Anda di halaman 1dari 12

Biografi Ir.

Soekarno

Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di
Surabaya, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970. Ayahnya bernama
Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Semasa hidupnya, beliau
mempunyai tiga istri dan dikaruniai delapan anak. Dari istri Fatmawati mempunyai anak
Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh. Dari istri Hartini mempunyai Taufan
dan Bayu, sedangkan dari istri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko
Nemoto mempunyai anak Kartika..

Masa kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar. Semasa SD
hingga tamat, beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto,
politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere
Burger School). Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah menggembleng jiwa nasionalismenya.
Selepas lulus HBS tahun 1920, pindah ke Bandung dan melanjut ke THS (Technische
Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi IT.Ia berhasil meraih gelar
“Ir” pada 25 Mei 1926.

Kemudian, beliau merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional
lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda,
memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929. Delapan bulan
kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul Indonesia Menggugat, beliau
menunjukkan kemurtadan Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu.

Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun
dibubarkan. Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo dan
sekaligus memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende,
Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.

Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta
memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI tanggal 1
Juni 1945, Ir.Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang disebutnya
Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus 1945
Ir.Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama.

Sebelumnya, beliau juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar
(ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau berupaya mempersatukan nusantara.
Bahkan Soekarno berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin
dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi
Gerakan Non Blok.Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik hebat yang
menyebabkan penolakan MPR atas pertanggungjawabannya. Sebaliknya MPR mengangkat
Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Kesehatannya terus memburuk, yang pada hari Minggu, 21
Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan
dimakamkan di Blitar, Jatim di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Pemerintah
menganugerahkannya sebagai “Pahlawan Proklamasi”.
Biografi Bung Hatta / Mohammad Hatta

Dr. (H.C.) Drs. H. Mohammad Hatta (populer sebagai Bung Hatta, lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat,
12 Agustus 1902 – meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77 tahun) adalah pejuang,
negarawan, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia mundur dari jabatan wakil presiden
pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno.

Hatta dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Bandar udara internasional Jakarta menggunakan
namanya sebagai penghormatan terhadap jasanya sebagai salah seorang proklamator kemerdekaan
Indonesia.

Hatta lahir dari keluarga ulama Minangkabau, Sumatera Barat. Ia menempuh pendidikan dasar di
Sekolah Melayu, Bukittinggi, dan pada tahun 1913- 1916 melanjutkan studinya ke Europeesche Lagere
School (ELS) di Padang. Saat usia 13 tahun, sebenarnya ia telah lulus ujian masuk ke HBS (setingkat
SMA) di Batavia (kini Jakarta), namun ibunya menginginkan Hatta agar tetap di Padang dahulu,
mengingat usianya yang masih muda. Akhirnya Bung Hatta melanjutkan studi ke MULO di Padang.
Baru pada tahun 1919 ia pergi ke Batavia untuk studi di Sekolah Tinggi Dagang “Prins Hendrik School”.
Ia menyelesaikan studinya dengan hasil sangat baik, dan pada tahun 1921, Bung Hatta pergi ke
Rotterdam, Belanda untuk belajar ilmu perdagangan/bisnis di Nederland Handelshogeschool (bahasa
inggris: Rotterdam School of Commerce, kini menjadi Universitas Erasmus). Di Belanda, ia kemudian
tinggal selama 11 tahun.

Saat berusia 15 tahun, Hatta merintis karir sebagai aktivis organisasi, sebagai bendahara Jong
Sumatranen Bond (JSB) Cabang Padang. Di kota ini Hatta mulai menimbun pengetahuan perihal
perkembangan masyarakat dan politik, salah satunya lewat membaca berbagai koran, bukan saja
koran terbitan Padang tetapi juga Batavia. Lewat itulah Hatta mengenal pemikiran Tjokroaminoto dalam
surat kabar Utusan Hindia, dan Agus Salim dalam Neratja.

