Dosen Pengampu:
Disusun oleh:
(Kelompok 2)
UNIVERSITAS LAMPUNG
2024
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentu kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan
baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu
Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya diakhirat nanti.
Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah dari mata kuliah Filsafat Sejarah dengan judul “Istilah Sejarah”. Kami
juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada dosen mata kuliah
Filsafat Sejarah Bapak Sumargono, S.Pd., M.Pd. dan Ibu Yustina Sri Ekwandari, S.Pd., M.Pd.
yang telah membimbing kami dalam menulis makalah ini. Demikian, semoga makalah ini
membawa manfaat bagi kami dan juga para pembacanya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam memahami makna kehidupan yang sudah berlalu sebelum kita hidup pada konteks
seperti identitas, warisan, budaya, konflik, ataupun kehidupan sosial, kita memerlukan belajar
yang namanya sejarah untuk mengetahui apa yang telah terjadi sebelum kita hidup. Walaupun
pada zaman sekarang ini, sejarah mulai sedikit tersingkirkan karena adanya fakta-fakta yang
kurang dipahami ataupun janggal, sebab terdapat istilah-istilah baru yang kita lihat atau
dengar. Pada saat ini kita akan mengenal lebih dalam seperti bagaimana proses kolonisasi
melalui belajar sejarah, sehingga sejarah menjadi bahan pengetahuan untuk mengubah pola
pikir kita bahwa belajar sejarah itu penting. Hal ini bisa kita dapatkan melalui pendidikan,
seperti menurut Abdul Kadir, dkk (2012:59) yang mengatakan bahwa pendidikan adalah
segala sesuatu pada penhgalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan
sepanjang hidup.
Pada dasarnya sejarah membuka pemikiran kita mengenai apa yang telah terjadi di masa
lampau dan tidak untuk diulangi kembali kedepannya. Semakin memperdalam belajar sejarah
kita akan mengenal yang namanya istilah sejarah. Kata istilah sendiri menurut pengertian
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sebuah satuan atau kelompok kata yang
memiliki unsur tentang ungkapan suatu konsep. Sedangkan perkataan sejarah itu memiliki
unsur makna yang sama dengan kata history (Inggris) ataupun Geschichte (Jerman) yang
merupakan berarti peristiwa atau kejadian yang terjadi benar-benar berasal dari masa lampau
(Jan Reomein: 1951).
(H.Roeslan Abdulgani: 1963) Sejarah merupakan salah satu bidang keilmuan yang meneliti
dan menyelidiki secara sistematis keseluruhan perkembangan masyarakat serta kemanusiaan
di masa lampau. Mempelajari ilmu sejarah seperti memberikan kita tiga penglihatan yang
berbeda, yang pertama penglihatan ke masa silam, yang kedua penglihatan ke masa sekarang,
dan yang ketiga adalah penglihatan ke masa depan. Maka dengan itu kita perlu memperlajari
sejarah dengan berpijak pada kenyataan-kenyataan perkembangan situasi sekarang dengan
menggunakan perkiraan-perkiraan serta harapan-harapan yang bersprektif pada masa yang
nanti akan datang.
1
Istilah sejarah sendiri dikatakan berasal dari bahasa Arab yaitu “syajaratun” yang berarti
pohon, silsilah, dan pohon keluarga. Adapula bahwa istilah sejarah itu berasal dari bahasa
Yunani yang merupakan sinonim dari bahasa Inggris history yaitu “istoria atau historia atau
istory” yang berarti menyelidiki, meneliti, wawancara, interogasi, belajar dengan cara
bertanya-tanya hingga orang pandai atau bermakna pengetahuan yang didapat dari
penyelidikan. (Kuntowijoyo 2001: 1, Sjamsuddin 2007: 1, Frederick & Soeroto 1984: 1) .
