Anda di halaman 1dari 202

1

JAWARA BANTEN

Sebuah Kajian Sosial, Politik dan


Budaya

Fahmi Irfani, MA.Hum

YPM Press
2011

2
Perpustakaan Nasional Katalog dalam Penerbitan (KDT)

IRFANI, Fahmi

JAWARA BANTEN: Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya

1. Jawara 2. Sosial, Politik dan Budaya 3.


Banten

Penulis : Fahmi Irfani, MA.Hum


Jakarta Selatan: YPM Press, 2011

Editor : Jajat Burhanuddin


Layout : Fazlul Rahman, Qustulani ZH.

Penerbit:

YPM Press (Young Progressive Muslim)


Komunitas Ujung Ciputat
Wisma Safira No 1-2, Jl. Pisangan Barat I
Cirendeu Ciputat Timur 15419, Jakarta Selatan,
Tlp 02140991556.

ISBN : 978-602-99996-0-0
Cetakan Pertama September 2011

16,25 x 24 cm, 196 halaman

Dilarang keras memproduksi sebagian atau seluruh isi buku ini,


dalam bentuk apapun, atau dengan cara apapun, serta
memperjual belikanya tanpa izin tertulis dari penerbit.

©. Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang


3
Daftar Isi ...................................................................................... i

Pengantar Penulis ..................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN

Pendahuluan ................................................................................. 1

Awal Lahirnya Jawara.................................................................. 5

Definisi Pengertian Jawara Banten............................................. 10

Pengklasifikasian Jawara............................................................ 16

Jawara Aliran Putih .................................................................... 18

Jawara Aliran Hitam................................................................... 21


Permasalahan ............................................................................. 25

Penelitian Terdahulu................................................................... 25

BAB II AKAR BUDAYA KEKERASAN JAWARA

Sejarah Singkat Kekerasan di Banten ....................................... 28

Konstruk Kekerasan ................................................................... 38

Paguron Padepokan Persilatan ................................................... 44


Silat Aliran Terumbu ................................................................. 47
Silat Aliran TTKDH .................................................................. 49
Permainan Debus Banten ........................................................... 53
Magis di Pesantren ..................................................................... 55

Ilmu Kebal .................................................................................. 59

4
Ziyad, Jeblag, Jurujud ................................................................ 61

Wafaq ......................................................................................... 61

Hizib ........................................................................................... 62

BAB. III PROFIL HISTORIS SOSIOLOGIS JAWARA


BANTEN

Peranan Jawara Pada Masa Penjajahan ..................................... 66

Munculnya Jawara Sebagai Bandit Sosial ................................ 72


Profil Tokoh Jawara ................................................................... 78

Kiyai Wasyid dan Geger Kalong ............................................... 78


Mas Jakaria ................................................................................ 80
Pola Hubungan Relasi Antara Ulama dan Jawara ..................... 81

Antara Guru Dengan Murid ....................................................... 83

Sebagai Tentara Kiyai ............................................................... 87

Kepemimpinan dan Kharisma .................................................... 94

BAB IV JAWARA DI MASA ORDE BARU

Relasi Hubungan Antara Jawara dan Rezim Orde Baru .......... 107

Orde Baru, Masa Pemberdayaan Jawara ................................. 121

Masuknya Jawara Kedalam Satkar Ulama Banten ................. 127


Mengempisnya Peran Ulama dan Munculnya Jawara ............. 129

5
BAB V JAWARA BANTEN DAN ERA REFORMASI

Jawara dan Pemerintah Lokal di Era Reformasi ..................... 137


Dominasi Jawara Dalam Aspek Politik ................................... 142
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Perdana ................. 146
Dominasi Jawara Dalam Aspek Ekonomi ............................... 159
Praktek Premanisme Proyek .................................................... 164
Pengaruh “Tokoh Jawara” Dalam Komunitas Jawara...............167
H. Tubagus Chasan Sohib / The Godfather ............................. 168

BAB VI PENUTUP

Kesimpulan .............................................................................. 174

Glosarium................................................................................. 177

Daftar Pustaka ........................................................................ 182

Indeks ...................................................................................... 189

6
PENGANTAR PENULIS

Alhamdulillah segala puji bagi Allah Swt, atas izinNya-lah


karya tulis yang berjudul Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial,
Politik dan Budaya, dapat diselesaikan dalam waktu kurun, satu
tahun lebih satu bulan. Shalawat serta salam selalu tercurah
kepada Nabi Muhammad Saw.
Karya tulis ini pada awalnya adalah sebuah Tesis, yang
berjudul Perkembangan Jawara dalam kehidupan sosial dan
budaya masyarakat Banten pada masa Orde Baru - era reformasi,
dan bertujuan dalam meraih gelar S2 MA. Hum (Magister Agama
bidang Humaniora), konsentrasi Sejarah dan Peradaban Islam di
Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatulah Jakarta. Atas
masukan dari Prof. Azra, agar buku ini lebih menarik di baca
maka judul ini pun berubah menjadi, Jawara Banten Sebuah
Kajian, Sosial, Politik, dan Budaya. Selain itu, atas ketentuan dan
kebijakan dari pihak Pasca, maka Tesis ini dapat dipublikasikan.
Berbicara tentang Banten maka mindset yang ada dipikiran
kebanyakan orang adalah, kiyai, jawara, Ilmu kesaktian, debus,
teluh, silat, dan lain sebagainya. Lantaran muncul dan
berkembangnya pemikiran demikian, karena secara realita kita
dapat dengan mudah menemui hal-hal diatas, banyaknya pondok-
pondok salaf yang berkembang di Serang, Pandeglang, Labuan,
dan Tangerang yang mengajarkan ilmu-ilmu hikmah dan silat
kanuragan. Panasnya iklim cuaca di Serang dan wilayah plosok
Banten, tidak menyurutkan penulis untuk terus menelisik jauh
tentang dunia jawara dan kehidupan sosial di Banten.
Jika dahulu Jawara hanya berperan sebatas peranan
tradisional informal leader, lain halnya dengan masa kini, peranan
Jawara telah berubah menjadi lebih modern tanpa harus
melupakan identitas mereka. Dalam perkembangannya, peranan
Jawara mengalami tingkat mobilitas vertikal dalam aspek
kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Peran dan posisi Jawara

7
tidak hanya meliputi sebatas jaro, guru ilmu magis, atau penjaga
keamanan. Pada Era Reformasi kini, banyak Jawara yang beralih
profesi menjadi, pegusaha, pejabat dan politikus.
Selain itu, sebagai bentuk syukur penulis menyampaikan
penghargaan dan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu riset penelitian ini, membimbing, dan memberikan
kemudahan dalam penyelesaian buku ini. Tanpa bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak yang terkait, riset penelitian ini
belum tentu akan selesai dan dapat dipublikasikan.
Kepada Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A selaku Direktur
Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Serta
Prof. Dr. Suwito, M.A, Dr. Fuad Jabali, M.A, Dr. Yusuf Rahman,
M.A. Serta seluruh pihak dosen yang telah mengajar dan staf
akademik yang melayani keperluan baik akademik, maupun surat
riset penelitian penulis. Kepada Dr. Jajat Burhanuddin, M.A
selaku pembimbing Tesis. Ditengah kesibukannya,
menyempatkan diri untuk membimbing penulis dalam riset
penelitian selama satu tahun lebih satu bulan, dengan penuh
kesabaran dan ketelitian dalam mengoreksi tulisan ini. Selain itu,
memberikan masukan baik secara metodologi maupun tekhnik
terjun dilapangan, dalam mengumpulkan sumber-sumber. Kepada
Pihak Komunitas Ujung Ciputat /YPM Press, terimakasih telah
bersedia menerbitkan hasil penelitian ini, semoga komunitas
intlektual ini terus berkembang dan melebarkan sayap pemikiran-
pemikarannya. Tak lupa penulis mengucapkan rasa terimaksih
kepada Mas Suaedy, Dr. Ali Munhanif, dan Prof. Dr. Didin
Saefuddin, yang telah bersedia memberikan komentar dan
kritisinya atas terbitnya buku ini.
Kepada Ibunda tercinta, Hj. Mumun Maemunah sebagai
single parent yang telah sukses membesarkan ke-sebelas anaknya.
Selalu memberikan dukungan motivasi baik materi maupun
spiritual, dengan kasih sayangnya mengasuh penulis semenjak
ditinggal oleh abah duapuluh satu tahun silam. Juga, kepada para
kakanda-kakanda Drs. Utuy Masturo, MM.Pd, Drs. H. Dadang
Munandar, teh eneng, teh enok, teh muning, ncing, utan, ifah, oji,

8
dede, kabeh sadayana duduluran, hatur nuhun atas samangat
sareng nasehatna.
Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada para
nara sumber dan sahabat, rekan-rekan Jawara PPPSBBI, para
Kiyai, para peneliti, para tokoh politik dan para ustad ; Kang
Mamed, Khatib Mansur, Kang Azwar, Hudaeri, Abdul Hamid,
Aa Hera, H. Embang, KH. Uci, KH. Nur Alam, Abuya Muhtadi,
Kang Gofur Kadu. Dan nara sumber lainnya, yang tidak dapat
disebutkan satu persatu, tanpa mengurangi rasa hormat. Rekan-
rekan sahabat Komunitas Ujung Ciputat alias YPM Young
Progressive Muslim, Fazlul Rahman, Qustulani, Fuad, Fauzi, mbk
Mala, mbk Iswatin, mbk Eti, Falah, H. Rizal, Ust. Indra, mas
Darsito, Uda Agus, mang Mu’an, yang selau setia menemani dan
meanghadirkan canda tawa, diskusi di kosan pak Azra, semanggi,
dan warung kopi. Harapan penulis semoga karya ini mendapatkan
perhatian baik dari kalangan akademisi, politisi, dan pemerintah,
agar menjadikan bahan rujukan.

Fahmi Irfani

Ciputat, 18 Juni 2011.

9
BAB I

PENDAHULUAN
Banten adalah salah satu provinsi di Indonesia yang terletak
di bagian barat penduduk pulau jawa. 1 Sebagaian besar penduduk
yang mendiami wilayah ini menganut agama Islam sebagai
kepercayannya, walaupun masih terdapat sedikit yang menganut
kepercayaan nenek moyang (Orang Baduy). Berbicara tentang
Banten, maka setiap orang akan berasumsi bahwa daerah tersebut
adalah daerah para Ulama, Kiyai dan Jawara. Sterio tipe tersebut
muncul lantaran kuatnya Islam mengakar dalam setiap individu
masyarakatnya baik secara tradisi, kultural, maupun ritual. Selain itu
pun daerah ini dikenal dengan daerah magis tempat mencari ilmu
kanuragan, kesaktian, Debus dan sebagainya. Pada abad ke-16 M, Islam
menyebar di wilayah Banten sampai puncaknya yang ditandai dengan
berdirinya Kesultanan Banten Girang (1520-1820 M). Kesultanan
Banten sendiri berdiri pada tahun 1552, yang diprakarsai oleh pangeran
Sabakingking putra sunan Gunung Djati, dengan melakukan
pemberontakan dan menaklukan Banten Girang.

Sebagai bekas Kerajaan Islam (Banten), posisi Ulama di wilayah


ini tentu sangat kuat dan memiliki hirarki sosial yang signifikan di
dalam struktur masyarakat Banten. Hal ini dikarenakan kedudukan
Ulama adalah perpanjangan tangan dari Sultan dalam proses Islamisasi
di daerah pedesaan yang mendorong munculnya lembaga pesantren
yang dipimpin oleh kiyai sebagai figure kepemimpinan. Kiyai sebagai

1
Adapun penduduk etnik terbesar yang mendiami wilayah ini adalah
suku sunda, sebagian besar mendiami wilayah Banten selatan sedangkan
wilayah Banten utara didiami oleh suku jawa yang bermigrasi dari wilayah
Cirebon, sedangkan bahasa Sunda yang digunakan oleh masyarakat Banten
termasuk kedalam bahasa Sunda Kuno. Lihat, Koentjaraningrat, Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan Cet-24, 2004), 17.

10
guru yang mentransmisikan ilmu keislaman kepada santri-santrinya di
pesantren. 2

Kiyai tidak hanya dipandang sebagai tokoh agama, tetapi juga


sebagai seorang pemimpin masyarakat yang kharismatik, sehingga
kekuasaanya seringkali melebihi kekuasaan pemimpin formal elit
pemerintahan. 3 Kedudukan ini terus berlangsung walaupun Kesultanan
telah dihapus oleh Daendels pada tahun 1808 M dan dikuasai oleh
pemerintahan kolonial Belanda. Kelestarin kepemimpinan Kiyai
sebagai tokoh masyarakat ini pun nampaknya didukung penuh oleh
element masyarakat Banten. Para tokoh Kiyai inilah yang telah berhasil
memimpin mobilisasi massa untuk memberontak, seperti halnya
pemberontakan petani Banten yang terjadi pada tahun 1888 dan
pemberontakan komunis 1926 di Banten. 4

Disamping dikenal sebagai daerah Kiyai, Bantenpun


dikenal sebagai tempatnya para Jawara. Tihami mendeskripsikan
perbedaan makna dan peran antara Kiyai, Santri, dan Jawara.
Dalam masyarakat Banten Kiyai adalah tokoh sentral dalam
komunitasa ini, sedangkan Jawara dan santri adalah murid dari
Kiyai. Perbedaan antara Jawara dan santri terletak pada ketekunan
mereka ketika berguru. Santri lebih menekuni ilmu-ilmu
keagamaan, sedangkan Jawara lebih menekuni bidang yang

2
Menurut pendapat Dhofier tentang pandangan hidup Kiyai, ia
mendefinisikan konsep Kiyai sebagai elemen penting dari suatu
pesantren,sekaligus Kiyai merupakan pemberian gelar terhadap Ulama dari
kelompok Islam tradisional yang memiliki pesantren. Lihat Zamakhsyari
Dhofier, Tradisi Pesantren , Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta:
LP3ES, 1985).
3
Hal tersebut senada seperti yang diungkapkan oleh Turmudi,
bahwasanya hubungan Kiyai dengan masyarakatnya diikat dengan emosi
keagamaan yang membuat kekuasaan sahnya semakin berpengaruh. Kharisma
yang menyertai aksi-aksi Kiyai pun, menjadikan hubungan tersebut penuh
dengan emosi. Lihat, Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiyai dan Kekuasaan
(Yogyakarta: LKiS, 2004).
4
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 (Jakarta:
Pustaka Jaya, 1984). Lihat pula, Michael C Williams, Sickle and Crescent, The
Communist Revolt of 1926 in Banten (Ohio University: Centre for International
Studies, 1990).

11
terkait dengan pengolahan raga dan batin 5. Eksponen-eksponen
inilah yang mewarnai masyarakat Banten.
Terdapat semacam image bahwa sebagian masyarakat
Banten memiliki watak keras dan tutur bahasa yang kasar.
Bahkan sebagian lainya berpendapat jika orang-orang Banten
lekat dengan sifat keberanian, kekuatan fisik, menguasai magis
ataupun mistik 6, patuh kepada kiyai (sebagai guru) dan hal-hal
lainnya yang menandai sosok keperibadian Jawara. Mereka yang
mengakui akan adanya eksistensi para Jawara tidak hanya terdiri
dari masyarakat awam, termasuk kalangan akademis yang pernah
meneliti tentang Banten, seperti Kartodirdjo (1984), Martin Van
Bruinessen, Nina H Lubis, Williams dan Tihami (1992).
Dengan pengakuan atas keperibadiannya itu tak heran jika Jawara
dianggap pemimpin oleh segolongan tertentu masyarakat lokal. Para
Jawara tersebut turut berperan serta dengan para Kiyai dalam
memobilisasi pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di Banten,
sebut saja peristiwa pemberontakan petani Banten 1888 yang dimotori
oleh kiyai Washid, pemberontakan komunis di Banten 1926 (Kiyai
Achmad Chatib), dan peristiwa Banten Girang. Eksistensi Jawara di
Banten tak bisa lepas dari sosok Kiyai, Jawara adalah muridnya Kiyai.
Pada masa kolonial, Jawara berfungsi sebagai tentara fisik yang
bersama Kiyai melakukan perlawanan terhadap tentara kolonial.

Dalam studinya Tihami menjelaskan bahwasanya Kiyai memiliki


dua varian murid, di antara muridnya tersebut ada yang memiliki
kecenderungan bakat pada ilmu pengetahuan agama. Tapi, adapula di
antara muridnya yang memiliki kecenderungan kearah perjuangan. Pada

5
Disini Kiyai berperan sebagai golongan yang berkemampuan
mewujudkan magis dan menjadi sumber dari mantra-mantra tersebut,
sedangkan Jawara adalah golongan yang menerima kemampuan magis dari
kiyai. Lihat MA Tihami, “Kiyai dan Jawara di Banten, Studi tentang Agama,
Magi, dan Kepemimpinan di desa Pesanggrahan Serang, Banten” (Jakarta:
Tesis, Universitas Indonesia, 1992), 4.
6
Pada awal perkembangan Islam di sekitar pantai-pantai Nusantara
dipengaruhi penyebaran mistik, hal inipun terjadi diwilayah Banten dan sampai
saat ini mistik menjadi kebudayaan bagi orang-orang Banten, hal ini dapat
dilihat dengan berkembangnya kesenian Debus di Banten. Lihat. Lihat
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia ..., 25.

12
akhirnya murid yang cenderung pada ilmu agama disebut santri,
sedangkan yang cenderung pada kekuatan fisik dan bernuansa magis
adalah Jawara. 7 Maka dahulu posisi Jawara merupakan pengawal para
Kiyai. Pada masa-masa sulit Jawara banyak membantu peran para Kiyai
terutama dalam hal keamanan dan ketertiban masyarakat. Kekuatan
fisik, magis dan kharisma para Jawara diperoleh langsung dari Kiyai.

Lain halnya dengan Kartodirdjo, ia mendefinisikan kelompok


Jawara sebagai orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan
sering melakukan perbuatan kriminal, dan cenderung di golongkan
kedalam kelompok bandit sosial. Kedua golongan inilah yang memiliki
peran kekuasan politik informal di daerah Banten, bahkan hal tersebut
berlangsung sampai saat ini. Kedua golongan inilah yang disebut oleh
Kartodirdjo sebagai golongan yang menembus batas-batas hirarki
masyarakat Banten. 8

Orang yang menyandang gelar Kiyai dipandang sebagai ahli


kebatinan, ahli hikmah, guru dan pemimpin masyarakat yang
berwibawa dan legitimate berdasarkan kepercayaan masyarakat. Oleh
karena itu, gelar Kiyai merupakan suatu tanda kehormatan dalam
kedudukan sosial, bukanlah suatu gelar akademis yang diperoleh dalam
pendidikan formal. Sementara itu, Jawara adalah sekelompok yang
memiliki kekuatan fisik dan memiliki ilmu kesaktian, sehingga bagi
sebagian orang dapat membangkitkan rasa hormat, kagum, takut bahkan
benci. Oleh karena itu, Jawara dapat menjadi seorang tokoh kharismatik
di Banten. Berbeda halnya dengan para Kiyai, peranan sosial Jawara
lebih cenderung kepada kepada pengolahan kekuatan yang berujung
kepada premanisme dan kekuasaan.

Sampai saat ini terdapat beberapa perbedaan kapan jelasnya


Jawara itu muncul dan lahir. Sebagian sarjana berpendapat, bahwa
Jawara muncul pada abad ke-19, ketika tekanan pemerintah Hindia
Belanda terhadap masyarakat pribumi semakin besar, sehingga
memunculkan konflik dan berakibat kepada pemberontakan yang

7
MA Tihami, “Kiyai dan Jawara di Banten,Studi tentang Agama,
Magi”..., 21.
8
Sartono Kartodirdjo: Pemberontakan Petani Banten 1888..., 83.

13
dipimpin oleh tokoh masyarakat khususnya Kiyai. Dari kondisi seperti
inilah muncul Jawara, sementara itu Kartodirdjo mengungkapkan
Jawara muncul akibat dari hancur dan ambruknya tatanan sosial
masyarakat akibat dihapusnya Kesultanan oleh Dandles pada masa
kolonial, sehingga memunculkan perilaku kriminal dan bandit sosial.9
Jawara dalam pandangan masyarakat Banten dianggap pemimpin oleh
segolongan tertentu masyarakat lokal, dan membentuk kultur dan
kebudayaan tersendiri di daerah Banten.

Awal Lahirnya Jawara

Banten merupakan daerah yang unik dengan tradisi dan


kultur budaya lokalnya. Para antropolog mencoba mendefinisikan
bermacam-macam pengertian budaya. Definisi budaya menurut
Clyde Kluckhohn berbeda dengan Kuntowijiyo, walaupun
demikian terdapat persamaan substansi. Budaya sendiri terbentuk
dari suatu komunitas masyarakat, yang memiliki pemikiran dan
menciptakan warisan tradisi serta kultur budaya terhadap
komunitas itu sendiri 10.

9
Pendapat ini diperkuat oleh Nina H lubis Banten Dalam Pergumulan
Sejarah: Sultan, Ulama, dan Jawara, Sartono Kartodirdjo Pemberontakan
Petani Banten 1888 dan Williams, Sickle and Crescent, The Communist Revolt
of 1926 in Banten
10
Menurut Kluckhohn, kebudayaan adalah sebagai keseluruhan cara
hidup manusia, yaitu warisan sosial yang diperoleh seseorang dari
kelompoknya, atau kebudayaan bisa dianggap sebagai lingkungan yang
diciptakan manusia. Lihat Clyde Kluckhohn, Mirror for Man, dalam Pasurdi
Suparlan, Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya. (Jakarta: Rajawali,
1984), 69. Lain halnya dengan Kuntowijoyo, menurutnya budaya adalah
sebuah system yang memiliki kohersi yang meliputi, bentuk-bentuk symbol
yang berupa kata, benda, laku, mite, lukisan, nyanyian, music, kepercayaan
yang memiliki kaitan erat dengan konsep-konsep epistimologi dari system
pengetahuan masyarakatnya. Lihat Kuntowijoyo, Budaya dan Masyaraka.,
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1987), xi pengantar. Pengertian tentang
budaya diatas, merupakan hanya sebagian kecil dari bayaknya definisi-definisi
tentang budaya. oleh karena itu penulis mendefinisikan budaya seperti halnya
diatas, agar mudah dipahami dan tidak lepas dari makna substansi dari budaya
itu sendiri.

14
Kultur budaya Banten yang sangat erat dengan nilai-niai
budaya Islam telah menciptakan budaya tersendiri yang dapat
dikatakan sebagai sebuah asimilasi budaya, dan sebuah diffusonis
budaya antara kultur budaya lokal dengan Islam. Sedangkan
menurut Ankerman, kombinasi antara suatu kultur kebudayaan
(Islam) dengan kultur kebudayaan setempat dinamakan kompleks
kebudayaan (kumpulan kebudayaan), sedangkan lingkungan
tempat unsure kebudayaan itu terdapat dinamakan lingkaran
kebudayaan kulturkreise 11.
Kedudukan peran dan jaringan jawara menciptakan kultur
tersendiri yang agak berbeda dengan kultur dominan masyarkat
Banten, sehingga jawara tidak hanya menggambarkan suatu sosok
tetapi juga telah menjadi kelompok yang memiliki norma, nilai
dan pandangan hidup yang khas. Inilah yang disebut sebagai
subkultur komunitas jawara Banten, yang berbeda dari komunitas
lokal daerah lainnya. 12 Bahkan lebih dari hal demikian, kata
Jawara sendiri telah dikenal dalam kamus bahasa Indonesia.
Dengan demikian terdapat indikasi bahwa kata Jawara menurut
terminologi budaya, telah masuk kedalam domain nasional dan
telah dikenal luas dalam bahasa sehari-hari masyarakat Indonesia.
Selanjutnya adalah, karakter yang dimiliki oleh para jawara
merupakan hasil suatu rekonstruksi kultur budaya yang
ditanamkan melalui interaksi sosial antar budaya. Dalam proses
interaksi tersebut terjadi penanaman dan pewarisan nilai-nilai
kultur tradisi budaya kejawaraan. Untuk menjadi sosok seorang

11
C.H.M. Palm,Sejarah Antropologi Budaya. (Bandung: Jemmars,
1984), 45.
12
Walaupun di setiap daerah di nusantara terdapat kultur budaya
kekerasan yang mirip dengan jawara Banten, seperti halnya di daerah Betawi
yang dikenal dengan “jago” atau “buaya” dan Madura yang dikenal dengan
budaya “Carok”nya. Lain halnya dengan jawara, komunitas jawara Banten
dianggap sebagai pemimpin non formal dikalangan masyarakat pedesaan
Banten. walaupun terdapat persamaan dalam segi kebudayaan sebagai suatu
kultur kekerasan, sama sekali tidak terkait dengan diffusionisme budaya.
Nampaknya teori Ratzel tentang gejala kebudayaan itu menyebar dari tempat
asalnya keberbagai jurusan, dan persamaan kebudayaan bukan disebabkan oleh
perkembanganya, melainkan hampir selamanya disebabkan oleh pengambilan
dan penyebaran budaya, itu keliru. Karena hal ini tidak Nampak terjadi dalam
kasus kultur kekerasan dan kepemimpinan daaerah-daerah lokal. Lihat C.H.M.
Palm, Sejarah Antropologi Budaya. (Bandung: Jemmars,1980),45.

15
jawara yang berkharisma dan disegani dibutuhkan proses
pelatihan yang panjang dan cukup berat, baik dari aspek fisik dan
mental batin. Maka tidak heran jika seorang jawara tidak hanya
cakap secara fisik, melainkan secara rohaniah spiritual batin telah
siap. Dalam proses pelatihanya jawara harus menempa diri
dengan latihan panjang ilmu-ilmu bela diri atau persilatan yang
banyak berkembang di wilayah provinsi Banten. Selain itu ia pun
harus menempuh latihan spiritual, dengan melaksanakan puasa
yang cukup panjang dan bervariasi, ada puasa empat hari, tujuh
hari, empat puluh hari dan seterusnya. Sedangkan tingkatan
panjangnya puasa yang dijalankan seorang jawara, merupakan
lapisan yang membedakan level kesaktian para jawara.
Terdapat beberapa versi tentang lahir atau awal munculnya
jawara di Banten, akan tetapi secara historis kapan lahirnya
jawara Banten tidak diketahui secara tepat. Sebagian data sumber
diperoleh dari folklore masyarakat Banten, akan tetapi peranan
jawara dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Banten dapat
ditelusuri hingga pada masa Kesultanan Banten. Peranan jawara
dalam kehidupan masyarakat Banten mulai muncul ke permukaan
terjadi pada masa akhir keruntuhan Kesultanan Banten, dan
kekuasaan kolonial sudah lagi tidak efektif pada abad ke 19 M.
Pasca dihapusnya pemerintahan Kesultanan Banten oleh Dandles,
tekanan pemerintah Hindia Belanda terhadap masyarakat pribumi
semakin besar sehingga memunculkan konflik di masyarakat. Di
sejumlah wilayah Banten terjadi kekosongan pemerintah yang
menyebabkan kekacauan, dari konflik dan kekacauan inilah
berakibat pada pemberontakan-pemberontakan yang dipimpin
oleh tokoh masyarakat khususnya para kiyai.
Dari kondisi seperti inilah jawara muncul dan tampil
bersama para kyai sebagai pemimpin informal masyarakat. Hal ini
dimungkinkan karena jawara memiliki keterampilan beladiri,
silat, ilmu magis sebagai keterampilan untuk menghadapi situasi
yang kacau dalam menghadapi pemberontakan terhadap
pemerintah Hindia Belanda 13. Selain itu posisi jawara sebagai
murid khodam kiyai dianggap relevan dalam membantu
perjuangan kiyai. Lain halnya dengan Kartodirdjo, jawara muncul

13
Andi Rahman Alamsyah, Islam, Jawara dan Demokrasi, Geliat
Politik Banten Pasca-Orde Baru. (Jakarta: Dian Rakyat, 2010),65.

16
akibat dari hancur dan ambruknya tatanan sosial masyarakat
akibat dihapusnya Kesultanan, sehingga memunculkan perilaku
kriminal dan bandit sosial 14. Selain itu para jawara memiliki
paguron (padepokan silat) dan jaringan antar paguron, yang
kemudian menjadi basis sosial utamanya. Sebagai pemimpin
informal, jawara berupaya untuk memulihkan keadaan, tidak
sedikit diantara mereka kemudian ada yang berprofesi sebagai
jaro, baik pada masa kolonial, pasca kemerdekaan, orde baru,
bahkan sampai saat ini.
Sumber lain menyebutkan bahwa jawara lahir tak luput dari
peran dan eksistensi para kiyai Banten. Di mana pada saat itu
aneksasi pemerintahan kolonial Belanda yang tejadi pada abad 19
M. telah memunculkan kiyai sebagai tokoh sentral
pemberontakan. Kiyai sendiri memiliki dua varian murid, diantara
muridnya tersebut ada yang memiliki kecenderungan bakat pada
ilmu pengetahuan agama. Tetapi di lain pihak, adapula murid
yang kurang begitu memahami pendalaman agama melainkan
memiliki bakat silat dan kecenderungan kearah perjuangan. Pada
akhirnya murid yang cenderung pada ilmu agama disebut santri,
sedangkan yang memiliki bakat kekuatan fisik (silat) dan
bernuansa magis adalah jawara 15. Disini kiyai berperan sebagai
sumber kekuatan magis bagi para jawara, lewat kiyai lah ilmu
kesaktian, sepertihalnya kanuragan, brajamusti, kebal dan magis
ditransform kepada jawara. Hubungan emosional antara murid
dengan guru yang dialami oleh kiyai dan jawara, terjalin sangat
erat di antara kedu belah pihak.
Tidak heran jika para akademisi memunculkan spekulasi
anggapan bahwa awal lahirnya komunitas jawara ditengarai pada

14
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. (Jakarta:
Pustaka Jaya, 1984), 83.
15
Perbedaan antara jawara dan santri terletak pada ketekunan mereka
ketika berguru, santri lebih menekuni ilmu-ilmu keagamaan, sedangkan jawara
lebih menekuni bidang yang terkait dengan pengolahan raga dan bathin. Kiyai
berperan sebagi tokoh yang berkemampuan mewujudkan magis dan menjadi
sumber dari mantra-mantra tersebut, kekuatan magis tersebut ditransform
kepada jawara untuk memiliki kemampuan tersebut. Lihat MA. Tihami, Kiyai
dan Jawara di Banten, Studi Tentang Agama, Magi, dan Kepemimpinan di
desa Pesanggrahan Serang Banten. (Jakarta: Tesis, Universitas Indonesia,
1992), 21.

17
masa pemberontakan yakni pada abad 19 M. Karena pada masa
itulah komunitas jawara mulai dikenal, dan secara tidak langsung
dimunculkan oleh Kartodirdjo dan Williams 16 dalam
penelitiannya yang ditinjau dalam aspek historis. Penelitian yang
dilakukan oleh Kartodirdjo maupun William, belum tentu dapat
dibenarkan perihal lahir dan munculnya komunitas jawara di
Banten.
Selain ada yang mengatakan bahwa jawara Banten muncul
pada abad ke 19 M, ada pendapat yang mengatakan bahwa kata
“jawara” muncul di dunia persilatan di Banten. Tidak heran jika
ada sebagian pendapat yang mengemukakan hal demikian, selain
daerah Banten dikenal dengan basis Islamnya yang kuat daerah
ini pun dikenal dengan daerah persilatan. Sejarah dunia persilatan
di Banten sendiri memiliki akar yang panjang. Di dalam Serat
Centhini disebutkan bahwa pada masa pra-Islam telah dikenal
istilah “paguron” atau “padepokan” di daerah seekitar gunung
karang , Pandeglang.
Pada masa lalu tradisi persilatan di Banten nampaknya
menjadi suatu kebutuhan bagi individu-individu tertentu untuk
mempertahankan keehidupan dirinya dan kelompoknya. Hidup di
daerah terpencil dan rawan dari tindakan-tindakan kriminal dari
pihak lain, tentunya membutuhkan keberanian dan memiliki
kekuatan fisik yang baik. Kondisi seperti ini nampaknya
mendorong setiap individu untuk membekali dirinya dengan
kemampuan bela diri dengan belajar di persilatan. Dalam dunia
persilatan sendiri terdapat turnamen-turnamen, dimana para

16
Penelitian yang dilakukan oleh Kartodirdjo dan Williams,
sebenarnya tidak concern membahas awal lahir dan munculnya subkultur
Jawara di Banten, melainkan hanya mencantumkan eksistensi jawara dalam
proses pemberontakan-pemberontakan di Banten pada abad ke 19 M secara
historis. Penelitian Kartodirdjo dan Williams nampaknya dijadikan rujukan
oleh beberapa kalangan akademisi dalam menentukan kemunculan jawara, hal
ini dapat dilihat dari karya Nina H lubis, Atu Karomah, Andi Rahman
Alamsyah dan Ahmad Abrori. Lihat Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan
Petani Banten 1888. (Jakarta : Pustaka Jaya, 1984), Michael C Williams,
Communism, Relegions, and Revolt in Banten. (Ohio : Ohio University Press,
1990), Nina H Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah : Sultan, Ulama,
Jawara. (Jakarta: LP3S, 2003), Andi Rahman Alamsyah, Islam, Jawara dan
Demokrasi, Geliat Politik Banten Pasca-Orde Baru. (Jakarta: Dian Rakyat,
2010).

18
pesilat bertarung untuk menjajal kemampuan bela diri mereka.
Dapat dimungkinkan bahwa istilah jawara sendiri nampaknya
muncul dari kondisi tersebut. Jawara yang juga dapat dimaknai
“juara” atau “pemenang” mengindikasikan makna bahwa orang
yang telah berhasil mengalahkan lawan-lawannya. Seorang
jawara yang terkenal dan ditakuti oleh lawan maupun kawan,
dapat dipastikan karena memiliki keunggulan dalam hal
keberanian dan menaklukan lawan-lawanya. Kemempuan tersebut
ditunjang oleh keahlian dalam ilmu persilatan atau bela diri serta
dalam memainkan senjata khas yang dimiliki oleh jawara yakni
sebuah golok.
Definisi Pengertian Jawara Banten

Selanjutnya adalah, apa sebenarnya definisi dan pengertian


dari jawara itu sendiri. Terdapat stigma yang negative dari
kebanyakan masyarakat Indonesia tentang memaknai definisi dan
pengertian dari Jawara itu sendiri. Jawara kerap kali diartikan
sebagai orang yang memiliki kekuatan fisik yang kuat, mahir
dalam berkelahi, berwatak kasar, sering menggunakan kekerasan,
serampangan, jagoan dan sampai kepada kesimpulan sebagai
bandit lokal. Pandangan dan stigma masyarakat terhadap makna
pengertian dari jawara itu sendiri tidak lepas dari beberapa aspek
antara lain; aspek tempat daerah dimana jawara itu hadir, aspek
historis dimana jawara itu lahir, dan aspek kultur kebudayaan
lokal masyarakat dimana jawara itu berada. Oleh karena itu
daerah dan orang Banten selain dikenal sebagai basis daerah
Islam tradisional yang kuat, selain itu oleh sebagian masyarakat
Indonesia, Banten dikenal sebagai daerah yang kasar, pemberani,
lekat dengan magis dan ilmu-ilmu mistik. Hal tersebut terkait
tentang keberadaan dan eksistensi para jawara di Banten.
Eksistensi Jawara di Banten turut berkontribusi atas image
dan pandangan masyarakat terhadap Banten itu sendiri. Menurut
Boas daerah-daerah kebudayaan yang memiliki ciri kelompok
corak-corak kebudayaan yang khas seperti Banten inilah, disebut
dengan “cultur are”. 17 Banten sebagai tempat dearah Jawara di
17
Boas memberikan interpretasi tentang muncul dan lahirnya suatu
kebudayaan, bahwa segi kebudayaan itu harus ditinjau dari rangka seluruh
kebudayaan, selain itu ia memperhatikan pula pengaruh masa lampau terhadap

19
lahirkan, telah membentuk karakter sifat dan budaya sebagian
masyarakat Banten yang sering menggunakan instrument
kekerasan dalam setiap keadaan-keadaan tertentu. Hal ini tidak
terlepas dari sudut pandang historis perkembangan Banten itu
sendiri, dalam pergolakan pemberontakan dalam melawan
penjajahan masa lalu.
Sejauh ini terdapat beberapa akademisi yang meneliti
tentang keberadaan Jawara Banten, baik dari kalangan dalam
negeri maupun luar negeri. Hadirnya kajian dari beberapa peneliti
ini, turut memberikan definisi pengertian-pengertian yang berbeda
tentang Jawara itu sendiri. Kata “Jawara” di daerah asalnya
(Banten) sendiri umumnya dikenal untuk menunjukan seorang
laki-laki berpenampilan sangar, berpakaian serba hitam, celana
pangsi, baju silat, barangbang semplak (ikat kepala) atau
menggunakan peci hitam, kumis panjang melintang, mata merah,
tangan penuh dengan cincin dan akar bahar, membawa golok, ikat
pinggang yang lebar, dan beserta sarung yang diselempangkan di
pundaknya. Setidaknya inilah gambaran jawara dalam artian
keseharian mereka, sedangkan pada umumnya kepandaian
seorang jawara dinilai dari sisi bela diri dan dianggap lebih tinggi
dari pada yang lain sehingga yang lain takluk kepadanya.akan
tetapi pengertian seperti yang di sebutkan diatas, hanyalah salah
satu dari sekian banyak pengertian dan definisi jawara.
Sebagian besar orang menginterpretasikan jawara berasal
dari kata “juara” yakni orang yang menang dalam suatu
kompetisi, atau dapat diartikan sebagai orang pilihan nomor satu.
Sedangkan mengenai pengertian definisi makna Jawara, banyak
para akademisi baik dari kalangan sejarawan maupun budayawan
telah mencoba menyusun berbagai definisi-definisi pengertian
tentang jawara itu sendiri. Berikut adalah definisi pengertian dan
deskripsi tentang jawara menurut para kalangan:
Dalam bukunya Communism, Religion, and Revolt ini
Banten, Williams mendeskripsikan jawara sebagai kelompok

munculnya kebudayaan baru. Pengamatan seperti ini dapat digolongkan


kedalam aliran fungsionalis. Singkatnya teori Boas meliputi; daerah
kebudayaan, yang nyata-nyata berbeda dengan daerah lain, dinamakannya
“cultur are” lihat C.H.M. Palm, Sejarah Antropologi Budaya. (Bandung:
Jemmars, 1980),100-101.

20
orang yang mengangkat sumpah janji (oath-taking) dan ketaatan
tegas kepada sang pemimpin. Kelompok ini bertujuan
membangun kekuatan supranatural dengan cara mengembangkan
unsur-unsur mistis dan magis selanjutnya diformulakan kedalam
amalan-amalan ataupun sejenis jimat, rajah dan wafak 18.
Kekuatan tersebut bersumber dari seorang guru kepada muridnya,
guru disini merupakan seorang pemimpin dari sebuah padepokan
persilatan ataupun seorang kiyai.
Kekuatan magis yang dimiliki oleh para jawara, merupakan
proses transfromasi oleh seorang guru (kiyai) kepada muridnya,
proses kepemilikan ilmu kedigjayaan magis ataupun kanuragan
hanya berhak dipergunakan oleh si murid yang menerimanya.
Kepemilikan ilmu tersebut tidak bisa untuk diturunkan atau
dimiliki oleh orang lain, terkecuali jika diberi oleh sang guru
(kiyai) tersebut kepada orang lain. Selain itu jawara memiliki
jaringan-jaringan yang membentuk suatu kelompok yang
dipersatukan dalam suatu ikatan, dengan memiliki kultur dan
budaya tersendiri, seperti halnya mereka mengenakan pakaian
serba hitam sebagai kostum ciri khasnya. Pandangan Williams
tentang jawara lebih didominasi oleh pandangan negative, yakni
lebih memosisikan jawara yang erat dengan dunia hitam, mistis,
kekebalan tubuh dan kemaskulinannya. Sehingga melupakan
unsur-unsur kesantrian dan keislaman, yang semestinya lekat
dengan kultur budaya mereka.
Adapun Sartono Kartodirdjo salah seorang sejarawan
indonesia, yang turut memberikan deskripsikan Jawara dalam
karyanya Pemberontakan Petani Banten 1888 M, ia
menggambarkan jawara dengan citra negative. Definisi
pengertianya tentang jawara yang digambarkan sebagai elit
pedesaan di Banten yang menembus batas-batas hirarki sosial.
Jawara merupakan pimpinan non formal dalam kultur budaya
masyarakat Banten. Umumnya mereka para jawara terdiri dari
orang-orang yang tidak memilki pekerjaan tetap, cenderung
membangkang, tidak mempunyai tempat tinggal tetap, hidup

18
Michael C Willims, Communism, Relegions, and Revolt in Banten.
(Ohio: Ohio University Press, 1990).

21
diluar hukum dan seringkali melakukan kegiatan-kegiatan
kriminal, dan digolongkan kedalam kelompok bandit sosial 19.
Pandangan Kartodirdjo tentang jawara dapat dikatakan
keliru, karena mendeskripsikan jawara secara tidak lengkap.
Penelitianya tentang Banten hanya difokuskan tentang gejala-
gejala aspek pemberontakan sosial yang terjadi di Banten. Ia tidak
meneliti lebih lanjut kultur historis Jawara dalam budaya di
Banten, justru sebaliknya Jawara dalam pandangan masyarakat
saat itu, diposisikan sebagai pahlawan dan membela orang-orang
lemah. Pada masa ini posisi jawara di gambarkan sebagai Si
Pitung (tokoh legendaris dari Betawi), mereka melakukan
perbuatan kriminal dengan merampok para pejabat, pegawai
kolonial Belanda atau para saudagar kaya, dan membagikan
hasilnya kepada rakyat miskin. Perbuatan tindakan yang mereka
lakukan, merupakan ekses dari tekanan pihak kolonial Belanda
terhadap warga Banten.
Sedangkan Tihami seorang antropologis Indonesia dalam
karyanya kiayi dan jawara Banten, ia menggunakan kajian Loze
dan Meijer tentang jawara. Loze mendefinisikan pengertian
Jawara dari segi negative, dan ia mendeskripsikan jawara sebagai
sosok yang jahat. Lain halnya dengan Meijer, ia mendefinisikan
karakteristik jawara sebagai seorang pemberani yang dapat
dipercaya untuk menjadi pengawal keamanan pribadi dan umum.
Selain itu jawara inipun terorganisasi dalam sebuah jaringan,
sehingga memiliki pengikut yang disebut anak buah, dan kepala
jawara yang disebut Abah (kepala jawara). Adapun yang kerap
melakukan tindakan kejahatan adalah para anak buah, sedangkan
pimpinan jawara sendiri duduk dan mengamati sebagai tokoh
mengatur dari kejauhan. Walaupun demikian keduanya tetap
disebut sebagai bandit.
Lain halnya dengan Williams, Loze maupun Meijer, Tihami
mendefinisikan Jawara adalah sebagai seorang pendekar, kesatria
dan menjadi pembela orang-orang yang lemah. Selain itu
jawarapun termasuk orang yang saleh, karena ia merupakan murid
dari kiayi yang mendalami ilmu-ilmu kanuragan dan magis.
Selain itu jawara merupakan sosok pahlawan Banten, yang

19
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. (Jakarta:
Pustaka Jaya, 1984).

22
bersama dengan kiyai melakukan pemberontakan terhadap pihak
kolonial Belanda. 20 Muncul dan berkembangnya image buruk
jawara sebagai pemberontak lebih di dominasi persoalan politik
pada masa penjajahan dan pasca kemerdekaan, hal ini karena
tekanan-tekanan pihak kolonial kepada rakyat Banten, dan
sulitnya pendapatan di sektor ekonomi. Menurut Tihami jawara
pada masa sekarang cenderung menjadi symbol kelompok yang
ingin turut berkontribusi dalam peran kemasyarakatan dengan
memiliki skill keberanian dan kekuatan fisik.
Definisi selanjutnya datang dari Nina Lubis yang meneliti
tentang jawara di lihat dari aspek historis (Banten dalam
Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara menurutnya).
Menurutnya, jawara saat ini diartikan dengan berbagai perilaku
negative, seperti halnya kata jawara sendiri dikonotasikan sebagai
“jalema wani rampog” (orang yang berani merampok) atau
“jalema wani ruhul” (orang yang berani berbohong atau menipu).
Pencitraan jawara sebagi sosok yang negative dan kriminil terus
terbawa hingga sampai abad ke 20 M, bahkan sampai saat ini citra
negative jawara sebagai sosok bandit lokal terus dikenal. Padahal
pada masa lalu, jawara dikenal sebagai pahlawan yang berjuang
melawan penjajahan kolonial Belanda, dan membela orang-orang
lemah. Akan tetapi makna pengertian jawara saat ini telah
mengalami pergeseran sosial, hal ini dikarenakan perbuatan
sebagaian oknum jawara yang telah berbuat kekacauan, dan pada
akhirnya pengertian jawara sendiri terkontaminasi dengan
perilaku premanisme. 21
Sedangkan menurut Abrori, terdapat perbedaan antara
Jawara dengan pendekar, walaupun keduanya memiliki
persamaan makna dalam kaca mata masyarakat Banten. Jawara
didefinisikan sebagai seorang pahlawan Banten yang memiliki
kekuatan fisik dan keberanian yang luar biasa karena
kemampuannya dalam mengolah ilmu silat dan magis. Sedangkan
pendekar lebih dipahami sebagai orang-orang yang dengan

20
M.A. Tihami, Kiyai dan Jawara di Banten : Studi Tentang Agama,
Magi dan Kepemimpinan di Desa Pesanggrahan Serang Banten (Jakarta:
Tesis, Universitas Indonesia, 1992).
21
Nina H Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah : Sultan, Ulama,
Jawara. (Jakarta: LP3S, 2003), 127.

23
keberanianya dapat menguasai ilmu-ilmu silat, kekebalan tubuh,
dan berusaha berpartisipasi dalam pembangunan dan keamanan
Banten saat ini 22. Lebih dari itu, jawara untuk saat ini menjadi
pemimpin sosial dan memiliki sumber-sumber ekonomi, inilah
yang gambaran jawara kontemporer. Dimana peran sosial jawara
tidak hanya sebatas sebagai jaro, lurah, guru silat, dan pemimpin
tradisional, melainkan menjadi pengusaha dan patron kekuasaan.
Disinilah terdapat perubahan dalam struktur sosial jawara,
akan tetapi walau bagaimanapun kultur budaya dan tradisi yang
melekat dalam jawara tidaklah berubah. Kebudayaan bukan saja
gejala etis, astetis, ataupun simbolis, akan tetapi kebudayaanpun
masuk kedalam gejala sosial. Perubahan sosiokultural yang terjadi
dalam dunia jawara, sama halnya dengan kasus yang di kaji oleh
Kuntowijoyo pada masyarakat priyayi Jawa. 23 Perbedaanya
terletak pada perubahan sosiokultural di Jawa yang diikuti pula
oleh berubahnya kultur budaya priyayi dari keraton ke
pemerintahan kolonial, sedangkan jawara tidak mengalami hal
yang demikian. Jawara tetap lekat dengan kultur tradisinya,
sebagai pemimpin non formal dalam kultur budaya masyarakat
Banten.
Dari berbagai definisi-definsi tentang pengertian jawara
yang diungkapkan oleh berbagai kalangan akademisi, terdapat
beberapa perbedaan antara satu sama lain. Terdapat penilaian
yang menyudutkan posisi peranan jawara dalam masyarakat
Banten, dilain pihak ada yang mendeskripsikan kelompok jawara
dari sisi positif dan negatifnya. Tetapi yang lebih penting dari hal

22
Ahmad Abrori, Perilaku Politik jawara Banten dalam Proses Politik
di Banten (Depok: Tesis FISIP Universitas Indonesia, 2003).
23
Kuntowijoyo melakukan penelitian terkait denganperubahan
sosiokultural yang dialami oleh priyayi-priyai di jawa. Dimana pada saat itu,
birokrasi colonial sedang meluas maka tumbuhlah satu golongan baru dalam
masyarakat, yakni golongan priyayi yang akhirnya lepas dari ikatan kraton ,
karena subtradisi mereka tidak lagi kepada raja, melainkan beralih kepada
pemerintah kolonial. Lihat Kuntowijoyo, Budaya dan Masyaraka.,
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1987), 26. Lain halnya dengan jawara yang
tumbuh sebagai subkultur masyarakat Banten, perubahan yang terjadi dalam
kelompok jawara sendiri hanya dalam tataran perubahan sosial. Saat ini jawara
lebih berperan aktif sebagai patron kekuasaan dan ekonomi di banten,
sedangkan kulturnya sebagai symbol kekerasan, kepemimpinan serta tradisi
tunduk kepada kiyai di Banten sama sekali tidak berubah.

24
di atas, terdapat perubahan peranan sosial para jawara dikalangan
masyarakat Banten. Dari beberapa definisi pengertian di atas,
penulis memberikan definisi pengertian tentang jawara; bahwa
jawara adalah, salah satu murid dari kiyai yang memiliki
keberanian dan kemampuan bela diri dalam mengolah tubuh dan
tenaga dalam, seperti halnya ilmu kekebalan tubuh, ilmu
brajamusti, kanuragan, kekuatan magis dan kewibawaan
kharisma, selain itu ia melakukan aktivitas kegiatan sosial dengan
spirit perjuangan, membela rakyat lemah dan semangat heroisme.
Kekuatan yang diperoleh dari jawara baik magis ataupun
fisik bersumber dari kiyai sebagai guru. Jawara sendiri bertumpu
pada segi keberanian mereka, dengan mengoptimalisasikan
kekuatan dan kemampuan bela diri mereka berani menegakan
keadilan dan kebenaaran dengan semangat juang memberantas
sesuatu yang dinilai zhalim. Selain itu yang perlu dicermati
adalah terjadinya perubahan peranan sosial dalam kelompok
jawara, dahulu jawara berperan dalam lingkup pemimpin
tadisional (informal) menjadi jaro, lurah atau guru silat, saat ini
banyak dari kalangan kelompok jawara berprofesi sebagai
(pemimpin formal) anggota dewan, pengusaha, dan pejabat
pemerintah.
Pengklasifikasian Jawara

Dalam dunia Jawara terdapat beberapa pengklasifikasian


dan pelapisan struktur kelompok jawara. Kelompok jawara tidak
hanya memiliki satu varian melainkan terdapat dua jenis varian
jawara. Yakni jawara yang beraliran putih dan jawara yang
beraliran hitam. Pengklasifikasian tersebut berdasarkan dari
sumber magis yang diperoleh para jawara. Sumber magis Jawara
aliran putih biasanya didapati dari ajaran Islam, sumber-sumber
magis tersebut biasanya bersumber dari tarekat-tarekat yang
popular dan sebagian lain dari tradisi animisme. Sedangkan
sumber magis yang berasal dari tradisi animisme inilah yang
digunakan oleh jawara aliran ilmu hitam.
Kehadiran mantra putih maupun mantra hitam itu sendiri
berpangkal pada kepercayaan masyarakat pendukung di dalamnya yang
memunculkan fenomena yang semakin kompleks di zaman sekarang.

25
Sejumlah penilaian, sikap, dan perlakuan masyarakat Sunda terhadap
mantra semakin berkembang 24. Dapat dicermati bahwa mantra putih di
antaranya bertujuan untuk menguasai jiwa orang lain, agar diri dalam
keunggulan, agar disayang, agar maksud berhasil dengan baik, agar
perkasa dan awet muda, berani, agar selamat, untuk menjaga harta
benda, mengusir hantu atau roh halus, menaklukan binatang, menolak
santet, untuk menyembuhkan orang sakit. Adapun kategori mantra
hitam diantaranya bertujuan untuk mencelakai orang agar sakit atau
mati, membalas perbuatan jahil orang lain, dan memperdayakan orang
lain karena sakit hati.

Sedangkan proses munculnya pengklasifikasian dalam suatu


tempat kebudayaan, seperti halnya yang terjadi antara Jawara.
Dapat di tinjau dari sudut pandang aspek antropologis yang
terkait dengan kultur historis. Menurut Evon Vogt dan Thomas F
O’dea, terdapat perbedaan kebudayaan dalam masyarakat yang
ekologinya memperlihatkan kesamaan. Telah menunjukan
hipotesa pokok yaitu bahwa orientasi nilai-nilai memainkan
peranan penting dalam bentuk pranata sosial yang diamati.
Orientasi nilai-nilai disini adalah, makna pandangan-pandangan
hidup dalam memberikan defininsi arti kehidupan manusia atau
“situasi kehidupan manusia” 25. Hal ini menunjukan kasus

24
Ada sebagian masyarakat yang begitu mengikatkan secara penuh
maupun sebagian dirinya terhadap mantra dalam kepentingan hidupnya.
Sebagian masyarakat lainnya secara langsung atau tidak langsung menolak
kehadiran mantra dengan pertimbangan bahwa menerima mantra berarti
melakukan perbuatan syirik. Pada bagian masyarakat yang disebutkan pertama
dapat digolongkan ke dalam masyarakat penghayat atau pendukung mantra,
sedangkan bagian masyarakat yang lainnya digolongkan ke dalam masyarakat
bukan penghayat mantra. Artinya mereka menganggap bahwa mantra ini
berdaya magis seolah mantra ini adalah sebagai alat komunikasi antara
manusia dengan kosmos-Nya agar sang makrokosmos mengabulkan atau
memberi kemudahan Lihat, Jakob Sumardjo, Estetika paradoks. (Bandung:
Sunan Ambu press, 2006), 5.
25
Penelitaian yang dilakukan oleh Vogt dan O’dea, dilakukan pada
hubungan antara dua komunitas Mormon dan Homestead yang terletak
didaerah New Mexico. lihat Evon Z.Vogt dan Thomas F.O’dea, Cultural
Differences In Two Ecologically Similar Communities. Dalam Parsudi
Suparlan, Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan. (Jakarta: Rajawali
pers,1984), 161-162.

26
pengklasifikasian Jawara aliran putih dan jawara aliran hitam,
memperlihatkan adanya adanya perbedaan kebudayaan dalam
masyarakat yang sama. Dimana pandangan-pandangan hidup
jawara aliran putih dan jawara aliran hitam yang berbeda,
orientasi nilai jawara aliran putih bersumber dari ajaran Islam dan
kiyai, sedangkan orientasi nilai pandangan hidup yang dipegang
oleh jawara aliran hitam bersumber dari animisme sepenuhnya.
1. Jawara Aliran Putih
Seperti yang disebutkan diatas berdasarkan klasifikasi
sumber magis yang diperoleh para Jawara. Jawara beraliran ilmu
putih adalah, mereka yang memiliki kesaktian magis yang berasal
dari sumber-sumber agama Islam, khususnya mereka yang
mendalami kelompok tarekat. Jawara yang beraliran putih
dipandang dekat dengan kiyai, bahkan lebih dari itu mereka
berafiliasi dengan para kiyai. Sumber magis yang mereka dapat
berasal dari kiyai sebagai mentor ataupun gurunya, selain itu
amalan-amalan ritual yang dijalankan tidak bertentangan dengan
ajaran Islam. Beberapa ritual yang terlihat paling penting adalah
amalan dan puasa. Kedua bentuk ritual ini memiliki pengaruh
yang sangat besar. Puasa merupakan latihan pengendalian diri
menahan hawa nafsu. Puasa dalam ritual ini bukan seperti puasa
ramadhan yang lazim dilaksanakan, sedangkan puasa dalam ritual
ini merupakan upaya pengolahan bathin dengan tetap mengingat
Allah. Sedangkan jumlah puasa yang dijalankan oleh seorang
murid dapat dilakukan selama 3-7 hari bahkan ada yang sampai
40 hari, perbedaan kuantitas tersebut bergantung pada kelompok
yang ia ikuti.
Sementara amalan merupakan kegiatan zikir. Zikir ini
biasanya dengan mengulang beberapa kalimat atau ayat-ayat al-
quran. Bentuk zikir disesuaikan dengan kemampuan yang ingin
diperoleh, bentuk zikir yang paling pendek adalah membaca
berulang tahmid ataupun takbir, sedangkan yang paling panjang
adalah pembacaan ayat kursi ataubebrapa zikir khusus yang
dimiliki kelompok tertentu. Jumlahnya beragam, ada yang perlu
dibaca tiga kali bahkan ada yang dibaca tiga kali. Ritual zikir ini
biasanya dilakukan setelah shalat wajib atau tahajud.Disamping
itu juga ada amalan yang bukan dari ayat-ayat al-Quran tetapi
menggunakan bahasa kuno, ada yang menggunakan bahasa Sunda
dan bahasa Jawa.
27
Begitu pula tentang hal-hal perbuatan yang dilarang dalam
menjalani norma kehidupan, ataupun dalam bahasa mereka yang
lebih dikenal dengan “pantangan” biasanya bersumber dari Islam
dan sesuai dengan ajaran syariat-syariat Islam. Seperti halnya
dilarang mencuri, tidak boleh sombong, tidak boleh
meninggalkan sholat, dilarang main perempuan dan sebagainya.
Kekuatan magis yang bersumber dari kiyai, merupakan suatu
kebutuhan bagi para jawara aliran putih, sebagai legitimasi
kepemimpinan dalam masyarakat Banten 26.
Salah satu contoh pertunjukan seni kebudayaan setempat
yang dimainkan oleh para jawara aliran putih, antara lain adalah
seni kebudayaan Debus. Akulturasi debus dengan Islam
merupakan bentuk sakralisasi kebudayaan, sehingga dikatakan
bahwa hubungan debus dengan Islam seperti mata uang yang
tidak memiliki arti jika salah satu bagiannya hilang. Konsep ini
dapat dipahami bahwa hanya muslimlah yang dapat mempelajari
permainan debus. Debus bukan semat permainan pertunjukan
kekebalan tubuh terhadap benda-benda tajam, namun lebih dari
itu debus merupakan sikap kepasrahan, totalitas kepada Allah 27.

