Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

SEJARAH, PERKEMBANGAN, DAN TOKOH ILMU-FILSAFAT ILMU

disusun guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah Filsafat Ilmu
yang diampu oleh Dr. H. Babang Robandi, M.Pd.

Disusun oleh:
Melvina Charitas 2208960
Varary Mechwafanitiara Cantika 2112977

PROGRAM STUDI MAGISTER PENGEMBANGAN KURIKULUM


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta
pertolongan-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sejarah,
Perkembangan, dan Tokoh Ilmu-Filsafat Ilmu” ini tepat pada waktunya untuk memenuhi tugas
mata kuliah Mata Kuliah Filsafat Ilmu yang diampu oleh Dr. H. Babang Robandi, M.Pd.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini tidak terlepas
dari dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penyusun mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyusun menyelesaikannya dengan
baik.
Penyusun juga menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari
kesempurnaan dan masih perlu dibenahi, untuk itu kritik yang membangun sangat dibutuhkan
sebagai bahan untuk perbaikan selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini bermanfaat bagi
semua pihak yang membacanya pada umumnya, dan bagi penyusun sendiri khususnya.

Bandung, 20 Oktober 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………………..... i


KATA PENGANTAR ....……………………………………………………………………. ii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………….. iii
BAB 1 PENDAHULUAN …………………………………………………………………... 1
A. Latar Belakang ......………………………………………………………………………... 1
B. Rumusan Masalah …...……………………………………………………………………. 2
C. Tujuan …..…..…………………………………………………………………………….. 2
BAB 2 PEMBAHASAN ....………………………………………………………………….. 3
A. Ilmu Pengetahuan ………………………………....……………………………………… 3
1. Periode Yunani Kuno ………………………...…………………………………………… 3
2. Periode Pertengahan ………………………………………………………………………. 6
3. Periode Islam ……………………………………………………………………………… 6
4. Periode Renaisans dan Modern …………………………………………………………… 8
5. Periode Kontemporer ……………...……………………………………………………… 8
B. Filsafat Ilmu ..……………………………………………………………………………. 10
1. Aliran Rasionalisme ……………………………………………..………………………. 10
2. Aliran Empirisme ………………………………………………...……………………… 11
3. Aliran Positivisme ………………………………………………………………………...13
4. Aliran Kritisisme …………………………………………………………………………14
BAB 3 PENUTUP ...…………………………………………………………………………16
A. Kesimpulan ….……………………………………………………………………………16
DAFTAR PUSTAKA .………………………………………………………………………17

