Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Sebuah paham apapun, yang hidup kapanpun dan dimanapun berada,
adalah sebuah konsep multidimensi yang hidup dan mendarah daging di
masyarakat yang menganutnya. Sehingga apabila kondisi tersebut telah
tercapai, maka tentu saja tidak akan mudah paham / ideologi tersebut akan
dimakan jaman, karena paham tersebut telah larut dalam tata nilai dan norma
pada sistim dan struktur sosial suatu masyarakat.
Hal ini telah kita buktikan bersama, dengan eksisnya hingga kini Ideologi
Pancasila yang telah kita sepakati bersama menjadi satu-satunya ideologi yang
kita terima. Bukankah sudah berkal-kali Pancasila mengalami rongrongan
ataupun ujian dari berbagai pihak yang tidak menerima dan akan
menggantikanya dengan ideologi lainnya. Ketangguhan Pancasila yang melekat
jauh–jauh dalam diri sanubari Rakyat Indonesia, adalah karena Pancasila
memiliki 3 dimensi sebagai syarat utama sebuah Ideologi, yaitu Dimensi
Realitas, Dimensi Idelisme dan Dimensi Fleksibelitas (Dr. Alfin).
Namun demikian dalam dinamika kehidupan bangsa ini diatas roda
waktu, terdapat beberapa paham yang pernah hidup di Bumi Indonesia, yang
pernah mengalami masa keemasan dalam perguliran sejarah terbentuknya
bangsa dan negara ini. Tentu saja paham tersebut oleh pendukungnya
dinyatakan tidak bertentangan dengan Dasar Ideologi Pancasila.
Salah satu paham yang pernah hidup membahana tersebut, adalah
Marhaenisme sebagai paham kerakyatan yang dikonsep oleh Soekarno sebagai
pedoman berpolitik yang lahir di tengah – tengah rakyat Indonesia yang sangat
miskin akibat tekanan dari penjajah Belanda.
Tentang makna sebenarnya dari paham Marhaenisme, bisa kita kaji pada
pernyataan Soekarno di Harian Fikiran Ra´ jat, 1 Juli 1932, Nomor I hal 2 – 3.
bahwa Marhaenisme adalah paham nasionalisme yang memihak kepada setiap
rakyat kecil ( dicontohkan Pak Marhaen dari Bogor ) yang merdeka, tidak bekerja

1
menjual tenaga dan pikiranya kepada majikannya, tetapi berjuang demi
nasibnya sendiri. Figur seperti inilah yang dikategorikan sebagai Marhenis
menurut Soekarno.
Selanjutnya dinyatakan pula bahwa meskipun seseorang memiliki profesi
sebagai buruh / tani tetapi dia masih menjual tenaganya untuk kesejahteraan
majikanya, berarti dia bukan Marhaenis meski dia seorang yang nasionalis.
Disinilah letak perbedaan antara Marhaenisme dan proletar.
Lebih jauh lagi Soekarno menyatakan bahwa yang menjadi label
seseorang Marhenis atau bukan, adalah bukan pada pakaian, status sosialnya
melainkan pada sikap pendirian dan azasnya. Pernyataan Soekarno tersebut
dikemukakan karena sebagian Rakyat Indonesia masih menghubungkan antara
Marhenisme dengan Proletariat.
Latar belakang yang mendukung lahirnya Marhaenisme di Indonesia
tidak bisa kita pisahkan begitu saja dengan kondisi masyarakat dunia pada
umumnya yang kala itu mengalami penderitaan hidup. Sebagai contoh kelas
peasant yang tertindas oleh diktator dari dinasti Louis sebelum meletusnya
Revolusi Perancis dan nasib kaum buruh dan tani di bawah tekanan Kaisar
Nicolae Tsar II sebelum terjadinya Revolusi Bolshevic di Rusia 7 November 1917.
Hampir di belahan bumi manapun, hingga abad ke-19 terdapat kelas
manusia yang miskin, tertindas, tidak memiliki daya kekuatan dan selalu
dieksploitir oleh mereka yang menggajinya, yang dalam bahasa sosiologi disebut
dengan kaum borjuis, sedangkan lapisan yang papa terekspoitir tersebut
dinamakan kaum proletarian.
Proletariat (dari Latin proles) adalah istilah yang digunakan untuk
mengidentifikasikan kelas sosial rendah; anggota kelas tersebut disebut
proletarian. Awalnya istilah ini digunakan untuk mendeskripsikan orang tanpa
kekayaan; istilah ini biasanya digunakan untuk menghina. Di era Roma Kuno
penamaan ini memang sudah ada dan bukan hanya orang tanpa kekayaan saja,
melainkan juga kelas terbawah masyarakat tersebut.
Fenomena sosologis ini telah merata terjadi di Benua Eropa dan Asia.
Meski demikian nasib Bangsa Indonesiapun tidak kalah menderitanya dengan
Bangsa Bangsa Eropa. Lantaran nafsu serakah Bangsa Belanda yang menafikan
hak hidup dan menentukun nasib sendiri dari bangsa kita.

