Anda di halaman 1dari 15

Resensi Buku Dibawah Bendera Revolusi

Jilid I Bagian Pertama

Pengantar

Buku Dibawah Bendera Revolusi Jilid I adalah sebuah karya


besar yang berisi pemikiran-pemikiran brilian dari sosok seorang
Sukarno muda. Dalam buku tersebut kita dapat melihat banyak
sekali ide-ide besarnya, yang secara garis besar dapat dibagi
dalam 4 (empat) bagian:
- gagasan-gagasan tentang penyatuan elemen-elemen
bangsa;
- pandangan-pandangan tentang nilai-nilai Islam;
- analisis sejarah penghisapan kapitalisme, kolonialisme dan
imperialisme;
- dan nilai-nilai marhaenisme sebagai asas, asas perjuangan
dan taktik strategi perjuangan;
Dengan membaca karya-karyanya di DBR I tersebut, dapat
bayangkan bahwa sosok Sukarno adalah sosok yang bisa
dianggap radikal dan revolusioner bahkan terlalu menyerempet-
nyerempet bahaya (vivere vere koloso) di jamannya. Lihat saja
dalam artikelnya yang berjudul Nasionalisme, Islamisme dan
Marxisme. Ditengah pertikaian antar elemen bangsa, kaum
nasionalis yang diwakili oleh Budi Utomo, kaum marxis yang

1
Resensi Buku Dibawah Bendera Revolusi
Jilid I Bagian Pertama

diwakili PKI dan kaum Islam yang diwakili oleh


Cokroaminoto, ketika antar elemen itu sibuk bertikai,
saling menjelekkan ideologi masing-masing, Sukarno
tiba-tiba menyeruak masuk dalam ruang konflik, berusaha
mendamaikan tiga kekuatan ideologi itu, Sukarno berseru agar
elemen-elemen bangsa itu segera bersatu dalam sebuah
perjuangan samenbundeling van alle revolutionare krachten
(bersatu padu dalam satu kekuatan revolusioner) melawan
kolonialisme dan imperialisme Belanda. Padahal dengan usia
Sukarno yang relatif muda (26 tahun) jika dibandingkan dengan
Cokroaminoto maupun Semaun yang telah memiliki jam terbang
politik yang sangat tinggi, sebenarnya Sukarno muda tidak ada
apa-apanya.
Namun dengan kebijakan dan kecerdasan pemikirannya,
Sukarno ternyata mampu menyatukan elemen-elemen bangsa
itu dengan dasar-dasar pemikiran yang justru diambil dari nilai-
nilai ideologi masing-masing. Sukarno ternyata mampu
membuka mata tiga kekuatan itu dengan cara mencari satu titik
kesamaan nilai antar ideologi dimana kolonialisme dan
imperialisme menjadi common enemynya. Memang, tidak bisa
dipungkiri, antara nasionalisme, Islamisme dan marxisme tentu
memiliki perbedaan-perbedaan baik dalam perspektif idea
maupun ditingkatan taktik strateginya. Namun bagi Sukarno,
perbedaan-perbedaan itu masihlah belum menjadi sebuah
perbedaan yang memunculkan kontradiksi pokok, selama
kolonialisme dan imperialisme masih menjadi musuh bersama.
Oleh karena itu samenbundeling van alle revolutionare krachten
harus segera dilakukan demi segera terbebaskannya rakyat
Indonesia dari penindasan dan penghisapan.