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Filsafat adalah sebuah teori dengan kajian dasar mengenai pengetahuan, cara berpikir,
hingga cara hidup. Filsafat juga secara komprehensif merangkum elemen-elemen signifikan
tentang cara hidup dan berkehidupan yang juga pada akhirnya berujung kepada sumber analisis
dan identifikasi ilmu pengetahuan bagi peradaban manusia secara holistik dan lebih luas lagi.
Ilmu pengetahuan memiliki bentuk implifikasi yang sangat beragam. Hal ini dikarenakan ilmu
pengetahuan memberikan bukan hanya aspek daya guna dan kebermanfaatan bagi
perkembangan sumber daya manusia belaka. Namun juga secara polarisasi, ilmu pengerahuan
mampu membentuk karakter dan membentuk peradaban hingga saat ini. Hal ini dikarenakan
secara hakikat, filsafat dalam ruang lingkup ilmu pengetahuan juga lebih memaknai segala
sesuatu bukan sebagai sesuatu yang mutlak. Artinya, terdapat proses berpikir kritis termasuk
tidak mudah mempercayai segala sesuatu begitu saja (Bolo, 2020).
Perjalanan filsafat sebagai ilmu dengan kompleksitas yang cukup tinggi dan cabang
yang saling terintegrasi satu sama lain, tentunya filsafat memiliki nilai-nilai internal dan
eksternal yang terepresentasi dari adanya tokoh-tokoh filsafat. Tokoh-tokoh filsafat ini
meliputi para filsuf, beberapa praktisi yang cukup populer dalam ranah-ranah ilmu
pengerahuan, hingga expert yang terus mengembangkan praktik-praktik dan teori-teori terkait
perkembangan filsafat secara lebih implementatif. Adapun proses perkembangan dan
perjalanan ilmu pengetahuan ini tidak terlepas dari andil besar tokoh-tokoh filsuf dalam aspek
sejarah dan teoritis mengenai elemen-elemen signifikan dalam filsafat itu sendiri.
Secara struktural perkembangan ilmu pengetahuan dalam ranah filsafat memiliki
periode-periode perkembangannya tersendiri, terutama dengan era-era seperti era Yunani, era
abad pertengahan, era modern, post-modern, hingga era saat ini yang lebih mengarah kepada
era konvensional dan non konvensional. Era Yunani sebagai salah satu era pencetus ilmu
pengetahuan dan filsafat adalah salah satu contoh periode penting yang membingkai kedua
aspek background dan historical sekaligus. Era ini banyak ditandai dengan beragam
perkembangan progresif manusia dan pola pikirnya mulai dari manusia mitosentris menjadi
logo sentris (Bolo, 2020). Oleh karena itu, melalui makalah ini, penulis akan mengulik
beberapa aspek terkait ilmu pengetahuan dan korelasinya dengan filsafat, sejarah
perkembangan ilmu pengetahuan, dan pembahasan mengenai tokoh-tokoh historis atau filsuf-
filsuf yang banyak menyumbangkan pemikirannya berkaitan dengan ilmu pengetahuan.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam
penulisan ini yaitu:
1. Bagaimana sejarah, perkembangan, dan tokoh-tokoh ilmu pengetahuan?
2. Bagaimana sejarah, perkembangan, dan tokoh-tokoh filsafat ilmu?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan ini yaitu:
1. Menguraikan sejarah, perkembangan, dan tokoh-tokoh ilmu pengetahuan.
2. Menguraikan sejarah, perkembangan, dan tokoh-tokoh filsafat ilmu.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ilmu Pengetahuan
1. Periode Yunani Kuno
Yunani kuno adalah tempat bersejarah di mana sebuah bangsa memilki
peradaban. Yunani kuno sangat identik dengan filsafat yang merupakan induk dari ilmu
pengetahuan. Seiring dengan berkembangannya waktu, filsafat dijadikan sebagai
landasan berfikir oleh bangsa Yunani untuk menggali ilmu pengetahuan, sehingga
berkembang pada generasi-generasi setelahnya (Bakhtiar, 2013). Zaman ini
berlangsung dari abad 6 SM sampai dengan sekitar abad 6 M. Zaman ini menggunakan
sikap an inquiring attitude atau suatu sikap yang senang menyelidiki sesuatu secara
kritis dan tidak menerima pengalaman yang didasarkan pada sikap receptive attitude
atau sikap menerima begitu saja, sehingga pada zaman ini filsafat tumbuh dengan
begitu pesat. Pada zaman ini banyak bermunculan ilmuwan yang terkemuka,
diantaranya yaitu:
▪ Thales (624-545 SM)
Kurang lebih enam ratus tahun sebelum Nabi Isa (Yesus) terlahir, muncul sosok
pertama dari tridente Miletus yaitu Thales yang menggebrak cara berfikir mitologis
masyarakat Yunani dalam menjelaskan segala sesuatu. Sebagai saudagar-filosof,
Thales sangat gemar melakukan rihlah. Thales bahkan pernah melakukan lawatan
ke Mesir. Thales adalah filsuf pertama sebelum masa Socrates. Menurutnya, zat
utama yang menjadi dasar segala materi adalah air. Thales menjadi filsuf yang
mempertanyakan isi dasar alam pada masanya (Strathern, 2001).
▪ Pythagoras (580 SM-500 SM)
Pythagoras adalah seorang matematikawan dan filsuf Yunani yang paling
dikenal melalui teoremanya. Pythagoras dikenal melalui salah satu peninggalannya
yang terkenal yaitu teorema Pythagoras, suatu teorema yang menyatakan bahwa
kuadrat hipotenusa dari suatu segitiga siku-siku adalah sama dengan jumlah kuadrat
dari kaki-kakinya (sisi-sisi siku-sikunya). Walaupun fakta di dalam teorema ini
telah banyak diketahui sebelum lahirnya Pythagoras, namun teorema ini dikreditkan