2
Dengan adanya ketertindasan bangsa-bangsa tersebut diatas maka secara
kodrati merekapun bahu membahu berjuang demi penyelamatan kelasnya,
demi secercah kehidupan yang menjanjikan. Di tengah pergumulan bangsa kita
untuk memperjuangkan kebebasan untuk mendapatkan hak hidup, lahirlah
paham kerakyatan yang digagas oleh Soekarno, yang kemudian diberi nama
Marhenisme.
1.2 Tujuan dan Manfaat Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang :
1. Marhaenisme dan Perkembangannya di Indonesia.
2. Pengaruh Marhaenisme di Indonesia.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Marhaenisme, Marhaen dan Marhaenis


Perlu dikemukakan di sini apa yang disebut dengan marhaenisme,
marhaen, dan marhaenis.
Marhaenisme adalah asas yang menghendaki susunan mayarakat dan
negara yang di dalam segala halnya menyelamatkan kaum Marhaen.
Marhaenisme diambil dari nama Marhaen yang merupakan sosok petani miskin
yang ditemui Sukarno. Kondisi prihatin yang dialami seorang petani miskin itu
telah menerbitkan inspirasi bagi Sukarno untuk mengadopsi gagasan tentang
kaum proletar yang khas Marxisme.
Marhaenisme adalah dua asas dan cara perjuangan "tegelijk", menuju
kepada hilangnya kapitalisme, imprealisme dan kolonialisme. Ideologi politik yg
tumbuh dan berkembang di Indonesia berdasarkan keadaan dan keinginan
masyarakat Indonesia dng asas sosionasional, sosiodemokrasi, gotong royong,
kebangsaan, kemerdekaan beragama, dan kerakyatan.
P.J.M presiden soekarno:
Marhaenisme adalah salah satu kata pemersatu. Aku ingin
memepersatukan kaum melarat di Indonesia ini, bukan hanja kaum buruh sadja,
sebab umpama kaum buruh sadja saja bisa menamakan dia proletar. Tetapi saja
ingin mempersatukan kaum buruh, ja tani, ja pegawai, ja supir, ja opas, ja
nelajan, ja ini, ja ini, ja ini, semua kaum melarat Indonesia ingin aku persatukan
didalam satu kata, dan Tuhan telah member ilham kepada saja, berdjumpa
dengan ini kawan petani jang miskin, jang bukan proletar, dan aku beri nama
kepada semua kaum melarat itu Marhaen.
Marhaen adalah setiap rakyat Indonesia yang melarat atau yang lebih
tepat yang telah dimelaratkan oleh sistem kapitalisme dan kolonialisme. Kaum
Marhaen terdiri dari tiga unsur, yaitu: kaum proletar (buruh), kaum petani
melarat, dan kaum melarat Indonesia lainnya.

4
Kaum tertindas adalah rakyat jelata yang merupakan bagian terbesar
dalam masyarakat manapun juga. Mereka menderita lahir batin selama
puluhan, ratusan, bahkan ribuan tahun oleh tindakan golongan yang lebih kuat
atau sedang berkuasa. Mereka menderita bukan hanya penindasan oleh
golongan yang berkuasa tetapi juga karena kebodohan, kurang pengertian, dan
kurang kesadaran. Karena kebodohan dan kurang kesadaran inilah penindasan
berlangsung terus-menerus. Mereka menderita karena sistem feodal,
imperialime, kolonialisme, atau kapitalisme.
"Marhaen" diambil dari nama seorang petani yang ditemui Soekarno. Ia
adalah seorang petani dari Bandung selatan. Marhaen digunakan untuk
menggambarkan kelompok masyarakat Indonesia yang menderita/sengsara
bukan karena kemalasan atau kebodohannya, akan tetapi sengsara atau
disengsarakan oleh sistem kapitalisme-kolonialisme.
Kaum Marhaen ini terdiri dari tiga unsur, Pertama : Unsur kaum proletar
Indonesia (buruh) Kedua : Unsur kaum tani melarat Indonesia, dan Ketiga : kaum
melarat Indonesia yang lain-lain.
Marhaen adalah istilah politik. Ia meliputi semua kaum yang melarat di
Indonesia: baik yang proletar maupun yang bukan proletar, yakni yang buruh
maupun yang bukan buruh. Kaum tani melarat yang masih ‘merdeka’ itu, juga
termasuk dalam istilah ini.
Berkata bapak marhaenisme Bung Karno
Marhaen, nama ini aku berikan kepada semua orang Indonesia jang
melarat, baik proletar maupun jang bukan proletar, asal melarat. Baik buruh,
maupun tani, maupun nelajan, maupun pegawai di kantor, maupun insijur2,
maupun mester-mester, maupun dokter2, asal dia melarat, artinja ketjil, saja
namakan dia marhaen.
Marhaenis artinya orang yg termasuk dl golongan marhaen; atau
pemimpin kaum marhaen yg berjuang untuk rakyat (kaum kecil).
Marhaenis adalah setiap pejuang dan setiap patriot bangsa yang
menghimpun berjuta-juta kaum Marhaen dan bersama-sama massa Marhaen
itu hendaknya menumbangkan kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme.
Mereka bersama-sama kaum Marhaen bekerja keras membangun negara dan
bangsa yang kuat, bahagia, sentosa, adil dan makmur.

