bangkitnya rasa nasionalisme,
tumbuh sebuah kesadaran secara nasional sebagai sebuah bangsa yang
terjajah. Munculnya nasionalisme di Indonesia dimulai sejak permulaan
awam abad ke-20 sebagai akibat lahirnya golongan terpelajar yang
peduli akan nasib bangsanya. Munculnya berbagai macam organisasi
kebangsaan termasuk organisasi politik yang kemudian dijadikan
sebagai media perjuangan untuk mencapai sebuah cita cita
kemerdekaan.
Salah satu partai politik yang muncul pada dasawarsa kedua abad
ke-20 adalah PNI yang berdiri pada tahun 1927 dengan Soekarno
sebagai ketuanya. PNI merupakan sebuah partai politik yang secara

377
Guntur Arie Wibowo hlm. 3

304
tegas menyampaikan tujuannya adalah mencapai Indonesia merdeka.
Prinsip non kooperasi dengan Marhaenisme sebagai ideologinya telah
menarik banyak simpati rakyat Indonesia terutama dari kalangan rakyat
378
jelata yang hidupnya menderita akibat penjajahan. Bagi Soekarno
nasionalisme yang berkembang di Asia sangat berbeda dengan
nasionalisme yang berkembang di barat. Nasionalisme di barat lahir dan
berkembang karena adanya semangat kapitalisme, kolonialisme dan
imperialisme, sementara nasionalisme di Asia khususnya di Indonesia
lahir sebagai akibat adanya praktek kolonialisme dan imperialisme dari
negara negara barat. 379
Cerita pewayangan tentang perang Bharatayuda antara keluarga
Pandawa dengan Kurawa sangat menginspirasi pola pemikiran politik
Soekarno. Tokoh Bima dalam cerita tersebut sangat menarik perhatian
Soekarno, dimana sosok Bima menjadi tokoh yang tidak mengenal
kompromi terhadap datangnya musuh. Pembawaan tokoh Bima inilah
yang kemudian hadir dalam diri Soekarno untuk mengambil sikap non
kooperatif terhadap penjajahan yang dilakukan oleh Belanda.
Nasionalisme yang dikembangkan oleh Soekarno ialah
nasionalisme yang mencermikan sikap anti terhadap kolonialisme dan
imperialisme. Penderitaan bangsa Indonesia akibat dari praktik
kolonialisme memberikan warna tersendiri terhadap nasionalisme yang
dkembangkannya. Nasionalisme yang diyakini ialah sebuah rasa yang
lahir dari menselijkheid. Nasionalismeku adalah perikemanusiaan
begitulah Soekarno mengutip pendapat Gandhi. Nasionalisme kita
bukanlah nasionalisme yang sempit, ia bukanlah rasa nasionalisme
yang timbul dari kesombongan bangsa belaka, ia adalah nasionalisme
yang lebar, nasionalisme yang timbul dari pada pengetahuan dan
riwayat bukanlah sekedar chauvinisme atau pun tiruan dari barat.

378
Ibid hlm. 2
379
Nazaruddin Sjamsuddin. 1988. Sukarno: Pemikiran Politik dan Kenyataan
Praktek. (Jakarta: Rajawali Press) hlm. 37

305
C. Kesimpulan
Soekarno mulai mengenal agama Islam sejak dia meneruskan
pendidikannya di HBS Surabaya. Soekarno remaja saat itu dititipkan oleh
sang ayah di rumah temannya yang bernama HOS Tjokroaminoto yang
tidak lain adalah tokoh Islam yang juga ketua Sarekat Islam. Selama di
Surabaya Soekarno banyak berkenalan dengan tokoh tokoh Islam lainnya
yang juga tinggal di rumah HOS Tjokroaminoto diantaranya adalah
Kartosuwiryo, Muso dan Alimin. Selama di Surabaya juga, Soekarmo
sering bertemu dengan tamu tamu HOS Tjokroaminoto yang juga
merupakan tokoh tokoh pembaharu Islam, diantaranya adalah KH Ahmad
Dahlan dan KH Hasyim As’ari. Pandangan Islam Soekarno semakin
bertambah sejak berkenalan dengan Haji Agus Salim, selamai dia
melanjutkan pendidikan tingginya di Bandung. Pertemuan Soekarno dengan
Haji Agus Salim sering diwarnai dengan diskusi dan perdebatan tentang
agama Islam, Soekarno semakin tertarik dengan Islam, mengapa orang lain
tau banyak tentang Islam sementara dia tidak. Pemikirian itulah yang
kemudian menjadikan Soekarno belajar banyak tentang buku buku Islam
dari tulisan tokoh tokoh dunia diantaranya dari Mesir, Turki dan India.
Bangsa Indonesia dengan umat Islam sebagai mayoritas seharusnya
menjadikan bangsa Indonesia menjadi sebuah bangsa yang maju, mengapa
hal ini bisa menjadi sebuah kebalikan? dimana umat Islam Indonesia justru
menjadi umat yang terbelakang. Dalam pemahaman Soekarno hal ini
disebabkan oleh pola pikir masyarakat muslim Indonesia yang masih belum
rasional dan sering diwarnai dengan hal hal yang berbau takhayul. Selain
itu dalam pandangan kenegaraan Islam harus ditempatkan pada ranah privat
bukan pada ranah publik, negara harus bersifat demokratis, Islam tidak
boleh dicampur adukkan dengan urusan kenegaraan, Islam harus menjadi
tanggungjawab pribadi masing masing pemeluknya dan bukan menjadi
urusan negara, hal inilah yang sering menimbulkan perdebatan tentang
konsep negara dan Islam antara Soekarno dengan beberapa tokoh Islam
lainnya diantaranya adalah Mohammad Natsir

306
Pemikiran Soekarno tentang ajaran Komunisme sebenarnya muncul
ketika dia mempelajari buku buku dari karya Karl Marx dan Frederich
Engels. Cita cita kesejahteraan dan kemakmuran oleh kedua tokoh tersebut
bukannlah sebuah ketetapan seperti ajaran nabi dalam kitab kitab suci.
Ajaran komunis haruslah menyesuaiakan dengan perubahan dan
perkembangan zaman. Komunis paham akan hal itu maka, ketika komunis
masuk ke wilayah Asia, dia harus mampu untuk bekerjasama dengan
kelompok kelompok mayoritas yang ada di sana, kelompok nasionalis dan
Islam adalah target utamanya.
Meskipun pemikiran Soekarno banyak dipengaruhi oleh pemikir
sosialis sosialis barat tetapi dalam perjuangannya Soekarno yakin bahwa
pemikirannya bukan merupakan Marxisme Sosialis. Hal ini seperti
pernyataan Sooekarno: Tak Seorangpun manusia progresif yang berpikiran
sehat akan menentang cita cita komunis dalam bidang sosial dan ekonomi,
kami menyetujui itu semua, akan tetapi aku tidak melupakan Tuhan, jadi
aku tidak mungkin jadi komunis.
Pergerakan kaum Marxis di Indonesia menurut Soekarno pasti
menumbuhkan rasa nasionalisme dari kaum buruh untuk menentang
golongan kaum kapitalis ataupun penjajah. Demikian pula kebencian kaum
Marxis terhadap agama dikarenakan oleh sikap kaum gereja yang
reaksioner, hal ini tentunya tidak sama dengan golongan kaum muslim
Indonesia yang anti terhadap penjajahan, anti kapitalis, anti riba dan
menginginkan sebuah bentuk kemerdekaan.
Menurut pandangan Soekarno rasa nasionalisme sebuah negara atau
bangsa muncul sejak bangsa atau negara tersebut merasa menderita dan
terjajah sebagai akibat adanya praktik kolonialisme dan imperialisme.
Bangsa Indonesia sebagai salah satu bangsa di Asia yang mengalami praktik
penjajahan dari bangsa barat merasa sangat menderita dan mengalami
diskriminasi yang luar biasa dalam berbagai macam hal. Soekarno sebagai
salah satu founding father bangsa Indonesia merasa bahwa kesempatan
memperoleh pendidikan saja sangat terbatas bagi kalangan bumi putera.

307
Rasa nasionalisme Soekarno mulai muncul sejak sang kakek yang suka
mengajarkan kepada dia tentang filsafat pewayangan, dimana muncul tokoh
keluarga Pandawa dan Kurawa dalam perang Baratayudha. Cerita
pewayangan ini kemudian mengilhami dalam diri Soekarno untuk bangkit
melawan penjajah Belanda. Meskipun Soekarno menjadi pendidikan
bercorak Belanda namun semangat nasionalisme dalam dirinya tidak pernah
pudar. Selepas menyelesaikan pendidikan tingginya di Bandung, walaupun
banyak mendapat tawaran untuk bekerja di pemerintahan namun Soekarno
lebih memilih idealismenya dalam bidang politik, tak ayal penjara dan
pembuangan menjadi warna kehidupannya.

308
DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Ahmad Noto Soetardjo. (1997). Bung Karno Mencari dan Menemukan


Tuhan. Jakarta: Lembaga Pencari dan Penghitung Sejarah Revolusi
Indonesia

Ahmad Syafii Maarif. (1985). Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta:


LP3ES

Arfandi A. Cenne. (2016). Pemikiran Politik Soekarno Tentang Nasakom


Rentang Waktu 1959-1966). Skripsi Jurusan Ilmu Politik
Pemerintahan, Fisipol Unhas.

Arif Zulkifli. (2010). Seri Buku Tempo: Paradoks Revolusi Indonesia.


Jakarta: Gramedia

Cindy Adams. (1988). Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.


Terj. Abdul Bar Salim. Jakarta: Haji Mas Agung

Ensiklopedi Indonesia Jilid 3. (1983). Soekarno. Jakarta: Ichtiar Baru Van


Hoeve

John D. Legge. (1996). Soekarno Sebuah Biografi Politik. Jakarta: Pustaka


Sinar Harapan.

M. Ridwan Lubis. (2010). Sukarno dan Modernisasi Islam. Jakarta: Bambu

Munawir Sjadzali. (1990). Islam dan Tata Negara, Ajaran Sejarah dan
Pemikiran. Jakarta: UI Press

Nazaruddin Sjamsuddin. (1988). Sukarno: Pemikiran Politik dan


Kenyataan Praktek. Jakarta: Rajawali Press

Soekarno. (tt). Amanat P.J.M Presiden Soekarno Panglima


Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi Indonesia /Pahlawan Islam dan
Kemerdekaan Pada Peringatan Hari Hari Besar Islam 1961-1963.
Jakarta: Cendikia

Jurnal:

Ahmad Jumhan. (2016). Konsep Pemikiran Islam Soekarno.


http://jurnal.um.palembang.ac.id

Guntur Arie Wibowo. (2013). Konsep Nasionalisme Soekarno Dalam PNI


1927-1930. http://e-journal.unipma.ac.id Vol 3 No 02

309
Rusli Kustiawan Iskandar. (2003). Polemik Dasar Negara Islam Antara
Soekarno dan Mohammad Natsir. Jurnal Mimbar Vol. No 2 April-
Juni

Syarifuddin. (2013). Tuhan Dalam Pergulatan Pemikiran Soekarno. Jurnal


Substantia. Vol. 15 No 2

Yusni Biliu. (2017). Pemikiran Soekarno Tentang Islamisme dan


Pemahaman Pendidikan Islam. Jurnal Ilmiah Al Jauhari Vol 2 No.
2

310
REFLEKSI PEMIKIRAN EKONOMI KERAKYATAN MOHAMMAD
HATTA

Oleh: Ahmad Benny Syahputra


NIM. 20718251021

A. Pendahuluan
Secara umum ekonomi merupakan tonggak kehidupan bangsa. Refleksi
dari kehidupan ekonomi merupakan sebuah realitas untuk mencapai
kemakmuran bangsa. Namun pada kenyataannya hasil yang dicapai
kadangkala tidak sejalan dengan sistem yang sudah diterapkan. Masih ada
masyarakat yang hidup dalam kesengsaraan dan kemiskinan. Dari situlah ide-
ide ekonomi kemakmuran muncul. Mohammad Hatta yang selanjutnya disebut
Bung Hatta, dikenal sebagai Bapak Proklamator Indonesia yang turut
memberikan sebuah gagasan ekonomi yang dikenal sebagai Ekonomi
Kerakyatan. Secara genealogis, Bung Hatta lahir di Bukit Tinggi, 12 Agustus
1902. Ia memiliki ketertarikan yang sangat kuat dalam bidang ekonomi.
Sumbangsih ekonominya tercermin dalam pendirian koperasi di Indonesia
(Pohan, 2018).

Pemikiran dan pandangan ekonomi Bung Hatta merupakan sebuah


kontradiktif untuk melawan sekaligus mengkritik dominasi konsep ekonomi
liberal yang dinilai oleh Bung Hatta bukanlah solusi terbaik untuk masyakarat
Indonesia. Hal tersebut diyakini tidak sesuai dengan karakter dan kepribadian
bangsa, sehingga Hatta berusaha untuk merefleksikan ide-idenya terintergrasi
dengan karakter bangsa Indonesia (Pohan, 2018). Dalam pandangannya Bung
Hatta secara tegas mengatakan bahwa ia menolak liberalisme dengan sebuah
pernyataan: “Janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas
kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu negara
kekuasaan”.

Pernyataan tersebut membuat kekhawatiran dirinya akan munculnya


negara kekuasaan atas liberalisme. Apabila perekonomian dikuasai oleh kaum

311
minoritas maka keadilan bangsa tidak akan terwujud dan sistem tersebut akan
menguasai suatu negara. Dari sinilah kritik keras Bung Hatta muncul atas
liberalisme-kapitalisme. Dalam diskursus atas kritik terhadap liberalisme dan
kapitalisme, Bung Hatta melihat bahwa masyarakat harus mendapatkan
keadilan. Perwujudan dari keadilan inilah yang kemudian harus direfleksikan
terhadap sistem ekonomi yang mampu menjamah masyarakat miskin dengan
ekonomi rakyat (Tim Tempo, 2016)

Fadli Zon mengungkapkan bahwa, substansi pemikiran ekonomi


kerakyatan Mohammad Hatta merupakan sebuah konsep dari politik ekonomi.
Dalam hal ini, Hatta menempatkan manusia sebagai poros dalam kegiatan
ekonomi atau pembangunan yang berpusat pada rakyat (Winata, Bangun
Hutama,. dkk, 2020) Politik ekonomi yang dimaksud oleh Mohammad Hatta
adalah mendeskripsikan permasalahan sebagaimana mestinya dan berusaha
mengelaborasi dampak-dampak yang mempengaruhi kemakmuran
rakyat.secara yuridis, konsep ekonomi kerakyatan kemudian dinyatakan dalam
konstitusi Republik Indonesia Pasal 33 UUD 1945, yaitu: (1) Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. (2) Cabang-
cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak (harus) dikuasai oleh negara. (3) Bumi, air, dan segala kekayaan
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi
sebesar-besar kemakmuran rakyat (Mubyarto, dkk, 2014)

Pada konsep pemikiran Bung Hatta mengenai ekonomi, Bung Hatta tidak
hanya memasukan gagasan nasional dan demokratisnya saja melainkan juga
memasukan unsur Islam turut andil dalam pemikirannya. Pribadi ke-Islaman
yang melekat dalam dirinya karena asal usul tanah kelahiran dan keluarganya
yang beragama Islam. Ia yang hidup di Minangkabau sejak kecil serta identitas
Islam sebagai urgensi suku Minangkabau membuat Hatta pun ikut dalam
kebudayaan dan agama daerahnya. Kepribadian Bung Hatta yang peduli dan
peka terhadap masyarakat membuat kesadaran Bung Hatta bermasyarakat
berkembang secara positif (Itang, 2016). Dari gagasan Ekonomi Kerakyatan

312
yang Mohammad Hatta cetuskan kemudian diimplemetasikan dalam sebuah
pendirian koperasi.

Koperasi dan usaha kecil menengah dinilai sebagai sebuah usaha


perekenomian yang lebih dekat dengan jiwa dan semangat masyarakat
Indonesia yaitu gotong-royong. koperasi memiliki peran strategis dalam
menggerakkan perekonomian rakyat dan pembangunan nasional. Peran
koperasi tidak hanya sebatas kegiatan ekonomi melainkan terdapat semangat
gotong royong yang memiliki arti semangat kebersamaan, dan prinsip keadilan
yang ada dalam masyarakat Indonesia. Tujuan Bung Hatta mendirikan koperasi
relevansinya tidak hanya mencari untung, namun sebagai gerakan untuk
memicu tumbuhnya ekonomi yang lebih baik dan kemakmuran yang
menyeluruh dari berbagai lapisan masyarakat (Savitri, 2020).

B. Pembahasan
1. Biografi Muhammad Hatta
Muhammad Hatta, atau selanjutnya dikenal dengan Bung Hatta lahir di
Bukit Tinggi, 12 Agustus 1902. Bung Hatta kecil dilahirkan dari pasangan
H. Muhammad Djamil yang lahir dari keluarga agamis atau keluarga
Syekh, dan ibunya, Siti Saleha yang berasal dari keluarga dengan latar
belakang pengusaha. Tradisi intelektual Bung Hatta secara kultural tidak
terlepas dari peran keluarga, sebagaimana garis keturunan dari ayahnya
yang merupakan keluarga ulama, dan ibunya yang merupakan keturunan
saudagar (Yusuf, Nasrudin. dkk, 2019).

