Anda di halaman 1dari 4

Pemilukada Kabupaten Buton :

Fenomena Lambai, Jabat dan Buah Tangan, sebuah Tradisi ?

Oleh : La Ode Syahrun Syah, SH*

Gong Pemilukada Kabupaten Buton sudah dimulai. Saat launching di alun-alun Pasarwajo,
KPU menyatakan tahapan Pemilukada siap digelar. Gayung bersambut, beberapa pasangan telah
mendeklarasikan diri, diawali oleh pasangan Cabup-Wabup dari unsur perseorangan atau
independen. Disusul pasangan dari calon yang diusung partai politik atau koalisi parpol. Ini
momentum penting bagi demokrasi lokal. Lalu apa yang bisa kita petik dari pentas demokrasi
lokal ini?
Dari berbagai pemilukada yang penulis amati dan beberapa turut terlibat langsung, penulis
menilai ada fakta menarik. Pemilukada sejatinya terdiri dari tiga sekuens. Pertama, lambai
tangan. Kedua, jabat tangan. Ketiga, buah tangan. Paket “3 in 1” itu mesti dikemas rapi-jali
dalam formula yang pas. Terukur dan terstruktur. Jika mau ditambahkan, mulailah melangkah
dengan basmallah; lalu akhiri dengan hamdallah. Hasilnya, insya Allah. Amsal itu merefleksikan
nalar yang oke punya. Lebih dari sekadar menarik, teman ini 100% betul secara harfiah, bahkan
secara hakiki. Boleh jadi, begitulah buah refleksi plus saripati berkat kontemplasi/perenungan
setiap peserta pemilukada.
Konotasi “tangan” punya dua sisi ekstrem. Kiri-kanan, kuat-lemah, atas-bawah, dan
seterusnya. Dalam persepsi yang diawetkan lewat pribahasa, sebutan “panjang tangan” dan
“ringan tangan” cukup akrab di kuping kita. Kita semua sama-sama mafhum makna keduanya.
Sebagaimana kita maklum posisi tangan di atas lebih mulia ketimbang tangan yang di bawah,
menurut ajaran.
Di tengah free fight competition menyongsong 4 Agustus 2011, lambai tangan
bermetamorfosis dalam wujud artsistik. Foto diri dan pasangan calon, motto hidup dan
perjuangan, slogan melankolis bahkan tak jarang menjurus bombastis. Disusul lontaran tekad,
obral janji bak kecap dapur tak ada yang nomor 2. Entah siapa yang begitu pe-de, lalu tampil
utuh sebagai dirinya sendiri. Entah mendompleng figur senior dan/atau leluhur, bahkan
ayah/anaknya sendiri. De facto, ‘mazhab’ yang disebut belakangan nyatanya lebih diimani dan
diamini. Modus ini bersifat mewabah, meski rata-rata sadar bahwa di kertas suara yang kelak
muncul cuma nomor dan nama pasangan calon.