26
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa peran Ulama
dalam masyarakat Banten memiliki peranan signifikan, baik dalam aspek
kehidupan sosial keagamaan maupun kepemimpinan. Oleh karena itu
legitimasi dari kiyai dianggap penting sebagai sumber kekuatan magis yang
diperoleh jawara aliran putih, untuk menjadi pemimpin dalam masyarakat.
Lihat, Yanwar Pribadi, The Background to the Emergence of Jawara in the
Erly Nineteenth Century Banten. (Serang: Al Qalam, Jurnal Ilmiah Bidang
Keagamaan dan Kemasyarakatan. Vol. 25, No.3 September-Desember,
Lembaga Penelitian IAIN “Sultan Maulana Hasanuddin” Banten, 2008), 412.
27
Budaya dan agama dalam permainan debus melebur menjadi satu,
budaya sebagai bentuk dari pemikiran manusia dan agama sebagai bentuk
keyakinan melahirkan pola baru dalam kehidupan masyarakat. Disinilah terjadi
proses akulturasi pada masyarakat Banten, antara budaya lokal dengan nili-
nilai ajaran Islam. Sakralisasi kebudayaan dalam kasus debus merupakan
perwujudan terhadap pemahaman keagamaan yang terealisasikan dalam bentuk
tindakan keberagamaan, religiusitas mereka. Kebudayaan inilah yang
diperankan oleh para jawara aliran putih, sebagai salah satu bentuk dalam
mempertahankan co-exsistensi mereka dalam masyarakat dan kebudayaan
Banten. Lihat Nauval Syamsu, Debus Sebuah Fenomena Keagamaan, Studi
Kultural Debus Banten (Jakarta: Tesis, Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2004), 43.

28
Adapun tarekat yang populer dan berafiliasi di kalangan
Jawara Banten aliran ilmu putih adalah antara lain, tarekat
Qodariyah, Rifa’iyya^h dan Samma^niyah. Tarekat-tarekat inilah
yang berkembang luas dikalangan masyarakat Banten dan banyak
dipergunakan oleh para jawara yang gemar mengamalkan praktik
magis dengan menggunakan teknik-teknik dan doa-doa dari
tarekat tersebut. Doa-doa tersebut biasanya berbahasa arab,
karena sumber tersebut diambil dari Qur’an dan Hadist. Oleh
karena itu para jawara sendiri mendeklarasikan, bahwa ilmu
kesaktian yang mereka peroleh didapati dan bersumber dari para
kiyai khususnya para murshyid tarekat masing-masing. Seorang
jawara yang menjadi guru ilmu-ilmu magis ataupun hikmah
biasanya telah dikenal kesaktianya didalam kalangan jawara dan
masyarakat lokal setempat. Berdasarkan ilmu kesaktian magis
yang diperoleh jawara dan banyaknya jumlah pengikut anak
buahnya, masyarakat lokal setempat sering menggunakan istilah
jawara “gede” dan jawara “teri” 28

2. Jawara Aliran Hitam


Jawara yang beraliran ilmu hitam adalah mereka yang
mempergunakan sumber-sumber kesaktian dari tradisi pra Islam.
Adapun doa atau mantra yang mereka gunakan sebagai sumber
magis dan kesaktian berasal dari kepercayaan animisme dan
dinamisme, disebut dengan Jangjawokan. Bahasa mantra yang
digunakan biasanya berasal dari bahasa Jawa kuno dan Sunda
kuno, yang terkadang sulit untuk dipahami lagi, termasuk orang
yang mengamalkannya. Ilmu tersebut dianggap berasal bukan
sumber ajaran dan tradisi dari Islam, masyarakat sering
menyebutnya dengan elmu Rawayan. Sumber elmu Rawayan

28
Jawara “gede” Istilah yang sering digunakan oleh masyarakat
Banten adalah, mereka yang memiliki kesaktian magis tinggi dan dekat dengan
para kiyai. Sedangkan jawara “teri” adalah, mereka yang tidak begitu
memumpuni dalam pengolahan ilmu kesaktian, selain itu aktivitas mereka
biasanya melakukan perampokan dan menjadi centeng penjaga.

29
sendiri berasal dari masyarakat Baduy yang mendiami daerah
lebak, dan sering mempraktekanya dalam hal mistis 29.
Para jawara yang memiliki ilmu seperti ini sering dianggap
sebagai jawara yang jahat, minimal mereka dianggap kurang taat
dalam menjalankan dan melaksanakan ajaran-ajaran perintah
Islam. Karena dipandang ilmu-ilmu yang dipergunakannya itu
bertentangan dengan ajaran Islam, seperti halnya mengadakan
ritual yang berbau animisme dan dinamisme, seperti memberikan
persembahan ataupun sesajen kepada benda-benda tertentu, antara
lain seperti halnnya keris, golok ataupun benda-benda yang
dianggap keramat. Oleh karena itu jawara ini disebut dengan
jawara aliran hitam, hal ini dikarenakan perbedaan sumber magis
yang mereka dapat.
Adanya pembagian antara mantra putih white magic yang
digunakan oleh jawara aliran putih dan mantra hitam black magic
perwakilan jawara aliran hitam. Sebenarnya sulit untuk diukur
dalam pengertian tidak ada pembeda secara nyata di antara
keduanya, karena sering terjadi penyimpangan tujuan dari mantra
putih ke mantra hitam tergantung kepada siapa dan bagaimana
akibat yang ditimbulkan oleh magic tersebut. Meskipun demikian,
dapat dibedakan jika jawara aliran hitam sepenuhnya
menggunakan elmu rawayan. Pada umumnya sebagian jawara
Banten, mecampur adukan eklektik terhadap kedua sumber magis
tersebut. Sehingga dapat dijumpai praktek-praktek magis yang
diawali dengan pembacaan dua kalimah syahadat atau ayat-ayat
suci al-Quran kemudian dibarengi dengan membaca mantra-
mantra sejenis jangjawokan.
Perkembangan Jawara sendiri mengalami perubahan dari waktu
ke waktu, pada masa awal Jawara disegani karena dianggap sebagai
pembela kaum lemah selanjutnya Jawara dikonotasikan negative “jalma
wani rampog” (orang yang berani merampok). Kemudian citra ini terus

29
Ada yang berpendapat, bahwa kata “Rawayan” sendiri adalah
sebutan bagi masyarakat suku Baduy pedalaman. Suku baduy sendiri adalah
penduduk asli Banten, mayoritas dari mereka memeluk kepercayaan Animisme
dan Dinamisme, serta memegang teguh tradisi dari para leluhur mereka. Ilmu
Rawayan sendiri telah dipraktekan jauh sebelum datangnya Islam, dan
merupakan tradisi pra Islam. Wawancara dengan H. Isnan, Tokoh masyarakat
desa kanekes (Baduy luar), Rangkas, Juli 2010.

30
terbawa hingga abad ke 20 karena alas an-alasan tertentu. Selain itu
Jawara terbagi menjadi dua bagian Jawara ilmu putih dan Jawara ilmu
hitam. 30

Saat ini peranan penguasaan politik di Banten tidak dapat


dipisahkan dari kelompok Jawara, kelompok elit lokal (Jawara) ini
masih berpengaruh di dalam menentukan orientasi politik masyarakat di
provinsi ujung bagian barat pulau ini. Terdapat pergeseran dan
mobilitas sosial yang cukup cepat dalam kelompok Jawara. Jika dahulu
peranan tradisional yang sering dimainkan para Jawara hanya sebatas
menjadi jaro, guru silat dan satuan–satuan pengamanan. 31 Maka
berbeda pada masa ini terjadi pergeseran nilai dalam kelompok Jawara
itu sendiri, mereka adalah elit masyarakat karena di antara mereka ada
yang menyibukan diri di bidang ekonomi sebagai pengusaha, ada yang
mendalami ilmu agama sebagai Kiyai dan ada yang mengabdikan diri
ke dunia politik sebagai birokrat.

Pengelompokan kepemimpinan di dalam tubuh kelompok


Jawara sendiri menunjukan adanya pengikut ataupun anak buah
yang mengakui pimpinannya masing-masing. Pada setiap daerah
di Banten khususnya daerah Serang, dapat ditemui perguruan-
perguruan persilatan disamping mengajarkan aliran persilatan,
juga mengajarkan kemampuan olah batin yang dijadikan sarana
untuk memperoleh beberapa jenis kemampuan, di antaranya ilmu
kekebalan. Dapat dikatakan bahwa ilmu olah batin dan ilmu
kekebalan masih banyak diminati oleh masyarakat Banten. Di
dalam komunitas perguruan persilatan inilah kelompok Jawara
terorganisir dalam sebuah kepemimpinan.

30
Nina H Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama,
dan Jawara...,128.
31
Salah satu yang menjadi menarik di dalam masyarakat banten,
adalah peranan para Jawara sebagai satuan pengamanan. Jika di daerah-daerah
lain di Indonesia Polisi dan TNI memiliki peranan signifikan dalam masalah
pengamana hajatan akbar, pentas, pemilu dan sebagainya, maka yang terjadi di
Banten adalah para Jawara lah yang mengambil alih pengamanan tersebut,
seperti halnya ketika rapat sidang pemilihan Gubernur Banten untuk
pertamakali. Selain itu pola pemikiran mayarakat Banten lebih memercayai
para Jawara.

31
Setiap pemimpin diakui pengikutnya baik itu Jawara
kelompok pengusaha, Kiyai ataupun politisi. Meski
pengelompokan pemimpin dan pengikut tersegmentasi, tetapi
tetap ada garis koordinasi yang sangat kuat antar Jawara karena
mereka tergabung dalam sebuah organisasi bernama Persatuan
Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia
(PPPSBBI) yang didirikan pada tahun 1973. Ikatan inilah yang
menjadi pemersatu para Jawara, perlu diketahui bahwa ikatan
emosional kelompok Jawara sangat erat sekali antara guru dengan
murid, antara beda perguruan yang memunculkan istilah satu guru
satu elmu. 32 Ikatan tersebut merupakan ikatan emosional
kekeluargaan di dalam kelompok Jawara, sehingga memunculkan
rasa as’abiah 33 dan solidaritas tinggi antar Jawara, sehingga
mempermudah mereka dalam gerak politik.

Masa Orde Baru merupakan era merekonstruksi peranan dan


pemberdayaan Jawara. Pada masa inilah kelompok Jawara dirangkul
dan dikooptasi oleh para penguasa, hal ini ditandai dengan dimasukanya
kelompok Jawara kedalam organisasi Satuan Karya (Satkar) Ulama
pada tahun 1970, yang mana saat itu menjadi mesin politik Golkar.
Penyatuan Jawara dalam satu payung organisasi tersebut kemungkinan
mempunyai latar belakang politis. Semenjak itu peran Jawara sangat
signifikan di Banten, terutama dalam mendukung perolehan suara
Golkar, dan melaksanakan program pembangunan lokal pada masa
pemerintahan Orde Baru. Politik akomodasi dan kooptasi yang
dilakukan oleh Orde Baru terhadap entitas Jawara, membawa kelompok
tersebut kestrata sosial yang lebih atas dan mengalami mobilitas vertikal
secara drastis.

32
Istilah ”satu guru satu elmu” dalam masyarakat Banten, merupakan
jargon bagi para pendekar/Jawara Banten, yang memiliki makna ikatan
persaudaraan yang kuat dan tidak boleh saling mengganggu antara perguruan
satu dengan perguruan yang lainya.
33
Hubungan emosional yang erat antara Jawara memunculkan rasa
solidaritas yang tinggi terhadap kelompok mereka, hal tersebut memunculkan
as’abiah ataupun fanatisme kesukuan yang di kemukakan oleh Ibn Kahaldun
dalam Muqaddimahnya tentang teori as{a>bi’ah dalam kekuasan. Lihat, Ibn
Khaldun, Muqaddimah Ibn Khald}u>n, terj, Ahmadie Toha (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1986), 156-161.

32
Kekuasaan sendiri adalah kemungkinan seorang pelaku
mewujudkan keinginannya di dalam suatu hubungan sosial yang ada,
termasuk dengan kekuatan. 34 Pada masa Orde Baru posisi Jawara
berhasil ditempatkan dan diberdayakan sebagai kelompok yang
tergantung pada pemerintah dan mesin politiknya, dilain hal kelompok
inipun diberi peran peran ekonomi yang setrategis di Banten. 35 Oleh
karena itu perannya bergeser menjadi sebuah kekuatan ekonomi yang
penting dan patron bagi pengusaha-pengusaha lokal.

Kini peranan Jawara dalam masyarakat Banten semakin penting


setelah Banten menjadi Provinsi sendiri. Peranan Jawara tidak hanya
mendominasi dalam aspek budaya dan ekonomi bahkan masuk kedalam
ranah politik lokal. Tumbuh dan berkembangnya elit lokal informal
leader disuatu wilayah, merupakan akibat dari terjadinya pelapukan
fungsi dari institusi formal Negara. Hal ini dapat dapat dilihat dari
gejala perubahan yang dialami oleh informal leader, di tengah
perubahan sosial dan politik di suatu Negara. Dominasi politik dan
ekonomi di Banten telah dikuasai oleh para elit lokal (Jawara), dan
lembaga pemerintah baik eksekutif maupun legeslatif tersandera oleh
kepentingan elit (Jawara) tersebut. Selain itu, elit lokal tersebut sampai
kini masih tetap berpengaruh dalam menentukan orientasi politik
masyarakat Banten.

Permasalahan

34
Roderick Martin, Sosiologi Kekuasaan (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1993), 70-71.
35
Kelompok Jawara yang berperan dalam bidang ekonomi ini sering
di sebut dengan kelompok Jawara pasar yang di pimpin oleh H.Chasan Sohib,
beliaulah tokoh pemimpin Jawara Banten yang paling di segani dan memimpin
organisasi PPPSBBI. Bahkan bukan hanya aspek ekonomi saja yang dikuasai
melainkan aspek politik dan pemerintahan dikuasai oleh mereka, hal ini
ditandai dengan menangnya Atut Chociah sebagai Gubernur Banten pada
pilkada Banten tahun 2006, Atut Chochiah sendiri adalah putri dari H.Chasan
Sohib, dan baru-baru ini Andika Hazyrumi (putra Atut Chochiah) terpilih
sebagai anggota DPD Banten dalam pemilu 2009 kemarin. Mereka inilah yang
dikenal sebagai dinasti Jawara Chasan Sohib, nampak jelas disana terdapat
berganing politik kelompok Jawara pasar di Banten.

33
Permasalahan pokok yang dibahas dalam penelitian ini ialah
bagaimana keberadaan eksistensi Jawara secara historis, kehidupan
sosial dan budaya mereka, kedudukan dan peranan Jawara dalam
masyarakat lokal, kapan mulai diberdayakannya Jawara, pola hubungan
ulama dan Jawara baik dari aspek sosial dan kultural, serta bagaimana
hubungan mereka sebagai elit sosial dalam masyarakat Banten dengan
Pemerintahan lokal saat ini.

Sebagai sebuah kelompok yang bersumber dari tradisi (lokal),


komunitas Jawara mencerminkan budaya yang berbeda dari daerah-
daerah lain di Indonesia. Dahulu peranan tradisional yang sering
dimainkan para Jawara hanya sebatas menjadi jaro, guru silat dan
satuan–satuan pengamanan, saat ini bergeser kearah level yang lebih
atas, bahkan membentuk organisasi (yang mencerminkan budaya
modern). Kelompok jawara memiliki kesekertariatan keanggotaan yang
terstruktur dan terorganisir secara rapih, dan memiliki hubungan yang
intens dengan pemerintahan setempat.

Penelitian Terdahulu

Karya tulis ataupun penelitian mengenai Banten, baik dari aspek


kajian historis, budaya antropologi, dan kajian sosial maupun aspek
politik, telah dilakukan oleh beberapa kalangan akademisi baik dalam
negeri maupun luar negeri, bahkan kajian tersebut terkesan
terfragmentasi dalam aspek historis. Oleh karena itu tidak heran jika
kita menemukan adanya disparitas dalam penulisan tentang sejarah
Banten itu sendiri.

Andi Rahman Alamsyah, Islam, Jawara dan Demokrasi, Geliat


Politik Banten Pasca Orde Baru. 36 Dalam karyanya, menjelaskan
tentang pengaruh dan dominasi kelompok Jawara dalam aspek
kehidupan sosial, ekonomi dan politik di Banten. kelompok Jawara

36
Andi Rahman Alamsyah, Islam, Jawara dan Demokrasi, Geliat
Politik Banten Pasca Orde Baru (Jakarta: Dian Rakyat, 2009).

34
memiliki peranan signifikan dalam percaturan politik di Banten,
khususnya pada masa Reformasi, pasca runtuhnya Orde Baru dan
Banten menjadi provinsi tersendiri. Jawara yang lekat dengan kultur
Islam tradisional dan berfungsi sebagai pemimpin tradisional informal
leader, digambarkan sebagai bayang-bayang yang membelut demokrasi
politik di Banten.

Sedangkan dalam penelitian tentang Banten bidang antropologi


terdapat Tihami, dengan karyanya yang berjudul, “Kiyai dan Jawara
Banten : Studi Tentang Agama, Magi dan Kepemimpinan Di Desa
Pesanggrahan Serang Banten”. Tesis, Antropologi UI. Jakarta, 1992.
Menjelaskan definisi dari Kiyai dan Jawara itu sendiri dalam konteks
lokal, bahkan kedua kelompok ini merupakan kelompok elit masyarakat
Banten, yang memiliki kekuasaan informal dengan kharisma dan
kekuatan magis yang mereka miliki. Berbeda halnya Kartodirdjo yang
medefinisikan Jawara sebagai suatu yang negative, tetapi walau
bagaimanapun pada masa tersebut kekuasaan Jawara tetap berada di
bawah ulama. Sedangkan Tihami berpendapat Jawara merupakan murid
dari Kiyai dan terdapat hubungan simbiosis mutualisme antara
keduanya. 37

Dari aspek politik, terdapat William Reno, dalam Corruption and


State Politics in Sierra Leone yang memiliki kesimpulan bahwa
intervensi kebijakan oleh suatu elit terhadap pemerintahan formal
mengisyaratkan bahwa praktek informal market telah terjadi, bersamaan
dengan lemahnya peran pemerintah itu sendiri, atau yang kemudian
disebut sebagai shadow state. Hal ini lah yang terjadi di Banten, Jawara
sebagai elit lokal informal leader mendominasi segala aspek kehidupan
masyarakat, baik itu politik maupun ekonomi. Praktek shadow state
yang terjadi di Banten diperankan oleh para Jawara, hal tersebut terjadi
dikarenakan absennya negara dalam menangani para elit lokal tersebut.

37
MA Tihami, “Kiyai dan Jawara di Banten, Studi tentang Agama,
Magi, dan Kepemimpinan di desa Pesanggrahan Serang, Banten” (Jakarta:
Tesis, Universitas Indonesia, 1992).

35
Sedangkan Menurut Nina Lubis dalam karyanya, Banten Dalam
Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, dan Jawara. Adapun sejarah awal
munculnya Jawara terjadi pada abad ke 19, pasca dihapusnya
pemerintahan Kesultanan Banten oleh Dandles. Perkembangan Jawara
sendiri mengalami perubahan dari waktu ke waktu, pada masa awal
Jawara disegani karena dianggap sebagai pembela kaum lemah
selanjutnya Jawara dikonotasikan negative “jalma wani rampog” (orang
yang berani merampok). Kemudian citra ini terus terbawa hingga abad
ke 20 karena alas an-alasan tertentu. Selain itu Jawara terbagi menjadi
dua bagian Jawara ilmu putih dan Jawara ilmu hitam. 38

BAB II
AKAR BUDAYA KEKERASAN JAWARA
Banten merupakan daerah yang unik dengan tradisi dan
kultur budaya lokalnya. Kultur budaya Banten yang sangat erat
dengan nilai-niai budaya Islam, dan telah menciptakan budayanya
tersendiri. Salah satu komunitas yang merupakan produk dari
kultur masyarakat Banten adalah, jawara Banten. Jawara Banten
merupakan sosok fenomenal dalam tataran masyarakat lokal.
Bahkan lebih dari itu komunitas ini dianggap sebagai elit yang
menembus batas-batas sosial. 39 Sebagai elit, peranan jawara
dianggap signifikan dalam aspek kehidupan masyarakat Banten.
Pada Bab ini penulis, akan membahas tentang akar-akar
kekerasan dalam budaya jawara. Dimulai dari pergumulan sejarah
singkat kekerasan yang terjadi di Banten. Akar budaya kekerasan
dalam kelompok jawara ini muncul yang salah satunya diperoleh
dari dunia pesantren, dan padepokan paguron. Dimana para

38
Nina H lubis Banten Dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama,
dan Jawara. (Jakarta: LP3S, 2003).
39
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. (Jakarrta:
Pustaka Jaya, 1984), 83.

36
jawara mempelajari praktek-praktek ilmu magis, kesaktian, ziyad,
kebal dan lain sebagainya. Selain itu, akan dijelaskan kemunculan
praktek magis dalam dunia pesantren dan paguron padepokan di
Banten. Salah satu akar kekerasan yang terjadi dalam budaya
jawara Banten dan masyarakat pada umumnya, adalah fenomena
teluh dan tenung. Sihir Teluh dan tenung yang berkembang di
Masyarakat, merupakan salah satu representasi dari ilmu hitam di
Banten, akar budaya kekerasan ini pun akan dijelaskan dalam bab
ini.

A. Sejarah Singkat Kekerasan di Banten


Banten merupakan salah satu daerah yang cukup dikenal,
bukan hanya tempat pariwisata pantai anyer, suku Baduy ataupun
badak bercula satu yang menjadi land mark andalan pariwisata
provinsi ini. Lebih dari itu Banten dikenal karena budaya
masyarakat lokal yang unik dan berbeda dari daerah lainnya,
walaupun setiap suku masyarakat yang mendiami daerah-daerah
lain di Indonesia memiliki kutur budaya mereka tersendiri.
Identitas budaya masyarakat lokal inilah yang disebut Ali Fadillah
sebagai kearifan lokal, disinilah nilai-nilai budaya, tradisi, adat
istiadat yang bersumber dari ascriptive ataupun atavistic selalu
dipegang oleh masyarakat Banten di dalam melestarikan dan
menjaga kebudayaan mereka. 40
Secara geografis Banten sendiri salah satu provinsi yang
terletak di ujung barat pulau Jawa Indonesia, di sebelah barat
provinsi ini langsung menghadap ke selat sunda, di sebelah timur
berbatasan dengan provinsi DKI Jakarta, di sebelah utara ia
berbatasan dengan laut jawa, di sebelah selatan provinsi ini
langsung menghadap ke laut pasifik. Dari segi letak geografis
provinsi ini memegang peranan perekonomian yang cukup

40
Persoalan selanjutnya adalah kultur identitas lokal Banten sendiri
kerapkali hanya dijadikan symbol bagi segelintir elit, dalam meraih
kepentingan pribadi maupun kelompok. Lihat Ali Fadillah, Identitas Banten:
Reposisi Nilai Budaya Dalam Modernitas, dalam Banten Melangkah Menuju
Kemandirian , Kemajuan dan Kesejahteraan, editor Agus Sutisna (Banten:
Biro Humas Provinsi Banten, 2005),73.

37
strategis, provinsi ini sendiri merupakan jalur transit yang
menghubungkan pulau Jawa dengan pulau Sumatera, sekaligus
menjadi wilayah alternative dan wilayah penyangga hinterland
bagi DKI Jakarta, dan memiliki bandara udara internasional
(Soekarno-Hatta) sebagai jalur akses dunia luar. Berdasarkan
hasil sensus penduduk tahun 2000 penduduk Banten berjumlah
8.096.809 jiwa, dan pada tahun 2003 meningkat 8.956.229 jiwa,
dengan komposisi 4.563.563 jiwa laki-laki dan 4.392.666 jiwa
perempuan. Sebagian besar penduduk Banten berpendidikan
rendah, khususnya yang terletak di wilayah serang, lebak dan
pandeglang.
Masyarakat Banten dimata orang luar dikenal dengan
daerah yang keras, baik dari gaya bicaranya, bahasanya, dan
tindakannya. Sehingga menimbulkan image bahwa tindakan
kekerasan seolah-olah telah melekat dalam kehidupan
masyarakatnya. Untuk memahami kondisi sosial dan budaya
kekerasan pada masyarakat Banten tersebut, dapat dilihat dari
aspek historis dimana peristiwa-peristiwa kekerasan telah
terkonstruk pada masa awal berdirinya Kesultanan Banten. Jika
dilihat dari aspek sosial dan budaya, Banten dikenal dengan salah
satu daerah berbasis Islam tradisionalis dan fanatik di kepulauan
Jawa. Maka tak heran jika ketika seseorang membicarakan
Banten, ia akan berasumsi bahwa daerah ini adalah daearah para
Kiayi, Jawara, magis dan debus. Pandangan ini sendiri muncul
lantaran kuatnya Islam mengakar dalam setiap aspek kehidupan
masyarakatnya, baik secara taradisi, kultur dan Budaya. Selain itu
Banten juga dikenal dengan tingkat religiusitas masyarakatnya
yang cukup tinggi. 41 Identitas budaya tradisi masyarakat Banten
inilah yang lebih dikenal luas oleh sebagian masyarakat
Indonesia, baik masyarakat awam maupun akademik. Selain itu

41
Bruinessen menyimpulkan bahwa masyarakat Banten memiliki
tingkat religiusitas yang tinggi berdasarkan faktor historis, diantaranya, Banten
merupakan bekas wilayah Kesultanan Islam,kiyai berperan sebagai elit
masyarakat lokal dan memiliki peran signifikan, kultur dan budaya Banten
diwarnai oleh nili-nilai ajaran Islam dan lain sebagainya. Lihat Martin Van
Bruinessen, Shari’a court, Tarekat and Pesantren : Religius Istitutions in The
Banten (Paris: Archipel, 1995),168.

38
kultur dan budaya lokal Banten dianggap memiliki nilai jual
marketable dikalangan para peneliti ataupun dunia pariwisata.
Daerah Banten pada masa awal merupakan sebuah daerah
terpencil yang diapit oleh berbagai sungai diantaranya, CiBanten,
Cisadane, dan Cidurian. Sejarah Banten sendiri lebih dikenal
ketika penetrasi Islam masuk ke wilayah ini dan membentuk
sebuah sistem pemerintahan yang berbentuk kerajaan oligarki.
Pada abad ke-16 M Islam telah menyebar di wilayah ini sampai
kepada puncaknya yang diatandai dengan berdirinya kesultanan
Banten Girang pada tahun 1525 M. Adapun tentang keberadaan
ataupun masukknya Islam di Banten, sekitar tahun 1512 M telah
di temukan komunitas Islam di daerah Cimanuk kota pelabuhan
dan batas kerajaan Sunda Hindu dengan Cirebon. Hal ini berarti
menunjukan bahwa pada abad 15 M di wilayah kerajaan Sunda
Hindu Padjajaran telah terdapat masyarakat yang memeluk
Islam. 42
Penetrasi Islam di wilayah ini mulai menyebar secara
signifikan ketika datangnya Syarif Hidayatulah (Sunan Gunung
Djati) dan putranya pangeran Sabakingking (Maulana
Hasanuddin) yang mulai menyebarkan Islam di wilayah ini.
Dalam proses menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk
pribumi, Maulana Hasanuddin mempergunakan cara-cara yang
lebih dikenal oleh masyarakat setempat yakni dengan mengadu
kesaktian. Dengan metode seperti inilah Maulana Hasanuddin
berhasil menaklukan Pucuk Umun yakni punggawa dari
Padjajaran beserta 800 ajar melalui adu kesaktian, dan bersedia
memeluk agama Islam dan menjadi pengikut Hasanuddin.
Dengan takluknya Pucuk Umun terhadap Hasanuddin, hal ini
telah menandakan berakhirnya masa kekuasaan Kerajaan Sunda
Hindu Padjajaran atas wilayah Banten. 43
Sekitar tahun 1525 M. wilayah Banten secara teritorial
dapat dikuasai penuh oleh pasukan Sultan Maulana Hasanuddin,
yang kemudian lebih dikenal dengan gelar Panembahan

42
Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu
Banten (Serang: Saudara Serang, 1993), 50.
43
Else Ensering, Banten in Times of Revolutions (Paris:
Archipel,1995),131-132.

39
Surosowan. Dengan berdirinya kesultanan Islam di wilayah
Banten, telah menandai peralihan kekuasaan dari penguasa Hindu
saat itu, yaitu Pucuk Umun kepada Sultan Maulana Hasanuddin
sebagai penguasa dengan pemerintahan Islam yang berkedudukan
di Cirebon. Banten Girang pada saat itu menjadi pusat kegiatan
pemerintahan Kesultanan Banten, tetapi atas intruksi dari Sunan
Gunung Djati pusat Ibu Kota pemerintahan Kesultanan Banten di
pindahkan dari Banten Girang menuju teluk Banten (1526-1820
M) yang kemudian disebut Surosowan. Daerah ini menjadi pusat
kegiatan Kesultanan Banten, kerajaan yang bercorak Islam
terbesar di ujung barat pantai utara pulau Jawa, selama kurang
lebih empat abad 16-19 M.
Setidaknya tercatat 19 orang Sultan yang pernah memimpin
Kesultanan Islam terbesar di ujung barat pulau Jawa ini.
Walaupun kerajaan ini berlandaskan Islam, asas kerukunan
toleransi dan pluralisme beragama terbuka bagi masyarakat.
Kesultanan Banten merupakan kesultanan yang egaliter dan
terbuka bagi semua golongan dan agama, setidaknya sampai saat
ini kita dapat melihat klenteng Tionghoa yang didirikan pada
masa Sunan Gunung Djati sampai saat ini masih terawat dengan
baik dan menjadi situs cagar budaya nasional. Kejayaan
Kesultanan Banten tetap terus bertahan setelah Sultan Maulana
Hasanuddin wafat (1570 M). Adapun para Sultan yang
menggantikan beliau seperti halnya; Maulana Yusuf (1570-1580
M), Maulana Muhammad (1580-1596 M), sampai kepada Sultan
Ageng Tirtayasa (1651-1672 M), berhasil mempertahankan
kejayaan dan terus berusaha memperluas wilayah teritorial
Kesultanan Islam Banten.
Pada masa kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa wilayah
Kerajaan Kesultanan Banten terus meluas dengan mengadakan
invasi dan menguasai beberapa daerah meliputi; Jayakarta
(Jakarta), Bogor, Karawang sampai ke daerah Lampung. Bahkan
pada masa kekuasaan Sultan Maulana Yusuf, kekuasaan Kerajaan
Sunda Padjajaran telah berhasil ditaklukan, sehingga kekuasaan
Kesultanan Banten telah menguasai sepenuhnya Ibu Kota

40
Kerajaan Padjajaran. 44 Meskipun Kesultanan Banten sedang
berada pada masa puncak kejayaan, tak berarti Kesultanan ini
bebas dari konflik-konflik, baik internal maupun eksternal. Pada
masa kekuasan Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir
(1596-1651 M) konflik internal pernah dialami oleh Kesultanan
Banten pada saat itu, bahkan Kesultanan ini sempat goyah karena
adanya persaingan internal antara sesama pangeran keturunan
Sultan yang ingin berkuasa dengan memperebutkan tahta. Pada
saat situasi seperti inilah kapal-kapal dagang Belanda Vereenigde
Oost Indische Compagnie (VOC) mulai berdatangan di kawasan
wilayah perairan Nusantara, termasuk wilayah Banten dan sempat
berhasil menguasai wilayah Jayakarta (Batavia).
Kesultanan Banten merupakan Kerajaan yang berlandaskan
asas syariat Islam, secara otomatis perkembangan Islam pada
masa ini berkembang pesat. Perkembangan Islam yang signifikan
pada masa ini diperoleh dengan dukungan politik pemerintah
yang berkuasa saat itu. Seperti halnya menurut Thomas Aquinas,
agama rakyat menuruti agama raja (penguasanya). 45 Teori seperti
ini nampaknya berlaku pada masyarakat Banten pada masa
tersebut. Perkembangan pesat tersebut ditandai dengan tumbuh
dan bermunculanya kelompok tarekat-tarekat, pesantren-
pesantren di pedesaan-pedesaan di wilayah Banten, serta kultur
masyarakat yang memegang teguh agama dan tradisi budaya
mereka. Sebagai Kerajaan Kesultanan Islam (Banten) tentunya
posisi Ulama ataupun Kiyai memiliki peran yang signifikan, dan
menduduki struktur sosial teratas setelah Sultan dalam
masyarakat Banten. Para Kiyai merupakan perpanjangan tangan
dari Sultan dalam proses Islamisasi di pedesaan-pedesaan, bahkan
peran Kiyai lebih dari sekedar orang kepercayaan Sultan, mereka
menjadi guru spiritual para Sultan dan memberikan masukan serta
restu. Sebagai sosok tokoh agama islam, para kiyai memiliki
kewajaiban untuk memberikan nasehat-nasehat Mau’izatul
44
Ota Atsushi, Change of Regim and Social Dynamic in West Java,
Society, State, and the Outer World of Banten 1750-1830 (Leiden Netherland:
Brill, 2006), 5.
45
Teori ini dikenal dengan teori teokratis, dimana negara dibentu oleh
Tuhan dan pemimpin negara ditunjuk oleh Tuhan. Thomas Aquinas merupakan
salah satu pengusung teori ini. Lihat, F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik
(Bandung: Bina Cipta, 1980), 152-153.

41
hasanah lil mu’minin baik terhadap Sultan maupun masyarakat
Banten pada umumnya. 46
Dengan mulai berdatanganya kapal-kapal dagang Belanda
yang berlabuh di wilayah Jawa dan pelabuhan Karangantu,
Kesultanan Banten secara bertahap mengalami fase kemunduran.
Perusahaan dagang Belanda Vereenigde Oost Indische
Compagnie (VOC) yang kemudian mendirikan markas besarnya
di pantai utara Jayakarta berusaha melakukan monopoli
perdagangan dengan berbagai cara. Masuknya Belanda dalam
teritori Banten mengancam stabilitas keamanan dan
perekonomian Kesultanan Banten, Sultan Ageng Tirtayasa yang
berkuasa pada masa itu (1651-1672 M) telah melakukan beberapa
kali konfrontasi penyerangan secara langsung ke Batavia, namun
selalu mengalami kegagalan. Bahkan sebaliknya pihak kolonial
Belanda dapat mematahkan penyerangan pasukan Sultan Ageng
Tirtayasa dan menjebloskanya ke dalam penjara. Salah satu taktik
yang digunakan Belanda dalam menangkap Sultan Ageng
Tirtayasa, adalah dengan menggunakan taktik adu domba devide
et impera antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan anaknya Sultan
Haji. Dengan taktik tersebut Belanda berhasil menguasai wilayah
Banten. 47
Pada tahun 1808 M, atas instruksi dari Dandels Keraton
Surosowan Kesultanan Banten dihancurkan oleh penguasa
kolonial Belanda. Banten dijadikan wilayah keresidenan dan
Serang menjadi regentschap di bawah struktur pemerintahan
Hindia Belanda. Pusat pemerintahan Kesultanan Banten yang
dahulu terletak di Surosowan di pindahkan ke Keraton Kaibon.
Pada masa ini dapat dikatakan Kesultanan tidak memiliki
kekuasan dalam memerintah, dan menentukan kebijakan.
Dihapus dan berakhirnya Kesultanan Banten pada tahun
1816 M. berakibat kepada hancur dan ambruknya tatanan sosial
masyarakat. Selain itu tekanan pemerintah kolonial Belanda
terhadap masyarakat pribumi semakin besar, sehingga

46
Syeikh Muhammad Jamaluddin Qosim Addimsyiq, Mau’iz}atul
Mu’mini>n min ihya’ulumuddin (Beirut: Darunnafais, 1981), 40.
47
Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu
Banten (Serang: Saudara Serang, 1993),151-152.

42
menimbulkan perilaku kriminal di dalam kalangan pribumi.48
Tidak hanya perilaku kriminal dan perampokan saja yang terjadi
di masyarakat, lebih dari itu konflik antara pemerintah kolonial
Belanda berakibat kepada pemberontakan-pemberontakan yang
dipimpin oleh tokoh masyarakat khususnya Kiyai. Aneksasi
Kesultanan Banten oleh Deandles tersebut menimbulkan
kebencian masyrakat terhadap pemerintah kolonial. Ingatan
masyarakat Banten tentang kejayaan Banten masa dahulu tetap
hidup dalam pikiran masyarakat, oleh karena itu perlawanan
rakyat terhadap pihak kolonial Belanda tidak pernah padam.
Hampir setiap dasa warsa terjadi pemberontakan rakyat yang
menuntut kebebasan dan dikembalikannya kekuasaan Kesultanan
Banten.
Selain itu Kiyai memandang hina kekuasaan pemerintah
kolonial karena mereka dipandang sebagai orang kafir yang telah
merebut kekuasaan dari tangan umat muslim. Lebih dari itu
kebebasan beragama pun di batasi oleh pihak kolonial, pelarang
ibadah Haji menuju ke Mekah bagi warga Banten. 49 Intervensi
pihak kolonial Belanda terhadap aspek agama, ditenggarai
menambah memperkeruh keadaan politik di Banten.
Dengan kedudukan Kiyai sebagai tokoh pemimpin
masyarakat, para kiyai memiliki peranan penting dalam
melangsungkan pemberontakan. Dukungan penuh mengalir dari
elit-elit sosial lainya, antara lain para Jawara, dan para bangsawan
yang bersama-sama melakukan pemberontakan. Setidaknya
tercatat lebih dari 6 kali pemberontakan besar yang terjadi di
Banten, mulai dari perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa,
pemberontakan pandeglang (1811 M) peristiwa geger Cilegon

48
Ota Atsushi, Change of Regim and Social Dynamic in West Java,
Society, State, and the Outer World of Banten 1750-1830 (Leiden Netherland:
Brill, 2006),153.
49
Penyebab terjadinya pelarang besar-besaran bagi warga Banten
untuk melakukan ziarah ibadah Haji ke Mekah, dikarenakan sebagian para
penziarah melakukan hubungan jaringan dengan para pemberontak Banten di
Mekah. Seperti halnya Syekh Nawawi Al Bantani yang bermukim di Mekah
yang terus memberikan dukungan spirit dan perintah jihad untuk melawan
kolonial Belanda. Dampak ini membawa penyebaran ideology untuk
melakukan pemberontakan terhadap pihak kolonial. Ideology inilah yang di
bawa oleh para penziarah Haji selepas pulang dari Mekah.

43
atau yang lebih dikenal dengan pemberontakan petani Banten
(1888 M), Cikande Udik (1845 M), peristiwa Kolelet (1866 M),
pemberontakan Wakhia (1850 M), sampai kepada pemberontakan
komunis di Banten (1926 M).
Sejarah kekerasan di Banten pun tidak selesai sampai disitu,
pada tahun 1926 terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh
pimpinan dan anggota Partai Komunis Indonesia wilayah Banten.
Pemberontakan tersebut tidak hanya melibatkan kelompok jawara
tetapi juga mendapat dukungan dari kelompok Kiyai Banten.
akibat dari peristiwa pemberontakan tersebut, banyak dari tokoh-
tokoh Kiyai dan jawara Banten ditangkap dan diasingkan ke
Boven Digul. Berbagai macam pemberontakan-pemberontakan
yang terjadi di atas, secara tidak langsung telah merekonstruk
budaya kekerasan pada masyarakat Banten dan telah membentuk
budaya Banten sebagai pribadi watak yang kasar dan keras.
Pasca kemerdekaan Indonesia pada masa Orde Lama,
wilayah Banten tidak lepas dari berbagai tindakan bernuansa
kekerasan, dimana terjadi pergolakan politik dan tindakan
kekerasan. Konflik perebutan kekuasaan tersebut lebih dikenal
dengan penghianatan Dewan Rakyat. Peristiwa tersebut terjadi
pada tahun 1945 M, yang dipimpin oleh seorang tokoh Jawara Ce
Mamat, mereka menamakan gerakan mereka ini dengan sebuatan
Gulkut atau Laskar Gutgut. Adapaun anggota dari laskar ini
terdiri dari para Jawara. Sedangkan kegiatan mereka antara lain
mengintimidasi penduduk, merampas harta, membunuh penduduk
yang tidak sepaham, terutama keluarga pamong praja (pejabat
daerah). 50
Gerakan ini muncul karena ketidak sepakatan Dewan
Rakyat dengan KH. Ahmad Khatib selaku Residen Banten saat
itu, yang ingin hendak mengangkatan kembali pejabat lama pada
masa kolonial Belanda menjadi bawahannya (pamong praja).
Mereka menuntut agar Residen Banten membatalkan keputusan
tersebut, bahkan lebih dari itu Dewan Rakyat mengambil alih
kekuasaan di seluruh Keresidenan Banten. Melihat penculikan-
penculikan pejabat dan pembunuhan serta perampokan harta yang
terus dilakukan oleh laskar Gulkut (para Jawara). Maka KH.
Ahamad Khatib selaku Residen Banten menginstruksikan kepada

50
Else Ensering, Banten in Times of Revolutions..., 151.

44
KH. Syam’un selaku pimpinan tertinggi TKR (Tentara Keamanan
Rakyat) Banten, untuk menumpas pengkhianatan Dewan
Rakyat. 51
Perkembangan Banten yang tercatat dalam sejarah terjadi
pada masa Reformasi, yakni sebuah perjuangan rakyat Banten
yang ingin membentuk administrasi pemerintahan sendiri dan
memisahkan diri dari provinsi Jawa Barat. Perjuangan rakyat
tersebut membuahkan hasil dengan disahkannya Banten menjadi
sebuah Provinsi pada tanggal 17 oktober tahun 2000. Jauh
sebelum disahkanya Banten menjadi provinsi, sebenarnya pada
sekitar tahun 1967-1970an rakyat Banten telah memperjuangkan
agar Banten menjadi sebuah Provinsi lepas dari Jawa Barat,
namun ada beberapa hal yang menghalanginya terpaksa tertunda.
Tepat ketika runtuhnya Orde Baru peluang tersebut digunakan
oleh rakyat Banten terutama tokoh Jawara yang melibatkan diri
dalam proses pembentukan Provinsi Banten. Diantara tokoh-
tokoh yang terlibat tersebut anatara lain; H. Uwes Qorny, Hasan
Alydrus, Chassan Sohib, Tryana Syam’un dan para tokoh jawara
lainya. 52
Peristiwa kekerasan yang terjadi di Banten, tidak hanya
terlepas pada tataran aspek politik semata-mata. Aspek agama pun
turut memberikan kontribusi atas memacu terjadinya peristiwa-
peristiwa konflik kekerasan dalam kehidupan masyarakat Banten.
Sebut saja peristiwa pemberontakan-pemberontakan Geger
Cilegon, Cikande udik, Wakhia, adalah pemberontakan yang di
latar belakangi oleh sensitifitas agama, perlawanan tersebut atas
dorongan jihad terhadap kaum kafir Belanda. Peristiwa kekerasan
tidak hanya terhenti pada masa kemerdekaan dan revolusi, pada
masa reformasi pun konflik kekerasan terus terjadi. Bahkan baru-
baru ini peristiwa Cikeusik yang terjadi pada hari minggu 06
Februari 2011, 53 secara tidak langsung telah menegaskan bahwa

51
Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu
Banten..., 250-251. Lihat pula Else Ensering, Banten in Times Revolutions...,
153.
52
Agus Sutisna (edit), Mengenang Hikayat, Merajut Bersama
(Banten: Biro Humas Provinsi Banten, 2005), 8-11.
53
Kasus kekerasan yang terjadi di Cikeusik sempat menjadi headline
di media-media massa baik cetak maupun telivisi, setidaknya terdapat tiga
korban tewas pada peristiwa tersebut. Ketiga korban tersebut berasal dari

45
budaya kekerasan di Banten terus diwariskan. Konflik kekerasan
yang terjadi di Cikeusik Pandeglang Banten, merupakan konflik
agama. Antara masyarakat lokal yang menolak kehadiran
Ahmadiyah sebagai aliran sesat di Banten, khususnya Cikeusik
Pandeglang.

B. Konstruk Kekerasan

Sebagai salah satu produk kultur budaya masyarakat Banten,


jawara memiliki komunitas dan dunianya tersendiri. Walaupun
dalam kehidupan sosial masyarakat terdapat beberapa entitas
(ulama, Jawara, dan akademisi) yang mewarnai Banten, tetapi
tetap komunitas jawara dan ulama lebih dominan memiliki peran
signifikan dalam aspek kehidupan sosial masyarakat wong
Banten. Keperibadian jawara merupakan ciri khas wong Banten,
sebagaian besar masyarakat bangga akan ciri khas dan status
tersebut. Namun ada sebagian masyarakat yang menolak
pleabelan tersebut, bahkan beranggapan ciri khas tersebut sudah
tidak layak dalam era modern 54.

kalangan warga Ahmadiyah, antara lain Sumarno, Roni, dan Chandra. Konflik
kekerasan yang terjadi di Cikeusik disebabkan oleh faktor sekterian dalam
agama, dimana para warga menolak kehadiran Ahmadiyah dalam
lingkungannya. Terlebih lagi aliran Ahmadiyah dibawa dan disebarkan oleh
warga pendatang yang menetap di Cikeusik. Konflik kekerasan ini dapat
diartikulasikan sebagai konflik atas nama agama, walaupun perilaku anarkisme
itu sendiri tidak diajarkan dalam agama. Permasalahan diatas menggambarkan
bahwa perilaku kekerasan yang dipraktekan oleh warga Banten, telah
membudaya dan menjadi solusi dalam setiap pemecahan masalah sosial. Untuk
lebih jelas tentang peristiwa Cikeusik lihat, Surat Kabar Kompas, Jum’at 10
February, 2011.
54
Sebagian element masyarakat yang berkeberatan jika Banten di
lakatkan dengan jawara adalah, mereka yang menolak dominasi jawara dalam
dunia perpolitikan yang menguasai Banten. Budaya kekerasan yang melekat
dalam kehidupan jawara, ditengarai dijadikan insturemet dalam meraih
kekuasaan perpolitikan maupun ekonomi. Ketika berbicara jawara, maka citra
negatiflah yang terlekat dalam pikiran masyarakat wong Banten. Peneliti
mengadakan riset lapangan, dan wawancara dengan berbagai element
masyarakat, sebagian besar mereka terdiri dari para aktivis LSM, Mahasiswa
dan akademisi.

46
Sebagaimana telah disinggung diatas, bahwa Banten terkenal
dengan tingkat relegiusitasnya yang tinggi 55, dan dikenal dengan
dua model kepemimpinan informal leader yakni dengan hadirnya
eksistensi kiyai dan jawara. Ternyata eksistensi jawara dalam
panggung budaya masyarakat Banten memiliki akar sejarah yang
panjang. Pada masa awal perjuangan mereka (jawara) merupakan
bagian dari murid kiyai yang memiliki kemampuan ilmu
kanuragan. Namun dalam perkembanganya kemudian dimulai
pada masa Orde Baru, sebagian jawara melepaskan diri dari kiyai
dan membentuk aliansi kekuatan tersendiri.
Jawara sebagai salah satu entitas dari masyarakat wong
Banten, tidak hanya dikenal karena pengaruh kharismanya yang
melewati batas-batas geografis. Tetapi lebih dari itu, budaya
kekerasanpun melekat dalam aspek kehidupan mereka.
Karakter yang dimiliki jawara merupakan hasil suatu
rekonstruksi sosial yang ditanamkan melalui interaksi sosial.
Dalam interaksi tersebut terjadi penanaman dan pewarisan nilai-
nilai kejawaraan. Untuk menjadi seorang sosok jawara yang
disegani dibutuhkan latihan baik secara fisik maupun mental.
Jawara sebagai salah satu entitas dari masyarakat wong Banten,
tidak hanya dikenal karena pengaruh kharismanya yang melewati
batas-batas geografis. Tetapi lebih dari itu, budaya kekerasanpun
melekat dalam aspek kehidupan mereka. Oleh karena itu menurut
Atu karomah jawara dikenal sebagai subculture of violence 56

55
Tingginya tingkat relegiusitas masyarakat wong Banten, dilihat dari
berkembangnya pesatnya tarekat-tarekat yang diikuti oleh masyarakat, dan
pesantren yang ada di Banten. Selain itu, Banten merupakan bekas kerajaan
Islam nusantara, dimana para kiai berperan sebagai elit masyarakat lokal di
wilayah ini. Lihat Martin Van Bruinessen, Shari’a court, Tarekat and
Pesantren : Religius Istitutions in The Banten. (Paris: Archipel, 1995),172-174.
56
Subculture of violence atau budaya kekerasan, telah lama melekat
dalam kehidupan sehari-hari komunitas jawara, kultur tersebut terbentuk dari
rentetan sejarah masyarakat Banten yang lekat dengan pemberontakan pada
masa kolonial. Lihat, Atu Karomah, “Jawara dan Budaya Kekerasan Pada
Masyarakat Banten” (Depok: Tesis FISIP Universitas Indonesia, 2002), 106.
Lihat pula, Williams, Communism, Relegions, and Revolt in Banten (Ohio:
Ohio University Press, 1990). dan Kartodordjo, Pemberontakan Petani Banten
1888 (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984).

47
dalam masyarakat Banten. Lebih dari itu budaya kekerasanpun
telah menjadi kultur bagi sebagian wong Banten, tidak sedikit
permasalahan diselesaikan dengan bentuk kekerasan. Selain itu
jawara memiliki ciri khas dalam pergaulanya, seperti halnya
mengembangkan gaya bahasa yang terkesan kasar (sompral) dan
penampilan diri yang berbeda dari mayoritas masyarakat, seperti
berpakaian hitam dan memakai senjata golok yang
diselempangkan diikat pinggang mereka. Salah satu contoh
budaya kekerasan yang sering di ucapkan jawara antara lain:
“Naon dia ngadeleken aing Hah...., hente resep ka aing...(sambil
memelototkan matanya), kadek ku aing dia...... !(biasanya
tangangnya telah diayunkan kearah lawanya)” “kenapa meledek
ke saya hah....., tidak suka sama saya...., saya bacok kamu....!
Perkataan sompral (blak-blakan) kasar yang diucapkan oleh
para jawara, biasanya dilakukan dengan bukti praktek tindakan
dan tidak hanya gertakan ancaman. Ketika seorang jawara telah
mengatakan “ku aing kadek sia” saya bacok kamu...! maka golok
yang disarungnya telah diayunkan atau tertancap kearah
lawanya. 57 Selain itu kekerasan juga dipandang alat untuk meraih
posisi atau status sosial lebih tinggi sebagai seorang jawara yang
disegani dalam lingkungan komunitas mereka. Sehingga mereka
dapat menjadi pemimpin jawara Abah dan memiliki sejumlah
pengikut anak buah. Dengan posisi status sosial mereka sebagai
elit lokal, komunitas jawara dapat dengan mudah memperoleh
kedudukan formal dalam lingkungan pemerintahan ataupun
institusi, sepertihalnya menjadi jaro, lurah, bahkan dapat muncul
sebagai bupati, gubernur dan walikota.
Deskripsi gambaran jawara yang dikemukakan
dikemukakan diatas, bertumpu pada pemahaman konsep budaya
atau kebudayaan menurut Pasurdi Suparlan 58. Berdasarkan

57
Lain halnya dengan para jago-jago ataupun preman di daerah lain,
kebanyakan ketika mengucapkan kata-kata sompral hanya bernada gertakan
dan ancaman, tidak langsung dibarengi dengan tindakan.
58
Menurut Pasurdi Suparlan kebudayaan adalah, keseluruhan
pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial, yang dipergunakan untuk
menginterpretasi dan memahamilingkungan yang dihadapi, dan untuk

48
konsep tersebut bahwa, perilaku kekerasan merupakan hasil
interpretasi dan pemahaman pelakunya terhadap lingkungan yang
berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Konsep tentang
perilaku budaya yang dipengaruhi oleh lingkungannya, didukung
oleh pendapat Adolf Bastian 59, bahwa tiap-tiap kebudayaan
dibentuk kesatu arah yang ditentukan oleh lingkungan daerah
geografis. Dalam hal kasus yang terjadi di Banten ini, perilaku
kultur budaya jawara telah bercampur dengan masyarakat Banten
setempat. Sebagian besar masyarakat Banten, memiliki karakter
yang terbuka (blak-blakan), berani, keras dan tingkat
emosionalitas keprimordialan yang tinggi. Dari sisi letak
geografis daerah Banten dan lingkunganya, mendukung hal yang
demikian dalam proses pembentukan karakter wong Banten.
Perilaku kekerasan yang dilakukan jawara merupakan
sarana untuk mempertahankan harga diri mereka “konstruksi
maskulinitas”. Tak heran jika banyak dari kalangan jawara
memiliki lebih dari satu Istri. Berdasarkan penelitian dan
wawancara narasumber, salah satu konstruk maskulinitas yang
dipraktekan oleh para jawara, yakni dengan memiliki banyak
isteri. Biasanya dalam lingkungan jawara, istri selalu berjumlah
empat orang, isteri pertama dan kedua selalu dipertahankan, tidak
dicerai. Lain halnya dengan isteri ketiga dan keempat, kerap
berganti-ganti dan kawin cerai 60. Tetapi terkadang adapula, dari
sebagian kalangan jawara yang memiliki lebih dari empat istri,
bahkan sampai ada yang memiliki isteri sebelas sampai duapuluh
dua isteri 61. Para jawara acap kali sering melontarkan guyon,
“ncan jadi lalaki ari n’can nyandung mah” belum menjadi laki-
laki jika belum punya (madu) isteri lebih dari satu.

menciptakan serta mendorong terwujudnya kelakuan. Lihat Pasurdi Suparlan,


Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya. (Jakarta: Rajawali, 1984), 84.
59
Adolf Bastian merupakan tokoh antropolog aliran determinisme
geografis, dimana letak geografis suatu daerah menentukan kebudayan dalam
komunitas tersebut. Lihat C.H.M. Palm, Sejarah Antropologi Budaya.
(Bandung: Jemmars, 1980), 43.
60
Wawancara dengan Azwar, tokoh jawara dari kresek Tangerang,
April 2010.
61
Wawancara dengan Muhammad Hudaeri, akademisi dan peneliti
Banten, Juni 2010.

49
Kehidupan sosial dan budaya jawara yang dahulu erat
dengan ciri-ciri fisik, seperti halnya selalu membawa golok
kemana-mana, memakai peci dan pakaian serba hitam sudah tidak
dipergunakan lagi, kalaupun ada hanya sebatas upacara-upacara
ceremonial adat istiadat, seperti halnya pelantikan pejabat,
hajatan, dan kesenian Debus. Oleh sebab itu, telah terjadi
pergeseran arti tentang makna jawara saat ini. Adapun eksistensi
jawara yang ada saat ini, hanyalah dalam arti simbolik dengan
ciri-ciri mengandalkan keberanian, kekuatan fisik, terbuka (blak-
blakan), agresif, keras, dan tutur bahasa yang sompral. Jawara
sebagai element masyarakat wong Banten digambarkan sebagai
sosok yang disegani, ditakuti, orang yang pandai bersilat, orang
yang menyeramkan dan seorang sosok berilmu tinggi.
Perkembangan jawara pada masa sekarang cenderung
menjadi simbol kelompok orang yang berhasrat dalam peran-
peran kemasyarakatan dengan bermodalkan keberanian.
Dikalangan masyarakat saat ini, istilah jawara selalu
dikonotasikan negatif, seperti halnya menurut Nabila lubis jawara
disingkat menjadi Jalma Wani Rampog (orang yang berani
merampok). Padahal tidak selalu jawara dipandang negatif, justru
sebaliknya jawara dipandang sebagai pelindung rakyat. Menurut
Nanang, citra buruk jawara dimata masyarakat dibentuk oleh
pemerintah kolonial Belanda. Dalam hal ini ia mengatakan :

Jawara itu merupakan sosok yang disegani oleh masyarakat Banten,


dan mereka itu murid dari kiyai. Mereka itu pelindung rakyat, mereka
dipandang bandit, penjahat itu kata orang Belanda...! Justru
sebaliknya kalau kata wong Banten mereka itu pahlawan! Mereka
(jawara) itu orang yang bersih dan suci, karena ilmu kanuragan yang
mereka peroleh melalui proses ritual pembersiahan hati. Jawara
bersama kiyai saling bahu membahu melawan penjajahan Belanda,
para jawara mencuri dan menyabotase lahan milik penjajah lalu
dibagikan kepada rakyat-rakyat miskin..... Wajar kalau pihak
penjajah mendeskripsikan dan menggambarkan jawara dengan hal-
hal yang negatif. Kalau model kaya “H. S” dan yang ngaku-ngaku
jawara, mereka itu bukan jawara..! mereka itu cuma preman-preman
berdarah yang mengaku jawara... saya mesangsikan ko.. kalau
mereka memiliki ilmu brajamusti, ziyad, dan lain sebagainya. 62.

62
Wawancara dengan nara sumber, Nanang Tahqiq, pengamat,
akademisi dan tokoh pemuda Banten, September 2010.

50
Selain jawara dideskripsikan dengan perilaku-perilaku
negatif pada masa kini, disisi lain ada sebagaian aktiviatas sosial
positif yang dilakukan oleh para jawara. Lain halnya dengan
Nanang menurut Hudaeri, posisi jawara saaat ini digambarkan
sebagai Robin Hood (tokoh legendaris dari Inggris), mereka
merampok uang pemerintah. Sepertihalnya dengan tender proyek
yang selalu dimenangi oleh PT. Sinar Ciomas, walaupun terdapat
berbagai kecurangan dalam proses pitcing tersebut. Intimidasi,
ancaman, golok menjadi instrument kekerasan dalam proses
memenagkan tender proyek dari pemerintah. Tetapi hal demikian
untuk kepentingan rakyat, dan sebagian hasil dana tersebut
disumbangkan kepada rakyat miskin, yatim dan para janda 63.
Jawara kini lebih dimaknai sebagai kelompok masyarakat
atau orang-orang yang berperilaku sombong dan kurang taat
menjalankan perintah agama Islam atau melakukan sesuatu
dengan cara yang tidak baik dengan menggunakan instrumen
kekerasan dalam meraih tujuannya. Oleh karena itu menurut Lili
Romli, pada masa kini jawara lebih dikenal sebagai subkultur
kekerasan dalam masyarakat Banten. Selain itu jawara telah
mengembangkan kulturnya tersendiri, maka kiyai pun pada
akhirnya menjaga jarak dengan para jawara 64.
Untuk saat ini Jawara yang pure murni, yang bersih tidak
mudah untuk ditemukan. Jika dideskripsi ataupun
diperumpamakan, jawara ini seperti tokoh Musasi seorang
samurai Jepang yang tidak diketahui dan menutupi identitasnya
sebagai seorang samurai, tapi ketika ada hal yang dianggap
63
lain halnya dengan Nanang yang beranggapan H.S bukanlah
seoerang Jawara, Tihami dan Hudaeri beranggapan mereka tetaplah Jawara,
walaupun memang terdapat problematis bagaimana cara mendefinnisikan
jawara itu sendiri, karena jawara telah mengalami perkembangan dan
pergeseran nilai. Wawancara dengan Hudaeri, Peneliti dan akademisi Banten.
Juni 2010.
64
Dari hasil risetnya, Lili mengemukakan bahwa tejadi degradasi nilai
dalam kultur budaya jawara , bersamaan dengan itu posisi jawara mengalami
pelonjakan hirarki sosial secara vertikal dimata masyarakat Banten , dahulu
Jawara hanya sebatas jaro dan guru silat, maka saat ini jawara telah menjadi
penguasa lokal, baik dari aspek politik maupun ekonimi. Lihat, Lili Romli,
Jawara dan Penguasa Politik Lokal di Provinsi Banten (2001-2006). (Depok:
Disertasi, FISIP Universitas Indonesia, 2007), 91.

