Anda di halaman 1dari 18

MARHAENISME

Disusun untuk keperluan kaderisasi marhaenis indragiri


hilir
Gerakan Kebangkitan Rakyat Marhaen

Keadaan Masyarakat Masa Penjajahan


Kesengsaraan yang terjadi pada rakyat Indonesia yang hidup di bawah penjajahan
kolonial Belanda merupakan obyek dari pemikiran Soekarno. Soekarno berupaya
keras untuk merumuskan persoalan nyata yang dihadapi bangsa Indonesia.
Soekarno mempelajari sejarah Indonesia secara mendalam. Ia hidup di dalamnya,
melihat dan mengalami, bahwa kehidupan di Indonesia sangat berlawanan antara
minoritas kelompok yang kaya dengan kelompok yang miskin. Bahkan kurang
lebih 92% dari rakyat Indonesia pada masa kolonial hidup dalam keadaan miskin
akibat penjajahan dan kapitalisme. Dalam tatanan masyarakat yang tidak adil itulah
timbul keinginan untuk memberontak. Dengan terhapusnya penjajahan di
Indonesia maka akan merubah kehidupan rakyat Indonesia.
Pada permulaan abad ke- 17, Belanda telah memperkuat dalam satu persaingan dan
memonopoli perdagangan Indonesia. Dengan mendirikan VOC (Verenigde Oost
Indische Compagnie) pada tahun 1602. Kekerasan, paksaan dan tipu daya
dijalankan oleh VOC agar hasil bumi hanya dijual kepadanya. V.O.C. tidak hanya
memonopoli membeli dengan harga murah tetapi ingin berkuasa dengan
menentukan harga sendiri.
Seratus lima puluh tahunnya Belanda menjalankan kekejaman dan kekerasan
terhadap rakyat Indonesia. Untuk menjalankannya, Belanda menggunakan kaum
feodal Indonesia, dari yang paling tinggi sampai paling rendah diikutsertakan
sebagai kaki tangan Belanda untuk menindas dan memeras rakyat. Oleh karena
itulah, di Indonesia tidak tumbuh suatu kelas borjuis yang berkuasa, kekuasaan
feodal pun sudah lumpuh dan dijadikan kaki tangan Belanda.
Di masa penjajahan Belanda dan dari pemerasan yang sangat kejam maka lahirlah
suatu kelas yang pada awalnya tidak ada di Indonesia, yakni kelas proletar yang
berasal dari petani yang sama sekali tidak punya tanah. Kaum proletar, kaum tani
melarat dan golongan melarat yang lain itulah yang oleh Soekarno disebut dengan
satu nama kolektif marhaen, yakni kelas yang diperas pada masa Belanda, oleh
imperialisme dan kapitalisme. Selama kaum penjajah bersama kaum feodal
berkuasa, kehidupan rakyat akan hidup dengan rasa takut dan menderita.
Sepanjang
masa rakyat ditindas dari satu generasi ke generasi berikutnya tanpa perubahan
hidup.

Pengertian dan Konsep Dasar Marhaenisme


Asal kata Marhaenisme berawal pada saat Soekarno merasa perlu mencari kata
pemersatu rakyat. Karena dalam propaganda PKI istilah “orang kecil” seringkali
dipakai untuk mengacu kepada kaum proletar. Menurut Soekarno di Indonesia
yang miskin bukan hanya golongan proletar tetapi hampir keseluruhan rakyat
Indonesia dalam kemiskinan akibat kapitalisme.
Soekarno mendapat istilah Marhaenisme berawal ketika pada suatu hari saat
sedang jalan-jalan di desa Kiduleun Cigereleng, Bandung. Ia berjumpa dengan
seorang petani yang sedang mengerjakan sawah kepunyaannya sendiri, dengan
menggunakan alatnya sendiri. Dalam benak Soekarno terbesit jelas bahwa ia bukan
proletar karena tidak menjual tenaganya, walau demikian petani tersebut hidup
dalam kemiskinan. Soekarno menanyakan namanya? Marhaen, jawab si petani.
Setelah peristiwa tersebut, Soekarno mendapatkan ilham untuk menggunakan
namanya untuk menggambarkan penderitaan rakyat Indonesia.
Dari asal perkataan ini sudah jelas dan nyata bahwa Marhaen adalah kata
pemersatu. Karena di Indonesia yang miskin bukan hanya proletar -yang hanya
menjual tenaga atau jasanya- tetapi orang yang memiliki tempat pun termasuk.
Entah ia sebagai petani, buruh, nelayan, pegawai, sarjana, maupun dokter, selama
ia dalam keadaan miskin maka ia adalah marhaen. Dalam pembelaannya, Soekarno
memakai istilah Marhaenisme dengan makna yang lebih luas. Marhaenisme
disamakan dengan “massaisme” atau kekuatan massa, meski mereka kecil dalam
status dan kepemilikan, namun mereka besar dalam jumlah yang bila disatukan
bisa menjadi kekuatan besar melawan kolonialisme.
“Pergaulan hidup marhaen, - pergaulan hidup yang sebagian besar
sekali adalah terdiri kaum tani kecil, kaum buruh kecil, kaum pedagang
kecil, kaum pelajar kecil, pendek kata : . . . . kaum kromo dan kaum
marhaen yang apa-apanya semua kecil.”

Kaum marhaen bukan hanya kaum buruh, melainkan juga petani kecil, pedagang
kecil dan pelajar kecil. Bahkan, dalam perkembangannya kaum marhaen bukan
hanya kaum kecil atau kaum melarat saja. Setelah Marhaenisme dijadikan asas
oleh Partindo, orang yang disebut marhaenis adalah tiap-tiap orang bangsa
Indonseia yang menjalankan Marhaenisme.