5
2.2 Tujuan
Maksud penyusunan naskah ini untuk memberikan gambaran tentang
kondisi masyarakat Indonesia terhadap penghayatan dan pengamalan nilai-nilai
marhaenisme dan Pancasila sebagai dasar dan ideologi ditengah arus dinamika
global, dengan tujuan sebagai salah satu masukan atau sumbang saran kepada
Pemerintah dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan strategi
pembinaan masyarakat dalam menghayati dan mengamalkan nilai-nilai
Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara guna tetap menjaga
kedaulatan NKRI.
Tujuan dari perjuangan marhaenis adalah: "Masyarakat marhaenis atau
masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila".
2.3 Marhaenisme Masa ke Masa
Di bulan September 1958, Bung Karno telah menjawab klaim marhaenis
di kalangan para pendukungnya. Dalam pidatonya di istana negara itu, Bung
Karno mengatakan bahwa marhaenisme adalah marxisme yang
diselenggarakan, dicocokkan, dilaksanakan di Indonesia.
Pidato itu adalah sebuah penegasan, setidaknya kepada kader-kader
marhaen yang masih komunisto-phobia, bahwa marhaenisme adalah marxisme.
Segera setelah itu, muncul penentangan dari dalam kubu Partai Nasionalis
Indonesia (PNI) sendiri, terutama dari kubu Ketua Umum PNI, Osa Maliki. Kata
Osa Maliki, “Marhaenisme berlawanan dengan Marxisme”.
Tetapi Soekarno tidak hanya sekali mengatakan bahwa Marhaenisme
adalah Marxisme yang diterapkan di Indonesia. Itu dikatakannya berkali-kali,
bahkan semakin diperlengkap dan disistematisir. Misalnya, pada tahun 1936
ketika berpidato di hadapan Front Marhaenis, Bung Karno mengatakan bahwa
untuk memahami Marhaenisme, maka kita harus menguasai dua pengetahuan:
(1) pengetahuan tentang situasi dan kondisi Indonesia, dan (2) pengetahuan
tentang marxisme.
Soekarno mengakui bahwa dirinya sangat dipengaruhi oleh ajaran Karl
Marx, terutama tentang materialisme-historisnya. Dan, pada saat itu, Soekarno
jelas-jelas menyebut Marhaenisme sebagai penerapan materialis-historisnya
Karl Marx dalam kekhususan masyarakat Indonesia.

6
Dalam Dictionary of the Modern Politics of South-East Asia (1995), karya
Michael Laifer, disebutkan bahwa marhaenisme adalah salah satu varian dari
marxisme. Mungkin bisa disejajarkan dengan Maoisme, José Carlos Mariátegui,
Sosial demokrat, Leninisme, dan lain sebagainya.
Bung Karno mulai mengelaborasi gagasan-gagasan yang membentuk
marhaenisme pada tahun 1920-an. Untuk mengerti gagasan-gagasan tersebut,
tentu kita kita harus melihat kembali konteks saat itu. Pada saat itu, ada tiga
gagasan besar yang mempengaruhi gerakan pembebasan nasional Indonesia:
marxisme, nasionalisme dari bangsa tertindas, dan Islamisme yang anti-kolonial.
Sejarahwan Soviet yang juga penulis Biografi Soekarno, Kapitsa MS dan
Maletin NP, menyebut gagasan Marhaenisme Soekarno itu sebagai ajaran yang
eklektis, yang secara keseluruhan mengandung sifat-sifat subjektif dan idealis.
Alasannya, kata kedua sejarahwan Soviet itu, karena Soekarno
mencampurkan ke dalam ajaran marhaenisme itu beberapa ajaran2 sosialisme
borjuis kecil, khususnya sosialisme islam dan ide-ide tradisional, yang sejalan
dengan gagasannya tentang demokrasi dan anti-imperalisme.
Pada awalnya, Soekarno agak berhati-hati dengan materialisme, karena
anggapannya materialisme itu anti-tuhan. Tetapi, setelah beberapa saat
kemudian, Soekarno sudah membedakan antara meterialisme-historis Marx dan
materialism-nya Feurbach. “Materialisme itu adalah macam-macam, ada yang
anti Tuhan, tetapi bukan Historis Materialisme. Yang anti Tuhan itu materialisme
lain, misalnya materialisme-nya Feuerbach: Filosofis Materialisme, Wijsgerig
Materialisme,” kata Soekarno.
Kata ”Marhaen” sendiri merujuk kepada nama seorang petani kecil yang
ditemui Soekarno. Marhaenisme, jika kita lihat dari urian Bung Karno di tulisan
”Marhaen dan Proletar”, adalah sebuah analisa terhadap klas-klas sosial dalam
relasi produksi mayarakat Indonesia.
Kenapa menggunakan istilah Marhaen, bukan proletar? Karena, menurut
Soekarno, keadaan eropa tidak sama dengan keadaan di Indonesia. Di Eropa,
kapitalisme yang berkembang adalah ’kepabrikan’, sedangkan di Indonesia
adalah pertanian; di eropa kapitalisme bersifat zuivere industrie (murni
industri), sedangkan di Indonesia 75% bersifat onderming gula, onderneming