51
mengganggunya, maka ia tak segan-segan untuk melawannya
sebagai seorang samurai. Selain itu, yang mengetahui bahwa dia
seorang samuarai hanya oleh seorang samurai. Begitu pula
dengan eksistensi jawara yang bersih dan benar-benar jawara, ia
tidak akan mengatakan bahwa ia adalah seorang jawara, justru
sebaliknya mereka para jawara sengaja menutupi identitas diri
mereka. Hanya seorang jawaralah yang dapat mengetahui bahwa
ia seorang jawara.
Dibawah ini akan dibahas, tentang akar-akar yang
mengkonstruk budaya kekerasan dalam kelompok jawara antara
lain,

1. Paguronan Padepokan Persilatan


Setelah mengetahui peristiwa-peristiwa sejarah kekerasan
yang turut membentuk karakter wong Banten, dan para jawara
sebagai entitas masyarakat lokal. Salah satu akar kekerasan dalam
budaya jawara adalah paguronan padepokan persilatan, dari
paguron-paguron inilah para jawara dilahirkan. Budaya kekerasan
yang dimiliki oleh jawara pada masyarakat Banten, jika didekati
dengan teori Miller yang menegaskan bahwa kelompok
masyarakat yang menganut budaya kekerasan memiliki nilai-nilai
atau norma-norma yang mereka anut. Norma-norma tersebut yang
menurut Miller antara lain, selalu mencari gara-gara, sifat
keberanian dan ketangguhan, memperdaya atau menipu, selalu
bersenang-senang, dan yang terakhir adalah memiliki keyakinan
akan kekuatan besar. 65
Pada abad ke 17 M pada masa kolonial Belanda, sulit
untuk memisahkan antara pesantren dengan paguronan silat. Pada
masa ini, setiap pesantren pasti mengajarkan ilmu silat dan magis.
Berkembangnya silat dalam dunia pesantren, adalah salah satunya
bertujuan untuk memberikan keterampilan dalam berperang
melawan pihak kolonial Belanda. Bahkan sampai saat ini ilmu-
ilmu silat, magis masih tetap dilestrarikan dan menjadi ciri khas
pesantren-pesantren yang ada di Banten, khususnya pesantren

65
Walter B. Miller, Lower Class Culture at a Generating Milieu of
Gang Delinquency, dalam Marvin E. Wolfgang (eds), Sociology of Crime and
Deliquency (New York : Jhon Wiely & Sons, 1990) 351.

52
Salafi (tradisional). 66 Eksistensi pesantren memiliki kontribusi
besar dalam melahirkan dan mencetak jawara yang memumpuni
dalam ilmu kesaktian dan magis.
Sejarah ilmu persilatan di Banten sendiri memiliki akar
yang sangat panjang, bukan hanya dimulai pada masa penjajahan
kolonial, melainkan lebih jauh dari itu. Di dalam serat centhini
disebutkan bahwa pada masa pra-Islam telah dikenal istilah
“paguron” atau “padepokan” di daerah sekitar Gunung
Karang, 67 Pandeglang. Pada masa lalu tradisi persilatan
nampaknya menjadi sebuah kebutuhan bagi individu tertentu
untuk mempertahankan kehidupan dirinya dan kelompoknya.
Banten yang dikenal dengan daerah-daerah yang terpencil dan
sangat rawan dari tindakan-tindakan kriminal dari pihak lain,
tentunya membutuhkan keberanian dan memiliki kekuatan fisik
yang baik. Hal inilah yang nampaknya mendorong setiap individu
berusaha membekal dirinya dengan kemampuan bela diri dengan
belajar di padepokan persilatan.
Di dalam kalangan masyarakat Banten, terdapat salah satu
prasayarat untuk menjadi seorang pemimpin dalam masyarakat,
yakni kemampuannya dalam menguasai ilmu silat, dan bertarung.
Kemampuan seorang pemimpin dalam menguasai ilmu-ilmu
persilatan menjadi hal yang pokok. Hal ini dimaksudkan untuk
melindungi warga kelompok masyarakat tersebut dari serangan
pengganggu, maupun perampok. Seorang jawara yang terkenal
dan ditakuti oleh lawan maupun kawan, hal ini dapat dipastikan
karena memiliki keunggulan dalam hal keberanian dan
menaklukan lawan-lawannya. Di dalam lingkungan paguronan
padepokan persilatan inilah, para jawara di gembleng, diajarkan
ilmu-ilmu beladiri. Peranan padepokan persilatan dalam
melahirkan jawara memiliki peranan signifikan, tidak hanya
sebatas pelatihan ilmu-ilmu beladiri. Lebih dari itu, pembentukan
karakter dan penggemblengan sifat, watak dan mental jawara
terbentuk dari padepokan persilatan.

66
Wawancara dengan Kang Ghofur, ustadz dan paranormal, Curug,
25 Oktober 2010.
67
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat :
Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia (Bandung : Mizan, 1999) 25.

53
Selain diajarkan seni bela diri di paguronan padepokan
persilatan maupun dilingkungan pesantren, biasanya seseorang
murid yang kelak menjadi jawara akan dibekali ilmu-ilmu magis
kanuragan untuk hidupnya kedepan. Pada masa Kesultanan
Ageng Tirtayasa (1651-1672) perkembangan padepokan
paguronan silat dengan ilmu magisnya mulai berkembang di
daerah Banten. Setiap perguronan silat yang dipimpin oleh para
Kiyai mengajarkan ilmu-ilmu magis, ziyad, putergilling,
kanuragan kepada para santri-santrinya, yang dikemudian hari
disebut dengan jawara. Pemberian ilmu magis, Wafaq, Hizib dan
Jimat lainnya, bukan tidak beralasan, melainkan sebagai modal
berperang bersama Sultan Ageng Tirtayasa dalam melawan pihak
kolonial Belanda. 68
Pada perkembangan selanjutnya, jawara yang telah selesai
belajar di pesantren dan telah malang melintang dalam dunia
persilatan, pada masa tuanya biasanya sering mendirikan
padepokan paguron persilatan sendiri. Maraknya pesantren dan
padepokan-padepokan persilatan di Banten terjadi pada abad ke
19 M, setelah dihapusnya kesultanan Banten oleh Daendles pada
tahun 1816 M. Perlu diketahui bahwa tidak semua padepokan
persilatan di dalamnya adalah pesantren, tetapi setiap pesantren
pasti ada padepokan persilatan. Paguron atau padepokan
persilatan yang didirikan oleh seorang jawara biasanya terletak
didekat tempat tinggalnya, hal tersebut dimaksudkan untuk
mengajarkan ilmu-ilmu seni bela diri, dan magis kepada anak-
anak muda yang berada disekitar tempat tinggalnya. Dunia
persilatan di Banten sangat erat kaitannya dengan Islam sebagai
agama. 69 Hal ini dikarenakan persilatan lahir dari akulturasi
antara Islam dengan kebudayaan lokal setempat. Oleh karena itu,
paguronan padepokan persilatan di Banten berasaskan Islam.
Selain itu, magis yang diperoleh para jawara bersumber dari

68
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat :
Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia (Bandung : Mizan, 1999) 25,27.
69
Aliran-aliran silat yang berkembang pesat di Banten saat ini,
dilahirkan oleh para Kiyai-Kiyai Banten, tidak heran jika ajaran-ajaran Islam
sangat terkait dengan ajaran silat. Hal tersebut dapat dilihat dari pertelekan
(Janji sumpah setia, aturan hukum) dari setiap aliran-aliran persilatan di
Banten. Dalam pertelekan tersebut biasanya seorang murid harus terlebih
dahulu membaca dua kalimat syahadat, dan mendalami ajaran-ajaran Islam.

54
Islam, walaupun pada perjalanannya ada sebagaian unsur-unsur
animisme mewarnai magis tersebut. Dalam masyarakat Banten
sendiri, dikenal berbagai macam paguronan silat, seperti silat
Terumbu, Bandrong, Jalak Rawi, Si Pecut, Paku Banten, TTKDH
dan lain sebagainya. 70 Setiap paguron padepokan persilatan ini,
memiliki jurus-jurus dan karakteristik yang berbeda-beda. Di
bawah ini ada terdapat dua Paguronan padepokan persilatan yang
memiliki pengaruh dalam aliran-aliran silat di Banten, antara lain
:

Silat Aliran Terumbu

Silat aliran Terumbu, merupakan salah satu aliran silat


tertua dan asli Banten. Dari silat aliran inilah muncul paguron-
paguron persilatan lainnya, yang dikembangkan oleh para
turunannya sepetihalnya, silat Bandrong, Jalak Rawi, Si Pecut dan
lain sebagainya. Silat aliran Terumbu sendiri dinisbatkan kepada
Kiyai Terumbu dan ajaran-ajarannya, yang asli berasal dari
Kasemen, Serang. Kiyai Terumbu merupakan ulama besar Banten
pada Abad 15 sebelum sultan Hasanudin menjadi sultan di
Kerajaan Banten dan pada masa tersebut kerjaan Banten belum
menjadi kerajaan Islam dan beliau bermukim di suatu kampung,
yang mempunyai 5 orang, dan diantaranya bernama Abdul Fatah
(Kiyai Beji) yang kemudian kelak mengajarkan silat Terumbu. 71

70
Anggaran Dasar dan Rumah Tangga Organisasi PPPSBBI, Serang
Banten, 1990.
71
Wawancara dengan Abah Haji Cecep, salah satu guru silat aliran
Terumbu, Serang 12 Desember 2010.

55
Gambar 1.1, Saat latihan Duel, dalam sesi latihan silat

Gambar 1.2, Silat aliran Trumbu sedang melakukan latihan pada malam hari

Julukan Kiyai Beji sendiri, diperoleh karena beliau berhati


besi atau beji yang membangkang pada kompeni dan tidak mau
diusir oleh penjajah kompeni (Belanda) dari tanah kampung
terumbu Banten. Masyarakat dan keturunan Kiyai Terumbu
diajari ilmu silat dari anak – anak hingga dewasa untuk melawan
penjajahan Belanda hingga sekarang silat ini turun temurun masih
terjaga kelestariannya di kampung Terumbu, Kasemen serang.
Pada keturunan ke 4 atau cicit dari H. Agus (anak ke 4 dari Kiyai
Zunedil Qubro bin Kiyai Terumbu) yaitu H. Mad Sidiq mewarisi
ilmu silat Bandrong dan memiliki istri di Pulo Ampel Bojonegara
– Serang. Selain itu, ia mengembangkan aliran silat ini ke daerah

56
Cilegon dan sekitarnya untuk melawan penjajahan Belanda dan
Jepang. Sedangkan M. Idris mewarisi ilmu silat terumbu dan
beliau bermukim di kampung terumbu. Dalam pengembangannya
aliran silat ini berkembang di daerah serang dan sekitarnya untuk
melawan penjajahan Belanda dan Jepang. 72
Silat aliran terumbu dikategorikan sebagai salah satu silat
aliran tertua di Banten, karena faktor kemunculannya yang
berbarengan dengan berdirinya Kesultanan Banten Girang. Pada
perkembangan selanjutnya Silat Aliran Terumbu melahirkan
aliran silat baru yakni silat Paku Banten. Silat Paku Banten inilah
yang kemudian dikembangkan hanya dalam lingkungan keraton
kasultanan, dari silat Paku Banten mulai muncul tradisi
permainan Debus Banten. Silat Aliran Trumbu ini, merupakan
salah satu persilatan yang disegani oleh kalang jawara Banten.
Padepokan paguron persilatan ini memiliki peranan signifikan
dalam kalangan masyarakat Banten.

Silat Aliran TTKDH

Silat aliran Tjimande Tari Kolot Djeruk Hilir, merupakan


aliran silat yang bukan berasal dari daerah Banten atau silat yang
bukan asli Banten. Melainkan silat aliran penca Cimande yang
dikembangkan oleh Mbah Buyah seorang jawara Banten asal
Lebak. Walupun demikian pada perkembangan selanjutnya,
organisasi silat TTKDH bekembang pesat dan memiliki peran
signifikan dalam aliran-aliran silat di daerah Banten. Banyak dari
kalangan-kalangan jawara Banten yang terlahir dari paguronan
silat TTKDH. Silat penca Cimande sendiri adalah silat yang asli
berasal dari daerah tatar tanah Sunda yakni daerah Cianjur Jawa
Barat. Aliran silat Cimande ini didirikan oleh Mbah Khoir, pada
abad ke 18 M sekitar tahun 1812-an. Selanjutnya silat aliran ini
dikembangkan oleh Mbah Buyah, seorang tokoh Jawara Banten
asal Lebak. Mbah Buyah sendiri berguru kepada Mbah Muin

72
Wawancara dengan Zaenuddin Rojei, Ketua Silat Terumbu, Serang
12 Desember 2010.

57
seorang guru silat Cimande di desa Djeruk Hilir, daerah
Karawang. 73

Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 1951 untuk


pertamakalinya Embah Buyah mendirikan paguron Cimade di
daerah Lampung, yang kemudian diberi nama Tjimande Tarikolot
Kebon Djeruk Hilir. Embah Buyah memberi nama paguronnya di
dasari tanda bakti beliau kepada pendiri dan guru penca beliau.
Dimana pendiri penca Cimande yaitu Embah Khaer mendapatkan
ilmu silatnya di Kampung Tarikolot dekat Sungai Cimande.
Kemudian penamaan Kebon Djeruk Hilir mengadopsi nama
tempat Embah Buyah menerima ilmu penca Cimande dari Embah
Main, gurunya. Tahun 1951 dibuatlah suatu aturan hukum yang
sifatnya mengikat kepada seluruh warga TTKDH yang disebut
pertalekan Cimande. Tujuannya adalah sebagai pengarah tertulis
bagi murid sekaligus penjaga nama baik bagi TTKDH itu sendiri.
Pada tahun 1953, Embah Buyah kembali ke Kampung Oteng di
Lebak Banten dan mendirikan paguron TTKDH di sana. 74 Sejak
didirikan pada tahun 1953, TTKDH wilayah Kabupaten Lebak
terus mengalami perkembangan demikian pesat sampai saat ini.

Meskipun kini sulit untuk menemukan padepokan yang


menyediakan tempat tinggal untuk para murid yang sedang
mendalami ilmu silat, tetapi nampaknya dahulu padepokan
terletak di suatu daerah tempat terpencil, yang didalamnya
terdapat tempat tinggal sang guru dengan para muridnya.
Sehingga para murid dapat memfokuskan seluruh perhatiannya
untuk mendalami ilmu silat, magis, kanuragan dan kesaktian dari
gurunya. Pada saat ini, ketika arus modernisasi dialami oleh
masyarakat Banten sudah tidak ada lagi padepokan yang khusus
didalamnya terdapat tempat tinggal untuk muridnya. Kini sebuah
padepokan biasanya terletak di dekat rumah atau tempat tinggal
jawara sang guru. Tidak ada bangunan khusus tempat tinggal para

73
Dokumen ADA/RT Pertalekan Silat Tjimande Tari Kolot Djeruk
Hilir, Serang, 1997.
74
Dokumen ADA/RT Pertalekan Silat Tjimande Tari Kolot Djeruk
Hilir, Serang, 1997.

58
murid persilatan. Untuk latihan silat biasanya pada tanah lapang
yang tidak jauh dari kediaman sang guru. Latihan biasanya
dilaksanakan pada malam hari, meskipun itu bukan hal yang
mutlak. Kadang juga pada hal-hal tertentu dilakukan pada pagi
haru atau siang hari.
Keberhasilan seorang murid dalam menguasai jurus-jurus
silat sangat tergantung dengan ketekunannya saat mendalami
latihan, karena biasanya sang guru silat hanya memberikan
contoh-contoh gerakan silat yang mesti diikuti oleh seorang
murid. Guru silat atau Abah hanya memperhatikan para muridnya
ketika sedang mengulang-ulang gerakan, dan sesekali
memperbaiki kesalahan gerakan dari sang murid. Dalam
mendalami ilmu silat, biasanya Abah tidak akan melanjutkan
jurus tingkatan ilmu silat selanjutnya kepada sang murid,
terkecuali murid tersebut telah berhasil sepenuhnya menguasai
jurus-jurus tersebut.
Adapun untuk mendaftarkan diri menjadi murid dari suatu
paguronan padepokan silat, tidak diperlukan kriteria yang khusus,
yang diperlukan hanyalah tekad, kesabaran, dan kesungguhan
dalam mempelajari ilmu-ilmu silat. Paguronan silat di Banten
biasanya tidak mematok bayaran kepada para murid, hanya saja
para murid memberikan sumbangan sukarela seikhlasnya. Jika
paguronan-paguronan yang berada disekitar pedesaan biasanya
memberikan sumbangan sukarela berupa padi, jagung, dan bahan
pangan lainnya, itupun ketika musim panen tiba. 75 Adapun
paguronan padepokan yang terletak di daerah kota, sumbangan
sukarela tersebut berupa jumlah uang, tanpa ditentukan
nominalnya. Apabila seorang murid telah berhasil menguasai
semua jurus-jurus yang diajarkan di padepokan silat tersebut,
maka ia akan menerima izajah dari sang guru Abah.
Izajah disini bukan berbentuk secarik keretas, melainkan
ucapan mantra-mantra dari sang guru dengan memegang tangan
sang murid, dan ucapan tersebut mesti diikuti oleh muridnya.76
Biasanya proses izajah dan transform ilmu-ilmu magis tersebut

75
Atu Karomah, “Jawara dan Budaya Kekerasan Pada Masyarakat
Banten” (Depok: Tesis, FISIP Universitas Indonesia,2002) 58, 59.
76
Wawancara dengan Kang Ghofur, ustadz dan paranormal, Curug,
25 Oktober 2010.

59
berlangsung pada malam hari. Jika hal demikian telah terlaksana,
maka murid tersebut telah “di isi batinna” dan “Kataekan”.
Bekal ilmu magis dan batin yang diberikan oleh guru kepada
muridnya, merupakan ciri khas dari padepokan persilatan yang
ada di Banten. Ilmu-ilmu magis yang didapati oleh sang murid
merupakan bekal kelak dalam menempuh perjalanan hidupnya.
Oleh karena itu tidak heran jika para murid yang telah selesai
dalam menempuh ilmu silat di Banten dalam keseharian mereka
sering menggunakan ilmu-ilmu magis dan kesaktian tersebut.
Dengan memiliki kemampuan silat, magis dan pengolah ilmu
batin tersebut, maka mereka kelak dikenal dengan sebutan jawara.
Seorang jawara yang terkenal biasanya memiliki kemapuan
silat dan ilmu batin atau magis di atas rata-rata. Maksud di atas
rata-rata disini adalah memiliki kesaktian yang luar biasa dan
mengungguli jawara-jawara yang lainnya. Memiliki kemampuan
dalam memanipulasi kekuatan supranatural untuk memenuhi
kebutuhan pribadinya, seperti kebal dari senjata tajam, dapat
berubah wujud, dapat mengusir jin, dapat mengobati penyakit dan
lain sebagainya. Menurut Atu Karomah Kemampuan seorang
jawara dalam mengolah ilmu batin ataupun magis tersebut,
menjadikannya sebagai jawara yang sakti dan disegani oleh orang
lain. 77 Paguronan padepokan persiatan memiliki peranan
signifikan, dalam proses penggemblengan karakter dan watak
seorang jawara. Pada padepokan persilatan inilah akar budaya
kekerasan mereka peroleh, perlu diketahui bahwa dalam proses
latihan, sesekali mendapatkan ujian-ujian khusus untuk naik
ketingkat selanjutnya. Ujian tersebut berupa penempaan fisik, dan
diadakannya “duel” pertarungan, antara sesama murid.
Pertarungan ataupun duel antar sesama murid merupakan
suatu hal yang biasa dan lumrah dalam padepokan persilatan,
pertarungan ini merupakan uji kemampuan sejauh mana murid
tersebut menguasai jurus-jurus, baik dengan tangan kosong
maupun dengan golok. Oleh karena itu, pertarungan dan
kemampuan bela diri dalam dunia padepokan persilatan,
merupakan konstruk akar-akar budaya kekerasan dalam budaya
jawara Banten. Tidak heran jika para jawara memiliki watak dan
perilaku yang keras, hal ini dikarenakan paguron sebagai salah atu

77
Atu Karomah, Jawara dan Budaya Kekerasan..., 55.

60
akar-akar budaya kekerasan, yang telah membentuk jati diri para
jawara Banten.

2. Permainan Debus Banten


Selain padepokan persilatan dikenal sebagai akar budaya
kekerasan yang lekat dengan jawara. Terdapat satu tradisi
permainan yang turut berkontribusi dalam mengkonstruk
kekerasan dalam budaya jawara antara lain ialah, permainan
Debus. Sebagai budaya, kekerasan selalu diwarisi dari generasi
kegenerasi selanjutnya dalam bentuk sosialisasi dan bermakna
ritual. Dalam hal ini adalah, permainan debuslah yang penuh
dengan unsur-unsur mistik dan lekat dengan kekerasan, yang
paling dekat dengan para jawara Banten. Adanya permainan
debus, seolah-oleh mengkekalkan potensi kekerasan yang dimiliki
oleh para jawara, hal ini dikarenakan mereka memiliki
keistimewaan dan kelebihan dari orang lainnya.
Debus merupakan permainan yang mengandalkan
kekebalan tubuh dari benda tajam dan panasnya api. Oleh karena
itu, yang mampu memainkan debus ini adalah mereka yang
memiliki kemampuan ilmu kanuragan dan kesaktian magis yang
memadai. Tanpa memiliki kemampuan tersebut, permainan debus
ini dapat membahayakan jiwa. Sedangkan untuk menjadi pemain
debus yang handal, diperlukan latihan-latihan pengolahan batin.
Seperti halnya berpuasa selama 40 hari, mengamalkan bacaan-
bacaan zikir dan doa-doa dalam jumlah tertentu. Persyaratan
lainnya yang mesti dijalani oleh seorang pemain adalah ketekunan
dan kesabaran. Bacaan-bacan zikir dan doa-doa sakti yang
diamalkan dalam permainan debus, adalah sama dengan yang
diamalkan oleh para jawara pada umumnya. 78 Oleh karena itu,
ilmu perdebusan inilah yang sesungguhnya banyak digunakan
oleh para kalangan jawara Banten.

Gambar 1.3, dan 1.4, Mempertontonkan atraksi Debus Banten

78
Wawancara dengan Kang Ghofur, ustadz dan paranormal, Curug,
25 Oktober 2010.

61
Gambar 1.3 Gambar 1.4

Debus sendiri merupakan kesenian asli masyarakat Banten,


yang diciptakan pada abad ke-16 M, yaitu tepatnya pada masa
pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1532-1570), dalam
rangka penyebaran agama Islam. Kemudian, ketika kekuasaan
Banten dipegang oleh Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682), debus
difokuskan sebagai alat untuk membangkitkan semangat para
pejuang dalam melawan penjajah Belanda. 79 Dimana pada masa
pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa tengah terjadi ketegangan
dengan kaum pendatang dari Eropa, terutama para pedagang
Belanda yang tergabung dalam VOC. Kedatangan kaum
kolonialis ini di satu sisi membangkitkan semangat jihad kaum
muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman
akidah Islam tidak merata, yaitu terjadinya percampuran akidah
dengan tradisi pra-Islam. Hal inilah yang terdapat pada kesenian
debus.
Debus dengan magis sangat lekat dan berkaitan satu sama
lain, praktek-praktek mistik dan magis yang dilakukan oleh para
pemainnya tidak bisa dilepaskan dari atraksi Debus Banten.
Praktek magisme dalam permainan Debus Banten merupakan
campuran dari tradisi masyarakat Banten Pra-Islam dan agama
Islam, khususnya perpaduan antara tradisi tarekat dengan ilmu
magis masyarakat Banten terdahulu.
Hosssen Djajadiningrat sendiri mengatakan, bahwa selain
penduduknya dikenal sebagai masyarakat yang patuh dan taat

79
Nauval Syamsu, “Debus Sebuah Fenomena Keagamanan, Studi
Kultural Debus Banten” (Jakarta : Tesis, Program Pascasarjana UIN Jakarta,
2003) 15.

62
dalam menjalankan ajaran agama. Di samping itu Banten mashur
dan dikenal dengan ilmu-ilmu magisnya. Kemashuran Banten
sebagi pusat ilmu-ilmu magis di Nusantara telah dikenal sejak
masa pra Islam. Gunung Pulosari, Gunung Karang, dan Pulau
Panaitan dikenal dengan daerah – daerah keramat sebagai tempat
pertapaan dalam mencari kesaktian. 80 Di Banten sendiri
permainan Debus pada masa awal lebih dikenal dengan al-madad.
Namun pada masa selanjutnya debus berkembang dan memiliki
banyak aliran, diantaranya debus al-madad, surosowan dan
langitan. Aliran debus di Banten biasanya berafiliasi kepada salah
satu aliran tarekat dalam Islam yakni antara lain tarekat Rifa’iyah
dan Qodariyah.
Unsur-unsur praktek kekerasan dalam pertunjukan debus
Banten yang dimainkan dan ditontonkan oleh para jawara,
merupakan kesenian tradisi yang terus diturunkan atau diwariskan
kepada para penerusnya. Selain dari paguronan padepokan
persilatan, dalam debus Banten inilah akar-akar kekerasan dalam
budaya jawara diperoleh. Setidaknya disini dapat dilihat bahwa
unsur-unsur kebudayaan dalam hal ini debus Banten memiliki
kontribusi dalam mengkonstruk cultur of violence dalam
masyarakat Banten dan khususnya para jawara. Debus sebagai
sumber kekerasan dapat diartikan sebagai akar kekerasan yang
diperoleh kelompok jawara, karena pertunjukan seni Debus
diperankan oleh para jawara.

C. Magis di Pesantren
Ketika berbicara masalah pesantren maka gambaran yang
diperoleh bahwa pesantren itu adalah tempat mencari dan
memperdalam ilmu keislaman, disana identik dengan kiyai, santri,
kitab kuning, masjid, dan pondokan tempat santri bermukim.
Unsur-unsur budaya kekerasan dan anarkisme jauh, bahkan sama
sekali tidak terlintas di dalam pandangan dunia pesantren. Tetapi
lain halnya dengan kasus yang terjadi di Banten, justru pesantren
inilah yang menjadi akar kekerasan budaya jawara Banten.
Setidakanya terdapat alasan mengapa pesantren dilabelkan
sebagai akar kekerasan dalam budaya jawara. Adapun tentang

80
Hossen Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten
(Jakarta : Djambatan, 1983) 34, 35.

63
perkembangan pesantren di Banten sekitar abad ke 16 M atau 17
M, dalam Serat Centhini sendiri menyebutkan bahwa terdapat
sebuah pesantren yang berlokasi di daerah Gunung Karang di
bagian barat Pandeglang.
Namun lain halnya dengan Martin van Bruinessen, ia
berpendapat bahwa sebelum abad ke 18 M, lembaga pesantren di
Banten belum muncul. Hal ini dikarenakan pada masa abad ke 16
dan abad ke 17 M, penyebaran Islam itu sendiri diajarkan pada
seputar masjid, istana dan lingkunagan Tarekat (tasawuf).
Sedangkan praktek magis dalam mencari kesaktian dipusatkan di
daerah Gunung Karang, Pulosari, Panaitan (Tempat pertapaan)
atau dekat kuburan suci. Sedangkan menurut Bruinessen
maraknya perkembangan pesantren di Banten itu sendiri muncul
pada akhir abad ke 18 M, dan pada awal abad ke 19 M. 81 Tumbuh
berkembangnya pesantren di Banten merupakan simbol
perlawanan terhadap pihak kolonial Belanda.
Dari penjelasan di atas, meskipun berbeda pendapat dengan
Bruinessen, setidaknya pada abad ke 16 M, Banten telah dikenal
lembaga seperti pesantren yang digunakan tidak hanya
mengajarkan ilmu keislaman saja, melainkan mempelajari aspek
ilmu magis ataupun ngelmu atau yang lebih dikenal dengan white
magic. Menurut Harsja W. Bachtiar, mengenai kemampuan dalam
aspek magis dan mempercayai kekuatan gaib dalam masyarakat
Indonesia, tidak hanya terbatas pada para dukun saja, melainkan
banyak santri dari pesantren yang mempraktekan (magis) 82.
Sebelumnya telah dibahas bahwa pada masa abad ke 17 M di
daerah Banten, antara padepokan persilatan dengan pesantren
menjadi satu kesatuan. Dimana ada pesantren maka disitu terdapat
padepokan persilatan sebagai akar kekerasan yang mengkonstruk
budaya para jawara Banten. Selain dikarenakan faktor diatas,
salah satu faktor yang menyebabkan mengapa pesantren
dimasukan kedalam salah satu akar budaya kekerasan jawara

81
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat
(Bandung: Mizan, 1995) 25-27.
82
Harsja W. Bachtiar, The Religion of Java: a Commentary, in
Readings on Islam in Southeast Asia, compiled by Ahmad Ibrahim (Pasir
Panjang: Institute of Southeast Asian Studies, 1985) 280.

64
adalah, pesantren merupakan pusat ilmu magis white magic
kesaktian yang diperoleh para jawara Banten.
Magis merupakan suatu kebutuhan bagi para jawara Banten,
tanpa magis jawara tidak memiliki kemampuan dalam memimpin
maupun menjalani kehidupan di dalam masyarakat. Bagi
masyarakat Banten dalam memandang jawara tanpa kekuatan
magis dan kesaktian maka ia bukanlah seorang jawara. Jawara
sendiri adalah seseorang yang memiliki kemampuan dalam
mengolah kesaktian, magis, dan ilmu hikmah. Untuk memperoleh
kesaktian, para jawara membutuhkan seorang kiyai yang
dianggap sebagai sumber kesaktian ilmu magis.
Eksistensi para jawara tak luput dari peranan kiyai dan dunia
pesantren, melalui pesantren-pesantren di Banten inilah kemudian
muncul dan berkembangnya jawara Banten. Kiyai sendiri
memiliki dua varian murid, diantara muridnya tersebut ada yang
memiliki kecenderungan bakat pada ilmu pengetahuan agama.
Tetapi di lain pihak, adapula murid yang kurang begitu
memahami pendalaman agama melainkan memiliki bakat silat
dan kecenderungan kearah perjuangan. Pada akhirnya murid yang
cenderung pada ilmu agama disebut santri, sedangkan yang
memiliki bakat kekuatan fisik (silat) dan bernuansa magis adalah
jawara. 83 Disini kiyai berperan sebagai sumber kekuatan magis
bagi para jawara, lewat kiyai lah ilmu kesaktian sepertihalnya
kanuragan, brajamusti, kebal dan magis ditransform kepada
jawara. Hubungan emosional antara murid dengan guru yang
dialami oleh kiyai dan jawara, terjalin sangat erat di antara kedu
belah pihak.
Dilihat dari aspek inilah, pesantren dinilai sebagai akar
atupun sumber-sumber kekerasan yang melahirkan jawara.
Dimana khususnya dalam hal ini pesantren memfasilitasi ilmu-

83
Perbedaan antara jawara dan santri terletak pada ketekunan mereka
ketika berguru, santri lebih menekuni ilmu-ilmu keagamaan, sedangkan jawara
lebih menekuni bidang yang terkait dengan pengolahan raga dan bathin. Kiyai
berperan sebagi tokoh yang berkemampuan mewujudkan magis dan menjadi
sumber dari mantra-mantra tersebut, kekuatan magis tersebut ditransmisikan
kepada jawara untuk memiliki kemampuan tersebut. Lihat MA. Tihami, “Kiyai
dan Jawara di Banten, Studi Tentang Agama, Magi, dan Kepemimpinan di desa
Pesanggrahan Serang Banten” (Jakarta: Tesis, Universitas Indonesia, 1992),
21.

65
ilmu magis dan kesaktian. Disamping mengajarkan ilmu-ilmu
agama, pesantren-pesantren di Banten secara turun temurun
mewarisi ilmu-ilmu magis kepada santri-santrinya. Hal inilah
yang menjadi ciri khas dari pesantren yang berkembang di daerah
Banten. Berkembangnya praktek-praktek magis dalam dunia
pesantren merupakan salah satu kebutuhan pada masa tersebut.
Dimana para santri atau jawara di bekali ilmu kesaktian magis
agar mampu melakukan pemberontakan dalam melawan pihak
kolonial Belanda yang dipimpin oleh para kiyai. Selain itu,
kemampuan magis merupakan bekal untuk kehidupan. Situasi dan
kondisi lingkungan daerah Banten pada abad ke 17 – 19 M, yang
rawan dengan tindakan kriminal, menghajatkan atas seseorang
untuk memiliki kesaktian magis dan bela diri. Hal ini lah yang
melatar belakangi tumbuh berkembang pesatnya praktek magis di
lingkungan pesantren yang kemudian melahirkan jawara-jawara
Banten.

Secara umum terdapat dua jenis model pesantren yang


berkembang di Banten, yakni 'pesantren salafi' dan 'pesantren
modern’. Untuk kasus praktek magis, pesantren salafilah atau
yang lebih dikenal dengan kobong, memiliki kontribusi besar
terhadap perkembangan praktek magis di wilayah Banten. Dari
model pesantren seperti inilah banyak jawara yang dilahirkan, dan
diajarkan ilmu gaib sihir oleh seorang kiyai sebagai pemimpin
pondok tersebut. Sedangkan proses belajar mengajar ilmu magis
di dalam lingkungan pesantren ditentukan pada hari-hari yang
khusus. Praktek tersebut biasanya terjadi pada Kamis malam, dan
hari ke 10 pada bulan Muharram. Dalam lingkungan pesantren
salafi terdapat beberapa jenis praktik magis yang dilakukan oleh
para santri (yang kemudian menjadi jawara). Praktik
pembelajaran magis tersebut langsung di bawah pengawasan
santri senior, ustadz atau kiyai. Adapun jenis-jenis kesaktian
magis yang diajarkan dalam lingkungan pesantren kepada para
jawara, baik secara langsung maupun dengan sesuatu benda
antara lain, Ilmu Hadiran, Ilmu Ziyad, Kekebalan (kekebalan),
Putergiling, Wafaq, Rajah, dan Hizib. Dibawah ini akan
dijelaskan ilmu magis yang populer, dan sering dipraktekkan di
lingkungan pesantren, antara lain :

66
Ilmu Kebal

Ilmu kebal (ilmu kekebalan), bagi sebagian orang


kemampuan seperti ini, identik bersumber dari praktek black
magic ilmu hitam. Padahal tidak demikian, justru ilmu kebal ini
berkembang diderah Banten khususnya pesantren. Contoh
kecilnya, pertunjukan kesenian tradisional debus, dimana atraksi-
atraksi kekebalan kerap ditontonkan. Jika debus saat ini dilakukan
hanya bertujuan hiburan atau sebagai pertunjukan kesenian
tradisional, sedangkan ilmu kebal (Ilmu kekebalan) yang
diajarkan di dunia pesantren bertujuan untuk melindungi para
santri dari bahaya. Baik ketika mereka masih tinggal maupun
setelah lulus dari pesantren. Terlepas dari citra negatif, dimana
ilmu kebal kerap digunakan oleh black magic. Ilmu kebal seperti
yang dipelajari didunia pesantren Banten dimaksudkan untuk
tujuan yang baik. Seorang santri ataupun jawara, sebagai murid
kiyai biasanya diperingatkan untuk tidak menggunakannya ilmu
kebal dengan tujuan yang buruk. Namun dalam prakteknya
setelah keluar dari pesantren, beberapa dari mereka kadang-
kadang menggunakannya untuk tujuan buruk.

Untuk mendapatkan ilmu kekebalan dari seorang kyai,


seorang jawara biasanya diberikan dua pilihan 'Asak' atau 'Atah’.
Pengertian yang pertama Asak, artinya seorang jawara tidak perlu
melakukan puasa dan wirid, dia hanya memberikan sejumlah
uang untuk kyai sebagai bentuk mahar. 84 Untuk pengertian yang
kedua Atah, artinya seorang jawara harus melakukan ritual
tertentu seperti halnya berpuasa dalam beberapa hari. 85

84
Mahar di sini berarti suatu jumlah uang atau hal-hal yang harus
diberikan kepada kyai, Ahli hikmah, atau dukun sebagai syarat untuk
mendapatkan sihir (Ilmu gaib). Wawancara dengan Kang Ghofur, ustadz dan
paranormal, Curug, 25 Oktober 2010.
85
Ada beberapa jenis puasa untuk memiliki Ilmu kebal, yang pertama
adalah puasa seperti yang dilakukan di bulan Ramadan tetapi dengan jumlah
hari yang berbeda, ada yang tiga, tujuh, atau empat puluh hari. Selama puasa
seorang jawara harus melakukan beberapa wirid pada waktu tertentu. Untuk
jenis puasa yang kedua adalah puasa mutih, ritual puasa di mana seseorang
tidak boleh makan apa-apa kecuali nasi putih, garam dan air putih. Ketiga
adalah puasa mati geni, yakni berhenti makan sesuatu, berhenti bicara dengan

67
Disamping berpuasa, ritual tersebut dibarengi dengan
mengamalkan wirid dalam jumlah dan waktu tertentu. Sebagai
contoh, pada setiap malam hari ke 10 Muharram, KH. Nawawi
seorang kyai pesantren Darul Falah di Ciruas Banten, biasanya
mengundang santri yang tinggal di pesantren-nya maupun dari
luar, untuk melakukan wirid berjamaah yang dimulai di 09:00 dan
berlangsung sampai 02:00. Setelah melakukan wirid, ia kemudian
masuk ke dalam ruangan khusus dan memanggil santri, satu per
satu untuk datang ke kamarnya. Diruangan tersebut, dia
memberikan beberapa amalan magis untuk para santri, salah
satunya adalah Ilmu kebal (kekebalan).

Namun, meskipun semua santri melakukan wirid pada


waktu itu, tidak semua orang dapat memperoleh ilmu magis
darinya. Seorang kiyai tidak memberikannya kepada setiap
sembarang orang, Ia hanya memberikan kepada orang-orang
tertentu yang dianggapnya sebagai orang yang tepat untuk
memilikinya. Sebelum memberikan Ilmu kebal, biasanya kiyai
tersebut memegang tangan kanan santri atau jawaranya untuk di
izajahi (diisi). Jika ia melihat bahwa santrinya adalah orang yang
tepat untuk memilikinya, ia membaca wirid dan menggosok
tangan santri tersebut. 86 Setelah proses tersebut selesai, ia
mengambil sebuah golok untuk disayatkan kekulit tangan si santri
tersebut. Setelah kiyai tersebut yakin bahwa para santri/jawara
berhasil dalam melaksanakan ilmu kebal, maka ia menyarankan
kepada santri/jawaranya untuk tidak menggunakan ilmu tersebut
untuk tujuan buruk. Hal-hal diatas merupakan kegiatan tahunan
yang dilakukan di pesantren-pesantren salafi yang ada di Banten.

Ziyad, Jeblag, Jurujud

Ilmu Ziyad, atau yang dikenal juga dengan jurus Jeblag,


Kontak dan Jurujud merupakan salah satu kemampuan magis
yang dimiliki oleh para jawara Banten. Jenis praktik magis ini

siapapun, dari pagi sampai pagi berikutnya (dalam dua puluh empat jam), dan
ia harus selalu di ruang khusus untuk mengamalkan wirid.
86
Wawancara dengan Azwar, tokoh jawara dari kresek Tangerang,
April 2010.

68
biasanya dilakukan oleh minimal dua orang atau lebih dengan
tujuan memukul tubuh dari kejauhan. Dalam sebuah pertarungan
biasanya seorang jawara menggunakan jurus ini, dengan
menggerakan kedua tangan atau hanya menggerakan isyarat mata,
musuh sudah terpental. Bahkan jika seorang jawara telah
menguasai ilmu ziyad dengan sempurna, maka ia akan dapat
membalikan dan menahan sebuah mobil. Level tertinggi dalam
magis itulah yang disebut dengan jurujud. 87 Selain itu, jurus ini
juga digunakan untuk menahan pukulan tubuh, atau sabetan golok
dari orang lain. Tidak sembarang seseorang dapat menguasai
jurus ini, dalam pesantren biasanya seorang kiyai hanya
memberikan kepada seseorang yang telah memumpuni secara
mental dan fisik. Jika dalam pengamalan seorang jawara tak
mampu dalam mengamalkannya, maka ia akan gila.

Wafaq

Wafaq adalah salah satu sarana ataupun media yang biasa


digunakan oleh para jawara dalam mengolah kekuatan ilmu
magis. Adapun kegunaannya bermacam-macam sesuai dengan
kebutuhan, agar memiliki kharisma dan wibawa yang tinggi,
pengasihan, tidak mempan di bacok, kebal, bahkan sebagai media
dalam menarik keuntungan dalam berbisnis, dan lain-lain. Wafaq
biasanya berbentuk selembaran keretas, atau lembaran kulit
kambing dan sapi. Terdapat beberapa bentuk macam wafaq,
sesuai dengan tujuan dari wafaq itu sendiri, ada yang disebut
mutsallas, murabba’, mukhammas, musaddas, musabba,
mutsamman, mutassa’.Wafaq sendiri berisi ayat-ayat al-qur’an,
asmaul husna dan biasanya ditulis dengan tinta emas, atau ditulis
dengan minyak zafa’ran. Kemudian dilipat dan dibungkus
didalam plastik kecil agar tidak mudah lapuk. Lain halnya dengan
jimat, walaupun fungsinya sama sebagai media, jimat dapat
87
Sebenarnya terdapat berbagai macam ilmu magis yang diajarkan
dalam dunia pesantren di Banten, menariknya praktek magis ini diwarisi turun
temurun dari setiap generasi. Diantara jurus magis yang biasa digunakan oleh
para jawara dalam pertarungan antara lain, jurus Kama Rasa, Tendet, Jeblag,
Dua Tendet, Konci, Potong, Giles, Lewat, Colok, dan Jurujud. Setiap jurus
magis ini memiliki kegunaan yang berbeda antara satu sama lain. Lihat
Naskah, Risalah Majmu’atul Hikmah, Banten.

69
berbentuk apa saja baik itu kertas, keris, taring macan, atau lain
sebagainya. Sedangkan wafaq, khusus tertulis di kertas sebagai
media magis.

Hizib

Selain beberapa praktek magis yang disebutkan di atas,


pesantren di Banten juga mengajarkan wirid dalam bentuk Hizib
untuk tujuan magis, biasanya hizib ini diambil dari naskah kitab
Risalah Majmu’atul Hikmah, 88 atau Dalail Khairot. 89 Hizib
dalam bahasa Arab memiliki arti partai, pasukan atau tentara.
Tetapi yang dimaksud hizib disini adalah, rangkaian-rangkaian
amalan atau doa-doa tertentu yang panjang. Hizib merupakan
salah satu doa amalan yang diandalkan, dan dibaca pada saat
seseorang sendang mengalami hal-hal tertentu, seperti halnya
sedang menghadapi musuh. Pada umumnya para jawara membaca
hizib pada saat sedang tertimpa marabahaya, sedang bertarung
elmu, diteluh, atau disantet. Terdapat beberapa hizib tertentu yang
diberikan oleh seorang kiyai terhadap seorang jawara, dan santri
sebagai muridnya. Adapun hizib-hizib yang biasa diajarkan dalam
dunia pesantren antara lain antara : Hizib Nashr, Hizib Bahr,
Hizib Ikhfa, Jailani Hizib, Hizib Yamani, Hizib Autad, Hizib
Khafiy, Barqi dan Hizib Nawawi Hizib. 90

88
Naskah Risalah Majmu’atul Hikmah, Banten
89
Naskah Dalail Khairot, Banten. Naskah kitab ini biasanya hanya
berisikan Hizib Nashr, yang berguna untuk menyembuhkan seseorang yang
dimasuki roh halus, atau gila.
90
Naskah Risalah Majmu’atul Hikmah, Banten, dan Wawancara dengan
Kang Ghofur, ustadz dan paranormal, Curug, 25 Oktober 2010.

70
Gambar 1.5, salah satu jenis wafak untuk melariskan dagangan

Gambar 1.6, Jenis wafak

Selain kekuatan magis yang diperoleh jawara bersumber dari


dunia pesantren, ternyata pada perkembangannya terdapat
sumber-sumber magis yang diperoleh jawara bukan dari dunia
pesantren. Sebut saja ilmu Teluh, kemampuan magis ini
bersumber dari sihir ilmu hitam black magic, yang diperoleh dari
tradisi kepercayaan kuno Banten Jangjawoken atau ilmu
Rawayan. Oleh karena itu, pada perkembangan selanjutnya,
banyak jawara yang terkontaminasi dengan praktek magis ilmu
Rawayan. Bahkan dalam ritualnya, kita akan sering menemukan

71
seorang jawara yang memadukan ritual ajaran agama dengan
praktek Jangjawoken, untuk pembahasan ini akan disinggung
pada bab selanjutnya. Untuk praktek Teluh 91 biasanya
dipergunakan oleh seorang jawara untuk mencelaki musuhnya,
dengan mengirim teluh pada malam hari. 92 Daerah Baduy
merupakan daerah yang terkenal dengan keganasan teluh itu
sendiri, yang merupakan pusat black magic di Banten.

Munculnya praktek-praktek magis dalam dunia pesantren di


Banten, yang menjadi sumber kekuatan dan sekaligus akar
kekerasan dalam budaya jawara. Merupakan tuntutan zaman pada
masa itu (abad ke 18 M), dimana pihak kolonial Belanda
menancapkan pengaruh dan kekuasaanya. Hal tersebut diperparah
ketika dihapusnya kesultanan Banten, dan hilangnya otoritas
Ulama dalam pemerintahan. Tekanan dan pressure pihak kolonial
terhadap masyarakat lokal setempat, memicu adanya
pemberontakan-pemberontakan. Oleh karena itu, praktek magis
yang diajarkan disetiap pesantren di Banten berguna untuk
melawan penjajahan kolonial Belanda. Pada perkembangan
selanjutnya pada era kolonial, para jawara dan kiyai berperan
sentral dalam memobilisasi pemberontakan-pemberontakan yang
terjadi di Banten. Hampir setiap peristiwa pemberontakan yang
terjadi di Banten dimotori oleh kiyai dan jawara. Disinilah, jawara

91
Teluh merupakan salah satu ilmu hitam dan guna-guna yang sering
digunakan oleh seseorang untuk membunuh musuhnya. Biasanya teluh itu
berbentuk bola api yang dapat terbang dan dikirim ke musuhnya pada saat
malam hari. Adapun isi dari teluh bola api tersebut terdiri dari benda-benda
tajam, silet, paku, beling dan lain sebagainya. Penulis melihat dengan mata
kepala sendiri, bagaimana teluh bola api terbang ke rumah seorang kiyai di
Banten, adapun daerah yang masih terkenal dengan teluh dan ilmu hitamnya
antara lain, daerah Lebak, Kanekes, Bojonegoro, Walantaka, Cikande, Petir,
untuk daerah Tangerang terletak di Pala Sari, Legok dan Kresek.
92
Perlu diketahui bahwa biasanya teluh dikirim mulai dari magrib,
kurang lebih jam 07.00- 11.00 malam. Jika teluh dikirim melebihi demikian,
maka dipastikan teluh tersebut akan mengalami kegagalan, apa yang
menyebabkan demikian? Hal tersebut, lantaran teluh tidak bisa sampai pada
tujuan jika telah terkena embun malam. Oleh karena itu, pada jam 07.00-11.00
malam, adalah waktu yang tepat dimana embun malam belum mulai turun.
Penulis pernah melihat dengan kepala mata sendiri, ketika bola api teluh jatuh
di kediaman salah seorang kiyai Banten.

72
berpeeran sebagai pembantu kiyai, dalam melaksanakan aktifitas-
aktifitas perlawanan. Pada masa kolonial tersebut pemberontakan
kekuatan fisik merupakan solusi dalam melawan penjajahan
Belanda.

BAB III
PROFIL HISTORIS SOSIOLOGIS JAWARA BANTEN
Jawara dalam kehidupan sosial dan kultur budaya Banten
dapat dikatakan sebagai simbol budaya lokal. Sebagai sebuah
kelompok yang bersumber dari tradisi (lokal), komunitas Jawara
mencerminkan kultur dan budaya yang berbeda dari daerah-
daerah lain di Indonesia. Jawara yang merupakan subkultur
masyarakat lokal, memiliki peran dalam setiap aspek kehidupan
masyarakat. Pada bagian ini, penulis akan membahas tentang
seputar profil jawara Banten dalam kehidupan sosial dan budaya
masyarakat Banten, baik dari aspek kepemimpinan dan kharisma.
Profil jawara tersebut dapat dilihat dari peranan jawara Banten
pada masa perjuangan era kolonial Belanda, dimana para kiyai
dan jawara pada dekade 1800-1888an, memiliki peran signifikan
dalam menggerakan pemberontakan, serta menampilkan profil
tokoh-tokoh kiyai-jawara yang terlibat dalam gerakan
pemberontakan. Selain itu, bagian ini juga akan membahas
hubungan relasi yang terjadi antara kiyai dengan jawara, dimana
para kiyai berperan besar dalam melahirkan jawara sebagai
subkultur masyarakat lokal. Oleh karena itu, hubungan yang
terjalin antara jawara dengan kiyai, merupakan hubungan antara
murid dengan guru, dan pada masa awal perjuangan melawan
kolonial jawara berfungsi sebagai tentara kiyai.

A.Peranan Jawara Pada Masa Penjajahan


Peran-peran tradisional jawara dalam masyarakat Banten
berlangsung turun naik. Hal ini pula yang merubah persepsi
masyarakat Banten terhadap jawara. Ketika peran sosial dan

73
stabilitas keamanan kurang stabil, maka peran jawara biasanya
diperlukan. Tetapi ketika keamanan mulai stabil, sosok jawara
mulai tidak dibutuhkan lagi, bahkan sering dipandang negatif
karena perilakunya yang sering melakukan kekacauan, kekerasan
dalam masyarakat dan melakukan tindakan kriminal.
Pada masa penjajahan Belanda, kalangan jawara berperan
dalam masyarakat Banten sebagai pilar dan melakukan
konfrontasi langsung dalam melawan pihak kolonial. Di sinilah
jawara berperan dalam pergerakan resistensi melawan pihak
kolonial Belanda. Selain itu, pada masa penjajahan para jawara
dikenal dengan sebutan bandit sosial. Peranannya sebagai bandit
sosial dan pejuang inilah, posisi jawara dikenal pada masa
penjajahan. Runtuhnya kesultanan Banten dan semakin
memudarnya peran agama dalam sistem politik pemerintahan
kolonial, telah mengalihkan loyalitas masyarakat ke para
pimpinan agama (kiyai) yang selama ini bersifat independen.
Para kiyai memandang hina kekuasaan pemerintah kolonial
karena mereka dipandang sebagai orang-orang kafir yang telah
merebut kekuasaan orang-orang muslim dengan demikian
hukumnya wajib untuk diperangi. 93 Pemikiran keagamaan
tersebut memasuki hampir semua aspek kehidupan masyarakat
Banten. Pandangan ini memiliki pengaruh yang signifikan di
kalangan masyarakat Banten, yang memiliki tingkat relegiusitas
yang tinggi. Dengan kedudukan seperti itu, para kiyai memiliki
peran penting dalam melakukan pemberontakan-pemberontakan
terhadap pemerintah kolonial. Tindakan-tindakan tersebut
mendapat dukungan penuh dari warga Banten saat itu, termasuk
elit-elit sosial, antara lain, para bangsawan, dan para jawara. 94

93
Para kiyai memberikan hukum wajib memerangi para penjajah
berdasarkan pengambilan ijm’a ulama, dimana para penjajah didefinisikan
sebagai orang-orang kafir, lihat Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushulu al-fiqhu
(Kairo: Darussalam, 1978), 45.
94
Kiyai berperan aktif dalam melakukan pemberontakan, bahkan ketika
pecahnya pemberontakan komunis di Banten. Walaupun ada pendapat yang
mengatakan para tokoh komunis lah yang telah memobilisasi para kiyai untuk
melakukan pemberontakan. Lihat Else Ensering, Banten in times of revolution
(Paris: Archipel, 1995), 136-138. Lihat pula Michael C Williams, Communism,
Relegions, and Revolt in Banten (Ohio: Ohio University Press, 1990)

74
Semenjak dihapusnya kesultanan Banten, terjadi sejumlah
pemberontakan-pemberontakan yang sebagian besar dimotori
oleh para tokoh jawara. Oleh karena itu kedua elit sosial ini,
jawara dan kiyai berperan sebagai tokoh pemimpin yang
kharismatis dalam masyarakat Banten.
Mereka yang mengikuti seruan kiyai dan berdiri di garis
depan dalam perlawanan melawan penjajah, merupakan cikal-
bakal munculnya sub-kultur baru dalam masyarakat Banten yang
kemudian dikenal dengan sub-kultur jawara. Tercatat dalam
sejarah bagaimana gigihnya jawara-jawara Banten dalam
melawan Belanda. Pada tahun 1809 M, terjadi perlawanan
"Bajaklaut" yang dipimpin para jawara, 95 dalam menentang
pembangunan pangkalan militer penjajah di Ujung Kulon. Kang
Nuriman, kiyai-jawara dari Pasir Peuteuy Pandeglang,
mengadakan pemberontakan untuk memaksa Belanda
mengangkat kembali seorang sultan.
Di tengah kekacauan politik, ambruknya sistem administrasi,
dan terus maraknya gelombang-gelombang kekerasan dan
tindakan anarkis. Pada tahun 1810 pihak kolonial kembali
menobatkan Sultan untuk memerintah daerah Banten Selatan.
Penobatan tersebut bertujuan agar Sultan dapat mengerahkan
kesetiaan penduduk, dan dilain pihak agar lembaga-lembaga
administratif dapat bekerja. Akan tetapi dibawah kepemiminan
Sultan, tidak terjadi perbaikan situasi dan kondisi yang
diharapkan. Selama pemerintahan Sultan, gerombolan-
gerombolan jawara yang memberontak tetap masih melakukan
aksinya. Kelompok pemberontak yang dipimpin oleh Ngabehi
Adam, Haji Yamin, Ngabehi Utu, dan kiyai Ikram, merupakan
jawara-kiyai yang malang melintang dan beroperasi di daerah
Pandeglang. 96 Dalam setiap aksinya kelompok jawara Ngabehi
Adam selalu melancarkan perampokan terhadap, aparat-aparat
kolonial dan membagikan hasilnya kepada masyarakat setempat.

95
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi
Jalan Peristiwa, dan Kelanjutannya, Sebuah Studi Kasus Mengenai Gerakan
Sosial di Indonesia (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), 165.
96
Halwany Michrob dan Mudjahid Chudori, Catatan Masa Lalu Banten
(Serang: Saudara Serang, 1993), 187.

75
Seringkali mereka menggembor-gemborkan gagasan politik
tentang pemulihan kesultanan dan pembebasan dari belenggu
kekuasaan orang Eropa. Dengan tindakan demikian, tidak sedikit
masyarakat yang mendukung aksinya dan bahkan menjadi
pengikutnya. Hal tersebut menunjukan bahwa arah tujuan mereka
bersifat politik.
Pada akhir 1810-an, KH. Tassin, Mas Haji dan Mas Rakka
memimpin pasukan jawara untuk kembali memberontak. Pasukan
jawara ini masih tetap beroperasi di derah Banten Selatan, pada
masa inilah hampir seluruh Banten Selatan ketika itu terjadi
kekosongan administratif. Mas Rakka dan KH. Tassin memimpin
perlawanan di Lebak, dan membunuh orang-orang pribumi yang
menjadi antek dan pegawai pamongpraja Belanda. Sistem
kepamongprajaan dan personil perpajakan sama sekali tidak
memadai untuk menunaikan tugas. Administrasi kolonial Belanda
hanya dapat berfungsi, dan dilaksanakan jika didukung oleh
kekuatan militer yang besar.
Pada tahun 1815 terjadi serangan oleh para pemberontak,
yang dilancarkan oleh kelompok jawara Kang Nuriman yang juga
dikenal sebagai Sultan Kanoman. Pada peristiwa pemberontakan
ini, pasukan Mas Bangsa, Pangeran Sane dan Kang Nuriman,
berhasil mengepung Pandeglang. 97 Meskipun pasukan-pasukan
pemerintah berhasil memukul mundur serangan itu, dan memaksa
kelompok jawara untuk mundur. Namun sulit bagi pihak Belanda
untuk mengalahkan mereka sepenuhnya, hal ini dikarenakan
pasukan jawara yang dipimpin oleh Kang Nuriman mendapatkan
dukungan dan simpati dari rakyat. Perlu diingat bahwa peranan
tokoh pemimpin dalam setiap pemberontakan-pemberontakan
yang terjadi Banten memainkan peranan yang sangat signifikan.
Kebanyakan kegiatan mereka tergantung kepada inisiatif
pemimpin perorangan. Ketika tertangkapnya pimpinan terkemuka
seperti halnya, Armaya, Kang Nuriman, Pangeran Sane dan Mas
Bangsa, merupakan pukulan yang sangat berat bagi perjuangan
jawara Banten. Namun demikian, kekuatan kelompok jawara
dapat pulih kembali dengan tampilnya pemimpin-pemimpin baru.