Konsep Dasar Marhaenisme


Ide yang mendasari Soekarno dalam merumuskan Marhaenisme diawali dari
penelusuran historis yang dialami pada saat itu, yaitu kolonialisme Belanda yang
menurut Soekarno menyebabkan kesengsaraan rakyat dan kemajemukkan
masyarakat Indonesia dalam suku, budaya, agama maupun aliran-aliran politik.39
Dari penelusuran historis tersebut membuat Soekarno mencari cara bagaimana
mempersatukan masyarakat Indonesia yang majemuk tersebut. Mengenai
banyaknya aliran politik yang terjadi pada saat itu, Soekarno menawarkan jalan
keluar yaitu dengan ide menyatukan aliran-aliran tersebut dengan ide NASAKOM
(Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme). Soekarno menawarkan ide tersebut
dikarenakan masing-masing aliran memiliki tujuan yang sama namun berjuang
sendiri-sendiri.
Berdasarkan dari penelusuran historis tersebut, Soekarno berupaya untuk
menggalang rasa sentimen kebangsaan rakyat Indonesia yang pada saat itu tercerai
berai. Dimulai dengan menawarkan ide tentang nasionalisme serta merumuskan
model nasionalisme yang sesuai dengan kondisi Indonesia. Konsep nasionalisme
Soekarno sangat dipengaruhi oleh pemikiran Ernest Renan (1882) dengan
pendapatnya tentang bangsa. Menurut Renan bangsa adalah suatu nyawa, suatu
azas- akal, yang terjadi dari dua hal:
1. Rakyat itu dari awal harus bersama-sama menjalani suatu riwayat.
2. Rakyat itu sekarang harus mempunyai kemauan, keinginan hidup menjadi
satu. Bukan sekedar jenis ras, bahasa, agama, persamaan kebutuhan dan
batas- batas negeri yang menjadi bangsa.
Nasionalisme Soekarno berawal dari suatu bangsa, yaitu rakyat. Pengertian rakyat
dalam konsep bangsa di atas adalah sekumpulan manusia yang secara historis
mempunyai kesamaan riwayat, kemauan dan keinginan untuk menjadi satu.
Penekanan dalam konsep nasionalisme Soekarno, yaitu tentang kesadaran akan
nasib. Apa yang diinginkan oleh Soekarno adalah adanya perubahan nasib dari
bangsa yang tertindas dan terjajah menjadi bangsa yang merdeka dan memiliki
harga diri.
“Nasionalisme adalah suatu itikad, suatu keinsyafan rakyat, bahwa
rakyat itu adalah satu golongan, satu bangsa.... Rasa nasionalistis itu
akan menimbulkan suatu rasa percaya akan dirinya sendiri, rasa yang
mana adalah perlu sekali untuk mempertahankan diri di dalam
perjuangan menempuh keadaan-keadaan yang mau mengalahkan kita.”

Di atas disebutkan bahwa nasionalisme adalah keinsyafan (kesadaran) rakyat.


Untuk menyadarkan dan membangkitkan rakyat, Soekarno menyebutkan ada tiga
cara yaitu:
1. Menunjukkan kepada rakyat, bahwa mereka punya masa lalu adalah masa
lalu yang indah.
2. Membangkitkan kesadaran rakyat, bahwa mereka punya masa kini adalah
masa kini yang gelap.
3. Memperlihatkan kepada rakyat sinarnya masa depan yang berseri- seri dan
terang, serta cara mendatangkan masa depan yang penuh dengan janji-janji
itu.
Dari pengertian nasionalisme di atas, Ruslan Abdulgani merumuskan tiga aspek
nasionalisme Indonesia. Pertama, aspek politik, bersifat menumbangkan dominasi
politik bangsa asing untuk menggantikannya dengan suatu sistem pemerintahan
yang demokratis. Kedua, aspek sosial-politik, bersifat menghentikan eksploitasi
ekonomi asing, dan membangun masyarakat baru yang bebas dari kemelaratan dan
kesengsaraan. Ketiga, aspek kultural, bersifat menghidupkan kembali kepribadian
bangsa Indonesia yang disesuaikan dengan perkembangan jaman. Dari konsep
nasionalisme tersebut, Soekarno merasa perlu adanya ideologi yang mampu
menjembatani antara ide tentang negara yang diinginkan oleh rakyat Indonesia
dengan realitas masyarakat Indonesia.
Nasionalisme Soekarno yang disebut sebagai sosio-nasionalisme. Sosio-
nasionalisme diambil dari kata sosio yang berarti masyarakat dan nasionalisme
yang berarti perasaan yang mengikat atas dasar kesamaan asal-usul, rasa memiliki,
hubungan yang erat. Jadi sosio-nasionalisme adalah nasionalisme masyarakat,
nasionalisme yang mencari keselamatan seluruh masyarakat dan bertindak sesuai
dengan keadaan masyarakat tersebut.
Nasionalisme Soekarno adalah nasionalisme yang sadar akan keadaan masyarakat
yang menderita karena penindasan imperialisme dan sadar akan keharusan
menentang dan meruntuhkannya agar dapat mendirikan suatu masyarakat baru
yang adil dan makmur tanpa penderitaan, serta bersandarkan atas azas
perikemanusiaan. Sosio-nasionalisme ini merupakan prinsip awal Marhaenisme.
Konsep ini digunakan pada masa perjuangan.
Prinsip kedua adalah sosio-demokrasi di mana konsep ini digunakan setelah
Indonesia merdeka, sosio-demokrasi bukan hanya demokrasi politik yang
menitikberatkan pada kekuasaan kelembagaan melainkan juga mencakup bidang
ekonomi yang menekankan bahwa setiap warga negara memiliki hak, kewajiban
dan perlakuan yang sama dalam bidang ekonomi. Kedua prinsip tersebut tidak
dapat dipisahkan dan saling berhubungan. Konsep sosio-nasionalisme dan sosio-
demokrasi kemudian dalam kongres Partindo 1933 dijadikan sinonim dari istilah
Marhaenisme.
Soekarno memberi penegasan terhadap konsep sosio-nasionalisme dan sosio-
demokrasi, yakni membebaskan seluruh rakyat Indonesia dari belenggu
kemiskinan dan kesengsaraan.
“Sosio-nasionalisme adalah nasionalisme marhaen, dan menolak tiap
tindak borjuisme yang menjadi sebabnya kepincangan masyarakat itu.
Jadi: sosio-nasionalisme adalah nasionalisme politik dan ekonomi –
suatu nasionalisme yang bermaksud mencari keberesan politik dan
keberesan ekonomi, keberesan negeri dan rezeki Sosio-demokrasi
adalah timbul karena sosio-nasionalisme.”
Konsep Marhaenisme yang merupakan sinonim dari konsep sosio- nasionalisme
dan sosio-demokrasi merupakan dasar sendi sistem pemerintahan yang bukan
hanya memiliki ciri demokrasi dalam bidang politik saja, melainkan juga
mencakup sendi demokrasi ekonomi. Konsep ini membedakan sistem demokrasi
Barat yang hanya mencakup sendi politik saja dengan sistem demokrasi yang
diinginkan oleh Marhaenisme Soekarno.