1.3 Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Istilah sejarah muncul pada bangsa Yunani dari kata “historia” sebagai kosa kata tradisi
keilmuan yang mempunyai tali hubung dengan kajian ilmu humaniora, atau bisa dikatakan
merujuk ke ilmu sejarah. Istilah “historia” dengan ilmu humaniora menjadi fenomena yang
muncul di abad ke-16 dan ke-17. Pada masa itu lingkup ilmu alam, ilmu kedokteran, dan ilmu
humaniora menggunakan historia sebagai standar keilmuan dimana keseluruhannya menjadi
satu disiplin model penelitian, yakni penelitian empiris (Pomata & Siraisi, 2005:2).
Istilah kata historia dikenal karena adanya karya milik Herodotus dengan judul historia yang
mempunyai sembilan jilid dan terbit sekitar tahun 426 SM, dengan kemungkinan terbit setelah
Herodotus meninggal (Evans, 1968). Pada bukunya Herodotus mengenai istilah sejarah dapat
dikatakan bahwa yang menjadi popular dan fokus adalah isi bukunya mengenai kisah perang
Persia yang terjadi di satu generasi sebelum penulis hidup dan terdapat catatan perjalanan
tentang kondisi aktual peristiwa-peristiwa pada negeri Timur. Hal ini tentu menjadi menarik
dikarenakan kita diberikan gambaran tentang semuanya mulai dari peristiwa yang telah lewat
di masa lalu, tentang kebudayaan yang dia lihat, termasuk uraian geografisnya, diikat dengan
sebuah nama historia. Apa yang telah Herodutus lakukan ini kemudian menjadi dasar dari
ilmu sejarah pada masa kini (Momigliano, 1958: 2).
Isitilah sejarah kata “historia” yang dipopulerkan oleh Herodotus melalui karyanya ternyata
pernah tercantukan pada karya Hiad yang ditulis oleh Homer di abad ke-9 SM dengan
menyebutkan istilah yang mirip dengan historia yaitu “histôr” yang merupakan asal akarnya
kata historia. Pada karya Hiad ini kata histôr berasal dari akad wid yang mempunyai arti
melihat dengan kata kerjanya adalah kata oida yang berarti ‘saya mengetahui’. Dengan
demikian dapat dikatakan kata “histôr” dimaknai sebagai seseorang yang mengetahui karena
sudah melihat atau ilmu pengetahuan yang didasari oleh saksi berupa gambaran visual (Darbo
Peschanski, 2007).
Adapun kata “historia” ini muncul pada karya-karya milik Aristoteles yang paling terkenal
dengan judul “Poetique” yang berarti perbedaan antara historia dan poetica. Menurut
3
Aristoteles, “the distinction between historian and poet is not in the one writing prose and
other verse – you might put the work of Herodotus into verse, and it would still be a species of
history; it consists really in this, that the one describes the thing that has been, and the other
a kind of thing that might be”. Pada karyanya ini, Aristoteles membagi pandangannya bahwa
puisi lebih filosofis dan lebih penting dari sejarah sebab ia berbicara tentang pengetahuan
yang universal, sedangkan sejarah bukan merupakan pengetahuan yang sesungguhnya karena
berbicara tentang yang singular. Dalam hal ini Aristoteles membahas istilah historia, ia
merujuk ke karya Herodotus, tokoh yang kemudian dianggap sebagai peletak dasar ilmu
sejarah (Kelley, 1991: 62).
Herodotus merupakan bapak sejarah dunia atas kepopulerannya melalui karyanya yang
berjudul historia. Sebutan bapak sejarah dunia untuk Herodotus juga ditambah sebagai bapak
pembohong, hal ini dikarenakan mengganggu para praktisi ilmu sejarah sebab tuduhan dusta
dan pabrik kebohongan benar-benar menghancurkan pondasi keilmuan sejarah. Jadi
Herodotus pada satu masa dikenal sebagai pembohong sedangkan di masa lain ia juga dikenal
sebaagai bapak sejarah dunia.