97
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888..., 165-166

76
Pada masa tersebut dapat digambarkan, bahwa setelah
kesultanan dihapuskan di Banten, hampir tidak ada tahun yang
terlewat tanpa pemberontakan. Selanjutnya pada tahun 1820,
1822, dan 1825 muncul lagi perlawanan yang dipimpin oleh Mas
Raye, Tumenggung Muhammad dari Menes, Mas Arya dan para
kiyai. 98 Akan tetapi serangan yang dilancarkan oleh pasukan-
pasukan pemerintah terlalu kuat, sehingga para pasukan
pemberontak tersebut dapat dengan mudah dikalahkan. Tidak
sedikit dari mereka melarikan diri ke daerah perbukitan.
Akan tetapi dua tahun kemudian, setelah gagalnya
pemberontakan Tumenggung Muhammad 1825, gerakan
pemberontakan kembali dikobarkan oleh para jawara dan kiyai.
Kali ini seorang tokoh lama dari kalangan jawara tampil kembali,
Mas Jakaria seorang tokoh jawara kenamaan dari Banten Selatan
Pandeglang. Sebelumnya pada tahun 1811 pasukannya pernah
menduduki Pandeglang yang saat itu menjadi pusat keraton.
Beberapa bulan kemudian melalui pertempuran yang hebat
pasukannya berhasil dipukul mundur oleh pihak kolonial Belanda.
Namun pada tahun 1827 M, ia berhasil kembali menyusun
kekuatan dan mengadakan pemberontakan. 99 Pertempuran itu
diakhiri dengan ditangkapnya Mas Jakaria dan dijatuhi hukuman
mati.
Setelah terbunuhnya sosok kharismatis Mas Jakaria jawara
dari Banten Selatan, hampir setiap tahun terjadi kerusuhan di
Banten yang dipimpin para kiyai dan jawara. Khusus pada tahun
1836 terjadi perlawanan yang dipimpin seorang perempuan
bernama Nyimas Gamparan di Balaraja, yang kemudian dapat
dipatahkan oleh demang R. Kartanagara. 100 Atas jasanya dalam
menangkap Nyimas Gamparan, demang Kartanegara diangkat
oleh pihak Belanda menjadi bupati Lebak. Pada tahun 1839 Mas
Jabeng putra jawara dari Banten Selatan (Mas Jakaria),

98
Teuku Ibrahim Alfian, Semangat Keagamaan Rakyat Banten Dalam
Mempertahankan Kemerdekaan, dalam Mansyur Muhyidin, Banten Menuju
Masa Depan (Serang: Yayasan Kiyai Haji Wasyid, 1999), 83
99
Teuku Ibrahim Alfian, Semangat Keagamaan Rakyat Banten..., 84
100
Halwany Michrob dan Mudjahid Chudori, Catatan Masa Lalu
Banten..., 187.

77
mengadakan perlawanan bersama Ratubagus Ali dan Pangeran
Qadli, namun dapat dipatahkan oleh Belanda dengan bantuan
Bupati Serang waktu itu.
Selain peristiwa pemberontakan yang dimotori oleh para
kiyai dan jawara terjadi di daerah Banten Selatan, khususnya
Pandeglang dan lebak. Di wilayah distrik Serang-pun terjadi
pemberontakan yang dipimpin oleh kiyai kharismatik, yakni kiyai
Wakhiya. Pemberontakan tersebut berlangsung selama enam
tahun, dimulai pada tahun 1850-1856. Dalam menggerakan
pemberontakannya, kiyai Wakhiya di damping oleh para jawara
yakni, Tubagus Ishak, Mas Diad, Mas Berik dan Nasyid.
Pemberontakan yang diusung oleh kiyai Wakhiya, adalah
mengobarkan semangat perang sabil melawan pemerintah
kolonial. Namun akhirnya ia tertangkap dan dihukum mati pada
tahun 1856.
Sebelumnya pada tanggal 13 Desember tahun 1845, terjadi
penyerbuan para petani di Cikande terhadap para tuan tanah yang
digerakan oleh keturunan jawara Banten selatan (Mas Jakariya).
Peristiwa tersebut lebih dikenal dengan sebutan pemberontakan
Cikande udik. Akibat dari pemberontakan tersebut, seorang tuan
tanah PJ. Kampuys beserta isteri dan kelima anaknya terbunuh.
Selain itu, turut pula beberapa orang Eropa yang terbunuh, seperti
Pes Viering beserta isteri dan empat anaknya, dan Wanbert de
Puiseau. 101
Peristiwa pemberontakan Cikande Udik ini, akhirnya dapat
dihancurkan dan dipukul mundur oleh pihak kolonial, dengan
tambahan pasukan dari Batavia. Sebanyak 384 orang ditangkap,
sedangkan yang lainnya dapat meloloskan diri ke daerah sekitar.
Walaupun demikian, terdapat pemberontak yang berhasil
melarikan diri. Diantara mereka yang berhasil meloloskan diri
antara lain kiyai Buyut Pasar. Beliau merupakan seorang jawara
sakti berambut panjang, yang melarikan diri ke daerah kresek,

101
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten..., 173.

78
kemudian menetap dan berketurunan di kampung Talok.102
Sampai saat ini kuburannya masih sering diziarahi orang.
Pada tahun 1888 terjadi peristiwa "Geger Cilegon". Yaitu
sebuah pemberontakan yang dipimpin kiyai-kiyai tarekat dari
Banten pesisir utara, dan dibantu oleh para jawara. Tokoh-tokoh
yang terlibat dalam pemberontakan ini adalah Syeikh Abdul
Karim dari Tanara, seorang penyebar tarikat Qadiriyah dan
Naqsabandiyah yang juga sepupu Syeikh Nawawi al-Bantani,
diikuti oleh murid-muridnya seperti kiyai Wasyid dari Beji, kiyai
Syadeli dari Kaloran Serang, kiyai Asnawi dari Lampuyang
Tirtayasa, kiyai Abubakar dari Pontang, kiyai Tb. Ismail dari
Gulacir, dan kiyai Marzuki dari Tanara.
Sebagai panglima operasi ditunjuklah kiyai Wasyid dan Tb.
Ismail. Pemberontakan ini berhasil membunuh orang-orang
Belanda di Cilegon termasuk asisten residen Gubbels. Peristiwa
pemberontakan Geger cilegon, merupakan salah satu
pemberontakan terbesar dalam sejarah Banten. Pemberontakan ini
tidak hanya melibatkan para tokoh kiyai dan jawara saja, para
warga Banten yang mayoritas petani-pun turut andil dalam
pemberontakan ini. Setidaknya tercatat 94 tokoh-tokoh
pemberontak yang dibuang ke luar pulau.

Munculnya Jawara Sebagai Bandit Sosial


Image negatif tentang pencitraan jawara dalam komunitas
lokal, sebagai subculture of violences, terus berkembang sampai
saat ini. Kartodirjo misalnya, menempatkan jawara dalam posisi
sebagai bandit sosial ataupun bandit lokal. 103 Selain itu dalam
kegiatanya sebagai bandit sosial jawara cenderung melakukan
tindakan kriminal, merampok dan adanya sabotase terhadap
pemerintahan kolonial walaupun seringkali yang dirugikan adalah
pihak kecil. Sementara menurut Williams, jawara sendiri
merujuk kepada seseorang yang tidak hanya siap menentang
hukum-hukum dan segala macam aturan-aturan legal yang ada,

102
Wawancara dengan Azwar, tokoh jawara dari kresek Tangerang, April
2010
103
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888..., 83.

79
namum juga siap melawan siapa pun demi meraih tujuan
mereka. 104
Atas identifikasi tersebut, jawara dikategorikan sebagai
bandit sosial oleh pihak kolonial Belanda, walaupun sebagaian
besar dari mereka memperoleh dukungan dari rakyatnya. Tidak
heran karena masa abad 19 M, sering terjadi pencurian,
perampokan dan sabotase terhadap pemerintahan kolonial
Belanda. Oleh karena itulah pemerintah kolonial menetapkan
bahwa jawara, dan mereka yang menentang eksistensi pemerintah
kolonial di hakimi sebagai bandit lokal. Pencitraan yang negatif
terhadap jawara terus berkembang sampai saat ini, sebagai orang
ataupun kelompok yang sering menggunakan kekerasan dan
metode premanisme di dalam menyelesaikan setiap persoalan.
Sebelum kita membahas lebih jauh tentang jawara dan bandit
sosial, ada kalanya kita harus memahami pengertian dan gejala
bandit sosial itu sendiri. Istilah mengenai perbanditan dipandang
sangat subjektif, dari sudut pandang mana istilah itu dilabelkan.
Biasanya istilah tersebut muncul dari dari kalangan penguasa,
dalam hal ini pemerintah kolonial. Istilah tersebut datang dari
penguasa yang merasa dirugikan oleh tindakan destruktif baik
secara kelompok ataupun perorangan.
Pada akhirnya istilah tersebut diterima oleh masyarakat,
karena perbuatan tersebut dianggap bertentangan dengan
kepentingan pemerintah kolonial. Sedangkan pihak yang
melakukan aktifitas perbanditan tersebut tidak menerima istilah
yang dilegitimasikan oleh pihak kolonial kepada mereka.
Setidaknya perbaditan itu tidak jauh mengacu kepada tindakan
perbuatan individual, personal ataupun kelompok yang
menentang aturan hukum. Suhartono memberikan pengertian
tentang istilah bandit itu sendiri, pengertian tersebut mencakup
diantara lain ; perampok berkawan (kolektif), seorang yang
mencuri, membunuh dengan cara kejam (gengster), dan seorang
yang mendapatkan keuntungan secara tidak wajar. 105 Adapun
gerakan bandit sosial sendiri dilakukan untuk menghilangkan
ketidakadilan, penekanan dan eksploitasi, hal inilah yang terjadi

104
Michael C Williams, Communism, Relegions, and Revolt..., 45-50.
105
Suhartono, Jawa Bandit-Bandit Pedesaan Studi Historis 1850-1942
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), 105-107.

80
di wilayah Banten pada masa penguasaan kolonial. Pada akhirnya
gerakan tersebut mengarah kepada gerakan politik untuk
mengadakan pemberontakan, dan kemerdekaan.
Di indonesia, fenomena bandit sosial juga ada, hanya nama
dan istilahnya saja yang berbeda-beda. Di dalam mayarakat jawa
misalnya, dikenal dengan istilah bromocorah atau yang dikenal
dengan jago. Di daerah jawa lainya lainya ada yang dikenal
dengan weri, gali, atau blater dalam istilah masyarakat Madura.
Untuk kasus di Banten istilah jago, weri, gali, atau blater adalah
jawara yang memiliki makna pendekar atau jagoan. 106 Menurut
Tihami, kata jawara diambil dari bahasa Arab yakni majhul
jauharo yang memiliki arti unggul atau jagoan dalam hal
kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Sedangkan ciri khas dari gerakan bandit sosial itu sendiri
antara lain ; tidak meninggalkan komunitasnya, mencerminkan
nilai moral dan ideologi komunitasnya, perbuatanya yang keras
karena konsisten terhadap ideologi yang mereka pegang teguh,
dan tindakan mereka didukung dan dibantu oleh masyarakat
setempat. Gerakan bandit sosial muncul dikarenakan kondisi
pertentangan kelas yang kronis, dan gerakan tersebut dianggap
sebagai protes lokal. Di wilayah Banten misalnya, pada masa
abad ke 19 M, dimana pihak kolonial berhasil menguasai Banten
baik secara ekonomi dan politik. Sangat cocok jika manifestasi
protes sosial terjadi di wilayah tersebut, dengan bermunculanya
jawara sebagai bandit sosial.
Dalam terminologi pemerintah kolonial Belanda istilah
bandit sosial, digolongkan sebagai pengganggu keamanan dan
ketertiban masyarakat. Padahal sebenarnya pelabelan bandit sosial
tersebut masih diperdebatkan, tergantung subjektifitas masing-
masing. Di satu pihak dari sudut pandang pemerintah kolonial
dan dilain pihak dari sudut padang penduduk lokal, petani
ataupun rakyat kecil yang umumnya tinggal di pedesaan. Dilihat
dari pandangan yang subjektif dan formal, bandit dianggap
sebagai tindakan kriminal dan berdampak negatif bagi
pemerintahan. Itulah sebabnya perbanditan harus dihilangkan agar

106
Lebih jauh lihat Okamoto Masaaki dan Abdur Rozaki, Kelompok
Kekerasan dan Bos Lokal Di Era Reformasi (Yogyakarta: CSEAS IRE Press,
2006).

81
jalannya pemerintahan lancar dan mendapatkan keuntungan besar.
Sebaliknya dari pandangan subjektif informal, bandit dipandang
sebagai tindakan heroik dan terpuji karena membela kepentingan
rakyat.
Sehubungan dengan subjektifitas yang datang dari dua kutub
yang berbeda memang dapat dimengerti, akan tetapi sudah pada
tempatnya bila sudut pandang diletakan pada pihak yang
tereksploitasi (dalam hal ini masyarakat petani Banten). Bandit
lahir dari petani yang membela diri untuk mempertahankan
eksistensi kehidupan dipedesaan yang terdesak oleh proyek
perkebunan pemerintah. Dengan kata lain, perbanditan
sebenarnya merupakan respon yang tepat terhadap desakan pihak
kolonial. Pada masa kolonial jawara yang dikenal sebagai bandit
sosial oleh pemerintah, adalah pembela hak rakyat yang terdesak.
Mereka melakukan perbuatan mulia yang didukung oleh
masyarakat setempat.
Menurut Suhartono, tidak semua bandit pada abad ke 19 M,
bertujuan untuk membela rakyat dari penindasan pihak kolonial.
Di satu pihak ada kelompok bandit yang murni melakukan
kegiatan kriminal dan dipihak lain, terdapat kelompok bandit
yang berorientasi untuk membela kepentingan rakyat. Bandit
yang berorientasi membela kepentingan rakyat inilah, muncul
sebagai kekuatan protes terhadap masuknya pihak kolonial yang
merusak tatanan kehidupan pedesaan yang otonom. 107 Aktivitas
perbanditan yang terjadi di wilayah Banten tidak lain merupakan
protes sosial, yang di latar belakangi oleh faktor sosial ekonomi,
politik dan keagamaan.
Menurut Ota Atsushi pada masa 1808-1830, merupakan masa
pergantian rezim setelah runtuhnya Kesultanan Banten, dimana

107
Dalam studinya tentang bandit-bandit pedesaan di tanah Jawa pada
abad 18 M, Suhartono menyimpulkan bahwa tindakan-tindakan destruktif yang
dilakukan oleh para bandit, merupakan akses dari tekanan pihak kolonial
terhadap masyarakat setempat yang notabene bekerja sebagai petani. Oleh
karena itu, dari sudut pandang berbeda bandit-bandit sosial yang melakukan
tindakan kriminalits dan sabotase terhadap pemerintah, merupakan pahlawan
bagi masyarakat lokal setempat. Lihat, Suhartono, Jawa, Bandit-Bandit
Pedesaan Studi Historis..., 53

82
kegiatan kriminalitas dan bandit-bandit sosial bermunculan
dimana-mana. Para jawara yang disebut oleh pihak kolonial
sebagai bandit sosial, mendapat dukungan oleh berbagai lapisan
masyarakat wong Banten yang menjadi simpatisanya. Lingkungan
yang menguntungkan bagi para jawara, ditambah lagi dengan
dukungan masyarakat terhadap tindakan para jawara yang
merugikan pihak kolonial. 108 Keadaan seperti inilah yang
menyebabkan kelompok perbanditan jawara terus hidup. Suasana
magis di dalam kehidupan masyarakat Banten masih terpelihara
dengan baik, selain itu para jawara memiliki ilmu kesaktian magis
yang dapat diandalkan dalam melakukan aktivitasnya menghadapi
musuhnya.
Walaupun demikian, memang terdapat aktifitas perbanditan
murni yang dilakukan oleh para jawara. Apa yang menjadikan
sebagain jawara berperilaku sebagai bandit profesional. Faktor
yang menyebabkan demikian antara lain, ketika administrasi
kolonial menjadi semakin efektif, dan aristokrasi Banten
bergabung dengan penguasa-penguasa asing, maka sisa dari
gerombolan pemberontak yang dipukul mundur (1820-1845),
menjadi terisolasi dan tak berdaya, tanpa ikatan teritorial dan
tanpa dukungan dari penduduk setempat. Sebagai akibatnya,
keadaan yang demikian memaksa para jawara sebagai
pemberontak, menjadi bandit-bandit profesional. 109 Keadaan dan
situasi demikianlah, yang memaksa para jawara melakukan
tindakan-tindakan kriminal, menjadi bandit profesional. Padahal
dahulu para jawara ini, berjuang dan memberontak terhadap
penjajahan asing untuk membela rakyat.
Seperti yang sebelumnya telah dijelaskan sebelumnya, salah
satu jawara yang terkenal pada masa itu adalah Mas jakaria, yang
melakukan aktivitas perbanditan berlangsung pada tahun 1811-

108
Pada ke 19 M, Banten dianggap sebagi wilayah yang tersulit ditangani
oleh pihak pemerintahan kolonial, banyak perlawanan dan aksi perbanditan
yang dilakukan oleh para jawara. Hal tersebut merugikan pihak kolonial baik
dalam aspek ekonomi maupun stabilitas keamanan. Lihat, Ota Atsushi, Change
of Regim and Social Dynamic in West Java, Society, State, and the Outer
World of Banten 1750-1830 (Leiden Netherland: Brill, 2006), 143.
109
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten..., 171.

83
1827. Mas Jakaria merupakan salah satu tokoh jawara yang
berjuang demi rakyatnya dalam menentang hegemoni pihak
kolonial. Mas Jakaria yang dianggap sebagai bandit sosial,
menolong sesamanya dalam menentang penguasa kolonial. Selain
itu, diantara jawara yang terkenal sebagai bandit bandit ulung
diantaranya, Sahab, Conat, Ija, Sakam, Kamudin, dan Saniin.
Diantara mereka ada yang dikenal sebagai jawara aliran putih dan
jawara aliran hitam yang murni melakukan kejahatan biasa.
Jawara Sahab dan Ija misalnya mereka melakukan aktivitas
pebanditan dikarenakan untuk menolong rakyat, hal ini dapat
dilihat dari orang-orang pemerintahan kolonial Belanda dan para
pamong praja yang menjadi korbannya. Jawara Sahab yang
mengusai wilayah Banten Selatan, menjadi pelindung bagi
masyarakat setempat. Selain itu ia pun sering keluar masuk
penjara, dan pada akhirnya menjadi jaro di wilayah lebak untuk
menjaga stabilitas keamanan diwilayah itu. Selain itu, dikenal
pula Sakam sebagai jawara aliran hitam yang terkenal sebagai
bandit yang murni meresahkan warga. Ia merupakan jawara aliran
hitam yang ganas dengan menyerang desa dan tidak segan-segan
membunuh korbannya. Masyarakat Banten pada masa itu
mengkui bahwa Sakam adalah jawara yang memiliki kesaktian
yang luar biasa. 110
Jika Geertz mengklasifikasikan keberagamaan masyarakat
jawa dengan tiga varian, santri, abangan, dan priyayi. Maka ia
harus menjelaskan dimana posisi jawara, apakah kelompok ini
sebagai santri atau abangan. Jika dilihat dari aspek historis dan
kultural, kelompok jawara sangat erat berkaitan dengan islam.
Tetapi dalam sisi hal lainya, aktivitas kegiatan jawara cenderung
melakukan perbuatan-perbuatan kriminal dan sering mencampur
adukan tradisi lokal dan setempat. 111

110
Aktivitas perbanditan yang dilakukan oleh para jawara Banten, selalu
memperkuat militansinya dengan kekuatan magis dan keagamaan, tidak hanya
melakukan tindakan kriminalitas belaka. Lihat, Suhartono, Jawa, Bandit-
Bandit Pedesaan Studi Historis..., 149-151.
111
Tri kotonomi yang diciptakan oleh Geertz dalam mengklasifikasikan
keber-agamaan masyarakat Jawa, terdapat kekeliruan di dalam

84
Pada masa sekarang, jawara cenderung menjadi simbol
kelompok orang yang berhasrat dalam peranan-peranan
kemasyarakatan dengan bermodalkan keberanian. Dikalangan
masyarakat, istilah jawara sebagai bandit sosial masih melekat
sebagai sesuatu yang jelek dan negatif. Pencitraan masyarakat
tersebut, berdasarkan aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh para
jawara, dalam kegiatan kriminal dan premanise.
A. Profil Tokoh Jawara
a. Kiyai Wasyid dan Geger Cilegon

Menyebut nama besar kiyai Wasyid, sepertinya tidak lepas


dari sejarah perlawanan bersenjata yang paling menonjol di
Banten abad ke-19 terhadap kekuasaan pemerintahan Belanda.
Peristiwa yang dikenal dengan nama “Geger Cilegon” terjadi
pada 9 Juli 1888 yang dipimpin sejumlah ulama besar. Peran
Kiyai Wasyid dalam Geger Cilegon cukup signifikan.
Kemampuannya di bidang agama yang didapatkan dari Syekh
Nawawi al-Bantani, membuat kiyai Wasyid cukup disegani. 112
Perlawanan yang dikobarkan kiyai Wasyid bersama para tokoh
Banten dalam Geger Cilegon, dilatarbelakangi oleh kesewenang-
wenangan Belanda yang saat itu merupakan peralihan terhadap
kependudukan VOC (Verenigde Oostindische Compagnie) di
Banten.
Esensi peristiwa Geger Cilegon, yang motori oleh kiyai
Wasyid dan para ulama lainnya, adalah perjuangan membebaskan
diri dari penjajahan Belanda. 113 Kebencian masyarakat makin
memuncak, saat masyarakat tertekan dengan dua musibah yakni
dampak meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda (23 Agustus
1883). Letusan tersebut menimbulkan gelombang laut yang

merepresentasikan agama masyarakat Jawa. Lihat Clifford Geertz, Abangan,


Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981).
112
Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu
Banten..., 194.
113
Rachmat Djatnika, Perjuangan KH. Wasyid dan Para Ulama Banten
Lainnya Menentang Kolonialisme Belanda Pada Tahun 1888, dalam Mansyur
Muhyidin, Banten Menuju Masa Depan (Serang : Yayasan Kiyai Haji Wasyid,
1999), 117.

85
menghancurkan Anyer, Merak, Caringin, Sirih, Pasauran, Tajur,
dan Carita. Selain itu musibah kelaparan, penyakit sampar (pes),
dan penyakit binatang ternak (kuku kerbau) membuat penderitaan
rakyat bertambah berat.
Di tengah kemelut ini, kebijakan pemerintah kolonial
Belanda mengharuskan masyarakat membunuh kerbau karena
takut tertular penyakit, hal tersebut membuat warga semakin
terpukul. Belum lagi penghinaan Belanda terhadap aktivitas
keagamaan menambah rentetan alasan dilakukannya perlawanan
bersenjata. Di lain pihak, tekanan hidup yang makin terdesak
membuat warga banyak lari ke klenik (tahayul). Contoh kasus di
desa Lebak Kelapa, terdapat pohon kepuh besar yang dianggap
keramat, dapat memusnahkan bencana dan meluluskan yang
diminta asal memberikan sesajen bagi jin penunggu pohon.
Berkali-kali kiyai Wasyid mengingatkan penduduk bahwa
meminta selain kepada Allah termasuk syirik.
Namun fatwa kiyai Wasyid tidak diindahkan. Melihat
keadaan ini, kiyai Wasyid dengan beberapa murid menebang
pohon berhala pada malam hari. Inilah yang membawa Kiyai
Wasyid ke depan pengadilan kolonial pada 18 November 1887. Ia
dipersalahkan melanggar hak orang lain, sehingga dikenakan
denda 7,50 gulden. 114 Hukuman yang dijatuhkan kepada kiyai
Wasyid menyinggung rasa sensifitas keagamaan, dan rasa harga
diri muridnya. Satu hal lagi yang ikut menyulut api perlawanan
adalah dirobohkan menara Masjid di Jombang Tengah atas
perintah Asisten Residen Goebels.
Goebels menganggap menara yang dipakai untuk
mengalunkan azan setiap waktu Shalat mengganggu ketenangan
karena suaranya yang keras, terlebih lagi ketika azan salat subuh.
Asisten Residen menginstruksikan kepada Patih agar dibuat surat
edaran yang melarang salawat, tarhim dan azan dengan suara
keras. 115 Faktor-faktor ketidakpuasan terhadap sistem ekonomi,
politik dan budaya yang dipaksakan pemerintah kolonial Belanda

114
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten..., 272.
115
Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu
Banten..., 198.

86
berbaur dengan penderitaan rakyat. Perlawanan besar yang
dimotori oleh kiyai Wasyid pun dilakukan. Keterlibatan sejumlah
ulama dan jawara dalam Geger Cilegon membuat rakyat bangkit
melawan Belanda. Sayangnya, insiden ini dapat dipadamkan
Belanda karena serdadu Belanda yang dipimpin Letnan I
Bartlemy sudah terlatih. Meski api perlawanan dapat dipadamkan,
namun sebelumnya terjadi pertempuran hebat.
Kiyai Wasyid yang dianggap pemimpin pemberontakan
dihukum gantung, sedangkan yang lain dihukum buang. Haji
Abdurahman dan Haji Akiyaib dibuang ke Banda, Haji Haris
dibuang ke Bukiyait Tinggi, Haji Arsyad Thawil dibuang ke
Gorontalo, Haji Arsyad Qashir dibuang ke Buton, Haji Ismail
dibuang ke Flores, dan banyak lagi yang dibuang ke Tondano,
Ternate, Kupang, Manado, Ambon, dan Saparua. Jumlah semua
pimpinan yang terkait dengan pemberontakan “geger Cilegon”
dibuang sebanyak sembilan puluh empat 94 orang. 116
b. Mas Jakaria
Bagi masyarakat Banten, siapa yang tidak mengenal Mas
Jakaria, sosok jawara yang disegani. Ketokohannya diliputi
dengan kisah epik, romantik dan melegenda dikalangan warga
Banten. Jika di daerah Betawi kita mengenal sosok Si Pitung,
maka di Banten dikenal Mas Jakaria, Robin Hoodnya wong
Banten. Mas Jakaria merupakan keturunan keraton Kesultanan
Banten, 117 dalam silsilah keluarganya, memang telah dikenal
sebagai keluarga pemberontak.
Petualangan Mas Jakaria sebagai jawara dan pemimpin, telah
dikenal sejak menggerakan pemberontakan, dan menduduki
Pandeglang pada tahun 1811. Pada masa itu, Pandeglang
merupakan kota keraton kesultanan, karena atas desakan para
pemberontak pihak kolonial menobaatkan kembali Sultan.
Walaupun pada kemudian hari gerakan pemberontakan tersebut

116
Untuk lebih jelas daftar para tokoh yang dibuang, lihat Sartono
Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten
117
Dalam tradisi sejarah Banten, atau yang lebih dikenal dengan Sejarah
Haji Mangsur, nama Mas Jakaria disebut-sebut terkait dengan kerusuhan yang
terjadi disaat kepemimpinan Sultan Ishak. Lihat, G.W.J. Drewes, Short Notice
on The Story of Haji Mangsur of Banten (Paris : Arciphel, 1995)

87
dapat diatasi oleh pihak kolonial, dan ditangkapnya Mas Jakaria.
Dalam masa penahanannya, pada tahun 1827 Mas Jakaria berhasil
meloloskan diri kamp tawanan kolonial. 118 Dengan lolosnya Mas
Jakaria dari kamp penahanan, hal tersebut membuat kolonial
kewalahan. Mas Jakaria merupakan tokoh yang berbahaya, dan
dapat mengancam stabilitas keamanan di daerah Banten. Oleh
karena itu, pihak kolonial menjanjikan hadiah sebesar seribu
piaster Spanyol bagi siapa yang dapat menagkapnya. Taktik yang
digunakan oleh pihak kolonial untuk menangkap Mas Jakaria
dianggap sia-sia, hal ini dikarenakan Mas Jakaria merupakan
sosok yang sangat dihormati dikalangan penduduk Banten.
Setelah lolos dari kamp tahanan kolonial, dalam waktu
singkat ia berhasil mengumpulkan banyak pengikut, dan dalam
tahun itu pula (1827) ia kembali menggerakan pemberontakan.
Petualangan Mas Jakaria berakhir ketika ia ditangkap dalam
pengejaran, beberapa bulan setelah peristiwa pemberontakan, dan
kemudian dijatuhi hukuman mati. Riwayat hidupnya sebagai
seorang jawara dan pemberontak, sangat terkenal. Ia dianggap
memiliki kesaktian magis yang luar biasa, bahkan makamnya
diwarnai dengan suasana keramat.

C. Pola Hubungan Relasi Antara Ulama dan Jawara


Sebelumnya telah disinggung diatas bagaimana pola
hubungan yang terjadi antara ulama dengan jawara. Pengertian
ulama disini merupakan kiyai, karena masyarakat Banten lebih
familiar dengan sebutan kiyai jika dibandingkan dengan ulama.
Kiyai sendiri merupakan elit sosial dalam masyarakat wong
Banten, elit sendiri dapat diartikan sebagai tokoh, atau pemimpin
dalam suatu komunitas, dan lain sebagainya. Selain kiyai sebagai
elit sosial, terdapat jawara yang kemudian diakui oleh masyarakat
Banten sebagai elit sosial. Adapun proses lahirnya kedua elit
sosial tersebut memiliki akar historis yang panjang, karena kedua
elit tersebut antara jawara dan kiyai, sama-sama memiliki
hubungan historis dan kultural.

118
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten..., 171.

88
Menurut masyarakat Banten gelar kiyai hanya diberikan
kepada seorang yang “terpelajar” dalam pemahaman
keislamannya dan ia membaktikan hidupnya “demi mencari ridha
Allah” untuk menyebarluaskan serta memperdalam ajaran-ajaran
agama Islam kepada seluruh masyarakat melalui lembaga
pendidikan ataupun pesantren, yang menyandang gelar tersebut
biasanya memiliki kesaktian dan ahli kebatinan, ahli hikmah, guru
dan pemimpin masyarakat yang berwibawa yang memiliki
legitimasi berdasarkan kepercayaan masyarakat. Karenanya, gelar
kiyai merupakan suatu tanda kehormatan dalam kedudukan sosial,
bukan suatu gelar yang diperoleh dalam pendidikan formal.

Sedangkan jawara dalam pandangan masyarakat Banten


merujuk kepada seseorang atau kelompok yang memiliki
kekuatan fisik dalam bersilat (kanuragan) dan mempunyai ilmu-
ilmu kesaktian (kadigjayaan), seperti kekebalan tubuh dari senjata
tajam, bisa memukul dari jarak jauh dan sebagainya, sehingga
membangkitkan perasaan hormat dan takut, rasa kagum dan
benci. Berkat kelebihannya itu, ia bisa muncul menjadi tokoh
yang kharismatik, terutama pada saat-saat kehidupan sosial
mengalami krisis.

Tokoh-tokoh kiyai, terutama yang berperan sebagai


pemimpin tarekat. Selain dipandang sebagai orang yang mengerti
tentang pesan-pesan dan ajaran-ajaran agama, juga dipandang
sebagai sosok yang paling dekat pusat kekuatan supernatural.
Oleh karena itu, kiyai demikian dipercayai memiliki kekuatan
magis dan mistis, yang lebih dikenal dengan ilmu-
ilmu hikmah. Karena kharisma seseorang kiyai akan semakin
besar apabila disamping memiliki kemampuan untuk memahami
ajaran-ajaran agama, terutama kitab-kitab kuning juga dipercayai
oleh masyarakat, ia juga memiliki kekuatan mistis dan magis
yang besar pula. Sehingga ia dianggap dapat melakukan
perbuatan-perbuatan yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang
biasa.

Tokoh lain di wilayah Banten yang memiliki status sosial


yang dihormati dan disegani dalam masyarakat lokal karena

89
dianggap memiliki kemampuan untuk memanipulasi kekuatan
supra-natural yang berupa magis dan mistis adalah jawara. Jawara
dianggap memiliki ilmu-ilmu kedigjayaan (kesaktian) dan
menguasai ilmu persilatan. Selain itu jawara juga harus memiliki
keberanian (wanten, kawani) secara fisik. Dengan keberaniannya
tersebut, didukung oleh kemampuan dirinya dalam menguasai
ilmu bela diri (persilatan) dan ilmu-ilmu kesaktian. Karena itu
seseorang yang hanya memiliki ilmu-ilmu kadigjayaan dan
persilatan tidak akan dinamakan jawara apabila ia tidak memiliki
keberanian. Karena kelebihannya yang dimilikinya itu maka kiyai
dan jawara dipandang sebagai pemimpin masyarakat dan
merupakan “elit sosial” di masyarakat Banten.

Kedua tokoh tersebut memiliki pengaruh yang cukup besar di


masyarakat dan juga memiliki para pengikut yang setia.
Kepemimpinannya bersifat kharismatik, yakni: kepemimpinan
yang bertumpu kepada daya tarik pribadi yang melekat pada diri
pribadi seorang kiyai atau jawara tersebut. Karena posisinya yang
demikian tersebut, maka seorang kiyai atau jawara dapat selalu
dibedakan dari orang kebanyakan. Hal tersebut karena didukung
dari keunggulan kepribadian mereka. Kedua elit tersebut
dianggap, bahkan diyakini memiliki kekuatan supernatural
sehingga memiliki kemampuan luar biasa dan mengesankan di
hadapan masyarakat Banten.

1. Antara Guru dengan Murid

Menurut Hudaeri Pola relasi hubungan antara kiyai dan


jawara tersebut tidak bisa dilepaskan dari adanya jaringan sosial
antar mereka. Jaringan sosial tersebut terbentuk dari hubungan
adanya hubungan emosional yang dekat, yakni melalui jalur
kekerabatan, hubungan guru-murid seguru seelmu dan berbagai
lembaga-lembaga sosial lainnya. Dalam masyarakat tradisional
seperti Banten ini, jaringan sosial itu terbentuk dengan cara-cara
yang alamiah sehingga memiliki derajat hubungan emosional dan
solidaritas yang tinggi. Jaringan-jaringan sosial itu terbentuk

90
melalui hubungan kekerabatan, guru-murid dan lembaga-lembaga
sosial tradisional lainnya. 119
Dalam studinya Tihami menegaskan, bahwasanya polarisasi
hubungan antara jawara dengan kiyai, merupakan pola hubungan
antara seorang murid dan seorang guru. Dimana posisi kiyai
berperan sebagai guru dan jawara merupakan seorang murid.
Dahulu kiyai memiliki dua varian murid, diantara muridnya
tersebut ada yang memiliki kecenderungan bakat pada ilmu
pengetahuan agama. Tetapi, adapula diantara muridnya yang
memiliki kecenderungan kearah perjuangan.
Kiyai di Banten pada tempo dulu tidak hanya mengajarkan
ilmu-ilmu agama Islam, seperti halnya fiqih, aqidah, tasawuf,
tafsir ataupun hadist. Adapun kitab tafsir yang diajarkan para
kiyai Banten antara lain, tafsir Muruhu Labib, karya Nawawi al-
Bantani. 120 Akan tetapi disamping itu para kiyai, mengajarkan
ilmu persilatan atau kanuragan. Hal ini disebabkan pesantren,
pada masa yang lalu, berada di daerah-daerah terpencil dan
kurang aman, karena kesultanan tidak mampu menjangkau
daerah-daerah yang terpencil yang sangat jauh dari pusat
kekuasaan.
Pada akhirnya murid yang cenderung pada ilmu agama
disebut santri, sedangkan yang cenderung pada kekuatan fisik
dalam mengolah kanuragan dan bernuansa magis disebut dengan
jawara. 121 Dalam kultur tradisi budaya kejawaran bahwa seorang
jawara harus patuh dan tunduk kepada kiyai, karena disini kiyai
berperan sebagai tokoh guru dan orang tua yang membimbing
anaknya (jawara). Mungkin atas dasar tersebut, seorang pengurus

119
Wawancara dengan Hudaeri, Peneliti, dan akademisi Banten. Juni
2010.
120
Syekh Nawawi al-Bantani, Kitab Muruhu labib Tafsir Nawawi
(Semarang: Putra Semarang, 1992).
121
Menurut Tihami disinilah pada awal mula lahirnya seorang jawara
Banten dalam kehidupan masyarakat Banten, dan sampai pada akhirnya
menjadi kelas elit dalam masyarakat lokal. Lihat MA Tihami, “Kiyai dan
Jawara di Banten, Studi tentang Agama, Magi, dan Kepemimpinan di desa
Pesanggrahan Serang, Banten” (Jakarta: Tesis, Universitas Indonesia, 1992),
21.

91
persilatan dan seni budaya Banten menyatakan bahwa jawara itu
adalah khodimnya (pembantunya) kiyai. Bahkan seperti yang
diungkapkan salah seorang kiyai di Serang, juwara iku tentrane
kiyai (jawara itu tentaranya kiyai).
Oleh karena itu, dahulu jika pada masa kolonial posisi
jawara merupakan pengawal para kiyai. Pada masa-masa sulit
jawara banyak membantu peran para kiyai terutama dalam hal
keamanan dan ketertiban masyarakat. Kekuatan fisik, magis dan
kharisma para jawara diperoleh langsung dari kiyai. Perolehan
kesaktian kekuatan magis tersebut atas izin dan ridho dari kiyai
setelah seorang jawara dianggap memumpuni untuk menerima
trasform elmu kepadanya.
Untuk mempertahankan hubungan sosial tersebut muncul
mitos-mitos bagi para pelanggarnya. Sehingga setiap individu dari
komunitas tersebut tetap mematuhi aturan sosial tersebut.
Pelanggaran terhadap norma sosial dalam masyarakat tradisional
dipandang akan merusak tatanan sosial yang lebih luas, yang
akhirnya akan menimbul chaos atau kekacauan. Demikian pula
dengan kiyai dan jawara dalam mempertahankan status sosial
mereka. Mereka membuat aturan-aturan tertentu yang dapat
mempertahankan status sosial mereka yang diiringi dengan mitos-
mitos tertentu bagi para pelanggarnya. Aturan-aturan tersebut
diantaranya, adalah izajah dan kawalat.
Izajah adalah pernyataan restu dari seorang guru kepada
muridnya untuk mengamalkan atau mempergunakaan serta
mengajarkan suatu ilmu tertentu kepada orang lain. Izajah ini
sangat penting karena diyakini dapat menentukan berguna atau
tidaknya ilmu yang diberikan oleh seorang guru terhadap
muridnya. Pemberian izajah ini merupakan bentuk legitimasi bagi
sang murid dari gurunya bahwa ia telah dianggap menguasai ilmu
(elmu) yang dipelajarinya. Dalam lingkungan jawara, istilah
izajah juga diperlukan dalam mendapatkan atau mengajarkan

92
ilmu-ilmu yang bersifat magis. Tanpa izajah dari sang guru ilmu-
ilmu magis itu tidak akan “manjur.” 122

Sedangkan, kawalat (kualat) atau katulah adalah mendapat


bencana, celaka atau terkutuk karena telah melanggar suatu
larangan (tabu) dari aturan-aturan sosial yang telah ditetapkan.
Seorang murid akan kawalat apabila dia dianggap membangkang
perintah gurunya. Bentuk-bentuk kawalat itu bermacam-macam,
seperti sakit yang tidak bisa diobati, gila, kecelakaan, bangkrut
usahanya dan sebagainya.

Begitu pula ketika mereka membina hubungannya dengan


sesama kiyai dan jawara disatukan dalam dalam ruang lingkup
kebudayaan Banten. Sifat hubungan keduanya tidak hanya
bersifat simbiosis, yakni saling ketergantungan tetapi juga
kontradiktif. Jawara membutuhkan elmu dari kiyai, sedangkan
sebaliknya kiyai, atas jasanya tersebut, menerima
uang shalawat (bantuan material) dari jawara. Tetapi juga banyak
kiyai yang tidak senang terhadap berbagai perilaku jawara yang
sering menghalalkan segara cara, walau dengan cara kekerasaan
dalam menyelesaikan masalah.

Pola hubungan tersebut antara seorang guru dan murid


sampai saat ini terjalin, akan tetapi walaupun demikian terdapat
sebagian kiyai yang melepas para jawara, hal ini dikarenakan
telah terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh para jawara
dalam urusan politik. Lain halnya dengan Tihami, ia menegaskan
pola hubungan tersebut akan terus terjalin, dan tidak akan
terlepas. Hubungan antar murid dengan guru, merupakan unsur
tradisi kultur dan kebudayaan yang tetap dijaga oleh para jawara,
bahkan lebih dari itu hubungan emosional tersebut terjalin

122
Mohammad Hudaeri, Tasbih dan Golok, Studi tentang Kedudukan,
Peran dan Jaringan Kiyai dan Jawara di Banten. Laporan penelitian (Serang:
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten,
2002). Lihat pula Ahmad Rivai, “Suatu Tinajuan Kriminologi Atas
Kepemimpinan Koersif Jawara Dalam Pembuatan Kebijakan Pemerintahan Di
Daerah: Studi Kasus Di Wilayah X” (Depok: Tesis, Pasca Sarjana FISIP
Universitas Indonesia, 2003), 78.

93
layaknya antara anak dengan bapak. Oleh karena itu di dalam
dunia jawara dikenal dengan “kuwalat” yakni pemahaman tentang
seseorang akan tertimpa sial jika ia melawan guru atau orang
tuanya. Pada posisi ini, kiyai sebagai guru berperan sebagai orang
tua dari muridnya yakni para jawara.

Dalam tradisi jawara hubungan dengan guru dalam hal ini


adalah kiyai, terutama yang menurunkan ilmu kesaktian atau
magis, sama kedudukannya dengan orang tua. Anak buah jawara
menyebut para gurunya (kepala jawara) itu dengan panggilan
abah, yang artinya sama dengan bapak. Panggilan tersebut
menyimbolkan bahwa kedekatan hubungan guru-murid adalah
seperti kedekatan hubungan orang tua dengan anaknya. Kini relasi
seguru-seilmu ini sebenarnya masih bertahan dengan baik dalam
perguruan-perguruan persilatan yang masih tetap bertahan sampai
saat ini, bahkan mampu mengembangkannya sehingga satu
perguruan memiliki berapa cabang di daerah-daerah lain.

Akar hubungan historis dan kultural inilah, yang terjalin


antara kiyai dan jawara. Kutur dan kebudayaan tertentu dalam
suatu kelompok, tercipta dari akulturasi ataupun suatu difussi
antar kebudayaan. Dalam hal ini jawara merupakan produk dari
kebudayaan lokal setempat, terciptanya jawara dalam konstruk
budaya lokal sangat terkait dengan peran kiyai. Menurut Tihami
kiyai lah yang memiliki peran andil dalam melahirkan jawara
Banten, sampai diakuinya eksistensi jawara sebagai elit lokal
dalam komunitas warga masyarakat wong Banten.

2. Sebagai Tentara Kiyai

Menurut Ota Atsushi, pola relasi hubungan yang terjadi


antara jawara dengan kiyai dimulai pada masa abad ke 19.
Dimana para jawara berperan sebagai tentara kiyai, atau khodim
(pembantu) kiyai. Para kiyai sebagai elit masyarakat lokal
merupakan pemimpin dalam mengadakan pemberontakan
terhadap pihak kolonial. Sebagai pemimpin pemberontak, kiyai
merekrut para jawara untuk dijadikan pion-pion mereka dalam

94
melawan pemerintahan kolonial 123. Lebih dari itu, para jawara
mematuhi secara penuh apa yang diperintahkan oleh para kiyai.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya diatas, bahwa
disamping jawara sebagai tentara kiyai, jawara pun merupakan
murid dari kiyai. Rasa solidaritas dan intensitas kepatuhan yang
tinggi terhadap kiyai sebagai pemimpin, mengkonstruk budaya
jawara sebagai khodim (pembantu) kiyai. Tanpa instruksi dari
kiyai, jawara tidak akan melakukan tindakan apapun.
Munculnya kiyai sebagai tokoh agama yang dihormati di
wilayah Banten berkaitan dengan kontrol pemerintah kolonial
Belanda yang semakin kuat terhadap kesultanan Banten pada
abad ke-18 dan ke-19. Meskipun pemerintah kolonial masih tetap
mempertahankan pejabat-pejabat yang mengurusi soal-soal
keagamaan masyarakat Banten, seperti Faqih Najamuddin untuk
di tingkat atas dan para penghulu untuk di tingkat bawah, namun
pengaruh mereka semakin menurun, akibat intervensi pemerintah
kolonial yang terlalu besar. 124
Kiyai, yang pada saat itu merupakan tokoh agama yang
independen dan tidak bersentuhan langsung dengan pemerintah,
muncul sebagai tokoh masyarakat. Apalagi semenjak
jabatan Faqih Najamuddin dihapuskan oleh pihak pemerintah
kolonial Belanda. Penghapusan jabatan tersebut mengalihkan
loyalitas penduduk ke para kiyai. Pembayaran zakat pun yang

123
Atsushi selalu menyebut jawara dengan istilah”strong man”manusia
kuat, sakti, yang ada di Banten. Setelah runtuhnya Kesultanan Banten, situasi
sosial masyarakat Banten berada dalam suasana kekacauan. Pemberontakan-
pemberontakan selalu terjadi, oleh karena hal tersebut residen Banten
ditetapkan sebagai keresidenan yang sulit ditata dalam administrasi pemerintah
kolonial. Para kiyai berperan sebagai pemimpin pemberontakan, segala
element masyarakat direkrut termasuk jawara strong man direkrut kedalam
gerakan pemberontakan. Lihat Ota Atsushi, Change of Regim and Social
Dynamic in West..., 153-158.
124
Pada masa kekuasaan Kesultanan, sistem syariah lah yang digunakan
sebagi hukum legimasi, bahkan ketika VOC datang jabatan Qodi tetap
digunakan. Lihat Martin Van Bruinessen, Shari’a court, Tarekat and Pesantren
: Religius Istitutions in The Banten (Paris: Archipel, 1995), 171-172. Lihat pula
Muhammad Hudaeri : Tasbih dan golok, Studi tentang Kedudukan, Peran dan
Jaringan Kiyai dan Jawara di Banten. Laporan penelitian (Serang: Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten, 2002).

95
selama kesultanan Banten dan masa-masa awal pemerintahan
kolonial diserahkan kepada penghulu.
Setelah penghapusan jabatan Faqih Najamuddin yang
diberikan kepada para kiyai, pada tahun 1888 misalnya terjadi
pemberontakan hebat di Banten. Dimana KH. Wasyid memimpin
pemberontakan terhadap pemerintahan kolonial. Pemberontakan
tersebut yang kemudian dikenal dengan pemberontakan peetani
Banten atau Geger Cilegon. Pemberontakan yang dilangsungkan
oleh kiyai Wasyid dibantu oleh para jawara, termasuk Konidin
jawara yang paling disegani di Banten. Else Ensering,
mendeskripsikan pemberontakan-pemberontakan yang terjadi
Banten, baik peristiwa pemberontakan petani Banten,
pemberontakan komunis di Banten, merupakan pemberontakan
yang dimotori oleh para kiyai dan jawara Banten. 125
Pemberontakan kiyai yang dibantu oleh para jawara sangat
menarik jika dihubungkan dengan situasi, dan kondisi sosial
politik yang terjadi pada masyarakat Banten waktu itu. Menurut
Kartodirdjo keterlibatan kiyai dan jawara dalam pemberontakan
pada masa kolonial, dipergunakan oleh para kalangan aristokrat
saat itu yang memanipulasi isu-isu politik, ekonomi, dan budaya.
Tujuan tersebut demi kepentingan kekuasaan para kalangan
aristokrat, yang pada saat itu sedang mengalami deprivasi
politik. 126 Pemanipulasian kekuatan kiyai dan para jawara,
menimbulkan kerugian bagi pihak para kiyai dan jawara sendiri.
Pemberontakan yang dimotori oleh para ulama mengalami
kegagalan, yang berakibat kepada pembuangan besar-besaran
para tokoh kiyai dan jawara yang terlibat dalam pemberontakan
tersebut. Setidaknya terdapat 94 pemberontak yang terdiri dari
kiyai dan jawara yang dibuang oleh pihak kolonial. Diantaranya
ada yang dibuang didaerah Sulawesi, Maluku, Ternate, Kupang,
Padang, dan daerah lainnya.

125
Dalam kasus pemberontakan di Banten, kiyai tidak berperan sendiri
sebagai tokoh sentral pemberontakan. Setidaknya terdapat dua tokoh, pertama
kiyai dan kedua sebagian para Bangsawan, yakni keturunan Sultan Banten.
Sedangkan posisi jawara hanya hanya sebagai tentara ataupun pion ketika
menghadapi pihak kolonial. Lihat, Else Ensering, Banten in Times of ..., 132-
143.
126
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten..., 450-452.

96
Kiyai dalam masyarakat Banten merupakan tokoh panutan
masyarakat yang dihormati berkat perannya dalam mengarahkan
dan menata kehidupan bermasyarakat. Sedangkan jawara
berkedudukan sebagai pemimpin dari lembaga adat masyarakat
diapun tokoh yang dihormati apabila ia menjadi pemimpin atau
penguasa. Keduanya merupakan pemimpinan yang memiliki
pengaruh pada masyarakat Banten, kebesaran namanya sangat
ditentukan oleh nilai-nilai pribadi yang dimiliki, kemampuan
dalam penguasaan ilmu pengetahuan (agama dan sekuler),
kesaktian dan keturunannya.

Peranan kiyai dalam masyarakat Banten adalah sebagai tokoh


masyarakat (kokolot), guru ngaji, guru kitab, guru tarekat, guru
ilmu “hikmah” (ilmu ghaib) dan sebagai mubaligh. Peranan
seorang kiyai selain sebagai pewaris tradisi keagamaan juga
pemberi arahan atau tujuan kehidupan masyarakat yang mesti
ditempuh. Karena itu ia lebih bersifat memberikan pencerahan
terhadap masyarakat, semua itu menjadi masyarakat Banten yang
madani dan memiliki religiusitas yang tinggi, 127 peran-peran
seperti itu sangat diperlukan, apalagi bagi masyarakat yang masih
mencari jati dirinya. Sedangkan jawara lebih cenderung kepada
kekuatan fisik dan “batin”. Sehingga dalam masyarakat Banten
peran-peran yang sering dimainkan oleh para jawara adalah
menjadi jaro (kepala desa atau lurah), guru ilmu silat dan ilmu
“batin” atau magis, satuan-satuan pengamanan.

Peranan tersebut bagi masyarakat sangat membantu apalagi


saat Banten dalam kekacauan dan kerusuhan yang cukup lama,
namun demikian peranan para jawara dalam sosial, ekonomi dan
politik dalam kehidupan masyarakat Banten saat ini sangat

127
Dhofier menyebutkan nilai-nilai spiritual yang ikut membentuk
bangunan kehidupan spiritual kiyaiai selain zuh{u>d yang merupakan
pandangan keagamaan dari tasawuf Islam yang secara luas diamalkan oleh para
kiyaiai, adalah wiro’i (menjauhi diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang,
makruh dan yang tidak jelas boleh tidaknya), khusyu’(perasaan dekat dan
selalu ingat kepada Tuhan), tawakkal (percaya penuh kepada kebijaksanaan
Allah), sabar, tawaddlu’ (rendah hati), ikhlash dan shiddiq (selalu jujur dan
bertindak yangsebenarnya). Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren,
Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta: LP3ES, 1985), 165.

97
diperlukan. Tetapi akhir-akhir ini peranan para jawara mulai
berbeda dibandingkan dengan peranan jawara pada masa-masa
lalu dalam sejarah kehidupan masyarakat Banten sesuai
perkembangan zaman.

Pada tahun 1945 dimana Indonesia mendapatkan


kemerdekaannya, pada saat itu kekuasaan kresidenan Banten
langsung dipegang sepenuhnya oleh para kiyai. KH. Achmad
Khatib menjabat sebagai residen Banten, dan KH. Syam’un
menjabat sebagai kepala (BKR) Badan Keamanan Rakyat,
pimpinan tertinggi militer dengan pangkat kolonel 128. Begitu pula
dengan struktur dibawahnya, para Bupati, Wedana, Camat,
Kepolisian dan Lurah semua diserahkan kepada para kiyai.
Sementara itu peran jawara terlihat sebagai pendamping kiyai,
sekaligus pendamping pemerintah dalam menjaga stabilitas
keamanan masyarakat Banten. 129

Bagi masyarakat Banten dan sekitarnya, kiyai dipandang


sebagai tokoh masyarakat yang menjadi sumber kepemimpinan
informal terpenting. Masyarakat mematuhi perintah kiyai karena
memandang para kiyai sebagai sosok yang disegani. Berbeda
halnya dengan kedudukan kiyai, pamong praja dan jawara
merupakan kelompok sosial yang kedudukannya tidaklah
melebihi kedudukan para kiyai. Namun diantara ketiganya, kiyai
dan jawara menjadi golongan yang khas di daerah ini. Keduanya
diibaratkan bagai dua sisi mata uang, bahkan karena kedekatan
emosional diantara keduanya, jawara dianggap sebagai “khodam”
nya para kiyai. Karena dari para kiyailah sebagian besar
“keilmuan” jawara itu berasal. Oleh karena itu, tidaklah

128
Jika dibandingkan dengan masa sekarang (BKR) Badan Keamanan
Rakyat, setara dengan (TNI) Tentara Nasional Indonesia. Sedangkan posisi
jabatan KH. Syam’un sama halnya dengan Pangdam (Panglima Daerah Militer)
Sultan Maulana Hasanuddin Banten.
129
Pola hubungan relasi yang teradi antara jawara dengan kiyai pada
masa perjuangan dan kemerdekaan, dapat diartikan sebagai tentara kiyai
ataupun pendamping kiyai. Lihat Else Ensering, Banten in Times of Revolution
(Paris: Archipel, 1995), 148-157. Lihat pula, Ahmad Abrori, “Perilaku Politik
Jawara Banten Dalam Proses Politik di Banten” (Depok: Tesis, Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik, Universitas Indonesia, 2003), 63.

98
berlebihan kalau Taufik Abdullah menyebut Banten, sebagai
“negeri para kiyai dan jawara”. 130

Penjelasan di atas tentang peran yang dimainkan oleh kiyai


dan jawara serta relasi hubungan yang dibangun oleh kedua
menggambarkan dalam tahapan yang lebih lanjut bahwa kedua
kelompok masyarakat tersebut memiliki kultur yang berbeda
dalam lingkupan kebudayaan Banten. Kiyai lebih banyak
berperan sebagai tokoh masyarakat dalam bidang sosial
keagamaan. Sedangkan, jawara lebih banyak berperan dalam
lembaga adat pada masyarakat Banten. Kiyai dan jawara
merupakan sumber kepemimpinan tradisional informal, terutama
masyarakat pedesaan. Kiyai mewakili kepemimpinan dalam
bidang pengetahuan, khususnya keagamaan. Sedangkan jawara
mewakili kepemimpinan berdasarkan kriteria keberanian dan
kekuatan fisik (kesaktian).

Pola hubungan relasi tentang peran-peran yang dimainkan


oleh kiyai dan jawara serta jaringan sosial yang dibangun oleh
keduanya, menggambarkan dalam tahapan yang lebih lanjut,
bahwa kedua kelompok elit lokal tersebut memiliki kultur yang
berbeda dalam lingkupan kebudayaan Banten. Kiyai lebih banyak
berperan sebagai tokoh masyarakat dalam bidang sosial
keagamaan. Sedangkan, jawara lebih banyak berperan dalam
lembaga adat pada masyarakat Banten.

Dalam hubungan sosial bersifat integratif, jawara


membutuhkan kiyai sebagai sebagai tokoh agama dan sumber
kekuatan magis. Sebagai tokoh, kiyai merupakan alat legitimasi
yang penting dalam kepemimpinan jawara, Tanpa dukungan dari
para kiyai, para jawara akan sulit untuk menjadi pemimpin formal
masyarakat. Sedangkan kepentingan kiyai terhadap jawara adalah
bantuannya, baik fisik atau materi. Seorang jawara yang meminta
ilmu (kesaktian dan magis) dari kiyai, ia akan memberikan
sejumlah materi, seperti uang atau benda-benda berharga, yang
dinamakan dengan salawat. Pemberian salawat kepada kiyai

130
Nina H Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah : Sultan, Ulama,
Jawara (Jakarta: LP3ES, 2003), 129.

99
dipandang sebagai penebus “berkah” kiyai yang telah diberikan
kepadanya.

Salah satu hubungan relasi tradisional yang dibangun


kelompok kiyai dan kelompok jawara adalah mengandalkan
hubungan kedekatan emosional yang dalam. Oleh karena itu,
jaringan yang terbentuk pun melalui hubungan kekerabatan, baik
melalui hubungan nasab atau perkawinan, hubungan guru dengan
murid, lembaga sosial-keagamaan seperti perkumpulan pesantren
atau perguruan.

Ketika membina relasi hubungannya dengan sesama


subkultur, kiyai dan jawara disatukan dalam dalam ruang lingkup
kebudayaan Banten. Karena itu, sifat hubungan keduanya tidak
hanya bersifat simbiosis, saling ketergantungan, tetapi juga
kontradiktif. Jawara membutuhkan ilmu dari kiyai, sebaliknya
kiyai atas jasanya tersebut menerima uang salawat (bantuan
material) dari jawara. Akan tetapi, banyak juga kiyai yang tidak
senang terhadap berbagai perilaku jawara yang sering
mengedepankan kekerasaan dalam menjalin hubungan sosial.

Kiyai dalam masyarakat Banten merupakan elit sosial dalam


bidang sosial-keagamaan. Ia merupakan tokoh masyarakat yang
dihormati atas peran-peran yang dimiliki dalam mengarahkan dan
menata kehidupan sosial. Sedangkan, jawara berkedudukan
sebagai pemimpin dari lembaga adat masyarakat. Ia menjadi
tokoh yang dihormati apabila ia menjadi pemimpin sosial berkat
penguasaannya terhadap sumber-sumber ekonomi 131 saat ini.
Keduanya merupakan sumber-sumber kepemimpinan tradisional
masyarakat yang memiliki pengaruh melewati batas-batas
geografis. Kebesaran namanya sangat ditentukan oleh nilai-nilai
pribadi yang dimiliki masing-masing kelompok.

131
Sumber-sumber ekonomi yang dimaksudkan disini adalah, dominasi
para jawara Banten dalam memainkan perananya sebagai patron ekonomi di
wilayah Banten. Setidaknya pada saat ini para jawara telah menguasai
perekonomian diwilayah Banten, lain halnya dengan para kiyai yang
peranannya redup dalam aspek politik dan ekonomi.