Ide sentral dari Marhaenisme yang mencakup aspek demokrasi politik dan
ekonomi, sama halnya dengan ide sentral yang terkandung dalam tema demokrasi,
yaitu partisipasi rakyat. Dalam demokrasi politik dituntut tersedianya ruang bagi
rakyat untuk terlibat dan berpartisipasi dalam sistem politik, sama halnya dengan
demokrasi ekonomi, Soekarno mensyaratkan dilibatkannya partisipasi rakyat
dalam sistem ekonomi. Partisipasi rakyat yang terangkan dalam demokrasi
sendiri telah
memberikan arti pada pemanfaatan secara optimal segenap potensi rakyat dalam
segi politik maupun segi ekonomi. Pengelolaan potensi ekonomi yang bertujuan
untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ini dikelola
dengan sistem padat karya.

Sejarah Kelahiran dan Perkembangan Marhaenisme


Pada tahun 1920-an kehidupan ekonomi di Indonesia masih bergantung pada
pertanian dan pekebunan. Belum banyak industri berdiri dan belum banyak kaum
buruh miskin. Untuk menggerakkan revolusi di Indonesia tidak mungkin
mengandalkan kaum buruh yang jumlahnya hanya sedikit. Soekarno menemukan
cara untuk menggerakkan revolusi setelah menemukan seorang petani yang
bernama Marhaen. Petani tersebut memiliki lahan, memiliki alat dan bekerja untuk
dirinya sendiri, namun kehidupannya masih miskin. Banyak rakyat miskin yang
ditemui Soekarno adalah orang-orang yang berkehidupan miskin seperti pak
Marhaen. Soekarno menamakan kelompok ini sebagai kelompok Marhaen. Dan
Soekarno berpendapat bahwa perubahan akan berhasil jika Marhaen bersatu.
Marhaenisme lahir sebagai suatu ajaran tentang azas dan cara perjuangan rakyat
Indonesia dari masyarakat kolonial. Lahirnya Marhaenisme ketika pergerakan
kemerdekaan nasional seolah-olah dilumpuhkan oleh imperialisme Belanda.
Pergerakan kemerdekaan nasional seluruhnya terkena tindakan keras Belanda,
setiap pemimpin baik itu nasionalis maupun Islam dicurigai, dipersempit
langkahnya dan ditangkapi.
Dengan menggunakan teori dialektika Marxisme, Soekarno menemukan bahwa
adanya pertentangan antara dua kekuatan, yaitu pertentangan antara yang terjajah
dengan yang menjajah. Pertumbuhan dan perkembangan imperialisme di Indonesia
yang menyebabkan penderitaan rakyat. Soekarno berpendapat bahwa rakyat
Indonesia dapat menghentikan penderitaan tersebut dengan melakukan perlawanan
dengan membentuk kekuatan dalam suatu organisasi dan ruh dari pembentukan
kekuatan rakyat itu adalah nasionalisme.
Rakyat Indonesia yang pada waktu itu sudah bergerak belum dapat
memformulasikan secara tegas makna dan tujuan dari nasionalisme Indonesia
tersebut. Pada pertengahan tahun 1927 tepatnya pada tanggal 4 Juli 1927 akhirnya
ketegasan itu tercapai. Ketegasan formulasi tentang azas dan cara perjuangan
tersebut tercapai dengan lahirnya Marhaenisme dan Partai Nasional Indonesia
(PNI).
Tuntutan perbaikan nasib rakyat menggerakkan hatinya. Dalam karangannya yang
berjudul Mencapai Indonesia Merdeka, Soekarno berkata:
“Kita bergerak karena kesengsaraan kita, kita bergerak karena ingin hidup
yang lebih layak dan sempurna. Kita bergerak tidak karena “ideal” saja,
kita bergerak karena ingin cukup makanan,ingin cukup perumahan, ingin
cukup pendidikan, ingin cukup minimum seni dan kultur, -pendek kata kita
bergerak karena ingin perbaikan nasib di dalam segala bagian-bagian dan
cabang-cabangnya.”