kepada Pythagoras karena Pythagoras yang pertama kali membuktikan pengamatan
ini secara matematis. Selain itu, Pythagoras berhasil membuat lembaga pendidikan
yang disebut Pythagoras Society. Terlebih, dalam ilmu ukur dan aritmatika
3
Pythagoras berhasil menyumbang teori tentang bilangan, pembentukan benda, dan
menemukan hubungan antara nada dengan panjang dawai (Hadiwiyono, 1980).
▪ Socrates (649 SM-399 SM)
Socrates lahir di Athena, dan merupakan generasi pertama dari tiga ahli filsafat
besar dari Yunani. Socrates merupakan guru dari Plato, dan Plato merupakan guru
dari Aristoteles. Sumbangsih Socrates yang terpenting bagi pemikiran barat adalah
metode penyelidikannya yang dikenal sebagai metode elenchos, suatu metode yang
banyak diterapkan untuk menguji konsep moral secara pokok. Oleh karenanya,
Socrates dikenal sebagai bapak dan sumber etika atau filsafat moral serta filsafat
secara umum (Watt, 1997).
▪ Plato (427 SM-347 SM)
Plato adalah murid Socrates dan guru dari Aristoteles. Karyanya yang paling
terkenal adalah Republik (Politeia) di mana Plato menguraikan garis besar
pandangannya pada keadaan ideal. Selain itu, Plato juga menulis tentang hukum
dan banyak dialog di mana Socrates adalah peserta utama. Sumbangsih Plato yang
terpenting adalah ilmunya mengenai ide. Plato menyebutkan bahwa dunia fana ini
tidak lain hanyalah refleksi atau bayangan daripada dunia ideal. Di dunia ideal
semuanya sangat sempurna. Plato yang hidup di awal abad ke-4 SM adalah seorang
filsuf earliest (paling tua) yang tulisan-tulisannya masih menghiasi dunia akademisi
hingga saat ini. Salah satu karya Plato yaitu Timaeus merupakan karya yang sangat
berpengaruh di zaman sebelumnya, dimana dalam karya tersebut Plato membuat
garis besar suatu kosmogoni yang meliputi teori musik dan ditinjau dari sudut
perimbangan serta teori-teori fisika dan fisiologi yang diterima pada saat itu
(Ravertz, 2004).
▪ Aristoteles (384 SM-322 SM)
Aristoteles adalah seorang filsuf Yunani, murid dari Plato dan guru dari
Alexander yang Agung. Aristoteles memberikan kontribusi di bidang Metafisika,
Fisika, Etika, Politik, Ilmu Kedokteran, dan Ilmu Alam. Aristoteles merupakan
orang pertama yang mengumpulkan dan mengklasifikasikan spesies-spesies biologi
secara sistematis pada bidang ilmu alam. Sementara itu, di bidang politik,
Aristoteles percaya bahwa bentuk politik yang ideal adalah gabungan dari bentuk
demokrasi dan monarki. Kontribusi Aristoteles yang paling penting adalah masalah
logika dan teologi (metefisika). Logika Aristoteles adalah suatu sistem berpikir
deduktif (deductive reasoning) yang bahkan sampai saat ini masih dianggap sebagai
4
dasar dari setiap pelajaran tentang logika formal. Meskipun demikian, dalam
penelitian ilmiahnya Aristoteles menyadari pula pentingnya observasi, eksperimen,
dan berpikir induktif (inductive thinking). Logika yang digunakan untuk
menjelaskan cara menarik kesimpulan yang dikemukakan oleh Aristoteles
didasarkan pada susunan pikir. Masa keemasan kelimuan bangsa Yunani terjadi
pada masa Aristoteles (384-322 SM). Aristoteles berhasil menemukan pemecahan
persoalan-persoalan besar filsafat yang dipersatukannya dalam satu sistem: logika,
matematika, fisika, dan metafisika. Logika Aristoteles berdasarkan pada analisis
bahasa yang disebut silogisme (syllogisme) (Ravertz, 2004).
▪ Tokoh Lainnya
a) Anaximander (610 SM-546 SM)
Anaximander dengan diktum falsafinya bahwa permulaan yang pertama, tidak
dapat ditentukan (apeiron) karena tidak memiliki sifat-sifat zat yang ada
sekarang.
b) Anaximenes (6 SM)
Anaximenes yang masih satu generasi dengan Anaximander berpendapat
bahwa zat yang awal ada adalah udara. Anaximenes menganggap bahwa
seluruh benda di alam semesta dirasuki dengan udara.
c) Demokreitos (460-370 SM)
Demokreitos mengembangkan teori mengenai atom sebagai dasar materi,
sehingga Demokreitos dikenal sebagai “Bapak Atom Pertama”.
d) Empedokles (484-424 SM)
Empedokles adalah seorang filsuf Yunani yang berpendapat bahwa materi
terdiri atas empat unsur dasar yang disebut sebagai akar, yaitu: air, tanah,
udara, dan api. Selain itu, Empedokles menambahkan satu unsur lagi yang
disebut cinta (philia). Hal ini dilakukannya untuk menerangkan adanya
keterikatan dari satu unsur ke unsur lainnya. Empedokles juga dikenal sebagai
peletak dasar ilmu-ilmu fisika dan biologi pada abad 4 dan 3 SM.
e) Archimedes (sekitar 287-212 SM)
Archimedes adalah seorang ahli matematika, astronom, filsuf, fisikawan, dan
insinyur berbangsa Yunani. Archimedes dianggap sebagai salah satu
matematikawan terbesar sepanjang masa, hal ini didasarkan pada temuannya
berupa prinsip matematis tuas, sistem katrol (yang didemonstrasikannya
dengan menarik sebuah kapal sendirian saja), dan ulir penak, yaitu rancangan
5
model planetarium yang dapat menunjukkan gerak matahari, bulan, planet-
planet, dan kemungkinan konstelasi di langit. Dari karya-karyanya yang
bersifat eksperimental, Archimedes kemudian dijuluki sebagai Bapak IPA
Eksperimental (Karim, 2014).