Historía, judul karya Herodotus, pada masa ketika ia menulis, merupakan sebuah disiplin
ilmu pengetahuan yang menyandarkan cara bagaimana pengetahuan itu diperoleh kepada
mata dan penglihatan. Mata atau opsis merupakan basis material utama untuk mendapatkan
pengetahuan. Hal ini kemudian sering dipertentangkan dengan telinga dan pendengaran, atau
akoē. Pengetahuan yang diperoleh melaluinya dianggap kurang sahih. Dengan kata lain,
pengetahuan yang diperoleh melalui kesaksian orang lain, yang disebarkan dari mulut ke
mulut, tingkat kesahihannya lebih rendah dibandingkan pengetahuan yang diperoleh oleh
penglihatan langsung sang subjek. Paradigma berpikir seperti ini, yang beranggapan bahwa
dasar ilmu pengetahuan adalah mata dan penglihatan, mirip dengan paradigma ilmu
kedokteran yang dioperasikan oleh Hippocrates dan juga ilmu alam, yakni autopsi (yang juga
turun dari kata opsis) bahwa seorang peneliti hanya bisa mendeskripsikan sesuatu yang
disaksikannya sendiri (Schepens, 2007).
Berdasarkan pengartian historia sebagai sebuah pengetahuan yang didasarkan pada kesaksian
mata, maka apa yang dilakukan oleh Herodotus jelas tidak memenuhi itu. Pertama, tulisannya
tentang Perang Persia dianggap tidak valid karena Herodotus tidak menyaksikan peristiwanya
secara langsung. Kedua, catatannya tentang kondisi-kondisi aktual negeri-negeri Timur,
memang bisa dia amati secara langsung, tetapi ia tidak mengerti bahasa negerinegeri itu, dan
4
karenanya pengetahuan yang diperolehnya pun dipertanyakan. Dengan demikian, Herodotus
dianggap telah menulis sebuah peristiwa yang tidak ia saksikan sendiri dan mengamati secara
langsung sebuah negeri yang bahasanya tidak ia mengerti. Dalam kerangka inilah kemudian
muncul gagasan bahwa Herodotus menyembunyikan sumbersumber yang dirujuknya
sehingga ia juga dituduh telah melakukan plagiarisme atau merekayasa data (Momigliano,
1958).
Thucydides, sang penulis Perang Peloponesia, bisa dikatakan sebagai pengkritik pertama dari
bangunan pengetahuan Herodotus (Hartog, 2007). Menurutnya, menulis sejarah dengan cara
Herodotus dianggap kurang aman sebab untuk menulis sejarah yang benar, seseorang
haruslah hidup sezaman dengan peristiwa yang ditulisnya untuk memahami apa-apa yang
dikatakan dan dirasakan oleh mereka yang terlibat di dalam peristiwa itu. Sejarah yang sahih,
menurutnya, tidaklah terkait dengan masa lalu, tetapi lebih dengan masa kini; juga tidak bisa
membahas negerinegeri jauh, tetapi menulis tempat-tempat yang kita hidup di dalamnya dan
mengerti bahasa dan kebiasaannya (Momigliano, 1958).
Para filsuf di masa itu juga berada pada posisi yang mendukung bahwa melihat merupakan
instrumen pengetahuan. Xénophane, misalnya, mengatakan bahwa untuk mengetahui maka
orang harus sudah melihatnya. Aristoteles, dalam Métaphysique, menulis “Kami cenderung
menempatkan penglihatan di atas segalanya. Sebab, penglihatan, dari segala sisi, merupakan
sesuatu yang membuat kita bisa mendapat pengetahuan dan membuat kita menemukan
perbedaan-perbedaan”. Dalam pandangan Heraclitus, “mata merupakan kesaksian yang paling
meyakinkan dibandingkan dengan telinga” (Hartog, 1980: 273). Penggunaan tradisi lisan
sebagai sumber tulisannya menjadikan Herodotus dianggap sebagai seorang pendongeng
(story-teller). Itulah kenapa ia dianggap tidak memedulikan kebenaran sebuah cerita, tetapi
lebih menekankan kesenangan telinga buat para pendengarnya (Evans, 1968; Hartog, 2007).
