I
Indonesia hari-hari ini…
Ada konvoi pemuda beringas berkeliling kota menebar moral. Ada anak
muda memetik dawai mengelilingi dunia mengukir prestasi.
Ada fatwa penyair tua sepanjang hari membenci tubuh. Ada pelajar
menggondol medali biologi di pentas dunia berkali-kali.
Ada lumpur pebisnis dibersihkan negara dengan pajak rakyat. Ada
perempuan desa menembus bukit menyalurkan air bersih dengan
tangannya sendiri.
Ada koruptor diusung partai jadi pahlawan. Ada relawan bergegas ke
medan bencana tanpa menyewa wartawan.
Kita seperti hidup dalam dua Republik: Republic of Fear dan Republic of
Hope. Akal sehat kita tentu menghendaki perwujudan Republic of Hope
itu, secara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Tetapi
nampaknya, penguasa politik lebih memilih memelihara Republic of Fear,
karena di situlah statistik Pemilu dipertaruhkan. Kemajemukan hanya
diucapkan di dalam pidato, selebihnya adalah tukar-tambah kepentingan
yang diatur para broker. Hak Asasi Manusia dipromosikan ke
mancanegara, tetapi kejahatan kemanusiaan di dalam negeri, diputihkan
untuk modal Pemilu. Toleransi dihimbaukan ke seluruh rakyat, tetapi
ketegasan tidak hendak dilaksanakan. Mengapung diatas bara sosial itu,
sambil membayangkan siasat politik suksesi, adalah agenda harian elit
politik hari-hari ini.
II
Tetapi Republik harus tetap berdiri…
Ide Kedaulatan Rakyat ini memberi kita batas yang tegas tentang wilayah
politik. Yaitu bahwa politik adalah transaksi sekuler dengan ukuran-
ukuran rasional, empiris, dan historis. Bahwa bahasa politik adalah
bahasa yang dapat diperlihatkan konsekwensinya “di sini dan sekarang”,
bukan “nanti dan di sana”. Bahwa ukuran-ukuran moral harus tumbuh
dari pertarungan gagasan-gagasan historis, bukan dari doktrin-doktrin
metafisis. Bahwa warga negara hanya terikat pada ayat-ayat konstitusi,
dan bukan pada ayat-ayat suci. Bahwa fakta adanya golongan mayoritas
(dalam agama misalnya), hanyalah petunjuk demografis, yaitu untuk
keperluan administrasi kependudukan dan bukan untuk keunggulan
kedudukan suatu kelompok terhadap yang lain. Di dalam demokrasi,
identitas individu (agama, kelamin, pekerjaan), hanya dicatat sebagai
data statistik, dan bukan alasan pembedaan warganegara.
Ide Republik memberi kita pelajaran moral yang sangat mendasar, yaitu
etika publik harus menjadi satu-satunya ikatan kultural di antara
warganegara. Etika publik adalah hasil negosiasi keadilan, didalam
upaya memelihara kehidupan bersama berdasarkan apa yang bisa
didistribusikan di dunia, dan bukan apa yang akan diperoleh di akhirat.
III
Dan kita adalah warganegara Dunia…
Soal yang juga terus menimbulkan kemenduaan mental politik kita hari-
hari ini adalah masalah globalisasi. Ketakutan untuk masuk dalam
percakapan politik global telah menghasilkan reaksi atavistik yang
memalukan. Kita menyembunyikan kegagapan kebudayaan kita dengan
cara menyulut api nasionalisme, seolah-olah asap tebalnya dapat
menghalangi tatapan dunia terhadap praktek politik koruptif dan mental
feodal bangsa ini. Nasionalisme menjadi semacam “mantra penangkal
bala” setiap kali kita membaca laporan-laporan dunia tentang index
korupsi kita yang masih tinggi. Nasionalisme kita pasang sebagai tameng
setiap kali diperlukan evaluasi hak asasi manusia dan kebebasan pers
oleh masyarakat internasional. Kita tidak memberi isi nasionalisme itu
sebagai ide yang dinamis, “in-the-making”, tetapi kita menyimpannya
sebagai benda mati dan memperlakukannya sebagai jimat politik.
Tentu saja kita masih masih perlu memandang diri sendiri melalui
cermin-cermin identitas yang dipasang mengelilingi hidup komunal kita.
Cermin-cermin itu seperti memberi rasa aman primitif kepada identitas
seseorang. Kita bahkan perlu menggosok cermin itu agar kilaunya
menimbulkan rasa unggul primitif pada kelompok. Tetapi sekali kita
melangkah ke luar rumah, narsisisme itu tidak lagi banyak gunanya. Di
dunia nyata, yang kita temukan adalah berbagai masalah sosial yang
tidak mungkin sekedar diatasi dengan doa, sesajen dan mantra. Politik
kelas tidak dapat ditunggu penyelesaiannya di akhirat. Demikian juga
kerusakan lingkungan tidak dapat ditangkal oleh komat-kamit sejumlah
dukun. Kesetaraan gender, bahkan menuntut cermin-cermin itu
dipecahkan!
IV
Di Republic of Hope
Terima kasih.