7
teh, onderneming tembakau, onderneming karet, onderneming kina, dan lain
sebagainya.
Soekarno lalu menyimpulkan:

”Bahwa di sana kapitalisme itu terutama sekali kaum proletar 100%,


sedangkan di sini terutama sekali menghasilkan kaum tani melarat yang papa
dan sengsara? Bahwa di sana memang benar mati-hidupnya kapitalisme itu ada
di genggaman kaum proletar, tetapi di sini sebagian besar ada di dalam
genggaman kaum tani? Bahwa dus sepantasnya di sana kaum proletar menjadi
”pembawa panji-panji”, tetapi di sini belum tentu harus juga begitu?”
Ada yang mengatakan, Soekarno seorang eklektik karena mengutamakan
borjuis kecil dalam revolusinya. Saya rasa tidak begitu. Soekarno, dalam tulisan
’Marhaen dan Proletar”, memberikan penghargaan kepada kaum buruh
sebagai—meminjam istilah Soekarno: ”menjadi pemanggul panji-panji revolusi
sosial”.
Ia dengan terang membedakan antara karakter klas kaum tani dan kaum
buruh. Menurutnya, kaum tani umumnya masih hidup satu kaki di dalam
ideologi feodalisme, hidup dalam angan-angan mistik yang melayang-layang di
atas awang-awang, dengan pergaulan hidup dan cara produksi yang masih kuno.
Sedangkan Proletar, di mata Soekarno, sudah mengenal pabrik, mesin, listrik
dan cara produksi kapitalisme. ”Mereka langsung menggenggam hidup-matinya
kapitalisme di dalam tangan mereka, lebih direct mempunyai gevechtswaarde
anti-kapitalisme,” kata Soekarno.

2.4 Sosio-Nasionalis, Sosio-Demokratis, dan Sosio-Ketuhanan Yang Maha Esa


Karena Soekarno membangun Marhaenisme dari 3 pilar utama, yaitu
sosio-nasionalis, sosio-demokratis,dan Sosio-Ketuhanan yang Maha Esa yang
tidak lain adalah sebuah pemahaman mengenai konsep kebangsaan.
Penjabaran dari ketiga sosio di atas tersebut dapat dicermati pada wacana di
bawah ini:
Sosio-Nasionalis
Seorang Marhaenis haruslah seorang nasionalis tulen, yang selalu
mengedapankan kepentingan negara ketimbang kepentingan pribadinya.
Dengan sendi inilah diharapkan seorang Marhaenis harus sigap menyingsingkan

8
kedua lengan bajunya untuk bertindak secara patritotis terhadap segala anasir
yang akan melencengkan cita-cita luhur Bangsa Indonesia.
Sosio-Demokratis
Di negara yang terbentuk karena proklamasi yang diaklamasikan dengan
mewakili seluruh lapisan Masyarakat Indonesia yang multikultur , maka seorang
Marhaenis selalu bertindak demokratis, menghargai pendapat pihak – pihak
yang berbeda agama, suku, ras golongan dan lain sebagainya, dengan
mendahulukan keputusan yang diusung pihak yang paling banyak suaranya.
Sosio-Ketuhanan Yang Maha Esa
Beriman kepada Tuhan yang Maha Esa serta mengamalkan semua ajaran
yang diwajibkan adalah fitroh manusia yang hidup di alam dunia ini. Dari
pengamalan yang intensif inilah akan terpancar kepedulian pada sesama,
masyarakat sekitarnya dan negara.Bukankah sebagai Marhaenis tulen harus
memiliki mentalitas seperti ini.
2.5 Marhaenisme dan Pancasila
Kelima prinsip ini disebut Soekarno Pancasila. Namun ia juga
menambahkan apabila rakyat menginginkan kelima sila tersebut diperas lagi
maka dapat menjadi tri sila yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan
ketuhanan Yang Maha Esa. Tri sila ini pun kembali ditegaskan oleh Soekarno
dapat diperas lagi menjadi Eka Sila, yakni : Gotong Royong.
Bagi kaum marhaenis Pancasila sangat identik dengan marhaenisme yang
menjadi ideologi kaum nasionalis-marhaenis. Identiknya Pancasila dan
marhaenisme berubah menjadi politik ideologi yang sangat fundamental karena
menyangkut Dasar Negara. Kesamaan antara Pancasila dan marhaenisme dilihat
dari Tri sila : Ke- Tuhanan Yang Maha Esa, Sosio Nasionalisme, Sosio Demokrasi,
dan inilah yang disebut Marhaenisme.
Pancasila sebagai Dasar Negara didalamnya terdapat ketentuan-
ketentuan yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, dijiwai semangat
Revolusi 17 Agustus 1945, musyawarah yang menjadi dasar dalam segal
perundingan dan penyelesaian mengenai segala persoalan kenegaraan.
Dalam Pancasila diatur tentang kebebasan beragama dan beribadat
sesuai dengan ketegasan dalam sila Ke-Tuhanan Yang Satu, Tuhan yang Maha