Terkait kritik bahwa sejarah harus didasarkan kepada kesaksian mata, yang menjadi salah satu
alasan Herodotus dituduh pembual, penggunaan dokumen sebagai sumber sejarah merupakan
jawaban atas itu. Penggunaan kesaksian langsung dan tradisi lisan berakhir ketika sejarawan
mulai mengakses arsip-arsip dan dokumen tertulis resmi. Tentu saja penggunaan sumber-
sumber itu baru berjalan secara efektif sejak abad ke-19. Meskipun demikian, para antikuarian
zaman Yunani dan Romawi juga sudah mengetahui terkait penggunaan dokumen resmi ini,
sebuah tradisi yang kemudian disempurnakan oleh para antikuarian di Renaisans. Catatan-
catatan resmi yang dikeluarkan oleh kerajaan bisa dianggap menggantikan kesaksian
5
langsung. Selain itu, bukti-bukti arkeologis, numismatik, dan epigrafi juga merupakan
sumber-sumber sejarah yang setara dengan kesaksian langsung (Hartog, 1980; Momigliano,
1958).
Jadi, istilah kata sejarah, “historia” telah menjadi akar disiplin ilmu sejarah kontemporer
sekaligus menjadi dasar dari ilmu sejarah, historia merupakan sebuah disiplin yang
dipraktikkan oleh berbagai bidang ilmu, seperti kedokteran dan ilmu alam. Para dokter dan
naturalis menggunakan historia dalam melakukan penyelidikansehingga judul karya mereka
pun dinamai sebagai ini. Kenyataan ini juga menentukan bahwa historia merupakan tempat
bertemunya ilmu humaniora dan ilmu alam. Dalam sejarah penulisan sejarah, historia telah
menjadi pokok perdebatan apakah Herodotus merupakan bapak ilmu sejarah atau bukan.
Anggapan bahwa ia menamai karyanya sebagai historia, tetapi dalam waktu bersamaan tidak
mempraktikkan cara kerjanya secara utuh membuat karyanya menjadi kurang bisa dipercaya.
Meskipun demikian, dalam perkembangannya, keragaman makna historia itu sendiri telah
menjadikannya sebagai peletak ilmu sejarah.
Perkataan sejarah mula-mula berasal dari bahasa Arab “syajara”, artinya terjadi, “syajaratun”
(baca: syajarah) artinya pohon kayu. Pohon menggambarkan pertumbuhan terus-menerus
dari bumi ke udara dengan mempunyai cabang, dahan dan daun, kembang atau bunga serta
buahnya. Memang di dalam kata sejarah itu tersimpan makna pertumbuhan atau kejadian
(Yamin, 1958: 4).
Begitulah sejarah yang berarti pohon, juga berarti keturunan, asal-usul atau silsilah. Orang
yang sudah lama berhubungan dengan ilmu sejarah, termasuk mereka yang mempelajarinya
dengan agak mendalam, arti kata syajarah tidak sama dengan kata sejarah, akan tetapi kedua
perkataan itu berhubungan satu dengan yang lain. Sejarah bukan hanya berarti pohon, dalam
arti “pohon keluarga" juga tidak hanya berarti keturunan, asal-usul dan silsilah. Walaupun
demikian, kalau kita mempelajari sejarah, sekurang-kurangnya kita tentu mempelajari
keturunan, asal-usul dan silsilah (syajarah an-nasab).