1
Wajah demi wajah akan semakin banyak terpampang dan menghadang di simpang-
simpang, di kiri-kanan jalan penting, jalan setengah penting, pagar kuburan, di kesunyian hutan
jati dan rerimbunan pohon jambu mede. Dari mulai pintu masuk pelabuhan Murhum, yang
secara territorial jauh dari wilayah kabupaten Buton hingga Pasarwajo. Dari Gulamas ke Siompu
lantas ke Batauga hingga Sampolawa dan berakhir di Lasalimu sana. Umumnya memilih
medium baliho, spanduk, pamphlet dan berbagai instrumen lainnya. Sepanjang penulis lihat
minim kreasi, bahkan mengikuti pola surveyor yang lagi ngetren Terpampang dalam bermacam
ukuran. Mejeng dalam aneka pose. Yang dengan kepala doang, yang tiga perempat badan, yang
setengah badan, hingga yang sekujur tubuh. Sampai-sampai ujung sepatunya ikut ambil bagian.
Kita lihat nanti, cukup banyak yang akan memilih visualisasi diri yang formal-standar. Tak
kurang banyak yang “berani tampil beda”. Di sana-sini dijumpai ekspresi visual yang absurd.
Bahkan musykil melacak nalar mereka tentang komunikasi massa. Fungsi baliho terkebiri dan
terdegradasi murni menjadi ilusi ego. “Believe it or Not” kata Ripley’s yang dalam konteks
Buton lebih afdol diterjemahkan menjadi “topili mo kanana aida” atau
bahasa cia-cianya “topili mo kanano ndea” bukan lantas baru “merasa menang” tapi sudah klaim
sana-sini, aneh tapi nyata.
Sekuen “lambai tangan” mendekati titik jenuh. Pesantren, Ormas, OKP dan Barisan
pendukung mulai memasang “red carpet welcome”. Februari-Maret masih sepi penambahan
atribut. Kecuali dari Calon Bupati dan Wakil Bupati yang sudah mendeklarasikan diri jadi
pasangan. Selanjutnya, ajang perebutan simpati massa pun bertambah ketat. ‘Musuh’ tak lagi
cuma si anu, si fulan, dan si itu di luar pagar. Perluasan koridor demokrasi memaksa para
balonbup/wabup harus lebih berkeringat.
Masuk ke sekuens kedua berarti sekaligus memasuki sekuens ketiga. “Jabat tangan”
diupayakan terjadi di banyak titik simpul. Sebanyak mungkin, jika bisa. Maka, kalkulasilah
sebaran kecamatan, kelurahan, dan desa. Sinkronkan dengan simpul barisan pendukung dan
kinerja pengurus partai pendukung mulai Kabupaten, Kecamatan hingga ranting partai. Di atas
kertas amat mudah menyusun jadwal. Di dunia nyata, menghadirkan unsur-unsur figur lokal
untuk/atas nama sosialisasi Pemilukada sungguh bukan perkara sepele.
Agendakan umpamanya silaturahim di pagi atau siang hari; itu waktu produktif
nelayan/petani. Yang bisa hadir di sana tentulah mayoritas ibu-ibu. Peluang terbaik adalah sore
dan malam hari. Terbatas sekali, memang. Dalam tempo singkat itu mesti ada pembicaraan dua

2
arah, dialog bentuknya dan massa menyampaikan aspirasi. Mulai dari yang besar dan abstrak
hingga yang terkait langsung dengan soal riil keseharian. Dari usul biaya sekolah gratis hingga
subsidi bahan bakar untuk para petani dan nelayan.
Pada titik ini, acara tatap muka dan bicara dari hati ke hati lazimnya menjurus menjadi
arena dagang sapi. “Anda datang sekarang minta dukungan,kami berikan suara. Setelah berhasil,
lalu datang ke sini mungkin 5 tahun lagi. Kami dapat manfaat apa? Jika mau dukungan kami, kan
baik sekali jika nyumbang dulu (masjid kami, Yayasan kami, majelis taklim kami, klub bola/voli
pemuda kami, nelayan kami). Apalagi kini beras mahal, ikan laut mahal, solar/minyak tanah
mahal. Raskin kecebur ke laut, kami susah.”
Suara seperti itu agak umum dan santer terdengar dalam dialog masyarakat dan calon.
Balonbup dihadang persoalan yang kurang lebih sama. Tak peduli mereka incumbent atau baru
kali ini jadi Cabup. Mau dikasih jawaban normatif untuk ‘tuntutan’ di atas? Mau meyakinkan
bahwa fungsi kepala daerah memimpin penyelenggaraan daerah dengan kebijakan bersama
DPRD? Nanti dibantu tergantung pada persetujuan DPRD? Itu jawaban retorika, bunuh diri
namanya.
Tapi kiat jawaban itu mungkin manjur di beberapa titik simpul. Syaratnya, yang hadir di
sana kalangan awam. Tapi mereka dengan pemahaman maksimal tentang politik, ketatanegaraan,
rasa simpati-empati serta sikap proaktif sebagai warga negara. Singkatnya, rakyat yang menjadi
bagian dalam mengupayakan perbaikan keadaan poleksosbud. Dilemanya, menghadirkan unsur
masyarakat seperti itu bisa ditafsirkan bahwa sang Cawabup bersikap elitis dan menghindari
rakyat jelata.
Lalu bagaimana pilihan sikap yang rasional? Pilihan paling kompromistis adalah bermain
di jalur aman dan berjalan mengikuti kelaziman. Mohon doa restu dan dukungan jelas tak cukup
cuma ditulis di baliho atau via iklan di koran. Semua kandidat perlu setor muka. Menyambut
uluran tangan mereka dengan jiwa, dengan mata dan hati. Datangi mereka secara bersahaja dan
hangat. Makan di piring mereka, minum di cangkir mereka, duduk di tikar mereka. Sekadar
menjadi “narasumber” boleh-boleh saja. Tapi lebih elok sowan ke sana untuk mendengar. Benar-
benar mendengar dengan kalbu. “Datanglah ke tengah rakyat jelata, dengar keluhan mereka,
tampung kebutuhan mereka, penuhi kebutuhan mereka, jika mampu, maka niscaya engkau akan
didaulat menjadi pemimpin sejati,” seperti kata Lao Tse pujangga Tiongkok.
Menjelang pamit menuju titik simpul berikut, jangan lupa oleh-oleh. “Buah tangan” yang