9
Esa. Pancasila juga mengandung perikemanusiaan yang memiliki artian
martabat luhur, manusia dan Bangsa Indonesia, istimewa didalam hubungan
bangsa dengan bangsa, orang asing dengan pribumi dengan segala harapannya
akan perlakuan perikemanusiaan dari dan oleh siapapun.
Pancasila mengandung nilai-nilai internasionalisme dimana
internasionalisme dalam Pancasila bukanlan kosmopolitanisme yang hendak
menjadikan seluruh umat manusia menjadi masyarakat dunia sehingga
melenyapkan arti bangsa-bangsa. Dan juga internasionalisme yang tidak
bertujuan untuk merangkum seluruh dunia dalam satu paham perjuangan,
mengadakan perubahan di seluruh dunia sehingga kehidupan satu bangsa
dicampuri oleh bangsa lain.
Internasionalisme yang dimaksudkan dalam Pancasila adalah
internasionalisme yang mengandung maksud bersama-sama dengan bangsa-
bangsa lain, hidup didalam masyarakat dunia dengan berdiri sama tinggi, duduk
sama rendah dan menentang penjajahan, penindasan dengan kepastian
pengakuan atas kemerdekaan segala bangsa.
Pancasila adalah karya puncak pemikiran Soekarno dan dilandasi oleh tiga
pemikiran yakni tradisional komunal yang di Jawa dan sebahagian Sumatera
bercampur dengan etos sosial Hinduisme. Kedua, Islam baik yang beraliran
orthodoks maupun yang berwajah pembaharuan. Ketiga, sejarah liberalisme
yang bercampur dengan ideologi marxisme.
Galian Pancasila, intisari Pancasila, metode Pancasila itu Soekarno yang
mencetuskan tetapi sesungguhnya Pancasila itu adalah bangsa ini yang terdiri
dari para Marhaen-Marhaen yang tercakup dari Sabang sampai Merauke, dari
Miangas sampai pulau Rote, Indonesia yang tercinta.
2.6 Ulasan Marhaenisme
Perjuangan kaum Marhaenis dalam mewujudkan masyarakat adil,
makmur, dan beradab, memerlukan suatu strategi dan cara yang disebut azaz
perjuangan. Bung Karno menjelaskan, asas perjuangan adalah menentukan
hukum-hukum daripada perjuangan itu,-menentukan ‘strategie’ daripada
perjuangan itu. Azaz perjuangan menentukan karakternya perjuangan itu, sifat-
wataknya perjuangan itu, garis-garis besar daripada perjuangan itu,

10
bagaimananya perjuangan itu. Sesuai dengan watak dan karakter ideologi
Marhaenisme, azaz perjuangan kaum Marhaenis berpegang pada :
• Non-kooperasi
• Machtvorming
• Radikal-Revolusioner
• Massa aksi
• Self help-self reliance
Non-kooperasi adalah tidak bekerja sama terhadap sistem yang menindas
dan memeras dalam segala bentuknya. Non-kooperasi selalu ditujukan kepada
sistem yang melakukan pemerasan dan penindasan, terhadap sistem yang
menistakan kemerdekaan individu dan keadilan sosial. Bung Karno menjelaskan,
Non-kooperasi adalah satu azaz perjoangan (strijdbeginsel) kita untuk mencapai
Indonesia Merdeka. Di dalam perjoangan mengejar Indonesia Merdeka itu kita
harus senantiasa ingat bahwa adalah pertentangan kebutuhan antara sana dan
sini, antara kaum yang menjajah dan kaum yang dijajah, antara overheerser dan
overheerste. Pertentangan kebutuhan inilah yang member keyakinan kita
bahwa Indonesia Merdeka tidaklah bisa tercapai, jikalau kita tidak menjalankan
politik non-kooperasi.
Apa artinya machtsvorming itu? Matchsvorming adalah berarti vorming
(pembentukan)-nya macht (tenaga-kekuasaan), jadi matchsvorming adalah soal
pembentukan tenaga, pembentukan kekuasaan. Dalam pleidooi-nya Bung
Karno mengatakan; “Machtsvorming, pembikinan kuasa—oleh karena soal
kolonial adalah soal kuasa, soal macht. Machtsvorming, oleh karena seluruh
riwayat dunia menunjukkan bahwa perobahan-perobahan besar hanya
diadakan oleh kaum yang menang, kalau pertimbangan akan untung rugi
menyuruhnya, atau kalau sesuatu macht menuntutkannya”.
Karl Marx berkata: “nooit heeft in klasse vrijwilling van haar bevoorrechte
positive afstand gedaan”—“tak pernahlah sesuatu kelas suka melepaskan hak-
haknya dengan kemauan sendiri”
Selama rakyat Indonesia belum mengadakan kekuasaan dan tenaga yang
maha sentosa, selama itu rakyat masih saja cerai berai dengan tiada kerukunan
satu sama lain, selama rakyat itu bisa mendorongkan semua kemauannya