Bung Hatta tumbuh remaja dalam lingkungan budaya dan masyarakat


Minangkabau. Pada fase inilah kemudian Bung Hatta mengenal dan
menghayati dengan baik terkait aspek (historis, sosiologis, kultural dan
agama) kehidupan masyarakat Minangkabau dalam di penghujung abad ke-
19 dan awal abad ke-20 yang diwarnai oleh gairah untuk modernisasi diri,
akibat pengaruh aliran baru di bidang keagamaan dan pendidikan sekuler
dari pemerintah kolonial. Dalam buku Memoir-nya, Bung Hatta
menceritakan segelintir kisah tentang masa kecilnya dengan keluarga

313
besarnya di Bukittinggi, terutama interaksinya dengan beberapa anggota
keluarganya, dan dari siapa ia mendapat pengetahuan (Suleman, 2010).

Karir pendidikan formal Bung Hatta dimulai dari ELS (Europese


Lagere School) atau sekolah dasar untuk orang-orang kulit putih di Bukit
Tinggi, namun memasuki kelas lima pada tahun 1913, Bung Hatta
kemudian pindah ke ELS di Padang hingga ia menamatkan jenjang
sekolahnya pada tahun 1916. Kepindahan Hatta ini didorong oleh alasan
dari keinginan pihak keluarga agar Bung Hatta dapat mendalami pelajaran
bahasa Perancis (di samping bahasa Belanda dan bahasa Inggris) yang
hanya ada di ELS Padang sebagai persiapan untuk dapat melanjutkan
jenjang sekolah lanjutan di HBS (Hogere Burger School), yakni sekolah
menengah lima tahun di Batavia Namun dalam pelaksanaannya Bung Hatta
kemudian tidak diizinkan oleh ibu dan mamaknya (paman) untuk dapat
melanjutkan pendidikannya di HBS Batavia karena dianggap masih terlalu
muda (Suleman, 2010).

Setelah melalui kekecewaan dan pemikiran ulang, Bung Hatta


kemudian mematuhi saran keluarganya untuk melanjutkan jenjang
pendidikannya di MULO (Meer Uitgebried lager onder wejd) Padang pada
tahun 1917. Dasar pendidikan agama yang kuat yang diterimanya di Bukit
Tinggi kemudian ia teruskan semasa di Padang Bung Hatta menempuh
jenjang studi di MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) (Pohan,
2018). Masa-masa Bung Hatta di MULO, kemudian menjadi periode yang
penting dimana saat kesadaran politiknya sebagai anak bangsa mulai
tumbuh dan berkembang, terutama dalam kedudukannya sebagai pelajar
yang dinilai memiliki kontribusi positif sebagai seorang yang dapat
dipercaya saat berperan aktif dalam owadah organisasi Jong Sumatranen
Bond (Tim Tempo, 2016).

Setelah menamatkan studinya di MULO, Bung Hatta kemudian


mendapat kesempatan untuk melanjutkan jenjang studinya di sekolah PHS
(Prins Hendrik Handles School) Jakarta pada tahun 1919 dan berhasil

314
diselesaikanya pada tahun 1921. Fase selanjutnya setelah Bung Hatta
menamatkan studinya di PHS, Bung Hatta kemudian mendapatkan
kesempatan untuk melanjutkan studi ke Belanda pada tahun 1921 di
Nederlandsche Handels Hoogeschool dengan jaminan beasiswa dari Van
Deventer Stichting, berkat nasihat dan dukungan kuat dari gurunya di PHS,
Dr. De Kock, dan juga dukungan dari kerabat Bung Hatta yang bernama
Mak Etek Ayub seorang putra pejuang dalam peristiwa perang Kamang
(perang Belasting) 1908, dan juga seorang saudagar yang menaruh
perhatian pada pendidikan Bung Hatta (Suleman, 2010).

Kiprah organisasi Bung Hatta di negeri Belanda dimulai pada saat Bung
Hatta bergabung dalam wadah organisasi yang beranama Indisce
Vereeniging (atau dikenal sebagai Perhimpunan Hindia), yang kemudian
menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Sebuah organisasi yang pada
awalnya bersifat sosial, yang didirikan tahun 1908 sebagai forum tempat
bertemu antar pelajar, termasuk pelajar Indonesia di negeri Belanda (Itang,
2016).

2. Corak Pemikiran Muhammad Hatta


Sebagaimana telah disinggung atas, corak pemikiran Bung Hatta
didapatkan pada karakteritik adat istiadat dan kaidah keislaman yang
didapat dari di lingkungan keluarganya. Semasa sekolah, pengalaman Bung
Hatta selama belajar di MULO yang tidak hanya terlibat pada aktifitas
formal di sekolah, melainkan bagaimana Bung Hatta memahami dan
menanggapi lingkungan barunya dengan berbagai aktivitas pergaulannya
yang lebih luas di lingkungan luar sekolah, dalam hal ini bertemu dengan
para pemimpin dan mulai aktif dalam organisasi JSB (Jong Sumatranen
Bond) dan berkenalan dengan tokoh-tokoh Minangkabau dari Batavia,
yakni Nazir Datuk Pamuncak yang datang ke Padang pada bulan Januari
1918 dan Abdul Muis dari Parta Syarikat Islam yang juga sebagai anggota
Volksraad (Suleman, 2010).

315
Namun perlu dicatat sebelumnya ialaha ketika pertama kali Bung Hatta
bertemu dengan H. Abdullah Ahmad (1878-1933), seorang guru agama dan
salah seorang dari tiga tokoh pembaharu Islam di Sumatera Barat, beserta
dua tokoh yang lain, H. Moehammad Jamil Jambek di Bukittinggi dan H.
Rasul Karim Amrullah. H. Abdullah Ahmad seebagai guru yang
memberikan pelajaran agama Islam untuk para pelajar MULO yang turut
berperan serta dalam memberikan corak pemikiran Islam Bung Hatta yang
di korelisasikan dengan keadaan dunia modern dengan cara
memperkenalkan ilmu pengetahuan Barat.Sejak saat itulah, wawasan Bung
Hatta kemudian bertambah, dimana ia tidak hanya aktif dalam JSB namun
juga menjalin hubungan dengan Serikat Usaha pedagang pribumi di
Padang, khususnya dengan Sekretarisnya yang bernama Engku Taher
Marah Sutan, seorang agen perkapalan di Pelabuhan Teluk Bayur, yang
kemudian dikomentari Hatta sebagai seorang pekerja ulet, idealis dan
memiliki pilkiran yang maju (Suleman, 2010).

Berbagai pengalaman pergaulan yang dimiliki oleh Bung Hatta, dan


ditambah lagi kegemarannya membaca buku-buku yang tidak sekedar
untuk kepentingan studi formalnya di bidang ekonomi, turut berperan serta
dalam pembentukan corak pemikirannya. Dengan pergaulan yang
dimilikinya dengan keluarga Belanda, sejak masa kecil di Bukittinggi
sampai pendidikan menengah di Padang dan Batavia inilah yang kemudian
menempa Hatta untuk dapat menjalani suasana kehidupan masyarakat
Barat dengan lebih baik dan menyerap segi positif dari budaya dan
peradaban Barat seperti berpikir rasional, kerapian dalam berpakaian, sikap
ketelitian, tertib dan disiplin terhadap waktu ketika menempuh studi
lanjutan di Rotterdam, Belanda. (Suleman, 2010).

Pemikiran Bung Hatta juga diwarnai oleh Diskursus ide dan gagasan
antara para pendukung kedua kutub pemikiran yang sengit dan tajam antara
kapitalisme dan sosialisme, Hatta mengikuti dan menikmati hal tersebut
dari luasnya spektrum dan cakrawala perdebatan kedua mazhab

316
kapitalisme dan sosialisme. Dalam diskursus tersebut, Bung Hatta
menjatuhkan pilihan idealisme pemikirannya kepada cara berpikir
sosialisme yang kemudian diielaborasikan dengan ajaran Islam (Pohan,
2018). Hal tersebut dakat diketahui berdasarkan tulisannya yang berjudul
Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia.

“Sosialisme dipahamkan sebagai tuntutan yang instutioril., yang


bersumber dalam" lubuk hati jang murni,berdasarkan
perikemanusiaan dan keadilan sosial. Agama menambah
penerangannya. Tetapi bagaimana menduduhkannya dan apa dasar
sosialnya, supaya keinginan hati itu djangan mendjadi utopia belaka?
Maka dicarilah dasar-dasarnya itu kedalam masyarakat sendiri. Sebab,
kalau sosialisme mau kuat di Indonesia, mestilah ada akarnya dalam
pergaulan hidup rndonesia. Dasar-dasar bagi sosialisme Indonesia
terdapat pada masjarakat desa yang asli, yang bercorak kolektif, yang
banjak sedikitnya rnasih bertahan sampai sekarang”. (Hatta, 1963)

3. Gagasan Ekonomi Kerakyatan


Mubyarto dalam bukunya yang berjudul Ekonomi Kerakyatan,
menegaskan bahwa terminologi dari Sistem Ekonomi Kerakyatan adalah
Sistem Ekonomi Nasional Indonesia yang berasas kekeluargaan,
berkedaulatan rakyat, bermoral Pancasila, dan menunjukkan keberpihakan
yang sungguh-sungguh pada daulat atas ekonomi rakyat (Mubyarto, dkk,
2014). Sejalan dengan pengertian diatas Revrisond Bawsir menegaskan
bahwa, sistem ekonomi kerakyatan (democratic economic system) adalah
sebuah sistem dan proses ekonomi dimana terdapat upaya pemindahan
kedaulatan ekonomi (power to control) dari para oligarki atau para pemilik
modal ke dalam tangan seluruh anggota masyarakat (Baswir, Revrisond,
2014). Kemudian terkait tujuan Ekonomi Kerakyatan, Benny Pasaribu
secara gamblang menegaskan bahwa tujuan daripada Ekonomi Kerakyatan
tidak lain adalah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat (bonum
commune) (Pasaribu, 2014). Berdasarkan pengertian diatas maka, Ekonomi

317
kerakyatan dapat dipahami sebagai sistem ekonomi yang mengarahkan
masyarakat Indonesia pada sistem ekonomi kemasyarakatan yang berasas
kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, bermoral Pancasila, dan serta bertujuan
untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Dalam sudut pandang agama (khususnya Islam) mengenai ekonomi


kerakyatan, Amin Suma dalam tulisannya yang dimuat dalam buku
Ekonomi Kerakyatan (2014) menegaskan bahwa dalam unsur keagamaan
(Islam) istilah ekonomi kerakyatan tidak serta merta hanya dilandasi oleh
unsur pahala, karena dalam orientasinya praktek ekonomi kerakyatan
bersifat kekinian dan pragmatis, namun terdapat banyak hal terkait ekonomi
kerakyatan yang dapat ditemukan di Alqur’an dibandingkan pasal yang ada
dalam UUD 1945 (Suma, 2014). Secara Yuridis, Ekonomi Kerakyatan
mengacu pada Pasal 33 UUD 1945, yaitu sebuah sistem perekonomian yang
memiliki tujuan untuk mewujudkan ekonomi kedaulatan rakyat. Secara
rinci, Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa.(1) Perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak (harus) dikuasai oleh negara. (3) Bumi, air, dan segala kekayaan
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sebagaimana Penjelasan UUD 1945
Pasal 33 yakni.

“Bahwa dasar demokrasi ekonomi produksi dikerjakan oleh semua,


untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota
masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan
kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan
yang sesuai dengan itu ialah Koperasi”

318
Walaupun secara terminologi, istilah Ekonomi kerakyatan merupakan
terminologi ekonomi yang dicetuskan oleh Mohammad Hatta pasca
kolonialisme Hindia Belanda (Mubyarto, dkk, 2014). Cita-cita Bung Hatta
agar peran rakyat semakin meningkat dan berkembang dalam melaksanakan
segala tahapan kegiatan ekonomi itu sendiri, mulai dari kegiatan produksi,
distribusi, dan pemasarannva untuk berbagai produk dan jasa yang
dibutuhkan bagi masyarakat, khususnya seluruh rakyat Indonesia
digambarkan dalam sebuah gagasan yang dinamakan Ekonomi Kerakyatan.
Istilah ekonomi rakyat yang digagas oleh Bung Hatta mulai pada tahun
1933, pada dasarnya penggambaran sebuah keadaan ekonomi rakyat yang
lemah, dan dikuasai oleh penjajah atau bangsa asing pada saat itu (Yuskar,
2006). Atas dasar tersebut, maka Bung Hatta kemudian mengidentikkan
sebuah demokrasi ekonomi dengan kemakmuran masyarakat, bukanlah
sebuah kemakmuran yang individual (Suleman, 2010).

4. Implikasi Pemikiran Ekonomi Kerakyatan Muhammad Hatta


Menurut Rizal Ramli, Interpretasi dari ekonomi kerakyatan saat ini
adalah tentang perlawanan terhadap kapitalis, karena selama ini
pelaksanaan ekonomi konvensional cenderung menggunakan indikator
pertumbuhan ekonomi, dimana seharusnya indikator dari pelaksanaan
ekonomi kerakyatan adalah human development index (indeks
pembangunan manusia) (Ramli, 2014). Diskursus dari pemikiran ekonomi
Muhammad Hatta sejatinya mengenai ekonomi kerakyatan dipengaruhi
oleh kondisi masyarakat asli Indonesia dan konsep-konsep yang melekat
didalamnya seperti halnya desa demokrasi, rapat, kolektivisme,
musyawarah, mufakat, tolong-menolong. Tujuannya adalah sebagai
pondasi empiris-sosiologis mengenai konsep demokrasi yang
diperjuangkan oleh Bung Hatta yang sesuai dengan sifat kehidupan
masyarakat asli Indonesia, dan bukan merupakan sesuatu yang asing dari
realitas pribadi kehidupan bangsa Indonesia (Suleman, 2010).

319
Dalam pelaksanaan bidang ekonomi, Bung Hatta menyoroti adanya
sebuah badan koperasi ialah sejalan dengan pelaksanaan sosialisme yang
ada di Indonesia, yang sesuai dengan pasal 33, Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 34
UUD 1945. Menurut Bung Hatta disamping koperasi, peranan lembaga
ekonomi lainnya bergantung pada efisiensi dari sebuah kegiatan ekonomi
apakah kegiatan terbeut diserahkan kepada negara, swasta, koperasi, dan
atau campuran antara swasta dan pemerintah dengan kedudukan Negara
sebagai pengawas. Karena menurut bung Hatta Sosialisme menghendaki
sebuah pekerjaan yang efisien dan tepat (Noer, 2018). Sedangkan
pemahaman mengenai azas kerakyatan menurut Bung Hatta ialah.

“Asas kerakyatan mengandung arti bahwa kedaulatan ada pada


rakyat. Segala hukum (recht, peraturan perundang-undangan)
haruslah bersandar pada perasaan keadilan dan kebenaran yang hidup
dalam hati rakyat banyak, dan aturan penghidupan haruslah sempurna
dan berbahagia bagi rakyat kalau ia beralasan kedaulatan rakyat”.
(Baswir, Revrisond, 2014).

Maka diskursus mengenai ekonomi kerakyatan dalam pelaksanaanya


haruslah sesuai dengan amanat pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi,
“Setiap warga negara berhak mendapat pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan.” Kemudian dilanjutkan dengan amanat pasal 34
UUD 1945 yakni, “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara
oleh negara.” Oleh karena itu setiap anggota masyarakat harus berpartisipasi
dalam mengendalikan jalannya roda perekonomian nasional (Baswir,
Revrisond, 2014).

Tantangan terkait diskursus ekonomi kerakyatan dalam sistem ekonomi


Indonesia, yakni adanya ketidakpahaman terkait UUD kita Pasal 33 Ayat 1
yang merumuskan bahwa ”Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
atas asas kekeluargaan” dimana menurut Sri Edi Swasono seharusnya dasar
tentang pemahaman ekonomi nasional Indonesia adalah sebuah
kooperativisme. Hal tersebut sejalan sebagaimana penjelasan yang terdapat

320
dalam Pasal 33: ”…bangun perusahaan yang sesuai adalah koperasi…”. Jika
hal tersebut dijalankan sebagaimana mestinya, maka pelaksanaan koperasi
di Indonesia dapat menggunakan tiga prinsip Triple-Co yang saling
berkaitan, yakni co-ownership (ikut memiliki), co-determination (ikut
menentukan), dan co-responsibility (ikut bertanggung jawab), sebagai
wujud dari asas kebersamaan dan asas kekeluargaan sebagiamana tercermin
dalam pasal 33 ayat 1 UUD 1945 (Swasono, 2016).