Marhaenisme dan Pancasila


Formulasi tentang Marhaenisme selanjutnya mendapat penjelasan secara detail dan
luas dalam konsep ideologi yang kemudian dinamakan oleh Soekarno sebagai
Pancasila. Dalam pidatonya di hadapan BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Soekarno
menawarkan gagasan ideologi yang berisi lima prinsip dasar yaitu:
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme (Peri kemanusiaan)
3. Mufakat (Demokrasi)
4. Kesejahteraan Sosial
5. Menyusun Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa
Pada sila Kebangsaan Indonesia berarti suatu kebangsaan yang luas, bukan
kebangsaan yang chauvinisme, melainkan kebangsaan yang menuju persatuan
dunia dan persaudaraan dunia. Peri kemanusiaan dalam sila kedua mengandung arti
bahwa bangsa Indonesia hendak hidup berdampingan dengan seluruh bangsa di
dunia atau internasionalisme. Internasionalisme ini akan hidup jika bersandarkan
nasionalisme yang luas dan berdasarkan peri kemanusiaan.
Pada sila ketiga yaitu demokrasi berarti demokrasi dalam segala bidang kehidupan
rakyat dan tidak berdasarkan keputusan mayoritas melainkan musyawarah untuk
mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan.
Bangsa Indonesia bukan negara untuk satu golongan. Dengan cara mufakat, kita
memperbaiki segala hal, juga kselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan
atau permusyawaratan di dalam badan perwakilan rakyat.
Prinsip ketiga, permufakatan, perwakilan, di situlah kita mempropagandakan ide
kita masing- masing dengan cara yang tidak onverdraagzaam, yaitu cara yang
berkebudayaan.
Sila keempat merupakan tujuan dari sila ketiga yaitu untuk kesejahteraan sosial.
prinsip tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka.
Untuk menuju kesejahteraan perlu adanya dewan pewakilan. Di Eropa ada
demokrasi parlementer. Menurut Jean Jaures; di dalam Parlementaire Democratie,
tiap-tiap orang mempunyai hak yang sama. Hak politik yang sama, tiap orang
dapat memilih, dan dapat masuk dalam parlemen. Tetapi tidak ada Sociale
Rechtvaardigheid (kesejahteraan sosial). Jika kita mencari demokrasi, jangan
demokrasi barat. Tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-
ekonomische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.
Dan yang terakhir sila ketuhanan menghendaki tiap-tiap warga menyembah Tuhan-
nya dengan leluasa dan tidak ada paksaan. hendaknya menyusun Indonesia
Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan leluasa.
Prinsip yang kelima ialah ketuhanan yang berkebudayaan –ketuhanan yang berbudi
pekerti yang luhur, ketuhanan yang menghormati satu sama lain-.
Kelima prinsip di atas kemudian dinamakan sebagai Pancasila. Namun dalam
kesempatan tersebut, Soekarno tidak menawarkan permanen. Konsep ini masih
terbuka untuk dirubah, dan untuk perubahan tersebut Soekarno menawarkan
konsep Trisila yang secara substansial merupakan kristalisasi dari konsep
Pancasila, yakni sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan.
Menurut Soekarno, prinsip kebangsaan Indonesia dan internasionalisme bisa
disatukan menjadi konsep sosio-nasionalisme, prinsip mufakat dan kesejahteraan
bisa disatukan menjadi konsep sosio-demokrasi, sedangkan prinsip Ketuhanan
Yang Maha Esa berdiri sendiri. Konsep trisila ini sama dengan konsep
Marhaenisme – sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi - yang ditambah dengan
Ketuhanan Yang Maha Esa.

Konsep ini diungkapkan oleh Soekarno dalam pernyataannya:


“atau barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima
itu? Saya boleh peras sehingga tinggal tiga saja Dua dasar yang
pertama,
kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan peri kemanusiaan, saya
peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan sosio-
nasionalisme.....
Demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu. Inilah
yang dahulu saya namakan sosio-demokrasi. Tinggal lagi ketuhanan yang
menghormati satu sama lain. Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga:
sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan ketuhanan.”

Tawaran Soekarno tersebut selanjutnya dibahas oleh ‘Panitia Sembilan’ yang


terdiri dari Soekarno, Moh. Hatta, AA Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul
Kahar Muzzakir, Haji Agus Salim, Ahmad Subardjo, Wahid Hasyim, dan Muh.
Yamin. Hasil pembahasan ini kemudian dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta
yang diselesaikan pada tanggal 22 Juni 1945. dalam dokumen ini ditetapkan
sebagai berikut:
1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya
2. (Menurut dasar) kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. (Dan) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan
5. (Serta dengan mewujudkan suatu) keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia
Dalam perkembangannya rumusan Piagam Jakarta tersebut mengalami perubahan
dan disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
pada tanggal 18 Agusus 1945 sebagai dasar negara Republik Indonesia yang
diproklamasikan kemerdekaannya oleh Soekarno dan Moh. Hatta. Rumusan
tersebut yang tetap bernama Pancasila itu adalah:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Setelah melalui pergulatan pemikiran yang panjang dan lama dari sejak lahirnya
Marhaenisme pada 4 Juli 1927, serta didiskusikan secara panjang dan lebar,
jelaslah bahwa gagasan tentang pokok-pokok dasar Pancasila sudah ada.