Hatta mengawali karir pergerakannya di Indische Vereeniging pada 1922, lagi-lagi, sebagai Bendahara.
Penunjukkan itu berlangsung pada 19 Februari 1922, ketika terjadi pergantian pengurus Indische
Vereeniging. Ketua lama dr. Soetomo diganti oleh Hermen Kartawisastra. Momentum suksesi kala itu
punya arti penting bagi mereka di masa mendatang, sebab ketika itulah mereka memutuskan untuk
mengganti nama Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging dan kelanjutannya
mengganti nama Nederland Indie menjadi Indonesia. Sebuah pilihan nama bangsa yang sarat
bermuatan politik. Dalam forum itu pula, salah seorang anggota Indonesische Vereeniging mengatakan
bahwa dari sekarang kita mulai membangun Indonesia dan meniadakan Hindia atau Nederland Indie.

Pada tahun 1945, Hatta secara aklamasi diangkat sebagai wakil presiden pertama RI, bersama Bung
Karno yang menjadi presiden RI sehari setelah ia dan bung karno memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia. Oleh karena peran tersebut maka keduanya disebut Bapak Proklamator Indonesia.
Muhammad Yamin - Pujangga Hukum

Muhammad Yamin lahir di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, 24 Agustus 1903 – meninggal di
Jakarta, 17 Oktober 1962 pada umur 59 tahun, adalah terpelajar hukum dan pujangga yang lihai
meracik sajak. Sebagai seorang Meester in de Rechten pada tahun 1932 di Rechtshoogeschool te
Batavia, ia juga menulis banyak puisi, skrip drama, novel, dst yang menyuarakan kebesaran peradaban
bangsa ini. Ia telah membuat, hukum tak hanya sederetan pasal, melainkan sajak yang berdialog
dengan rasa keadilan. Ia juga membuat bernegara bukanlah birokrasi yang kering.

Meski kiprahnya seringkali diliputi oleh kontroversi. Kehadirannya dalam sejarah dihujat sebab
penyulapan naskah pidato di Dokuritsu Zyunbi Tyoosokai atau Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Kemerdekaan (BPUK). Bait-bait Pancasila yang dituduh telah direkayasa membekaskan cibiran. Meski
kiprahnya pada bangsa ini—lepas dari kesalahannya—begitu besar kontribusinya.

Baginya, sebuah sumpah adalah kesucian dari jiwa. Dalam sebuah goresan penanya, ‘Sumpah
Indonesia Raja,’ ia berdalih. Bahwa tiga kali bersumpah telah berkumandang. Sumpah dilantunkan
pada tahun 683, 1331 dan 1928. Sebuah sumpah yang berakar pada sejarah dan peradaban puncak.
Sriwijaya, Majapahit dan Indonesia.

Ia yakin suatu saat, pasti Indonesia akan sampai pada titik puncak keemasan. Seperti peradaban-
peradaban sebelumnya nusantara. Imajinasi itu dibangun. Dibubuhkan dalam sajak, tulisan, dan teks-
teks lain dengan apik. Memang sejak muda, Yamin sudah gemar menulis. Sebuah keunggulan tokoh
nasional zaman dulu, mereka menggoreskan penanya, disamping mengelola birokrasi dan
aktivismenya.

Maka tak heran, karya-karya bercita-rasa seni tingkat tinggi ditorehkannya. Karya-karya dipahatnya
seperti : ‘Kalau Dewa Tara Sudah Berkata’ (1932), ‘Ken Arok dan Ken Dedes’ (1934), ‘Gadjah Mada’
(1948), ‘Sapta Dharma’ (1948), dst. Dari sekian banyak buku-bukunya, termasuk buku serius
membahas tentang teori hukum, umpamanya ‘Proklamasi dan Konstitusi Indonesia’ dan ‘Konstituante
Indonesia dalam Gelanggang Demokrasi’, tak jarang diwarnai ornamen kata-kata sastra di sudut-sudut
kalimatnya. Dengan demikian, ia sebenarnya layak disebut sebagai pujangga hukum.

Sebagai seorang pujangga hukum, produktivitasnya tak semulus yang dibayangkan. Tak selamanya, ia
bebas menulis. Lantaran mahlumat yang dituliskannya, ia harus mendekam di penjara selama dua
tahun. Maklumat itu dipandang oleh pemerintah Soekarno sebagai sebentuk makar pada rejim status
quo. Negeri tempatnya mengabdi, juga menitikan cerita pahit dalam perjalanan Yamin.