C. Kesimpulan

Muhammad Hatta, atau selanjutnya dikenal dengan Bung Hatta lahir di


Bukit Tinggi, 12 Agustus 1902. Corak pemikiran Bung Hatta muda didapatkan
pada karakteristik adat istiadat dan kaidah keislaman yang didapat dari di
lingkungan keluarganya, dan berbagai aktivitas pergaulannya yang lebih luas
di lingkungan luar sekolah. Tumbuh dan berkembangnya corak pemikiran
Bung Hatta turut diwarnai oleh Diskursus ide dan gagasan antara para
pendukung kedua kutub pemikiran yang sengit dan tajam antara kapitalisme
dan sosialisme. Yang kemudian membawa Bung Hatta menjatuhkan pilihan
idealisme pemikirannya kepada cara berpikir sosialisme yang kemudian
diielaborasikan dengan ajaran Islam. Istilah ekonomi kerakyatan adalah sebuah
cita-cita dan gagasan Bung Hatta agar rakyat memiliki peran serta dalam
melaksanakan segala tahapan kegiatan ekonomi itu sendiri, mulai dari kegiatan
produksi, distribusi, dan pemasarannva untuk berbagai produk dan jasa yang
dibutuhkan bagi masyarakat Indonesia, yang sesuai dengan sifat kehidupan
masyarakat asli Indonesia, dan bukan merupakan sesuatu yang asing dari
realitas pribadi kehidupan bangsa Indonesia .

321
DAFTAR PUSTAKA

Baswir, Revrisond. (2014). Ekonomi Kerakyatan Sebagai Sistem Indonesia. In M.


Ridwan (Ed.), Ekonomi Kerakyatan (pp. 29-38). Lembaga Suluh Nusantara.
Hatta. (1963). Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia. Jakarta: Jambatan.
Itang. (2016). Pemikiran Ekonomi Koperasi Mohammad Hatta: Relevansinya
dengan Etika Ekonomi Islam. Banten: Laksita Indonesia.
Kuntowijoyo. (2018). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Mubyarto, dkk. (2014). Ekonomi Kerakyatan. (M. Ridwan, Ed.) Jakarta: Lembaga
Suluh Nusantara.
Noer, D. (2018). Biografi Politik Mohammad Hatta Jilid 2. In Mohammad Hatta
dan Persatuan Indonesia. Jakarta: Kompas.
Pasaribu, B. (2014). Ekonomi Kerakyatan dan Revolusi Mental. In M. Ridwan
(Ed.), Ekonomi Kerakyatan (pp. 39-42). Jakarta: Lembaga Suluh Nusantara.
Pohan, A. I. (2018, November). Rekonstruksi Pemikiran Ekonomi Kerakyatan
Mohammad Hatta. JIPP, 4(1), 21—31. Retrieved Mei 23, 2021, from
http://jurnal.unsil.ac.id/index.php/jipp/article/view/859
Ramli, R. (2014). Telaah Wacana Ekonomi Kerakyatan. Dalam M. Ridwan
(Penyunt.), Ekonomi Kerakyatan (hal. 11-21). Jakarta: Lembaga Suluh
Nusantara.
Savitri, P. (2020). Alignment of The Concept of Mohammad Hatta Cooperative and
Sharia Cooperative to Prevent Inflation. Journal Of Economicate Studies
(JoES), 4(2), 76-88. doi:https://doi.org/10.32506/joes.v4i2.639
Suleman, Z. (2010). Demokrasi untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta.
Jakarta: Kompas.
Suma, A. (2014). Ekonomi Kerakyatan dalam Perspektif Agama Islam. In M.
Ridwan (Ed.), Ekonomi Kerakyatan (pp. 45-50). Jakarta: Lembaga Suluh
Nusantara.
Suseno, Franz Magnis, dan J.S Rohaniwan. (2016). Bung Hatta dan Demokrasi. In
Tempo, Seri Buku Tempo: Bapak Bangsa (p. 77). Jakarta: KPG
(Kepustakaan Populer Gramedia).
Swasono, S. E. (2016). Koperasi dan Ekonomi Humanistik. In M. Ridwan (Ed.),
Ekonomi Kerakyatan (pp. 153-156). Jakarta: Lembaga Suluh Nusantara.
Tim Tempo. (2016). Bung Hatta dan Demokrasi (Seri Buku Tempo: Bapak Bangsa
ed.). Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

322
Winata, Bangun Hutama,. dkk. (2020). Development of an Integrated Inquiry
Model the Value of Thought Economy of Mohammad Hatta in Social
Studies Subject. Budapest International Research and Critics in Linguistics
and Education (BirLE) Journal, 3(2), 1013-1020.
doi:https://doi.org/10.33258/birle.v3i2.1028
Yuskar. (2006, agustus 12). Bung Hatta, Ekonomi Kerakyatan, dan Koperasi: Potret
Masalalu, Kini, dan Yang Akan Datang. Buku Kecil Rangkaian Ulang
Tahun Bung Hatta Ke 106. Universitas Bung Hatta, Padang. Retrieved mei
20, 2021, from http://repo.unand.ac.id/4760/1/
Yusuf, Nasrudin. dkk. (2019). Pemikiran Mohammad Hatta tentang Ekonomi
Syariah di Indonesia. Potret Pemikiran, 29(1), 36-50.
doi:http://dx.doi.org/10.30984/pp.v23i1.973
Zed, Mestika. (2004). Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor.

323
PEMIKIRAN KI HADJAR DEWANTARA: PENDIDIKAN

Oleh: Yunita Indah Pratiwi


NIM. 20718251026

A. Pendahuluan

Pendidikan pada hakikatnya adalah untuk membangun peradaban bangsa


melalui membangun manusia seutuhnya. Pendidikan merupakan hak setiap
orang untuk meningkatkan harkat dan martabatnya dalam kehidupan sehari-
hari. Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam sejarah perjuangan
bangsa Indonesia.380 Senada dengan hal tersebut, pendidikan juga diartikan
sebagai usaha dasar untuk memberikan nilai-nilai kebatinan dan kebudayaan
yang ada dalam hidup masyarakat yang memiliki kebudayaan pada setiap
keturunan, tidak saja berupa “pemeliharaan” tetapi juga untuk memajukan dan
mengembangkan kebudayaan. Jika kita lihat perkembangan Indonesia, sistem
pendidikan dalam sejarah penjajahan kolonial Belanda sangat berkaitan dengan
kepentingan kolonial Belanda dan sistem pendidikan barat.381
Ki Hadjar Dewantara menilai sistem barat kurang tepat bagi pendidikan di
Indonesia, oleh sebab itu ia memunculkan sistem among, sebuah sistem yang
berbanding terbalik dengan sistem barat atau sistem Belanda pada masa itu.
Sistem among merupakan sistem pendidikan yang bertujuan untuk
menghasilkan manusia yang dapat mengatur dirinya sendiri, manusia yang
berdiri sendiri dalam merasa, berpikir, dan bertindak, manusia yang
berkepribadian dan berkarakter.382 Ki Hadjar Dewantara dengan nama asli RM
Soewardi Soerjaningrat membuka pandangan terhadap pendidikan di
Indonesia yang semestinya diberikan kepada masyarakat, yakni pendidikan
yang memerdekakan.

380
Sugiyono et al., Peta Jalan Pendidikan Indonesia, (Yogyakarta: UNY), hlm. 1.
381
Ab Marisyah, dkk., “Pemikiran Ki Hadjar Dewantara Tentang Pendidikan”, (Jurnal
Pendidikan Tambusai, Vol. 3, No. 6, Desember 2019), hlm. 1514.
382
I Putu Ayub Darmawan, “Pandangan dan Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara”,
(Prosiding Bedah Buku dan Seminar Nasional Pemikiran Ki Hadjar Dewantara, 2016), hlm. 119.

324
Dewasa ini, pendidikan di Indonesia memakai istilah revolusi mental.
Kajian yang mengusahakan pendidikan karakter dalam prosesnya. Perlu
diingat bahwa revolusi mental merupakan bagian dari kebudayaan. Tak
memungkiri bahwa konsep pendidikan di abad 21 berkaitan dengan apa yang
diusung dalam pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Kemajuan zaman membawa
masyarakat khususnya peserta didik agar mampu mengembangkan ilmu
pengetahuan dan kemajuan teknologi.383 Akan tetapi, ilmu pengetahuan dan
teknologi tidak dapat menumbuhkan watak dan karakter dalam diri peserta
didik. Sehingga pendidikan karakter perlu diintegrasikan dalam mata pelajaran
di sekolah dengan memasukkan nilai religius atau keagamaan, sikap toleransi,
kedisiplinan, kerja keras, mandiri, kreatif, demokratis, rasa ingin tahu, cinta
tanah air, semangat kebangsaan, komunikatif, menghargai prestasi, cinta
damai, peduli sosial, peduli lingkungan, dan bertanggungjawab.384
Kita dapat mengetahui bahwa nilai-nilai karakter yang terkandung pada
penjelasan diatas dalam kajian revolusi mental didasarkan pada filosofi
pendidikan yang menekankan cipta, rasa, dan karsa. Maka muncullah sistem
pendidikan dalam pandangan Ki Hadjar Dewantara yang dapat menjadi sistem
dan metode unggulan dalam menjadikan manusia Indonesia yang memiliki
daya cipta, rasa, dan karsa serta sistem among dapat menjadi sistem yang
unggul dan khas dalam menghadapi persaingan pendidikan antar negara.
Diharapkan melalui upaya tersebut, pendidikan di Indonesia akan
menghasilkan kaum yang pandai dan manusiawi dalam menghadapi
persaingan yang semakin ketat.385 Oleh karena itu, tulisan ini berupaya
memberikan penjelasan tentang definisi pendidikan, azas-azas pendidikan, dan
ajaran-ajaran dalam pandangan Ki Hadjar Dewantara.

383
Bambang Indriyanto, “Mengkaji Revolusi Mental dalam Konteks Pendidikan”,
(Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 20, No. 4, Desember 2014), hlm. 555.
384
Nora Nurhalita dan Hudaidah, “Relevansi Pemikiran Pendidikan Ki Hadjar
Dewantara Pada Abad ke 21”, (Edukatif: Jurnal Ilmu Pendidikan, Vol. 3, No. 2, 2021),
hlm. 299.
385
I Putu Ayub Darmawan, op. cit., hlm. 120.

325
B. Pembahasan
1. Riwayat Singkat Ki Hadjar Dewantara
Ki Hadjar Dewantara pada masa kanak-kanak dan masa muda bernama
Raden Mas (R.M.) Suwardi Surjaningrat (Suryaningrat). Namun sesudah
dalam pembuangan di Nederland, gelar kebangsaannya tidak dipakai lagi
sebagai pernyataan bersatunya Suwardi Suryaningrat dengan rakyat yang
diperjuangkannya. Suwardi Suryaningrat lahir pada hari Kamis Legi,
tanggal 2 Mei 1889 di Yogyakarta, bertepatan dengan tanggal 2 Ramadhan
1309 H, putra dari Kanjeng Pangeran Ario (K.P.A) Suryaningrat dan Raden
Ayu Sandiah. Lahirnya pada bulan Ramadhan memunculkan harapan agar
Suwardi Suryaningrat memberi hikmah pendidikan dan peningkatan iman
dan takwa.386
Ki Hadjar Dewantara mengenyam pendidikan pendidikan ELS
(Europeesche Lagere School) – Sekolah Rendah untuk anak-anak Eropa.
Kemudian melanjutkan pendidikannya ke STOVIA (School tot Opleiding
van Inlandsche Artsen) yaitu sebuah sekolah dokter yang berbahasa
Indonesia di Jakarta. Karena kesulitan biaya, pada 1909 Ki Hadjar
Dewantara tidak melanjutkan pendidikannya. Bersama dengan Dr. Douwes
Dekker dan Dr. Tjiptomangunkusumo, ia memimpin sebuah kumpulan
politik yang diberi nama Indische Partij. Sikap bertiga serangkai itu
membuat mereka diperiksa dan dibuang ke tiga tempat berbeda. Atas
permintaan mereka sendiri, mereka kemudian dibuang ke Belanda. Setelah
4 tahun menjalani pembuangan di Belanda, putusan pembuangan kemudian
dicabut. Dr. Tjipto tetap berjuang dalam bidang politik, tetapi Ki Hadjar
Dewantara dan Dr. Douwes Dekker mementingkan pendidikan dan
pengajaran.387
Ki Hadjar Dewantara memilih pendidikan sebagai tempat perjuangan
tidak dilatarbelakangi kapoknya ia berjuang di lapangan politik. Bagi Ki

386
Bambang Widodo, Biografi: Dari Suwardi Suryaningrat sampai Ki Hadjar
Dewantara. (Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional, 2017), hlm. 147-148.
387
I Putu Ayub Darmawan, op. cit., hlm. 121.

326
Hadjar Dewantara, dengan mendirikan Taman Siswa, penjara dan
pembuangan juga akan menjadi bahaya yang dihadapinya. Ki Hadjar
Dewantara melihat pendidikan sebagai lapangan perjuangannya. Melalui
perjuangan dalam pendidikan, Ki Hadjar Dewantara dapat memberikan jiwa
merdeka pada anak-anak dan itu berarti ia mempersenjatai bangsa yang
dijajah untuk berjuang menuntut kemerdekaannya.388
Ki Hadjar Dewantara ditetapkan sebagai “Pahlawan Nasional
Indonesia” pada tanggal 28 November 1959. Kemudian tanggal 16
Desember 1959, pemerintah menetapkan tanggal lahir Ki Hajar Dewantara
sebagai “Hari Pendidikan Nasional Indonesia”. Sehingga Ki Hajar
Dewantara dikenal dengan “Bapak Pendidikan Nasional”. Ki Hajar
Dewantara menghasilkan banyak karya antara lain buku tentang
Pendidikan, buku tentang Kebudayaan, buku tentang Politik dan
Kemasyarakatan, buku tentang riwayat dan perjuangan hidup Ki Hajar.389
2. Pengertian Pendidikan
Perkataan “pendidikan” dan “pengajaran” seringkali dipakai bersama-
sama. Padahal gabungan dua kata tersebut dapat mengeruhkan pengertian
aslinya. Perlu diketahui bahwa “pengajaran” (onderwijs) tak lain dan tak
bukan merupakan salah satu bagian dari pendidikan (opvoeding). Artinya,
“pengajaran” merupakan “pendidikan” dengan cara memberi ilmu atau
pengetahuan, serta juga memberi kecakapan kepada anak-anak, yang kedua-
duanya dapat berfaedah buat hidup anak-anak, baik lahir maupun batin.390
Sementara yang dinamakan “pendidikan” menurut Ki Hadjar
Dewantara merupakan tuntunan didalam hidup tumbuhnya anak-anak,
maksudnya ialah pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada
pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota

388
I Putu Ayub Darmawan, loc. cit.
389
Nora Nurhalita dan Hudaidah, “Relevansi Pemikiran Pendidikan Ki Hadjar
Dewantara Pada Abad ke 21”, (Edukatif: Jurnal Ilmu Pendidikan, Vol. 3, No. 2, 2021),
hlm. 301.
390
Ki Hadjar Dewantara, “Dasar-Dasar Pendidikan”, (Keluarga, Th. I, No. 1, 2, 3,
4, 1936), hlm. 20.

327
masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-
tingginya.391 Keterkaitan antara pendidikan dan pengajaran itu tidak lain
yang dimaksudkan, yaitu cultiveren, veredelen, menghaluskan,
mempertinggi derajat dari kanak-kanak yang dididik. Derajat disini berarti
derajat kemanusiaan; jadi jenis kemanusiaannyalah yang dipertinggi oleh
pendidikan dan pengajaran. Itulah sebabnya laku pendidikan dan
pengajaran itu disebut semata-mata pekerjaan kultural.392
Sederhananya yang dinamakan “pendidikan” dari pengertian tersebut
adalah upaya kebudayaan yang berazaskan keadaban untuk memberikan
dan memajukan tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran
(intelek) dan tubuh anak yang selaras dengan dunianya. Oleh sebab itu
segala alat, usaha, dan cara pendidikan harus sesuai dengan kodratnya
keadaan yang tersimpan dalam adat istiadat setiap rakyat.393
Ki Hadjar Dewantara menyarankan agar pendidik hanya menuntun
pertumbuhan dan hidup anak-anak agar dapat bertambah baik budi
pekertinya. Ki Hadjar Dewantara mengemukakan bahwa tujuan pendidikan
adalah memajukan kesempurnaan hidup, yaitu kehidupan anak yang selaras
dengan alam dan masyarakatnya.394 Pada akhirnya, apa yang didapat dari
tuntunan akan memberikan kecerdasan yang lebih tinggi dan luas, serta
dapat terlepas dari segala macam pengaruh jahat.395 Oleh sebab itu,
pendidikan dapat menjadi benteng atas segala tindakan manusia dari
pengaruh-pengaruh keadaan yang buruk.
3. Dari Politik Menuju Pendidikan
Ki Hadjar Dewantara dalam perkembangan sejarah Indonesia lebih
dulu terjun dalam kancah perpolitikan daripada pendidikan. Peralihan ini
terjadi akibat keadaan dan perkembangan pergerakan kebangsaan dalam
pengawasan serta kebijakan kolonial yang semakin menekan dan

391
Ibid.
392
Siaran Radion Republik Indonesia, “Hubungan Pendidikan dan Kultur”, (Yogyakarta, 14
Januari 1940).
393
I Putu Ayub Darmawan, loc. cit.
394
I Putu Ayub Darmawan, op. cit., hlm. 122.
395
Ki Hadjar Dewantara, op. cit., hlm. 21-22.