Sembilan Tesis Marhaenisme


Dalam menjelaskan Marhaen dan Marhaenisme, Sukarno membuat tesis- tesis
yang kemudian dalam konferensi Partindo di Jogjakarta pada awal tahun 1933
menetapkan dan mendeklarasikannya. Tesis-tesis yang ditetapkan dan
dideklarasikan antara lain sebagai berikut:
1. Marhaenisme, yaitu sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.
2. Marhaen yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat
dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain.
3. Partindo memakai perkataan Marhaen, dan tidak proletar, oleh karena
perkataan proletar sudah termaktub di dalam perkataan Marhaen, dan oleh
karena perkataan proletar itu bisa juga diartikan bahwa kaum tani dan lain-
lain kaum yang melarat tidak termaktub di dalamnya.
4. Karena Partindo berkeyakinan bahwa di dalam perjuangan, kaum melarat
Indonesia lain-lain itu yang harus menjadi elemen-elemennya (bagian-
bagiannya), maka Partindo memakai perkataan Marhaen itu.
5. Di dalam pejuangan Marhaen itu maka Partindo berkeyakinan, bahwa kaum
proletar mengambil bagian yang besar sekali.
6. Marhaenisme adalah azas yang menghendaki susunan masyarakat dan
susunan negeri yang di dalam segala halnya menyelamatkan Marhaen.
7. Marhaenisme adalah pula cara perjuangan untuk mencapai susunan
masyarakat dan susunan negeri yang demikian itu, yang oleh karenanya,
harus dengan cara perjuangan revolusioner.
8. Jadi Marhaenisme adalah; cara perjuangan dan azas yang menghendaki
hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan imperialisme.
9. Marhaenis adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia yang menjalankan
Marhaenisme.
Banyak kaum marhaen yang bukan marhaenis, karena tidak menjalankan
Marhaenisme. Dan sebaliknya ada pula dari kelas borjuis yang meninggalkan
kelasnya dan masuk ke dalam kelas marhaenis. Mereka yang menjadi marhaenis
dilihat dari faktor karakter dan moral, sebab tanpa karakter dan moral orang dapat
dengan mudah menyimpang dari jalan dan cita-cita yang tadi dijunjung tinggi.
Faktor karakter membuat seorang setia kepada cita-cita idealnya walau dihadapkan
dengan segala situasi. Dan faktor moral yang merupakan kekuatan bathin yang
membuat kita bersatu dengan anggota masyarakat dan mendorong kita melakukan
perbuatan demi kepentingan umum.

Marhaenisme Sebagai Kategori Kelas


Istilah kelas memiliki pengertian secara politis seperti saat ini, berawal dari pokok
analisa Marx tentang struktur masyarakat, yang berhasil melakukan suatu analisis
tentang hubungan kelas dan peranan kelas-kelas tertentu dalam periode sejarah
yang silih berganti.
Setiap periode menampilkan suatu kelas progresif dengan kepentingan dan
tindakannya yang tersendiri, yang akan memajukan perkembangan sosial,
sedangkan kelas yang lain yang reaksioner melancarkan perlawanannya terhadap
perkembangan tersebut. Dalam kapitalisme yang menjadi kelas progresif adalah
kaum proletar, sedangkan kelas reaksioner adalah kaum borjuis. Kelas progresif ini
selalu melakukan perlawanan terhadap kelas reaksioner yang merupakan kelompok
hasil gabungan dari kaum feodal, birokrat, militer, agama, dan pemodal.
Sama halnya yang terjadi di Indonesia pada masa imperialisme Belanda.
Pemerintah Belanda yang reaksioner tak henti-hentinya menahan dan melawan
setiap langkah- langkah progresif yang dilakukan oleh bangsa Indonesia. Namun
kelas progresif di Indonesia yang melakukan perlawanan terhadap imperialisme
Belanda bukan hanya kelas proletar saja, tetapi juga termasuk kaum tani, kaum
pelajar, dan tokoh-tokoh agama terutama Islam. Melihat fenomena ini, Soekarno
kemudian merumuskan istilah Marhaen yang merupakan kelas progresif Indonesia.
Kelas progresif dalam Marxisme terjadi karena kontradiksi pada proses produksi
yang kapitalistik, sedangkan kelas progresif di Indonesia dikarenakan kekuatan
produksi dan hubungan produksi. Kekuatan produksi rakyat Indonesia yang
melimpah dijalin dalam suatu hubungan produksi yang eksploitatif dan
monopolistik yang mengakibatkan rakyat Indonesia menjadi semakin dirugikan
dan semakin melarat. Keberpihakan Marhaenisme pada kaum melarat ini sama
dengan keberpihakan Marxisme.
Kaum marhaen ini terdiri dari tiga unsur, pertama kaum proletar (buruh) Indonesia,
kedua kaum tani Indonesia, dan ketiga kaum melarat Indonesia. Sedangkan kaum
marhaenis adalah setiap pejuang yang mengorganisir kaum marhaen dengan massa
aksi tersebut untuk menghancurkan sistem kapitalisme, imperialisme, dan
kolonialisme, serta bersama-sama membangun negara dan masyarakat yang kuat,
adil dan makmur. Istilah melarat menunjukkan bahwa posisi kaum marhaen berada
di level bawah dalam stratifikasi masyarakat.
Dalam wacana politik modern, kelas progresif merupakan sasaran bagi kelas
reaksioner untuk memecah-belah kelas progresif dan kemudian dihancurkan.
Kemungkinan ini kemudian diantisipasi dengan muncul istilah kelas menengah
sebagai identifikasi baru bagi kelas progresif. Kelas progresif ini merupakan
kombinasi dari kelas bawah dan kelas menengah seperti kelompok intelektual
progresf, kelompok agama progresif, dan lain sebagainya. Dari penjelasan ini maka
Marhaenisme secara substansial sebenarnya kelas menengah progresif Indonesia
yang berjuang untuk menghapus segala kesengsaraan dan penderitaan yang
diakibatkan oleh sistem kapitalisme.