2. Periode Pertengahan
Zaman ini masih berhubungan dengan zaman sebelumnya karena awal mula
zaman ini pada abad 6 M sampai sekitar abad 14 M. Zaman ini disebut dengan zaman
kegelapan (The Dark Ages). Zaman ini ditandai dengan tampilnya para Theolog di
lapangan ilmu pengetahuan. Sehingga, para ilmuwan yang ada pada zaman ini hampir
semua adalah para Theolog. Begitu pula dengan aktifitas keilmuan yang mereka
lakukan harus berdasar atau mendukung kepada agama. Dengan kata lain, aktivitas
ilmiah terkait erat dengan aktivitas keagamaan. Pada zaman ini filsafat sering dikenal
dengan sebagai Anchilla Theologiae (Pengabdi Agama). Selain itu, yang menjadi ciri
khas pada masa ini adalah dipakainya karya-karya Aristoteles dan kitab suci sebagai
pegangan.

3. Periode Islam
Intelektualitas di dunia Islam berkembang pada saat Eropa dan Barat mengalami
titik kegelapan. Terdapat great gap dalam sejarah pemikiran ekonomi selama 500
tahun, yaitu masa yang dikenal sebagai dark ages. Masa kegelapan Barat sebenarnya
merupakan masa kegemilangan umat Islam, suatu hal yang berusaha disembunyikan
oleb Barat karena pemikiran ekonom Muslim pada masa inilah yang kemudian banyak
dicuri oleh para ekonom Barat (Schumpeter, 1954; Karim, 2007).
Saat Eropa pada zaman pertengahan lebih berkutat pada isu-isu keagamaan,
maka peradaban dunia Islam melakukan penterjemahan besar-besaran terhadap karya-
karya filosof Yunani dan berbagai temuan di lapangan ilmiah lainnya (Mustansyir &
Munir, 2002). Keilmuan berkembang pada zaman Islam klasik (650-1250 M).
Keilmuan ini dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal
seperti yang terdapat dalam al-Qur`an dan hadist. Persepsi ini bertemu dengan persepsi
yang sama dari Yunani melalui filsafat dan sains Yunani yang berada di kota-kota pusat
peradaban Yunani di dunia islam zaman klasik, seperti Alexandria (Mesir), Jundisyapur
(Irak), Antakia (Syiria), dan Bactra (Persia) (Nasution, 1998). Kemudian ketika Irak,
Syiria, dan Mesir diduduki oleh orang Arab pada abad ketujuh, ilmu pengetahuan dan
6
filsafat Yunani dikembangkan di berbagai pusat belajar. Terdapat sebuah sekolah
terkenal di Alexandria (Mesir) tetapi kemudian dipindahkan pertama kali ke Syiria, dan
kemudian pada sekitar tahun 900 M ke Baghdad (Watt, 1997).
Sekitar abad ke 6-7 Masehi dalam lapangan kedokteran muncul nama-nama
terkenal seperti: Al-Hāwī karya al-Rāzī (850-923) yang merupakan sebuah ensiklopedi
mengenai seluruh perkembangan ilmu kedokteran sampai masanya (Nasr & Oliver,
2003). Rhazas mengarang suatu Encyclopedia ilmu kedokteran dengan judul
Continens. Kemudian Ibnu Sina (980-1037) menulis buku-buku kedokteran (al-Qonun)
yang menjadi standar dalam ilmu kedokteran di Eropa. Al-Khawarizmi (Algorismus
atau Alghoarismus) menyusun buku Aljabar pada tahun 825 M yang menjadi buku
standar beberapa abad di Eropa. Al-Khawarizmi juga menulis perhitungan biasa
(Arithmetics) yang menjadi pembuka jalan penggunaan cara desimal di Eropa untuk
menggantikan tulisan Romawi. Ibnu Rushd (1126-1198) seorang filsuf yang
menterjemahkan dan mengomentari karya-karya Aristoteles. Al Idris (1100-1166) yang
telah membuat 70 peta dari daerah yang dikenal pada masa itu untuk disampaikan
kepada Raja Boger II dari kerajaan Sicilia (Tim Dosen Filsafat UGM, 1996).
Dalam bidang kimia terdapat Jābir ibn Hayyān (Geber) dan al-Bīrūnī (362-442
H/973-1050 M). Sebagian karya Jābir ibn Hayyān memaparkan metode-metode
pengolahan berbagai zat kimia maupun metode pemurniannya. Sebagian besar kata
untuk menunjukkan zat dan bejana-bejana kimia yang belakangan menjadi bahasa
orang-orang Eropa berasal dari karya-karyanya. Sementara itu, al-Bīrūnī mengukur
sendiri gaya berat khusus dari beberapa zat yang mencapai ketepatan tinggi (Watt,
1997).
Selain disiplin-disiplin ilmu di atas, sebagian umat Islam juga menekuni logika
dan filsafat. Sebut saja al-Kindī, al-Fārābī (w. 950 M), Ibn Sīnā atau Avicenna (w. 1037
M), al-Ghazālī (w. 1111 M), Ibn Bājah atau Avempace (w. 1138 M), Ibn Tufayl atau
Abubacer (w. 1185 M), dan Ibn Rushd atau Averroes (w. 1198 M). Al-Kindī berjasa
membuat filsafat dan ilmu Yunani dapat diakses serta membangun fondasi filsafat
dalam Islam dari sumber-sumber yang jarang atau sulit yang sebagian diantaranya
kemudian diteruskan dan dikembangkan oleh al-Fārābī. Al-Kindī sangat ingin
memperkenalkan filsafat dan sains Yunani kepada sesama pemakai bahasa Arab,
seperti yang sering dia tandaskan dan menentang para teolog ortodoks yang menolak
pengetahuan asing (Nasr & Oliver, 2003).

7
Ibn Rushd lebih terkenal dalam filsafat Kristen daripada filsafat Islam.
Pengaruhnya di Eropa sangat besar, bukan hanya terhadap para skolastik, tetapi juga
pada sebagian besar pemikir-pemikir bebas non-profesional yang menentang keabadian
dan disebut Averroists. Di Kalangan filosof profesional, para pengagumnya adalah dari
kalangan Franciscan dan di Universitas Paris. Rasionalisme Ibn Rushd inilah yang
mengilhami orang Barat pada abad pertengahan dan mulai membangun kembali
peradaban mereka yang sudah terpuruk berabad-abad lamanya yang terwujud dengan
lahirnya zaman pencerahan atau renaisans (Russell, 2004).

4. Periode Renaisans dan Modern


Michelet adalah orang pertama yang menggunakan istilah renaisans. Para
sejarahwan biasanya menggunakan istilah ini untuk menunjuk berbagai periode
kebangkitan intelektual, khususnya di Eropa, dan lebih khusus lagi di Italia sepanjang
abad ke-15 dan ke-16 (Bakhtiar, 2013). Renaisans adalah periode perkembangan
peradaban yang terletak di ujung atau sesudah abad kegelapan sampai muncul abad
modern. Renaisans merupakan era sejarah yang penuh dengan kemajuan dan perubahan
yang mengandung arti bagi perkembangan ilmu. Ciri utama renaisans yaitu humanisme,
individualisme, sekulerisme, empirisisme, dan rasionalisme. Sains berkembang karena
semangat dan hasil empirisisme, sementara Kristen semakin ditinggalkan karena
semangat humanisme.
Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa yang sudah berlangsung sejak
abad ke-12 M itu menimbulkan gerakan kebangkitan kembali (renaisance) pusaka
Yunani di Eropa pada abad ke-14 M. Berkembangnya pemikiran Yunani di Eropa kali
ini adalah melalui terjemahan-terjemahan Arab yang dipelajari dan kemudian
diterjemahkan kembali ke dalam bahasa latin. Walaupun Islam akhirnya terusir dari
negeri Spanyol dengan cara yang sangat kejam, tetapi Islam telah mendorong gerakan-
gerakan penting di Eropa. Gerakan-gerakan itu adalah kebangkitan kembali
kebudayaan Yunani klasik (renaisance) pada abad ke-14 M, rasionalisme pada abad
ke-17 M, dan pencerahan (aufklarung) pada abad ke-18 M (Bertens, 1986).