100
3. Perbedaan Peranan Antara Jawara dan Kiyai

Tabel 1 : Perbedaan Antara Jawara dan Kiyai

Jawara Kiyai
Ruang lingkup - Sebagai informal - Sebagai informal
nilai leader leader
perbedaan - Pemimpin Padepokan - Pemimpin pesantren
antara Kiyai Paguron Silat - Guru ngaji
dan Jawara - Pemain Debus - Pemimpin upacara
dalam - Penguasa / preman ritual keagamaan
masyarakat Pasar - Ahli hikmah
Banten - Jaro/ Lurah
- Pendekar Banten, dan
tergabung di dalam
(PPPSBBI)

Kepemimpinan dan Kharisma Jawara

Setelah sebelumnya dibahas tentang peranan jawara pada


masa kolonial, dan relasi hubungan yang terjalin antara kiyai
dengan jawara. Maka pada bagian ini, akan dibahas pola
kepemimpinan dan kharisma yang melekat pada seorang jawara.
Sebagai elit sosial, jawara memiliki daya tarik tersendiri
dikalangan masyarakat. Berbeda halnya dengan kebanyakaan

101
daerah-daerah lain di Indonesia, Banten memiliki jawara sebagai
produk budaya lokal.

Kepemimpinan jawara dalam masyarakat Banten sering


dipandang sebagai kepemimpinan non formal, atau informal
leader. Kartodirdjo sendiri menyebut dua element ini (kiyai dan
jawara), sebagai elit yang menembus batas-batas hirarki sosial
masyarakat. 132 Pemimpin adalah elit dalam suatu kelompok,
menjadi pemimpin dalam suatu kelompok kelompok adalah elit
dari kelompok tersebut adalah. Menurut Lidlle, elit merupakan
kelas sosial yang mendapat penilaian penghargaan tinggi dalam
suatu, karena nilai-nilai yang mereka peroleh, sehingga akan
mencapai kedudukan dominan dalam suatu kelompok tersebut.133
Elit sendiri dapat diartikan, mereka yang mencapai puncak posisi
institusi dalam masyarakat. Sedangkan nilai-nilai values tersebut
dapat berbentuk kekuasaan, kehornatan, ataupun kekayaan.
Eksistensi kepemimpinan bagi sebagaian jawara dalam
masyarakat Banten, dapat berupa formal leader maupun informal
leader. Seperti halnya yang dibahas dalam riset Hudaeri
sebelumnya, bahwa ada sebagain jawara yang berperan sebagai
jaro lurah dikalangan masyarakat desa, jabatan seperti ini
merupakan jabatan yang formal sebagai pemimpin. Bahkan
terdapat pula kalangan jawara yang beraktivitas sebagai pejabat
pemerintah. Tetapi bagi masyarakat Banten, figure jawara
dianggap sebagai informal leader dalam masyarakat.
Besarnya peranan jawara dalam komunitas masyarakat
Banten, terkait dengan latar belakang historis, dan tingkat
religiusitas masyarakat lokal yang tinggi pada masa pemerintahan
kolonial. Dimana Kiyai dan jawara berperan sebagai pemimpin
perjuangan dalam melawan pihak kolonial. Sebagai pemimimpin
dalam komunitas lokal, jawara memiliki daya tarik tersendiri

132
Maksud dari elit atau golongan yang menembus batas-batas hirarki
sosial masyarakat disini adalah, golongan yang memiliki peranan signifikan
dalam masyarakat Banten dan menjadi pemimpin masyarakat non formal,
disinilah kapasitas kiyai dan jawara sebagai pemimpin lokal. Lihat Sartono
Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. (Jakarta: Pustaka Jaya,
1984), 82-84.
133
William R. Liddle, Leadership and Culture in Indonesia Politics
(Sidney Allen and Urwin, 1996) 65-67.

102
yakni sebagai pemimpin lokal yang memiliki aura kharismatis
dan kewibawaan tersendiri. Peranan eksistensi mereka sebagai
informal leader dalam masyarakat wong Banten, terkadang
melebihi otoritas kepemimpinan pemerintahan yang resmi di
daerah maupun dipusat.

Kepemimpinan jawara sebagai elit sosial dalam masyarakat


Banten, memiliki ciri khas yang berbeda, yakni kharisma yang
dimiliki oleh para jawara. Tanpa kharisma, kepemimpinan jawara
tidak berbeda jauh dengan model-model kepemimpinan lainya di
indonesia. Kepemimpinan kharismatis inilah yang menjadikan
jawara sebagi elit sosial dalam masyarakat wong Banten.
Sedangkan otoritas kepemimpinan jawara berasal dari
kepercayaan, dalam hal ini agama merupakan sumber otoritas
kepemimpinan para jawara. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa
eksistensi jawara sangat berkaitan erat dengan agama Islam.
Jawara sendiri muncul akibat akulturasi antara kebudayan lokal
setempat dengan Islam. Interaksi kebudayaan inilah yang berhasil
menciptakaan jawara sebagai produk lokal, dan elit sosial
masyarakat Banten.

Menurut Martin Van Bruinessen tingkat intensitas religiusitas


masyarakat Banten terhadap Islam, diakui memiliki tingkat
religiusitas yang tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari aspek
historis dan sosial masyarakat, antara lain :

1. Banten merupakan salah satu wilayah kesultanan


Islam di nusantara
2. Lembaga-lembaga seperti Tarekat dan Pesantren
berkembang pesat diwilayah ini, demikian pula
dengan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang
diterima oleh masyarakat.
3. Lembaga Qodi hukum syari’ah pada masa kesultanan,
dijadikan sebagai hukum perdata dan pidana yang
resmi bagi masyarakat Banten.
4. Kiyai dianggap sebagai pemimpin masyarakat lokal
bahkan terkesan dikultuskan.

103
5. Jumlah masyarakat Banten yang pergi ke tanah suci
Mekah lebih banyak jika di bandingkan dengan
daerah-daerah lain di nusantara.
6. Segala aspek kehidupan upacara tradisi masyarakat
diwarnai oleh ritual agama. 134

Dalam kehidupan sehari-hari, agama dijadikan acuan oleh


masyarakat untuk menjawab persoalan problematika segala aspek
kehidupan. Sebagai masyarakat yang berbasiskan agraria,
persoalan gagal atau berhasilnya hasil pertanian juga mengacu
kepada agama. Agama bagi masyarakat setempat adalah suatu
sistem keyakinan dan upacara-upacara atau perbuatan-perbuatan
untuk memperoleh kebaikan.

Berkaitan dengan jawara, bahwa kekuatan magis supranatural


merupakan bagian terpenting dalam kehidupan kelompok jawara.
Pengetahuan tentang kesaktian, magis, dan supranatural
bersumber dari adanya keyakinan tentang kekuatan-kekuatan dan
kemurahan-kemurahan Tuhan. Bagi masyarakat Banten Tuhan
dianggap memiliki segala kekuatan dan memiliki segala
kehendak. Kekuatan tersebut sebagian diberikan kepada
ciptaannya selain manusia, sebab pada dasarnya manusia
dianggap tidak memiliki kekuatan apa-apa.

Istilah pemimpin dalam leader menurut Thomas Wren secara


tradisional adalah seorang yang dengan jelas dibedakan dengan
orang lain dalam hal kekuasaan, status dan pandangan. disamping
itu ia membuat table bentuk kepemimpinan diantaranya memiliki
karakter, pendirian, keberanian, kharisma dan integritas. 135

134
Martin Van Bruinessen, Shari’a court, Tarekat and Pesantren :
Religius Istitutions in The Banten (Paris: Archipel, 1995), 168-179. Penyebaran
Islam di Banten telah berhasil masuk dan diterima oleh masyarakat lokal,
kehadiran Islam sebagai agama dipegang kuat sebagai prinsip, bahkan muncul
kearah fanatik keagamaan. Salah satu contoh, di wilayah Pandeglang, Rangkas
dan sekitarnya tidak didapati gereja, ataupun tempat peribadatan selain Islam.
Inilah semangat keberagamaan masyarakat Banten dalam memegang Islam,
dan menolak eksistensi kehadiran agama lain selain Islam.
135
Tentang teori-teori leadership yang dianalisa oleh Thomas wren,
meliputi beberapa kajian antara lain antropologi budaya dan pemahaman sosial

104
Tanda-tanda yang menunjukan kepemimpinan ini, hanya dimiliki
oleh sebagian orang saja. Berdasarkan teori diatas, maka manusia
diklasifikasikan kedalam dua bagian. Pertama golongan yang
memimpin, dan hanya terdiri dari sebagian kecil saja yang
terpilih. Kedua, golongan yang dipimpin, seperti kebanyakan
lainnya. 136 Ciri-ciri diatas merupakan suatu persyaratan bagi
seseorang untuk menjadi pemimpin, walaupun demikian tidak
berarti seorang pemimpin tidak berarti harus memenuhi semua
persyaratan tersebut.

Jika didalam kepemimpin terdapat prasyarat yang harus


dipenuhi untuk menghadirkan seorang pemimpin. Maka
terjadinya suatu kepemimpinan berdasarkan proses pemilihan
tertentu. Oleh karena itu, kepemimpinan dapat diwujudkan melaui
proses usaha-usaha tertentu demi meraih posisi kepemimpinan
tersebut. Adapun, bentuk upaya usaha yang dilakukan oleh
seseorang dalam meraih kepemimpinan, tergantung kepada
kebudayaan dimana kepemimpinan tersebut berada. Kebudayaan
merupakan unsur terpenting dalam proses penilaian dan
penentuan kepemimpinan dalam suatu daerah. Kepemimpinan
sendiri merupakan suatu integral keseluruhan dalam
kebudayaan. 137

Kepemimpinan adalah suatu proses seseorang mempengaruhi


orang lain untuk menunaikan suatu misi, tugas, atau tujuan dan
mengarahkan organisasi yang membuatnya lebih kohesif dan
koheren. Mereka yang memegang jabatan sebagai pemimpin
menerapkan seluruh atribut kepemimpinannya (keyakinan, nilai-

tentang kepemimpinan itu sendiri. George R. Goethals and Georgia. L.J.


Sorenson, The Quest For General Theory Of Leadership (Northampton: Edwar
Elgar Publishing, 2006), 13.
136
Kartodirdjo, mengklasifikasikan kelompok tersebut, berdasarkan
pemberontakan yang terjadi di Banten, dimana hanya sebagian kecillah
kelompok yang berperan sebagai pemimpin. Lihat Sartono Kartodirdjo,
Pemberontakan Petani Banten..., 16.
137
Lebih jauh lagi Harvey mendefinisikan kepemimpinan leadership
adalah bagian integral dari sisi kehidupan alami natural manusia, sedih, senang,
bahagia dan lain sebagainya, dapat mempengaruhi gaya kepemimpinan. Lihat
Michael Harvey dalam, George R. Goethals and Georgia. L.J. Sorenson, The
Quest For General Theory Of Leadership..., 39-41.

105
nilai, etika, karakter, pengetahuan, dan ketrampilan). Jadi seorang
pemimpin berbeda dari majikan, dan berbeda dari manajer.
Seorang pemimpin menjadikan orang-orang ingin mencapai
tujuan dan sasaran yang tinggi. Sedangkan seorang majikan
memerintah orang-orang untuk menunaikan suatu tugas untuk
mencapai tujuan.

Di dalam kehidupan masyarakat Banten ada aturan-aturan


yang disebut agama dan darigama. Agama adalah aturan-aturan
yang dianggap sakral, sedangkan darigama dipandang sebagai
suatu yang profan. Walaupun demikian, sesuatu yang profan
dikalangan masyarakat Banten kadang kala sering dianggap suatu
yang sakral, karena diselimuti oleh agama. Aturan-aturan agama
adalah segala sesuatu yang harus diyakini, dipatuhi, dan ditakuti.
Hal tersebut dipercaya dapat membawa kebahagiaan dalam
kehidupan mayarakat. 138

Kehidupan manusia tidak hanya mengacu kepada aspek


peraturan agama saja, melainkan disisi lain terdapat aturan yang
bukan dari agama. Peraturan tersebut dinamakan darigama, yang
ditaati pula oleh masyarakat Banten. Aturan-aturan darigama ini
biasanya tidak bertentangan dengan agama. Sebaliknya peraturan
agamapun tidak bertentangan dengan aturan darigama. Kedua
aturan inilah yang biasa disebut oleh masyarakat Banten sebagai
Tata Tentrem Kerta Raharja hidup makmur, aman dan tertib.
Walupun kedua aturan itu berbeda sumbernya, namun keduanya
bertujuan sama yakni ingin membahagiakan kehidupan manusia.
Dalam pengajiannya Kiyai Nuralam mengatakan bahwa :

“agama eta sumberna ti Pangeran (koasa), umpami


darigama teh ti pamarentah........ moal mantak pamarentah
nyilakakeun rakyatna! Jadi, kadua duana (agama dan darigama)

138
Ahmad Rivai, “Suatu Tinajuan Kriminologi Atas Kepemimpinan
Koersif Jawara Dalam Pembuatan Kebijakan Pemerintahan Di Daerah : Studi
Kasus Di Wilayah X” (Depok: Tesis, Pasca Sarjana FISIP Universitas
Indonesia, 2003), 75.

106
tujuana mah sami. Sami-sami ngabahagiaken urang
sadayana”. 139

Agama itu sumbernya dari Tuhan, adapun darigama


bersumber dari pemerintah...... tidak mungkin pemerintah ingin
mencelakakan rakyatnya! Jadi, kedua-duanya memiliki tujuan
yang sama. Sama-sama ingin membahagiakan kita semua”. Para
kiyai di Banten biasanya dekat dengan para penguasa, baik itu
pejabat daerah maupun pusat. Terlebih lagi pada masa Orde baru,
para kiyai dan jawara direkrut oleh pemerintah pusat dan
dijadikan motor penggerak partai tertentu. Oleh karena itu, tidak
heran jika para tokoh kiyai mendukung kebijakan-kebijakan yang
dilakukan oleh pemerintah.

Kewenangan terhadap dua aturan tersebut melahirkan dua


macam model kepemimpinan, pertama kepemimpinan agama
(kiyai) dan kepemimpinan darigama (pemerintah). Kiyai dan
pemerintah inilah yang menjadi pemimpin, karena memiliki
kelebihan-kelebihan dibandingkan dengan kebanyakan orang
lainya. Salah satu kelebihan kiyai yakni memiliki pengetahuan
dalam mengolah ilmu kesaktian magis, dan mentranfromnya
kepada orang yang memerlukanya. Kemampuan seperti inilah,
yang menjadikan salah satu faktor pendukung kiyai menjadi
pemimpin dalam masyarakat Banten.

Masyarakat Banten memiliki kepercayaan tentang


keberadaan kehidupan magis, sebagian diantaranya adalah elmu
kesaktian. Elmu kesaktian atau yang lebih dikenal dengan
kedigjayaan biasanya meliputi kemampuan untuk meemancarkan
kharisma, kewibawaan, bahkan ditakuti. Lebih dari itu,
kemampuan magispun meliputi tenaga dalam, ilmu kebal dari
senjata tajam, brajamusti, ziyad, dan lain sebagainya. Ilmu-ilmu
magis kesaktian seperti inilah yang banyak dibutuhkan dan
dimiliki oleh para jawara. Jawara yang dikategorikan memiliki
kemampuan seperti diatas, ditenggarai cukup banyak. Namun
demikian tidak semua jawara dapat menjadi pemimpin, kecuali

139
Hasil ceramah pengajian yang disampaikan oleh KH. Nuralam
(tokoh ulama) di Masjid Baetussa’adah, Kp. Kadu, Curug, Mei 2010.

107
jika ia menduduki jabatan formal, baik dipedesaan ataupun
diranah politik. Disamping itu, tokoh jawara dipandang sebagai
pemimpin jika ia menjadi pengusaha. 140 Akhir-akhir ini banyak
diantara jawara yang beralih profesi menjadi enterpreneur.

Kekuatan supranatural magis, dan kesaktian para jawara


bersumber dari ajaran-ajaran Islam. Kesaktian magis tersebut
dapat dimanifestasikan dalam berbagai bentuk, seperti halnya
jimat, rajah dan benda pusaka lainnya. Tanpa keahlian dalam
mengolah kesaktian magis, jawara tidak memiliki otoritas
kepemipinan dikalangan masyarakat. Dengan magis dan
kesaktianlah, jawara mampu berperan sebagai pemimpin. Karena
salah satu peran yang dimainkan jawara dalam peranan tradisional
yakni sebagai jaro lurah, yang memiliki tangggung jawab
memelihara stabilitas keamanan di desa.

Kharisma sendiri adalah gejala sosial yang terdapat ketika


kebutuhan kuat muncul terhadap legitimasi otoritas. Sedangkan
yang menentukan kebenaran kharisma adalah pengakuan
pengikutnya. Pengakuan atau kepercayaan kepada tuntutan
kekuatan gaib merupakan unsur integral dalam gejala kharisma.
Kharisma adalah pengakuan terhadap suatu tuntutan sosial. Gejala
kharisma pada umumnya muncul pada waktu krisis, waktu perang
atau pada waktu kebudayaan saling bertentangan, terutama
disebabkan masalah akulturasi. Kharisma selalu menyebabkan
perubahan sosial, dan akan memunculkan sebuah konflik antar
pihak. 141 Situasi masyarakat sebelum kharisma tidak pernah sama
setelah kharisma.

140
Menjadi pengusaha dan beralih dibidang bisnis tidak menghilangkan
identitas dan kharisma jawara sebagai pemimpin lokal. Justru sebaliknya,
penguasaanya terhadap aspek perekonomian menjadikan jawara lebih memiliki
otoritas kekuasaan dan berpengaruh. Disamping itu kharisma jawara sebagai
pemimpin lokal, menjadi lebih desegani. Lihat Abdul Hadi, dalam Okamoto
Masaakiyai dan Abdur Rozakiyai, Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal Di Era
Reformasi (Yogyakarta: CSEAS IRE Press, 2006), 76.
141
Konflik dapat terjadi ketika salah satu pihak benar-benar merasa puas
dengan posisinya dan menganggap pihak lain mengancam posisinya tersebut.
Kharisma dapat dikatan sebagai salah satu instrument terciptanya konflik

108
Dari segi kemunculannya, kharisma yang disematkan pada
seorang pemimpin itu terkandung pada persepsi rakyat yang
dipimpinnya. Dengan demikian, dapat didefinisikan kembali
tanpa keluar dari maksud Weber yang hakiki, sebagai kemampuan
seorang pemimpin untuk mendapatkan kehormatan, ketaatan serta
kehebatan terhadap dirinya sebagai sumber dari kekuasaan
tersebut. Dan apa yang dilakukan pemimpin kharismatik guna
memaksakan kekuasaannya terhadap mereka yang dipimpin
olehnya, serta bagaimana dilaksanakannya. Dan hal yang perlu
digaris bawahi adalah bahwa kharisma itu berlaku melalui
persepsi pengikutnya sehingga kedudukan Kharisma dapat
berbeda atas pemimpin lainnya. Jhon Potts menegaskan bahwa
Weber lah yang telah membuat teori-teori baru tentang kharisma
ataupun kepemimpinan kharisma itu sendiri. Lebih jauh lagi,
Weber telah membagi dan mengklasifikasi model-model
kepemimpinan kharismatik. 142
Proses ini secara umum dapat dikatakan sebagai suatu
interaksi antara pemimpin dengan pengikutnya. Di dalam
interaksi itu terdapat suatu integritas bahwa ketika pemimpin itu
mengungkapkan maka pengikutnya menerima tentang pengenalan
dirinya sebagi pemimpin dan tentang pendapatnya mengenai
dunia mereka yang sebenarnya, dan bagaimana semestinya dunia
itu. Adapun hal yang perlu ditekankan pada pemimpin
kharismatik adalah kepemimpinan nasional yang mampu
menggandeng semua kelompok, golongan, etnis, suku, agama dan
siapapun saja untuk mendapatkan kesetiaan.
Dalam hal ini analisis Weber tentang Kharisma, adalah suatu
kualitas tertentu dalam kepribadian seseorang dengan mana dia
dibedakan dari orang biasa dan diperlakukan sebagai seseorang

tersebut. Lihat Dean G. Pruitt, Jeffrey Z. Rubin, Sung Hee Kiyaim, Social
Conflict Escalation, Stalemate, and Setllement (USA: McGraw-Hill, 1994).
142
Akar mula sejarah tentang pemahaman kharisma itu sendiri dimulai
pada munculnya kebudayaan Yunai dan Yahudi, dimana kepemimpinan para
elit-elit tersebut dianggap memiliki kekuatan adikodrati, baik sang penguasa
ataupun kaum agamawan. Weber sendiri menciptakan teori-teori tentang
kharisma berdasarkan studinya pada umat Kristen Protestan, dimana para
pendeta dianggap memiliki nilai-nilai kharismatik. Lihat Jhon Potts, A History
of Charisma (New York: Palgrave Macmillan, 2009), 106-107.

109
yang memperoleh anugerah kekuasaan adikodrati, adimanusiawi,
atau setidak-tidaknya kekuatan atau kualitas yang sangat luar
biasa 143. Kekuatannya sedemikian rupa sehingga tidak terjangkau
oleh orang biasa, tetapi dianggap sebagai berasal dari khayangan
atau sebagai teladan dan atas dasar itu individu tersebut
diperlakukan sebagai seorang pemimpin.
Bagi Weber kharisma memainkan dua peranan yang sangat
menonjol dalam kehidupan. Sebagai hal yang luar biasa, kharisma
merupakan sumber kegoncangan dan pembaharuan, karena itu
merupakan unsur strategis dalam perubahan sosial. 144 Salah
variabel yang representatif untuk menjelaskan kharisma dan
kepemimpinan kharismatik adalah kharisma yang dimiliki oleh
para jawara di Banten. Jawara merupakan pemimpin kharismatik
dalam lingkup budaya lokal masyarakat Banten.
Bagi Weber salah satu bentuk kewibawaan kepemimpinan
adalah charismatic authority, kekuasaan ataupun kepemimpinan
kharismatik yang didukung oleh kekuatan luar biasa. Kekuatan
luar biasa inilah yang ia sebut dengan kekuatan adi kodrati, yang
kadang kala ditandai dengan kekuatan magis. Dari sudut pandang
inilah kepemimpinan kharismatis jawara tidak terlepas dari
otoritas kekuatan magis yang mereka miliki. Kekuatan dalam
mengolah ilmu kesaktian magis merupakan kemampuan yang
membedakannya dengan orang kebanyakan. Dalam
kepemimpinan jawara yang berperan sebagai jaro, kerap kali
memerlukan ilmu kesaktian magis. Kemampuan magis
diperlukan oleh seorang jaro, karena terkait dengan tugas yang ia
emban untuk menjaga desa dari segala gangguan keamanan.
Kemampuan seperti inilah yang mengkonstruk para jawara
menjadi pemimpin yang penuh dengan wibawa dan kharisma,
143
Diskusi Weber mengenai pengesahan kekuasaan dimulai dari sini,
sosiologi politik Weber banyak menganalisi mengenai struktur sosial dan
perubahan sosial, khususnya tentang masyarakat tradisional yang menjadikan
kharisma sebagai legitimasi. Lihat Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik dari
Comte Hingga Parsons (Bandung: Rosdakarya, 2006), 280.
144
Pandangan Weber tentang legitimasi penguasa kharismatik tergantung
pada keyakiyainan suatu masyarakat, dan hal tersebut terjadi pada masyarakat
tradisional. Lihat Max Weber, The Hand Book of Sociology, Studi
Komprehensif Sosiologi Kebudayaan (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), 65.

110
disamping hal tersebut terdapat kelompok kiyai yang juga
memiliki wibawa dan kharisma dalam pandangan masyarakat
lokal.
Terdapat sejumlah peraturan-peraturan yang berakar pada
agama Islam, yang memperkokoh eksistensi jawara sebagai
pemimpin kharismatik dalam pandangan masyarakat Banten.
Peraturan-peraturan tersebut dapat dikatakan sebagai bakti jawara
terhadap kiyai, dimana kiyai sebagai guru dan orang tua bagi para
jawara. Peraturan-peraturan yang dipatuhi oleh jawara sendiri
antara lain, pebakti, izajah dan kawalat. 145
Salah satu tokoh jawara yang memiliki kharisma dan disegani
oleh masyarakat Banten pada masa kini adalah, H. Tb Chasan
Sohib seorang jawara yang kharismatik dalam pandangan
masyarakat lokal. Ia memiliki lebih dari 20 jabatan penting, mulai
sebagai ketua umum pengurus besar pendekar, ketua umum satkar
ulama, ketua umum Kadin Banten sampai penasehat ikatan
persaudaraan Lampung, Banten dan Bugis. Dalam bidang politik
pun, pengaruh tokoh jawara sangat besar. Hal ini bisa dilihat dari
terpilihnya Hj. Ratu Atut Chosiyah, anak perempuan Chasan
Sochib, sebagai wakili gubernur Propinsi Banten untuk periode
2001-2006. Lalu terpilih menjadi Gubernur pada periode 2006-
2011, ada pendapat yang bisa dipahami oleh masyarakat Banten,
bahwa terpilihnya Atut Chosiyah sebagai gubernur Propinsi
Banten karena didukung oleh para tokoh jawara. Kepemimpinan
kharismatik H. Tb Chasan Sohib, tidak hanya diakui oleh sekitar
masyarakat Banten saja. Lebih dari itu, pemerintah pusat pada
masa Orde baru pun mengakui hal yang demikian. 146

145
Ahmad Rivai, “Suatu Tinajuan Kriminologi Atas Kepemimpinan
Koersif Jawara...,” 65.
146
Peranan kepemimpinan H. Chasan Sohib sebagai jawara yang
kharismatis yang telah berhasil mengakomodir para jawara Banten dibawah
kekuasaannya, sulit untuk ditandingi, bahkan terkesan sulit mencari pengganti
dirinya sepeninggalanya nanti. Banyak rumor yang beredar jika Chasan Sohib,
maka dominasi keluarga H. Chasan Sohib dalam hal aspek politk akan redup.
Hal ini ditengarai oleh munculnya konflik-konflik antar jawara, dalam segi
kepemimpinan. telah meniggal Lebih jauh lihat Mansur Khatib, Profil Haji

111
Istilah ‘pemimpin kharismatik’ kini bermakna semakin
meluas namun disertai dengan pemerosotan arti yang terkandung.
Weber mengambil istilah kharisma dari perbendaharaan kata pada
permulaan pengembangan agama Kristen guna menunjuk satu
dari tiga jenis kekuasaan authority. Sedangkan menurut Jhon
Potts, Weber membedakan kekuasaaan authority kharismatik
kedalam tiga klasifikasi antara lain:
1. Kekuasaan tradisional atas dasar suatu kepercayaan yang
telah ada (estabilished) pada kesucian tradisi kuno.
2. Kekuasaan yang rasional atau berdasarkan hukum legal
yang didasarkan atas kepercayaan terhadap legalitas
peraturan-peraturan dan hak bagi mereka yang memegang
kedudukan, yang berkuasa berdasarkan peraturan-
peraturan untuk mengeluarkan perintah.
3. Kekuasaan kharismatik yang didapatkan atas pengabdian
diri atas kesucian, sifat kepahlawanan atau yang patut
dicontoh dan dari ketertiban atas kekuasaannya. 147

Kekuasaan kharismatik menurut Weber, berbeda dengan


kedua hal lainnya karena bersifat tidak mantap stable. Dengan
penjabaran kharismatik adalah kemampuan untuk mengobarkan
semangat dan mempertahankan loyalitas dan pengabdian
terhadapnya secara pribadi diluar dari jabatan dan kedudukannya.
Kharismatik dianggap memiliki sesuatu yang luar biasa,
memimpin dengan bukan cara yang lazim dari suatu yang telah
dikenal. Kharismatik mampu mematahkan hal terdahulu,
menciptakan hal-hal baru yang bersifat revolusioner dan tumbuh
dalam keadaan serumit apapun. 148
Jawara merupakan sumber kepemimpinan tradisional
informal, terutama masyarakat pedesaan. Dalam masyarakat yang
masih tradisional, sumber-sumber kewibawaan pemimpin terletak
pada: (1) pengetahuan (baik tentang agama dan masalah
keduniawian/sekuler atau kedua-duanya), (2), kesaktian, (3),

Tubagus Chasan Sochib, Beserta Komentar 100 Tokoh Masyarakat Seputar


Pendekar Banten (Jakarta: Pustaka Antara Utama, 2000).
147
Jhon Potts, A History of Charisma..., 121-126.
148
Max Weber, The Hand Book of Sociology..., 65.

112
keturunan dan (4) sifat-sifat pribadi. Kiyai mewakili
kepemimpinan dalam bidang pengetahuan, khususnya
keagamaan. Sedangkan, jawara mewakili kepemimpinan
berdasarkan kriteria keberanian dan kekuatan fisik (kesaktian).149
Tanpa dukungan dari para kiyai jawara akan sulit untuk menjadi
pemimpin formal masyarakat. Kharisma dan kepemimpinan para
jawara diperoleh langsung oleh kiyai.

BAB IV

JAWARA DI MASA ORDE BARU

Pada bagian ini, penulis akan membahas bagaimana pola


perkembangan yang terjadi dalam status sosial para jawara Banten.
Perkembangan tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek, antara lain
politik, ekonomi dan status sosial. Perubahan signifikan yang berawal
dari peranan tradisional melebar kedalam cup yang lebih luas dan
modern. Hal tersebut tercermin dari posisi dan peranan jawara dalam
masyarakat Banten saat ini. Sedangkan proses perkembangan dan
perubahan tersebut dapat dilihat secara historis, bagaimana pola relasi
hubungan yang terjadi antara jawara dengan pemerintahan Orde Baru.
Rezim pemerintahan Orde Baru merupakan masa pemberdayaan para
jawara. Selain itu, dominasi para jawara terhadap perekonomian di
Banten merupakan ekses dari kedekatan jawara dengan pihak
pemerintah. Bahkan tidak hanya dominasi ekonomi yang dikuasai
jawara, lembaga politik di Banten pada masa itu mulai dikuasai oleh
para jawara.

A. Relasi Hubungan Antara Jawara dan Pemerintahan Orde Baru


149
Mohamad Hudaeri, Tasbih dan Golok, Studi tentang Kedudukan,
Peran..., 34

113
Dominasi suatu kekuasaan politik disuatu daerah, tidak terlepas
dari bagaimana seseorang atau suatu komunitas tertentu dapat
mengkooptasi dan mangakomodasi entitas lokal di daerahnya. Bahkan
lebih dari sekedar perekrutan, bagaimana suatu penguasa politik mampu
menjadikan suatu entitas lokal tersebut ikut terlibat dan menjadi mesin
politiknya. 150 Nampaknya teori seperti ini dipraktekan oleh
pemerintahan Orde Baru dalam memonitoring stabilitas kekuasaannya
disetiap daerah. Pembangunan pada sektor ekonomi tidak akan berjalan
jika tidak tercapainya stabilitas keaman di suatu daerah maupun pusat.
Tidak terlepas dengan wilayah Banten, sebagai wilayah yang dinilai
kuat dengan kultur budaya lokalnya. Strategi yang dijalankan Orde
Baru dalam memanfaatkan entitas komunitas masyarakat lokal telah
terbukti berhasil. Hal ini ditandai dengan berkuasanya Orde Baru
selama kurang lebih 32 tahun. 151
Perkembangan sosial budaya dan politik di Banten tidak terlepas
dari peranan pemerintahan pusat di Jakarta. Pada masa Orde Baru
Banten merupakan salah satu basis suara partai Golkar yang merupakan
mesin politik pemerintahan Orde Baru. Selanjutnya salah satu strategi
politik yang dijalankan oleh Orde Baru dalam meraih suara, antara lain
melakukan pendekatan-pendekatan terhadap entitas-entitas sosial
budaya lokal yang ada di Banten. 152 Banten yang dikenal dengan kultur

150
Dari sudut pandang politik hal ini merupakan suatu hal yang lumrah,
jika suatu penguasa politik merekrut dan memanfaatkan entitas komunitas
lokalnya menjadi motor penggerak politiknya. Bahkan menurut Lidlle,
komunitas lokal yang direkrut oleh pihak Orde Baru akan terjalin relasi
hubungan dengan pemerintahan pusat, dan relasi kekuasaan pemerintahan Orde
Baru seperti bentuk prisma dimana Soeharto berada diposisi yang paling atas.
Lihat William R. Liddle, Leadership and culture in Indonesia Politics (USA:
Urwin press, 1996), 18-20.
151
Rezim Orde Baru tercatat 32 tahun lamanya berkuasa, gerakan
mahasiswa telah berhasil menggulingkan rezim yang dikenal otoriter ini. Untuk
lebih jauh lihat, Diro Aritonang, Runtuhnya Rezim dari pada Soeharto,
Rekaman Perjuangan Mahasiswa Indonesia 1998 (Pustaka Hidayah :
Bandung, 1999).
152
Pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh pihak pemerintah
terhadap para tokoh masyarakat Banten, yakni yang dikenal dengan kiyai dan
jawara sebagai simbol dan entitas masyarakat Banten terus dijalin. Hubungan
relasi ini terjalin dengan baik, dapat dilihat bagaimana pihak pemerintahan
Orde Baru menggandeng para kiyai-kiyai di Banten, dengan melakukan
silturahmi kunjungan-kunjungan disetiap pondok pesantren di Banten. Bahkan

114
budaya Islamya, dilirik oleh Orde Baru sebagai salah satu cara dalam
mendompleng peraihan suara di wilayah ini. Sebelumnya telah dibahas
pada bab ke dua, bahwa terdapat dua entitas yang menjadi kultur
kepemimpinan tradisional di Banten. Kedua entitas tersebut yakni kiyai
dan jawara, mencerminkan tradisi masyarakat Banten yang kental
dengan keislamannya. Bahkan lebih dari itu, masyarakat lokal setempat
sering menyebut kedua entitas ini sebagai simbol orang wong Banten.153
Jawara yang dulunya dikonotasikan terlibat dalam dunia
kejahatan dan kriminal, dalam perkembangannya di Banten tenyata
aktif dalam dunia politik dan bisnis. Akibat keterlibatannya tersebut,
tidak sedikit para jawara aktif di partai politik, baik sebagai anggota
maupun sebagai pengurus, serta menjadi anggota dewan DPRD
Provinsi, kabupaten, kota, bahkan ada yang menjadi anggota DPR
pusat. Menurut Lili Romli dalam sejumlah kebijaksanaan politik,
pemerintahan Orde Baru melakukan reorganisasi dan refungsionalisasi,
baik pada tingkat suprastuktur politik maupun infrastuktur politik.154
Termasuk dengan wilayah Banten, kebijakan serupa pun ditetapkan
dengan mengakomodir entitas jawara salah satunya.

Kebijakan politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru


terhadap daerah-daerah kekuasaanya, dimaksudkan sebagai usaha untuk
menciptakan stabilitas politik sebagai landasan terlaksananya
pembangunan ekonomi. Bagi Orde Baru, stabilitas keamanan politik
merupakan prasayarat terlaksananya pembangunan baik didaerah-
daerah maupun dipusat.

Menurut pandangan rezim Orde Baru, pembangunan dapat


terlaksana jika stabilitas politik telah tercapai. Orde Baru melihat bahwa
sumber kekacauan yang mengganggu stabilitas politik, antara lain
adalah partai-partai politik. Oleh karena itu, Orde Baru melakukan
penyederhanaan jumlah partai politik yang berkembang saat itu.
Tehitung pada tahun 1971 rezim Orde Baru membuat kebijakan tentang

bukan hanya di Banten saja, melainkan diwilayah-willayah daerah lainnya.


Lihat, Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiyai dan Kekuasaan (Yogyakarta :
LKIS, 2004), 34.
153
Harian Banten, “Karakter Wong Banten”, 24, mei, 2003
154
Lili Romli, “Jawara dan Penguasa Politik Lokal di Provinsi Banten
2001-2006” (Depok: Disertasi, FISIP Universitas Indonesia, 2007), 193.

115
partai politik, sembilan partai politik yang ada (PSII, NU, PNI, Parmusi,
Parkindo, Partai Katolik, Murba, IPKI, dan Perti) dikelompokan atas
dua kelompok. Kelompok tersebut antara lain yaitu: pertama, kelompok
materil-spirituil yang terdiri dari PNI, IPKI, Partai Katolik, Murba, dan
Parkindo; dan kedua, kelompok spirituil-materil yang terdiri dari
Parmusi, NU, Perti, dan PSII. 155

Pada dekade tahun 1973 rezim Orde Baru mengeluarkan


kebijakan terhadap kedua kelompok partai tersebut (kelompok partai
materil-spirituil dan spirituil materil) untuk melakukan fusi. Mulai dari
sinilah kebijakan tentang fusi partai dikenal, selama 25 tahun
pemerintahan Indonesia hanya mengizinkan tiga partai untuk berpolitik.
Kelompok pertama, yang terdiri dari partai-partai Islam, tergabung
kedalam wadah Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kelompok
kedua, yang terdiri dari partai nasionalis dan Kristen, membentuk Partai
Demokrasi Indonesia (PDI). Selanjutnya disusul dengan Golongan
karya (Golkar), yang memuat segala kelompok golongan baik
nasionalis, Islam, maupun Kristen.156

Selain kebijakan-kebijakan dalam hal mengenai partai politik,


Orde Baru pun melakukan serangkaian strategi kebijakan, antara lain,
dibentuknya aparat-aparat keamanan yang refresif disetiap daerah.
Aparatur keamanan ini bertugas menjaga ketertiban dan mepertahankan
aturan politik dan stabilitas negara. Oleh karena itu, pada masa rezim
Orde Baru kita mengenal badan-badan seperti Kopkamtib, BAKIN, dan
Opsus. Selanjutnya rezim ini melakukan proses depolitisasi massa,
dimana massa diasingkan dari arena politik. Terakhir, kebijakan populer
yang digaungkan oleh rezim Orde Baru adalah, kebijakan asas tunggal
Pancasila, dimana setiap organisasi-organisasi dan partai politik yang

155
M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik
(Yogyakarta: Tiara Wacana,1999), 83.
156
Selain itu pada masa ini pula menurut Din Syamsuddin, merupakan
masa pengkondisian dimana terjadi depolitisasi terhadap umat Islam. Lihat M.
Din Syamsuddin, Islam dan Politik : Era Orde Baru (Jakarta : Logos Wacana
Ilmu, 1999), 43.

116
ada di Indonesia diwajibkan menggunakan asas tunggal Pancasila.
Pancasila merupakan harga mati sebagai asas tunggal negara ini.157

Selain itu, proses-proses perekrutan yang dilakukan oleh pihak


rezim Orde Baru dalam menarik simpati masyarakat Banten, salah satu
caranya adalah dengan melakukan pendekatan-pendekatan secara
persuasif dan personal kepada para tokoh kiyai dan pimpinan pondok
pesanten di Banten. Dalam membangun dan menjalin hubungan relasi
dengan para tokoh kiyai pemimpinan pesantren, bisanya pemerintahan
pusat mengirimkan seorang Menteri dengan agenda kunjungan kerja,
atau hanya sekedar sowan silaturrahmi. Hal ini dapat dilihat dengan
sering hadirnya para Menteri terkait pada acara tertentu di setiap
pondok pesantren. Tentunya bukan sekedar pondok pesantren
sembarang yang dikunjungi, melainkan pesantren atau kyai yang
memiliki nama dan pengaruh signifikan dikalangan masyarakat Banten.
Akibat dari kedekatan relasi hubungan pemerintah dengan para
kiyai Banten, timbul ekses dampak negatif terhadap para kiyai
dikalangan masyarakat lokal setempat. Dampak tersebut berakibat
mulai terpinggirkannya image kewibawaan, dan peran kiyai dari mata
masyarakat. Masyarakat Banten memandang, bahwa hubungan yang
terjalin erat antara kiyai dengan rezim Orde Baru merupakan sebagai
suatu hal yang negatif. Bagi masyarakat kiyai merupakan sosok yang
independen, tidak terkontaminasi dengan pengaruh kekuasaan.158
Ketika sosok kiyai berafiliasi dengan kekuasaan pemerintahan setempat,
maka kedekatan tersebut akan selalu dicurigai oleh masyarakat lokal
setempat.
Selain mendekati para kiyai, rezim Orde Barupun melirik
komunitas jawara sebagai entitas lokal yang memiliki peranan sosial
kepemimpinan tradisonal dalam masyarakat Banten. Jika komunitas
kiyai dilirik sebagai mesin politik dalam domain religiusitas
kepemimpinan, maka jawara memiliki potensi dalam bidang keamanan,
kepemimpinan, dan menjaga stabilitas politik di daerah tersebut.
Pemerintahan rezim Orde Baru tampaknya mengerti dan faham betul

157
Lili Romli, “Jawara dan Penguasa Politik Lokal di Provinsi
Banten...,” 193.
158
Pengajian bersama dengan KH. Uci Turtusi, Tokoh Ulama Banten
Syeikhul Islam Banten. Cilongok, September, 2010.

117
dengan keadaan sosial dan budaya masyarakat Banten. Dimana bahwa
kekuatan yang cukup dominan di banten bukan hanya sekedar para
kiyai melainkan jawarapun merupakan sumber kekuatan politik.
Pada masa kekuasaan rezim Orde Baru inilah jawara direkrut
sebagai gerakan underbownya rezim Orde Baru. Citra dan kredibilitas
jawara Banten sebagai tokoh pemimpin tradisional dan sekaligus bandit
sosial yang erat dengan kultur premanisme menjadi salah satu faktor
utama mengapa jawara direkrut oleh rezim Orde Baru. Hubungan relasi
yang terjalin antara Orde baru dengan komunitas jawara, dapat
dikatakan sebagai hubungan yang menguntungkan bagi dua belah
pihak. Dengan diakomodirnya kelompok jawara oleh rezim Orde Baru,
telah memberikan perubahan yang signifikan dalam aspek ekonomi dan
kekuasaan politik. Begitu pula dengan pemerintahan pusat, rezim Orde
Baru merasa diuntungkan, karena perolehan suara Golkar dan stabilitas
keamanan terjamin oleh eksistensi jawara.159
Sebagaimana telah dikemukakan pada bab sebelumnya, peran
kepemimpinan jawara sebagai salah satu elit sosial di Banten cukup
signifikan. Dengan kekuatan magis, kesaktian dan instrument
kekerasan, jawara sangat berpengaruh dikalangan masyarakat Banten.
Dalam konteks tersebut, tidak heran bila rezim Orde Baru kemudian
mendekati jawara agar masuk kedalam organisasi partai Golkar. Orde
Baru menyadari betul bahwa komunitas jawara dapat mengendalikan
kontrol sosial di daerah Banten. Oleh karena itu kooptasi dan politik
akomodasi terhadap jawara perlu dilakukan. Salah satu bentuknya
adalah dengan cara melakukan pengorganisasian jawara, dan
meletakannya sebagai kepanjangan tangan partai pemerintah.

159
Kelompok jawara merupakan agen dari pemerintahan Orde Baru,
menurut Nordholt Henk fungsi kelompok jawara ketika masa Orde Baru
berfungsi sebagai mesin politik dan kelompok Underbownnya pihak rezim
Orde Baru dalam mendompleng peraihan suara di Banten. Selain berfungsi
sebagai mesin politik di Banten, biasanya dalam pemanfaatannya peranan
jawara tidak hanya sebatas di wilayah Banten terkadang berfungsi dalam
menjaga stabilitas keamanan diwilayah Indonesia. Lihat Schulte Henk
Nordholt, Greet Aren Van Klinken, Gerry Van Klinken, Renegotiating
Boundaries : Local Politics in Post-Suharto Indonesia (Leiden : KITLV Press,
2007), 173-174.

118
Gambar 2.1, Masjid Agung Banten, symbol provinsi Banten

Pada tahun 1970, pihak Orde Baru melatar belakangi


diadakannya kongres yang bertujuan mengorganisir potensi jawara dan
Ulama. Hasilnya adalah terbentuknya organisasi Satuan Karya Ulama
yang dipimpin langsung KH. Mahmud. Setahun kemudian dibentuk
organisasi yang khusus menaungi jawara, maka pada tahun 1971
dibentuklah Satuan Karya jawara, yang dipimpin langsung oleh H.
Chasan Sohib. Pembentukan organisasi-organisasi ini dihadiri oleh para
petinggi militer, pejabat Orde Baru, dan tokoh daerah setempat dan
nasional. 160 Peristiwa tersebut merupakan moment bersejarah bagi
kelompok jawara Banten. Dengan berdirinya wadah yang memayungi
jawara, para jawara berhasil mengkonstruk kekuatan.
Penggunaan istilah SATKAR jawara dalam nama organisasi,
memiliki citra yang negatif tentang arti jawara itu sendiri. Oleh karena
itu pada tahun 1977, SATKAR jawara berganti nama menjadi PPPSBBI
(Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia).
Istilah pendekar dalam PPPSBBI, dipakai untuk merubah citra stigma
negatif yang melekat dalam istilah jawara itu sendiri. Walaupun
demikian, istilah jawara tetap tidak tergantikan sebagai sebutan dan

160
Wawancara KH. Dadang Tokoh Ulama dan Pengusaha Banten,
Tangerang, Agustus 2010. Lihat pula Anggaran Dasar dan Rumah Tangga
Organisasi PPPSBBI, Serang Banten, 1990.

119
istilah yang khas dalam masyarakat Banten. 161 Adapun eksistensi
organisasi PPPSBBI lebih mirip dengan sekretariat bersama. Dengan
adanya organisasi ini, dapat dikatakan bahwa sebenarnya pendekar
adalah jawara yang dikumpulkan dalam satu wadah. Sedangkan motto
organisasi ini adalah “bela diri, bela bangsa dan bela negara”.
Pengertian Bela diri disini dapat diartikan sebagai kemampuan
jawara dalam untuk mempertahankan diri. Menurut Abdul Hamid
pengertian tentang mempertahankan diri, tidak hanya sebatas
kemampuan pengolahan fisik dengan silat. Lebih dari itu, pengertian
survive disini memiliki kemampuan untuk menghidupi diri sendiri. Hal
inilah yang kemudian menjadi jawaban mengapa sebagian besar dari
jawara tergabung kedalam wadah organisasi PPPSBBI ini adalah para
pengusaha. 162 Para jawara pengusaha inilah yang kemudian menjadi
penyokong dana dari segala aktivitas-aktivitas PPPSBBI.
Intervensi pihak rezim Orde Baru dalam melatar belakangi
berdirinya PPPSBBI, merupakan salah satu kebijakan dalam
mengkooptasi para jawara. Dengan berdirinya organisasi tersebut,
memudahkkan Orde Baru dalam mengendalikan situasi dan politik di
daerah Banten. Sampai saat ini PPPSBBI memiliki 26 cabang disetiap
kepengurusan tingkat provinsi. H. Chassan Sohib merupakan tokoh
yang berpengaruh sampai saat ini dalam kelompok jawara, dengan

161
Dengan dibentuknya oganisasi jawara PPPSBBI, sturuktur
kekuasaan jawara semakin terlihat jelas, bila dahulu jawara tersebar dan
mempunyai kekuasaan informal hanya sebatas model kepemimpinan
tradisional, maka saat ini kekuasaan jawara mulai terpusat pada satu orang
pimpinan jawara yang diakui oleh pimpinan jawara lainnya. Wawancara
dengan H. Khatib Mansur, Tokoh jawara Banten dan pengurus KADIN
Provinsi Banten, Serang, Desember 2010.
162
Organisasi PPPSBBI, atau yang lebih dikenal dengan sebutan jawara
kelompok pasar memberikan keuntungan bagi para jawara, karena dengan
wadah inilah mereka bersatu dan membagi-bagikan proyek pemerintah kepada
para jawara-jawara lainya. Hal inilah yang menjadikan para petinggi organisasi
ini menjadi jawara pengusaha. Lihat Abdul Hamid, Jawara dan Penguasaan
Politik Lokal di Banten, dalam Okamoto Masaaki dan Abdur Rozaki,
Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi (Yogyakarta : CSEAS
IRE Press, 2006), 49.

120
menduduki berbagai jabatan ketua Organisasi dan politik, termasuk
PPPSBBI. 163
Tokoh H. Chassan dianggap memiliki segenap ciri jawara yang
ideal, walaupun tidak semua komunitas menganggap H. Chassan
sebagai orang yang bersih. Berlatar belakang dari pesantren, dikenal
memiliki keberanian dan kekuatan yang menonjol dikalangan teman-
temannya dan belajar menjadi pengusaha sejak muda. Ia memiliki
banyak posisi penting di wilayah Banten, sebagai pendiri dan Ketua
Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Banten, pendiri dan
Ketua SATKAR Ulama Indonesia, pendiri Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa, dan banyak posisi penting dalam organisasi lainya.164 Pada
masa rezim Orde Baru dan sampai saat ini, komunitas jawara sering
disebut sebagai jawara kelompok pasar. Sebutan ini dikarenakan tempat
berkumpulnya para jawara di kantor H. Chassan Kadin Banten,
dikawasan pasar tradisional terbesar di Banten. Pasar itu sendiri
merujuk kepada profesi para tokoh jawara yang bergerak dalam bidang
bisnis.
Kooptasi yang dilakukan oleh rezim Orde Baru terhadap
komunitas jawara di Banten, tidak hanya sekedar untuk mengendalikan
mereka agar tidak melawan terhadap pemerintah. Lebih dari itu, jawara
dipergunakan dalam upaya menjadikan komunitas ini sebagai mesin
politik untuk memenangkan Golkar. 165 Hubungan yang terjalin antara
pihak pemerintah Orde baru dengan jawara, menciptakan akselerasi
yang menguntungkan keduanya. Disatu sisi, rezim Orde Baru
memberikan keuntungan kepada para jawara dalam ekonomi dan
pengaruh kekuasaan. Sedangkan disisi lain, pihak pemerintahan Orde

163
Lihat, Buku Dokumen Panduan Sarasehan PPPSBBI di Jakarta, 15
Oktober 1990 dan lihat pula Anggaran Dasar dan Rumah Tangga Organisasi
PPSBBI, Serang Banten, 1990.
164
Khatib Mansur, Profil Haji Tubagus Abah Beserta Komentar 100
Tokoh Masyarakat Seputar Pendekar Banten (Jakarta : Antara Pustaka Utama,
2000), 89.
165
Salah satu peran kelompok jawara dalam pentas perpolitikan
diBanten adalah, berupaya mendompleng suara Partai Golkar, sebagai partai
pemerintahan Orde Baru. Oleh karena itu, menurut nara sumber jawara
merupakan mesin politik Orde Baru. Wawancara dengan salah seorang anggota
Partai Politik di Banten, yang tidak ingin disebutkan identitas namanya dengan
alasan khawatir, Oktober 2010.

121
Baru merasa diuntungkan oleh kehadiran jawara dalam
mempertahankan kekuasaan politik pemerintahan pusat.
Sebagaimana telah diketahui, bahwa Golkar adalah partai
bentukan pemerintahan yang merupakan mesin politik dan pengumpul
suara. Melalui kedua entitas tersebut (jawara dan kiyai) dapat
diharapkan Golkar dapat keluar sebagai pemenang dalam setiap pemilu
di Banten. Hasilnya sunguh luar biasa, sepanjang pemerintahan Orde
Baru, Golkar selalu keluar menjadi pemenang dalam setiap pemilu.
Selain itu, kedekatan hubungan antara Orde Baru dengan jawara
membawa keuntungan yang besar bagi mobilitas jawara secara
vertikal. 166 Jawara yang pada umumnya tidak memiliki pekerjaan yang
tetap, terkecuali yang hanya berprofesi sebagai centeng-centeng
pengusaha. Namun berkat terjalinya hubungan kedekatan dengan
pemerintahan Orde Baru baik dengan Golkar maupun militer, membuat
jawara mengalami mobilitas vertikal.
Mobilitas vertikal ini dapat dilihat dari aspek pekerjaan,
penghasilan, dan kekuasan politik, dimana banyak para jawara yang
terjun kedalam dunia bisnis dan memiliki penghasilan besar. Dari aspek
politik, kalangan jawara menduduki jabatan di pemerintahan, baik
sebagai anggota dewan maupun pejabat daerah. Strategi yang dilakukan
oleh rezim Orde Baru, nampaknya berhasil menggalang kekuatan
kalangan jawara. Hampir tidak ada kalangan jawara di Banten yang
tidak masuk menjadi pendukung Golkar. Bahkan pada Orde Baru ini,
tidak ada kalangan jawara yang aktif terlibat di PPP dan PDI, mereka
semuanya mendukung dan masuk kedalam partai Golkar. Hal ini
dikarenakan sebagai pengusaha (kelompok jawara), rezim Orde Baru
dengan Golkarnya telah memberikan keuntungan terhadap komunitas
jawara. Dalam bidang sektor ekonomi jawara diberikan proyek-proyek
pemerintah dan banyak dari mereka menjadi pengusaha. Pola pikir
pragmatis inilah yang melatar belakangi dukungan para jawara terhadap

166
Mobilitas vertikal yang dimaksud disini adalah mobilitas vertikal
naik Social Climbing, dimana kelompok jawara dirempatkan kestruktur kelas
sosial yang lebih tinggi. Adapun faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut
adanya faktor politik, yang menjadi penggerak ke sektor ekonomi sehingga
kelas jawara terangkat. Lihat Doyle Paul Jhonson, Teori Sosiologi : Klasik dan
Modern (terj), Robert MZ Lawang (Jakarta : Gramedia Pustaka, 1986), 87.

122
rezim Orde Baru. 167 Kedekatan hubungan yang terjalin antara jawara
dengan pemerintahan pusat lebih memberikan keuntungan,
dibandingkan berafilisasi dengan partai-partai Islam.
Peranan Orde Baru dalam mengembangkan eksistensi jawara,
dianggap memiliki kontribusi besar dalam melahirkan jawara masa kini
(reformasi). Oleh karena itulah, rezim Orde Baru dianggap sebagai
masa pemberdayaan jawara. Hal ini dikarenakan pada masa inilah
jawara mulai membangun konstruk kekuatan, yang terorganisir. Selain
itu, rezim Orde Baru memberikan fasilitas-fasilitas kepada jawara, baik
dalam hal aspek ekonomi dan kekuasaan politik. Pada masa ini pula
jawara diberikan kemudahan dalam memperoleh akses jaringan
networking ke pemerintahan pusat, pengusaha dan penguasa. Pada masa
ini jawara dianggap sebagai anak emas Orde Baru, karena hal demikian
menguntungkan komunitas jawara. 168 Karena kontribusi Orde Baru-lah,
jawara mendapatkan akses ekonomi, politik dan puncak status sosial
dikalangan masyarakat Banten.
Keterlibatan jawara Banten dalam dunia bisnis di Banten dimulai
pada masa Orde Baru, yang kemudian menjadi patron penguasa
ekonomi di Banten sampai saat ini. Mereka terjun ke dunia bisnis
umumnya bergerak dalam bidang kontraktor sebagai pemborong proyek
jalan, pasar, gedung sekolah, dan prasarana pengairan. Adapun pelopor
terjunnya jawara kedalam aleansi bisnis adalah, H. Chassan yang

167
Pola pikir pragmatis tidak hanya dimiliki oleh kalangan komunitas
kelompok jawara, banyak diantara golongan maupun kelompok yang
bersinggungan dengan politik dan kekuasaan cenderung berperilaku pragmatis,
diantaranya para elit politik Muhammadiyah yang menurut Thaba telah
berpikir pragmatis ketika berhadapan dengan kekuasaan. Lihat Thaba dalam
Haedar Nashir, Perilaku Politik Elit Muhammadiyah (Yogyakarta : Terawang,
2000), 29.
168
Karena kedekatan komunitas jawara terhadap pemerintahan pusat,
secara tidak langsung relasi hubungan tersebut menguntungkan kedua belah
pihak, kekuasaan Orde Baru dijaga oleh para jawara, dan jawara
mendapatkan akses ekonomi dan kekuasaan lokal. Maka tidak heran jika
pada masa inilah, disebut dengan masa pemberdayaan jawara. Lihat Schulte
Henk Nordholt, Geert Arend Van Klinken, Gerry Van Klinken,
Renegotiating Boundaries : Local Politics in Post-Suharto Indonesia (Leiden
: KITLV Press 2007).

123
dimulai pada awal Orde Baru, yakni permulaan Pelita I. 169 Politik
kooptasi dan akomodasi jawara oleh penguasa Orde Baru tentu diikiti
pula dengan diberikannya berbagai kompensasi dan fasilitas kepada
para jawara. Adapun bentuk kompensasi yang diberikan adalah adanya
proyek pembangunan pemerintah, terutama dalam bidang konstruksi.
Pada tahun 1973 misalnya, perusahaan H. Chassan mendapatkan proyek
pembebasan lahan untuk PT. Krakatau Steel, pembangunan pasar Rau,
proyek pembangunan jalan dan irigrasi.170 Selanjutnya, segala
pembangunan proyek dari pemerintahan provinsi Banten, hampir
seluruhnya dikuasai oleh perusahaan H. Chassan.
Kelompok jawara biasanya mengelak jika dikatakan
mendominasi perekonomian di Banten, khususnya ketika memenangkan
tender proyek di pemerintah. Biasanya mereka beralih bahwa “proyek
pemerintahkan lewat tender dan terbuka untuk umum, jadi banyak
perusahaan yang mengajukan proposal”. 171 Permasalahnnya adalah,
pada prakteknya kelompok jawara sering menggunakan cara kekerasan
dan intimidasi demi mendapatkan proyek tersebut.
H. Chassan sendiri sering disebut dengan Gubernur Jendral, 172
sebagai julukannya karena kemampuan dirinya dalam mengendalikan
kekuasaan politik dan ekonomi di Banten. Bahkan saat ini, bidang
bisnis yang dimiliki oleh para jawara antara lain, di bidang konstruksi
melalui PT. Sinar Ciomas Group. Di bidang pariwisata, ada PT. Bahtera
Banten Jaya yang memiliki pantai dan pulau di daerah selat sunda, juga
tempat pemandian air hangat di Serang, di bidang properti terdapat PT.
Mustika Empat Lima, perusahaan ini membangun ruko dan kios
modern di wilayah Banten. Langkah awal H. Chassan sebagai seorang
bisnisman, ternyata diikuti oleh jawara-jawara lainnya. Banyak kader

169
Khatib Mansur, Profil Haji Tubagus Abah Beserta Komentar 100
Tokoh Masyarakat Seputar Pendekar Banten (Jakarta : Antara Pustaka Utama,
2000), 94.
170
Khatib Mansur, Profil Haji Tubagus Abah..., 89.
171
Wawancara dengan Kang Mamed, Tokoh jawara Banten, Pengurus
harian DPP PPPSBBI, Serang, Desember 2010.
172
Istilah Gubernur Jenderal sendiri adalah sebutan untuk penguasa
tertinggi di Hindia Belanda, dimana masa pemerintahan kolonial Belanda
menguasai Indonesia. Gubernur Jenderal merupakan sosok pengusa tunggal
yang kuat dan berpengaruh, pada hakikatnya H. Chassan-lah yang berperan
penuh atas pengaruh kebijakan politik di Banten.