Marhaenisme Sebagai Ideologi Perjuangan


Secara etimologi (sejarah kata), ideologi berasal dari kata idea yang berarti pikiran,
dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara tertulis, ideologi berarti studi tentang
gagasan, pengetahuan kolektif, pemahaman-pemahaman, pendapat- pendapat,
nilai- nilai, prakonsepsi-prakonsepsi, pengalaman-pengalaman, dan atau ingatan
tentang informasi sebuah kebudayaan dan juga rakyat individual.
Ideologi-ideologi dapat dipandang sebagai artikulasi konseptual dan sikap pro dan
kontra terhadap perubahan dalam proses modernisasi tersebut. Istilah ideologi
pertama kali diperkenalkan oleh Destutt de Tracy (1754-1836) yang
mendefinisikan ideologi sebagai ilmu tentang idea. Ilmu pengetahuan ini memiliki
garapan pada upaya penetapan asal mulanya ide-ide, dalam hal ini ilmu
pengetahuan tersebut harus mengesampingkan prasangka-prasangka metafisika dan
agama. Kemajuan ilmiah hanya dapat dicapai jika ide-ide palsu dapat dihindarkan.
Aliran ideologues dari de Tracy mengikuti tradisi pencerahan Prancis dalam
kepercayaannya bahwa akal adalah alat kebahagiaan yang utama. Di sini asal mula
ideologi mempunyai konotasi positif, yaitu ilmu pengetahuan yang tepat mengenai,
yang mengatasi prasangka-prasangka agama dan metafisika, yang dapat berguna
sebagai basis baru pendidikan rakyat.
Penilaian negatif terhadap ideologi diluncurkan oleh Vilfredo Pareto (1848-1923),
mengkritik tentang apa yang dimaksud dengan cita-cita luhur atau ideologi adalah
sekedar alat perjuangan politik dan sosial yang dalam kenyataannya tidak lebih
dari rasionalisasi pengakuan-pengakuan kekuasaan. Namun tidak hanya penilaian
negatif saja yang melekat pada ideologi, Karl Mannheim (1893-1947) berpendapat
positif, menurutnya wajar jika pemikiran mengenai realitas sosial bergantung dari
kontek sosial dan ditentukan oleh harapan, kepentingan, dan cita-cita masing-
masing kelompok sosial.
Mannheim menyatakan, jika terjadi krisis dalam masyarakat, maka muncul dua
kekuatan saling bertentangan, yaitu kelompok yang memerintah dan kelompok
yang tertindas. Masing-masing kelompok mempunyai ideologi yang berbeda,
seperti kelompok penguasa mencoba mengurangi konflik dengan memelihara
status quo, perkembangan pemikiran yang selalu sesuai dengan segala zaman dan
selalu sesuai dengan interest unsur yang berkuasa. Sedangkan kelompok yang
tertindas bersifat utopia, di mana selalu tak puas dengan keadaan, mencari ide baru.
Pemikiran selalu terikat kepada orang-orang tertindas.
Marhaenisme digunakan sebagai azas atau ideologi perjuangan dipengaruhi oleh
marxisme dengan tema perjuangan kelas sebagai aspeknya. Marxisme dalam
perjuangan kelasnya hanya dalam ruang lingkup tertentu saja, yaitu perjuangan
kelas antara kelas proletar dengan kelas kapitalis, sedangkan dalam Marhaenisme
perjuangan kelasnya dalam lingkup yang luas yaitu perjuangan bangsa, perjuangan
terjadi antara bangsa yang terjajah dengan bangsa yang menjajah. Menurut
Soekarno perjuangan kelas yang terjadi di negara yang terjajah tetap ada namun
perjuangan kelas tersebut tertutup dengan perjuangan nasional yang lebih penting
dan lebih besar. Dalam artikelnya “Kapitalis Bangsa Sendiri” Soekarno
menjelaskan bahwa perjuangan yang dilakukan perjuangan yang mengutamakan
perjuangan nasional, perjuangan bangsa.
Marhaenisme sebagai sebuah dasar gerakan politik yang memuat konsep
masyarakat telah memenuhi syarat untuk disamakan dengan sebuah ideologi.
Sebagai sebuah ideologi, Marhaenisme tak lepas dari kecenderungan yang dialami
oleh setiap ideologi, bahwa suatu saat Marhaenisme akan menghasilkan suatu
kesadaran palsu dan hal itu tidak dapat dihindari. Marhaenisme sebagai ideologi
progresif merupakan suatu ideologi perlawanan terhadap ideologi reaksioner yang
direpresentasikan oleh imperialisme Belanda di Indonesia.
Marhaenisme sebagai sebuah ideologi memuat semangat pembebasan segala
proses dehumanisasi dalam sejarah kemanusiaan dan penindasan dalam struktur
sosial kemasyarakatan. Selain itu, Marhaenisme telah memiliki seperangkat
tatanan lain
yang disyaratkan bagi keabsahan sebuah ideologi, yaitu ajaran dan cara-cara
pencapaian.
Cita-cita Marhaenisme bukan hanya sekedar untuk mengusir penjajah Belanda,
tetapi juga menghilangkan ideologi kapitalisme secara keseluruhan baik itu
kapitalisme asing maupun kapitalisme bangsa sendiri. Dalam Marhaenisme,
kapitalisme adalah penyebar kesengsaraan, kemiskinan, peperangan, dan rusaknya
susunan dunia. Penolakan terhadap ideologi kapitalisme merupakan hal yang wajar
untuk hampir keseluruhan negara baru. Menurut Lyman Tower Sargent (1986)
alasan penolakan disebabkan pada identifikasi dengan kolonialisme dan
neokolonialisme. Identifikasi seperti ini mengakibatkan ketakutan yang mendalam
dan negara baru dan negara berkembang cenderung menerima sosialisme.
Dari pernyataan Sargent bahwa negara baru lebih memilih ideologi sosialisme
dikarenakan banyak negera-negara baru terlahir dari perlawanan terhadap
kolonialisme dan imperialisme yang merupakan turunan dari kapitalisme.
Sosialisme dalam hal ini dianggap sebagai ideologi pembebas dari belenggu
kapitalisme, maka wajar jika Marhaenisme lebih condong ke ideologi sosialisme.
Marhaenisme sebagai ideologi sosialis diharapkan menjadi pembebas dari segala
kesengsaraan rakyat Indonesia yang diakibatkan oleh imperialisme Belanda dan
Marhaenisme harus mampu menjembatani kesenjangan sosial yang terjadi serta
menjelaskan kondisi sosial masyarakat agar tidak menjadi suatu kesadaran palsu.