Sepintas lalu telah kita ikuti arti kata sejarah ditinjau dari sudut etimologi, yang
menggambarkan sifat seperti pohon kayu. Namun demikian bukanlah dimaksudkan bahwa
sejarah itu secara biologis; tumbuh, berkembang, berbuah atau tidak dan akhirnya mati, benar-
6
benar bagaikan pohon kayu. Sejarah memang tumbuh hidup, berkembang dan bergerak terus
dan akan berjalan terus tiada hentinya sepanjang masa.
Di samping kata sejarah, kita ketahui sejumlah kata dalam bahasa Arab yang artinya hampir
sama. Kata silsilah umpamanya menunjuk pada keluarga atau nenek moyang. Kata “riwayat"
atau “hikayat" dikaitkan dengan cerita yang diambil dari kehidupan, kadang-kadang lebih
mengenai perseorangan daripada keluarga. Untuk keperluan tertentu sekarang kita
membutuhkan keterangan riwayat hidup. Kata riwayat kurang lebih berarti laporan atau cerita
tentang kejadian. Sedang kata hikayat yang dekat dengan kata sejarah artinya ialah cerita
tentang kehidupan, yaitu yang menjadikan manusia sebagai objeknya disebut juga biografi
(bios = hidup, gravein = menulis). Jika objek cerita kehidupan manusia itu seseorang, diri
sendiri disebut autobiografi.
Kata "kisah" dalam bahasa Arab yang sangat umum menunjuk ke masa lampau, justru yang
lebih mengandung arti cerita tentang kejadian yang benar-benar terjadi pada masa yang
lampau, yaitu sejarah. Sedangkan kata “tarikh” yang menunjukkan tradisi dalam sejarah
Islam, seperti tarikh Nabi dan sebagainya, sebenarnya berasal dari bahasa Turki. Di dalam
bahasa-bahasa Nusantara ada beberapa kata yang kurang lebih mengandung arti sejarah
seperti "babad”, yang berasal dari bahasa Jawa, tambo yang berasal dari bahasa
Minangkabau, "tutui teteek" bahasa Roti, “pustaka" dan "cerita". Menurut Pigeaud, kata
“babad" berarti “geschiekundig verhaal" atau cerita sejarah.
Barangkali kata babad ada hubungannya dengan kata "babad" bahasa Jawa dalam arti
"memangkas". Hasil pembabadan ialah suasana terang, mungkin babad dalam arti sejarah ini
bertugas untuk menerangkan suatu keadaan. Memang dalam peristiwa tertentu sejarah rakyat
kita, mungkin terjadinya pada setiap desa yang dihuni masyarakat di Pulau Jawa, kemudian
ada yang berkembang menjadi kota atau keraton, mula-mula dimulai dengan jalan membabad
hutan.
Agar kita mendapat pengertian yang lebih luas maka sebagai perbandingan baiklah kita ambil
beberapa terjemahan yang berasal dari bahasa lainnya. Perkataan sejarah dalam bahasa
Belanda ialah "geshciedenis" (dari kata geschieden terjadi), dalam bahasa Jerman
“geschichte" (dari kata geschehen terjadi). Sedangkan dalam bahasa Inggris ialah "history"
(berasal dari bahasa Yunani “historia” = apa yang diketahui karena penyelidikan) sehingga
hampir berarti "ilmu pengetahuan". Jadi, berhubungan dengan segala macam peristiwa yang
terjadi dalam masyarakat manusia.
7
Pembatasan ini pun terasa masih luas sekali meliputi seluruh kehidupan manusia. Memang
sesungguhnya sejarah mencakup setiap bidang yang tidak terbatas. Namun demikian dapatlah
kiranya pembatasan kata manusia itu cukup menjadi pusat penelitian atau studi. Jadi
bukannya kita membicarakan semua makhluk hidup, termasuk hewan dan tumbuhan,
demikian pula bukan membicarakan tentang alam raya dengan segala isinya
8
Istilah "Geschichte" dalam bahasa Jerman merujuk pada sejarah sebagai disiplin ilmu yang
mencakup kajian terhadap masa lalu manusia. Ini juga bisa mengacu pada catatan tertulis
tentang peristiwa-peristiwa masa lalu atau cerita naratif tentang masa lalu (Iggers, 1997).