5. Periode Kontemporer
Zaman ini bermula dari abad 20 M dan masih berlangsung hingga saat ini.
Zaman ini ditandai dengan adanya teknologi-teknologi canggih, dan spesialisasi ilmu-
ilmu yang semakin tajam dan mendalam. Pada zaman ini bidang fisika menempati
8
kedudukan paling tinggi dan banyak dibicarakan oleh para filsuf. Sebagian besar
aplikasi ilmu dan teknologi di abad 21 merupakan hasil penemuan mutakhir di abad 20.
Pada zaman ini, ilmuwan yang menonjol dan banyak dibicarakan adalah fisikawan.
Bidang fisika menjadi titik pusat perkembangan ilmu pada masa ini. Fisikawan yang
paling terkenal pada abad ke-20 adalah Albert Einstein. Einstein lahir pada tanggal 14
Maret 1879 dan meninggal pada tanggal 18 April 1955 (umur 76 tahun). Alberth
Einstein adalah seorang ilmuwan fisika. Einstein mengemukakan teori relativitas dan
juga banyak menyumbang bagi pengembangan mekanika kuantum, mekanika statistik,
dan kosmologi (Surajiyo, 2007).
Einstein dianugerahi Penghargaan Nobel dalam Fisika pada tahun 1921 untuk
penjelasannya tentang efek fotoelektrik dan pengabdiannya bagi Fisika Teoretis.
Karyanya yang lain berupa gerak Brownian, efek fotolistrik, dan rumus Einstein yang
paling dikenal adalah E=mc2. Pada artikel pertamanya di tahun 1905 berjudul “On the
Motion-Required by the Molecular Kinetic Theory of Heat-of Small Particles
Suspended in a Stationary Liquid“ mencakup penelitian tentang gerakan Brownian
(Surajiyo, 2007).
Pada zaman ini juga melihat integrasi fisika dan kimia, pada zaman ini disebut
dengan “Sains Besar”. Linus Pauling (1953) mengarang sebuah buku yang berjudul The
Nature of Chemical Bond menggunakan prinsip-prinsip mekanika kuantum. Kemudian
karya Pauling memuncak dalam pemodelan fisik DNA “rahasia kehidupan”. Pada
tahun ini juga James D. Watson, Francis Crick, dan Rosalind Franklin menjelaskan
struktur dasar DNA, bahan genetik untuk mengungkapkan kehidupan dalam segala
bentuknya. Hal ini memicu rekayasa genetika yang dimulai tahun 1990 untuk
memetakan seluruh manusia genom (dalam Human Genome Project) dan telah disebut-
sebut berpotensi memiliki manfaat medis yang besar (Karim, 2014).
Selain kimia dan fisika, teknologi komunikasi dan informasi berkembang pesat
pada zaman ini, yaitu: listrik, elektronika (transistor dan IC), robotika (mesin produksi
dan mesin pertanian), TV dan radio, teknologi nuklir, mesin transportasi, komputer,
internet, pesawat terbang, telepon dan seluler, rekayasa pertanian dan DNA,
perminyakan, teknologi luar angkasa, AC dan kulkas, rekayasa material, teknologi
kesehatan (laser, IR, USG), fiber optic, dan fotografi (kamera, video). Kini, penemuan
terbaru di bidang Teknologi telah muncul kembali. Sumber lain telah memberitakan
penemuan “Memristor” yang merupakan penemuan Leon Chua, profesor teknik elektro
dan ilmu komputer di University of California Berkeley. Keberhasilan itu
9
menghidupkan kembali mimpi untuk bisa mengembangkan sistem-sistem elektronik
dengan efisiensi energi yang jauh lebih tinggi daripada saat ini (Karim, 2014).

B. Filsafat Ilmu
Ilmu dalam konteks filsafat adalah pengetahuan ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan validitasnya. Dalam bahasa Inggris istilah ini dikenal sebagai science.
Menurut Mohar dalam Andi Hakim Nasoetion (1999:27), filsafat ilmu adalah cabang dari ilmu
filsafat yang merupakan manifestasi logis dan sistematis dari buah pikir manusia dalam usaha
menemukan kebenaran dalam suatu disiplin ilmu.
Perkembangan filsafat ilmu tidak terlepas dari buah pikir para pemikir dari setiap
disiplin ilmu. Jika kita telusuri lebih dalam, salah satu perspektif sejarah filsafat ilmu berawal
dari zaman Yunani Kuno. Pada zaman itu, ada dua orang filsuf yang satu sebagai guru, yang
lain sebagai murid. Kedua filsuf ini diyakini sebagai penyebab kontroversi pertama dalam ilmu
pengetahuan.
Kedua filsuf ini tidak sepaham dan kemudian mencetuskan aliran masing-masing yang
kelak melahirkan aliran-aliran baru dalam filsafat ilmu. Sang guru Plato (427 SM – 347 SM)
dengan aliran rasionalismenya, sementara sang murid Aristoteles (384 SM – 322 SM) dengan
aliran empirismenya. Kedua aliran ini sebenarnya bersumber dari mata air pemikiran yang
sama yaitu manusia tidak dapat mengetahui suatu objek secara langsung, melainkan
menangkap kesan yang diberikan objek tesebut. Namun, cara penangkapan kesan inilah yang
membedakan keduanya.