328
membatasi. Selain alasan tersebut, peralihan corak perjuangannya juga
didasarkan pada permasalahan utama masyarakat jajahan yang sedang
berjuang untuk merdeka serta ditambah kesadaran kritis semasa sekolah,
lapangan perjuangan politik, pengalaman pengasingan, kiprah dalam
kancah pers, pematangan intelektual, dan penemuan kearifan lokal sehingga
memantapkan dirinya untuk terjun ke dunia pendidikan.396
Wawasan intelektual yang didapat Ki Hadjar Dewantara tak luput dari
organisasi pergerakan nasional seperti Boedi Oetomo dan Sarekat Islam
yang membawanya pada suatu pemikiran untuk mengubah tatanan
kehidupan kolonial. Melalui goresan pena dan pidato-pidato politik yang
kritis dan relevan, dalam wadah Indische Partij, pemikiran dan seruannya
mengajak masyarakat terjajah, terutama kalangan elite dan pergerakan
kebangsaan, untuk senantiasa berjuang dalam menghadapi penindasan
kolonialisme, dalam kemasan serta pesan yang mengajar dan mendidik. Di
balik tulisan yang tajam dan radikal berjudul “Als ik eens Nederlander was”,
menyerukan sasaran kritiknya untuk belajar agar memahami rasa dan
empati terhadap nuansa kalbu masyarakat terjajah.397
Selama masa pengasingan, ia juga memberikan tanda-tanda suri
tauladan, baik dalam pemikiran maupun sikap dan tindakan, di samping
tetap membangun karsa. Ki Hadjar Dewantara mengasah pemikirannya
melalui metode pendidikan model Frobel, Tagore, dan Montessori yang saat
itu berkembang di dunia pendidikan Eropa. Alhasil, ia mendirikan suatu
perkumpulan yang bergerak di bidang pendidikan anak bangsa. Kemudian,
ia juga menghadiri suatu Kongres Pertama Pendidikan Kolonial dan berhasil
memperoleh sertifikat sebagai pendidik. Alasan berikutnya yang mengubah
corak perjuangan Ki Hadjar Dewantara berasal dari lingkungan
keluarganya. Manakala putrinya yang bernama Asti mengalami

396
Yudha B Tangkilisan, Dari Politik ke Pendidikan: Sekilas Tentang Langkah
Perjuangan Soewardi Soerjaningrat dalam Pergerakan Kebangsaan dan Kemerdekaan
Indonesia, (Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional, 2017), hlm. 194.
397
Ibid., hlm. 195.

329
pertumbuhan tidak normal karena berpikiran lemah. Hal tersebut
membangkitkan semangat Ki Hadjar Dewantara untuk mendidik anak-anak
yang lemah pikiran bermula dari anak kandungnya sendiri.
Pada dasarnya peralihan corak perjuangan Ki Hadjar Dewantara dari
politik menuju pendidikan memiliki cerita panjang. Kesimpulan yang dapat
kita pegang dari gagasan pemikirannya yakni harapan dan wujud
kemerdekaan berpikir untuk peserta didik melalui pendidikan. Menurutnya,
pendidikan adalah akar yang dapat membawa peserta didik pada
kemerdekaan yang lebih utuh dan sebagai bagian integral dari proses
memerdekakan Indonesia. Sehingga timbul cita-cita pendidikan yaitu untuk
“memerdekakan manusia”.
4. Azas-Azas Pendidikan
Ada empat strategi pendidikan Ki Hadjar Dewantara, Pertama:
pendidikan adalah proses budaya untuk mendorong siswa agar memiliki
jiwa merdeka dan mandiri; kedua : membentuk watak siswa agar berjiwa
nasional, namun tetap membuka diri terhadap perkembangan internasional;
ketiga: membangun pribadi siswa agar berjiwa pionir-pelopor; dan
keempat: mendidik berarti mengembangkan potensi atau bakat yang
menjadi Kodrat Alamnya masing-masing siswa.398
Sebelum tahun 1947, Taman Siswa memiliki azas yang disebut sebagai
azas 1922. Disebut demikian untuk dapat membedakan antara azas 1922
dengan keterangan dasar-dasar (dasar-dasar 1947). Azas 1922 merupakan
azas perjuangan yang diperlukan pada waktu itu dan di dalamnya
menjelaskan sifat-sifat Taman Siswa pada umumnya. Sementara dasar-
dasar 1947 memuat tentang dasar yang dipakai oleh Taman Siswa yang
dipakai sejak berdirinya Taman Siswa pada 1922 dan dasar-dasar ini
bersumber dari panca dharma. Soejono dalam Putu Ayub399 menjelaskan
bahwa dalam dasar-dasar tersebut telah terkandung petunjuk tentang corak

398
Bambang Widodo, Biografi: Dari Suwardi Suryaningrat sampai Ki Hadjar
Dewantara. (Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional, 2017), hlm. 183.
399
I Putu Ayub Darmawan, op. cit., hlm. 123.

330
dan cara (sistem) pendidikan yang dicita-citakan oleh Ki Hadjar Dewantara.
Berikut penjelasannya:
a. Kebangsaan
Penjelasan Ki Hadjar Dewantara atas dasar “kebangsaan” memiliki
perspektif tentang kemanusiaan. Penekanan ini dimaksudkan untuk
membangun persaudaraan dengan bangsa sendiri, baik dalam suka
maupun duka, serta mampu mencapai kebahagiaan hidup seluruh bangsa.
Selain itu, pemikiran Ki Hadjar Dewantara atas dasar “kebangsaan” adalah
proses untuk menjadikan pendidikan sebagai tempat menanam benih
pendidikan sehingga unsur kebudayaan dapat tumbuh baik, yang
progressnya demi kemajuan dan kemerdekaan bangsa.
b. Kebudayaan
Ki Hadjar Dewantara400 mengatakan bahwa kebudayaan yang sejati
pertama kali muncul dari hidup kebangsaan yang kemudian meluas
sebagai sifat kemanusiaan. Ia juga menjelaskan bahwa Taman Siswa tidak
asal memelihara kebudayaan bangsa, tetapi membawa kebudayaan bangsa
kepada kemajuan yang sesuai dengan perkembangan zaman, sesuai
dengan kemajuan dunia dan selaras dengan kepentingan hidup masyarakat.
c. Kemanusiaan
Ki Hadjar Dewantara (1956a:58)401 menyatakan bahwa dharma dari
setiap manusia adalah mewujudkan kemanusiaan yang berarti kemajuan
manusia lahir dan batin yang setinggi-tingginya. Kemajuan yang tinggi
pada manusia dapat dilihat dalam kesucian hati dan rasa cinta kasih
terhadap sesama manusia dan seluruh ciptaan Tuhan. Cinta kasih itu
bersifat keyakinan pada adanya hukum kemajuan yang meliputi alam
semesta.

400
I Putu Ayub Darmawan, loc. cit.
401
Ibid., hlm. 124.

331
d. Kemerdekaan
Ki Hadjar Dewantara (1956a)402 menjelaskan bahwa kemerdekaan
bagi Taman Siswa berarti bahwa hak dan kewajiban untuk mengurus diri
sendiri dengan memperhatikan ketertiban dan kedamaian masyarakat.
Kemerdekaan juga menjadi syarat mutlak dalam setiap usaha pendidikan,
yang berdasarkan keyakinan bahwa manusia karena kodratnya sendiri dan
oleh pengaruh-pengaruh kodrat alam, zaman, dan masyarakatnya dapat
memelihara, memajukan, mempertinggi dan menyempurnakan hidupnya
sendiri.
e. Kodrat Alam
Ki Hadjar Dewantara (1956a) menuliskan bahwa kodrat alam berarti
manusia sebagai makhluk adalah satu dengan kodrat alam ini. Manusia tidak
dapat lepas dari kehendaknya, tetapi dapat mengalami kebahagiaan apabila
dapat menyatukan diri dengan kodrat alam yang mengandung kemajuan.
Soejono403 menjelaskan bahwa kodrat alam atau pembawaan manusia
menunjukkan adanya kekuatan pada manusia dan kekuatan itu merupakan
bekal hidupnya. Kekuatan itu diperlukan untuk memelihara dan memajukan
hidup manusia sehingga dapat mencapai keselamatan dalam hidup lahiriah
dan kebahagiaan dalam hidup batiniah, baik untuk dirinya sendiri maupun
untuk orang lain atau masyarakatnya. Kekuatan pembawaan manusia
merupakan syarat untuk dapat mencapai kemajuan dengan cepat dan sebaik
mungkin.
5. Ajaran-Ajaran Ki Hadjar Dewantara
a. Konsep tentang Pendidikan
1) Tri Pusat Pendidikan
Pertama, Pendidikan Keluarga. Ki Hadjar Dewantara (1957:36)
mengatakan bahwa dalam sistem Taman Siswa, keluarga mendapat
tempat yang luhur dan istimewa karena keluarga merupakan
lingkungan yang kecil, tetapi keluarga merupakan tempat yang suci

402
Ibid.
403
Ibid.

332
dan murni dalam dasar-dasar sosialnya, oleh sebab itu keluarga
merupakan satu pusat pendidikan yang mulia. Dalam lingkungan
keluarga, seseorang dapat menerima segala tradisi mengenai hidup
kemasyarakatan, keagamaan, kesenian, ilmu pengetahuan dan lain
sebagainya. Apabila keluarga menjadi pusat pendidikan maka secara
tidak langsung orang tua berperan sebagai guru yang mendidik
perilakunya dan sebagai pengajar yang memberikan kecerdasan
pikiran dan ilmu pengetahuan, serta menjadi teladan dalam kehidupan
sosial. Selanjutnya, hak mendidik anak, dalam sifat, bentuk, isi, dan
alirannya, pada dasarnya ada pada orang tua bukan pada pihak lain.
Pandangannya itu dasari oleh pandangan bahwa dalam diri orang tua
tergabung berbagai golongan baik itu golongan kebangsaan,
kerakyatan atau keagamaan dan golongan itulah yang memiliki hak
untuk menetapkan sifat, bentuk, isi, dan aliran pendidikan untuk
kepentingan anak-anak.404
Kedua, pendidikan dalam alam perguruan. Ki Hadjar Dewantara
menolak pandangan bahwa pendidikan sosial merupakan tugas
sekolah. Bagi Ki Hadjar Dewantara, selama sistem sekolah masih
bertujuan untuk pencarian dan pemberian ilmu pengetahuan dan
kecerdasan pikiran maka pengaruhnya tidak akan terlalu banyak.
Pendidikan dalam alam perguruan berkewajiban untuk mengusahakan
kecerdasan pikiran dan pemberian ilmu pengetahuan. Apabila sekolah
dan keluarga berpisah maka pendidikan yang dihasilkan dalam ruang
keluarga akan selalu sia-sia, sebab pengaruh sekolah yang mengasah
intelektual yang sangat kuat. Ki Hadjar Dewantara mencontohkan pada
waktu itu, anak-anak harus mengasah inteleknya setiap hari kurang
lebih selama 8 jam.405 Oleh sebab itu sekolah tidak dapat berpisah
dengan kehidupan keluarga. Sekolah dan keluarga dapat saling
mengisi dan melengkapi agar dapat mencapai tujuan pendidikan.

404
Ibid., hlm. 125.
405
Ibid.

333
Ketiga, pendidikan dalam alam pemuda. Konsep ini muncul
dilatarbelakangi karena pergerakan pemuda pada waktu itu yang
sebagian meniru perilaku barat. Pada masa pergerakan kemerdekaan,
pergerakan pemuda tampak memisahkan antara anak-anak dan
keluarganya. Ki Hadjar Dewantara melihat hal tersebut sebagai sesuatu
yang berbahaya, misalnya tidak selesainya pendidikan budi pekerti
atau kurang berhasilnya pendidikan budi pekerti, oleh sebab itu Ki
Hadjar Dewantara memasukkan pergerakan pemuda sebagai pusat
pendidikan. Pendidikan dalam alam pemuda sama halnya pada dasar
kemerdekaan yang memberikan kemerdekaan dalam batasan
tertentu.406
2) Pendidikan Sistem Among
Lahirnya sistem among sangat berkaitan dengan keadaan
pendidikan yang dipengaruhi oleh sistem barat. Dalam sistem barat,
dasar-dasarnya adalah regering, ucht, dan orde (perintah, hukuman
dan ketertiban). Ki Hadjar Dewantara menilai bahwa jika meniru cara
yang demikian maka tidak akan dapat membentuk seseorang yang
memiliki kepribadian, oleh sebab itu sistem pendidikan yang
dikedepankan adalah pendidikan yang tidak memakai cara pemaksaan
tetapi dengan cara opvoeding atau pedagogik (momong, among, dan
ngemong).
Among berkaitan dengan kata dasar mong yang mencakup
momong, among, dan ngemong, ketiganya ini kemudian menjadi
terapan dalam proses pendidikan siswa dari mulai tahap awal hingga
dewasa, momong sendiri berasal dari bahawa Jawa yang artinya
merawat dengan tulus dan penuh kasih serta dapat mentransformasikan
kebiasaan atau membiasakan hal baik kepada anak-anak. Sedangkan
among berarti memberi contoh tentang baik dan buruknya tanpa harus
mengambil hak anak agar anak bisa tumbuh dan berkembang sesuai

406
Ibid., hlm. 126.

334
dengan suasana batin yang merdeka. Kemudian ngemong, yang artinya
proses untuk mengamati dan menjaga agar anak mampu
mengembangkan dirinya.407
Konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara dalam sistem among
didasarkan pada dua azas yaitu: Pertama, kodrat alam yang menjadi syarat
untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya
dan sebaik-baiknya; Kedua, azas kemerdekaan yang menjadi syarat untuk
menghidupkan, menggerakkan dan mengembangkan kekuatan lahir dan
batin anak sehingga menjadi pribadi yang kuat, berpikir dan bertindak
merdeka. Dalam sistem among, ia sangat mengedepankan azas
kemanusiaan sehingga anak-anak harus diberikan kebebasan dan
kemerdekaan yang terbatas oleh tuntutan kodrat alam dan menuju ke arah
kebudayaan. Sistem ini menjunjung tinggi pedagogik pemeliharaan,
dengan perhatian penuh, yang menjadi syarat berkembangnya anak secara
lahir dan batin.408
Setidaknya sistem among mengutamakan mendidik murid menjadi
manusia yang berdiri sendiri dalam merasa, berpikir, dan bertindak. Ki
Hadjar Dewantara (1956b:355)409 mengatakan bahwa tujuan yang
terkandung dalam sistem among adalah sedapat mungkin
menyempurnakan hidup anak-anak sesuai dengan kodratnya sendiri,
sehingga mereka dapat menjadikan hidupnya bermanfaat bagi masyarakat
umum dan dengan sifat mereka yang luhur dapat membangun kekuatan
bangsa yang kemudian mendukung kemajuan dunia. Dalam sistem among,
anak-anak harus dibiasakan untuk mendisiplin diri untuk mencari dan
belajar sendiri.

407
Sukri, dkk., “Analisis Konsep Pemikiran Ki Hadjar Dewantara dalam Perspektif
Pendidikan Karakter”, (Jurnal Civic Hukum, Vol. 1, No. 1, Mei 2016), hlm. 38.
408
I Putu Ayub Darmawan, op. cit., hlm. 127.
409
I Putu Ayub Darmawan, loc. cit.

335
b. Konsep tentang Kepemimpinan410
1) Demokrasi dan Kepemimpinan (Democratie en Leinderschap):
merupakan wujud demokrasi yang dilandasi oleh jiwa
kekeluargaan, dan sejiwa dengan Demokrasi Pancasila. Demokrasi
tersebut memperhatikan unsur kemerdekaan yang mengenal batas,
yaitu tertib damainya kehidupan bersama, dan juga menolak unsur
kekuasaan mutlak (otoriter). Setiap permasalahan diselesaikan
dengan cara musyawarah untuk mendapatkan kesepakatan
bersama/mufakat.
2) Trilogi Kepemimpinan: Ing ngarsa sung tulada, Ing madya mangun
karsa, Tutwuri handayani. Trilogi ini semula hanya diperuntukkan
di kalangan pendidikan, dan merupakan perangkat pendidikan
dalam melaksanakan tugas pendidikan yang berjiwa kekeluargaan.
Namun dalam perkembangannya, Trilogi Kepemimpinan telah
menjadi salah satu model kepemimpinan nasional, sebagai sarana
mengatur tata kehidupan bersama, baik di kalangan Pemerintah,
TNI/Plori, maupun sipil.
c. Konsepsi tentang Kebudayaan411
1) Pembinaan Kebudayaan Nasional, yang dikenal dengan Trikon
(Kontinyu, konvergen, konsentris). Kontinyu: berkesinambungan
dengan masa lalu, Konvergen: bertemu secara terbuka dengan
perkembangan alam dan zaman. Konsentris: menyatu dengan nilai-
nilai kemanusiaan dan dunia.
2) Perwujudan Kebudayaan Nasional, yang dikenal sebagai teori
tentang “sari-sari dan puncak-puncak kebudayaan daerah sebagai
modal utama bagi terwujudnya kebudayaan nasional”.