Geschichte, dalam bahasa Jerman, merujuk pada studi tentang masa lalu manusia, termasuk
peristiwa, proses, dan dinamika yang membentuk perjalanan sejarah manusia. Istilah ini juga
mencakup pemahaman terhadap evolusi peradaban, budaya, politik, ekonomi, dan sosial dari
masa lalu hingga saat ini. Studi sejarah ini melibatkan analisis terhadap sumber-sumber
sejarah, interpretasi terhadap data, dan pembentukan narasi historis yang kritis (Koselleck,
2002).
Istilah 历史 (Lìshǐ): Dalam bahasa Cina, "历史 (Lìshǐ)" mengacu pada sejarah sebagai catatan
tertulis atau rekaman peristiwa yang terjadi di masa lalu, baik di Cina maupun di seluruh
dunia. Ini mencakup penelitian tentang periode dinasti, peristiwa penting, dan perkembangan
budaya (Brook, 2010). Istilah ini mencakup rekaman tertulis tentang peristiwa-peristiwa
sejarah, proses sejarah, dan perkembangan peradaban manusia. Historiografi Cina memiliki
tradisi yang kaya dan panjang, yang mencakup berbagai periode sejarah dan epistemologi.
Pentingnya sumber-sumber sejarah dalam penelitian historis Cina tidak bisa diabaikan.
Sumber-sumber ini meliputi teks-teks klasik, seperti "Shiji" (Records of the Grand Historian)
karya Sima Qian, artefak arkeologi, catatan dinasti, dan rekaman lisan. Melalui analisis
sumber-sumber ini, para sejarawan dapat membangun pemahaman yang lebih baik tentang
masa lalu Cina (Sima, 1993).
9
इतिहास (Itihāsa): Dalam bahasa Hindi, "इतिहास (Itihāsa)" mengacu pada sejarah sebagai
catatan atau cerita tentang peristiwa masa lalu yang penting dalam konteks India dan budaya
Hindu. Ini juga bisa merujuk pada kisah epik kuno seperti Ramayana dan Mahabharata,
dokumen-dokumen administratif, prasasti batu, artefak arkeologi, dan rekaman literatur lisan.
Melalui analisis sumber-sumber ini, para sejarawan dapat membentuk pemahaman yang lebih
komprehensif tentang masa lalu India. (Thapar, 2002). Sebagai bagian integral dari warisan
intelektual India. Itihasa memainkan peran penting dalam memahami identitas dan evolusi
budaya India. Studi sejarah India juga mencakup pemahaman tentang hubungannya dengan
dunia luar, termasuk interaksi dengan peradaban dan budaya lain di seluruh Asia dan dunia.
Melalui pemahaman tentang dimensi global, para sejarawan India dapat menafsirkan
perubahan lokal dalam konteks yang lebih luas (Stein, 1998).
Setiap istilah dalam berbagai bahasa ini mencerminkan pandangan dan pendekatan budaya
yang berbeda terhadap studi sejarah. Referensi yang disertakan memberikan bahan bacaan
yang mendalam tentang definisi dan konsep sejarah dalam konteks budaya dan disiplin ilmu
tertentu.
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada dasarnya sejarah membuka pemikiran kita mengenai apa yang telah terjadi di masa
lampau dan tidak untuk diulangi kembali kedepannya. Mempelajari ilmu sejarah seperti
memberikan kita tiga penglihatan yang berbeda, yang pertama penglihatan ke masa silam,
yang kedua penglihatan ke masa sekarang, dan yang ketiga adalah penglihatan ke masa depan.