2
Resensi Buku Dibawah Bendera Revolusi
Jilid I Bagian Pertama

Pandangan-pandaangan Sukarno tentang Islam


pun kadang terlalu radikal sehingga sering
memunculkan kontroversi di masanya. Bahkan gara-
gara pemikiran Sukarno tentang Islam yang cenderung radikal
itulah sampai sempat menimbulkan perdebatan panjang antara
Sukarno dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah saat itu. Dan
untungnya perdebatan itu dapat terdokumentasikan secara baik
di buku DBR I, sehingga kita dapat melihat besarnya dinamika
dan dialektika pemikiran yang berkembang saat itu.
Puncak dari ide-ide dan gagasan Sukarno muda dapat kita
lihat dalam konsep-konsep ideanya tentang nilai-nilai ideologi
marhaenisme yang kemudian disempurnakan menjadi Pancasila
sebagai philosopische grondslag bangsa Indonesia. Marhaenisme
adalah konsep pemikiran Sukarno tentang cita-cita konstruksi
bangunan kebangsaan Indonesia yang ditinjau dari perspektif
filosofis, sosiologis dan historis bangsa Indonesia. Sebuah konsep
pemikiran yang terkristalisasi dari sebuah perpaduan antara
marxisme, agama (Islam) dan kultuur natuur bangsa Indonesia.
Bahkan pemikiran-pemikirannya tentang marhaenisme itu
dipandang tidak cukup oleh Sukarno jika disertakan perangkat
untuk mewujudkannya, sebab jika tidak, tentulah marhaenisme
hanya akan menjadi utopia kosong. Oleh karena itu, dalam upaya
memanifestasikan nilai-nilai marhaenisme itu, ia juga
menawarkan sebuah landasan perjuangan bangsa dengan asas-
asas perjuangan seperti non-kooperatif, machtvorming,
machtunwending dan massa aksi.
Itulah sekelumit tentang pemikiran-pemikiran Sukano yang
tertuang dalam buku Dibawah Bendera Revolusi Jilid I. Untuk
meresensi buku tersebut, maka penulis akan membaginya dalam

3
Resensi Buku Dibawah Bendera Revolusi
Jilid I Bagian Pertama

2 (dua) bagian. Bagian pertama, penulis akan


mengupas pemikiran-pemikiran Sukarno tentang
marhaenisme dan marxisme. Untuk bagian kedua
penulis akan mengupas pemikiran-pemikiran Sukarno
tentang Islam juga analisisnya terhadap penghisapan
kapitalisme, kolonialsme dan imperialisme.

4
Resensi Buku Dibawah Bendera Revolusi
Jilid I Bagian Pertama

Marhaenisme
Pemikiran-pemikiran Sukarno yang khusus membahas
tentang marhaenisme dapat kita lihat dalam beberapa artikel di
DBR I antara lain: Sekali lagi tentang sosio-nasionalisme dan
sosio-demokrasi; demokrasi politik dan demokrasi ekonomi;
marhaen dan proletar; marhaen dan marhaeni; dan
nasionalisme, Islamisme dan Marxisme. Khusus tentang asas
perjuangan dan taktik strategi pemanifestasian marhaenisme
oleh Sukarno ditulis dalam artikelnya: Asas, asas perjuangan,
taktik; Swadhesi dan massa aksi di Indonesia; Non-cooperation
tidak bisa mendatangkan massa aksi dan machtsvorming?; dan
reform actie dan doels actie. Sosio nasionalisme dan sosio
demokrasi merupakan bentuk ungkapan istilah lain dari cita-cita
marhaenisme yang diungkap Sukarno dalam DBR I.

Marhaenisme sebagai Azas


Sosio Nasionalisme
Sosio-nasionalisme adalah satu asas kehidupan rakyat
Indonesia yang berdasarkan nasionalisme Indonesia. Pemikiran
Sukarno tentang nasionalisme Indonesia, harus diakui memang
banyak diinspirasi beberapa tokoh dunia seperti Ernest Renan,