1. Aliran Rasionalisme
Aliran ini menangkap kesan melalui rasio dan tidak berdasarkan pengalaman (a
priori). Rasio erat kaitannya dengan akala tau ide. “Dubito ergo cogito. Cogito ergo
sum” adalah kutipan terkenal dari Bapak Filsafat Modern, Rene Descartes (1596-1650)
yang bermakna “Saya ragu, maka saya berpikir. Saya berpikir, maka saya ada.”
Pernyataan ini merepresentasikan akal sebagai alat untuk menangkap kesan. Dengan
kata lain, pengetahuan diperoleh dengan cara berfikir.
Akal merupakan satu-satunya alat untuk mencari kebenaran. Menurut
rasionalis, indera hanya menyesatkan saja, seperti sebuah pulpen yang dicelupkan ke
dalam air, maka ia seperti bengkok, padahal pada kenyatannya pulpen tersebut tidak
bengkok. Dari contoh tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa indera sangat menipu

10
dan akallah yang mampu mencari kebenaran. Dan segala sesuatu yang masuk akal
disebut dengan rasional.
Filsuf lain yang mendukung aliran ini adalah Spinoza yang tidak hanya percaya
pada apa yang dikatakannya, tetapi juga bertindak sesuai dengannya. Spinoza
mempunyai pemikiran bahwa hanya ada satu substansi, yaitu Tuhan. Dan satu substansi
ini meliputi baik dunia maupun manusia. Itulah sebabnya pendirian Spinoza disebut
penteisme -- Tuhan disamakan dengan segala sesuatu yang ada. Spinoza juga
beranggapan bahwa satu substansi itu mempunyai ciri-ciri yang tak terhingga
jumlahnya. Namun demikian kita hanya mengenal dua ciri saja, pemikiran dan
keluasan. Pada manusialah kedua ciri tersebut terdapat bersama-sama pemikiran (jiwa)
dan serentak juga keluasan tubuh.
Filsuf terakhir yang mengikuti pemikiran rasionalisme Descartes adalah
Leibniz. Metafisika Leibniz juga memusatkan perhatian pada substansi. Bagi Spinoza,
alam semesta ini mekanistis dan keseluruhannya bergantung pada sebab, sementara
substansi pada Leibniz adalah hidup, dan setiap sesuatu terjadi untuk suatu tujuan.
Penuntun prinsip filsafat Leibniz ialah prinsip akal yang mencukupi, yang secara
sederhana dapat dirumuskan, dan sesuatu harus mempunyai alasan. Bahkan Tuhan
harus juga mempunyai alasan untuk setiap yang diciptakanNya.

2. Aliran Empirisme
Doktrin empirisme adalah bahwa pikiran kita sama sekali tidak memiliki
ingatan apa-apa sampai kita mengindrai sesuatu. Empirisme berkembang mulai abad
17-18. Empirisme adalah aliran yang mendorong cara berpikir ilmiah dan penemuan-
penemuan ilmiah hingga sampai sekarang ini. Ada tiga tokoh besar empirisme yaitu
John Locke, Berkeley dan Hume.
Aliran ini menangkap kesan melalui indera dan berdasarkan pengalaman (a
posteriori). Empirisme erat kaitannya dengan indera. John Locke (1632-1704) yang
terkenal dengan teori Tabula Rasa meyakini bahwa manusia seperti kertas putih bersih
yang harus ditulis dengan kapur ‘pengalaman’. Bagi Locke, pengetahuan seseorang
tidak akan melebihi pengalamannya. Pernyataan ini merepresentasikan indera sebagai
alat untuk menangkap kesan.
Pengindraan sederhana akan memberikan kita pengetahuan yang sederhana
mengenai sesuatu, kemudian ketika kita terus mengindrainya, maka akan terbentuklah
pengetahuan yg utuh mengenai sesuatu itu. Misalnya, awalnya kita hanya melihat apel
11
merah, kemudian kita melihat lagi apel hijau, kemudian kita juga mulai merasa ada apel
yang manis, kecut ataupun asam. Pengetahuan yang menyeluruh itu akhirnya
memberikan kita pengetahuan yang utuh mengenai apel.
Empiris yang dikenal karena pemikiran radikalnya adalah Hume. Ia meyakini
bahwa pengalaman inderawi sebagai dasar dari semua pengetahuan dan menolak
adalanya kausalitas (hukum sebab akibat yang diterangkan akal). Menurutnya,
kausalitas hanya dapat diterangkan melalui pengalaman. Menurutnya, manusia
memiliki dua jenis persepsi, yaitu kesan dan gagasan. Kesan adalah hasil pengindraan
kita dan gagasan adalah ingatan kita akan kesan (ingatan akan pengindraan kita). Jadi,
gagasan mirip seperti akal, hanya sumbernya murni dari hasil pengindraan.
Hasil pengindraan itu dipotong-potong lalu digabungkan menghasilkan suatu
imajinasi. Kita pernah melihat kambing dan monyet, lalu kita berimajinasi dengan
membayangkan monyet berkepala kambing. Seluruh gagasan yang tidak dapat dilacak
oleh indera bukanlah kebenaran. Hume meyakini bahwa manusia tidak memiliki
ego/pikiran yang abadi, tetapi pikiran/ego tersebut selalu berubah.
Ia juga mendorong agar filsuf bertindak seperti anak kecil, memandang alam
sebagaimana adanya, tanpa menambahkan atau melebih-lebihkannya. Hume juga
mendorong agar filsuf tidak mudah percaya pada hukum alam, tapi memikirkan sesuatu
yang melawan hukum alam agar pengetahuan terus berkembang. Misalnya, jangan
hanya mempelajari gaya gravitas sebagai hukum alam yang selalu menjatuhkan benda
ke bumi, tapi pikirkanlah sesuatu seperti pesawat yang mampu melawan hukum
gravitasi.
Hume juga mendorong agar filsafat dapat menolak segala jenis takhayul. Jangan
hanya melihat seseorang kecelakaan setelah menabrak kucing hitam, lalu kita
menganggap bahwa kucing hitam tersebut sebagai penyebab kecelakaan. Ketika
membicarakan etika, Hume tidak menyebutnya dengan akal tapi perasaan. Jadi penentu
etika seseorang adalah perasaannya. Misalnya Nazi yang membunuh jutaan Yahudi.
Tidak ada yang salah dengan penalaran dan akal Nazi. Yang salah adalah perasaannya,
sehingga membawa mereka tega membantai jutaan orang.
Filsuf empiris lain yang juga dikenal luas adalah Berkeley. Jika Locke
menganggap bahwa benda yang kita lihat adalah realitas nyata, maka Berkeley
menganggap bahwa apa yang kita lihat mempunyai substansi tersendiri. Mengenai
makna dari substansi itu akan dipersepsi oleh ruh kita. Berkeley percaya pada Tuhan
dan meyakini bahwa kita hidup di dalam pikiran Tuhan. Sebenarnya, hal ini
12
memunculkan pertanyaan: Mengapa Barkeley percaya pada Tuhan, padahal kita tidak
pernah mengindrai Tuhan?