Menulis perjalanan hidup Yamin dan pemikiran hukumnya adalah salah satu pekerjaan membangun
sejarah peradaban hukum di Indonesia. Majalah Tempo, pada tanggal 18 Agustus 2014, berjudul
‘Muhammad Yamin 1903-1962 Menciptakan Banyak Mitos tentang Indonesia, ia pecinta Republik
yang Keras Kepala. Bung Hatta Menudingnya Licik. Ia Dipuja dan Dicela.’ Nyaris tak ada yang tersisa
dari cerita tentang Yamin. Semuanya sudah ditulis secara detail dan punya nilai jurnalisme yang enak
dibaca oleh majalah Tempo.

Upaya berikutnya adalah melacak jejak pemikirannya dan peninggalannya di bidang hukum. Melalui
karya-karya yang telah dituliskannya, penelitian akan ditujukan bagaimana menafsirkan dan
menteoritisasikan karya Yamin itu. Usaha yang lain adalah menulis tentang apa-apa saja yang belum
diuraikan oleh majalah Tempo. Seperti saat ia mengusulkan penguatan institusi parlemen.

Saat Indonesia sedang ditempa oleh sisa-sisa politik etis, pada tahun 1939, ia bersuara lantang. Ia ingin
demokrasi dijalankan. Salah satunya menguatkan kelembagaan parlemen. Tak pelak juga, bisa
dikatakan ia mengamankan posisinya sebagai anggota Volksraad. Namun dalil Yamin cukup rasional
dan masuk akal.

Ia berkata bahwa ‘maka boleh dikatakan pada waktoe ini seloeroeh pergerakan soedah hidoep
kembali dan teroes berdiri menghadapi tjita-tjita jang sama dan djelas, jaitoe menoedjoe satoe
Parlement.’ Parlemen sebagai lembaga yang menyalurkan ‘oesaha rakjat’ bagi Yamin. Cita-cita
parlemen sudah menggelinding semenjak Rafles dan John Leyden (1811). Maka tak akan disia-siakan
saluran parlemen yang ada untuk sarana perjuangan rakyat.

Pengalaman di parlemen pada masa kolonial, membuat Yamin tampil sebagai sosok yang dinamis.
Sedinamis tulisan-tulisannya, menjadikannya sebagai pujangga hukum yang punya ciri yang makin
berwarna. Pahit asam manisnya kehidupan telah dilaluinya, di dunia birokrasi dan politik. Di bidang
birokrasi, ia berturut-turut menjadi menteri, seperti Menteri Kehakiman (1951-1952), Menteri
Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (1953-1955), Menteri Urusan Sosial dan Budaya (1959-
1960), dan Menteri Penerangan (1962-1963).

Pujangga hukum pun berkiprah di dunia politik dengan cukup gemilang di eranya. Pada tanggal 21 Juli
1939, ia mendirikan Partai Persatoean Indonesia. Ia sendiri menjabat sebagai ketuanya. Partai yang
punya program di wilayah politik, sosial dan ekonomi. Partai ini mempunyai beberapa cabang, seperti:
cabang Djakarta, cabang Soekabumi, cabang Sibolga, cabang Medan, dan cabang Bogor.

Jejak pemikiran dan pengalaman Yamin akan membawa banyak inspirasi bagi generasi saat ini.
Bagaimana dialektika hukum, kasusteraan, sejarah, politik, dst membaur dengan harmonis dalam
tubuh seorang negawaran. Yamin punya saripati ketauladanan dalam bernegara, berhukum dan
berpolitik.

Sumber : http://www.pustokum.org
BIOGRAFI AHMAD SUBARDJO DJOYOADISURYO

Ahmad Subardjo Djoyoadisuryo

Soebardjo adalah tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia, diplomat, dan Pahlawan


Nasional Indonesia. Ia juga Menteri Luar Negeri Indonesia yang pertama. Semasa remaja
Subarjo sekolah di Hogere Burger School, Jakarta (Setara dengan Sekolah Menengah Atas)
pada tahun 1917. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Leiden, Belanda dan
memperoleh ijazah Meester in de Rechten (saat ini setara dengan Sarjana Hukum) di bidang
undang-undang pada tahun 1933. Dalam bidang pendidikan, Sebardjo merupakan profesor
dalam bidang Sejarah Perlembagaan dan Diplomasi Republik Indonesia di Fakultas
Kesusasteraan, Universitas Indonesia.