5
Resensi Buku Dibawah Bendera Revolusi
Jilid I Bagian Pertama

Otto Bauer (Austromarxis) dan Gandhi. Misalnya tentang


salah satu pandangan Sukarno yang sepaham dengan
pemikiran Otto Bauer, bahwa munculnya sebuah bangsa
pada dasarnya bukan karena adanya kesamaan ras, bahasa,
suku, ataupun agama, melainkan karena semata-mata hanya
karena adanya kesamaan sejarah (riwayat). Oleh karena itulah,
kenapa kemudian Sukarno menginginkan nasionalisme Indonesia
dapat tumbuh dan berkembang melalui kesadaran sejarah atas
penindasan dan penghisapan yang melanda kehidupan rakyat
Indonesia.
Sukarno juga sepemahaman dengan Gandhi bahwa
nasionalisme juga harus dilandasi oleh rasa cinta terhadap
manusia dan kemanusiaan tanpa membedakan suku, ras
maupun agama, sehingga nasionalisme Indonesia tidak akan
pernah bersifat chauvis, melainkan humanis.
Itulah nasionalisme Indonesia, satu nasionalisme yang teruji
dan dibesarkan oleh sejarah, yang cinta kepada manusia dan
kemanusiaan, yang zonder exploitation de lhomme par lhomme,
zonder exploitation de nation par nation, dan bersifat melindungi
serta menyelamatkan kehidupan seluruh rakyat Indonesia
(Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme).
Dari sana dapat disimpulkan bahwa sosio-nasionalisme berarti
sebuah asas pergaulan hidup yang akan menjadi dasar bangunan
sosial masyarakat Indonesia yang didasarkan pada nilai-niali
nasionalisme Indonesia sendiri. Dengan harapan akan tercipta
sebuah bangunan kebangsaan yang dilandasi oleh semangat
cinta terhadap manusia dan kemanusiaan, masyarakat yang
tidak chauvist melainkan humanis, namun tegas dan
revolusioner terhadap segala bentuk penindasan yang dilakukan

6
Resensi Buku Dibawah Bendera Revolusi
Jilid I Bagian Pertama

oleh feodalisme, kapitalisme, kolonialisme dan


imperialisme sebagai sebuah kesadaran dan keharusan
sejarah (historische notwendeigheit)
Sosio nasionalisme ditegaskan lagi oleh Sukarno dalam
artikelnya Sekali lagi tentang sosio nasionalisme dan sosio
demokrasi, sosio nasionalisme adalah nasionalisme
masyarakat, nasionalisme yang mencari selamatnya seluruh
masyarakat dan yang bertindak menurut wet-wetnya masyarakat
itu.

Sosio Demokrasi
Sosio demokrasi adalah satu asas kehidupan rakyat yang
berdemokrasi gotong royong, yaitu satu demokrasi politik dan
demokrasi ekonomi yang bersumber dari kepribadian rakyat
Indonesia, yang menginginkan kesejahteraan ekonomi dan politik
seluruh rakyat Indonesia. Jadi bukan demokrasi jegal-jegalan
(bahasa Sukarno), dan juga bukan demokrasi mayoritas
menindas minoritas, melainkan demokrasi yang memberikan
keselamatan kepada seluruh rakyat Indonesia.
Sosio demokrasi tidak ingin mengabdi (pada) kepentingan
sesuatu gundukan kecil saja, tetapi kepada kepentingan
masyarakat. Sosio demokrasi bukanlah demokrasi ala Revolusi
Perancis, bukan demokrasi ala Amerika, ala Inggris, ala
Nederland, ala Jerman dan lain-lain, tetapi ia adalah demokrasi
sejati yang mencari keberesan politik dan ekonomi, keberesan
negeri dan keberesan rejeki. Sosio demokrasi adalah demokrasi
politik dan demokrasi ekonomi (Sukarno dalam artikel
Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi, DBR I, hal 175).