124
jawara yang berterima kasih kepada beliau, yang telah mendidik mereka
menjadi pengusaha.
Memang mulanya pada masa awal 1970-an, hanya ada seorang
tokoh jawara yang sukses menjadi pengusaha, yakni H. Kaking dan
usahanya hanya sebatas bahan pangan (sembako). Setelah itu disusul
oleh H. Chassan lain halnya dengan H. Kaking, lompatan bisnis luar
biasa yang dialami oleh H. Chasan, dimulai dari pengusaha
penggilingan padi kemudian menjadi pemborong kontraktor, dan lain
sebagainya. 173 Dengan demikian, usaha bisnis jawara yang dahulu
hanya sebatas penggilingan padi, pada masa Orde Baru mengalami
lompatan yang begitu jauh. Dimulai pada rezim Orde Baru ini, bisnis
para jawara memonopoli fasilitas proyek-proyek pemerintah di daerah
Banten.
Adanya fasilitas pemberian berbagai proyek yang diberikan Orde
Baru membuat loyalitas jawara terhadap rezim Orde Baru amat kuat.
Loyalitas komunitas jawara terhadap pemerintahan Orde Baru tidak
perlu disangsikan lagi. Ketika peristiwa 1998 gerakan demo mahasiswa
menentang kekuasaan dan kepemimpinan Suharto, yang berakhir pada
jatuhnya rezim Orde Baru. Maka lain halnya dengan komunitas jawara
Banten, secara terang-terangan mereka menyatakan sikap mendukung
penuh pemerintahan rezim Orde Baru. Pernyataan sikap ini diutarakan
langsung oleh H. Chassan Sohib, ketua umum dari PPPSBBI (Persatuan
Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia) dan SATKAR
Ulama (Satuan Karya Ulama).174
Pernyataan sikap yang disampaikan oleh Chassan Sohib kepada
para wartawan, merupakan statment bahwa kelompok jawara terus
mendukung rezim pemerintahan Orde Baru. Hal ini dibuktikan ketika
Harmoko (pemerintahan Orde Baru) meminta bantuan kepada para
jawara untuk mengirimkan pasukannya ke gedung DPR/MPR RI, untuk
mengamankan sidang paripurna DPR/MPR, pada 14 Mei, 1998.
Menurut Kang Mamed, tercatat sekitar 90 lebih pasukan pendekar
(jawara) PPPSBBI mengamankan sidang paripurna DPR/MPR, pada
kerusuhan Mei 1998, pasukan ini diminta langsung oleh Pak Harmoko

173
Khatib Mansur, Profil Haji Tubagus Abah..., 93.
174
Lihat Surat kabar Radar Banten, 12 Mei 1997.

125
ketika itu, sekaligus sebagai ketua MPR. 175 Kurang lebih 3 armada
mobil bus yang membawa rombongan jawara, dalam mengamankan
sidang paripurna, dan menahan aksi para mahasiswa.
Setelah pernyataan tersebut disampaikan oleh Chassan Sohib,
ternyata statment ini menyulut demo besar-besaran mahasiswa Banten.
Gerakan mahasiswa Banten, menentang keras atas pernyataan sikap dari
kelompok PPPSBBI dan SATKAR Ulama yang dikomandoi oleh
Chassan Sohib. Atas desakan dari mahasiswa, Chassan Sohib yang
biasa disebut dengan Gubernur Jendral, diminta untuk meralat kembali
pernyataanya. 176 Dukungan dan loyalitas penuh komunitas jawara,
membuktikan bahwa relasi hubungan yang terjalin antara rezim Orde
Baru sangat erat.

Gambar 2.2, Gerbang kota Serang

175
Pemerintahan rezim Orde Baru meminta kepada H. Chassan untuk
mengamankan jalannya sidang DPR/MPR, pada 14 mei 1998, dari demo
Mahasiswa. Seketika itu, pasukan jawara yang dikomandoi oleh H. Chassan
PPPSBBI, mengirimkan empat armada bus dengan jumlah 90 (sembilan puluh)
jawara dikerahkan di gedung DPR/MPR RI, untuk mengkawal jalannya sidang.
Wawancara dengan Kang Mamed, tokoh jawara Banten, dan Pengurus Pusat
PPPSBBI. Posko PPPSBBI, Serang, Desember 2010.
176
Peristiwa pernyataan sikap yang disampaikan oleh H. Chassan,
telah membuat mahasiswa asal Banten marah dan membanjuiri gedung DPRD
Kabupaten Serang, mereka meminta kelompok jawara yang dikomandoi oleh
H. Chassan untuk meminta maaf dan meralat kembali pernyataannya. Lihat di
surat kabar Radar Banten, 12 Mei 1997.

126
2.3, Gambar pemandangan di Terminal Pakupatan

B. Orde Baru, Masa Pemberdayaan Jawara

Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa relasi hubungan yang terjadi


antara rezim Orde Baru dan jawara sangat harmonis, dimana jawara
memiliki loyalitas yang tinggi terhadap pemerintahan Orde Baru. Selain
itu hubungan yang terjalin antara keduanya saling menguntungkan, baik
dari pihak Orde Baru maupun kelompok jawara. Dapat dikatakan
bahwa, masa kekuasan rezim Orde Baru merupakan masa transisi
entitas jawara di Banten. Selain itu Rezim Orde Baru, dianggap sebagai
masa momentumnya para jawara Banten, karena pada masa inilah
konstruk jawara di bentuk secara terorganisir.
Kontribusi Orde Baru terhadap eksistensi jawara, dianggap
memiliki peranan yang signifikan dalam melahirkan jawara masa kini.
Oleh karena itu, rezim Orde Baru dianggap sebagai masa pemberdayaan
jawara. 177 Diberdayakannya jawara oleh pihak pemerintahan Orde baru
terkait dengan praktik politik kooptasi, dimana jawara dikooptasi dan

177
Orde Baru dianggap memiliki kontribusi besar dalam melahirkan
jawara saat ini, dan memposisikan jawara kedalam struktur sosial kelas atas,
karena pada masa inilah kelompok jawara dikonstruk baik secara organsasi,
politik maupun ekonomi. Oleh karena itu pada masa ini, dapat dikatakan
sebagai masa pemberdayaan jawara. Sedangkan menurut Hudaeri, kontribusi
besar Orde Baru adalah mempersatukan para jawara kedalam wadah organsasi
yang berafiliasi dengan rezim Orde Baru. Wawancara dengan Hudaeri,
akademisi IAIN SMH Serang, Juli 2010.

127
diakomodir oleh Orde Baru. Proses pemberdayaan tersebut dapat dilihat
bagaimana pemerintahan Orde Baru memfasilitasi jawara untuk
membangun konstruk kekuatan yang terorganisir. Selain itu, rezim Orde
Baru memberikan fasilitas-fasilitas kepada jawara, baik dalam hal aspek
ekonomi dan kekuasaan politik.
Transisi perubahan dalam artian peranannya, dahulu hanya
berfungsi sebagai peranan tradisional, namun saat ini bergeser ke arah
yang lebih modern, terorganisir dan mengalami mobilitas vertikal.
Telah disinggung sebelumnya, bahwa mobilitas vertikal yang dialami
oleh para jawara dapat dilihat dari berbagai aspek antara lain, aspek
pekerjaan, penghasilan, dan kekuasan politik, dimana banyak para
jawara yang terjun kedalam dunia bisnis dan memiliki penghasilan
besar. Dari aspek politik, kalangan jawara menduduki jabatan di
pemerintahan, baik sebagai anggota dewan maupun pejabat daerah.

Proses pemberdayaan jawara yang dilakukan pihak Orde Baru,


memang telah diskema secara rapih dan sistematis. Jawara Banten
memang selalu dikonotasikan secara negatif, baik dari sebagian
masyarakat lokal maupun luar. Stigma negatif sebagai kelompok yang
selalu menggunakan otot, kekerasan, dan premanisme, dimanfaatkan
oleh rezim Orde Baru. Dahulu jika komunitas jawara tersebar dimana-
mana tanpa adanya wadah persatuan, ketika diakomodir oleh rezim
Orde baru semua berubah, jawara mulai disatukan dengan sebuah
organisasi. Hubungan kekerabatan dalam tubuh jawara memang sangat
erat dan kental, walaupun tidak ada kaitannya dengan ikatan darah,
ikatan satu paguron atau padepokan, dan primordial kedaerahan akan
menyatukan mereka dalam satu keluarga.

Ditambah lagi dengan hadirnya organisasi yang menyatukan para


jawara, akan mengakomodir potensi-potensi yang dimiliki para jawara
Banten. Intervensi pihak pemerintahan Orde Baru terhadap komunitas
jawara Banten, merupakan sebuah fase sejarah dalam perkembangan
dunia kejawaraan di ujung barat pulau jawa ini.178 Dahulu jika jawara

178
Transisi perkembangan peranan dan pengaruh dalam dunia jawara
dapat diklasifikasikan dengan fase-fase dalam sejarah, dimulai dari pada masa
tradisional dimana jawara dilahirkan dan berafiliasi dengan para kiyai,
selanjutnya kelompok jawara hanya berperan sebagai informal leader,

128
hanya mengenal perolehan kekuasan hanya sebatas desa,
perkampungan, atau pasar tradisional. Maka lain halnya dengan
sekarang, cup jawara dalam aspek politik kekuasaan menjadi lebih luas.
Proses diberdayakannya jawara, tidak terlepas dengan potensi-potensi
jawara itu sendiri sebagai entitas lokal, maupun sumber power. Jika
dilihat dari individu-individu tokoh jawara, maka sulit dipahami
bagaimana seorang yang tidak memiliki latar belakang akademis dapat
menjadi dan menduduki jabatan bupati, bagaimana seorang jawara
dapat memanage sebuah perusahaan dan pemerintahan yang besar dan
luas.

Potensi-potensi yang dimiliki jawara Banten tidak hanya sekedar


modal keberanian dan kesaktian. Melainkan lebih dari itu, jawara
memiliki kemampuan dalam memimpin masyarakat maupun institusi
kepemerintahan maupun swasta. Mayoritas kalangan tokoh jawara tidak
memiliki latar belakang akademis yang memumpuni, tapi realitanya
banyak kalangan jawara yang memegang jabatan dipemerintahan dan
menjadi anggota dewan. Contoh kasus, ketika Jayabaya bisa menjadi
Bupati lebak, padahal ia hanya mengenyam lulusaan SD. Selain itu,
tokoh jawara H. Chassan Sohib, ia hanya memiliki latar belakang
pesantren salaf, dan tidak pernah mengeyam pendidikan formal hanya
sebatas Ver Volk (Sekolah Rakyat), tetapi ia menajabat berbagai
institusi, dari ketua dewan pembina Golkar, ketua KADIN, GAPENSI,
dan lain sebagainya.

Realita diatas, membuktikan bahwa Orde Baru telah berhasil


dalam membina dan memberdayakan jawara dalam aspek kehidupan
sosial, ekonomi, dan politik di Banten. Bagi komunitas jawara,
pendidikan akademis bukanlah suatu keharusan yang dimiliki olehnya,
tapi justru potensi nilai-nilai kultur budaya kejawaraanlah yang harus
dimiliki dan tetap dijaga. Bahkan menurut pandangan kelompok jawara

pemimpin tradisional dalam kalangan masyarakat Banten, selanjutnya


mengalami perubahan dan bergeser dengan berafiliasi dengan pihak
pemerintahan pada masa Orde Baru. Bahkan hingga saat ini, cup domain
wilayah otoritas jawara tidak hanya berfungsi sebagai informal leader lebih
dari itu, justru jawaralah yang saat ini mengendalikan perpolitikan dan akses
ekonomi di Banten.

129
“orang pintar itu belum tentu pantes jadi pemimpin, mau dia punya
gelar Profesor, Doktor ke! Malahan orang-orang pinter yang jadi Gubernur,
Bupati malah korupsi, terus daerahnya ga aman, ada saja kerusuhan dan ga
becus jaga ketertiban dan keamanan....! beda sama jawara yang jadi Bupati,
dia ga bakal korupsi, soalnya sebelum jadi Bupati jawara itu sudah kaya
duluan dengan menjadi pengusaha, ditambah lagi didaerahnya ga pernah
terjadi kekaucauan”. 179

Peranan dan kotribusi Orde Baru dinilai penting dalam melihat


perkembangan jawara Banten, dimulai dengan kebijakan-kebijakan
politiknya terhadap partai-partai Islam yang berkembang di Banten,
akhirnya berdampak dengan diikutsertakannya jawara dalam panggung
politik. Dengan cara seperti inilah kekuatan basis partai Islam, yang saat
itu diusung oleh PPP dapat ditekan. Manuver yang dilakukan oleh rezim
Orde baru dengan mengkooptasi jawara kedalam partai Golkar, berhasil
menandingi kekuatan PPP di Banten. Sebelumnya telah diketahui
bahwa Banten merupakan basis kekuatan Islam tradisional, dimana para
kiyai dianggap sebagai pemimpin informal dan memiliki massa
pendukung. Khawatir akan hal tersebut, maka rezim Orde Baru segera
melakukan pendekatan dengan para kiyai dan jawara Banten.

Dalam prosesnya tidak semua kiyai dapat diakomodir untuk


masuk dan menjadi mesin politik Golkar. Lain halnya dengan
komunitas kelompok jawara, komunitas ini dapat diakomodir dan
dikooptasi sepenuhnya oleh rezim pemerintahan Orde Baru, dan masuk
kedalam mesin partai politik Golkar. Adapun konsekuensi yang
ditanggung oleh rezim Orde Baru adalah, adanya bergaining
kesepakatan antara pihak Orde Baru dengan kelompok jawara, salah
satunya adalah diberikannya akses lahan perekonomian Banten terhadap
kelompok jawara. 180 Rezim Orde Baru memahami betul, bahwa jawara
merupakan komunitas yang tidak memiliki jelas lahan pekerjaan,
kebanyakan dari mereka tersebar sebagai Lurah, preman-preman pasar,

179
Wawancara dengan Kang Mamed, tokoh jawara Banten, dan
Pengurus Pusat PPPSBBI. Posko PPPSBBI, Serang, Desember 2010.
180
Wawancara dengan Hudaeri, akademisi IAIN SMH Serang, Juli
2010.

130
terminal, kepala keamanan pasar dan pelabuhan. Oleh karena itu,
pendekatan yang dilakukan Orde Baru terhadap kelompok jawara ialah
dengan memberikan proyek-proyek pemerintah dalam bidang
konstruksi pembangunan sarana prasarana, jalan, dan bangunan dikelola
oleh para jawara.

Adapun proses diberdayakannya jawara oleh Orde Baru dimulai


dengan mengumpulkan dan mempersatukan jawara Banten. 181 Dengan
mempersatukan semua element jawara Banten dalam suatu wadah,
dinilai efektif untuk memobilisasi jawara dan dukungannya terhadap
Orde Baru. Dibentuknya organisai lembaga kemasyarakatan yang
mewadahi jawara, akan memberikan citra positif dimata masyarakat
Banten. Selain itu, wadah organisasi yang didomplengi jawara pun
menjadi gerakan underbownnya pemerintahan rezim Orde Baru.
Intervensi rezim pemerintahan Orde Baru terhadap organisasi-
organisasi yang dibentuk oleh para jawara, secara langsung mendidik
para jawara utuk turut serta belajar berpolitik, khususnya politik praktis.
Pemerintahan Orde Baru menempatkan tokoh-tokoh jawara untuk
menduduki kursi anggota DPR/MPR RI pada masa Orde Baru. Sebut
saja, Eki Syahrudin, Tryana Syam’un, Irsyad Juweli, dan lain
sebaginya, mereka merupakan sebagian kecil, tokoh jawara yang pernah
menduduki kursi anggota Dewan DPR/MPR RI untuk wilayah Banten.

Adapun upaya yang diusahakan oleh rezim Orde Baru dalam


memberdayakan jawara antara lain, membentuk organisasi-orgaisasi
massa yang langsung berada di bawah tangan para jawara. Antara lain,
membentuk Satuan Karya Jawara 1970, yang kemudian diganti menjadi
PPPSBBI (Persatuan Pendekar Persilatan Seni dan Budaya Banten

181
Proses untuk mempersatukan jawara dalam satu wadah organisasi
tidak begitu sulit dilakukan oleh rezim Orde Baru, cukup dengan merekrut H.
Chassan Sohib sebagai tokoh jawara dan mengintruksikanya untuk
mengumpulkan dan mempersatukan semua jawara Banten kedalam organisasi
Satuan Karya Jawara, lalu nama tersebut diganti dengan PPPSBBI. Hasilnya H.
Chassan berhasil mempersatukan semua jawara Banten, sebagai ketua jawara
Banten H. Chassan mengintruksikan kepada seluruh jawara untuk mendukung
sepenuhnya terhadap pemerintahan Orde Baru. Wawancara dengan, H. Khatib
Mansur, Tokoh jawara Banten dan pengurus KADIN provinsi Banten, Serang,
Desember 2010.

131
Indonesia) pada tahun 1973, membentuk Satuan Karya Ulama 1970,
membentuk angkatan 45, membentuk GAPENSI. Organisasi ini
dipimpin langsung oleh tokoh jawara H. Chassan, adapun diantara
organisasi yang memiliki peranan penting dalam mengembangkan
jawara adalah PPPSBBI. Organisasi PPPSBBI dianggap memiliki
peranan sentral dalam usaha mengembangkan dan memberdayakan
jawara, hal ini dikarenakan organisasi ini menaungi semua kalangan
jawara. Seperti halnya telah dijelaskan sebelumnya bahwa PPPSBBI
merupakan Sekber (Sekertariat Bersama) para jawara, semua jawara
berkumpul diorganisasi ini, baik dari kalangan pengusaha, pejabat
pemerintahan, dan jawara ilmu hikmah.

Pihak Orde Baru memahami bahwa komunitas kelompok jawara


belum memumpuni benar dalam hal keorganisasian, dan
pemahamannya tentang perpolitikan. Oleh karena itu, intervensi Orde
Baru dalam mengkonstruk jawara terlihat jelas dalam organisasi ini.
Kedekatan jawara dengan pihak militer sangat jelas, bagaimana militer
membimbing PPPSBBI dalam mengadakan latihan silat dan
berorganinsasi. Sedangkan, tahapan yang dipergunakan oleh rezim Orde
Baru dalam mengembangkan dan memberdayakan jawara di panggung
politik dan aspek kehidupan masyarakat Banten, dapat klasifikasikan
kedalam dua tahapan. Pertama, dibentuknya organisasi PPPSBBI dan
disusul dengan masuknya jawara kedalam Satkar Ulama. Kedua,
mengempisnya peranan Ulama dan munculnya peranan jawara. Untuk
lebih lanjut, klasifikasi tahapan tersebut akan dibahas secara lebih
mendetail dibawah ini.

C. Masuknya Jawara Kedalam Satkar Ulama Banten


Salah satu tahapan dan upaya yang digunakan oleh rezim Orde
Baru dalam memberdayakan potensi jawara adalah, dibentuknya
Organsasi PPPSBBI dan masuknya jawara kedalam Satkar Ulama.
Sebelumnya telah diketahui, bahwa Satkar Ulama berada dibawah
naungan rezim Orde Baru dengan partai Golkarnya. Lebih tepatnya
Satkar Ulama merupakan salah satu eksponen partai Golkar. Satkar

132
Ulama sendiri terbentuk pada tahun 1970, dimasa awal permulaan Orde
Baru. 182
Awal berdiri Satkar Ulama dimulai pada masa Pelita I, dimana
Orde Baru dengan Kombakti Siliwanginya sedang melaksanakan
pembangunan jalan antara Karangantu, Malingping dan jalan Ciomas,
yang dikerjakan oleh tahanan politik PKI dengan pengawalan dari
Korem Maulana Yusuf. Pada saat itulah, pemerintahan Orde baru
memfasilitasi perkumpulan musyawarah Ulama-ulama Banten di Batu
Kuwung. Ketika musyawarah itulah, pak Harto dengan pejabat
pemerintahan Orde Baru lainya, meminta restu kepada para kiyai
Banten untuk menjalankan Pelita I. Semua Ulama kharismatik yang ada
di Banten berkumpul semua, seperti KH. Mahmud, KH. Abdul Halim
dan Ulama-Ulama pejuang lainnya. Pada perkumpulan musyawarah
Ulama itulah, mulai dibentuk untuk pertama kalinya organisasi Satkar
Ulama yang diketuai langsung oleh KH. Mahmud, dengan tugas
mengawal para Ulama. 183 KH. Mahmud sendiri merupakan sosok kiyai
yang kharismatis pada masa tersebut. Tidak heran jika kalangan
pemerintah, militer, maupun jawara dalam memutuskan persoalan
selalu berkonsultasi terlebih dahulu kepadanya.
Berawal dari perkumpulan musyawarah antar Ulama Se-Banten
tersebutlah, Ulama dan jawara berada dalam pengaruh rezim Orde Baru.
Indikasi dari hal ini antara lain didirikannya Satuan Karya Ulama pada
tahun 1970, hasil dari musyawarah para Ulama, dimana terdapat
intervensi Militer dan Orde Baru, yang menjadi eksponen partai Golkar
pada masa awal pembentukannya. Setahun setelahnya, yakni tahun
1971 mulai didirikan organisasi yang menaungi jawara yakni, Satuan
Karya Jawara. Sementara itu, KH. Mahmud tetap ditunjuk menjabat
sebagai Ketua Satkar Ulama, sedangkan H. Chassan Sohib ditunjuk
sebagai Ketua Satkar Jawara. Di karenakan nama jawara memiliki citra
negatif dalam pandangan umum masyarakat, maka pada tahun 1977

182
Ismail Makmun, Riwayat Singkat Berdirinya Satkar Ulama Golkar
(Jakarta, Munas I Satkar Ulama Golkar, 1985).
183
Lihat lebih lanjut, Ismail Makmun, Riwayat Singkat Berdirinya
Satkar Ulama Golkar (Jakarta, Munas I Satkar Ulama Golkar, 1985).

133
Satkar Jawara diganti nama menjadi Persatuan Pendekar Persilatan Seni
dan Budaya Banten Indonesia (PPPSBBI). 184
Perlu diketahui, bahwa kedua tokoh ini sama-sama berasal dari
daerah Ciomas. Daerah Ciomas dikenal sebagai salah satu daerah pusat
jawara, karena daerah ini banyak melahirkan tokoh-tokoh jawara. Pada
masa awal pembentukan Satkar Ulama itulah, jawara mulai masuk dan
memiliki peran, terlebih lagi kedua tokoh tersebut berasal dari Ciomas
yang dikenal dengan pusat jawara. Selain itu, perlu diketahui menurut
Kang Mamed bahwa sebagian jawara-pun berprofesi sebagai kiyai, oleh
karena itu ada yang dikenal sebagai jawara kiyai.185 Masuknya jawara
kedalam Satkar Ulama, membentuk organisasi ini sebagai eksponen
partai Golkar. Perlu diingat bahwa jawaralah yang memfasilitasi
dibentuknya Satkar Ulama, bahkan H. Chassan sendiri merupakan
termasuk salah satu pendiri Satkar Ulama. Selain itu, beliau berperan
aktif menghubungkan antara rezim Orde Baru dengan pihak Ulama.
Tidak begitu sulit bagi kelompok jawara untuk masuk kedalam Satkar
Ulama, karena sebagian jawara-pun berprofesi sebagai kiyai.
Dengan dibentuknya Satkar Ulama dan Satkar Jawara, maka
tujuan Orde Baru untuk mengkooptasi kedua kelompok pemimpin
informal di Banten-pun tercapai. Melalui kedua Organisasi tersebut baik
para kiyai dan jawara, dapat dikendalikan dalam satu tangan. Ulama
dikendalikan melalui Satkar Ulama, ditambah dengan adanya para
jawara dalam organisasi tersebut. Sedangkan para jawara dikendalikan
melalui Satkar Jawara, yang kemudian diubah menjadi PPPSBBI.
Perubahan nama organisasi tersebut hanya untuk bertujuan
kamuflase agar citra negatif jawara tidak melekat di PPPSBBI, sebagai
organisasi pendekar. Kelompok jawara memiliki pandangan bahwa

184
Banyak para peneliti yang keliru tentang awal lahirnya PPPSBBI
sebagai organisasi yang menaungi jawara Banten, hal ini dikarenakan data
yang meereka peroleh tidak akurat. Pandangan mereka tentang tahun 1971
merupakan tahun didirikanya PPPSBBI adalah suatu kekeliruan. Tahun 1971
merupakan tahun berdirinya Satkar Jawara, sedangkan PPPSBBI sendiri berdiri
pada tahun 1977 atas persetujuan 48 kiyai termasuk KH. Mahmud dan KH.
Syatro’i dan tokoh jawara Banten, yang diresmikan di Masjid Agung Banten.
Lihat Anggaran Dasar dan Rumah Tangga Organisasi PPSBBI, Serang Banten,
1990.
185
Wawancara dengan Kang Mamed, Tokoh jawara dan pengurus
DPP PPPSBBI, Serang, Desember, 2010.

134
nama pendekar lebih positif dibandingkan dengan jawara, padahal pada
prakteknya pendekar dengan jawara tidak ada bedanya, kekerasan dan
intimidasi selalu digunakan untuk meraih suatu tujuan terterntu.
Selanjutnya, hubungan keduanya antara pihak rezim Orde Baru yang
dimotori oleh partai Golkar dengan jawara dan Ulama semakin dekat.
Hal ini ditandai dengan Musyawarah Nasional Satkar Ulama pada bulan
juli 1985 di Bogor, dengan memasukan seksi kepemudaan dan pendekar
(jawara) dalam susunan kepengurusan Golkar. 186

D. Mengempisnya Peranan Ulama dan Munculnya Jawara


Perkembangan jawara Banten dalam aspek sosial politik, tidak
terlepas kaitanya dengan eksistensi para Ulama atau kiyai di Banten.
Telah dibahas sebelumnya dalam bab terdahulu, bahwa para kiyai
memiliki peran sentral dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat
Banten. Termasuk dalam urusan aspek politik dan kepemimpinan di
Banten, para kiyai diposisikan dalam urutan pertama setelah runtuhnya
sistem Kesultanan di Banten. Selanjutnya, jawara ditempatkan dalam
stratifikasi lapisan kedua setelah para kiyai. Pada masa klasik, lalu
disusul dengan masa penjajahan, sampai dengan Orde Lama peranan
dan pengaruh kiyai tetap tidak tergantikan sebagai informal leader di
Banten. 187 Bahkan pada masa kemerdekaan dan Orde Lama, para tokoh
kiyai menjabat sebagai Bupati, panglima militer, dan jabatan
berpengaruh lainnya.
Namun saat ini keadan telah berubah, terjadi suatu pergeseran
peta politik di Banten, pengaruh kiyai di Banten mulai tersingkirkan.
Realita kenyataan yang terjadi di Banten mulai berubah dan bergeser,
peranan dan pengaruh kiyai dalam aspek kekuasan politik tidak sehebat
dulu lagi. Perubahan atmosfer politik di Banten mulai berubah,
pengaruh dan peranan kiyai telah bergeser, jika dahulu berperan sebagi

186
Lihat lebih lanjut, Ismail Makmun, Riwayat Singkat Berdirinya
Satkar Ulama Golkar (Jakarta, Munas I Satkar Ulama Golkar, 1985).
187
Martin Van Bruinessen : Shari’a court, Tarekat and Pesantren :
Religius Istitutions in The Banten. (Paris: Archipel, 1995),168. Lihat pula, Ota
Atsushi, Change of Regim and Social Dynamic in West Java, Society, State,
and the Outer World of Banten 1750-1830 (Leiden Netherland: Brill, 2006),
67.

135
pemimpin politik, saat ini bergeser dan ditempatkan hanya seputar
mengurusi bidang keagamaan saja. Sedangkan untuk urusan politik dan
kekuasaan, saat ini muncul kelompok komunitas jawara yang lebih
dominan menguasai peta perpolitikan di Banten.
Pergeseran peran ulama serta mobilitas vertikal para jawara,
merupakan suatu fenomena dalam perkembangan jawara dan
masyarakat lokal di Banten. Perubahan ini hanya dapat dilihat dari
aspek historis, bagaimana proses perubahan dan perkembangan itu
berjalan dan berproses. Fenomena tersebut merupakan hasil dari
intervensi rezim Orde Baru terhadap situasi dan kondisi perpolitikan di
Banten.
Orde Baru memiliki peran signifikan, terhadap mengempisnya
peranan Ulama dan munculnya jawara dalam aspek perpolitikan di
Banten. Padahal pada masa awal lahirnya rezim Orde Baru, kelompok
Ulama-lah yang didekati untuk ikut dan bergabung dengan Orde Baru.
Walaupun pada proses pendekatannya berjalan sangat alot antara pihak
Orde Baru dengan kelompok Ulama. Setidaknya dibutuhkan tiga kali
pertemuan untuk mencapai kata sepakat diantara kedua pihak, bahkan
Presiden Suharto-pun turun langsung pada pertemuan yang ketiga
kalinya. Terkesan lambat dan alotnya proses tersebut, dikarenakan
pihak ulama awalnya tidak ingin bergabung dengan Golkar. 188
Melihat lambatnya proses kooptasi ulama tersebut, jelas bahwa
peranan dan posisi para Ulama di Banten memiliki nilai yang sinifikan
dalam masyarakat Banten. Namun seiring berjalannya proses
pembangunan dan situasi perpolitikan di Banten, terjadi pergeseran
peran. Para kiyai secara sistematis termarjinalkan dengan kebijakan
alienasi Islam politik oleh rezim Orde Baru yang dimanifestasikan lewat
partai Golkar. Saat itulah kelompok jawara memperoleh dan mengalami
penguatan sistem politik dari rezim Orde Baru, dan muncul sebagai
pemimpin masyarakat yang memiliki kekuasaan dan berpengaruh kuat
secara politik. Sedangkan para kiyai secara sistematis eksistensinya
dipinggirkan ke wilayah periferial dan bersikap apatis, oleh skema yang
dijalankan Orde Baru.

188
Wawancara dengan sesepuh Kiyai Banten, nara sumber tidak ingin
diketahui identitas namanya, November 2010.

136
Salah satu dampak dari kebijakan yang dilakukan Orde Baru,
antara lain membuat kekuatan Islam politik termarjinalisasikan,
termasuk dengan Banten. Telah diketahui bersama bahwa salah satu
tujuan Orde Baru, ingin memarjinalkan kekuatan Islam poltik dari
percaturan politik nasional. Marjinalisasi terhadap kekuatan Islam
politik ini, dikarenakan Orde Baru memiliki anggapan bahwa Islam
politik sebagai suatu ancaman yang harus dipinggirkan dari pentas
politik nasional. Di antara kebijakan Orde baru yang berusaha
memarjinalkan Islam politik, antara lain melarang menghidupkan
kembali partai Masyumi dan kembalinya pemimpin Masyumi dalam
dunia politik, fusi partai-partai Islam, sampai kepada pelarangan Islam
sebagai asas partai dan organisasi massa Islam. 189
Dengan kebijakan seperti itu, salah satu dampaknya adalah
terpinggirkannya peran kiyai. Walaupun demikian, para kiyai tetap
berpegang teguh kepada prinsip Islam politik, walaupun dalam
geraknya telah dibatasi, bahkan diisolir oleh Orde Baru dari umatnya.
Berbarengan dengan itu, Orde Baru mendekati para kiyai untuk
bergabung dengan dengan Golkar. 190 Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, dalam konteks pendekatan ini Orde Baru membentuk
Satkar Ulama sebagai salah satu sayap organisasi untuk menampung
para Ulama ataupun kiyai di Golkar. Untuk pertama kalinya Satkar
Ulama di bentuk di Banten, selanjutnya kebijakan membentuk Satkar
Ulama-pun diterapkan di daerah-daerah lainya. Pada masa awal Orde
Baru, peta politik di Banten masih dikuasai oleh partai-partai Islam,
Masyumi dan NU menjadi kekuatan dominan di Banten. Dengan
kebijakan depolitisasi, Orde Baru berhasil mengubah peta kekuatan
politik di Banten sehingga menjadi wilayah pendukung Golkar. Strategi
usaha politik Orde Baru untuk mengubah kondisi itu adalah dengan
memanfaatkan dan mempolitisasi peran kiyai.
Dengan demikian, pada era 1980-an, pengaruh Ulama dalam
proses perpolitikan sedikit demi sedikit mulai menyusut. Disamping
karena adanya kebijakan alienasi Islam politik oleh rezim Orde Baru,
salah satu mengempisnya peran Ulama dimata masyarakat karena
adanya faktor konflik intern dikalangan Ulama Banten. Konflik antara

189
M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik..., 87-89.
190
M Din Syamsuddin, Islam dan Politik..., 56-57.

137
kiyai ini berasal dari permasalahan siapa yang akan melanjutkan
kepemimpinan KH. Syam’un di pondok pesantren Alkhaeriyah, Serang.
KH. Syam’un merupakan tokoh Ulama Banten yang berkharisma
dihormati oleh masyarakat Banten, dan pernah menjabat panglima
tinggi militer 1945, lalu diangkat sebagai Bupati Serang 1945-1949. 191
Konflik yang berkepanjangan ini, setidaknya menurunkan kharisma dan
kewibawaan para kiyai dimata masyarakat Banten.
Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, bahwa Satkar Ulama
memiliki peran untuk menghadapi kiyai di Banten. Akibat kebijakan
seperti itu, para kiyai pondok pesantren, ormas Islam di Banten banyak
yang bergabung dengan Golkar, diantaranya Matha’ul Anwar di
Pandeglang dan Alkhaeriyah di Serang. Dengan bergabungnya para
kiyai ke Golkar, tentu saja mereka menjadi bagian dari mesin politik
Golkar. Bergabungnya para kiyai kedalam Satkar Ulama, menghasilkan
dampak yang negatif bagi para kiyai itu sendiri karena mereka dianggap
sebagai agen pemerintah.
Akses dari kedekatan hubungan antara rezim Orde Baru dengan
para kiyai, adalah menurunnya citra dan peran kiyai di mata ummat,
bersamaan dengan itu posisi dan peran kiyai semakin termarginalkan.
Bahkan tidak akibatnya tidak sedikit dari mereka yang dijauhi dengan
sendirinya dan ditinggalkan oleh ummat, dalam hal ini masyarakat
Banten. Walaupun demikian, tidak semua Ulama memihak dan
mendukung Orde Baru, mereka tetap netral, karena sikap mereka yang
netral inilah para kiyai ini tetap disegani dan dihormati oleh ummat.
Sebut saja misalnya KH. Abuya Dimyati Cidahu (alm), KH.
Cecep Bustomi (alm), dan KH. Uci Qurtusi Cilongok. Para kiyai ini
dianggap sebagai kiyai yang netral dan tidak memihak partai manapun,
sehingga mereka tetap dihormati dan disegani oleh ummat, bahkan
mereka memiliki pengaruh yang kuat. KH. Abuya Dimyati dikenal oleh
sebagian masyarakat sebagai Waliyullah, bahkan kediaman beliau
pernah didatangi oleh semua Presiden Republik Indonesia, dari mulai
Soekarno-Gusdur 192. Walaupun semua Presiden pernah

191
Else Ensering, Banten in Times of Revolution (Paris : Archipel,
1995), 150.
192
Wawancara dengan sesepuh Kiyai Banten, nara sumber tidak ingin
diketahui identitas namanya, November 2010.

138
menyambanginya hanya untuk sekedar minta restu, tapi perlakuannya
tetap sama, tidak ada perbedaan antara Presiden dengan rakyat biasa.193
Namun proses pemarginalisasian Ulama yang paling jelas adalah,
karena adanya intervensi rezim Orde Baru untuk menempatkan peran
Ulama lebih pada urusan keagamaan saja. Sejak saat itu, unsur militer
(Orde Baru) mulai mendominasi di tingkat pemerintahan Banten. Mulai
tahun 1967 misalnya, Bupati Serang dijabat dari Militer dan DPRDnya
sampai tahun 1987, diketuai oleh Militer.194 Dengan kata lain, Orde
Baru secara sistematis telah berhasil mengempiskan peranan Ulama
dalam aspek politik pemerintahan dimata masyarakat Banten.
Adapun peranan jawara malah semakin kuat posisinya dalam
kancah politik lokal, karena kedekatannya dengan rezim Orde Baru.
Hubungan relasi kedekatan tersebut, merupakan politik akomodasi dan
kooptasi Orde Baru terhadap jawara. Salah satu upaya untuk
membendung kekuatan politik kiyai, rezim Orde Baru mengkooptasi
dan memanfaatkan eksistensi jawara. Dengan kebijakan politiknya,
Orde Baru berhasil membelokan akses kekuasaan politik dari kiyai
beralih ke kelompok jawara. Berhubungan dengan kebijakan elienasi
Islam politiknya, Orde Baru menilai bahwa jawara lebih kooperatif
dibandingkan dengan Ulama, selain itu Islam politik merupakan
ancaman bagi pentas politik nasional. Kelompok jawara dinilai lebih
kooperatif dibandingkan dengan kiyai, dikarenakan kelompok jawara
lebih pragmatis dibandingkan dengan para ulama yang tetap memegang
teguh prinsip. 195 Singkatnya, kelompok jawara lebih mudah untuk
dibayar dan menjadi rekanan Orde Baru.

193
Perlakuan yang diberaikan oleh KH. Abuya Dimyati terhadap para
pejabat dan para Presiden disamakan dengan rakyat biasa, bahkan ada diantara
Presiden yang rela menunggu beliau seharian. Biasanya Abuya Dimyati tidak
ingin ditemui oleh siapa-pun jika beliau sedang mengajar dan berzikir,
termasuk dengan Presiden sekalipun, dan jika bertemu dengan beliu biasanya
singkat, hanya menanyakan maksud dan tujuannya lalu memberikan do’a
dengan air putih. Wawancara dengan KH. Dadang, Tokoh Ulama dan
Pengusaha Banten, Tangerang, Agustus 2010.
194
Wawancara dengan salah seorang anggota Partai Politik di Banten,
yang tidak ingin disebutkan identitas namanya dengan alasan khawatir,
Oktober 2010.
195
Wawancara dengan salah seorang anggota Partai Politik di Banten,
yang tidak ingin disebutkan identitas namanya dengan alasan khawatir,
Oktober 2010.

139
Selain itu, hubungan kedekatan antara jawara dengan Orde Baru
dikarenakan berbagai hal, misalnya jawara juga melatih militer untuk
mendalami ilmu persilatan, atau para jawara pernah ikut terjun langsung
ke daerah-daerah konflik seperti, Papua (Irian Jaya saat itu), Aceh,
Ambon, dan Timor-timor. Bahkan lebih dari itu, kelompok jawarapun
dapat membantu karir seorang anggota militer, dari Letnan misalnya
menjadi Kapten. H. Chasan misalnya, merupakan tokoh sentral jawara
yang memiliki hubungan yang erat dengan para Jenderal, diantaranya,
Surono, Sudarsono, Prabowo Subiyanto, Basofi Sudirman dan lain
sebagainya. Bahkan lebih dari itu, Probowo sendiri sudah dianggap
menjadi anaknya, begitupun sebaliknya H. Chassan dianggap sebagai
bapak oleh Prabowo. 196
Jika dilihat dari kronologis kedekatan jawara dengan Orde Baru
dalam hal ini (militer), dapat dilihat ketika proses terjadinya
kesepakatan antara Ulama dan Jawara Banten dengan rezim
pemerintahan Orde Baru. Kelompok jawaralah yang ditunjuk oleh
Jenderal Surono, (yang saat itu menjabat Pangkowilhan Jawa-Madura)
untuk membantu pelaksanaan kesepakatan musyawarah tersebut.
Tempat pertemuannya tersebut difasilitasi oleh kelompok jawara197, di
tempat wisata pemandian air hangat Batu Kuwung milik H. Chassan,
ketua jawara. Kelompok jawara sendiripun mengakui bahwa Orde Baru,
Militer, Polri, merupakan mitra kerja mereka dalam hal menjaga
stabilitas keamanan.
Intervensi yang dilakukan oleh rezim pemerintahan Orde Baru
terhadap perpolitikan di Banten, meletakan kelompok jawara sebagai
kelompok yang mendominasi kekuasaan di Banten. Bahkan lebih dari
itu, aspek ekonomi-pun dikuasai oleh mereka. Walupun demikian,

196
Dalam biografi profilnya, H. Chassan memiliki kedekatan secara
emosional dengan para petinggi militer, para anggota militer secara langsung di
didik berlatih ilmu silat, maka secara tidak langsung proses tersebut dalam
dunia kejawaraan, disebut dengan hubungan antara murid dengan guru.
Walaupun demikian, kelompok jawara menolak jika hubungan tersebut disebut
dengan hubungan antara murid dan guru, mereka lebih senag disebut hubungan
anak dengan bapak, atau dengan hubungan dengan Sahabat. Wawancara
dengan H. Khatib Mansur, salah satu jawara Banten, pengurus KADIN
Provinsi, Serang, Desember 2010.
197
Wawancara dengan Kang Mamed, Tokoh jawara dan pengurus
DPP PPPSBBI, Serang, Desember, 2010.

140
secara kultur jawara memang masih setia terhadap kiyai sebagai
pemegang pengaruh moral, tetapi kebutuhan materi tidak mengharuskan
jawara untuk patuh lagi terhadap kiyai. Kelompok jawara yang pada
umumnya lebih pragmatis dibandingkan dengan kiyai, dimanfaatkan
oleh Orde Baru untuk upaya memobilisasi dukungan massa dan
rekayasa politik Orde Baru untuk melakukan penetrasi di Banten.
Hubungan yang terjadi antara kiyai dengan para jawara secara
kultural tetap tidak berubah. Para jawara tetap memegang teguh nilai-
nilai tradisi budaya dan kultur jawara, sebagai murid kiyai. Secara
politik rezim Orde Baru mengkonfrontir antara kelompok kiyai dengan
jawara, tetapi karena sebagian kiyai telah masuk kedalam Satkar Ulama
dan menjadi eksponen Golkar, hal tersebut dapat dihindarkan.
Sebaliknya konflik itu sendiri terjadi di internal para kiyai Banten itu
sendiri. Surutnya peranan kiyai dalam bidang kekuasaan dan politik,
membuka peluang bagi para jawara untuk menempati posisi tersebut,
hasilnya pentas politik di Banten dapat dikuasai oleh kelompok jawara.
Dominasi jawara atas proses sosial politik di Banten, membuka peluang
bagi mereka untuk lebih banyak berperan dalam berbagai bidang.
Dimulai dari dominasi aspek politik, kemudian disusul aspek ekonomi
dengan banyaknya tokoh jawara yang menjadi pengusaha, hanya
sebagian kecil yang berkiprah menjadi kiyai.
Proses perkembangan jawara Banten pada masa rezim Orde Baru,
merupakan kunci terjadinya perubahan mobilitas vertikal dalam
kelompok jawara. Diantara salah satunya, menyusutnya peranan Ulama
dalam hal kekuasaan di Banten. Singkatnya, kelompok jawara yang
mendominasi kekuasaan politik dan ekonomi di Banten, merupakan
hasil dari bentukan Orde Baru.

BAB V
JAWARA BANTEN DAN ERA REFORMASI

141
Pada bagian ini, penulis akan membahas bagaimana
perkembangan jawara Banten pada era Reformasi, setelah
sebelumnya dibahas pada masa Orde Baru. Perkembangan jawara
secara signifikan ini, dapat dilihat dari dua aspek, antara lain
politik, dan ekonomi. Dominasi jawara terhadap perpolitikan di
Banten, dimana kelompok ini berhasil menancapkan
pengaruhnya, baik dalam lembaga eksekutif maupun legeslatif.
Selain aspek politik, kelompok jawara-pun telah berhasil
mendominasi aspek perekonomian di Banten. Pada bagian ini
juga, akan membahas peran sentral Tokoh Jawara dalam
mengendalikan perpolitikan, sosial, dan ekonomi di Banten. Era
Reformasi merupakan masa kejayaan bagi kelompok jawara, hal
tersebut dapat dilihat dengan dikuasainya lembaga eksekutif dan
legeslatif oleh kelompok jawara. Sedangkan proses
perkembangan dan perubahan tersebut dapat dilihat secara
historis, bagaimana pola relasi hubungan yang terjadi antara
jawara dengan pemerintahan era Reformasi.

Jawara dan Pemerintahan Lokal di Era Reformasi


Runtuhnya rezim Orde Baru dalam panggung perpolitikan
di Indonesia, membuka lembaran baru dalam babak baru sejarah
Indonesia. Gerakan mahasiswa, demo massa, dan peristiwa
kerusuhan 14 mei 1998, merupakan bom waktu yang telah
meledak akibat dari kulminasi-kulminasi kegelisahan masyarakat
terhadap kebijakan-kebijakan otoriter yang dikeluarkan oleh Orde
Baru. Krisis ekonomi 1997 yang melanda Indonesia,
mengkibatkan lumpuhnya perekonomian rakyat dimulai dari
melonjaknya kebutuhan bahan-bahan pokok, naiknya BBM,
merosotnya nilai tukar Rupiah dan naiknya nilai kurs Dollar.
Dimulai dari aspek perekonomian-lah, mulai goyahnya stabilitas
politik dan keamanan di negeri ini. Selain itu, praktek para
pejabat yang korup, kolusi, dan dominasi nepotisme keluarga
cendana terhadap perpolitikan di Indonesia, merupakan faktor-
faktor yang menyebabkan runtuhnya rezim Orde Baru ini. Dengan
goyahnya perekonomian pada masa Orde Baru, muncul berbagai

142
konflik, dan konflik tersebut meluas kemana-mana konflik antar
suku, agama, bahkan antar kelas sosial. 198
Dengan berakhirnya rezim Orde Baru yang represif,
masyarakat Banten seakan menghirup udara segar demokrasi.
Masa kepemimpinan Habibie merupakan masa transisi sehingga
kurang mendapatkan respon yang positif dari masyarakat.
pemerintahan Habibi terutama ditunjuk untuk mengadakan
berbagai perubahan politik melalui kepala negara, oleh karena itu
segala persiapan untuk program tersebut lebih menyita perhatian.
Sebenarnya konstelasi politik yang terjadi di Indonesia pada
tahun 1997an, yang ditandai dengan berakhirnya dekade rezim
pemerintahan Orde Baru, lalu kemudian disusul dengan era
reformasi. Telah menempatkan posisi jawara Banten dengan
pemerintahan lokal, khususnya kelompok jawara H.Chasan tokoh
jawara, tidak jauh berbeda dengan masa-masa sebelumnya.
Konstelasi politik yang terjadi di Indonesia ini, tidak berpengaruh
pada situasi dan kondisi di Banten khususnya kelompok jawara
Banten. Runtuhnya rezim Orde Baru dan lahirnya era reformasi,
bukan berarti menjegal kelompok jawara dalam mendominasi
perpolitikan di Banten. Relasi hubungan yang terjalin antara
kelompok jawara Banten dengan pemerintah daerah maupun
pusat pada masa transisi ini sama sekali tidak terdapat gangguan
yang berarti. 199 Peralihan konstelasi politik antara rezim Orde

198
Paulus Wirutomo, Membangun Masyarakat Adab : Suatu Sumbangan
Sosiologi (Jakarta : UI Press, 2001), 6.
199
Transisi bergantinya rezim pemerintahan dari Orde Baru ke era
reformasi, tidak berdampak negatif terhadap dominasi kelompok jawara,
walaupun konstelasi perpolitikan saat itu sedang bergejolak. Bahkan pada masa
transisi ini, kalangan jawara berhasil memanfaatkan momentum reformasi,
yakni dengan berusaha membentuk Banten menjadi provinsi tersendiri.
Kelompok jawara memiliki peran signifikan dalam proses pembentukan
provinsi Banten. Lihat Agus Sutisna, Banten Melangkah Menuju Kemandirian,
Kemajuan dan Kesejahteraan (Banten: Biro Humas Provinsi Banten, 2005),
25. Dibalik peranan jawara dalam mengupayakan berdirinya Provinsi Banten,
hal tersebut dilatar belakangi dengan adanya faktor kepentingan motif ekonomi
salah satunya, dimana bisnis yang dijalani oleh kalangan jawara bersumber dari
proyek-proyek pemerintahan setempat, oleh karena itu dengan berdirinya
Banten seebagai Provinsi kelompok jawara dapat dengan mudah dan leluasa
menguasai perekonomian dan perpolitikan di Banten.

143
Baru dengan era reformasi, tidak mengakibatkan ekses dampak
negatif terhadap eksistensi dan dominasi kelompok jawara.
Khususnya dominasi jawara dalam sektor ekonomi dan
penguasaan politik lokal. Justru sebaliknya, pada era reformasi
hubungan yang terjalin antara kelompok jawara dengan
pemerintahan setempat sangat erat.
Pada masa era reformasi ini, kelompok jawara lebih gencar
dalam upaya mendominasi jaringannya di dalam birokrasi
pemerintahan. Terlebih lagi ketika Banten memisahkan diri dari
Jawa Barat, dan menjadi Provinsi tersendiri pada tahun 1999.
Kelompok jawara melebarkan sayap pengaruh dan posisi
peranannya dalam masyarakat lokal setempat. Hal tersebut dapat
dilihat ketika kelompok jawara berhasil mengusung Rt. Atut
Chosyiah sebagai Wakil Gubernur Banten pada periode 2002-
2006. Rt. Atut Chosyiah sendiri merupakan anak dari Tokoh
Jawara. Dengan naiknya Atut menjadi Wakil Gubernur pada
periode 2002-2006, dan menjadi Gubernur Banten pada periode
2006-2011, telah menandai bahwa penguasaan politik lokal di
Banten secara formal telah dikuasai oleh kelompok jawara.
Jika pada masa Orde Baru merupakan masa pemberdayaan
jawara, maka ketika runtuhnya rezim tersebut dan digantikan
dengan era reformasi, kelompok jawara telah berhasil mencapai
masa puncak keemasannya. Mengapa demikian, hal ini
dikarenakan para kelompok jawara telah mendominasi segala
aspek kehidupan masyarakat Banten, terutama ketika kelompok
jawara telah berhasil mengusung Rt. Atut menjadi Gubernur pada
Pilkada 2006. Dimulai dari masa Orde Baru, peranan jawara
mendominasi aspek politik dan ekonomi. Setelah runtuhnya rezim
tersebut (Orde Baru) kelompok jawara Banten melebarkan sayap
pengaruh dan posisinya. Telah dibahas sebelumnya, bahwa
melebarnya ranah dominasi kalangan jawara tersebut tidak lepas
dari rezim Orde Baru. Pada masa ini, kelompok jawara dekat
dengan kalangan penguasa. Kedekatan ini tidak lepas dari
rekayasa politik Orde Baru yang memainkan peran sentral dalam
mengkondisikan peranan jawara.

144
Kedekatan kelompok jawara dengan penguasa rezim Orde
Baru telah menyebabkan jawara mendapatkan banyak kemudahan
dan fasilitas untuk membangun kekuatan ekonominya. Runtuhnya
Orde Baru bukan berarti menandai berakhirnya dominasi para
jawara, justru sebaliknya komunitas ini menjadi semakin
mendominasi bahkan dapat disebut menghegemoni. Pada era
reformasi ini, relasi hubungan yang terjalin antara kelompok
jawara dengan pemerintahan lokal setempat, dapat dikatakan
mendominasi. 200 Dari aspek politik keterlibatan jawara dalam
politik dan bisnis semakin menguat. Keterlibatan jawara dalam
politik yang semakin meningkat tersebut dapat dilihat dari
menyebarnya para jawara kedalam partai-partai politik.
Jika pada masa rezim Orde Baru mereka hanya
terkonsentrasi pada Golkar, kini pada masa era reformasi mereka
menyebar ke partai-partai politik lain. Sehubungan dengan itu
dapat dikatakan bahwa arena politik kalangan jawara kini
semakin meluaskan posisinya, jika pada masa awal hanya terbatas
dalam domain kultural kini melebar ke domain struktural. Apabila
sebelumnya ranah peranan jawara hanya sebatas lingkungan
pedesaan, maka kini wilayah kekuasaannya meluas ke tingkat
kabupaten, kota, dan provinsi. Jika dahulu kalangan jawara hanya
bergerak di ranah sebagai penjaga keamanan, kini para jawara
masuk dalam ranah politik kekuasaan dan bisnis perekonomian di
Banten.

200
Walaupun era reformasi dikenal sebagai era yang terbuka untuk keran
demokrasi, hak pendapat dan sebaginya, tetapi lain halnya dengan wialayah
Banten ruang demokrasi telah tertutup dengan dominasi para jawara dalam
apek pemerintahan. Intervensi dan intimidasi kelompok jawara mewarnai
jalannya roda pemerintahan lokal setempat, memang dalam konstruk budaya
lokal jawara merupakan informal leader dalam komunitas masyarakat Banten,
permasalahnnya disini adalah bagaimana ketika informal leader tersebut
merambah ke sektor aspek formal. Isu-isu demokrasi di Banten menjadi bahan
wacana, memang jika berpijak dari undang-undang demokrasi telah diterapkan
di wilayah Banten, tetapi pada prakteknya jauh dari nilai-nilai demokrasi itu
sendiri. Hal tersebut dapat dilihat dengan berkuasanya Diansti keluarga dalam
pemerintahan di Banten. Lihat Andi Rahman Alamsyah, Islam, Jawara dan
Demokrasi, Geliat Politik Banten Pasca Orde Baru (Jakarta: Dian Rakyat,
2009), 86.

145
Ironisnya, laju reformasi yang diikuti dengan pembentukan
Provinsi semestinya membuka keran demokrasi di Banten, justru
memberikan berkah luar biasa bagi kelompok jawara ini. Posisi
dan pengaruh jawara malah semakin menguat dan mendominasi
segala aspek kehidupan masyarakat Banten. Secara cerdik
kelompok jawara mendapatkan keuntungan, baik politik dan
ekonomi dari perubahan tata pemerintahan di era reformasi.
Menguatnya posisi jawara setelah Banten menjadi provinsi baru
di Indonesia antara lain, di dukung oleh adanya kemampuan
kelompok jawara secara individual maupun kolektif di dalam
membangun pencitraan sebagai kelompok utama yang bengaruh
didalam proses politik pembentukan Banten menjadi provinsi,
khususnya peranan Tokoh Jawara.
Dibandingkan dengan berbagai tokoh pendiri Banten
lainnya, Tokoh Jawara mampu bermain peran sebagai sosok yang
paling menonjolkan peran dirinya di hadapan publik Banten.
Begitu pula dengan kehadiran para jawara yang selalu tampil
dalam setiap perhelatan sebelum maupun sesudah terbentuknya
provinsi Banten. dalam deklarasi nasional pembentukan Provinsi
Banten pada 5 Desember 1999, Tokoh Jawara tampil sebagai
tokoh sentral dan jawara PPPSBBI sebagai element utama
keamanan. Selain itu menguatnya posisi jawara didukung oleh
kemampuan mengawal setiap momentum politik setelah Banten
menjadi Provinsi.

Dominasi Jawara Dalam Aspek Kekuasaan Politik


Sebelumnya telah dibahas, bahwa dalam proses perpolitikan
di Banten pada aspek kelembagaan politik dan birokrasi
pemerintah, tidak bisa lepas dengan pengaruh dua entitas informal
leader (kiyai dan jawara) di Banten. Kutur budaya masyarakat
Banten yang kental dengan keislamannya, menjadikan dua entitas
tesebut memiliki peran penting dalam proses percaturan politik
dan pengaruh di Banten. Bahkan persaingan di tingkat informal
ini turut menjalur ke wilayah formal. Tidak heran jika ada calon
yang ingin maju dalam persaingan pemilihan kepala daerah dan
calon legeslatif dalam putaran pemilu, jika tidak ingin ketinggalan

146
kereta maka mau tidak mau harus merangkul kedua entitas
tersebut.
Setelah terbentuknya Provinsi Banten, hal tersebut
menciptakan arena kompetisi politik yang penting bagi berbagai
pihak yang ingin mengambil keuntungan dari terbentuknya
provinsi. Bahkan moment-momen seremonial sepertihalnya
pelantikan anggota DPRD Provinsi Bantenpun dijaga ketat oleh
para kelompok jawara. Besarnya pengamanan yang dilakukan
oleh kelompok jawara menggambarkan besarnya kepentingan
jawara dalam mengamankan pelantikan anggota DPRD. Hal ini
tidak terlepas dari agenda pemilihan Gubernur Banten yang nanti
dilakukan oleh DPRD Banten. 201 Peranan lainnya adalah adanya
keterlibatan jawara pada pembentukan organisasi profesi
pengusaha di tingkat Banten. Terbentuknya organisasi semacam
KADIN, Gapensi, atau Asosiasi Aspal Beton di tingkat Provinsi
Banten memudahkan para kelompok jawara dalam mendapatkan
proyek-proyek konstruksi yang di tenderkan oleh pemerintahan
Banten.
Ketika terjadi perubahan dengan datangnya era reformasi
dan runtuhnya rezim Orde Baru, tampaknya fenomena itu dibaca
juga oleh kalangan jawara Banten. bila pada masa Orde Baru
keterlibatan jawara dalam politik hanya di Golkar, maka saat ini
pada era reformasi keterlibatan jawara dalam politik menyebar ke
berbagai partai politik. Diantara mereka ada yang bergabung
dengan PDIP dan partai-partai lainnya. Selain itu mereka juga ada
yang bergabung dengan partai-partai baru. Panggung politik di
Banten mencatat tampilnya para jawara sebagai ketua partai
politik baru di tingkat kabupaten, kota dan provinsi.
Pada era reformasi ini kader-kader jawara banyak yang
menguasai dan menjabat posisi pada partai-partai politik yang
tumbuh berikutnya seperti terutama Partai Golkar, kemudian
PDIP, PPP, PKB, PAN, serat partai kecil lainnya. Bukan hanya
itu saja, bahkan kalangan jawara menduduki posisi sebagai ketua

201
Surat Kabar Radar Banten, Ace Siap Duel Lawan Djoko, Ribuan
Orang mau Gempur DPRD, Para Pendekar Juga mau Beraksi, 14 November
2001.

