Anda di halaman 1dari 2

Dramaturgi para Caleg Nakal

Pada saat musim kampanye banyak caleg yang tebar pesona untuk menarik simpati
rakyat, Beberapa diantara mereka memberikan janji-janji kepada masyarakat. Contoh
janji yang sering diucapkan caleg saat berkampanye antara lain pemberantasan
kemiskinan, pendidikan dan kesehatan gratis. Namun janji-janji saja tidak cukup untuk
meyakinkan rakyat kecil sehingga banyak dari caleg menggunakan cara lain seperti
pemberian uang tunai kepada simpatisan saat berkampanye, pemberian sembako,
pemberian dana santunan kepada panti atau pondok pesantren bahkan ada yang berkedok
door prize.

Setelah pemungutan suara berakhir dan hasil perolehan suara nampak, banyak diantara
caleg yang berubah sikap. Bagi caleg yang terpilih dan menjadi bagian dari legislatif
banyak diantara mereka lupa dengan janji-janji semasa mereka berkampanye, mereka
lebih mementingkan kedudukan bahkan memperkaya diri dengan berbagai cara yang
kotor. Hal menarik yang dapat dijadikan contoh lain yaitu banyaknya anggota DPR yang
tidak hadir bahkan tidur saat melaksanakan tugas.

Bagi caleg yang gagal saat pemungutan suara banyak diantaranya yang mengalami stres
akibat banyaknya biaya yang dikeluarkan untuk berkampanye. Bahkan diantara mereka
ada yang tidak malu-malu untuk menarik kembali bantuan yang telah diberikan kepada
rakyat saat berkampanye.

Analisis...

Dari kasus diatas saya menganalisis bahwa caleg selalu berganti peran sesuai dengan
situasi yang dihadapinya, Saat berkampanye mereka menunjukkan sikap yang baik
dengan beribu janji untuk menyejahterakan rakyat, hal ini saya kategorikan sebagai front
atau segala sesuatu untuk mengekspresikan diri(topeng), dan setelah pemungutan suara
usai para caleg menunjukkan peran yang lain, yaitu peran yang sesuai dengan tujuan awal
mereka menjadi caleg, dan ini merupakan bagian back atau the self yang merupakan
peran asli mereka.

Kesimpulannya yang bisa diambil adalah tidak masalah jika seseorang melakukan
dramaturgi dengan niatan untuk di terima di lingkungan. Jadi tidak salah kalau seseorang
bermain peran menempatkan peran yang bukan dirinya, karena semata-mata bukan
karena terpaksa namun itu merupakan reaksi alamiah terhadap lingkungan sekitarnya.
Bagi Goffman, individu tak sekadar mengambil peran orang lain, melainkan tergantung
pada orang lain untuk melengkapkan citra diri tersebut (Mulyana, 2004:110). Yang jadi
masalah adalah apabila seseorang itu melakukannya secara berlebihan maka akan
membuat mereka kehilangan jati diri. Seperti caleg yang setres atau gila setelah gagal
memainkan salah satu perannya.

Daftar Pustaka :

Mulyana, Deddy. 2004. Metode Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi
dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya

http://edisantoso.com/?p=41

Anda mungkin juga menyukai