3. Aliran Positivisme
Aliran ini diartikan sebagai suatu pandangan yang sejalan dengan Empirisme,
menempatkan penghayatan yang penting serta mendalam yang bertujuan untuk
memperoleh suatu kebenaran pengetahuan yang nyata, karena harus didasarkan kepada
hal-hal yang positivisme. Hal ini berbeda dengan Empirisme yang bersifat lebih lunak,
karena Empirisme mau menerima pengalaman-pengalaman yang bersifat batiniah dan
pengalaman-pengalaman yang bersifat subjektif. Positivisme mengajarkan bahwa
kebenaran ialah yang logis, ada bukti empirisme, yang terukur. “Terukur” inilah
sumbangan penting Positivisme.
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai
satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktivitas yang berkenaan
dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data
empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoretis sebagai suatu
sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme,
khususnya idealisme Jerman Klasik).
Positivisme merupakan Empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai
kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan
empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi yang dapat menjadi
pengetahuan. Istilah Positivisme pertama kali digunakan oleh Saint Simon (sekitar
1825). Prinsip filosofik tentang Positivisme dikembangkan pertama kali oleh seorang
filosof berkebangsaan Inggris yang bernama Francis Bacon yang hidup di sekitar abad
ke-17. Ia berkeyakinan bahwa tanpa adanya pra-asumsi, komprehensi-komprehensi
pikiran dan apriori akal tidak boleh menarik kesimpulan dengan logika murni, maka
dari itu harus melakukan observasi atas hukum alam. Pada paruh kedua abad
XIX muncullah Auguste Comte (1798-1857), seorang filsuf sosial berkebangsaan
Perancis, yang menggunakan istilah ini kemudian mematoknya secara mutlak sebagai
tahapan paling akhir sesudah tahapan-tahapan agama dan filsafat dalam karya
utamanya yang berjudul Course de Philosophie Positive -- Kursus tentang Filsafat
Positif (1830-1842), yang diterbitkan dalam enam jilid.
Positivisme selanjutnya muncul dalam aliran-aliran modifikasi seperti
Neopositivisme, Positivisme Logis ataupun Empirisme Logis. Positivisme Comte kelak
13
dikembangkan lebih lanjut oleh Lingkaran Wina (1924). Pokok pikiran dari Lingkaran
Wina adalah sebagai berikut:
• Sumber pengetahuan adalah pengalaman (data-data indriawi).
• Dalil matematika yang tidak dihasilkan dari pengalaman diakui
keberadaannya dan digunakan untuk mengolah data pengalaman
indriawi.
• Pernyataan dinyatakan bermakna jika terbuka untuk diverifikasi
(dibuktikan secara empiris). Etika, estetika dan metafisika dinyatakan
sebagai pernyataan yang tidak bermakna.
• Menolak perbedaan antara ilmu alam dan ilmu sosial.
• Berupaya mempersatukan semua ilmu di dalam suatu bahasa ilmiah
yang bersifat universal.
Namun, Popper menentang kelompok Wina. Pertama, ia menekankan
perbedaan antara pernyataan ilmiah dan tidak ilmiah, bukan perbedaan antara
pernyataan bermakna atau tidak bermakna. Kedua, verifikasi adalah pembenaran,
sementara falsifikasi adalah cara untuk membuktikan sesuatu salah. Alih-alih
mengumpulkan sebanyak mungkin data untuk membenarkan hipotesis, Popper mencari
data untuk membuktikan suatu hipotesis salah. Observasinya terhadap peluang angsa
hitam di antara begitu banyak peluang angsa putih (Black Swan Theory) adalah praktik
dari falsifikasi. Kemunculan angsa putih yang sangat sering tidak bisa dijadikan
kesimpulan bahwa semua angsa berwarna putih. Hanya butuh satu angsa hitam untuk
mematahkan kesimpulan tersebut.