147
partai. Sebut saja, H. Maman Rizal yang menjadi ketua DPD II
Partai Golkar Kab. Serang, Tb. Aat Syafaat menjabat ketua DPD
II Partai Golkar Kota Cilegon, H. Aceng Iskak menjabat ketua
PDIP Pandeglang, Hasan Cobra menjabat sebagai Ketua Partai
Persatuan Daerah, Rt. Atut Chosiyah (putri dari Tokoh Jawara)
wakil bendahara DPP partai Golkar, dan banyak lagi diantara para
tokoh jawara yang menduduki posisi penting di partai-partai
politik. Selain pada umumnya kelompok jawara menempatkan
orang-orangnya baik di institusi-institusi pemerintahan maupun
intitusi-institusi politik, dari mulai partai politik hingga lembaga
legislatif. Orang yang ditempatkan ada yang murni kader jawara
atau orang lain yang sudah dibawah pengaruh mereka.
Selain menjadi anggota dan pengurus partai, kalangan
jawara juga banyak yang menjadi anggota dewan, baik di tingkat
kabupaten, kota maupun ditingkat provinsi. Adapun diantara
kalangan jawara yang menjadi anggota dewan antara lain, Maman
Rizal sebagai ketua fraksi Golkar DPRD Serang, Jayeng Rana
Anggota DPRD Provinsi Banten, Hasan Maksudi sebagai Ketua
DPRD Serang, Jazuli anggota DPRD Provinsi Banten, H. Jajat
Mujahidin Anggota DPRD Pandeglang, 202 dan banyak lagi
dintara mereka yang menjadi anggota dewan. Diantara para
jawara tersebut, ada jawara yang memiliki pengaruh yang kuat
dan dominan di Banten, yang sering disebut Gubernur Jendral.
Salah satu pengaruh yang dimiliki oleh Tokoh Jawara ini
adalah, mampu mengontrol dan mengendalikan partai-partai
politik di Banten dan DPRD Provinsi Banten. Jika dianalogikan
kepemimpinan Tokoh Jawara dalam kelompok jawara, layaknya
seperti Godfather di kelompok Mafia-Mafia Italia. 203 Untuk

202
Wawancara dengan salah seorang anggota Partai Politik di Banten,
yang tidak ingin disebutkan identitas namanya dengan alasan khawatir,
Oktober 2010.
203
Sama halnya dengan komunitas jawara Banten dimana ikatan
kekeluargaan dijadikan penghubung jaringan dalam organisasi jawara,
organisasi Mafia Italiapun demikian, oraganisasi ini berkembang dalam
jaringan emosional kekeluargaan, dimana Godfather berperan sebagai
pimpinan tertinggi dalam kelompok Mafia, dan tokoh Godfather ini merupakan
tokoh sentral yang dapat diduduki oleh orang yang dituakan. Demikian pula
dengan Tokoh Jawara merupakan sosok yang dihormati dan dituakan, yang

148
mengontrol dan mengendalikan situasi perpoitikan di Banten,
biasanya sang Gubernur Jenderal menempatkan orang-orangnya
(kalangan jawara) di dalam partai-partai politik di Banten.
Di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP),
kelompok jawara menempatkan orangnya, yakni Jayeng Rana,
sebagai ketua DPW PDIP Banten. Jayeng Rana sebelumnya
adalah wakil sekretaris DPC PDIP Kabupaten Serang. Pada
pemilihan ketua PDIP tahun 2005, H. Chassan sebagai tokoh
jawara berperan aktif agar Jayeng Rana terpilih menjadi keetua
DPD PDIP Provinsi Banten. dalam pemilihan itu terjadi
perebutan ketua DPDP PDIP Banten antara Jayeng Rana dengan
Malawati. 204 Di partai Bintang Reformasi (PBR) dengan
menempatkan orangnya Jazuli sebagai ketua DPW PBR Banten.
Adapun di Partai Bulan Bintang (PBB), kelompok jawara
menempatkan Buety Nasir sebagai ketua DPW PBB.
Sementara itu Tokoh Jawara sendiri duduk di partai Golkar
sebagai Dewan Pembina. Dengan kedudukannya sebagai Dewan
Pembina ini maka tentu ia memiliki pengaruh yang kuat di Partai
Golkar di Banten. Pengaruh ini semakin kuat ditambah dengan
para anak buahnya banyak yang duduk di dalam kepengurusan
Partai Golkar. Bahkan anaknya sendiri, Rt. Atut Chosiyah
menjadi pengurus Partai Golkar di tingkat Pusat, yaitu Wakil
Bendahara DPP Partai Golkar. Selain menempatkan orang-
orangnya di partai-partai politik, tokoh jawara juga menempatkan
orang-orangnya di DPRD Provinsi. Umumnya para kalangan
jawara duduk di Komisi III DPRD Provinsi, Komisi ini
membidangi tentang pekerjaan umum, pemetaan, rencana tata
ruang wilayah, perhubungan, pertambangan dan energi,
perumahan rakyat dan lingkungan hidup. Di Komisi inilah
biasanya para tokoh jawara partai berkumpul, sebagai Komisi

berperan sebagai ketua jawara Godfather. Lihat Letizia Paoli, Mafia


Brotherhoods, Organized Crime, Italian Style ( New York : Oxford University
Press, 2003), 47, 48.
204
Wawancara dengan salah seorang anggota Partai Politik di Banten,
yang tidak ingin disebutkan identitas namanya dengan alasan khawatir,
Oktober 2010.

149
yang basah dalam mengurusi proyek-proyek pemerintahan. 205
Oleh karena itu tidak aneh jika komisi ini menjadi rebutan dan
menjadi titipan.
Kepentingan kelompok jawara menempatkan orang-
orangnya di DPRD Provinsi Banten adalah, dalam rangka
memuluskan proyek-proyek yang dikerjakan oleh tokoh kalangan
jawara. Di lembaga legislatif tingkat provinsi ini para jawara tidak
hanya mengontrol dari luar. Lebih dari itu, mereka hadir dan
terlibat di dalamnya. Para jawara ini terpilih sebagai anggota
DPRD Provinsi Banten, dan ikut terlibat dalam setiap perumusan
peraturan daerah.

Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Perdana


Dinamika poltik lokal pada proses pemilihan pasangan
Gubernur dan Wakil Gubernur Banten sangat menarik untuk
disimak. Hal ini dikarenakan, pada fase inilah berbagai element
kekuatan sosial, ekonomi, dan politik khususnya dari kalangan
jawara, terlihat lebih transparan berkompetisi untuk
memperebutkan dan mempengaruhi proses pemilihan kursi
kepemimpinan eksekutif pemerintahan yang baru berdiri tersebut.
Hal ini dapat dengan mudah dipahami, karena investasi politik
dan ekonomi yang ditanam pada saat pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur, merupakan bagian dari faktor determinan bagi
besar kecilnya pengaruh yang dimiliki oleh masing-masing
elemen terhadap pasangan Gubernur terpilih.
Fenomena yang tidak kalah menarik untuk disimak pada
periode pemilihan Gubernur adalah, mulai tidak terlihatnya
bahkan nyaris hilang, peran tokoh masyarakat Banten yang pada
periode sebelumnya tercatat sebagai aktor penggerak utama
pembentukan Provinsi Banten. Adapun aktor yang dimaksud
disini antara lain, Uwes Qorni, pionir gerakan pembentukan
provinsi Banten, yang menjabat sebagai ketua KPPB, Tryana

205
Wawancara dengan anggota Dewan, AY, mantan anggota DPRD
Banten, Serang, Juli 2010.

150
Sjam’un Ketua Umum Bakor, 206 dan Moch. Ali Yahya, sebagai
konseptor sekaligus sebagai pengusul RUU Inisiatif pembentukan
Provinsi Banten. Sementara disatu sisi, Tokoh Jawara yang
berperan sebagai seorang tokoh dan pengusaha, yang pada
periode awal pembentukan Provinsi Banten lebih banyak berperan
di belakang layar. Akan tetapi pada periode pemilihan pasangan
Gubernur dan Wakil Gubernur, Tokoh Jawara muncul sebagai
kekuatan yang dominan. 207 Tokoh Jawara tidak saja dapat
mempengaruhi kekuatan-kekuatan politik yang ada, tetapi juga
dapat mengontrol hampir seluruh tahap-tahap proses pemilihan
pasangan Gubernur-Wakil Gubernur yang telah ditetapkan.
Gambar 3.1,Djoko Munandar, Gubernur Banten (2001-2006) yang diberhentikan akibat terlibat
kasus korupsi dana perumahan DPRD 2003, Gambar 3.2, Rt Atut Chosyiah Wakil Gubernur
Banten Periode 2001-2006.

Gambar 3.1 Gambar 3.2

Dominasi kelompok jawara dalam sektor politik kekuasaan


pemerintahan dan ekonomi di Banten, sebenarnya tidak terlepas
dengan peristiwa pemilihan kepala daerah di Banten periode
2001-2006 dan pemilihan kepala daerah pada periode 2006-2011.
Dalam catatan sejarah, dua peristiwa Pilkada tersebut
dimenangkan oleh kelompok jawara. Pada tahun 2001, untuk

206
Pada masa periode pemilihan Gubernur untuk periode 2001-2006,
nama Tryana Sjam’un sama sekali tidak mencuat, atau bahkan nyaris hilang.
Walaupun dikemudian hari, pada periode pemilihan Gubernur 2006-2011,
Tryana Sjam’un kembali mencuat dan menjadi salah satu rival saingan terberat
pasangan Atut-Masduki.
207
Syarif Hidayat, Shadow State...? Bisnis dan Politik di Provinsi Banten,
dalam Henk Schulte Nordholt, Politik Lokal di Indonesia ( Jakarta : Yayasan
Obor Indonesia, 2007), 281.

151
pertama kalinya digelar pemilihan umum kepala daerah di
Banten. 208 Sebagai Provinsi yang baru berdiri tidak heran posisi
Gubernur menjadi incaran para kalangan. Pada tanggal 3
Desember 2001, DPRD Provinsi Banten melaksanakan pemilihan
pasangan Gubernur – Wakil Gubernur Banten periode 2001 –
2006. Iwan Kusuma menggambarkan, bahwa suasana digedung
DPRD tersebut terasa semakin mencekam. Walaupun pihak
DPRD sendiri secara sepenuhnya menyerahkan kepada Polri dan
TNI untuk menangani keamanan persidangan, dan meminta agar
pada radius 5 kilometer gedung DPRD bersih dari pihak yang
tidak memiliki kepentingan, khususnya para jawara. 209
Nampaknya upaya tersebut sia-sia, kelompok jawara ini
masih tetap mengerahkan massa. Bahkan menurut keterangan
salah satu anggota Dewan AY, para jawara telah bersiaga sejak
pukul 06.00 pagi, dengan alasan mengamankan proses pemilihan.
Lebih jauh lagi, para jawara tidak hanya bersiaga di luar gedung
DPRD, akan tetapi berkeliaran di dalam gedung dengan memakai
pakaian preman. 210 Hal demikian merupakan suatu hal yang
lumrah terjadi di Banten, dimana para jawara berani melakukan
intervensi atas pihak manapun, baik itu swasta maupun
pemerintah.
Dalam suasana yang relatif mencekam inilah, DPRD
Provinsi Banten melaksanakan putaran pemilu pasangan
Gubernur dan Wakil Gubernur Banten. jumlah keseluruhan
anggota dewan yang hadir sebanyak 69 orang. Setelah diadakan
pemungutan suara dengan sistem voting tertutup, maka hasil
perhitungan akhir menunjukan bahwa pasangan Djoko munandar
– Rt. Atut Chosiyah keluar sebagai pemenang. Pada pemilihan
kepala daerah periode 2001 - 2006, dimana pasangan Djoko

208
Surat Kabar Radar Banten, Ace Siap Duel Lawan Djoko, Ribuan orang
mau Gempur DPRD, Para pendekar Banten Juga mau Beraksi, 14 November
2001.
209
Iwan Kusuma Hamdan, Mengawal Aspirasi Masyarakat Banten
Menuju Banten Iman dan Taqwa; Memori Pengabdian DPRD Banten, masa
bakti 2001-2004. Sekretariat Banten, 2004.
210
Wawancara dengan AY, salah satu Anggota DPRD Provinsi Banten
periode 2001-2004, Tangerang, November, 2010.

152
Munandar dan Rt. Atut Chosyiah terpilih menjadi Gubernur dan
Wakil Gubernur Banten. Pada Pilkada kali ini, pasangan Djoko
Munandar – Rt. Atut yang di usung oleh Fraksi Golkar dan Fraksi
PPP memperoleh 37 suara, mengungguli pasangan lainnya yakni
Ace Suhaedi Masdupi – Tb. Mamas Chaeruddin meraih 23 suara,
dan pasangan Herman Haeruman – Ade Sudirman memperoleh
lima suara. Dengan hasil pemilihan tersebut, maka Gubernur dan
Wakil Gubernur Banten terpilih di menangkan oleh Djoko dan
Atut.
Kemenangan pasangan Djoko – Atut sebelumnya telah
diprediksi, menurut dari beberapa nara sumber, 211 kekalahan
pasangan calon Gubernur – Wakil Gubernur yang diusung oleh
PDI-P, ditengarai karena politik uang dan intimidasi, juga karena
adanya barganing politik antara Golkar dan PDI-P dalam
pembagian posisi pimpinan lembaga legeslatif dan eksekutif
daerah. Dapat dipastikan diantara kalangan yang paling
berbahagia dan dapat menarik nafas lega, atas putaran akhir
pemilihan Gubernur – Wakil Gubernur, adalah Tokoh Jawara.
Setelah melewati proses pemilihan yang banyak menyita energi
politik dan ekonomi, akhirnya pasangan Djoko – Rt. Atut, yang
diperjuangkan berhasil meraih tampuk kepemimpinan.
Bukan rahasia umum lagi, bahwa kemenangan Djoko dan
Atut pada pemilihan Gubernur – Wakil Gubernur 2001,
merupakan campur tangan intervensi kelompok jawara. Rt. Atut
sendiri merupakan anak dari Tokoh Jawara, oleh karena itu siapa
yang ingin menjadi Gubernur Banten, maka ia harus berpasangan
dengan Atut Chosyiah. 212 Kelompok jawara berperan besar dalam
mengusung pasangan Djoko dan Atut sebagai Gubernur dan
Wakil Gubernur. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, hal
tersebut dapat dilihat ketika proses pemilihan Gubernur di gedung
DPRD berlangsung, kelompok jawara mengerahkan pasukannya

211
Wawancara dengan H. Emb, H.JY dan AY, salah satu Anggota DPRD
Provinsi Banten periode 2001-2004, Tangerang, November, 2010.
212
Wawancara dengan Hasan, Ajid, dan Uung Aktifis salah satu LSM di
Banten, Serang, November, 2010.

153
sebanyak 200 jawara, untuk mengamankan sidang di gedung
DPRD Banten. 213
Selain itu, sebagai dukungan kongkrit kelompok jawara
terhadap pasangan Djoko dan Atut, sang Tokoh Jawara sendiri
hadir pada saat rapat paripurna pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur. Ia sendiri duduk ditempat undangan VIP, yang telah
disediakan. Sehubungan dengan adanya pengaruh kelompok
jawara yang besar dalam pemerintahan Provinsi Banten tersebut,
pada hakikatnya Djoko Munandar sebagai Gubernur tidak
memiliki peran apa-apa. Djoko Munandar hanya berperan sebagai
Gubernur secara formalitas, tetapi dalam mengatur pemerintahan
adalah Tokoh Jawara, yang tidak lain adalah orang tua Wakil
Gubernur Rt. Atut. Tokoh jawara inilah yang sesungguhnya
memegang kendali pemerintahan di Banten, karena aparat
pemerintahan Propinsi tunduk kepada kepemimpinannya.
Dominasi kelompok jawara dalam aspek politik, dimana
kekuasaan kalangan jawara ini melebihi kekuasaan pemerintahan
Provinsi. Dalam perkembangan berikutnya, dibuktikan dengan
dinonaktifkannya Djoko Munandar sebagai Gubernur Banten.
Dinonaktifkannya Djoko Munandar terkait dengan kasus korupsi
dana perumahan anggota DPRD Banten. Peristiwa penonaktifkan
Djoko Munandar sebagai Gubernur Banten ditenggarai atas
intervensi peranan kelompok jawara. 214Ketika kasus tersebut
mencuat kepermukaan, terdapat demonstrasi-demonstrasi yang
digerakan oleh jawara agar menuntaskan kasus tersebut, sebagai
usaha untuk mempercepat dinonaktifkannya Djoko sebagai
Gubernur. Dengan di non aktifkannya Djoko dari jabatanya
sebagai Gubernur Banten, dengan otomatis Rt. Atut Chosyiah lah
yang akan menjabat sebagai Plt. Gubernur.
Salah satu motif disingkirkannya Djoko Munandar dari
kursi Gubernur Banten, adalah untuk memunculkan Rt. Atut

213
Wawancara dengan Kang Mamed, Tokoh jawara dan pengurus DPP
PPPSBBI, Serang, Desember, 2010.
214
Wawancara dengan salah seorang anggota Partai Politik di Banten,
yang tidak ingin disebutkan identitas namanya dengan alasan khawatir,
Oktober 2010.

154
Chosyiah dalam bursa pemilihan Gubernur Banten pada peride
2006-2011. Persiapan yang telah di disain sedemikian rupa oleh
kelompok jawara, untuk mengusung Rt. Atut Chosyiah dalam
memperebutkan kursi Gubernur Banten, telah direncanakan
secara sistematis oleh kelompok jawara. Dengan disingkirkannya
Djoko Munandar dari kursi Gubernur, akan mempermudah upaya
Rt. Atut Chosyiah dalam mengerahkan birokrasi pemerintahan,
sebagai mesin untuk memobilisasi bagi pemenangan dirinya.
Sebagai incumbent dalam Pilkada 2006, akan mempermudah
kemenangan Rt. Atut Chosyiah dalam Pemilihan Gubernur 2006.
Selanjutnya pada pemilihan umum kepala daerah yang
dipilih secara langsung periode 2006 – 2011, yang diikuti oleh
empat pasangan antara lain, Tryana Sjam’un – Benjamin Davnie,
Rt. Atut Chosyiah – HM. Masduki, Irsyad Djuweli – Daniri, dan
Zulkiflimansyah – Marissa Haque. Peristiwa Pilkada yang dipilih
secara langsung itupun, dapat kembali dimenangkan pula oleh
kelompok jawara, dengan mengusung Rt. Atut dan HM. Masduki
sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur. Walaupun hasil dari
Pilkada 2006 ini terdapat banyak kontroversi, dan kecurangan-
kecurangan yang melatar belakangi kemengan pasangan Atut dan
Masduki. Terlepas dari kontroversi hasil Pilkada Banten 2006,
kelompok jawara telah berhasil mendominasi perpolitikan di
Banten.
Kemenangan pasangan Djoko Munandar – Rt. Atut
Chosyiah pada pemilihan umum kepala daerah peride 2001-2006,
merupakan hasil dari upaya kelompok jawara dalam
memenangkan pemilihan tersebut. Sama halnya dengan Pilkada
Banten periode 2006 -2011, yang dipilih secara langsung oleh
warga masyarakat Banten, dimana Tokoh Jawara tidak tanggung
– tanggung menempatkan putrinya Rt. Atut sebagai Gubernur
Banten. Peristiwa kemengan Rt. Atut Chosyiah dalam dua kali
berturut – turut Pilkada di Banten, merupakan hasil intervensi
politik dan kekuasaan dikalangan jawara Banten.
Dalam melebarkan sayap kekuasaannya pada tahun 2006,
kelompok jawara membangun kekuatan politik. Tidak tanggung-
tanggung pada pemilihan Gubernur dan Wakil gubernur tahun

155
2006 yang dipilih secara langsung oleh rakyat, tokoh jawara H.
Chassan mencalonkan anaknya, tidak untuk menjadi Wakil
Gubernur melainkan menjadi Gubernur Banten. Terbukti upaya
yang dilakukan oleh kelompok jawara membuahkan hasil, dengan
naiknya Rt. Atut Chosyiah menjadi Gubernur Banten
menandakan keberhasilan jawara dalam menguasai perpolitikan
di Banten. Tercatat Rt. Atut Chosyiah menjadi wanita pertama
yang berhasil menjabat Gubernur di wilayah Indonesia.
Selain motif kepentingan ekonomi yang menjadi latar
belakang pada pemilihan kepala daerah di Banten, tarik menarik
kepentingan politik dan pengaruh sosialpun turut terlibat di
dalamnya. Hal ini lah, yang menurut Gellner bahwa ruang politik
berfungsi sebagai mediasi bagi berlangsungnya negosiasi antara
negara dan masyarakat. 215 Faktor kepentingan yang melatar
belakangi pemilihan Gubernur secara langsung untuk periode
2006 – 2011 ini, setidaknya melibatkan tiga komunitas
masyarakat di wilayah Banten. Adapun ketiga komunitas tersebut
antara lain : kelompok jawara, kelompok ulama (kiyai), dan
kelompok Islam modernis (PKS). Dinamika perkembangan
jawara dalam aspek politik menjadi menarik, ketika peristiwa
Pilkada Banten 2006 menghadirkan kelompok Ulama sebagai
saingan politik.
Adanya latar belakang kepentingan persaingan pengaruh
sosial dalam masyarakat Banten, yang melibatkan kelompok
jawara dan kiyai di dalamnya, sangat terlihat jelas pada peristiwa
Pilkada Banten tahun 2006. Kelompok jawara yang mendukung
pasangan Rt. Atut Chosyiah – HM. Masduki sebagai Gubernur
dan Wakil Gubernur Banten. Sedangkan kubu pasangan H.Tb.
Tryana Sjam’un dan Benjamin Davnie, merupakan representasi
dari kelompok kiyai-kiyai di Banten. 216 Tidak heran jika peristiwa
Pilkada Gubernur Banten pada tahun 2006, disebut juga dengan
persaingan ulama dan jawara (ulama versus jawara) dalam
persaingan pengaruh kekuasaan dan sosial di Banten. Walaupun

215
Ernest Gellner, Membangun Masyarakat Sipil, Prasyarat Menuju
Kebebasan (Bandung : Mizan, 1995), 32.
216
Wawancara dengan anggota Dewan, Ahmad Yani, mantan anggota
DPRD Banten, Serang, Juli 2010.

156
tidak sedikit dari kalangan jawara yang juga berprofesi sebagai
kiyai.
Sebelumnya telah dijelaskan, pada pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur tahun 2006 terdapat empat kandidat pasangan,
antara lain : 1. H. Tb. Tryana Sjam’un – Benjamin Davnie, 2. Rt.
Atut Chosyiah – HM. Masduki, 3. H. Irsyad Djuweli – Mas
Achmad Daniri, dan 4. Zulkiflimansyah – Maissa Haque. Dari
keempat pasangan kandidat tersebut, pasangan kandidat Rt. Atut
Chosyiah – HM. Masduki merupakan pasangan yang dibackup
oleh kelompok jawara H. Chassan Sohib. Memang pada
pemilihan kepala daerah secara langsung ini, para jawara terpecah
dalam mendukung kandidat Gubernur dan wakil Gubernur.
Terpecahnya kelompok jawara pada masa Pilkada ini terbagai
kedalam dua kubu. Pertama, kubu Tokoh Jawara H. Chassan
Sohib yang tergabung kedalam organisasi PPPSBBI, dan
mengusung anaknya Rt. Atut Chosyiah untuk menjadi Gubernur.
Kedua, kubu H. Tb. Tryana Sjam’un sebagai basis Ulama
(Mathlaul Anwar) yang didukung oleh H. Maman Rizal (ketua
TTKDH), Zahidi, H. Bahruddin (Peguron Terumbu), Oya (dari
Jalakrawi) dan H. Eli (BPPKB). 217
Perpecahan dikalangan jawara tersebut ditenggarai karena,
ketidaksukaan kubu Tryana Sjam’un dan Maman Rizal terhadap
dominasi dan praktek-praktek bisnis yang dilakukan oleh Tokoh
Jawara. 218Selain itu, perpecahan ini dikarenakan kelompok jawara
yang terlalu mendominasi pengaruh sosial di msyarakat Banten.
Oleh karena itu, kelompok ulama menjadi rival saingan pada
peristiwa Pilkada tahun 2006. Namun demikian, mayoritas para
jawara Banten bernaung dalam wadah PPPSBBI yang
mendukung Rt. Atut Chosyiah menjadi Gubernur. Hasilnya sudah
dapat dipastikan, bahwa kubu Tokoh Jawara lah yang
memenangkan pertarungan ini, dengan menangnya dalam Pilkada
Banten 2006. Posisi dan peranan Tokoh Jawara memang sulit

217
Wawancara dengan anggota Dewan Ahmad Yani, mantan anggota
DPRD Banten, Serang Juli 2010.
218
Wawancara dengan Kang Azwar, tokoh jawara dari kresek Tangerang,
April 2010.

157
untuk ditandingi, oleh karena itu beliau sebenarnya menjadi king
maker dalam situasi penguasaan politik lokal di Banten.
Selanjutnya dapat dipahami dengan kemenangan dua kali
berturut-turut Rt. Atut Chosyiah dalam Pilkada Gubernur di
Banten. Para kalangan baik akademisi maupun politisi, telah
memaklumi bahwa kemenangan Rt. Atut memang telah
diprediksikan semenjak dari awal, terlepas dari kontroversi-
kontroversi yang mewarnai Pilkada 2006. Setidaknya
kemenangan kubu Rt. Atut yang dimotori oleh kalangan jawara
Banten, menandai adanya tarik menarik antar berbagai macam
kepentingan, dalam dua kali peristiwa Pilkada tersebut. Latar
belakang kepentingan inilah yang melatar belakangi kelompok
jawara untuk menaikan Rt. Atut ke kursi Gubernur tahun 2006.
Diantara kepentingan tersebut, terdapat dua faktor kepentingan
antara lain, faktor ekonomi dan faktor pengaruh kekuasaan
politik. Kepentingan ekonomi merupakan faktor dasar, mengapa
kelompok jawara mendominasi aspek politik dan pemerintahan.
Penguasaan politik akan menjamin keberlangsungan bisnis para
jawara Banten. 219 Sedangkan tarik menarik kepentingan pengaruh
kekuasaan, merupakan faktor terjadinya persaingan antara
kelompok jawara dengan ulama pada Pilkada 2006.
Proses perkembangan perpolitikan di Banten, salah satunya
dipicu dengan adanya kepentingan ekonomi, dan bahkan bukan
hanya diwilayah Banten saja, di daerah-daerah lainpun di
Indonesiapun demikian. Kecenderung atas penguasaan ekonomi,
biasanya melibatkan proses-proses perpolitikan di suatu daerah
lokal setempat. Abdul Hamid, menempatkan jawara sebagai Bos
lokal setempat untuk mengamankan usaha bisnis yang dijalani
oleh kelompok jawara. Hal tersebut terkait dengan tender-tender
proyek yang diperoleh dari pihak pemerintah. 220 Oleh karena itu,
tidak heran jika terjadi konspirasi antara pihak pemerintahan
Provinsi dengan pihak jawara Banten. Dalam peroses upaya

219
Wawancara dengan Hasan, Ajid, dan Uung Aktifis salah satu LSM di
Banten, Serang, November, 2010.
220
Abdul Hamid dalam Okamoto Masaaki dan Abdur Rozaki, Kelompok
Kekerasan dan Bos Lokal Di Era Reformasi (Yogyakarta: CSEAS IRE Press,
2006). 49-50.

158
pengamanan bisnis yang dikelola oleh kelompok jawara,
pertarungan pemilihan kepala daerah merupakan suatu hal yang
mutlak untuk dimenangkan.
Adanya latar belakang kepentingan ekonomi dibalik ajang
peristiwa pemilihan kepala daerah di Banten, mendorong
kelompok jawara untuk memenangkan setiap Pilkada di Banten.
Hal tersebut terbukti dengan naiknya Rt. Atut Chosyiah menjadi
Wakil Gubernur (selanjutnya menjadi Plt. Gubernur) pada periode
2001 – 2006, dan menjadi Gubernur untuk periode 2006 – 2011.
Bahkan ajang Pilkada 2011 ini, Rt. Atut bersiap untuk
mencalonkan kembali menjadi Gubernur Banten. Dalam
perkembangannya, sektor ekonomi telah membawa kalangan
jawara mengalami mobilitas vertikal. Persoalan selanjutnya akan
hal kepentingan ekonomi, bahwa elit-elit jawara ini lahir dan
besar dengan menggantungkan pada proyek-proyek pemerintah.
Maka tidak heran relasi birokrasi dengan elit pengusaha di era
reformasi ini berjalan intim. Pengusaan aparat negara memasukan
keluarga atau kroninya di birokrasi, militer lumrah dilakukan. PT.
Sinar Ciomas, PT. Jaya Baya, PT. Rizki Carlita Utama, adalah
beberapa usaha yang dimiliki oleh para kalangan jawara yang
sekaligus menjadi pejabat lokal setempat. 221

Gambar 3.3, Gubernur & Wagub Banten terpilih periode 2006-2011.

Gambar 3.4, Tryana Sjam’un mantan Bakor Banten & mencalonkan diri pada pemilihan
Gubernur Banten periode 2006-2011. Gambar 3.5, Zulkiflimansyah calon gubernur 2006-2011

221
Wawancara dengan M. Hadi, aktifis LSM di Banten, Serang,
November 2010.

159
Gambar 3.4, Tryana Sjam’un Gambar 3.5, Zulkiflimansyah

Telah dipahamai jika salah satu motif jawara dalam


mendominasi perpolitikan di Banten khususnya pada era
reformasi, berlandaskan adanya kepentingan untuk menguasai
sumberdaya ekonomi. Sebab ketika Banten masih menjadi bagian
dari Jawa Barat, peran jawara dalam menguasai ekonomi relatif
besar karena umumnya proyek-proyek yang ada diwilayah Banten
dikerjakan oleh kalangan jawara. Oleh karena itu, tidak heran bila
pada awalnya kalangan jawara tidak begitu mendukung rencana
pemisahan Banten dari Jawa Barat. Dengan status Banten yang
menjadi Provinsi, belum tentu dapat menjamin apakah kelompok
jawara memperoleh keuntungan yang sama seperti sebelumnya.
Salah satu cara untuk menjamin eksistensi dominasi
kelompok jawara dalam sektor ekonomi, maka penguasaan politik
dan pemerintahanlah yang harus dikuasai. Dalam konteks ini
dapat dipahami bila Tokoh Jawara mencalonkan Rt. Atut dalam
Pilakada periode 2001 – 2011, dan Pilkada 2006 – 2011. Dengan
penguasaan politik dan pemerintahan inilah, kelompok jawara
dapat dengan leluasa menguasai perekonomian di Banten. 222
Dalam aspek politik dan lembaga pemerintahan di
Provinsi Banten, para kelompok jawarapun memiliki pengaruh
yang kuat. Adanya pengaruh kalangan jawara terhadap

222
Faktor kekuasaan sendiri inilah baik dalam bidang, politik dan
ekonomi yang menjadikan komunitas jawara mewujudkan keinginannya ,
termasuk dengan kekuatan sekalipun. Lihat Roderick Martin, Sosiologi
Kekuasaan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), 70-71.

160
pemerintahan daerah Provinsi Banten bukan hal yang rahasia,
tetapi sudah menjadi pembicaraan umum. Jika melihat peta
perpolitikan di Banten pada masa era reformasi ini, seakan
mustahil seseorang dapat menduduki suatu jabatan politis dan
strategis di struktur pemerintahan lokal tanpa adanya persetujuan
dari sang God Father.
Berdasarkan dominasi pengaruh dan peranan jawara
terhadap politik dan kekuasaan di Banten. Maka muncullah istilah
dikalangan masyarakat Banten, bahwa Tokoh Jawaralah, yang
sebenarnya menjadi penguasa tertinggi di Banten. Tidak
mengherankan jika kalangan masyarakat Banten menyebut tokoh
jawara ini sebagai Gubernur Jenderal. Sebutan ini merupakan
sindiran dari kalangan masyarakat Banten, istilah Gubernur
Jenderal sendiri adalah sebutan untuk pengusa tertinggi pada
masa Kolonial Belanda. Jadi dengan kata lain, kekuasaan di
Banten bukan di pegang oleh seorang Gubernur, melainkan
dipegang oleh tokoh jawara itu sendiri.
Sehubungan dengan hal ini, jika disamakan antara
organisasi Mafia di Italia ataupun di Amerika dan kasus jawara di
Banten. Ternyata kekuasaan kelompok jawara ini lebih besar di
bandingkan dengan Mafia. Jika dilihat dari aspek kekuasaan
antara Pemerintah lokal dengan Mafia, biasanya pengaruh dan
kekuasaan tersebut setara atau sebanding. Lain halnya dengan
Mafia, untuk kasus di Banten ternyata kekuasaan jawara ini di
atas lebih tinggi dari pemerintah lokal. Letizia Paoli
menempatkan struktur Mafioso-Mafiso di Italia, U.S Amerika,
dan di negara Eropa lainya memiliki kedudukan setidaknya
sepadan dengan pemerintah, bahkan ada yang berada dibawah
pemerintah. 223 Di antara bentuk pengaruh atau intervensi jawara

223
Organisasi Mafia sendiri lahir pada abad ke 19 M sebelum jatuhnya
perang dunia pertama sekitar tahun 1838. Mafia sendiri organisasi kejahatan
yang lahir di Italia tepatnya di Pulau Sisilia, jaringan organisasi ini bertumpu
pada jaringan ikatan emosional kekeluargaan, oleh karena itu tidak heran jika
organisasi kejahatan ini mampu berkembang dan meluaskan jaringannya, tidak
hanya di Itali, bahkan sampai ke U.S Amerika, Amerika Latin, Rusia, dan
negara Eropa Lainnya. Untuk saat ini terdapat dua kelompok keluarga Mafia
yang memiliki dominasi kekuasan dan ditakuti yakni, kelompok Mafioso

161
dalam pemerintahan Provinsi Banten, paling tidak dapat dilihat
dari beberapa aspek yaitu antara lain, dalam penentuan elit-elit
birokrasi beserta jajarannya. Selain itu, intervensi lainnya adalah
dalam membuat kebijakan-kebijakan yang menyangkut
perekonomian.
Melalui intervensi inilah pada akhirnya kelompok jawara
mampu menguasai jaringan birokrasi di Banten sekaligus
mengendalikan kebijakan sesuai dengan kepentingan mereka.
Adanya intervensi dan pengaruh jawara dalam aspek
pemerintahan lokal di Baten, tentu saja tidak lain adalah demi
mendapatkan monopoli dan mengamankan proyek-proyek yang
dikerjakan oleh kelompok jawara. Dengan menempatkan Rt. Atut
Chosiyah sebagai penguasa Banten dan dengan menempatkan
para anggota jawara dijajaran birokrasi, maka kepentingan
ekonomi jawara akan berjalan mulus tanpa ada hambatan.

Dominasi Jawara Dalam Aspek Ekonomi


Pada masa era reformasi keterlibatan jawara dalam aspek
perekonomian, atau dunia bisnis di Banten sebenarnya dapat
dilihat dari kronologi pada masa Orde Baru. Keterlibatan jawara
sendiri dalam dunia bisnis di Banten, sebenarnya dapat dipahami
dari motto PPPSBBI itu sendiri. Motto pendekar itu sendiri “Bela
Diri, Bela Bangsa, dan Bela Negara”. Salah satu aplikasi dari “
Bela Diri” sendiri adalah, dapat menghidupi diri sendiri dan
keluarganya. Untuk menghidupi diri sendiri dan keluarganya
tersebut, salah satunya adalah terjun dalam dunia usaha.
Dalam kaitan ini salah seorang nara sumber mengatakan,
“hal pertama yang harus dilakukan oleh para pendekar adalah pertama
kali, harus membela diri yang dimaksud dengan Bela Diri dalam motto kami,
adalah menghidupi diri sendiri dahulu, bagaimana bisa Bela Negara, Bela
Bangsa, kalau urusan perut saja masih kosong, oleh karena itu pertama kali

Sicilia Costa Nostra dan Mafioso Sicilia Calabrian ‘Ndrangheta. Lihat Letizia
Paoli, Mafia Brotherhoods, Organized Crime..., 28, 32-33.

162
kita harus mendahulukan urusan ekonomi kita dahulu, baru selanjutnya dapat
224
membela negara dan bangsa” .

Keterangan diatas dapat mencerminkan bahwa pemikiran


pragmatis para jawara, mendorong untuk mendominasi
perekonomian di Banten. Tidak heran jika kedekatan para jawara
dengan pemerintahan di Banten, salah satu motif tujuannya adalah
untuk memperoleh proyek-proyek pembangunan di Banten. 225
Bahkan lebih dari itu pada era reformasi ini, kelompok jawara
telah berhasil menempatkan agen-agennya di pemerintahan lokal.
Ketika wilayah politik dan kekuasaan secara formal telah berhasil
dikuasai oleh para jawara, maka kepentingan ekonomi para
kelompok jawara mendapatkan jaminan. Pada era reformasi ini,
dengan naiknya Rt. Atut Chosiyah (anak dari Tokoh Jawara)
menjadi Gubernur Banten, usaha bisnis kelompok jawara
mengalami perkembangan pesat.
Para kalangan jawara yang terjun ke dunia bisnis ini
umumnya bergerak dalam bidang kontraktor sebagai pemborong
proyek jalan, pasar, gedung sekolah, dan sarana irigrasi di
Provinsi Banten. Perkembangan jawara dalam dominasi
perekonomian pada masa era reformasi ini, masih bertumpu
kepada peranan H. Chassan sebagai tokoh jawara itu sendiri. Di
mulai pada masa Orde Baru kelompok jawara telah mengalami
lompatan besar dalam dunia bisnis. Lain halnya dengan para
Mafia di Italia, bisnis yang dijalankan para kalangan jawara ini
bukanlah bisnis haram dengan memperdagangkan narkotika
ataupun sejenisnya. 226 Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa bisnis

224
Wawancara dengan Kang Mamed, Tokoh jawara dan pengurus DPP
PPPSBBI, Serang, Desember, 2010.
225
Sikap politik yang demkian mengarah pada sikap pola prilaku politik
yang pragmatis, ciri yang demikian adalah kelompok tersebut mau berintegrasi
dengan penguasa dan sampai masuk kedalam jajaran penguasa. Lihat Thaba
dalam Haedar Nashir, Perilaku Politik Elit Muhammadiyah (Yogyakarta :
Terawang, 2000), 29.
226
Bisnis yang dijalankan oleh para Mafia ini, merupakan bisnis yang
berjalan secara illegal, baik narkotika, menjual senjata, dan melakukan
pembunuhan jika dianggap menghalangi bisnisnya, salah satu tokoh Mafia
Italia legendaris yang pernah berkuasa di U.S Amerika adalah Al Capone, ia
mendapatkan fasilitas mewah ketika berada dipenjara dan dapat mengendalikan

163
usaha yang dijalankan oleh para jawara ini bergerak di bidang
konstruksi, pariwisata, dan pariwisata.
Tapi permasalahnya disini, kalangan jawara yang terjun
dalam bisnis tersebut ternyata dalam upaya mendapatkan proyek
dari Pemprov Banten cenderung melakukan tindak pemaksaan
dan intimidasi. Program pembangunan pemerintah daerah tidak
akan berjalan efektif jika tidak mengikutsertakan para kalangan
jawara. Kekuasaan para jawara cenderung melebihi kekuasaan
pemerintah daerah. Bahkan lebih dari itu, terlibatnya kalangan
jawara tidak terbatas pada hal-hal teknis, namun kalangan jawara
juga turut serta dalam menentukan kebijakan-kebijakan
pemerintah. Keterlibatan para jawara ini biasanya pada perioritas-
perioritas alokasi anggaran pembangunan proyek. Permintaan
kelompok jawara ini sulit untuk ditolak, jika permintaan tersebut
ditolak maka dampak negatif konsekuensinya ancaman
keselamatan, intimidasi akan berakibat fatal. Kelompok jawara ini
tidak saja meminta hak untuk mengelola proyek yang
dikontrakkan ke swasta, namun juga meminta agar alokasi-alokasi
proyek ditempatkan pada lokasi tertentu. 227
Bagi pemerintahan daerah keputusan untuk mengalokasikan
proyek yang sesuai dengan keinginan jawara merupakan suatu
pilihan yang pragmatis, walaupun bertentangan dengan
menejemen modern. Intervensi dan pola kepemimpinan kelompok
jawara mau tidak mau harus diterima sebagai bagian dari proses
transisi tata pemerintahan. Walaupun dalam proses tersebut
terdapat tekanan-tekanan dan gaya koersif, yang merupakan
bagian yang menyatu dalam kepemimpinan jawara merupakan
konsekuensi dari transisi itu sendiri. Bisnis yang dijalankan oleh
para jawara sendiri lekat dengan unsur-unsur kekerasan, demi
memperoleh proyek dari pemerintah. Golok merupakan senjata
ampuh dalam bersaing bisnis dikalangan jawara, dan cara yang
efektif untuk memenangkan proyek.

bisnis dan organisasinya walaupun berada dipenjara. Untuk lebih jelas lihat,
Letizia Paoli, Mafia Brotherhoods, Organized Crime..., 4-5.
227
Wawancara dengan H. Faizal Rahmat, Pegawai Pemerintahan Provinsi
Banten,Tangerang, Agustus 2010.

164
Pemerintahan di Banten pada era reformasi ini, dapat
dikatakan sebagai alat untuk meraih tujuan dikalangan jawara. Rt.
Atut Chosiyah sendiri merupakan agen jawara yang berhasil
menduduki jabatan Gubernut Banten, pada pilkada tahun 2006.
Adanya kekuatan informal yang mengendalikan Gubernur, dalam
hal ini adalah para kalangan jawara memiliki pengaruh yang
sangat kuat dalam mengendalikan pemerintahan Provinsi,
terutama dalam bidang ekonomi. Kelompok jawara tidak hanya
memonopoli hampir seluruh proyek pemerintah daerah, tetapi
juga mereka menekan pemerintahan provinsi agar
mengakomodasi kepentingan kelompok jawara.
Setiap proyek yang di adakan oleh pihak pemerintahan
Banten, kerap dikerjakan oleh perusahaan milik H. Chassan tokoh
jawara. Di mulai pembangunan proyek gedung-gedung
pembangunan pusat pemerintahan provinsi Banten di daerah
Pallima, gedung Depag, gedung Polda, proyek pembangunan
rehabilitasi gedung serba guna yang dialihfungsikan menjadi
gedung DPRD Banten, kesemuanya itu dilaksanakan oleh PT.
Sinar Ciomas Putra, perusahaan yang dimiliki oleh H. Chassan.
Selain itu, proyek-proyek di Pemprov Banten yang dilaksanakan
oleh H. Chasan adalah pembelian kapal bekas, pembelian obat
untuk keluarga miskin yang berubah menjadi mobil dan gudang.
Kasus yang tidak kalah seru adalah, dialihkannya dana anggaran
pembuatan jalan di wilayah provinsi Banten, dialihkan untuk
menanggulangi pembelian tanah di Carita, dan pembangunan
pusat pemerintahan. 228

228
Praktek-praktek bisnis kecurangan dan penyelewengan dana yang
dijalankan kelompok jawara dalam mengelola proyek anggaran, sama sekali
tidak ada tindakan yang konkrit dilakukan oleh pihak pemerintahan Provinsi.
Padahal telah terlihat jelas disana, ketika dana yang seharusnya diperuntukan
untuk membuat jalan di daerah Banten dan sekitarnya, di alokasikan untuk
membeli lahan di Carita. Sehubungan dengan hal tersebut nara sumber
mengatakan bahwa, lembaga Kepolisian Daerah, Kejaksaan Tinggi dan
Kehakiman Daerah, merupakan lembaga yang telah dikuasai oleh kelompok
jawara. Jadi tidak heran jika para elit-elit jawara kebal dari hukum. Wawancara
dengan H. Faizal Rahmat, Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Provinsi Banten,
Tangerang, Agustus 2010. Lihat pula, Surat Kabar Tempo, DPRD Serang
Sesalkan Ulah Pendekar dalam Pembebasan Lahan, 7 Juli, 2003.

165
Dalam hal dominasi perekonomian di Banten, kalangan
jawara benar-benar menguasai proyek infrastuktur di Banten.
Permasalahan fatalnya adalah, dalam melaksanakan proyek
tersebut hasilnya berada di bawah standar. Bahkan bukan hanya
itu saja, proyek yang mereka dapatkan ternyata tidak mereka
kerjakan sendiri, tetapi disubkontrakan lagi ke perusahaan lain.
Hal inilah yang menjadi kasus penyelewengan, dalam peraturan
pemerintah proyek perusahan disubkontrakan ke perusahaan lain,
merupakan suatu pelanggaran dan penyelewengan.
Di kalangan masyarakat Banten bukan rahasia umum lagi,
bahwa proyek-proyek yang dilaksanakan oleh para jawara kerap
terjadi kasus praktek premanisme proyek. Memang pemerintah
provinsi biasanya melakukan tender kepada perusahaan-
perusahaan secara umum, tetapi siapa yang akan menjadi
pemenang telah ditentukan terlebih dahulu. Bahkan menurut nara
sumber lain, proyek-proyek yang ada di Pemprov Banten
semuanya berada di tangan tokoh jawara yakni H. Chassan atas
nama organisasi KADIN atau Gapensi, setelah itu ia membagi-
bagikan kepada perusahaan yang dia inginkan. 229 Biasanya
perusahan-perusahaan yang dilibatkan, atau yang dibagi-bagikan
proyek adalah, perusahan jawara (anak buah H. Chassan) yang
belum memiliki akses untuk mendapatkan proyek secara
langsung.

Praktek Premanisme Proyek


Seperti telah dikemukakan secara singkat diatas, bahwa
kasus premanisme proyek berakar pada praktek monopoli
pelaksanaan tender proyek-proyek bangunan pemerintahan daerah
Provinsi, yang di biayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD). Secara konseptual, berdasarkan Keppres No.
18/2000, tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang Jasa
Instansi Pemerintah, antara lain disebutkan bahwa pengadaaan
barang, jasa pemborongan dan jasa lainnya dilaksanakan melalui :

229
Wawancara dengan H. Faizal Rahmat, Pegawai Pemerintahan Provinsi
Banten,Tangerang, Agustus 2010.

166
1. Pelelangan, yaitu serangkaian kegiatan untuk
menyediakan kebutuhan barang/jasa dengan cara
menciptakan persaingan yang sehat di antara penyedia
barang/jasa yang setara dan memenuhi syarat, berdasarkan
metode dan tata cara tertentu yang telah ditetapkan dan
diikuti oleh pihak-pihak yang terkait secara taat asas
sehingga tersedia penyedia jasa terbaik.
2. Pemilihan langsung, yaitu jika cara pelelangan sullit
dilaksanakan atau tidak menjamin pencapaian sasaran.
Pemilihan langsung dilaksanakan dengan cara
membandingkan penawaran dari beberapa penyedia
barang jasa yang memenuhi syarat melalui teknis dan
harga, serta dilakukan negosiasi secara bersaing , baik
dilakukan untuk teknis dan harga, sehingga memperoleh
harga yang wajar dan secara teknis, hal tersebut dapat
dipertanggungjawabkan.
Jika mengikuti dari ketentuan diatas, hampir seluruh
pelaksanaan proyek-proyek pembangunan pemerintah daerah
Provinsi Banten, dilakukan melalui mekanisme lelang tender.
Namun sebagian besar tender yang telah dilakukan tersebut lebih
bersifat formalitas, dalam rangka memenuhi prosedur
administratif, hal tersebut di amini oleh YE salah seorang
pengusaha Banten. 230 Pada hakekatnya, siapa pemenang tender
telah ditentukan sebelum proses tender itu sendiri dilaksanakan.
Pada proses seperti inilah, Tokoh Jawara memainkan peran
penting dalam mempengaruhi pengambil kebijakan. Strategi yang
diterapkan oleh Tokoh Jawara tersebut dalam hal ini cukup
variatif, antara lain lobi-lobi informal dengan pejabat
pemerintahan daerah, amplop uang suap, bahkan sampai dengan
praktek intimidasi fisik. Kepentingan yang diperjuangkan oleh
kelompok jawara sangatlah jelas, yakni memenangkan tender
proyek-proyek pemerintahan daerah, untuk tujuan pribadi maupun
kelompok.

230
Wawancara dengan YS kontraktor asal Balaraja. Nara sumber hanya
bersedia disebutkan inisialnya, dengan alasan keamanan dirinya. Tanara,
September 2010.

167
Sebenarnya dugaan kasus premanisme proyek itu, pernah
muncul kepermukaan pada tahun 2003, ketika salah satu anggota
DPRD dari fraksi Amanat Bintang Keadilan (ABK),
menyampaikan kata akhir fraksi dalam menyikapi laporan nota
keuangan Gubernur berkaitan dengan perubahan APBD tahun
2003. Antara lain menyampaikan adanya kasus premanisasi
proyek dalam lelang tender di pemerintahan. Mendengar berita
yang demikian, Tokoh Jawara bersama kelompoknya berupaya
melakukan counter opinion atas praktik premanisme proyek.
Salah satu surat kabar daerah terkemuka misalnya, memuat
pemberitaan dengan tajuk “ Tokoh Jawara bantah ada
premanisme proyek”. Dalam pemberitaan ini, Tokoh Jawara
menyebutkan bahwa tudingan tentang adanya premanisme proyek
seperti yang disampaikan oleh fraksi ABK hanya akan
menimbulkan fitnah. Bahkan pernyataan fraksi ABK tersebut
cenderung akan menghancurkan Banten, dan telah menyimpang
dari kultur Banten yang agamis. 231 Lebih jauh, pernyataan akan
adanya premanisme proyek sama artinya dengan menuding
seluruh pengusaha di Banten sebagai pelaku preman proyek.
Permasalahan konflik tentang premanisme proyek
menghangat, dan melebar ketika Tokoh Jawara, dalam salah satu
pernyataan di media massa menyebutkan bahwa anggota DPRD
Provinsi Banten bagaikan maling teriak maling. 232Dalam
perkembangan selanjutnya, polemik tentang kasus premanisme
proyek cenderung mereda seiring perjalanan waktu. Kasus
premanisme proyek di Banten, secara eksplisit mengindikasikan
bahwa pada tingkat realitas, proses pengambilan keputusan dan
implementasi kebijakan daerah, telah diwarnai dengan konspirasi
dan tawar menawar kepentingan di antara formal leader elit
penyelenggara pemerintahan, dan informal leader kelompok
jawara. 233
Penguasaan Tokoh Jawara dalam proses bisnis di Banten
tersebut selain ditunjang oleh kekuasaan politik yang dimiliki,

231
Surat Kabar Fajar Banten, 27 Agustus, 2003.
232
Surat Kabar Fajar Banten, 03 September, 2003.
233
Syarif Hidayat, Shadow State... ? Bisnis dan politik di Provinsi
Banten..., 301-302.

168
juga didukung karena penguasaannya di oraganisasi-organisasi
yang menentukan kehidupan dunia usaha. Hal-hal yang
mendukung itu antara lain, penguasaan jawara terhadap KADIN,
Gapensi, dan LPJK. Dengan mengatas namanakan KADIN
misalnya, mereka para kalangan jawara memperoleh penguatan
pada Kepres No. 18 tahun 2000, dimana dalam peraturan tersebut
dinyatakan peran KADIN sebagai mitra utama pemerintah daerah
dalam dunia bisnis. Kedudukan KADIN sejatinya, tidak
dimaksudkan sebagai sebuah institusi yang diberikan hak
monopoli, 234 tetapi sebagai penyalur atau penghubung legal
antara kepentingan pemerintah dengan pengusaha daerah yang
berkompeten dalam sebuah proyek. Realita kenyataan yang
terjadi di Banten menunjukan hal yang sebaliknya, dimana peran
KADIN demikian dominan dan amat menentukan.

Pengaruh “Tokoh Jawara” Dalam Komunitas Jawara


Kultur budaya dan tradisi masyarakat Banten yang
melahirkan entitas jawara sebagai produk kultur budaya lokal,
menampilkan suatu hal yang berbeda dengan daerah-daerah
lainnya di Indonesia. Islam sebagai agama dan sekaligus tradisi
bagi masyarakat lokal setempat, berperan besar dalam melahirkan
eksistensi jawara Banten. Sebelumnya telah dibahas bahwa dalam
kultur budaya jawara, rasa solidaritas dijunjung tinggi
dikomunitas tersebut. Selain itu, rasa ikatan emosional dan
kekeluargaan tetap dipelihara bersama, semboyan “seguru
seelmu” merupakan pengaplikasian bahwa kalangan jawara
Banten itu merupakan keluarga besar. Tidak heran jika budaya
senioritas dalam kultur budaya jawara tetap dipertahankan,
sebagai nilai tatakrama dan kesopanan yang selalu jalankan.
Karena ikatan emosional kekeluargaan yang erat dikomunitas
jawara, kiyai yang berperan sebagai guru jawara dianggap sebagai
Abah (bapak), sebaliknya kiyaipun menganggap muridnya yakni
jawara sebagai anaknya.
Perkembangan jawara Banten dalam panggung sejarah,
mengalami beberapa fase masa perkembangan. Dimulai dari masa
234
Wawancara dengan M. Hadi, aktifis LSM di Banten, Serang,
November 2010.

169
klasik, ketika jawara hanya berperan sebagai tokoh pemimpin
tradisional, sampai kepada masa modern dimana terjadi mobilitas
vertikal di kalangan jawara Banten. Biasanya dalam suatu
komunitas kelompok maupun pada suatu masa tertentu, terdapat
sosok pembawa perubahan agen of change. Sosok agen of change
inilah, yang memiliki pengaruh dan peranan besar dalam
membawa kelompok tersebut menuju masa keemasaan. Sama
halnya dengan kelompok komunitas jawara Banten, terdapat
sosok agen of change yang memiliki peran dan pengaruh yang
signifikan, dalam pemberdayaan jawara Banten menuju mobilitas
vertikal. Sosok agen of change tersebut adalah, tokoh ketua
jawara Banten H. Tb. Chasan Sohib yang memiliki pengaruh
signifikan dalam kalangan komunitas jawara Banten.
H. Tubagus Chasan Sohib / The Godfather
Tidak berlebihan rasanya jika menempatkan sosok H. Tb.
Chasan Sohib sebagai Godfathernya jawara Banten. Terkesan
agak sedikit berlebihan jika dibandingkan dengan organisasi
Mafia Italia, tapi realitasnya organisasi jawara di Banten
menunjukan hal seperti itu. Jika di Italia kita mengenal Godfather
sebagai pemimpin tertinggi organisasi kejahatan Mafia, maka di
Bantenpun kita mengenal Godfathernya jawara, sebagai
organisasi yang dapat disetarakan dengan Mafia. 235 Sosok H.
Chasan yang fenomenal, telah berhasil menyatukan dan
mengorganisir jawara-jawara Banten dalam wadah
keorganisasian. Dengan kemampuannya dalam beradu ilmu
kesaktian, ia mampu menundukan satu persatu kalangan jawara,
tak heran jika ia disebut dengan jawarana jawara. Oleh karena
itu, ia merupakan tokoh penting dan menjadi ketua pemimpin dari
kalangan jawara Banten.
Tokoh H. Chasan dianggapi sebagai tokoh ketua pemimpin
jawara yang sangat ideal. Memiliki latar belakang dari pesantren,
memiliki keberanian dan kekuatan yang menonjol dikalangan
teman-temannya dan belajar menjadi pengusaha sejak muda. Ia
memiliki banyak posisi penting di wilayah Banten, sebagai
235
Untuk lebih jelas lihat, Letizia Paoli, Mafia Brotherhoods, Organized
Crime, Italian Style, ( New York : Oxford University Press, 2003).

170
pendiri dan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN)
Banten, pendiri dan Ketua SATKAR Ulama Indonesia, ketua
(PPPSBBI) Persatuan Padepokan Persilatan Seni dan Budaya
Banten Indosia, pendiri Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, dan
banyak posisi penting dalam organisasi lainya. Kontribusinya
dalam membangun dan mengembangkan kalangan jawara Banten
sangat besar. H. Chasan Sohib merupakan tokoh yang
berpengaruh sampai saat ini dalam kelompok jawara, dan
pemerintahan Provinsi Banten. Standarisasi ukuran pengaruh
ketokohannya, dapat dilihat dengan menduduki berbagai jabatan
ketua Organisasi dan politik, termasuk PPPSBBI sebagai wadah
komunitas jawara Banten. Bahkan H. Chasan Sohib sendiri saat
ini disebut dengan Gubernur Jendral, sebagai julukan titel
penguasa tertinggi karena kemampuannya dalam mengendalikan
kekuasaan politik, dan ekonomi di wilayah Banten.