7
Resensi Buku Dibawah Bendera Revolusi
Jilid I Bagian Pertama

Dengan dua asas (sosio nasionalisme dan sosio


demokrasi), yang mengedepankan nilai-nilai
kemanusiaan dalam mewujudkan keadilan,
kesejahteraan dan kemakmuran, maka Sukarno memilih gotong
royong sebagai cara perjuangan kaum marhaenis untuk
mewujudkan sosialisme Indonesia. Teori ini memang bertolak
belakang dengan teori Marx. Jika Marx memilih perjuangan kelas
(klassentrij), Sukarno memilih gotong royong. Dasar pemikiran
Marx memilih perjuangan kelas, selain atas dasar runtutan
teorinya tentang keterasingan (alienasi), nilai lebih (meewaarde)
dan teori perkembangan masyarakat (verelendung), juga
didasarkan atas teori kontradiksi modal dan kerja sebagai sebuah
konflik yang tak terdamaikan. Sehingga Marx berpikiran bahwa
satu-satunya jalan menyelesaikan konflik adalah klassentrij.
Sementara dasar pemikiran Sukarno memilih gotong royong
adalah atas runtutan teorinya tentang "budi nurani". Dengan
budi nurani yang dimiliki, semua manusia pada hakekatnya
menginginkan kesempurnaan dan tidak ingin menindas dan
tertindas. Oleh karena itu Sukarno tidak menggunakan
perjuangan kelas, tetapi perjuangan gotong royong, dimana
semua kelas sosial harus bersatu untuk bersama-sama menuju
kesejahteraan dan kemakmuran tanpa penghisapan.
Memang, Sukarno sadar bahwa gotong royong menuntut
kesadaran dari seluruh manusia Indonesia. Untuk itu butuh satu
revolusi yang bersifat merubah pemikiran, merubah pandangan
hidup, merubah sikap, merubah moral-etika, merubah kebiasaan,
merubah sosial-ekonomi-politik-budaya Indonesia, dan merubah
seluruh aspek kehidupan rakyat Indonesia, yang kesemuanya
mempunyai satu tujuan yaitu mengembalikan manusia Indonesia

8
Resensi Buku Dibawah Bendera Revolusi
Jilid I Bagian Pertama

kepada budi nuraninya. Di atas budi nurani itulah


bangsa Indonesia menjalankan hidup kebangsaannya.
Sifat revolusi Indonesia adalah pantharei seperti
yang dikutip Sukarno dari Heraclitus. Sifat revolusi yang tidak
akan pernah mampu terprediksi oleh waktu. Sifat revolusi yang
tidak mengenal titik, melainkan akan terus mengalir dan berjalan
mengikuti perkembangan jaman. Biar sejarahlah yang nanti akan
menguji dan menilainya.

Marhaenisme sebagai
Asas Perjuangan

Non Kooperasi
Asas non-kooperasi adalah analisa Sukarno dengan
menggunakan metode berpikir historis materialisme. Dengan
pisau anailisa itu, Sukarno dapat menemukan sebuah kontradiksi
pokok antara kemauan rakyat Indonesia dengan kemauan
kolonialisme Belanda. Kontradiksi itu disitilahkan secara
sederhana dalam satu idiom sana mau kesana - sini mau
kesini. Keinginan kita tidak akan terpenuhi dengan meminta-
minta/ bekerjasana dengan kaum sana (kolonialis). Kita harus
mengenali basic material tentang siapa lawan dan siapa kawan.
Setelah diketahui basic materialnya maka barulah kita akan
menentukan mana kontradiksi pokok dan mana kontradiksi tidak
pokok. Antagonis dan non antagonis. Dan bagi Sukarno, massa

9
Resensi Buku Dibawah Bendera Revolusi
Jilid I Bagian Pertama

aksi dan machtvorming hanya akan terbentuk melalui


jalan non kooperasi

Machtvorming
Machtvorming diartikan sebagai proses pembentukan atau
penyusunan kekuasaan nasional sebagai satu kesatuan
perjuangan melawan penindasan kolonialisme imperialisme.
Menurut Soekarno, keinginan untuk merdeka hanya akan
terpenuhi kalau ada macht (kekuasaan) untuk mendesakkannya
melawan kolonilaisme. Machvorming adalah satu antitesa
Sukarno dari pemikiran adanya kontradiksi pokok sana mau
kesana sini mau kesini yang diciptakan dalam asas perjuangan
non kooperasi. Asas non kooperasi itu hanya dapat tercipta
dalam satu perlawanan dengan cara menyusun kekuatan
(machtvorming).