410
Bambang Widodo, op. cit., hlm. 171-172.
411
Ibid.

336
d. Pedoman Operasional – Praktis412
1) Tri Pantangan: pantang menyalahgunakan kekuasaan/wewenang,
pantang menyalahgunakan keuangan, pantang melanggar
kesusilaan.
2) Trirahayu: memayu hayuning sarira, bangsa, manungsa.
3) Trisakti jiwa: cipta, rasa, karsa.
4) Tringa: ngerti, ngrasa, ngelakoni.
5) Triko: kooperatif, konsultatif, korektif.
6) Trijuang: berjuang memberantas kebodohan, kemiskinan,
ketertinggalan.
7) Tri-N: Niteni, Niroke, Nambahi.
e. Fatwa dan Semboyan413

Semboyan dan Fatwa Penjelasan


Lawan Sastra Ngesti Mulya Dengan pengetahuan kita menuju
(1852 Qaka/1922 Masehi) kemuliaan. Inilah yang dicita-
citakan Ki Hadjar Dewantara
dengan Taman siswanya, untuk

Semboyan dan Fatwa Penjelasan


kemuliaan bangsa dan rakyat.
Semboyan ini menjelaskan maksud
tahun berdirinya Perguruan Taman
siswa.

412
Ibid., hlm. 172-173.
413
Ibid., hlm. 174-177.

337
Suci Tata Ngesti Tunggal (1854 Dengan kesucian batin dan
Qaka/1923 Masehi) teraturnya hidup lahir kita
mengejar kesempurnaan atau
Kesucian dan ketertiban menuju
kesatuan. Ini sebagai janji yang
harus dilaksanakan oleh setiap
pejuang Tamansiswa. Semboyan
ini untuk mengenang tahun
berdirinya Persatuan Tamansiswa

Hak diri untuk menuntut Salam Setiap orang mempunyai hak untuk
dan Bahagia memperoleh kebahagiaan, kesejah-
teraan lahir dan batin
Salam bahagia diri tidak boleh Segala kepentingan bersama harus
menyalahi damainya masyarakat diletakkan diletakkan di atas
kepentingan pribadi masing-
masing. Oleh karena itu tak
mungkin kita masing-masing akan
hidup selamat dan bahagia, apabila
masyarakat terganggu, tidak tertib
dan damai
Kodrat Alam itulah Penunjuk Jangalah hidup kita bertentangan
Untuk Hidup Sempurna dengan Kodrat Alam. Petunjuk
dalam Kodrat Alam kita jadikan
pedoman hidup, baik sebagai
individu, sebagai bangsa maupun

338
Semboyan dan Fatwa Penjelasan
anggota dari alam kemanusiaan
Alam hidup manusia adalah alam Hidup kita masing-masing ada
hidup perbulatan dalam lingkungan berbagai alam
khusus, yang saling berhubungan
dan berpengaruh. Alam khusus :
alam diri, alam kebangsaan, dan
alam kemanusiaan. Rasa diri, rasa
bangga, dan rasa kemanusiaan
senantiasa hidup dalam sanubari
kita masing-masing

Kita berhamba kepada Sang Anak Kita dengan ikhlas hati dan dan
bebas dari ikatan apapun,
mendekati Sang Anak dan
mengorbankan diri kepadanya.
Jangan si murid untuk si guru tetapi
si guru untuk si murid.
Tetep - Antep - Mantep Tetep: ketetapan hati, tetap pada
pendiriannya tidak tergoyahkan
oleh pengaruh negatif; Antep :
berat, berbobot, bermutu; Mantep :
mantap, tetap pada pilihannya.

Ngandel – Kendel - Bandel – Ngandel: percaya, yakin kepada


Kandel penguasa Tuhan dan kekuatan diri;
Kendel: berani, menghindarkan
rasa takut atau wasangka; Bandel:
tahan, tawakal, hatinya kuat
menderita; Kandel atau tebal,
meskipun menderita namun kuat
badan tubuhnya. Empat tabiat ini

339
Semboyan dan Fatwa Penjelasan
saling berhubungan, barang siapa
dapat percaya tentu ia akan berani,
lalu mudahlah ia akan tawakal dan
dengan sendirinya ia akan tebal
tubuhnya.
Neng - Ning - Nung - Nang Neng: berarti “meneng”, yakni
tenteram batinnya; Ning: dari kata
“wening” dan “bening”,berarti
jernih fikirannya, yaitu mudah
dapat membedakan barang yang
“khak” dan yang “batal”, yang
“benar” dan yang “salah”; Nung:
dari kata “hanung”,berarti kuat,
sentosa dalam kemauannya, yaitu
kokoh dalam segala kekuatannya,
lahir dan batin, untuk mencapai apa
yang dikehendaki; Nang: dari kata
“menang” atau dapat “wewenang”
atau berhak atas buah usahanya.
wewenang. Empat tabiat ini saling
berhubungan, yaitu barang siapa
dapat “neng” tentu mudahlah ia
apat dapat berfikir yang “ning”, lalu
menjadi kuat atau “nung”
kemauannya, dan dengan
sendirinya ia akan mendapat
“menang”
Tutwuri Handayani Mengikuti di belakang sambil
memberi pengaruh. Jangan

340
Semboyan dan Fatwa Penjelasan
menarik-narik anak dari depan,
biarkanlah mereka mencari jalan
sendiri. Jika anak-anak salah jalan,
barulah pamong memberi
pengaruh menuju jalan yang benar.
Inilah semboyan Sistem Among

Bibit, Bebet, Bobot Dalam mebentuk keluarga yang


baik, sejahtera, perlu memper-
hatikan Bibit: benih yang sehat dan
baik; Bebet: yang menurunkan asal
usul keturunan/ orangtuanya; dan
Bobot: berat yang dimaksud
mutu/kualitas.

Senyari Bumi Sedumuk Batuk Dalam perebutan isteri dan tanah


den Lakoni Taker Pati orang biasanya menyabungkan
nyawanya. Maksudnya perebutan
“isteri” ialah perebutan
“keturunan” sedangkan perebutan
“senyari tanah” ialah perebutan
“negara”

Lebih Baik Mati Terhormat Semboyan pada waktu menentang


Daripada Hidup Nista Undang-Undang Sekolah Liar
tahun 1932

Syari’at tidak dengan Hakikat Untuk berhasil tidak cukup


adalah Kosong; Hakikat tidak memakai laku batin, namun harus
dengan Syari’at pasti Batal juga mementingkan laku lahir.
Suci batin dan tertibnya lahirnya
harus berbarengan.

341
Semboyan dan Fatwa Penjelasan
Rawe-rawe Rantas Malang- Memperteguh kemauan dan tenaga
malang Putung

Dari Natur kearah Kultur Dari kodrat ke arab adab. Itulah


asas pendidikan Tamansiswa yang
bersifat kultural

C. Kesimpulan
Suwardi Suryaningrat atau dikenal dengan Ki Hadjar Dewantara lahir pada
hari Kamis Legi, tanggal 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Dalam riwayat sejarah,
Ki Hadjar Dewantara ditetapkan sebagai “Pahlawan Nasional Indonesia” pada
tanggal 28 November 1959. Kemudian tanggal 16 Desember 1959, pemerintah
menetapkan tanggal lahir Ki Hajar Dewantara sebagai “Hari Pendidikan
Nasional Indonesia”. Sehingga Ki Hajar Dewantara dikenal dengan “Bapak
Pendidikan Nasional”. Gagasannya dalam pendidikan terlihat dengan corak
perjuangannya melalui pendirian Taman Siswa yang memiliki azas-azas yang
terkandung dalam panca dharma, yaitu: Kebangsaan, Kebudayaan,
Kemanusiaan, Kemerdekaan, dan Kodrat Alam. Gagasan pemikiran Ki Hadjar
Dewantara banyak dihasilkan melalui pengalaman-pengalaman yang telah
dilaluinya. Alhasil gagasannya untuk pendidikan Indonesia bermuara pada
harapan dan wujud kemerdekaan berpikir untuk peserta didik melalui
pendidikan. Menurutnya, pendidikan adalah akar yang dapat membawa peserta
didik pada kemerdekaan yang lebih utuh dan sebagai bagian integral dari
proses memerdekakan Indonesia. Sehingga timbul cita-cita pendidikan yaitu
untuk “memerdekakan manusia”.
Ki Hadjar Dewantara menggagas konsep tentang pendidikan yang terbagi
atas 2, yaitu: Pertama, Tri Pusat Pendidikan, terdiri dari: (1) Pendidikan

342
Keluarga, dalam lingkungan keluarga, seseorang dapat menerima segala tradisi
mengenai hidup kemasyarakatan, keagamaan, kesenian, ilmu pengetahuan dan
lain sebagainya. Apabila keluarga menjadi pusat pendidikan maka secara tidak
langsung orang tua berperan sebagai guru yang mendidik perilakunya dan
sebagai pengajar yang memberikan kecerdasan pikiran dan ilmu pengetahuan,
serta menjadi teladan dalam kehidupan sosial; (2) Pendidikan dalam Alam
Perguruan, berkewajiban untuk mengusahakan kecerdasan pikiran dan
pemberian ilmu pengetahuan; dan (3) Pendidikan dalam Alam Pemuda, konsep
ini muncul dilatarbelakangi karena pergerakan pemuda pada waktu itu yang
sebagian meniru perikalu barat dan perlu penyisipan pendidikan budi pekerti.
Kedua, Pendidikan Sistem Among. Dapat dikatakan sebagai sistem pendidikan
yang tidak memakai cara pemaksaan tetapi dengan cara opvoeding atau
pedagogik (momong, among, dan ngemong). Dalam sistem among, anak-anak
harus dibiasakan untuk mendisiplin diri untuk mencari dan belajar sendiri.
Semboyan sistem among yaitu Tutwuri Handayani.

343
DAFTAR PUSTAKA

Darmawan, I Putu Ayub. 2016. “Pandangan dan Konsep Pendidikan Ki Hadjar


Dewantara”. Prosiding Seminar Nasional dan Bedah Buku.
https://www.researchgate.net/publication/320322205 diakses Sabtu, 29 Mei
2021.

Dewantara, Ki Hajar. 1936. “Dasar-Dasar Pendidikan”. Keluarga, Th. I, No. 1, 2,


3, 4.

Indriyanto, Bambang. 2014. “Mengkaji Revolusi Mental dalam Konteks


Pendidikan”. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 20, No. 4.

Marisyah Ab, Firman, dan Rusdinal. 2019. “Pemikiran Ki Hadjar Dewantara


Tentang Pendidikan”. Jurnal Pendidikan Tambusai, Vol. 3, No. 6.

Nurhalita, Nora dan Hudaidah. 2021. “Relevansi Pemikiran Pendidikan Ki Hadjar


Dewantara pada Abad ke 21”. Edukatif: Jurnal Ilmu Pendidikan, Vol. 3, No.
2.

Siaran Radio Republik Indonesia. “Hubungan Pendidikan dan Kultur”. Yogyakarta,


14 Januari 1940.

Sugiyono, dkk. . Peta Jalan Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: UNY.

Sukri, dkk. 2016. “Analisis Konsep Pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam


Perspektif Pendidikan Karakter”. Jurnal Civic Hukum, Vol. 1, No. 1.

Tangkilisan, Yuda B. 2017. Dari Politik ke Pendidikan: Sekilas Tentang Langkah


Perjuangan Soewardi Soerjaningrat dalam Pergerakan Kebangsaan dan
Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional.

Widodo, R. Bambang. 2017. “Biografi: Dari Suwardi Suryaningrat sampai Ki


Hadjar Dewantara”. Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional.

Wiryopranoto, Suhartono dkk. 2017. Perjuangan Ki Hajar Dewantara: Dari


Politik ke Pendidikan. Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional Kemendikbud

344
KONSEP PEMIKIRAN KIAI HAJI AHMAD DAHLAN DALAM
PEMBAHARUAN ISLAM

Oleh: Yayan Bagus Prabowo


NIM. 20718251023

A. Pendahuluan

Islam dalam mengemban cita-cita sebagai agama rahmatan lil alamin


yang merupakan bentuk rahmat dan rasa kasih sayang Allah ‫ ﷲ‬kepada seluruh
alam semesta. Rahmat tersebut merupakan milik Allah ‫ ﷲ‬dan diturunkan
melalui Islam.Ditengah perjalanannya, Islam seringkali mendapatkan berbagai
tantangan- tantangan dalam perubahan sosial yang terjadi di masyarakat.
Sehingga kondisi inilah yang menyebabkan munculnya berbagai gerakan-
gerakan pembaharuan dalam agama Islam. Gerakan pembaharuan Islam secara
sederhana adalah upaya baik secara individu maupun kelompok pada kurun
waktu atau situasi tertentu, untuk mengadakan perubahan dalam praktek-
praktek keagamaan dengan pemahaman yang baru. Tantangan terbesar yang
dihadapi umat Islam terjadi saat dunia memasuki era modern, dimana dunia
Barat mengalami pasang naik di segalabidang, seperti politik, ekonomi, dan
ilmu pengetahuan. Di saat bersamaan dunia Islam sedang jatuh dalam jurang
kemerosotan di segala bidang pula. Kondisi ini membuat posisi umat Islam
menjadi inferior berhadapan dengan Barat. Dan Kolonialisasi pun semakin
menjerumuskan dunia Islam ke dalam titik nadir peradabannya.

Abad ke-20 dinilai sebagai awal terjadinya gerakan untuk menegakkan


Islam demi kemuliaan agama sebagai kejayaan umat dan dapat diwujudkan
secara konkret dengan menggunakan organisasi sebagai alat perjuangannya.
Kesadaran- kesadaran baru yang muncul saat itu adalah keyakinan bahwa cita-
cita yang besar itu hanya dapat direalisasikan dengan sebuah organisasi yang
efisien dan efektif (Dabran, 2002). Gagasan perlunya pembaharuan memang
telah muncul, sejalan dengan pulangnya para ulama yang telah menuntut ilmu
dari Mekkah yang menginginkan pemurnian pelaksanaan ajaran-ajaran Islam.

345
Adanya ide-idepembaharuan tersebut, kemudian turut dibawa pengaruhnya ke
Indonesia oleh paraulama termasuk KH. Ahmad Dahlan lewat Persyarikatan
Muhammadiyah sebagai motor penggeraknya.

Kiai Haji Ahmad Dahlan lahir pada 1 Agustus tahun 1868 di Kauman,
sebuah kampung yang berada disekitaran lingkungan Keraton Yogyakarta
dengan nama kecil Muhammad Darwis, beliau menikah dengan Siti Walidah
yang dikenal dengan nama Nyai Ahmad Dahlan pada tahun 1889. Dari silsilah
keturunannya, Ahmad Dahlan dilahirkan dari pasangan Kiai Haji Abu Bakar
bin Haji Sulaiman dengan Siti Aminah binti Kiai Haji Ibrahim (Salam, 2009:
56). Ayahnya merupakanseorang abdi dalem Keraton Kesultanan Yogyakarta
yang menjabat sebagai Khatib/Ketibdi Masjid Gedhe Kauman. Dengan sistem
pengajaran dibawah asuhan dan pengawasan dari kedua orang tuanya sejak
kecil, Muhammad Darwis menjadikan dirinya sebagai pribadi yang mampu
memahami ilmu agama seperti membaca dan menulis al-Qur’an serta ilmu-
ilmu lainnya sehingga pengetahuannya semakin luas.

Setelah kepulangannya dari Mekkah dalam rangka menunaikan ibadah


haji dan memperdalam ilmu agama disana, timbul keinginan dari Ahmad
Dahlan untuk melakukan pembaruan berupa memurnikan ajaran agama Islam.
Pembaruan yang dilakukan Ahmad Dahlan tersebut dipengaruhi oleh
pemikiran tokoh-tokoh sepertiJamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan
Rasyid Ridha, dimana pembaruan Islamnya menitik beratkan ajaran agar
sesuai dengan al-Quran dan Sunnah (Weinata, 1995: 36-39). Ide dan inti dari
pembaruan ini adalah berupaya meninggalkan pola pemikiran lama yang tidak
sesuai lagi dengan kemajuan zaman dan berupaya meraih aspek-aspek yang
menopang untuk menyesuaikan diri dengankemajuan zaman. Dilandasi oleh
beberapa hal tersebut, Ahmad Dahlan kemudian mendirikan sebuah organisasi
yang diberi nama Persyarikatan Muhammadiyah pada tanggal 18 Nopember
1912 di Yogyakarta sebagai gerakan pembaharuan yang memperjuangkan
Islam melalui jalur sosial kemasyarakatan, keagamaan dan pendidikan untuk
kepentingan umat.