11
dengan suatu kekuasaan yang teratur dan tersusun—selama itu maka kaum
imperialisme yang mencari untung sendiri itu akan tetaplah memandang
kepadanya sebagai seekor kambing yang menurut, dan akan terus mengabaikan
segala tuntutan-tuntutannya. Machtsvorming adalah perlu oleh karena
berhubung dengan antithesis antara oppressor (penindas) dan oppressed
(tertindas), antara overheerser (penjajah) dan overheerste (terjajah), kaum
penindas-penjajah tidak akan pernah dengan kemauan sendiri tunduk kepada
kita, jika tidak kita paksa dengan desakan dan kekuatan kita yang ia tidak dapat
menahannya. Dan oleh karena desakan itu hanya bisa kita jalankan bilamana
kita mempunyai tenaga, yakni bilamana kita mempunyai kekuatan, mempunyai
kekuasaan, mempunyai macht, maka kita harus menyusun macht itu—
mengerjakan machtsvorming itu dengan segiat-giatnya dan serajin-rajinnya.
Dalam menyususn dan mengerjakan machtsvorming itu, kaum Marhaen
harus menggunkan azaz yang radikal. Jawaharlal Nehru berkata; “Dan jikalau kta
bergerak, maka haruslah kita selamanya ingat bahwa cita-cita kita tidak dapat
terkabul, selama kita belum mempunyai kekuasaan uang perlu untuk
mendesakkan terkabulnya cita-cita itu”
Machtsvorming yang tidak memiliki azaz atau prinsip, sebenarnya bukan
machtsvorming, bukan pembentukan kekuasaan. Machtsvorming yang tanpa
azaz atau prinsip, yaitu machtsvorming yang opportunistis, yang tawar-
menawar, yang sikapnya mudah berubah–dalam bahasa Jawa-nya disebut
dengan ‘mencla-mencle’, yang demikian itu bukan suatu macht yang
menundukkan kaum penjajah-penindas, tetapi suatu bola yang dipermainkan
oleh kaum penjajah-penindas.
Tetapi machtsvorming kita harus machtsvorming yang memiliki azaz
antithesis antara penjajah dan terjajah, antara penindas dan tertindas. Azaz
perlawanan tanpa damai antara penjajah dan terjajah, antara penindas dan
tertindas. Azaz Kemerdekaan Nasional, azaz ke-Marhaen-an, bukan azaz tawar-
menawar, bukan azaz yang mencla-mencle, tetapi azaz yang mau
menghancurkan stelsel kapitalisme-kolonialisme-imperialisme dan feodalisme
sama sekali, azaz yang mau mendirikan masyarakat baru di atas reruntuhan
kapitalisme-kolonialisme-imperialisme dan feodalisme itu yang mempunyai
kehendak sama rata sama rasa.