3
menyertai “jabat tangan” kandidat. Sekadar kaos dan jilbab bisa dibagikan saat itu. “Gift” berupa
kaos di mata Bawaslu tak masuk kategori money politic. Status ‘hukum’ kartu nama, gantungan
kunci, jam dinding, rompi, topi mungkin juga begitu. Akan halnya baju koko, sarung, batik,
sajadah, mukenah, surat Yaa Siin? Masih bisa di buat kurang jelas aturannya. Yang jelas, rata-rata
para kandidat telah membagi kaos (dan jilbab) jauh-jauh hari. Menyusul kalender dan stiker yang
bahkan go public sekian bulan sebelum putaran kampanye.
Tabur cinderamata (baca juga: tebar pesona) ini kadang mencengangkan. Ngeri, kata orang
sini. Tidak aneh bila nanti kita amati seorang kandidat sampai di hari H-90 akan dan telah
menghibahkan 2000 baju batik, 4000 jilbab, 2000 baju koko, 2000 kaos, 50-an baliho. Itu belum
termasuk anggaran dana saksi meliputi sekian puluh TPS. Berapa nominal totalnya? Itu tugas tim
audit dana kampanye nanti.
Sekadar bandingan, untuk kandidat Bupati di kabupaten jiran Muna dan Wakatobi, kita
melihat majunya para incumbent dan challenger (penantang). Mereka menjaring beberapa parpol
dan mengumpulkan relawan. Di sana sini dibekali kursus politik kilat. Menetaskan ‘politisi’
persis macam bikin mie instan. Inilah agenda penting bagi kita semua. Memilih, jika
memungkinkan bukan dari urusan perut atau janji semata. Semuanya berangkat dari niat
mengurangi tradisi politik yang salah di atas. Salah paham masih mending tapi bagaimana jika
pahamnya yang salah?
Semuanya berpulang pada masyarakat Kabupaten Buton. Memilih yang terbaik untuk
sejahterakan masyarakat. Mau pilih yang bisa menuntaskan atau melanjutkan kembali. Pilih yang
muda atau yang tua? Terserah pilihan nurani masing-masing. Asal hindari satu hal, jangan cuma
“tapili mo bayarana.”

*Penulis : Konsultan dan Ketua DPW APKLI Sultra, berdomisili di Baubau

Anda mungkin juga menyukai