346
Dalam bidang pendidikan, pandangan K.H Ahmad Dahlan dapat dilihat
pada kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan Muhammadiyah seperti membawa
pembaharuan dalam bidang pembentukan lembaga pendidikan Islam yang
semula sistem pesantren menjadi sistem sekolah modern. Pemikiran Ahmad
Dahlan tentang pendidikan Islam dapat dikatakan sebagai tonggak awal
kebangkitan pendidikan Islam di Indonesia. Gagasan pembaruannya sempat
mendapat tantangan dari masyarakat waktu itu, terutama dari lingkunagan
pendidikan tradisional. Namun bagi Ahmad Dahlan, tantangan tersebut bukan
merupakan suatu hambatan,melainkan sebuah tantangan yang perlu dihadapi
dengan sikap arif dan bijaksana demi membebaskan manusia dari
keterbelakangan untuk mencapai cita-cita dan tujuan dalam mewujudkan
Islam yang berkemajuan (Kurniawan, 2011: 200).

B. Pembahasan
1. Biografi Kiai Haji Ahmad Dahlan

Ahmad Dahlan lahir pada 1868 di suatu daerah yang disebut Kauman,
yang berada di lingkup kawasan keraton Yogyakarta. Nama asli Dahlan
adalah Muhammad Darwis. Ayahnya, Kyai Haji Abu Bakar bin Kyai Mas
Sulaiman, ialah seorang ketib, seorang abdi dalem keraton yang
bertanggung jawab untuk urusan keagamaan (Asrofie, 1983: 21). Ibunya,
Siti Aminah, ialah putri seorang pengulu (kepala abdi dalem pamethaan)
Kesultanan Yogyakarta, yaitu Haji Ibrahim bin Kyai Haji Hasan (Salam,
2009: 21). Adanya garis keluarga tersebut menunjukkan bahwa Ahmad
Dahlan ialah keturunan keluarga kyai-priyayi jawa. Ia termasuk keturunan
kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang Walisongo, ulama
pelopor penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Silsilahnya tersebut ialah
Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana ‘Ainul Yaqin, Maulana
Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng
Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung
Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman,
KH. Abu Bakar, dan Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan).

347
Muhammad Darwis merupakan anak ke empat dari tujuh bersaudara
yang terdiri dari dua anak laki-laki dan lima anak perempuan. Secara
berurutan mereka adalah: Nyai Chatib Arum, Nyai Muhsinah, Nyai Haji
Sholeh, Muhammad Darwis, Nyai Abdurrahman, Nyai H. Muhammad
Fekih, dan Muhammad Basir (Junus, 2009: 57). Dahlan kecil mendapat
pendidikan dari orangtuanya. Ia kemudian belajar berbagai ilmu dari para
guru agama maupun guru umum. Beberapa guru agamanya, antara lain:
Kyai Haji Muhammad Saleh Darat Semarangdan Kyai Haji Abdul Hamid
Lempuyang (Darban, 2002: 40). Sementara, guru umumnya antara lain
R.Ng. Sosrosoegondo dan R. Wedana Dwijosewojo (Asrofie, 1983: 22).
Ahmad Dahlan kemudian dinikahkan oleh ayahnya dengan Siti Walidah
atau yang dikenal dengan nama Nyai Ahmad Dahlan, putri Kyai Haji
Muhammad Fadhil, seorang penghulu Keraton Yogyakarta, di tahun 1889.
Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan dikaruniai
enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan,
Siti Aisyah, dan Siti Zaharah (Kutoyo, 1998).

Pada tahun 1890, ayah Muhammad Darwis mengirim dirinya ke


Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Sebelum memulai haji, Darwis
menginap dibangunan khusus bernama Rumah Mataram di Jeddah, yang
disumbangkan Sultan Yogyakarta bagi orang-orang Mataram yang pergi
berhaji atau tinggal di sana. Rumah Mataram ini diasuh oleh tiga syekh,
yakni Syekh Muh. Shadiq, Syekh Abdulgani, dan Abdullah Zalbani. Selain
menunaikan ibadah haji, Darwis juga mendapat kesempatan menimba
ilmu dari beberapa ulama. Di antara gurunya padahaji yang pertama ini,
adalah Kyai Mahfudz Termas dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau
(Mukti, 1990: 30). Selain itu, Darwis juga berguru kepada Kyai Nahrawi
Muhtaram Banyuman dan Kyai Nawawi Banten (Suja, 1989: 4). Setamat
belajar ilmu agama, Darwis muda mendapatkan nama baru dari Sayyid
Bakri Syaththâ sewaktu di Mekkah dan berganti nama menjadi Ahmad
Dahlan.

348
Sesudah menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu agama di Mekkah,
Ahmad Dahlan ditunjuk sebagai seorang ketib, ketibamin atau tibamin
setelah kematian ayahnya pada tahun 1896. Sudah menjadi adat dan tradisi
di kalangan priyayi Keraton bahwa posisi orangtua akan diwarisi oleh
anaknya setelah ia meninggal. Oleh Karenanya, Dahlan mendapat posisi
resmi di Keraton Yogyakarta sebagai penghormatan pada posisi ayahnya
sebagai seorang ketib, bergelar Raden Ngabei Ngabdul Darwis dari Sri
Sultan Hamengkubuwono VII. Salah satu tugasnya adalah memimpin
Grebeg (upacara kerajaan) seperti Grebeg Mulud (peringatan kelahiran
Nabi Muhammad) dan Grebeg Besar (peringatan kelahiran raja). Tugas ini
menjadibagian dari tanggung jawabnya untuk memimpin urusan agama
Kesultanan Yogyakarta. Dengan peran ini, telah membukakan jalan
baginya untuk bisa menjalin hubungan baik dengan Sultan Yogyakarta
(Dabran, 2000: 9-10).

Salah satu kejadian penting yang terkait erat dengan posisi Dahlan
sebagai ulama dan seorang abdi dalem adalah ketika ia berpendapat bahwa
arah kiblat Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta tidaklah tepat, sehingga
menyarankan dibuatnya arah kiblat yang baru. Pandangannya
berbenturan dengan pandangan yang sudah sangat mengakar kuat
dikalangan masyarakat jawa, sehingga telah mengusik para ulama-ulama
senior, termasuk pengulu Keraton. Reaksi terhadap pandangan baru ini
sempat menimbulkan pro dan kontra yang sangat luar biasa, sehubungan
dengan kejadian inilah Sultan Yogyakarta yakni Sri Sultan
Hamengkubuwono VII mengirim kembali Ahmad Dahlan ke Mekkah.
Perjalanan kedua Dahlan ke Mekkah terjadi pada 1903, ia menghabiskan
waktunya untuk belajar memperdalam ilmu agama lagi. Pada waktu
menjelang wafatnya, KH. Ahmad Dahlan tetap melakukan perjuangan
dakwah dalam keadaan sakit, hingga berpulang ke rahmatullah pada
tanggal 23 Februari tahun 1923 dalam usia 55 tahun (Hasbullah, 1996:
121), dengan meninggalkan wasiat atau pesan indah yang berbunyi:
“Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di dalam

349
Muhammadiyah” dalam pidato terakhirnya disebuah rapat tahunan
Persyarikatan Muhammadiyah.

2. Gagasan Pembaharuan KH. Ahmad Dahlan dalam Muhammadiyah

Kiai Haji Ahmad Dahlan selama di Mekah dalam hajinya yang


pertama dan kedua banyak berguru denga para ulama Timur Tengah demi
memperdalam wawasan agama Islamnya. Sepulang dari Mekah, ketika
pemahamnnya akan keberagamaan kian matang. Ahmad Dahlan
berhadapan dengan kenyataan- kenyataan sosial masyarakat yang
terkadang tidak sejalan dengan pengetahuan yang beliau terima sewaktu di
Mekkah. Ahmad Dahlan menilai praktek-praktek keagamaan yang
dilaksanakan oleh masyarakat, banyak yang menyimpang dari ajaran dan
tuntunan Nabi Muhammad ‫ﷺ‬. Keprihatinannya tersebut terjadi
dikarenakan situasi umat Islam yang tenggelam dalam suasana kejumudan
(stagnasi), kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan umat karena
melihat praktik keagamaan yang sarat dengan takhayul, bid’ah dan
khurafat (Miswanto, 2012: 43), kondisi tersebut semakin diperparah oleh
politik kolonialisme Belanda terhadap agama Islam.

Bertolak dari hal inilah K.H. Ahmad Dahlan mulai menghayati


perlunya suatu gerakan pembaruan Islam ditanah kelahirannya. Pemikiran
pembaruan dan pemurnian Islam K.H. Ahmad Dahlan dalam menghadapi
kenyataan sosio-kultural masyarakat muslim Jawa, dimana agama telah
tercampur aduk dengan tradisi lokal,karena itu harus segera diluruskan dan
apabila penyimpangan tersebut terus dibiarkan, umat islam akan semakin
jauh melakukan penyimpangan. Ahmad Dahlan terus mendakwahkan
perlunya umat Islam meningkatkan pengetahuan agama, sehingga praktek-
praktek ibadah yang dilakukannya sesuai dengan syariat agama. Namun
tidak sedikit pula masyarakat yang menolak dakwah dari KH. Ahmad
Dahlan bahkan menganggapnya sebagai ajaran yang sesat, kiyai kafir,
hingga dianggap berusaha mendirikan agama baru lewat Muhammadiyah.
Disinilah peran besar yang diambil oleh K.H. Ahmad Dahlan sebagai

350
seorang ulama yang berpikiran maju dalam perjuanganya yang tidak
mudah (Mu’thi, 2015: 191).

Maka dari itu, kontribusi pembaharuan K.H Ahmad Dahlan ialah


dengan mendirikan organisasi yang diberi nama Persyarikatan
Muhammadiyah. Perkumpulan ini didirikan pada tanggal 8 November
1912 M atau 8 Djulhijah 1330Hijriah. Menurut Anshori (2010: 56) awal
berdirinya organiasi ini terdapat 9 orang pengurus inti, yang pertama
adalah: Ahmad Dahlan sebagai ketua, dan Abdullah Sirat sebagai
sekretaris. Dengan beberapa anggota, diantaranya: Ahmad, Abdul
Rahman, Sarkawi, Muhammad, Jaelani, Akis, dan Mohammad Fakih.
Sejak awal didirikannya Persyarikatan tersebut, KH. Ahmad Dahlan telah
menetapkan bahwa Muhammadiyah bukanlah organisasi politik, tetapi
organisasi yang bersifat sosial-kemasyarakatan untuk kepentingan umat.

Kata “Muhammadiyah” secara bahasa berarti pengikut Nabi


Muhammad ‫ﷺ‬, dan dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan)
dengan ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad ‫ﷺ‬. Penisbahan nama
tersebut mengandung pengertian untuk menjelaskan bahwa pendukung
organisasi itu ialah umat Muhammad ‫ﷺ‬, danasasnya adalah ajaran Nabi
Muhammad ‫ﷺ‬, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan
melaksanakan agama Islam sebagaimana yang diajarakan serta
dicontohkan oleh Nabi Muhammad ‫ﷺ‬, agar supaya dapat menjalani
kehidupan dunia dan akhirat. Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan
benar dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa
Indonesia pada umumnya.

Muhammadiyah adalah suatu persyarikatan yang maksud geraknya


ialah, “Dakwah Islam & amar ma'ruf nahi munkar” yang ditujukan kepada
dua bidang, yaitu: perseorangan dan masyarakat. Pertama, dakwah dan
amar ma'ruf nahi munkar memiliki pengertian dan maksud kepada yang
telah Islam bersifat pembaharuan (tajdid), yaitu mengembalikan kepada
ajaran-ajaran Islam yang asli murni dan kepada yang belum Islam bersifat

351
seruan atau ajakan untuk memeluk agama Islam. Kedua, bersifat perbaikan,
bimbingan dan peringatan pada masyarkat.Kesemuanya itu dilaksanakan
secara bermusyawarah dan atas dasar taqwa dan mengharap keridhaan
Allah ‫ ﷲ‬semata. Dengan melaksanakan dakwah dan amar ma'ruf nahi
munkar yang sesuai, Muhammadiyah menggerakkan masyarakat dengan
mengamalkan ajaran Islam guna mewujudkan tujuan dan cita-cita, yaitu
sebagai masyarakat Islam yang sebenar-benarnya (Syukriyanto, 2010: 2).
Karena itu, melalui Muhammadiyah telah diletakkan suatu pandangan
keagamaan yang tetap kokoh dalam bangunan keimanan yang
berlandaskan pada al-Quran dan as- Sunnah sekaligus mengemban tajdid
yang mampu membebaskan manusia dari keterbelakangan menuju
kehidupan yang berkemajuan dan berkeadaban.

Dukungan pihak Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat terhadap


langkah pembaruan yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan melalui
Persyarikatan merupakan salah satu kekuatan penting yang membuat
Muhammadiyah terus bekembang besar ditambah adanya surat izin
Pemerintah Kolonial Belanda no. 40, yang memungkinkan
Muhammadiyah maju dan mengembangkan cabang-cabangnya.
Muhammadiyah diizinkan bergerak di seluruh Nusantara dengan sebuah
surat keputusan bertanggal 2 September 1921 (Salam, 2009: 50). Perhatian
utama Muhammadiyah diawal berdirinya terletak pada usaha terkait
pertolongan dan pemberdayaan kaum fakir-miskin dari masyarakat
pinggiran/lapisan bawah. Hampir seluruh kegiatannya bergerak dalam
bidang kepustakaan, tabligh,kesehatan dan pendidikan, melalui amal-amal
usaha Muhammadiyah (AUM) seperti pendirian sekolah/perguruan tinggi,
rumah sakit/PKU, poliklinik, panti asuhan, panti jompo, lembaga sosial,
lembaga kesejahteraan ekonomi dan lain sebagainya.

352
3. Konsep Pemikiran KH. Ahmad Dahlan Tentang Pendidikan Islam
Modern

Perkembangan Muhammadiyah sebagai wujud reformasi masyarakat


Islam berkembang sangat pesat. Orentasi pengembangan pendidikan yang
dijadikan sebagai pondasi pergerakan berkembang pada bidang-bidang
sosial yang lain seiring semakin besar dan meluasnya organisasi
Muhammadiyah pada saat itu. Pemikiran Ahmad Dahlan merupakan
respon terhadap kondisi ekonomi umat Islam yang tidak menguntungkan
dibawah kolonialisme Belanda saat itu. Umat Islam tertinggal secara
ekonomi, sosial, politik, dan pendidikan karena tidak memiliki akses
kepada sektor-sektor strategis.

Pendidikan bagi kaum pribumi sungguh dipadang sebelah mata dan


merasa terabaikan perhatiannya dari pemerintah kolonial Belanda, meski
demikian sekolah-sekolah Islam tradisonal seperti pondok pesantren
mampu berperan sebagai institusi pendidikan yang utama. Hanya saja,
dalam prakteknya sekolah- sekolah Islam tradisional ini sangatlah sulit
untuk berkembang secara luas dalam hal memberikan pengajaran kepada
masyarakat akibat adanya diskriminasi dalam pendidikan maupun sekolah-
sekolah agama dan mendapat pengawasan ketat dari pihak pemerintah
Kolonial Belanda. Kondisi ini menjadi perhatian Ahmad Dahlandengan
berusaha memperbaiki sistem pendidikan Islam. Menurut Ahmad Dahlan,
pendidikan Islam bertujuan pada usaha membentuk manusia muslim yang
berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham
masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan
masyarakat (Arofi, 2012: 59). Tujuan pendidikan tersebut merupakan
pembaruan dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu
yaitu pendidikan pesantren (tradisional) dan pendidikan sekolah Belanda
(barat). Dalam mencapai tujuan tersebut, proses pendidikan Islam
hendaknya mengakomodasi berbagai ilmu pengetahuan, baik ilmu umum

353
maupun ilmu agama untuk mempertajam daya intelektualitas dan
memperkokoh spritualitas.

Pendidikan pesantren pada satu sisi bertujuan untuk menciptakan


individu yang shaleh dan mengamalkan ilmu agama. Sebaliknya,
pendidikan sekolah Belanda merupakan pendidikan sekuler yang
didalamnya tidak diajarkan pendidikan agama. Akibat dualisme
pendidikan tersebut lahirlah dua kutub, yaitu: lulusan pesantren menguasai
ilmu agama tetapi tidak menguasai ilmu umum dan lulusan sekolah belanda
menguasai ilmu umum tetapi tidak menguasai ilmu agama. Melihat
ketimpangan tersebut Ahmad Dahlan berpendapat bahwa pendidikan yang
sempurna adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu agama
dan ilmu umum, material dan spiritual serta dunia dan akhirat.

Sekolah pertama yang berhasil didirikan K.H Ahmad Dahlan mulai


dengan 8 orang siswa, bertempat di ruang tamu rumah Ahmad Dahlan dan
ia sendiri bertindak sebagai guru. Proses pembelajarannya sudah
menggunakan media papan tulis, meja, kursi, dan alat bantu lainnya
sebagaimana yang digunakan pada pendidikan model Barat. Selain materi
pendidikan agama, dimasukkan pula beberapa pelajaran yang lazim
diajarkan di sekolah-sekolah barat, seperti ilmu bumi, ilmu alam, ilmu
hayat dan sebagainya. Ahmad Dahlan menginginkan umat Islam tidak
menutup diri terhadap segala bentuk kemajuan yang itu datangnya dari
pihak luar (bangsa Barat).