12
Azaz ini bisa dicakup dengan satu perkataan saja, yaitu Radikalisme.
Radikalisme—terambil dari kata radix yang artinya akar—radikalisme haruslah
azaz machtsvorming Marhaen: berjuang tidak setengah-setengah, tidak tawar-
menawar tetapi terjun sampai ke akar-akarnya. Tidak setengah-setengahan
hanya mencari “untung hari ini” saja, tapi mau menjebol stelsel kapitalisme-
kolonialisme-imperialisme dan feodalisme sampai ke akar-akarnya. Tidak
setengah-setengahan mengadakan perubahan-perubahan yang kecil-kecil saja
tapi mau mendirikan masyarakat baru sama sekali di atas akar-akar yang baru.
Berjuang habis-habisan tenaga dan fikiran sampai kemenangan. Kaum Marhaen
harus merasa jijik dan mengusir segala bentuk opportunisme (cari untung
sendiri), reaksionerisme (anti kemajuan), dan reformisme (perubahan setengah-
setengah). “Barang siapa yang setengah-setengah dalam Revolusi, maka ia
sedang menggali liang kuburnya sendiri”. Karl Liebknecht mengatakan:
“perdamaian antara rakyat jelata dengan kaum penindas adalah berarti
mengorbankan rakyat jelata itu”
Radikal-Revolusioner adalah cara perjuangan untuk melakukan
perubahan yang mendasar dan cepat. Radikal-Revolusioner tidak ada
hubungannya dengan kekerasan dan amuk-amukan, apalagi bunuh-bunuhan.
Radikal-Revolusioner disamakan dengan kekerasan adalah tafsir negatif yang
diberikan oleh status quo dalam mempertahankan kekuasaannya. Radikal-
Revolusioner adalah membongkar sistem penindasan dan mengganti dengan
sistem yang baru.
Massa Aksi adalah aksinya rakyat Marhaen yang bermilyun-milyun itu.
Dan oleh karena Aksi berarti perbuatan, pergerakkannya, perjuangannya rakyat
Marhaen yang bermilyun-milyun itu, apa yang sekarang kita kerjakan, apa yang
kita perbuat, apa sahaja yang kita punya tindakan ini hari yang berupa
menyusun-nyusun perhimpunan, menulis artikel-artikel dalam majalah dan
surat kabar, mengadakan kursus-kursus, mengadakan rapat-rapat umum,
mengadakan demonstrasi-demonstrasi-itu semua sudahlah termasuk dalam
perbuatan, pergerakkan, perjuangan rakyat marhaen yang bermilyun-milyun
itu, itu semua sudahlah termasuk dalam massa-aksi adanya. “In de organisatie
ligt reeds de actie besloten, en in de actie de actie de organisatie”–Massa-Aksi
sudahlah ada di dalam kegiatan organisasi, dan organisasi sudahlah ada di dalam
kegiatan massa-aksi itu.

13
Massa-Aksi adalah pergerakan rakyat yang berjumlah banyak secara
radikal dan revolusioner. Pergerakkan rakyat Marhaen, pergerakkan rakyat
Murba, yang tidak secara radikal dan revolusioner, pergerakkkan rakyat
Marhaen, rakyat Murba yang tidak ‘sengit’ dan tidak bersemangat ‘Garuda’—
pergerakkan rakyat Marhaen, rakyat Murba yang demikian itu, walaupun
milyun-milyunan jumlahnya orang yang bergerak, bukanlah Massa Actie,
bukanlah Massa-Aksi. Tetapi hanyalah suatu “Massale Actie”, aksi massal
belaka, dalam arti aksi yang melibatkan banyak orang saja tetapi tidak progresif
dan revolusioner.
Massa-Aksi adalah aksinya rakyat jelata yang sudah terluluh menjadi jiwa
baru, melawan sesuatu penindasan yang mereka tidak sudi memikulnya lagi.
Massa-Aksi selamanya radikal. Massa-Aksi selamanya membuka dan menjebol
akar-akarnya sesuatu keadaan. Massa-Aksi selamanya mau menanamkan akar-
akarnya keadaan yang baru. Massa-Aksi barulah dengan sesungguhnya menjadi
Massa-Aksi, jikalau rakyat jelata itu sudah berniat membongkar sama sekali
keadaan yang sudah Tua Bangka diganti dengan keadaan yang baru. “Een nieuw
levensideaal moet de massa aanvuren”—“suatu cita-cita pergaulan hidup baru
harus menyala di dalam dadanya massa”.
Untuk menjaga konsistensi gerakan, maka gerakan tidak boleh
menggantungkan diri terhadap satu pihak, melainkan harus didukung oleh
kekuatannya sendiri. Suatu gerakan harus melaksanakan self help (mandiri).
Menggantungkan diri pada pihak lain akan memberikan peluang kepada pihak
yang bersangkutan untuk mengkooptasi gerakan. Dan dengan self help, suatu
gerakan akan memiliki self reliance (kepercayaan diri). Kemenangan hanya bisa
dicapai dengan kebiasaan sendiri, keringat sendiri, tenaga sendiri, usaha sendiri,
kepandaian sendiri, keringat sendiri, dan keberanian sendiri.
Dengan memegang teguh azaz perjuangan di atas, upaya mewujudkan
cita-cita kaum Marhaen dan Marhaenis yaitu terciptanya masyarakat
Marhaenistis berdasarkan Marhaenisme, kaum Marhaen dan Marhaenis
mengemban 3 (tiga) misi, yaitu: pertama, membangun kesadaran rakyat atas
penderitaan serta sebab-sebab yang mengakibatkannya, sekaligus memperkuat
kesadaran negara kebangsaan (nation-state) Indonesia. Kedua, membangun
kekuatan kaum Marhaen dan Marhaenis agar dapat menjadi subyek sosial-
politik yang menentukan tata kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiga,
menggalang kekuatan progesif-revolusioner, sammenbundelling en
14
sammenwerking van alle revolutionaire krachten, yaitu semua kekuatan
revolusioner yang mendukung tercapainya revolusi Indonesia sesuai dengan
tahapan-tahapannya.
Yang dimaksud dengan kekuatan progresif-revolusioner adalah kekuatan
yang berpikiran maju ke arah tujuan revolusi Indonesia, yaitu terwujudnya
masyarakat adil makmur dan beradab, masyarakat tanpa penindasan dan
pemerasan oleh manusia atas manusia maupun bangsa atas bangsa.
Tujuan revolusi akan dapat dicapai melalui tiga tahap revolusi, yang oleh
Bung Karno disebut “Tiga Kerangka Revolusi”, yaitu:
• Kemerdekaan Penuh/Nasional Demokratis,
• Sosialisme Indonesia,
• Dunia Baru yang Adil dan Beradab
Tiga Kerangka Revolusi tersebut merupakan penjabaran dari cita-cita
Proklamasi Kemerdekaan yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945:
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab
itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan
Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat
sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan
Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas
berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan
luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian dari pada itu untuk
membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebagsaan Indonesia itu dalam
suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