Istilah sejarah muncul pada bangsa Yunani di abad ke-16 dan ke-17 dari kata “historia”
sebagai kosa kata tradisi keilmuan yang mempunyai tali hubung dengan kajian ilmu
humaniora, atau bisa dikatakan merujuk ke ilmu sejarah. Istilah kata historia dikenal karena
adanya karya milik Herodotus dengan judul historia yang mempunyai sembilan jilid dan
terbit sekitar tahun 426 SM yang kemudian menjadi Herodotus mendapat julukan Bapak
Sejarah Dunia. Walaupun sempat dikritik habis-habisan dan disebut pembohong, akan tetapi
berkat Herodotus keragaman makna dari istilah historia itu sendiri telah menjadikannya
sebagai peletak ilmu sejarah.
Selain istilah sejarah berasal dari bahasa Yunani “historia”, adapula istilah sejarah dari bahasa
Arab “syajaratun” dengan arti pohon. Pohon disini digambarkan sebagai pertumbuhan terus-
menerus dari bumi ke udara dengan mempunyai cabang, dahan dan daun, kembang atau
bunga serta buahnya. Begitulah sejarah yang berarti pohon, juga berarti keturunan, asal-usul
atau silsilah. Orang yang sudah lama berhubungan dengan ilmu sejarah, termasuk mereka
yang mempelajarinya dengan agak mendalam, arti kata syajarah tidak sama dengan kata
sejarah, akan tetapi kedua perkataan itu berhubungan satu dengan yang lain. Sejarah bukan
hanya berarti pohon, dalam arti “pohon keluarga" juga tidak hanya berarti keturunan, asal-
usul dan silsilah. Selain itu terdapat istilah sejarah dalam bahasa lain mulai darri bahasa
Inggris, Perancis, Jerman, Cina, Spanyol, dan India.
11
DAFTAR PUSTAKA
Brook, T. 2. (2010). The Troubled Empire: China in the Yuan and Ming Dynasties. Harvard
University Press.
Evans, J. A. S. (1968). Father of history or fof lies: the reputation of herodotus. The classical
journal, 64(1), 11–17.
Fernández, J. (2001). Historia económica mundial: desde el paleolítico hasta el presente. Siglo
XXI de España Editores.
González, J. (2017). The Power and the Limits of Historiography: The Case of Spain. Storia
della Storiografia, (71), . pp.81-94.
Haikal, Husain. (1982). SEKITAR SEJARAH dan IPS. Jurnal Cakrawala Indonesia, Edisi 2.
Iggers, G. (1997). Historiography in the twentieth century: From scientific objectivity to the
postmodern challenge. Wesleyan University Press.
Jenkins, K. (2008). On 'What is History?' From Carr and Elton to Rorty and White.
Routledge.
Kelley, D. R. (Ed.). (1991). Versions of history from antiquity to the enlightenment. Yale
University Press.
12
Koselleck, R. (2002). The Practice of Conceptual History: Timing History, Spacing Concepts.
Stanford University Press.
Mazlish, B. (2006). Global History: A View from the South. International Journal of Social
Sciences, 1(1), 71-81.
Pomata, G. (2005). Praxis Historialis: The uses of historia in early modern medicine. In G.
Pomata & N. G. Siraisi (Eds.), Historia: empiricism and erudition in early modern
Europe (hlm. 105–146). MIT Press.
Pomata, G., & Siraisi, N. G. (2005). Introduction. dalamG. Pomata & N. G. Siraisi (Eds.),
Historia: empiricism and erudition in early modern Europe (pp. 1–38). MIT Press.
Schepens, G. (2007). History and Historia: iquiry in the Greek Historians. dalam J. Marincola,
A Companion to Greek and Roman Historiography (Vols. 1 & 2, hlm. 39–55).
Blackwell Pub.
Sima, Q. (1993). Records of the Grand Historian: Qin Dynasty. Columbia University Press.
Thapar, R. (2002). Early India: From the Origins to AD 1300. University of California Press.
Yamin, M. 1958. 6000 Tahun Sang Merah Putih. Jakarta : Balai Pustaka Djakarta.
13