Ahmad Dahlan menekankan bahwa pendidikan Islam merupakan


suatu wadah untuk menuju kepada kesempurnaan budi, yaitu mengerti
baik/buruk, benar/salah, kebahagiaan/penderitaan. Kondisi ini dicapai jika
akalnya sempurna, yakni akal kritis dan kreatif yang diperoleh dari belajar.
Setiap orang wajib mengikuti pendidikan, menyebarkan ilmu sekaligus
Islam ke semua orang di semua tempat. Menjadi guru sekaligus murid,
belajar dan mengajar untuk kebaikan hidup seluruhumat manusia. Sekolah,
madrasah, dan pesantren adalah instrumen dan media bagikebaikan hidup,

354
penyempurnaan budi dan akal yang terus diubah dan disempurnakan
sesuai zaman dan perkembangan ilmu (Hefner, 2008: 25-26). Ahmad
Dahlan mengemukakan beberapa azas pendidikan bernuansa Islami,
menurut Kutoyo (1998) azas pendidikan Islami yang dimaksud adalah
sebagai berikut:

a. Penyebaran pengetahuan atau ilmu Islam merupakan kewajiban


setiap orang muslim.
b. Mengajar dan belajar adalah sifat yang hakiki yang wajib pada setiap
umat dan organisasi Islam.
c. Menyelenggarakan pendidikan, baik sekolah maupun pondok
pesantrenserta pengajian. Untuk hal itu perlu membentuk guru
keliling.
d. Isi pendidikan dan pengajaran Islam adalah imam, cinta sesama, rasa
tanggungjawab, pengembangan berpikir, penguasaan terhadap diri
sendiri, dan pengajaran biasa seperti membaca, menulis, berhitung,
ilmubumi dan menggambar.
e. Perlu disusun kesatuan sistem pendidikan dan azas pendidikan dan
pengajaran Islam.
Ahmad Dahlan menginginkan pengelolaan pendidikan Islam secara
modern dan profesional, sehingga pendidikan yang dilaksanakan mampu
memenuhi kebutuhan dan kualitas dari para murid dalam menghadapi
dinamika zaman. Untuk itu, perlunya pendidikan Islam dalam membuka
diri, inovatif, dan progresif. Dalam pelaksanaan pendidikan yang terkait
dengan penyempurnaan kurikulum, Ahmad Dahlan telah memasukkan
materi pendidikan agama dan umum secara integratif kepada lembaga
pendidikan sekolah yang dipimpinnya. Materi pendidikan AhmadDahlan
adalah al-Qur’an dan Hadits, membaca, menulis, berhitung, menggambar.
Materi al-Qur’an dan Hadits, meliputi: ibadah, persamaan derajat, fungsi
perbuatanmanusia dalam menentukan nasibnya, musyawarah, pembuktian
kebenaran al- Qur’an dan Hadits menurut akal, kerjasama antara agama,
kebudayaan-kemajuan peradaban, hukum kausalitas perubahan, nafsu dan

355
kehendak, demokratisasi dan liberalisasi, kemerdekaan berfikir, dinamika
kehidupan dan peranan manusia di dalamnya dan akhlak (Nizar, 2005:
210).

Ahmad Dahlan menilai bahwa kedua hal tersebut (agama dan umum,
materialdan spiritual, serta dunia dan akhirat) merupakan hal yang tidak
bisa dipisahkan satu sama lain. Ia telah membawa pembaharuan dalam
bidang pembentukan lembaga pendidikan Islam yang semula sistem
pesantren menjadi sistem sekolah (Suwito, 2008: 90-91). Inilah yang
menjadi alasan mengapa K.H. Ahmad Dahlan mengajarkan pelajaran
agama dan ilmu umum sekaligus di Madrasah Muhammadiyah. Sehingga
tujuan pendidikan Muhammadiyah adalah terwujudnya manusia muslim
yang beriman, berakhlak mulia, cakap, percaya diri, berdisiplin, tanggung
jawab, memajukan IPTEK & ketrampilan, menghasilkan SDM handal,
serta beramal menuju terwujudnya masyarakat utama, adil & makmur yang
diridhoi Allah ‫ﷲ‬. itulah cita-cita K.H. Ahmad Dahlan dalam bidang
pembaharuan pendidikan Islam.

C. Kesimpulan
Kiai Haji Ahmad Dahlan merupakan seorang tokoh ulama dalam
pembaharuanIslam. Ia merupakan seorang abdi dalem Keraton yang bertugas
sebagai ketib Masjid Gedhe Kauman dan menjadi bagian dari tanggung
jawabnya untuk memimpin urusan agama Kesultanan Yogyakarta.
Keprihatinan Ahmad Dahlan terlihat dari berbagai praktik keagamaan yang
tidak sesuai dengan ajaran Islam pada masyarakatnya yang sarat dengan
takhayul, bid’ah dan khurafat. Atas dasar tersebut, Ahmad Dahlan mendirikan
organisasi Persyarikatan Muhammadiyah didirikan pada tanggal 8 November
1912 yang menginginkan pemurnian pelaksanaan ajaran-ajaran Islam sesuai
al-Quran dan as-Sunnah. Melalui Muhammadiyah, Pandangan Ahmad Dahlan
akan berbagai pembaharuan dalam bidang sosial-kemasyarakatan dapat dilihat
juga pada bidang pendidikan.

356
Konsep maupun ide pemikiran mengenai pendidikan agama yang gagas
oleh Ahmad Dahlan yakni membawa pembaharuan dalam pembentukan
lembaga pendidikan Islam yang semula sistem pesantren (Tradisional)
menjadi sistem sekolah modern (Barat). Dalam pelaksanaanya, Ahmad Dahlan
menginginkan umat Islam untuk tidak menutup diri terhadap segala bentuk
inovasi yang datang dari dunia Barat dengan memasukan mata pelajaran umum
pada sekolah-sekolah agama dan Madrasah disamping pelajaran pendidikan
agama, melakukan perubahan dalammetode pengajaran yang lebih bervariasi
mengikuti perkembangan zaman dan mengajarkan sikap hidup terbuka dan
toleran terhadap segala bentuk perubahan. Dalam satu abad kiprahnya,
Muhammadiyah telah meletakkan dasar infrastruktur kebangsaan modern
religius berkeadaban. Gerakan ini terus mengembangkan aksi penyadaran
sosial-kemanusiaan dibidang pendidikan, kesehatan, kemandirian untuk
kesejahteraan umat serta sebagai embrio akan kesadaran berbangsa dalam
mewujudkan Islam yang berkemajuan.

357
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Adaby, Darban. 2000. Sejarah Kauman: Menguak Identitas


Kampung Muhammadiyah. Yogyakarta: Terawang.
Ansori, Ahmad. 2010. Membumikan Gerakan Ilmu Dalam Muhammadiyah.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Burhani, Najib Ahmad. 2010. Muhammadiyah Jawa. Jakarta: Al-Wasat
Publishing House.
Fakhruddin, AR. 2005. Mengenal & Menjadi Muhammadiyah. Malang:
UMM Press.
Hasbullah. 1996. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Kutoyo, Sutrisno. 1998. Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan
Muhammadiyah. Jakarta: Balai Pustaka.
Miswanto Agus, Arofi Zuhron. 2012. Sejarah Islam dan
Kemuhammadiyahan. Magelang: P3SI UMM.
Muchlas, H. 2010. Muhammadiyah 100 Tahun Menyinari Negeri.
Yogyakarta: Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat
Muhammadiyah.
Mukti, Ali. 1990. Alam Pikiran Islam Modern di Indonesia. Jakarta: Nida.
Musthafa kamal, Ahmad Adaby Darban, dkk. 2002. Muhammadiyah
sebagai gerakan Islam: Islam perspektif historis dan ideologis.
Yogyakarta: Lembaga pengkajian dan pengamalan Islam.
Mu’thi Abdul, Mulkhan Munir. 2015. K.H. Ahmad Dahlan: 1868-1923.
Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan.
Rais Amien, AR Syukriyanto. 2010. 1 Abad Muhammadiyah: Istiqomah
Membendung Kristenisasi & Liberalisasi. Yogyakarta: MTDK-
PPM.
Ramayulis, Syamsul Nizar. 2005. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam:
Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia dan Indonesia. Ciputat:
Quantum Teaching.
Robert W. Hefner, dkk. 2008. Api Pembaharuan Kiai Ahmad Dahlan.
Yogyakarta: Multi Pressindo.
Salam, Junus. 2009. Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah. Jakarta: Al-
Wasat Publishing House.

358
Suja, H. 1989. Muhammadiyah dan Pendirinya. Yogyakarta: Pimpinan
Pusat Muhammadiyah Majelis Pustaka.
Suwito. 2008. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.
Syamsul, Kurniawan. 2011. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam.
Jogjakarta: Ar- Ruzz Media.
Weinata, Sairin. 1995. Gerakan Pembaruan Muhammadiyah. Jakarta: PT
Fajar Interpratama.
Yusron, Asrofie. 1983. Kyai Haji Ahmad Dahlan, Pemikiran dan
Kepemimpinannya.Yogyakarta: Yogyakarta Offset.
Abdillah Milana. 2017. Muhammadiyah Dan Amal Usaha Di Bidang
Pendidikan. Jurnal: Rausyan Fikr, Vol. 12, No. 2, September.
Kasmuri. 2019. Antara Tradisionalis dan Modernis: Pemikiran Pendidikan
K.H. Ahmad Dahlan. Jurnal: Ta’dib, Vol. 22, No. 2, Juli-Desember.
Ni’mah Azizatun. 2014. Pemikiran Pendidikan Islam Perpektif KH. Ahmad
Dahlan (1869-1923M) dan KH. Hasyim Asy’ari (1871-1947M): Study
Komparatif dalam Konsep Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia.
Jurnal: Didaktika Religia, Vol. 2, No. 1

359
KEDUDUKAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PANDANGAN M.NATSIR

Oleh: Dian Sukma


NIM. 20718251034

A. Pendahuluan
Indonesia memiliki khazanah tokoh pembaharu dunia pendidikan Islam yang
begitu banyak, para tokoh tersebut sangat intens dan menaruh perhatian besar
tehadap perkembangan dan kemajuan dunia pendidikan Islam. Diantaranya terdapat
pemikiran politik yang hadir pada sebuah masyarakat, yang pada dasarnya adalah
sebuah refleksi akhir dari masyarakat dalam mencari dan membentuk sistem politik
yang dianggap ideal sebagai mekanisme untuk mengatur tata cara atau pola
kehidupan dalam masyarakat sebagaimana yang didambakan (Iskandar, 2015).
Peran tokoh tokoh tersebut banyak memberikan angin segar, pencerahan ide-
ide yang banyak dikembangkan oleh para praktisi pendidikan pada masa kini. Nama
Mohammad Natsir begitu penting di era pergerakan nasional dan awal
kemerdekaan Indonesia. Tokoh yang di era 1930-an ini sering beradu pemikiran
dengan Soekarno, dan merupakan tokoh yang selalu menginspirasi. Konsistennya
memperjuangkan Negara Islam melalui Masyumi yang sudah sering kita dengar.
Sewaktu menjadi ketua Masyumi, Moh.Natsir dikenal dengan kegigihannya
memperjuangkan aspirasi Islam melalui Konstituante. Namun sangat disayangkan,
aspirasinya yang dikenal sebagai dakwah Islam melalui kekuatan politik tersebut
gagal, bahkan partai Masyumi yang dipimpinnya dibubarkan oleh kekuasaan
Soekarno pada bulan Desember 1960 (Raihan, 2013). Pemikiran Natsir tentang
negara dan keberaniannya dalam menyalurkan aspirasinya untuk menjadikan Islam
sebagai dasar negara, banyak disalahpahami oleh orang-orang yang tidak senang
kepada Islam. Terutama anggapan bahwa M. Natsir berupaya untuk mendirikan
negara Islam dan tidak mengakui Pancasila sebagai dasar negara. Padahal secara
historis, ketika M. Natsir menjabat PM, Natsir tidak segan-segan mengambil
tindakan tegas terhadap kelompok Darul Islam (DI/TII) Kartosuwiryo yang ingin
mendirikan negara Islam di Indonesia secara inkonstitusional. Pemikiran tentang

360
Islam sebagai dasar negara republik Indonesia baru ia perjuangkan melalui
Konstituante (Sukri, 2019).
Pertentangan hebat antara Islam dan aliran-aliran lainnya di Indonesia di
kemudian hari menimbulkan polemik yang berkepanjangan antara Islam dan
nasionalisme sekuler diantaranya ialah pemikiran M. Natsir versus Soekarno.
Polemik Natsir dan Soekarno yang pada awalnya masalah kebangsaan, bergeser
kemasalah agama dan negara. Soekarno menjadikan Turki dan Kemal Attaturk
sebagai alasan mengenai dipisahkannya agama dan negara (Sukri, 2019).
Muhammad Natsir, yang mewakili Islam, berusaha menentang arus sekularisme
yang dihembuskan nasionalisme sekuler yang diwakili Ir. Soekarno. Melalui
kumpulan tulisannya yang berjudul Persatuan Agama dan Negara Muhammad
Natsir menyangkal argumentasi Ir. Soekarno yang dimuat dalam artikel Apa Sebab
Turki Memisahkan Agama dengan Negara. Dalam berbagai kesempatan dan media
beliau tak putus-putusnya untuk memperkenalkan pemikiran politik Islamnya
(Iskandar, 2015).
Pandangan Natsir tentang hubungan Islam dan negara adalah bahwa agama
bukanlah semata-mata ritual peribadatan dalam istilah sehari-hari seperti salat dan
puasa, akan tetapi agama meliputi semua kaedah-kaedah, batas-batas dalam
muamalah dan hubungan sosial kemasyarakatan. Oleh sebab itu, untuk menjaga
supaya aturan-aturan dan patokan-patokan itu dapat berlaku dan berjalan
sebagaimana mestinya, perlu dan tidak boleh tidak, harus ada kekuatan dalam
pergaulan hidup berupa kekuasaan dalam negara, sebagaimana telah diperingatkan
oleh Rasulullah saw kepada kaum muslim bahwa sesungguhnya Allahlah
pemegang dengan kekuasaan penguasa (Khumaidi, 2005). Atas dasar pembahasan
tersebut, maka penulis mencoba mereview kembali pemikiran-pemikiran beliau
baik kiprahnya di bidang pendidikan, dakwah ataupun dalam kenegaraan.