4. Aliran Kritisisme
Aliran ini dipopulerkan oleh Imanuel Kant. Ini adalah seni berpikir dalam
menarik kesimpulan. Menurut Kant, dalam menarik kesimpulan baik Rasionalisme
maupun Empirisme sama pentingnya. Proses berpikir menurut Kant dimulai dari tahap
penangkapan data empiris oleh indera yang kemudian masuk ke dalam otak dan
bertemu kategori-kategori a priori akal budi dan diakhiri lewat sintesis antara data
empiris dan kategori akal budi.
Bagi Kant, pengetahuan yang dihasilkan oleh kaum Rasionalisme tercermin
dalam putusan yang bersifat analistik-apriori yaitu suatu bentuk putusan di mana
predikat sudah termasuk dengan sendirinya ke dalam subjek. Sedangkan, pengetahuan

14
yang dihasilkan oleh kaum Empirisisime itu tercermin dalam putusan yang bersifat
sintetik-aposteriori yaitu suatu bentuk putusan di mana predikat belum termasuk ke
dalam subjek.
Jika kita lihat sekaligus antara kebaikan dan kelemahan dari dua keputusan yang
ada, maka Kant ingin memadukan antara keduanya yang mengantarkan pada bentuk
dari putusan yang sintetik-apriori. Yang berarti, suatu putusan yang sifatnya pasti dan
umum atau universal. Dengan demikian, bahwa Rasionalisme dan Empirisme
hendaklah berpadu agar memunculkan suatu paradigma baru bahwasanya kebenaran
yang empiris itu harus bersifat rasional dan begitupun sebaliknya.
Pemikiran Kant ini menginspirasi munculnya Mazhab Frankfurt. Mulanya,
kelompok ini hanya memberikan perhatian pada ilmu sosial. Mereka ingin
membebaskan ilmu sosial dan kemanusiaan dari kecenderungan Positivisme (bentuk
penerapan ilmu alam pada ilmu sosial). Kelompok ini juga menolak anggapan bahwa
ilmu bebas dari nilai dan mereka mempertautkan pengetahuan dengan kepentingan.
Pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari kepentingan, karena itu tidak bebas
nilai. Tiap kepentingan akan melahirkan ilmu sesuai dengan kepentingannya.
Habermas, salah satu anggota Mazhab Frankfurt membagi tiga bidang ilmu yang
bertautan dengan kepentingan sebagai berikut:
1. Ilmu empiris analitis dan kepentingan teknis → Tindakan rasional
2. Ilmu historis hermeneutis dan kepentingan praktis → Tindakan
komunikatif
3. Ilmu kritis dan kepentingan emansipatoris → Tindakan revolusioner
emansipatoris
Kritisisme Kant dan skeptisme Mazhab Frankfurt membawa kita pada
kesimpulan bahwa sebenarnya tidak ada yang namanya objektivitas mutlak. Dalam
memandang suatu fenomena seharusnya kita dapat berpikir kritis dengan melakukan
cover both sides. Dalam konteks ini adalah melakukan sintesis antara pandangan
Rasionalisme dan pandangan Empirisme.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perkembangan ilmu pengetahuan hingga seperti sekarang ini tidaklah berlangsung
secara mendadak, melainkan melalui bertahap dan evolutif. Dalam banyak literatur
menyebutkan bahwa periode Yunani merupakan tonggak awal berkembangnnya ilmu
pengetahuan dalam sejarah peradaban umat manusia. Perkembangan ilmu ini dilatarbelakangi
dengan perubahan paradigma dan pola pikir yang berkembang saat itu. Dengan paradigma
tersebut, ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat hingga saat ini.
Secara garis besar, sejarah perkembangan filsafat ilmu pengetahuan terdiri atas empat
periode: pada zaman Yunani kuno, pada zaman Islam, pada zaman Renaisans dan modern, dan
pada zaman kontemporer. Adapun aliran-aliran dalam filsafat ilmu yaitu aliran Rasionalisme,
Empirisme, Positivisme dan Kritisisme.
Pertumbuhan dan perkembangan filsafat ilmu tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan filsafat pada satu pihak dan ilmu pada pihak yang lain. Oleh karena itu,
pengertian tentang ilmu harus dilihat bukan sebagai suatu konsep sebagaimana yang kita
pahami dewasa ini, yaitu suatu konsep keilmuan yang relatif mapan cara kerja dan dasar
teoretisnya, melainkan harus dilihat dalam suatu perkembangan menuju penyempurnaan yang
berlanjut.

16
DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal. (2013). Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada.


Bertens, K. (1986). Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Bolo, A. D. (2020). Pemikiran Filosofis di Indonesia: Sebuah Telaah Hermeneutis. Melintas,
35(2), 159–173.
Hadiwiyono, Harun. (1980). Sari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Kanisius.
Karim, Abdul. (2014). Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Jurnal Fikrah, 2(1), 273-
289.
Karim, Adiwarman A. (2007). Ekonomi Mikro Islami. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mustansyir, Rizal., & Munir, Misnal. (2002). Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nasr, Hossein., & Leaman, Oliver. (2003). Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam. Bandung:
Mizan.
Nasution, Harun. (1998). Islam Rasional. Bandung: Mizan.
Rahmat, Aceng dkk. (2013). Filsafat Ilmu Lanjutan. Jakarta: Kencana.
Ravertz, Jerome R. (2004). Filsafat Ilmu: Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Russell, Bertrand. (2004). Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik
dari Zaman Kuno Hingga Sekarang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Schumpeter, Joseph A. (1954). A History of Economic Analysis. New York: Oxford University
Press.
Strathern, Paul. (2001). 90 Menit Bersama Aristoteles. Jakarta: Erlangga.
Surajiyo. (2007). Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. (1996). Filsafat Ilmu. Yogykarta: Universitas
Gadjah Mada.
Watt, W. Montgomery. (1997). Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa Abad
Pertengahan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Universitetet i Agder. (2018, Mei 9). Philosophy of Science [Video]. Youtube,
https://www.youtube.com/watch?v=NmKLZ0eZpdY&t=88s

17

Anda mungkin juga menyukai