Gambar 3.6, H. Tb Chassan Sohib

H. Tubagus Chasan Sohib lahir di Desa Kadu Berem,


Kecamatan Pabuaran Ciomas, Kabupaten Serang, Kresidenan
Banten tahun 1930. H. Chasan terlahir dari pasangan H. Tubagus
Sohib dengan Nyi Ratu Rofiah, lingkungan keluarganya termasuk
kedalam lingkungan yang religius. Sulung dari ke lima saudara
ini, H. Tubagus Basuni, H. Tubagus Syatibi, Nyi Ratu Ojah

171
Faojah, dan H. Entus Sibli, 236 merupakan anak yang paling
disayang dan diandalkan. Memang dalam kultur tradisi budaya
masyarakat Banten, anak pertama atau sulung menjadi tumpuan
keluarga. Terlebih lagi jika anak tersebut seorang laki-laki, adat
istiadat yang kental memposisikan seorang anak laki-laki dalam
status sosial diatas lebih tinggi dari pada anak perempuan. 237
Sedangkan perjalan pendidikan yang dialaminya antara lain,
pada tahun 1938 – 1943, ia sekolah jaman Belanda Ver Volk.238
Sifat dan watak keras khas jawara yang dimiliki oleh H.Chasan
memang telah muncul sejak ia masih kecil. Chasan kecil sering
berrkelahi dengan anak seusianya, karena keberaniannya ia
termasuk anak yang cukup disegani pada zamannya. Pada tahun
1943 – 1945, H. Chasan melanjutkan pendidikannya di Pondok
Pesantren Pani’is Kecamatan Jiput untuk menimba ilmu agama,
asuhan Kiyai Haji Cholil. Setelah selesai menimba ilmu di
pesantren Pani’is, pada tahun 1945 – 1947 H. Chasan
melanjutkan pendidikannya di Pesantren Cadasari pimpinan KH.
Icot. 239 Di kedua pesantren inilah H. Chasan digembleng baik
secara mental maupun fisik kesaktian magis, dan pengetahuan
tentang agama, Tafsir, Nahwu-Sharaf, dan Fiqih. Tidak heran jika
pesantren-pesantren salafi yang berkembang di Banten, masih
kental dengan ilmu-ilmu magis dan kesaktian. Terlebih lagi jika
pada saat itu Banten berada dalam masa perjuangan, oleh karena
itu Kiyai dan santri sebagai martir perjuangan dalam melawan
Belanda harus dibekali dengan ilmu kesaktian.
Pamor H. Chasan mulai muncul kepermukan pada saat ia
terjun menjadi anggota Hizbullah pimpinan KH. Abdullah dalam
melawan Belanda. Pada saat itu H. Chasan merupakan anggota

236
Data ini ditulis bukan hasil wawancara, karena beliau belum bersedia
untuk di wawancarai lantaran kondisi kesehatan beliau yang saat ini tidak bisa
diganggu. Data ini diambil dari dokumen-dokumen yang berkaitan dengan
beliau, dan wawancara dengan orang-orang terdekat yang lebih mengenal
beliau.
237
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta :
Djambatan, cet,25, 2004), 320.
238
Khatib Mansur, Profil Haji Tubagus Abah..., 80.
239
Wawancara dengan sesepuh Kiyai Banten, nara sumber tidak ingin
diketahui identitas namanya, November 2010.

172
termuda dalam laskar Hizbullah, yang ditempatkan di wialayah
Batu Ceper, Sepatan, Cimone, dan wilayah Lengkong perbatasan
Bogor. 240 Selain itu, pada tahun 1948 -1949 agresi militer
Belanda masuk dan menguasai wilayah indonesia termasuk
Banten. Chasan muda ikut bergerilya dan memimpin front
terdepan di wilayah Cikulur, Ciomas, Padarincang, Sayar dan
Gunung Sari. Meskipun situasi perpolitikan di Indonesia saat itu
sedang kacau, Chasan muda tetap tidak meninggalkan
pendidikannya di Pesantren. Selain itu, pada dekade 1950an pula
ia sempat berkelana di daerah Jakarta, Bogor, dan Banten. Dalam
berkelana inilah, ia mulai melebarkan pengaruhnya sebagai
jawara Banten. Sekitar tahun 1955 – 1957, ia melanjutkan
pendidikannya di Pesantren Sempur Bogor selama kurang lebih
dua tahun. 241
Persentuhan H. Chasan dalam dunia bisnis, sebenarnya di
awali oleh orang tua H. Chasan yakni H. Tubagus Sohib, yang
dikenal sebagai pengusaha hasil bumi yang cukup sukses.
Sepulangnya dari Pesantren, ia membantu ayahnya dalam
mengurusi bisnis keluarga. Berawal dari penggilingan padi di
Ciomas, ia merambah menjadi pemborong padi dan cengkeh dari
Lampung. Salah satu keberhasilan H. Chasan menjadi seorang
pengusaha, karena ia merupakan seorang jawara yang cukup
disegani. Pengaruh kejawaran dan jaringannya, yang ia bangun
pada masa berkelana membantunya dalam meraih kesuksesan
bisnis. Karir bisnisnya mulai maju pada awal tahun 1967an, saat
mendapatkan proyek memfasilitasi bahan pangan beras dan
jagung dari Lampung, guna kepentingan logistik Kodam VI
Siliwangi. 242
H. Chasan merupakan pelopor terjunnya jawara kedalam
aleansi bisnis dalam skala besar, yang dimulai pada awal Orde
Baru yakni permulaan Pelita I. Proyek yang ia tangani antara lain
membangun jalan diwilayah Banten, Serang, Malingping dan
Ciomas. Pada awal mulanya hanya ada seorang tokoh jawara

240
Khatib Mansur, Profil Haji Tubagus Abah..., 81.
241
Wawancara dengan sesepuh Kiyai Banten, nara sumber tidak ingin
diketahui identitas namanya, November 2010.
242
Khatib Mansur, Profil Haji Tubagus Abah..., 89.

173
yang menjadi pengusaha, yakni H. Kaking dan usahanya tersebut
hanya sebatas skala menengah, yakni hanya berdagang bahan
pangan. Kemudian setelah itu disusul oleh H. Chassan, lain
halnya dengan H. Kaking, lompatan bisnis luar biasa yang
dialami oleh H. Chasan. Di mulai dari pengusaha penggilingan
padi di Ciomas, kemudian menjadi pemborong kontraktor, dan
lain sebagainya. Karena kedekatan H. Chasan dengan pemerintah
pusat pada zaman Orde Baru, Dimulai pada rezim inilah bisnis
para jawara memonopoli fasilitas proyek-proyek pemerintah di
daerah Banten.
Perlu diingat bahwa tokoh jawara H. Chasanlah yang
memfasilitasi kalangan jawara Banten dalam meraih proyek-
proyek tender di Banten. 243 Oleh karena itu, langkah awal H.
Chasan sebagai seorang bisnisman, ternyata diikuti oleh jawara-
jawara lainnya. Banyak kader jawara yang berterima kasih kepada
beliau, yang telah mendidik mereka menjadi pengusaha. Salah
satu kontribusi terbesar H. Chasan adalah, merubah image dan
kehidupan sosial jawara yang dahulunya dikenal tidak memiliki
penghasilan, dan hanya berkuasa atas lingkungan pedesaan. H.
Chasan telah berhasil membawa kalangan jawara Banten dalam
meraih kesejahteraan, dan mengalami mobilitas vertikal dengan
mendominasi penguasaan sumber ekonomi dan politik
pemerintahan. Posisi dan peranan H. Chassan sebagai tokoh
jawara memang sulit untuk ditandingi, oleh karena itu beliau
merupakan tokoh yang berperan sentral dalam kelompok jawara
yang dikenal sebagai The Godfather.

243
Telah dibahas sebelumnya pada bab sebelumnya bahwa H. Chasan
telah berhasil menyatukan para jawara dalam satu wadah organisasi PPPSSBBI
pada masa Orde Baru, dengan organisasi tersebutlah beliau mampu memainkan
peranannya dengan pemerintah. Karena kedekatan hubungannya dengan
pemerintah baik pada masa Orde baru maupun reformasi, H. Chasan memiliki
akses masuk ke sektor ekonomi dimana proyek-proyek pemerintah masuk dan
ditangani oleh perusahaannya. Sebagai seorang jawara, H. Chasan memiliki
rasa solidaritas yang tinggi terhadap rekan-rekan, anak buahnya (kelompok
jawara) yang beliau anggap sebagai keluarga sendiri, oleh karena itu beliau
memfasilitasi para jawara dalam meraih proyek-proyek ekonomi di Banten.
untuk lebih jelas lihat, Wawancara dengan H. Faizal Rahmat, Pegawai
Pemerintahan Provinsi Banten,Tangerang, Agustus 2010.

174
BAB VI
PENUTUP

Bab ini akan menguraikan tentang beberapa kesimpulan, yang


diperoleh dan berkaitan dengan riset penelitian tentang perkembangan
jawara Banten, pada bab – bab yang telah dibahas sebelumnya.
Kesimpulan dan saran merupakan hasil akhir dari riset penelitian.

Kesimpulan

Dari pembahasan tentang perkembangan jawara dalam kehidupan


sosial dan budaya masyarakat Banten, pada masa Orde Baru – Era
Reformasi. Sebagaimana telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya,
maka terdapat beberapa point yang dapat disimpulkan antara lain :

Pertama, jawara Banten lahir dari hasil suatu rekonstruksi kultur


budaya lokal dengan Islam. Dalam hal ini kiyai memiliki peran dalam
melahirkan jawara Banten, dimana jawara merupakan murid kiyai yang
dibekali ilmu magis, kesaktian dan kanuragan. Jawara Banten memiliki
posisi dan peran-peran sosial dimasyarakat Banten. Peran-peran sosial
yang dilakukan jawara adalah seputar kepemimpinan tradisional
informal leader, antara lain : berperan sebagai Kepala Desa (jaro),
penjaga keamanan, kiyai ilmu hikmah, pemain debus dan guru silat.
Peranan jawara sebagai pemimpin tradisional informal leader dalam

175
kehidupan masyarakat Banten, muncul pada masa akhir keruntuhan
Kesultanan Banten pada abad ke 19 M, pasca dihapusnya pemerintahan
Kesultanan Banten oleh Dandles. Dimana jawara turut serta bersama
para kiyai memimpin masyarakat dalam pemberontakan melawan
penjajahan Belanda.

Kedua. Dalam perkembangannya, peranan jawara dalam


masyarakat Banten mengalami tingkat mobilitas vertikal pada aspek
kehidupan sosial dan ekonomi. Peran dan posisi jawara tidak hanya
meliputi sebatas jaro, guru ilmu magis, atau penjaga keamanan. Pada
masa Orde Baru dan Reformasi banyak jawara yang beralih profesi
menjadi, pegusaha, pejabat dan politikus. Perkembangan jawara yang
dahulu berperan sebatas peranan tradisional informal leader berubah
menjadi lebih modern, tanpa harus melupakan identitas mereka. Adapun
identitas kehidupan dan kultur budaya jawara lebih dikenal dengan
sebagai subculture of violence, budaya kekerasan telah menjadi kultur
para jawara Banten. Kekerasan dipandang sebagai alat untuk meraih
posisi atau status sosial lebih tinggi, sebagai seorang jawara yang
disegani dalam lingkungan komunitas mereka.

Ketiga, adapun pola hubungan relasi yang terjalin antara ulama


dengan kelompok jawara, pada masa awal jawara merupakan murid dan
lahir dari kiyai. Hubungan emosional antara murid dengan guru yang
melandasi jawara dengan ulama sulit untuk dipisahkan. Keberadaan
jawara Banten tidak lepas dari kiyai, karena ilmu-ilmu magis yang
diperoleh jawara bersumber dari kiyai. Oleh karena itu, pada masa
penjajahan jawara dikenal sebagai tentara kiyai, para kiyailah yang
memimpin lembaga penguasaan politik di Banten. Dalam
perkembangan selanjutnya pada masa Orde Baru dan era reformasi,
dalam aspek penguasaan politik terjadi sebuah perubahan. Jika dahulu
hubungan jawara dengan kiyai berfungsi sebagai tentara kiyai, maka
pada masa Orde Baru dan era reformasi para kiyai dikempiskan dan
jawara dimunculkan sebagai pemimpin politik.

Keempat, dalam aspek kehidupan sosial, ekonomi dan politik di


Banten, kalangan jawara mulai diberdayakan pada masa Orde Baru.
Kontribusi Orde Baru terhadap eksistensi jawara, dianggap memiliki
peranan signifikan dalam melahirkan jawara masa kini, yang

176
mendominasi sektor ekonomi dan penguasaan politik di Banten. Oleh
karena itu, rezim Orde Baru dianggap sebagai masa pemberdayaan
jawara. Hal ini dikarenakan, pada inilah jawara mulai membangun
konstruk kekuatan yang terorganisir. Selain itu, rezim Orde Baru
memberikan fasilitas-fasilitas kepada jawara, baik dalam hal aspek
ekonomi dan kekuasaan politik. Pada masa ini pula jawara diberikan
kemudahan dalam memperoleh akses jaringan networking ke
pemerintahan pusat, pengusaha dan penguasa.

Kelima, relasi hubungan yang terjalin antara jawara dengan pihak


pemerintahan lokal, pada masa Orde Baru dan era reformasi terjalin
sangat harmonis. Dimana pada masa Orde Baru kelompok jawara
berperan sebagai rekanan pemerintah lokal dan pusat. Pada masa ini
jawara dianggap sebagai anak emas Orde Baru, dan hubungan yang
terjalin menguntungkan kedua belah pihak. Kelompok jawara merasa
diuntungkan oleh pihak Orde Baru, dengan mendapatkan fasilitas-
fasilitas ekonomi melalui proyek-proyek pemerintah yang dilimpahkan
kepada kalangan jawara. Selain itu, kelompok jawarapun diberikan
akses kemudahan dalam sektor kekuasaan politik. Sebaliknya,
pemerintahan Orde Baru merasa diuntungkan karena telah
memanfaatkan kelompok jawara dalam memobilisasi masa dalam
peraihan suara Golkar, dan menstabilitaskan keamanan politik. Pada era
reformasi, hubungan yang terjalin antara kelompok jawara dengan
pemerintahan lokal, bukan saja romantis melainkan pada masa ini
kelompok jawara telah menguasai pemerinthan lokal. Dengan naiknya
Rt. Atut di kursi Gubernur, menandakan bahwa kelompok jawara telah
menguasai sektor politik di Banten.

Keenam, adapun tokoh yang berpengaruh dan berperan dalam


kalangan jawara adalah, H. Tb. Chasan Sohib. Salah satu kontribusi
terbesar H. Chasan adalah, mengorganisir kelompok jawara dalam suatu
wadah organisasi PPPSBBI dan memberdayakannya. Ia merupakan
tokoh yang disegani oleh kalangan jawara, lebih dari itu ia merupakan
ketua jawara Banten. Oleh karena itu, tidak heran jika beliau disebut
dengan Godfather ketuanya para jawara Banten, segala gerak-gerik
kelompok jawara dapat dikendalikan olehnya. Peranan H, Chasan dalam
memberdayakan kelompok jawara dalam aspek dominasi politik dan

177
ekonomi sangat signifikan. H. Chasan Sohib sendiri saat ini disebut
dengan Gubernur Jendral, sebagai julukan titel penguasa tertinggi
karena kemampuannya dalam mengendalikan kekuasaan politik, dan
ekonomi di wilayah Banten.

178
Glosarium

Abah : Bapak laki-laki, atau sesepuh orang yang


dituakan
Baduy : Suku asli pedalaman masyarakat Banten, yang
bertempat tinggal di daerah Lebak,
Rangkasbitung.
BKR : Badan Keamanan Rakyat
Centeng : Penjaga keamanan, tukang pukul
Debus : Kesenian tradisional daerah Banten yang khas
dengan pertunjukan-pertunjukan magis dan
kekerasan, seperti halnya memakan beling,
berjalan di bara api, tidak mempan di bacok
dan lain sebagainya. Permainan debus ini
biasanya dimainkan secara berkelompok.
Di Kadek : Di bacok dengan menggunakan golok
DPD : Dewan Pimpinan Daerah
DPR : Dewan Perwakilan Rakyat
DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Elmu : Bahasa sunda “Ilmu“
Elmu Rawayan : Ilmu sihir aliran hitam, yang berasal dari suku
Baduy
Faqih Najmuddin : Hakim Agung
Gapensi : Gabungan Pengusaha Konstruksi Nasional
Indonesia
Godfather : Ketua atau pemimpin tertinggi di dalam
organisasi Mafia

179
Golkar : Golongan Karya
Gulkut/Gutgut : Laskar jawara yang memberontak dan pimpin
oleh Tje Mamat
Hinterland : Wilayah penyangga
IAIN SMH : Institut Agama Islam Negeri Sultan Maulana
Hasanuddin
IAIB : Institut Agama Islam Banten
Ilmu Magis : Ilmu supranatural
Izajah : Tanda kelulusan yang diberikan oleh seorang
kiyai kepada muridnya.
Jalma wani rampog : Orang yang berani merampok
Jangjawokan : Mantra ilmu sihir yang digunakan sebagai
sumber magis dan kesaktian, yang berasal dari
kepercayaan animisme dan dinamisme
masyarakat kuno Banten.
Jaro : Kepala desa
Jawara : Murid kiyai yang memiliki kemampuan bela
diri silat dan memiliki kemampuan dalam
mengolah kekuatan magis, supranatural.
Selanjutnya menjadi salah satu entitas
pemimpin tradisional dalam masyarakat Banten.
KADIN : Kamar Dagang Indonesia
Kanuragan : Ilmu tenaga dalam
Kataekan : Telah berhasil dikuasai
Katulah : Mendapatkan bencana, kecelakaan, musibah,
dikarenakan telah melanggar sesuatu pantangan
dari seorang guru
Khodim : Pembantu
180
Kiyai : Salah satu entitas pemimpin tradisional
masyarakat Banten dan gelar yang khusus
diperuntungkan bagi orang menguasai ajaran
agama Islam dan mengajarinya.
Klenteng : Tempat sembahyah orang Tionghoa
Kobong : Asrama atau kamar santri disebuah pesantren,
kobong ini biasa digunakan di pesantren daerah-
daerah Jawa Barat dan Banten
Kuwalat : Mendapatkan bencana, kecelakaan, musibah,
karena telah berani melawan guru.
Mafia : Salah satu organisasi kejahatan internasional
yang berasal dari Italia, dan berkembang
kewilayah Amerika, Eropa dan Asia.
Mahar : Mas kawin
Murshyid : Guru dalam kelompok tarekat
MPR : Majlis Permusyawaratan Rakyat
NU : Nahdlatul Ulama
Paguron : Tempat perguruan persilatan, yang
mengajarkan ilmu bela diri dan magis di daerah
Banten
PAN : Partai Amanat Nasional
PDI : Partai Demokrasi Indonesia
Pendekar : Orang yang ahli dalam ilmu silat dan memiliki
jiwa kepahlawanan, melawan kejahatan dan
membela kebenaran
Pemprop : Pemerintahan Propinsi
Pertalekan : Aturan hukum atau janji yang harus dipatuhi
oleh seorang murid dalam suatu perguruan silat

181
PKB : Partai Kebangkitan Bangsa
PPP : Partai Persatuan Pembangunan
PPPSBBI : Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni
Budaya Banten Indonesia
Putter Giling : Ilmu yang memiliki kemampuan untuk
mengendalikan otak dan pikiran manusia, selain
itu dapat dipergunakan untuk mendapatkan
kembali barang yang hilang dari pencuri.
Rajah : Jimat yang bertuliskan bahasa arab
Santri : Murid Kiyai yang mendalami agama Islam dan
bermukim di pesantren
SATKAR Jawara : Satuan Karya Jawara
SATKAR Ulama : Satuan Karya Ulama
Seguru-seelmu : Satu guru satu ilmu
Sowan : Silaturrahmi, sowan disini biasanya
silaturrahmi kepada seorang tokoh atau kiyai
pemimpin pondok pesantren
Teluh : Salah satu ilmu hitam atau guna-guna, yang
sering digunakan oleh seseorang untuk
membunuh musuhnya, biasanya teluh ini
berbentuk bola api yang berisikan silet, paku,
beling, benda-benda tajam lainnya, dan dikirim
pada waktu malam hari. Sedangkan orang yang
terkena teluh biasanya perutnya akan
membuncit dan bahkan meledak yang berakibat
akan meninggalnya seseorang.
TKR : Tentara Keamanan Rakyat
TTKDH : Tjimande Tari Kolot Djeruk Hilir

182
Ulama : Orang yang alim mengusai ajaran agama
Islam dan mengajarkannya.
UNTIRTA : Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Ver Volk : Bahasa Belanda, Sekolah Rakyat setingkat
dengan Sekolah Dasar pada saat ini
VOC : Vereenigde Oost Indische Compagnie,
perusahaan dagang pemerintah kolonial Belanda
Wafak : Jimat yang bertuliskan bahasa Arab, dan
aksara Arab Sunda, atau jawi
Wanten kawani : Memiliki keberanian
Wong : Orang
Ziyad : Salah satu ilmu magis, yang memiliki
kemampuan untuk mengkontak, menghajar
orang lain dari jauh

183
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah, Jakarta:


Logos, 1999.
Abubakar, Irfan dan Bamualim, Chaidar S (ed). Transisi Politik &
Konflik Kekerasan, Meretas Jalan Perdamaian di Indonesia,
Timor Timur, Filipina, dan Papua New Guinea. Pusat Bahasa
dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta : Jakarta, 2005.

Abrori, Ahmad. Perilaku Politik Jawara Banten Dalam Proses Politik di


Banten. Tesis FISIP Universitas Indonesia, Depok 2003.

Alamsyah, Andi Rahman. Islam, Jawara dan Demokrasi, Geliat Politik


Banten Pasca-Orde Baru. Jakarta : Dian Rakyat, 2010.

Al Bantani, Syekh Nawawi, Muru>hu labi>b Tafsir Nawawi.


Semarang: Putra Semarang, 1992.

Ankersmit, F.R. Refleksi Tentang Sejarah, Pendapat-pendapat Modern


Tentang Filsafat Sejarah. Jakarta: Gramedia, 1987.

Aritonang, Diro. Runtuhnya Rezim dari pada Soeharto, Rekaman


Perjuangan Mahasiswa Indonesia 1998, Bandung :
Pustaka Hidayah , 1999.
Atsushi, Ota. Change of Regim and Social Dynamic in West Java,
Society, State, and the Outer World of Banten 1750-1830.
Leiden Netherland : Brill, 2006.

Bachtiar, Harsja W, The Religion of Java: a Commentary, in Readings


on Islam in Southeast Asia, compiled by Ahmad Ibrahim
(Pasir Panjang: Institute of Southeast Asian Studies, 1985)

Bachtiar, Wardi. Sosiologi Klasik Dari Comte hingga Parson. Bandung


: Remaja Rosdakarya, 2006.

184
Biley, A. Carol. A guide to Qualitative Field Research. Thousand Oaks,
CA : Pine Forge Press, 2006.

Cavallaro, Dani. Critical and Cultural Theory, Teori Kritis dan Teori
Budaya. Yogyakarta : Niagara, 2004.

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren , Studi Tentang Pandangan


Hidup Kiyai. Jakarta : LP3ES, 1985.

Djajadiningrat, Hosein. Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten


Sumbangan Bagi Pengenalan Sifat-sifat Penulisan Sejarah
Jawa. Jakarta : Djambatan, 1983.

Durkheim, Emile. Suicide A Study In Sociology. London : Routledge


Classic and Kegan Paul, 2005.

Ensering, Else. Banten in Times of Revolution. Paris : Archipel, 1995.

Epstein L, Richard, Siegel, Dina, Nelen, JM (ed). Organized Crime :


Culture, Markets and Policies. New York : Springer Press,
2008

Geertz, Cliford. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa.


Jakarta : Pustaka Jaya, 1981.

Geertz, Clifford. The Interpretation of Cultures. New York : Basic


Books, A Member of the Perseus Books Group, 1973.

Gellner, Ernest. Membangun Masyarakat Sipil, Prasyarat Menuju


Kebebasan. Bandung : Mizan, 1995.

Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah. Jakarta : Universitas Indonesia,


1985.

Harriss, White Barbara. India Working; Essays on Society and


Economy. Cambridge : Cambridge Univiersity Press, 2003.

Hegel, G.W.F, Filsafat Sejarah. Yogjakarta : Panta Rhei Books, 2003.

Hudaeri, Mohammad. Tasbih dan golok, Studi tentang Kedudukan,


Peran dan Jaringan Kiyai dan Jawara di Banten. Laporan

185
penelitian, Serang : Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
Sultan Maulana Hasanuddin Banten, 2002.

Humaeni, Ayatullah. The Phenomenon of Magic in Banten Society.


Netherlands : Leiden University, 2009.

Husain, Abdul Fatah, Fiqhu al-‘Ibada>t. Kairo : al-Risa>lah al-


Isla>miyah.

Isjwara, F. Pengantar Ilmu Politik. Bandung : Binacipta, 1980.

Jamaluddin Qosim Addimsyiq, Syeikh Muhammad, Mau’iz}atul


Mu’mini>n min ih}ya>’ulu>muddi>n. Beirut:
Da>runnafa>is, 1981.

Jhonson, Doyle Paul. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. (ter), M.Z.
Lawang, University of South Florida. Jakarta : Gramedia
Pustaka, 1998.

K.Yin, Robert. Case study research: design and methods, Thousand


Oaks: Sage, 2003.

Karim, M. Rusli. Negara dan Peminggiran Islam Politik. Yogyakarta :


Tiara Wacana,1999.

Karomah, Atu. Jawara dan Budaya Kekerasan Pada Masyarakat Banten.


Tesis FISIP Universitas Indonesia, Depok 2002

Kartodirdjo, Sartono. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta :


Pustaka Jaya, 1984.

Kartodirdjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial dan Metodologi Sejarah.


Jakarta : Gramedia, 1993.

Khalaf, Abdul Wahab, ‘Ilmu Us}u>lu al-fiqhu. Kairo: Da>russala>m,


1978.

Khaldun, Ibn. Muqaddimah Ibn Khaldun, terj. Ahmadie Toha. Jakarta :


Pustaka Firdaus, 1986.

186
Khatib, Mansur. Profil Haji Tubagus Chasan Sochib, Beserta
Komentar 100 Tokoh Masyarakat Seputar Pendekar
Banten. Jakarta : Pustaka Antara Utama, 2000.
Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta :
Djambatan Cet-24, 2004.

Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Yogyakarta : Tiara Wacana, 2003.

Kuntowijoyo. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta : Tiara Wacana,


1987.

Wee, C.J.W.L. Local Cultures and The New Asia, The States, Culture,
and Capitalism in Southeast Asia. Singapore : Institute of
Southeast Asia Studies, 2002.

Lubis H. Nina, Banten Dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, dan


Jawara. Jakarta : LP3ES, 2003,

Makmun, Ismail. Riwayat Singkat Berdirinya Satkar Ulama Golkar,


Munas I Satkar Ulama Golkar, Jakarta,1985.

Martin, Roderick. Sosiologi Kekuasaan. Jakarta : Raja Grafindo


Persada, 1993.

McGlynn, Frank and Artur Tuden (ed), Pendekatan Antropologi pada


Perilaku Politik. Jakarta : UI Press, 2000

Michrob, Halwani dan Chudori, Mudjahid. Catatan Masa Lalu Banten.


Serang : penerbit Saudara Serang 1993.

Miller,Walter B, Lower Class Culture at a Generating Milieu of Gang


Delinquency, dalam Marvin E. Wolfgang (eds), Sociology of
Crime and Deliquency. New York : Jhon Wiely & Sons,
1990.

MS, Basri. Metodologi Penelitian Sejarah, Pendekatan, Teori, dan


Praktik. Jakarta : Restu Agung, 2006.

Muhyidin, Mansyur. Banten Menuju Masa Depan. Serang :


Yayasan Kiyai Haji Wasyid, 1999.

187
Mulkhan, Abdul Munir. Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi
Umat Islam 1965-1987, Jakarta : Rajawali Press, 1989.

Masaaki, Okamoto dan Rozaki, Abdur, Kelompok Kekerasan dan Bos


Lokal Di Era Reformasi. Yogyakarta : CSEAS IRE Press,
2006.

Nashir, Haedar. Perilaku Politik Elit Muhammadiyyah, Yogyakarta :


Terawang, 2000.

Nordholt, Schulte Henk, Van Klinken, Geert Arend, Van Klinken,


Gerry. Renegotiating Boundaries : Access, Agency and
Identity in Post-Suharto Indonesia. Leiden : KITLV Press,
2007.

Nordholt, Schulte Henk, Van Klinken, Gerry. Politik Lokal di


Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007.

Notosusanto, Nugroho. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer:


Sebuah Pengalaman. Jakarta: Inti Idayu Pres, 1984.

Palm, C.H.M. Sejarah Antropologi Budaya. Bandung : Jemmars, 1984.

Paoli, Letizia. Mafia Brotherhoods : Organized Crime, Italian Style.


USA : Oxford University Press, 2003

Parsa, Misagh. States, Ideologies, & Social Revolution, A Comparative


Analysis of Iran, Nicaragua and the Philippines. Edinburg
UK : Cambride University Press, 2000.

Potts, Jhon. A History of Charisma. New York : Palgrave Macmillan,


2009.

Pribadi, Yanwar. The Background to the Emergence of Jawara in the


Erly Nineteenth Century Banten. Al Qalam, Jurnal Ilmiah
Bidang Keagamaan dan Kemasyarakatan. Vol. 25, No.3
(September-Desember) 2008. Lembaga Penelitian IAIN
“Sultan Maulana Hasanuddin” Banten.

188
Pruitt, G. Dean, Rubin, Z. Jeffry and Kim, Sung Hee. Social Conflict,
Escalation, Stalemate, and Settlement. McGraw-Hill, Inc –2nd
ed : United States of America, 1994.

Pruitt, G. Dean, Rubin, Z. Jeffry and Kim, Sung Hee. Teori Konflik
Sosial, ter. Helly P. Soetjipto, Sri Mulyantini Soetjipto.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004.

Pudjiasih, Titik. Perang, Dagang, Persahabatan, Surat-surat Sultan


Banten. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007.

Reno, William. Corruption and State Politics in Sierra Leone. New


York : Cambridge University Press, 1995.

Ritzer, George and Goodman, Douglas J. Teori Sosiologi Modern, terj.


Aliman. Jakarta : Kencana, 2007.

Rivai, Ahmad. Suatu Tinjauan Kriminologi Atas Kepemimpinan Jawara


di Wilayah X. Tesis FISIP Universitas Indonesia, Depok
2003.

Liddle, William R. Leadership and culture in Indonesia Politics, Sidney


Allen and Urwin, 1996.

Goethals, George R and L.J. Sorenson, Georgia. The Quest For General
Theory Of Leadership. Northampton : Edwar Elgar
Publishing, 2006.

Romli, Lili. Jawara dan Penguasa Politik Lokal di Provinsi Banten


(2001-2006). Disertasi, FISIP Universitas Indonesia, Jakarta,
2007.

Sabine, G.H. Teori-Teori Politik, Sejarah Pertumbuhan dan


Perkembangannya. (terj) Soewarno Hadiatmodjo. Bandung :
Binacipta,1992.

Sa>biq, Sayid, Fiqhu al-Sunnah majallidu al-awwal. Kairo: Da>ru al-


thaqofah al-Islamiyah, 1999.

189
Suparlan, Pasurdi. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya. Jakarta :
Rajawali, 1984.

Sumardjo, Jakob. Estetika paradoks. Bandung : Sunan Ambu press,


2006.

Spencer, Stephen. Race and Ethnicity, Culture, Identity and


Representation. New York : Routledge taylor & Francis
Group, 2006.

Syamsu, Nauval. Debus Sebuah Fenomena Keagamaan, Studi


Kultural Debus Banten. Tesis, Pasca Sarjana UIN
Syarif Hidayatullah : Jakarta, 2004.
Syamsuddin, M. Din. Islam dan Politik : Era Orde Baru. Jakarta :
Logos Wacana Ilmu, 1999.
Tihami, MA. Kiyai dan Jawara di Banten, Studi tentang Agama, Magi,
dan Kepemimpinan di desa Pesanggrahan Serang, Banten,
Tesis. Universitas Indonesia : Jakarta, 1992.

Turmudi, Endang. Perselingkuhan Kiyai dan Kekuasaan. Yogyakarta :


LKIS, 2004.

Van Harskamp, Anton. Konflik-konflik Dalam Ilmu Sosial. Yogyakarta :


Kanisius, 2005.

Van Bruinessen, Martin, Shari’a court, Tarekat and Pesantren :


Religious Istitutions in The Banten. Paris : Archipel, 1995.

Pranoto, Suhartono W. Jawa Bandit-Bandit Pedesaan, Studi Historis


1850-1942. Yogyakarta : Graha Ilmu, 2010.

Weber, Max. The Hand Book of Sociology, Studi Komprehensif


Sosiologi Kebudayaan, (terj). A.Qodir Sale. Yogyakarta :
IRCiSoD, 2006.

Williams C Michael. Sickle and Crescent, The Communist Revolt of


1926 in Banten, Centre for International Studies : Ohio
university 1990.

190
Wirutomo, Paulus. Membangun Masyarakat Adab : Suatu Sumbangan
Sosiologi, UI Press : Jakarta , 2001.

Surat Kabar, Dokumen dan Naskah

Fajar Banten, 5 Januari 2001.


Fajar Banten, 15 Oktober 1999.
Harian Banten, 24, Mei 2003.
Harian Banten, 15 Januari 2001.
Koran Tempo, 7 Juli, 2003.
Media Indonesia, 19 Juli, 2001
Radar Banten, 12 Mei 1997.
Radar Banten, 14 November 2001.

Anggaran Dasar dan Rumah Tangga Organisasi PPPSBBI, Serang


Banten, 1990.
Dokumen Panduan Sarasehan PPPSBBI di Jakarta, 15 Oktober 1990.

Data Jumlah Anggota DPRD Provinsi Banten 2009, Sekretariat DPRD


Provinsi Banten, 2009.

Data Jumlah Lembaga Pondok Pesantren di Provinsi Banten, Kantor


Wilayah Kementerian Agama Provinsi Banten, 2009.

Kitab Dalailul Khairot,Serang, Penulis dan Tahun pembuatan belum


diketahui.

Kitab Majmu’atul Hikmah, Serang, Penulis dan Tahun pembuatan


belum diketahui.

Presentase Penduduk Menurut Agama di Provinsi Banten, Kantor


Wilayah Kementerian Agama Provinsi Banten, 2009.

191
Data Jumlah Keberangkatan Jama’ah Haji dari 2006-2008 di Provinsi
Banten, Kantor Wilayah Kementerian Agama provinsi Banten,
2009.

Hasil Sensus Penduduk 2010, Provinsi Banten, Badan Pusat Statistik


Banten, 2010.

Banten Dalam Angka 2010, Badan Pusat Statistik Banten, 2010.

192
Indeks

A
Abah 13, 40, 47, 51, 115, 118, 119,
166, 169, 170 B
Abrori 9, 15, 91
Ace Suhaedi Masdupi 149 Baduy 1, 21, 28, 65
Ade Sudirman 149 Bahtera Banten Jaya 119
administratif 68, 69, 164 BAKIN 110
agama 1, 2, 3, 8, 18, 20, 23, 31, 32, 33, Balaraja 70, 164
35, 37, 43, 46, 54, 55, 57, 58, 64, bandit sosial 4, 5, 8, 13, 67, 72, 73, 74,
67, 78, 82, 84, 88, 90, 92, 96, 97, 75, 76, 77, 78, 112
99, 100, 103, 104, 105, 106, 138, Bandrong 47, 48
166, 169 Banten 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11,
ahli hikmah 4, 82 12, 13, 14, 15, 16, 19, 20, 21, 22,
ahli kebatinan 4, 82 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31,
Akulturasi 20 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 41,
Ali Fadillah 29 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50,
Ali Yahya 146 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59,
al-madad 55 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68,
al-quran 19 69, 70, 71, 72, 74, 75, 76, 77, 78,
amalan 12, 19, 60, 63 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87,
anak buah 13, 23, 40, 163 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96,
Andi Rahman 7, 9, 26, 140 97, 98, 99, 100, 103, 104, 107, 108,
anggota dewan 17, 109, 116, 122, 123, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115,
143, 148 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122,
animisme 17, 18, 21, 47 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129,
Ankerman 5 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136,
antropologi 26, 98 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143,
APBD 163, 164 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150,
as’abiah 24 151, 152, 153, 154, 155, 156, 157,
Asak 60 158, 159, 160, 161, 162, 163, 164,
ascriptive 29 165, 166, 167, 168, 169, 170, 171,
asimilasi 5 180, 181, 182
Asisten Residen 79 Banten Girang 1, 3, 30, 31
astetis 15 Basofi Sudirman 134
Atah 60 Bastian 40
atavistic 29 Batavia 32
Atu karomah 39 batin 2, 6, 23, 52, 53, 90
Batu Kuwung 127, 135

193
Belanda 2, 4, 7, 8, 13, 14, 32, 33, 34, Djoko Munandar 147, 148, 150, 151
35, 36, 37, 42, 44, 46, 48, 54, 56, Dominasi 25, 107, 136, 137, 142, 147,
58, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 150, 159
73, 74, 77, 78, 79, 80, 88, 89, 118, DPD 25, 143, 144
157, 169, 180 DPP 118, 128, 135, 143, 145, 150, 159
Benjamin Davnie 151, 152, 153 DPR 109, 120, 126
bergaining 125 DPRD 109, 120, 142, 143, 144, 145,
Betawi 6, 13, 80 147, 148, 149, 150, 153, 162, 164,
bisnis 101, 109, 115, 116, 117, 118, 165
119, 122, 139, 140, 141, 153, 154, DPRD Provinsi 109, 142, 143, 144,
155, 159, 160, 161, 162, 165, 170 145, 148, 149, 165
blater 74 duel 52
Boas 10, 11
Bogor 32, 129, 170
brajamusti 8, 16, 42, 58, 101
Buety Nasir 145 E
Bupati 71, 91, 123, 124, 130, 132, 134
eklektik 22
ekonomi 14, 15, 16, 23, 24, 25, 26, 27,
C 38, 74, 76, 80, 89, 91, 93, 107, 108,
109, 112, 116, 117, 118, 122, 123,
124, 135, 136, 137, 139, 140, 141,
Ce Mamat 36 146, 147, 149, 152, 154, 155, 156,
Cibanten 30 157, 159, 160, 161, 168, 171, 180,
Cidahu 133 181, 182
Cidurian 30 eksekutif 25, 137, 146, 149
Cikande 35, 37, 64, 71 ekses 13, 107, 111, 139
Cikeusik 37 elit 2, 13, 22, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 35,
Cilongok 111, 133 38, 40, 68, 81, 83, 84, 87, 92, 93,
Cimone 170 94, 95, 96, 102, 112, 117, 156, 158,
Ciomas 43, 119, 127, 128, 156, 162, 162, 165
168, 170, 171 Else Ensering 31, 36, 68, 89, 91, 132
Cirebon 1, 30, 31 entitas 24, 38, 39, 44, 107, 108, 109,
Cisadane 30 111, 116, 121, 123, 142, 166
Conat 77 Era Reformasi 137
Eropa 54, 69, 71, 158
etis 15
Evon Vogt 18
D
Daendels
Daniri 151, 153
2
F
Darul Falah 60
Deandles 34 Faqih Najamuddin 88, 89
Debus 1, 3, 20, 41, 49, 53, 54, 55, 94 folklore 7
diffusonis 5
Djoko munandar 148

194
formal 2, 4, 6, 13, 16, 17, 25, 27, 40, Hasan Cobra 143
75, 82, 93, 95, 101, 106, 124, 139, Hasanuddin 20, 31, 32, 54, 86, 88, 91
140, 142, 160, 165 Herman Haeruman 149
fusi 110, 131 Hindu 30, 31
historis 7, 9, 10, 11, 13, 14, 18, 25, 26,
29, 30, 77, 82, 87, 95, 96, 107, 130,
137
G Hizbullah 169
HM. Masduki 151, 152, 153
Hudaeri 41, 43, 83, 84, 86, 88, 95, 106,
GAPENSI 124, 126
122, 125
gede 21
Geertz 77, 78
geger Cilegon 35, 80
Geger Cilegon
Godfather
37, 72, 78, 80, 89
144, 167, 172, 182
I
Golkar 24, 108, 110, 112, 115, 116,
124, 125, 127, 128, 129, 131, 132, Indonesia 1, 3, 6, 8, 10, 13, 14, 15, 23,
136, 141, 143, 145, 148, 149, 182 25, 27, 29, 30, 35, 36, 39, 43, 45,
golok 10, 11, 22, 40, 41, 43, 53, 61, 88 46, 51, 57, 58, 66, 68, 84, 86, 91,
Gubbels 72 95, 99, 108, 109, 110, 112, 113,
Gubernur Banten23, 25, 139, 142, 148, 115, 117, 118, 119, 126, 128, 133,
150, 151, 152, 153, 155, 156, 160 137, 138, 141, 144, 147, 152, 166,
Gubernur Jendral 118, 120, 144, 168, 168, 169, 170
182 informal 4, 7, 16, 25, 26, 27, 39, 75, 91,
Gulkut 36 92, 94, 95, 96, 106, 114, 123, 124,
gunung karang 9 129, 130, 140, 142, 161, 164, 165,
Gunung Karang 45, 55, 56 180
Gunung Pulosari 55 informal leader 25, 27, 95, 123, 140,
guru 1, 3, 4, 8, 12, 15, 16, 21, 22, 23, 180
26, 33, 43, 47, 50, 51, 58, 67, 82, infrastuktur 109, 162
84, 85, 86, 87, 90, 93, 104, 135, intervensi 27, 88, 126, 128, 130, 133,
166, 180, 181 148, 149, 150, 151, 158
Gusdur 133 intimidasi 118, 129, 140, 149, 160, 164
IPKI 109
Irsyad Djuweli 151, 153
Islam 1, 3, 5, 7, 9, 10, 17, 18, 19, 20,
H 21, 26, 28, 30, 31, 32, 38, 43, 45,
46, 47, 54, 55, 56, 57, 82, 84, 86,
88, 90, 96, 97, 101, 104, 110, 111,
H. Aceng Iskak 143
117, 124, 131, 132, 134, 140, 152,
H. Chasan Sohib 104, 113, 168, 182
166, 180
H. Kaking 119, 171
Islam politik 131, 134
H. Tb Chasan Sohib 104
Izajah 51, 85
H. Uwes 37
Habibie 138
Haji Yamin 68
Harmoko
Hasan Alydrus
120
37
J

195
Jakarta 1, 2, 3, 5, 7, 8, 9, 13, 14, 15, 18, Kang Mamed 118, 120, 124, 128, 135,
20, 24, 26, 27, 29, 32, 39, 40, 54, 150, 159
55, 58, 68, 78, 84, 90, 92, 95, 105, Kang Nuriman 68, 69
108, 110, 115, 116, 118, 127, 129, kanuragan 1, 8, 12, 14, 16, 39, 42, 46,
138, 140, 147, 157, 169, 170 50, 53, 58, 82, 84, 180
Jalak Rawi 47 Kartodirdjo 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 12, 13,
Jangjawokan 21 26, 28, 68, 69, 71, 72, 76, 79, 80,
jaro8, 15, 16, 22, 25, 40, 43, 77, 90, 95, 81, 89, 95, 98
101, 103, 180 katulah 86
jawa. 1, 15 kawalat 85, 86, 104
jawara 107, 108, 109, 111, 112, 113, kebal 8, 28, 52, 58, 59, 60, 61, 62, 101,
114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 162
121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, kekuasaan 2, 4, 7, 15, 16, 26, 31, 32,
128, 129, 130, 131, 134, 135, 136, 35, 36, 38, 54, 67, 69, 78, 84, 88,
138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 89, 91, 95, 97, 101, 102, 103, 105,
145, 147, 149, 150, 151, 152, 153, 107, 108, 111, 112, 114, 116, 117,
154, 155, 156, 157, 158, 159, 160, 118, 119, 122, 123, 130, 131, 134,
161, 162, 163, 165, 166, 167, 169, 135, 136, 141, 147, 150, 151, 153,
170, 171 154, 157, 158, 160, 165, 168, 181,
Jawara 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 182
12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 20, 21, kelas sosial 95, 116, 138
22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 30, 35, keramat 22, 55, 79, 81
36, 37, 38, 39, 42, 43, 49, 51, 52, keris 22, 62
57, 58, 66, 67, 72, 77, 78, 81, 83, Kesultanan Banten 1, 7, 27, 30, 31, 32,
84, 86, 88, 91, 92, 93, 94, 96, 99, 33, 34, 49, 80, 88, 180
101, 103, 104, 106, 107, 109, 110, KH. Cecep Bustomi 133
114, 116, 121, 122, 125, 126, 127, KH. Abdul Halim 127
128, 129, 135, 137, 139, 140, 141, KH. Abuya Dimyati 133
142, 143, 144, 146, 149, 150, 151, KH. Ahmad Khatib 36
153, 154, 157, 159, 160, 164, 165, KH. Mahmud 113, 127, 128
166, 180 KH. Nawawi 60
Jayeng Rana 143, 144 KH. Syam’un 36, 91, 132
Jazuli 144, 145 KH. Tassin 69
Jhon Potts 102, 105 KH. Uci Qurtusi 133
jimat 12, 62, 101 kharisma 4, 16, 26, 62, 66, 82, 85, 94,
Jimat 46 96, 98, 100, 101, 102, 103, 104,
Jombang 79 105, 132
jurujud 61 kharismatik 2, 4, 71, 82, 83, 102, 103,
104, 105, 127
khodam 7, 92
kitab kuning 56, 82
K Kiyai 1, 2, 3, 4, 8, 14, 23, 26, 27, 33,
34, 35, 46, 47, 48, 57, 58, 68, 70,
78, 79, 80, 81, 84, 86, 87, 88, 90,
kader 119, 143, 171
92, 93, 94, 96, 97, 100, 106, 108,
KADIN 114, 115, 124, 125, 135, 142,
131, 133, 169, 170
163, 165, 167
kiyai Abubakar 72
Kadin Banten 104, 115
kiyai Asnawi 72
Kamudin 77
Kiyai Beji 47

196
kiyai Ikram 68 Lidlle 95, 108
kiyai Syadeli 72
kiyai Wakhiya 71
kiyai Washid 3
kiyai Wasyid 72, 78, 79, 80, 89 M
Kluckhohn 5
Kodam VI Siliwangi 170
Mafia Italia 144, 160, 167
kolonial 2, 3, 4, 7, 8, 13, 14, 15, 16, 34,
magis 1, 2, 3, 7, 8, 10, 12, 14, 15, 16,
35, 36, 39, 42, 44, 45, 46, 56, 58,
17, 18, 19, 20, 21, 22, 26, 28, 30,
65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73,
44, 46, 50, 52, 53, 55, 56, 57, 58,
74, 75, 76, 77, 79, 80, 81, 85, 87,
60, 61, 62, 64, 65, 76, 77, 81, 82,
88, 89, 94, 96, 118
83, 84, 85, 86, 87, 90, 92, 97, 100,
kolusi 138
101, 103, 112, 169, 180, 181
Komisi 145
mahar 60
komunis 2, 3, 35, 68, 89
majhul jauharo 74
komunitas 5, 6, 9, 18, 23, 25, 28, 30,
Malingping 127, 170
38, 39, 40, 41, 66, 72, 81, 85, 87,
Maman Rizal 143, 153
95, 107, 111, 112, 115, 117, 119,
mantra hitam 17, 22
120, 122, 123, 124, 125, 126, 130,
Marissa Haque 151
140, 144, 152, 157, 166, 168, 181
Mas Diad 71
konstruk 41, 53, 87, 117, 121, 122,
Mas Jakaria 70, 77, 80, 81
140, 181
Mas Rakka 69
konstruksi 41, 118, 125, 143, 160
Mas Raye 70
kooperatif 134
Masyumi 131, 132
kooptasi 24, 112, 118, 122, 131, 134
Matha’ul Anwar 132
Kooptasi 115
Maulana Muhammad 32
Kopkamtib 110
mengakomodir 104, 109, 123
Korem 127
mengkooptasi 107, 114, 124, 129, 134
korup 138
Menteri 111
kultur 5, 6, 10, 12, 13, 15, 18, 26, 28,
Militer 91, 128, 134, 135
29, 30, 33, 38, 39, 41, 43, 66, 68,
Miller 44
84, 86, 92, 108, 112, 124, 135, 136,
mistik 3, 10, 53, 55
165, 166, 169, 180
MPR RI 120, 126
kultural 1, 25, 77, 82, 87, 136, 141
Murba 109
kulturkreise 6
murshyid 20
Kuntowijiyo 5
Musasi 43
Kuntowijoyo 5, 15
Mustika Empat Lima 119

L N
Laskar Gutgut 36
Nasyid 71
lebak 21, 29, 71, 77, 123
nepotisme 138
legeslatif 25, 137, 142, 149
Ngabehi Utu 68
legislatif 143, 146
NU 109, 110
Lengkong 170
Nyimas Gamparan 70
Letizia Paoli 144, 158, 160, 167

197
Pelita I 118, 127, 170
pemberdayaan 24, 107, 117, 122, 139,
167, 181
O pemberontakan 1, 2, 3, 4, 7, 8, 9, 11,
13, 14, 34, 35, 37, 39, 58, 65, 66,
67, 68, 69, 70, 71, 72, 74, 80, 81,
O’dea, 18
87, 88, 89, 98, 180
oligarki 30
pemerintah 4, 7, 15, 17, 24, 25, 27, 33,
Opsus 110
34, 35, 42, 43, 67, 69, 70, 71, 73,
Orde Baru 7, 9, 24, 26, 37, 39, 107,
74, 75, 79, 80, 88, 91, 95, 100, 104,
108, 109, 110, 111, 112, 113, 114,
107, 108, 111, 112, 114, 115, 117,
115, 116, 117, 119, 120, 121, 122,
118, 119, 125, 127, 133, 138, 142,
123, 124, 125, 126, 127, 128, 129,
148, 155, 156, 158, 160, 161, 162,
130, 131, 132, 133, 134, 135, 136,
163, 164, 166, 171, 181
137, 138, 139, 140, 141, 143, 159,
pemilu 23, 25, 116, 142, 148
160, 170, 171, 180, 181
pendekar 14, 15, 23, 74, 104, 113, 120,
Orde Lama 36, 129
129, 147, 159
Ota Atsushi 32, 34, 76, 87, 88, 130
penetrasi 30, 135
penggilingan 119, 170, 171
pengusaha 15, 17, 23, 25, 101, 114,
P 115, 116, 117, 119, 124, 126, 136,
142, 146, 156, 164, 165, 166, 167,
170, 171, 181
Pabuaran 168 persilatan 7, 9, 12, 23, 44, 45, 46, 47,
padepokan 8, 9, 12, 28, 44, 45, 46, 50, 49, 51, 52, 53, 55, 57, 83, 84, 85,
51, 52, 53, 55, 57, 123 87, 134
Padjajaran 30, 31, 32 Perti 109
paguron 8, 9, 28, 44, 45, 46, 47, 49, 50, Pes Viering 71
53, 123 pesantren 1, 28, 33, 38, 44, 46, 56, 57,
Paku Banten 47, 49 58, 59, 60, 61, 62, 64, 65, 82, 84,
PAN 143 93, 94, 96, 108, 111, 115, 124, 132,
Pancasila 110 167, 169
Pandeglang 9, 38, 45, 56, 68, 69, 70, Pesantren Cadasari 169
71, 80, 97, 132, 143, 144 Pesantren Pani’is 169
Pangeran Sane 69 Pilkada 140, 147, 148, 151, 152, 153,
pantangan 19 154, 155, 157
Parkindo 109 PJ. Kampuys 71
Parmusi 109 PKB 143
Partai Katolik 109 PKS 152
pasar Rau 118 Plt. Gubernur 150, 155
Pasir Peuteuy 68 PNI 109
Pasurdi Suparlan 5, 40 politik 4, 14, 22, 24, 25, 26, 27, 33, 35,
PBB 145 36, 37, 43, 67, 68, 74, 76, 80, 86,
PBR 145 89, 91, 93, 101, 103, 104, 107, 108,
PDI 110, 116, 149 109, 110, 111, 112, 114, 115, 116,
pejabat 13, 17, 36, 41, 88, 95, 100, 113, 117, 118, 122, 123, 124, 125, 126,
116, 122, 126, 127, 133, 138, 156, 127, 129, 130, 131, 132, 134, 135,
164, 180 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142,
143, 144, 145, 146, 147, 149, 150,

198
151, 152, 154, 157, 159, 160, 165, Reformasi 26, 37, 74, 101, 114, 137,
168, 171, 181, 182 145, 155, 180
Politik 7, 9, 15, 24, 26, 33, 43, 91, 109, regentschap 34
110, 114, 115, 117, 118, 131, 132, Reno 27
134, 140, 142, 144, 145, 147, 150, residen 72, 88, 91
159 ritual 1, 19, 21, 42, 53, 60, 64, 94, 97
PPP 110, 116, 124, 143, 149 Robin Hood 43
PPPSBBI23, 24, 47, 94, 113, 114, 115, Rofiah 168
118, 119, 120, 124, 125, 126, 127, Rt. Atut Chosyiah 139, 148, 150, 151,
128, 129, 135, 142, 150, 153, 154, 152, 153, 154, 155
159, 168, 182
Prabowo Subiyanto 134
pra-Islam 54
premanisme proyek 163, 165 S
Presiden 130, 133
priyayi 15, 77
Sabakingking 1, 31
provinsi 1, 7, 22, 26, 28, 29, 37, 113,
Sahab 77
114, 118, 125, 138, 141, 142, 143,
Sakam 77
146, 161, 162, 163
samurai 43
proyek 43, 75, 114, 117, 118, 119, 125,
Saniin 77
139, 143, 145, 155, 156, 157, 158,
santri 1, 2, 3, 8, 46, 56, 57, 58, 59, 60,
159, 160, 161, 162, 163, 164, 165,
63, 77, 84, 169
166, 170, 171, 182
SATKAR 113, 115, 119, 120, 168
PSII 109
SATKAR jawara 113
PT. Krakatau Steel 118
Satuan Karya jawara 113
puasa 7, 19, 60
Satuan Karya Ulama 113, 119, 128
Pucuk Umun 31
seguru seelmu 84, 166
putih 17, 18, 19, 20, 22, 27, 60, 77, 133
Sekber 126
sembako 119
Sepatan 170
Q Serang 3, 8, 14, 20, 23, 26, 27, 30, 34,
47, 48, 49, 50, 58, 69, 70, 71, 72,
78, 84, 85, 86, 88, 113, 114, 115,
Qodariyah 20, 55 118, 119, 120, 121, 122, 124, 125,
128, 132, 134, 135, 143, 144, 145,
149, 150, 153, 155, 156, 159, 162,
166, 168, 170
R Serat Centhini 9, 56
sesajen 22, 79
shalat 19
R. Kartanagara 71
Si Pitung 13, 80
rajah 12, 101
silat 7, 8, 11, 15, 16, 22, 26, 43, 44, 45,
Ratu Atut Chosiyah 104
46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 57, 90,
Rawayan 21, 64
114, 126, 135, 180
reformasi 37, 117, 138, 139, 140, 141,
silaturrahmi 111
143, 156, 157, 159, 160, 161, 171,
simbolis 15
181
Sinar Ciomas Group 119
Soekarno 29, 133

199
sosiokultural 15 Tokoh Jawara 141, 147, 150, 154, 164,
sowan 111 165
Spanyol 81 tradisi 1, 5, 6, 9, 15, 16, 17, 21, 25, 28,
spiritual 7, 33, 90 29, 30, 33, 45, 49, 53, 54, 55, 64,
stabilitas 33, 67, 76, 77, 81, 91, 101, 66, 78, 80, 84, 86, 87, 90, 97, 105,
108, 109, 110, 111, 112, 135, 137 109, 136, 166, 169
subkultur 6, 9, 15, 43, 66, 93 Transisi 122, 123, 138
Sudarsono 134 Tryana Sjam’un 146, 151, 152, 153,
Suharto 112, 117, 119, 130 156
Suhartono 73, 74, 75, 77 Tryana Syam’un 37, 126
Sultan1, 5, 9, 14, 15, 20, 22, 27, 31, 32, TTKDH 47, 49, 50, 153
33, 35, 46, 54, 68, 69, 80, 81, 86, Tubagus Ishak 71
88, 89, 91, 92, 115, 168 Tumenggung Muhammad 70
Sultan Abdul Mafakhir Mahmud
Abdul Kadir 32
Sultan Ageng Tirtayasa 32, 33, 35, 46,
54, 115, 168 U
Sultan Haji 34
Sumatera 29
Ujung Kulon 68
sunan Gunung Djati 1
Ulama 1, 5, 9, 14, 15, 19, 22, 24, 27,
Sunda 1, 17, 19, 21, 30, 31, 32, 49, 79
33, 65, 78, 81, 92, 111, 113, 115,
suprastuktur 109
119, 120, 126, 127, 128, 129, 130,
Surono 134, 135
131, 132, 133, 134, 135, 136, 152,
surosowan 55
153, 168
syariat 19, 32
ummat 133
Syeikh Abdul Karim 72
ustadz 45, 52, 54, 59, 60, 63
Syeikh Nawawi al-Bantani 72
Uwes Qorni 146

V
T Van Bruinessen 3, 30, 39, 45, 46, 88,
96, 97, 130
tadisional 16 Ver Volk 124, 169
tahmid 19 vertikal 24, 43, 116, 122, 130, 136,
takbir 19 155, 166, 171, 180
Tanara 72, 164 VOC 32, 33, 54, 78, 88
tarekat17, 18, 20, 33, 38, 55, 72, 82, 90
Tb. Aat Syafaat 143
Tb. Ismail 72
Tb. Mamas Chaeruddin 149
teluh 28, 64, 65
tender
tenung
43, 118, 155, 163, 164, 171
28 W
teri 21
Terumbu 47, 48, 49, 153 wafak 12, 63, 64
Thomas Aquinas 33 Wakil Gubernur 139, 146, 147, 148,
Tihami 2, 3, 8, 13, 14, 26, 27, 43, 58, 149, 150, 151, 152, 153, 155
74, 84, 86, 87 Weber 102, 103, 105

200
Williams 2, 3, 5, 9, 12, 14, 39, 68, 72,
73
wirid 60, 62

Z
zikir 19, 53
ziyad 28, 42, 46, 61, 101
Zulkiflimansyah 151, 153, 156

201
Biodata Penulis

Fahmi Irfani, lahir di Tangerang, 25


Januari 1986. Anak ke Sebelas (11) dari Duabelas (12)
bersaudara. Setelah menamatkan pendidikanya di SDN Kadu III.
Kec. Curug, Kab. Tangerang. Ia melanjutkan pendidikannya di
Pondok Pesantren Daar El Qolam, Gintung, Jayanti Tangerang,
lulus tahun 2004. Meneruskan studi S1 Jurusan Sejarah dan
Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, IPK 3.57
Cumlaude, 2008. Pernah bergabung di PKATR (Pusat Kajian
Asia Tengah dan Rusia) di UIN Jakarta. Sempat menerima
Beasiswa dari pemerintahan Rusia untuk studi S2 di Department
of History, Yuzhni Federalni Universiteit, Rusia Selatan. Akan
tetapi berhubung telah menjalani studi S2 di SPS UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, maka ia melanjutkan studinya di konsentrasi
Sejarah Peradaban Islam 2009-2011. Aktif sebagai pembicara di
seminar dan menulis artikel dibeberapa jurnal dan surat kabar.
Saat ini bersama rekan-rekan pasca UIN Jakarta, aktif
membangun Komunitas Ujung Ciputat, yang tergabung dalam
Young Progressive Muslim (YPM).

202

Anda mungkin juga menyukai