Achmad Soebardjo lahir di Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat, tanggal 23 Maret
1896. Ayahnya bernama Teuku Muhammad Yusuf, masih keturunan bangsawan Aceh dari
Pidie. Ibu Ahmad Soebardjo bernama Wardinah. Ia keturunan Jawa-Bugis, dan anak dari
Camat di Telukagung, Cirebon. Ketika menjadi mahasiswa, Soebardjo aktif dalam
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui organisasi kepemudaan seperti Jong Jawa
dan Persatuan Mahasiswa Indonesia di Belanda. Ahmad Subarjo juga pernah menjadi utusan
Indonesia bersama dengan Mohmmad Hatta pada konferensi antar bangsa "Liga Menentang
Imperialisme dan Penindasan Penjajah" yang pertama di Brussels dan kemudiannya di Jerman.
Pada persidangan pertama itu juga ia bertemu Jawaharlal Nehru dan pemimpin-pemimpin
nasionalis yang terkenal dari Asia dan Afrika. Sewaktu kembalinya ke Indonesia, ia aktif
menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Karir Ahmad Subarjo terus naik ketika dilantik menjadi Menteri Luar Negeri tanggal
17 Agustus 1945, sekaligus sebagai menteri luar negeri pertama. Kabinet saat itu bernama
Kabinet Presidensial, kemudian menjabat Menteri Luar Negeri sekali lagi pada tahun 1951 -
1952. Selain itu, ia juga menjadi Duta Besar Republik Indonesia di Switzerland antara tahun-
tahun 1957 - 1961.
Ahmad Subardjo Djoyoadisuryo meninggal dunia dalam usia 82 tahun di Rumah Sakit
Pertamina, Kebayoran Baru, akibat flu yang menimbulkan komplikasi. Ia dimakamkan di
rumah peristirahatnya di Cipayung, Bogor. Pemerintah mengangkat almarhum sebagai
Pahlawan Nasionl pada tahun 2009.
Biografi AA Maramis

Laporan Wartawan Tribun Manado, Finneke Wolajan

TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Jalan dua arah menuju Bandara Sam Ratulangi


Manado bernama jalan AA Maramis. Dari arah yang sama, di sisi kiri jalan ada sebuah
monumen setengah badan, seisi monumen itu berwarna hijau. Monumen itu adalah
AA Maramis, yang diresmikan pada 15 November 1985 oleh Menteri Koordinator Bidang
Politik dan Keamanan waktu itu, Surono.

Siapakah gerangan Alexander Andries Maramis ini? Banyak masyarakat Sulawesi Utara
rupanya tak tahu siapa sosok yang satu ini.

AA Maramis, putra asli Minahasa, kelahiran 20 Juni 1897 di Desa Paniki Bawah. Dulunya desa
ini masih masuk daerah administratif Minahasa, sebelum otonomi daerah dan menjadi bagian
dari Kota Manado. AA Maramis adalah salah seorang founding father atau pendiri bangsa
Indonesia. Ia menjadi anggota BPUPKI, panitia 9.

Selain itu, dari catatan sejarah, 20 prestasi menonjol AA Maramis, selain founding father yakni
menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), Menteri Negara dan Wakil Menteri
Keuangan, 19 Agustus 1945 - 25 September 1945 Menteri Keuangan, Menteri Keuangan ke-1
(presidentil), Menteri Keuangan Kabinet A Syarifudin ke-1, Menteri Keuangan Kabinet A
Syarifudin ke-2, Menteri Keuangan Kabinet Presidentil ke-11 (Moh Hatta).