15
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan
suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Walaupun tahapan tersebut bukan merupakan sekat-sekat yang terpisah
antara yang satu dengan yang lainnya, tetapi Sosialisme Indonesia dan Dunia
Baru yang Adil dan Beradab tidak dapat dicapai tanpa ditegakkannya
Kemerdekaan Penu, Merdeka 100%.
Dalam menegakkan kemerdekaan dan kedaulatan nasional, ada tiga
prinsip kemerdekaan nasioal yang oleh Bung Karno disebut “Trisakti”
• Berdaulat di bidang politik,
• Berdikari di bidang ekonomi,
• Berkepribadian di bidang kebudayaan.
Tiga prinsip tersebut di atas sesungguhnya merupakan tuntutan universal
bagi setiap bangsa merdeka. Untuk melaksanakan ketiga prinsip tersebut tidak
hanya diperlukan adanya kemauan politik, tetapi juga dituntut adanya
kesadaran, kesiapan, dan kesanggupan moral dari seluruh bangsa agar dapat
melahirkan suatu kebijakan dan tindakan yang konsekuen dan konsisten. Perlu
diberi landasan yang kokoh dengan melaksanakan nation and character
building.
Landasan ideologi Marhaenisme adalah tuntutan hidup manusia yang
sangat substansial, cita-cita yang terkandung di dalamnya adalah tuntutan hidup
manusia yang sangat substansial, cita-cita yang terkandung di dalamnya adalah
membangun peradaban luhur dan bersifat universal.
Bagi kaum Marhen dan Marhaenis, Marhaenisme dan Pancasila
merupakan dua hal yang secara substantif tidak ada bedanya. Keduanya
dicetuskan oleh Bung Karno. Marhenisme dicetuskan pada tahun 1927 sebagai
ideologi dan teori perjuangan, Pancasila dilahirkan pada tanggal 1 Juni 1945
sebagai dasar Negara.

16
BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, makadapat disimpulkan


hal-hal sebagai berikut :

a. Dalam pembinaan masyarakat dalam pemahaman, penghayatandan


pengamalan nilai-nilai Pancasila untuk menanggulangi ancamanterhadap
disintegrasi bangsa, harus dilakukan secara simultan,berkesinambungan dan
terarah di seluruh komponen bangsa.
b. Peningkatan pembinaan masyarakat dalam pemahaman,penghayatan
dan pengamalan nilai-nilai Pancasila merupakan salah satucara yang dapat
dilaksanakan untuk menghindari bahaya disintegrasibangsa yakni dengan
melibatkan seluruh komponen bangsa.
c. Ideologi Pancasila merupakan seperangkat prinsip-prinsip yangdijadikan
dasar untuk memberikan arah dan tujuan yang ingin dicapaidalam
melangsungkan dan mengembangkan kehidupan nasional suatubangsa dan
negara.
d. Kurangnya pengamalan terhadap ideologi Pancasila olehmasyarakat
dapat terjadi, karena prinsip-prinsip dasar dan arah tujuanyang terkandung
dalam ideololgi tersebut tidak dipahami, dimengerti,dipergunakan dan
dilaksanakan sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara.
e. Pembinaan masyarakat dalam menghayati dan mengamalkan terhadap
nilai-nilai Pancasila yang meliputi paham kebangsaan, rasa kebangsaan dan
semangat kebangsaan, mutlak perlu diajarkan sejak usiadini melalui lembaga
pendidikan formal maupun informal.

17
DAFTAR PUSTAKA

http://digilib.uinsby.ac.id/13548/4/Bab%201.pdf

http://pnipancasila.wordpress.com/2007/12/07/marhaenisme/

https://id.wikipedia.org/wiki/Marhaenisme

Buku Kewarganegaraan. Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi Negara. Penerbit


Yudhistira. Jakarta. 2005.

18

Anda mungkin juga menyukai