Massa aksi
Massa aksi adalah sebuah kebangkitan massa secara radikal
revolusioner yang disebabkan oleh tenaga-tenaga masyarakat
sendiri yang sadar (bewust) akan perjuangannya. Bentuk
perjuangan massa aksi adalah bentuk perbuatan perjuangan
kaum marhaen yang sadar bahwa dirinya ditindas dan tertindas.
Dan machtvorming hanya akan terbentuk apabila ada massa
aksi.

10
Resensi Buku Dibawah Bendera Revolusi
Jilid I Bagian Pertama

Radikallisme
Radikalisme adalah sikap yang mendasar, yang
mencakup radikalisme pemikiran, radikalisme
semangat, radikalisme gerakan. Radikalisme pemikiran adalah
cara berpikir untuk memunculkan ide-ide dan gagasan-gagasan
perjuangan secara radikal dan mendobrak ke depan. Radikalisme
semangat adalah sebuah keyakinan yang seyakin-yakinnya
terhadap cita-cita perjuangan yang kemudian dibangun dalam
semangat membara dan membaja untuk diwujudkan dalam
sebuah gerakan revolusioner. Radikalisme gerakan adalah suatu
cara perjuangan yang radikal, tidak setengah-setengah, tidak
mau kompromi dan terus maju mendobrak ke depan. Dan
radikalisme hanya dapat dibangkitkan melalui non kooperasi

Self helf
Self help diartikan sebagai semangat untuk mengelola sumber
daya yang dimiliki. Tidak bergantung pada pihak lain.

Self reliance
Kepercayaan diri adalah modal utama gerakan. Tanpa
kepercayaan suatu gerakan akan kehilangan daya hidup dan
dinamikanya.

11
Resensi Buku Dibawah Bendera Revolusi
Jilid I Bagian Pertama

Marxisme

Pandangan-pandangan Sukarno tentang marxisme dapat di


baca di DBR I dalam beberapa artikelnya yaitu: Nasionalisme,
Islamisme, Marxisme; Orang Indonesia cukup nafkahnya
sebenggol sehari?; Memperingati 50 tahun wafatnya Karl Marx;
Non-cooperation tidak bisa mendatangkan massa aksi dan
machtvorming. Dari beberapa artikel tersebut dapat diketahui
bahwa Sukarno adalah seorang pengagum Marx, bahkan dalam
tulisannya berjudul Tabir adalah lambang perbudakan Sukarno
mengganggap dirinya adalah murid Marx dari sekolah sejarah.
Beberapa teori Marx bahkan sengaja dipakai oleh Sukarno
untuk menganalisa realitas penindasan di Indonesia. Sebutlah
misalnya Sukarno menggunakan hukum kontradiksi Marx untuk
membangun satu asas non-kooperatif. Sukarno juga
menggunakan teori meewardee (surplus value) Marx untuk
menganalisa kehidupan orang Indoesia yang hanya sebenggol
sehari.

Historis Materialisme dan Wijsgerig Materialisme


Dalam artikel Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme,
Sukarno membahas khusus tentang historis materilsme yang
sengaja dicampur adukkan dengan wijsgerig materialsme oleh