Pola Perjuangan Marhaenisme


Marhaenisme mempunyai tujuan menghapus segala bentuk sistem kapitalisme,
baik itu kapitalisme asing maupun kapitalisme bangsa sendiri. Selain itu
Marhaenisme juga berusaha menghilangkan sifat-sifat sektarianisme yang lebih
mementingkan kepentingan kelas. Hal ini Soekarno memberi penjelasan.

“.... Kita harus anti segala kapitalisme, walaupun kapitalisme bangsa


sendiri. Tetapi di situ saya janjikan pula untuk menerangkan, bahwa kita
di dalam perjuangan kita mengejar Indonesia Merdeka itu tidak pertama-
tama mengutamakan perjuangan kelas, tetapi harus mengutamakan
perjuangan nasional.”
Sebagai kekuatan politik, Marhaenisme memiliki pola perjuangan yang bersifat
non- kooperatif, yakni tidak mau bekerja sama dengan pihak imperialisme
Belanda. Non- kooperatif adalah salah satu azas perjuangan Marhaenisme untuk
mencapai Indonesia Merdeka. Di dalam perjuangan mencapai Indonesia Merdeka
Soekarno mengingatkan, bahwa adanya pertentangan kebutuhan antara kaum yang
dijajah dan kaum yang menjajah. Non-kooperatif merupakan prinsip Soekarno
dalam setiap gerakan politiknya. Gerakan non-kooperatif yang pertama kali
dilakukan Soekarno ialah tidak menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa
pengantar dalam berpidato.
“Non-kooperasi kita adalah satu azas perjuangan kita untuk mencapai
Indonesia Merdeka. Di dalam perjuangan mengejar Indonesia Merdeka
kita harus senantiasa ingat, bahwa adalah pertentangan antara sana
dan sisni, antara kaum penjajah dan kaum yang dijajah. Memang
pertentangan kebutuhan inilah yang memberi keyakinan kepada kita,
bahwa Indonesia Merdeka tidaklah bisa tercapai, jikalau kita tidak
menjalankan politik non- cooperation. Memang pertentangan kebutuhan
inilah yang buat sebagian besar menetapkan kita punya azas-azas
perjuangan yang lain-lain, misalnya machtsvorming, massa aksi dan
lain-lain.”

Non-kooperatif bukan hanya azas perjuangan saja melainkan juga suatu prinsip
yang hidup, yang tidak mau bekerja sama di segala lapangan politik dengan pihak
penjajah. Sedangkan konsep massa aksi ditegaskan sebagai pergerakan rakyat yang
bersifat masif –berjumlah banyak/massal-, dan harus bersifat radikal.89 Massa aksi
berbeda dengan aksi massal, yang membedakannya adalah sifat radikal
revolusioner. Soekarno juga menjelaskan bahwa non- kooperatif adalah berisi
aktifitas dan radikalisme -radikalisme pikiran, semangat, dan radikalisme dalam
segala sikap baik lahir maupun batin yang berdasarkan keyakinan dan kenyataan
bahwa pertentangan kebutuhan tidak dapat ditutupi. Soekarno dalam tulisannya
“Non-Cooperation Tidak Bisa Mendatangkan Massa- Aksi dan Matchsvorming”
mengungkapkan sebagai berikut:
“Tjukupkah sekian sahadja keterangan tentang massa-aksi? Tjukupkah
keterangan, bahwa massa-aksi ialah pergerakannya rakyat Marhaen
yang berdjuta-djuta? Keterangan sekian itu sama sekali belum tjukup!
Sebab keterangan kita itu melupakan satu hal lagi, jang sangat sekali
penting didalam soal massa-aksi. Keterangan kita itu masih lupa
menerangkan, bahwa massa-aksi haruslah bersemangat dan bersepak-
terdjan radikal, bersemangat dan bersepak-terdjang revolusioner.”

Sikap radikal dan non-kooperatif dipilih oleh Soekarno disebabkan kecenderungan


kelas yang berkuasa tidak akan mau menyerahkan kekuasaannya dengan suka rela.
Untuk merebut suatu kekuasaan haruslah disertai dengan usaha keras yang tidak
mengenal kompromi, dan terus memaksa kelas berkuasa untuk menyerahkan
kekuasaannya dengan massa aksi. Agar massa aksi dapat terkontrol maka
dibutuhkannya machtvorming atau pembentukkan kuasa atau tenaga.
“ Machtvorming adalah berarti vormingnya macht, pembikinan
tenaga, pembikinan kuasa. Machtvorming adalah jalan satu-satunya
untuk memaksa kaum sana tunduk kepada kita. Paksaan itu adalah
perlu oleh karena ‘sana mau ke sana, sini mau ke sini’.”