B. Pembahasan
1. Biografi Mohammad Natsir
Kehidupan masyarakat Minangkabau dalam di penghujung abad ke-
19 dan awal abad ke-20 yang diwarnai oleh gairah untuk modernisasi diri,

361
akibat pengaruh aliran baru di bidang keagamaan dan pendidikan sekuler
dari pemerintah kolonial Belanda. Pada awal abad ke-20 derah
Minangkabau kemudian dikenal sebagai salah satu di daerah yang menjadi
tempat kelahiran tokoh-tokoh Islam ternama, diantaranya M. Hatta, Sutan
Syahrir, H.Agus Salim, Buya Hamka, dan M. Natsir. Nilai-nilai keIslaman
yang ada di Minangkabau sudah tersosialisasi dalam diri Natsir. Hal ini
dipengaruhi oleh faktor kondisional dan lingkungan sosio-kultural. Faktor
kondisional dilihat pada kuatnya gagasan-gagasan pembaharuan Islam
dalam masyarakat Alahan Panjang yang mendorong Natsir untuk
mengenal gagasan pembaruan Islam. Adapun faktor sosio-kultural
berkaitan dengan tempat Natsir dilahirkan yang akan mempengaruhi
pikiran dan tingkah laku Natsir (Suhelmi, 2002).
Adapun M. Natsir yang bergelar Datuk Sinaro Panjang, lahir di
Jembatan Berukir Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat Pada
hari Jumat tanggal 17 Akhir 1326 H, bertepatan dengan tanggal 17 juli
1908 dari seorang wanita bernama Khadijah. Ayahnya bernama
Mohammad Idris Sutan Sari pado, seorang pengawai rendah yang pernah
menjadi juru Tulis pada kantor Kontroler di Maninjau. Pada tahun 1918,
ia di pindahkan dari alahan panjang keujung pandang (Sulawesi Selatan)
sebagai sipir (penjaga tahanan). M. Natsir mempunyai tiga saudara
kandung, yaitu Yukina, Rubiah, Dan Yohanusun. Di tempat Kelahiran itu
dia melewati masa-masa sosialisasi keagamaan dan intelektualnya yang
pertama. Ia menempuh pendidikan dasar disekolah belanda dan
mempelajari agama dengan tengku atau alim ulama. Pada umur yang
kedelapan belas tahun (1926), M. Natsir bekeinginan masuk sekolah
rendah belanda (HIS), namun tidak terlaksana karena M.Natsir adalah
seorang anak pengawai rendahan, akibatnya M.Natsir masuk sekolah
partikelir HIS adabiah di Padang (Badri, 2020).
Setelah lulus HIS tahun 1923, Natsir melanjutkanpendidikannya ke
MULO (Meer Uitgebried lager onder wejd) setingkat sekolah menengah
pertama. Ketika di MULO Natsir mulai mengenal Jong Islameiten Bond

362
(JIB) cabang Padang yang waktu itu diketuai oleh Sanusi Pane
(belakangan dikenal sebagai sastrawan). Setelah tamat di MULO, pada
tahun 1927 Natsir pergi ke Bandung dan melanjutkan pendidikan
formalnya di AMS (Algemene Middlebare School) setingkat sekolah
menengah atas. Di sinilah M. Natsir mulai menekuni ilmu pengetahuan
Barat, mulai dari mempelajari berbagai aspek sejarah peradaban Islam,
Romawi, Yunani, dan Eropa, melalui buku-buku berbahasa Arab,
Perancis, dan Latin. Pada masa bersekolah di AMS M. Natsir mulai
bersentuhan dengan dunia yang lebih luas, baik pergaulan secara fisik
dengan berbagai etnis maupun secara intelektual dengan beragam
pemikiran yang berkembang pada saat itu. Di usia yang begitu muda (21
tahun) Natsir telah menguasai lima bahasa asing (bahasa Arab, Belanda,
Inggris, Prancis, Latin), dan dua bahasa daerah (Minangkabau dan Sunda)
(Jatim, 2018).
Penguasaan atas bahasa-bahasa itu sangat memungkinkan Natsir
melakukan penjelajahan "Intelektual" yang nyaris tanpa batas dan
membentuknya menjadi manusia kosmopolitan yang intelek, Natsir
menolak beasiswa untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi adalah beliau
lebih tertarik pada persoalan-persoalan masyarakat dan persoalan politik
dalam negeri. Walaupun Beliau berhak rnemilih dua lembaga pendidikan
yang sangat terkenal waktu itu, Rechits Hooge School (Sekolah Tinggi
Hukum) di Jakarta atau The Economies Hooge School (Sekolah tinggi
Ekonomi) di Rotterdam Belanda akan tetapi beliau menolak kesempatan
ini. M. Natsir lebih memilih terpanggil mengikuti dunia pergerakan dan
bekerja ditengah-tengah masyarakat, sebagai seorang guru partikelir
(Yusafrida, 2012)
2. Corak pemikiran Mohammad Natsir
Sebagai seorang tokoh pembaharu Islam di Indonesia yang
menyerukan semangat ijtihad dalam menjawab tantangan dan perubahan
zaman. M.Natsir dalam corak pemikiraannya tidak mengenyampingkan
peranan akal dan menjadikannya sebagai dasar dalam memahami Islam,

363
terutama mengenai prinsip-prinsip utama dalam ajaran agama seperti
masalah keesaan Allah, kebenaran kenabian, dan masalah lain yang
menjadi dasar keimanan dalam Islam (Siraj, 2019).
Melalui akal, lahir kemampuan menjangkau pemahaman sesuatu yang
pada gilirannya mengantar pada dorongan berakhlak luhur. Ini dapat
dinamai al-aql al wazi, yakni akal pendorong. Akal juga digunakan untuk
memperhatikan dan menganalisis sesuatu guna mengetahui rahasia-
rahasia yang terpendam untuk memperoleh kesimpulan ilmiah dan hikmah
yang dapat ditarik dari analisis tersebut. Kerja akal di sini membuahkan
ilmu pengetahuan sekaligus perolehan hikmah yang mengantar
pemiliknya mengetahui dan mengamalkan apa yang diketahuinya. Ini
dinamai Al-Aql al mudrik, yakni akal penjangkau (pengetahuan) (Amin
M. , 2018). Atas dasar tersebut, kegunaan akal bagi manusia setidaknya
menuntun manusia agar dapat berpikir secara luas dan mendalam, hingga
merumuskan berbagai konsep serta mempertanyakan segalanya secara
filosofis.
Dalam hal ini, M.Natsir tidak menolak bila seseorang berpikir
demikian. Namun dalam Islam, menurutnya, terdapat sikap berdisiplin
dalam menggunakan akal. Disiplin dengan merujuk kepada ayat-ayat
dalam al-Qur‟an serta menggunakan hadits sebagai alat Bantu dalam
menalarkannya. Ia tidak menganjurkan atau mendorong untuk merujuk
pandapat para Imam atau fatwa ulama apalagi memakainya secara taklid
(Siraj, 2019).
Menurut M.Natsir, umat Islam tidak akan mendapat kejayaan, semata-
mata oleh karena adanya bentrokan antara golongan lain di luar kalangan
Islam, baik di Barat atau di Timur. Kejayaan umat Islam, menurut
M.Natsir dalam pandangannya mengkategorikan pencapaian kejayaan
pemikiran Islam dalam 3 kategori yakni.
a. kesadaran yang datang dari mereka sendiri akan kedudukannya yang
sekarang dan kesadaran akan tingkatan yang harus mereka duduki
sebagai umat, yakni Ummatan wasathan, yang ditentukan Tuhan.

364
b. bergantung kepada kecakapan untuk mengejar ketinggalan yang
berabad-abad dalam lapangan politik, ekonomi, ataupun dalam akhlak
moral dan keluhuran budi.
c. kepada hidup suburnya kembali solidaritas dan persesuaian langkah
antara umat Islam seluruhnya, sehingga terlaksanalah jiwa ukhwah
Islamiyah dalam amal dan tindakan mereka, dan sanggup menolak
perpecahan baik yang datang dari luar maupun dari dalam, serta
sanggup pula membuktikan perbuatanpositif kepada dunia, yang
diliputi oleh rasa cinta untuk melaksanakan keamanan dan
kemakmuran hidup lahir batin dengan tidak memilih bangsa dan warna
kulit.
Dalam hal ini M.Natsir menekankan bahwa, manakala umat Islam
telah dapat membuktikan bahwa mereka rahmatan lil alamin, rahmat bagi
semua alam, maka disitulah saat kejayaan akan tercapai (Natsir, 1973).
Dalam kurun waktu periode pasca kemerdekaan, corak pemikiran M.
Natsir setidaknya dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
(Khumaidi, 2005).
a. Pertama, kondisi sosial politik Indonesia selama dua dasa warsa
(1945-1965), yaitu revolusi fisik (1945-1950), masa demokrasi
parlementer (1950-1959) dan masa demokrasi liberal (1959-1965).
b. Kedua, pemahaman dan interprestasi intelektual Islam, termasuk
Natsir, terhadap ajaran Islam yang diyakininya bahwa Islam adalah
ajaran yang komplit dan sempurna, sehingga segala sesuatu yang
berkaitan dengan kehidupan manusia itu dapat dilihat hukumannya
dalam al-Quran dan hadits.
c. Ketiga, pemikiran politik Natsir di samping terpengaruh pemikiran
politik intelektual muslim masa klasik dengan karya-karya
monumentalnya seperti al-Mawardi dengan al-Ahkam al-
Sulthaniyyah, juga terpengaruh oleh pemikiran politik intelektual
muslim modern seperti al-Maududi dan al-Afgani. Keempat, trend
pemikiran politik Barat yang sedang merebak di dunia Islam sebagai

365
akibat kontak dengan peradaban Barat dalam bentuk imperialisme
Barat di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim, tanpa
terkecuali Indonesia yang pernah dijajah oleh kolonial Belanda.
d. Kelima, visi dan tujuan organisasi keagamaan dan politik yang
digeluti oleh para intelektual Islam telah mempengaruhi arah
pemikiran dan sikap atau perilaku politik mereka dalam
mengaktualisasikan dan mengartikulasikan politiknya. Natsir sebagai
salah satu intelektual Islam modernis terpengaruh oleh visi dan tujuan
Masyumi.
3. Islam dan Negara dalam pandangan Natsir
Mengenai hubungan Islam dan negara, para ahli memiliki pendapat
yang berbeda-beda. Ada yang berpendapat bahwa Islam sangat erat
hubungannya dengan negara sehingga Islam juga mewajibkan pendirian
negara yang berazazkan Islam, namun ada juga yang berpendapat bahwa
Islam dan negara itu tidak memiliki hubungan sama sekali, atau dapat
dikatakan bahwa Islam hanya mengatur hubungan antara manusia dengan
Tuhannya, dengan alasan Islam tidak memiliki struktur negara yang jelas
serta perkembangan zaman yang sudah mulai memisahkan antara negara
dan agama (Sukri, 2019).
Natsir menegaskan pandangannya terkait suatu negara yang berkaitan
dengan pengertiannya, syarat dari suatu negara dan kedudukan dari negara
itu. Menurut Natsir, negara adalah sebuah “institution” yang mempunyai
hak, tugas dan tujuan yang khusus. Institution menurut Natsir adalah suatu
badan dan organisasi yang mempunyai tujuan khusus serta dilengkapi oleh
alat-alat material dan peraturan-peraturan tersendiri, dan diakui oleh
umum (Santosa, 2004).
Pilihan Natsir terhadap Islam sebagai dasar negara, semata-mata
bukan hanya didasari oleh sebuah realitas bahwa umat Islam Indonesia
merupakan mayoritas. Tetapi juga berdasarkan atas suatu keyakinan
bahwa Islam memang memuat suatu ajaran yang berhubungan
ketatanegaraan secara sempurna bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

366
Lebih jauh, Islam juga dipandang dapat menjamin kerukunan hidup antara
berbagai golongan di dalam negara ini atas dasar saling menghargai.
Bagi Natsir membicarakan urusan agama Islam bukanlah semata-mata
peribadatan dalam istilah sehari-hari, seperti shalat dan puasa saja, akan
tetapi mencakup semua kaidah-kaidah, batasan-batasan dalam muamalah
(pergaulan) dalam masyarakat menurut garis-garis yang telah ditetapkan
dalam Islam. Oleh karena itu, menurut pandangan Natsir, Islam dinilai
tidak hanya terdiri atas praktek-praktek ibadah (an sich), melainkan juga
telah memberikan prinsip-prinsip umum yang relevan tentang pengaturan
hubungan antara individu dan masyarakat. Menurutnya aturan aturan yang
lebih terinci tentang pengorganisasian sebuah negara diserahkan kepada
kemampuan para pemimpinnya untuk melakukan ijtihad (Santosa, 2004).
Terkandungnya hukum-hukum kenegaraan dalam ajaran Islam, menurut
Natsir, adalah suatu bukti bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antar
agama dan negara. Dalm hal ini, pandangan Natsir ini didasarkan pada
Alquran, al-Dzariyyat: 56 (Natsir, 1973).
Mengenai corak pemerintahan, M. Natsir menegaskan terkait
keberadaan kepala negara dalam menjalankan roda pemerintahannya harus
mengutamakan kepentingan warga negara sesuai dengan ajaran Islam.
Untuk dapat mendukung hal tersebut, maka kepala negara dalam
penyelenggaraan negara harus memegang prinsip mengedepankan
musyawarah dengan orang-orang yang layak dan patut diajak
bermusyawarah. Sedangkan cara bermusyawarah itu sendiri sepenuhnya
diserahkan dengan situasi zaman yang berlaku. Berkaitan dengan hak dan
kewajiban bagi yang diperintah dan yang memerintah, Natsir menekankan
keharusan loyalitas warga negaranya dan diimbangi adanya tanggung
jawab amanah sang penguasa (Amin S. , 2015).
Mengenai organisasi pemerintahan, M. Natsir tidak terlalu
memperdulikan apakah susunan pemerintahan itu presidensial ataupun
parlementer. Bagi M.Natsir hal yang terpenting adalah susunan
pemerintahan itu dapat berjalan secara adil dan demokratis. Dalam hal ini,

367
terkait jabatan kepala negara, Natsir dalam pandangannya mengedepankan
kriteria yang harus dimilliki oleh kepala negara yakni, beragama,
berakhlak, mampu dan cakap atas jabatan tersebut. Adapun tentang sistem
pemerintahan, pandangan pandangan Natsir cukup moderat. Menurutnya
umat Islam bebas memilih sistem manapun di dunia ini yang paling sesuai,
sepanjang tidak bertentangan dengan hukum-hukum Islam (Amin S. ,
2015). Sepertihalnya tulisannya dalam Pembela Islam, edisi Januari-Maret
1932, Natsir senantiasa memegang teguh paham "lillah dasar usaha kita,
ilallah arah tujuan kita".
Gagasannya mengenai pemerintah yang demokratis dan yang
menghormati hak asasi manusia adalah interpretasi modern M.Natsir atas
Islam dan negara (Effendy, 2017). Hal tersebut kemudian ditegaskan
kembali oleh M. Natsir dalam buku Capita selecta "Bagi kita kaum
Muslimin, "Negara" bukanlah suatu badan yang tersendiri yang menjadi
tujuan. Dan dengan "Persatuan Agama dan Negara", bukanlah bahwa
"Agama" itu cukup sekedar dimasuk-masukkan saja disana sini kepada
"Negara" itu. Negara, bagi kita, bukan tujuan, tetapi alat. Urusan
kenegaraan pada pokoknya dan pada dasarnya adalah suatu bagian yang
tidak dapat dipisahkan, satu "intergreered deel" dari Islam. Yang menjadi
tujuan ialah: Kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi, baik yang
berkenaan dengan perikehidupan manusia sendiri (sebagai individu),
ataupun sebagai anggota dari masyarakat. Baik yang berkenaan dengan
kehidupan dunia yang fana ini, ataupun yang berhubungan kehidupan
akhiran kelak (Natsir, 1973).

C. Kesimpulan
Pemikiran Natsir tentang negara dan keberaniannya dalam menyalurkan
aspirasinya untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara, banyak
disalahpahami oleh orang-orang yang tidak senang kepada Islam. Terutama
anggapan bahwa M. Natsir berupaya untuk mendirikan negara Islam dan tidak
mengakui Pancasila sebagai dasar negara. Padahal. M.Natsir dalam corak

368
pemikiraannya dalam memahami Islam, terutama mengenai prinsip-prinsip
utama dalam ajaran agama seperti masalah keesaan Allah, kebenaran kenabian,
dan masalah lain yang menjadi dasar keimanan dalam Islam tidaklah
mengesampingkan peranan akal dan menjadikannya sebagai dasar.
Maka atas dasar tersebut, pilihan Natsir terhadap Islam sebagai dasar
negara, semata-mata bukan hanya didasari oleh sebuah realitas bahwa umat
Islam Indonesia merupakan mayoritas. Tetapi juga berdasarkan atas suatu
keyakinan bahwa Islam memang memuat suatu ajaran yang berhubungan
ketatanegaraan secara sempurna bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lebih jauh, Islam juga dipandang dapat menjamin kerukunan hidup antara
berbagai golongan di dalam negara ini atas dasar saling menghargai.

369
DAFTAR PUSTAKA

Amin, M. (2018). Kedudukan Akal dalam Islam. Tarbawi, 3(1), 79-92.


Amin, S. (2015). Konsepsi Negara Menurut M. Natsir: Tinjauan Dari Perspektif
Pemikiran Politik Islam. 22(1), 225-246.
Badri, A. (2020). Pemikiran Muhammad Natsir Tentang Agama Dan Negara.
RI’AYAH, 5(2), 191-200.
Effendy, B. (2017). Muhammad Natsir. In Tempo, Natsir Politik santun diantara
dua rezim (p. 56). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Iskandar, I. (2015). Pemikiran Politik Muhammad Natsir Tentang Hubungan Islam
dan Negara. Jurnal Transnasional, 1755-1770.
Jatim. (2018). Gagasan Kebangsaan Mohammad Natsir Dan Kontribusinya Dalam
Pemikiran Keislaman. 4(2), 122-135.
Khumaidi. (2005). Islam Dan Tata Negara: Pemikiran Sosial Politik Mohammad
Natsir. Kontekstualita: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 20(1), 113-
130.
Kuntowijoyo. (2018). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Natsir. (1973). Capita Selekta . Jakarta: Bulan Bintang.
Raihan. (2013). Kepemimpinan Mohammad Natsir Di Dewan Da‘Wah Islamiyah
Indonesia (1967-1993). Jurnal Al-Bayan, 19(28), 59-80.
Santosa. (2004). Islam dan negara. jakarta: Sega Arsy.
Siraj, F. M. (2019). Islam Dan Rasionalitas Dalam Pemikiran M. Natsir. Majalah
Ilmu Pengetahuan dan Pemikiran Keagamaan Tajdid, 22(1), 1-18.
Suhelmi. (2002). Polemik Negara Islam “Soekarno Versus Natsir. Jakarta: Teraju.
Sukri, M. A. (2019). Negara Dalam Pemikiran Mohammad Natsir. Jurnal Al-
Aqidah, 11(2), 118-131.
Yusafrida. (2012). Kiprah Politik Mohammad Natsir. Jurnal Tapis, 8(2), 57-83.
Zed, M. (2004). Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor.

370
371

Anda mungkin juga menyukai