12
Resensi Buku Dibawah Bendera Revolusi
Jilid I Bagian Pertama

kaum gereja eropa sehingga membuat pandangan yang


salah dari masyarakat yang menganggap marxisme
sebagai faham yang menyembah atau mendewa-
dewakan materi.
Menurut Sukarno, historis materialisme pada dasarnya
memiliki pengertian yang jauh berbeda dengan wijsgerij
materialisme. Wiijsgerij materalisme adalah sebuah faham
pemikiran yang mencari tahu tentang bagaimanakah
hubungannya antara pikiran (denken) dengan benda (materi),
lalu bagaiamnakah pikiran itu berasal (wezen). Sedangkan
historis materialisme adalah sebuah faham yang menganalisa
tentang bagaimanakah pikiran-pikiran manusia dalam setiap
jaman itu terbangun dan berasal, sebab-sebab apakah pikiran
dalam setiap jaman berubah. Singkatnya, jika wijsgerij
materialisme mencoba menganalisa darimana pikiran itu berasal,
sedangkan historis materialisme mempelajari pertumbuhan
pemikiran manusia dari jaman ke jaman.
Dua faham yang berbeda ini oleh musuh-musuhnya
marxisme di Eropa, terutama kaum gereja, sengaja ditukar-tukar,
dikelirukan satu sama lain. Dalam propagandanya anti marxisme
mereka tak henti-hentinya mengusahakan kekeliuran faham ini.
Kaum gereja sengaja menuduh bahwa kaum marxisme adalah
sebuah kaum yang mempelajari bahwa fikiran itu hanyalah suatu
pengeluaran dari otak belaka, seperti ludah dari mulut atau
empedu dari limpa. Mereka menyatakan bahwa kaum marxis
adalah kaum yang menyembah benda, suatu kaum yang
bertuhankan materi.

13
Resensi Buku Dibawah Bendera Revolusi
Jilid I Bagian Pertama

Kontradiksi
Dalam artikelnya berjudul Sekali lagi tentang Sosio
Nasionalisme dan Sosio Demokrasi serta Non Cooperation tidak
bisa mendatangkan massa aksi dan machtvorming?, Sukarno
secara brilian mampu menggunakan teori kontradiksi marx
dalam sebuah perjuangan (kelas) antara kaum terjajah (bangsa
Indonesia) dengan kaum penjajah (bangsa Belanda) yang
dikemas dalam satu asas perjuangan non cooperation.
Non kooperatif adalah sebuah asas perjuangan yang
diputuskan harus dilakukan oleh bangsa Indonesia dalam
melawan penjajah setelah didasarkan pada satu analisa berpikir
dengan menggunakan histioris materiaisme. Dari analisa beprikir
tersebut dapat diketahui bahwa basic material antara penjajah
dan terjajah adalah sebuah kontradiksi pokok yang menyimpan
konflik permanen yang tidak bisa didamaikan. Sebab mental
penjajah adalah ingin menghisap sementara kemauan terjajah
(masyarakat Indonesia) adalah ingin merdeka tanpa
penghisapan. Jadi, sana mau ke sana- sini mau kesini.

Nilai Lebih (Meewaarde)


Beberapa tulisan Sukarno banyak yang membahas tentang
penindasan dengan menggunakan teori nilai lebih yang
dikemukakan Marx. Namun ada satu artikel menarik yang khusus

14
Resensi Buku Dibawah Bendera Revolusi
Jilid I Bagian Pertama

membahas teori nilai lebih itu yang langsung dikaitkan


dengan sejarah ketertindasan masyarakat Indonesia.
Artikel tersebut berjudul Orang Indonesia cukup
nafkahnya sebenggol sehari? dan Mohammad Hatta-Stokvis.
Dalam tulisannya itu Sukarno secara implisit menjelaskan
bahwa nilai kerja yang dikeluakan oleh masyarakat Indonesia
sangatlah tidak sebanding dengan keuntungan yang diambil oleh
pemerintahan Belanda. Padahal kekayaan sumber daya alam
Indonesia adalah milik orang Indonesia. Namun karena
penjajahan yang dilakukan Belanda berakibat hancurnya
kerejekian masyarakat Indonesia. Bangsa Indonesia menjadi
bangsa kuli (van kollen) dengan upah sebenggol sehari di tanah
airnya sendiri.

15

Anda mungkin juga menyukai