Machtvorming atau pembikinan kekuasaan ini merupakan syarat utama bagi


perjuangan mencapai Indonesia merdeka, selain massa aksi dan radikal. Soekarno
berpendapat, bahwa selama rakyat Indonesia belum membuat kekuasaan (macht)
yang kuat, masih terpecah belah, dan masih belum bisa mendorong semua
keinginannya dengan kekuasaan yang teratur dan tersusun, maka selama itu pula
kaum imperialis memandang rendah rakyat Indonesia dan mengabaikan tuntutan-
tuntutannya. Langkah dalam pembikinan kekuasaan ini dimulai dengan
pembentukan Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai organisasi yang mengontrol
pergerakan.
“partai marhaen bermaksud menjadi partai pelopor massa aksi,
haruslah mempunyai azas perjuangan yang 100% radikal; antitese,
perlawanan zonder damai, kemarhaenan melenyapkan cara susunan
masyarakat sekarang, mencapai susunan masyarakat baru.”

Untuk mewujudkan tujuan politik Marhaenisme, Soekarno telah menentukan


prasyarat yang harus dilalui oleh rakyat Indonesia. Pertama, adanya kesadaran
kelas yang tertindas, dalam hal ini diwakili oleh kelas progresif Indonesia yakni
kaum marhaen. Kedua, kelas progresif tersebut harus bersifat radikal. Ketiga,
kelas
progresif yang radikal tersebut harus membuat kekuatan pemaksa (pressure power)
untuk memaksa imperialisme Belanda menyerahkan kekuasaannya. Dan keempat,
kelas progresif radikal tersebut harus bersifat non- koopertif. Sifat non-kooperatif
ini bukan hanya sebagai pola perjuangan saja melainkan sudah menjadi prinsip
perjuangan yang tidak dapat diubah.

Rangkuman
Dari penjelasan singkat di atas dapat disimpulkan bahwa: pemikiran politik
Soekarno didasari dari satu central point, yaitu kebenciannya terhadap kapitalisme,
imperialisme dan kolonialisme. Dari pengalaman terjajah oleh kolonial Belanda
memacu semangat perlawanan Soekarno untuk membebaskan bangsa dan
negaranya dari penjajahan sekaligus mengobarkan semangat nasionalisme yang
revolusioner, dan dari teori-teori Marx, Soekarno mendapat langkah-langkah taktis
dan strategis yang dapat dijadikan sebagai pedoman perjuangan.
Dengan menggunakan metode dialektika Marxisme, Soekarno membuat konsep
untuk dijadikan dasar dan cara perjuangan untuk mencapai Indonesia merdeka dan
masyarakat yang adil dan makmur yaitu Marhaenisme. Marhaenisme merupakan
kajian terhadap fenomena masyarakat Indonesia yang agraris, melihat pertentangan
kelas secara garis besar. Soekarno menjelaskan keadaan masyarakat Indonesia dan
kenyataan yang terjadi bahwa di Indonesia ada penindasan dan penghisapan oleh
kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme terhadap rakyat Indonesia. Kenyataan
tersebut menimbulkan pertentangan antara golongan rakyat Indonesia sebagai
keseluruhan dengan golongan imperialisme yaitu penjajah.
Sama halnya dengan Marxisme, Marhaenisme memiliki konsep kelas progresif.
Namun berbeda dengan Marxisme, dalam Marhaenisme kelas progresifnya terletak
pada struktur masyarakat agraris dan cenderung memilih metode revolusi atau
perubahan nasional dari pada perubahan kelas. Revolusi nasional adalah gerakan
kemerdekaan, yaitu suatu tuntutan tegas dari hak rakyat untuk memerintah sendiri.
Marhaenisme seperti yang diungkapkan oleh Soekarno dalam Deklarasi
Marhaenisme pada rapat PNI di Makasar tahun 1933, menjelaskan tentang siapa
Marhaen, Marhaenis, dan apa Marhaenisme. Marhaen adalah setiap warga atau
orang-orang yang dimelaratkan oleh kaum imperialisme Belanda. Golongan
Marhaen terdiri dari kaum proletar, kaum tani melarat dan kaum melarat Indonesia
lain seperti nelayan, pedagang, atau bahkan kaum intelek seperti dokter,
mahasiswa
dan sebagainya. Sedangkan Marhaenis adalah setiap warga negara yang
menjalankan Marhaenisme.
Dalam perjuangannya, Marhaenisme menggunakan azas atau cara perjuangan
seperti non-kooperatif, yaitu gerakan tidak bekerja sama dalam segala hal dengan
golongan imperialisme Belanda. Massa aksi, yaitu golongan Marhaen melakukan
aksi secara radikal. Hal tersebut dikarenakan imperialisme Belanda tidak mungkin
melepaskan kekuasaannya dengan sukarela. Dan machtvorving atau pembentukkan
kekuasaan merupakan cara perjuangan modern. dengan itu dibentuknya sebuah
partai politik dengan tujuan kemerdekaan Indonesia. Dalam praktiknya, menurut
penulis, Soekarno dalam menjalankan Marhaenisme tidak sampai pada tujuannya
yaitu menuju masyarakat sosial, hanya sampai pada Indonesia merdeka .
Dalam perkembangannya, nilai-nilai atau prinsip-prinsip Marhaenisme dijadikan
sebagai dasar negara yang hingga saat ini berlaku, yaitu Pancasila. Pokok-pokok
dasar Pancasila merupakan gagasan konsep Marhaenisme, yaitu sosio-nasionalisme
dan sosio-demokrasi dengan ketuhanan. Pancasila merupakan perjuangan
Marhaenisme pasca kemerdekaan yang menitik beratkan pada dasar negara.

Catatan : Isi dari tulisan ini dikumpulkan dari berbagai refenrensi, diantaranya :
1. Marhaenisme Adjaran Bung Karno.
2. Di Bawah Bendera Revolusi.
3. Indonesia Mengugat.
4. Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno.
5. Dan jurnal, buku serta sumber lain yang tak tertulis

Anda mungkin juga menyukai