Wakil Ketua PMI Januari 1947, Pimpinan Delegasi Indonesia ke Konferensi Asia di New Delhi
(20-23 Januari 1949), Pendiri Pemerintahan RI dalam pengasingan (in exile) di India, Menlu
Pemerintahan Darutat RI, Dubes Istimewa pengawas semua semua perwakilan RI d luar negeri,
Penasehat Konferensi Meja Bundar di Belanda, Dubes Jerman Barat, Kepala Direktorat Asia
Pasifik Deparlu, Dubes di Moskow dan Finlandia, Anggota Panitia 5 Kesatuan Tafsir Pancasila
saat usia 78 tahun.
AA Maramis kecil menamatkan pendidikan dasarnya pada tahun 1911 di sebuah sekolah elit
Belanda di Manado, yakni Europeesche Lagere School (ELS). Sekolah tersebut terletak di
pusat Kota Manado, yang sekarang menjadi SD N 4 Manado. Selesai menamatkan pendidikan
dasarnya, keluarga berembuk untuk menyekolahkan AA Maramis ke pendidikan sekolah yang
lebih tinggi di Batavia yakni Hogere Burger School (HBS) , mengingat saat itu Manado hanya
salah satu wilayah keresidenen Ternate.

Pada tahun 1918 keluarga lalu mengirim AA Maramis ke HBS di Jalan Matraman.

Sejak bersekolah di Batavia, Maramis bertemua dengan teman-teman sebangsanya dari daerah
berbeda. Di antanya Achmad Soebardjo dan Datuk Natsir Pamuntjak. Ketiganya yang dari
Sulawesi, Jawa dan Sumatera lalu melanjutkan sekolah di Universitas Leiden Belanda.
Ketiganya mendapat beasiswa dari pemerintah Hindia Belanda sekana enam tahun. Mereka
yang studi di Ilmu Hukum harus menguasai bahasa Yunani dan Latin.

Semasa kuliah AA Maramis bertemu pemuda dari seluruh Indonesia yang kuliah di kampus
yang sama. Pertemuan itu mengubah pandangan politiknya. Dari pengamatannya ada
kelompok pemuda Islam yang dipengaruhi organisasi Sarekat Islam yang di Indonesia
berkembang menjadi kekuatan anti kolonial. Begitu pula pemuda beraliran sosialis yang telah
mendapat pendidikan Marxisme Leninisme mereka berafiliasi dengan sarekat pekerja untuk
memerangi imperialisme. AA Maramis dikenal mahasiswa cerdas.
Wahid Hasyim (Biografi Singkat)

K.H. A.Wahid Hasyim adalah putra kelima pasangan K.H. M.Hasyim Asy’ari dengan Nyai
Nafiqah binti Kiai Iyas. Beliau lahir pada hari Jum’at Legi 1 Juni 1914 atau 5 Rabbi’ Al Awwal 1333 H.
Wahid Hasyim adalah putra kelima dari sepuluh bersaudara. Pada saat beliau lahir, di rumahnya
sedang diadakan pengajian. Kelahiran beliau sangat menggembirakan orang tuanya, karena kakak-
kakaknya semua perempuan.

Pada usia 5 tahun, beliau belajar mengaji pada ayahnya selain bersekolah di Madrasah Salafiah
Tebuireng pada pagi harinya. Wahid Hasyim adalah anak yang cerdas. Pada usia 7 tahun beliau sudah
khatam Al Quran dan dapat membacanya dengan baik.

Sebagai anak seorang tokoh terkemuka, Wahid Hasyim tidak pernah mengenyam bangku
pendidikan di sekolah milik pemerintah Hindia Belanda. Beliau belajar secara autodidak. Pada 1932
beliau pergi ke Makkah. Selain untuk menunaikan ibadah haji,beliau juga menuntut ilmu disana.

Pada tahun 1935 Wahid hasyim mendirikan Madrasah Nizamiah. Selain pelajaran agama,
murid di sekolah ini juga mendapatkan pelajaran bahasa Belanda dan Bahasa Inggris. Kedua bahasa
itu adalah bahasa yang digunakan penjajah. Jadi,ini adalah salah satu cara untuk melawan penjajah.
Karena hadis mengatakan “barang siapa mengetahui bahasa suatu golongan,maka ia akan aman dari
perkosaan golongan itu”. Setahun kemudian,beliau mendirikan IKPI (Ikatan Pelajar-pelajar Islam). Di
organisasi ini, disediakan taman bacaan untuk anak-anak dan pemuda.

Karirnya di NU dimulai sebagai penulis ranting NU Cukir, kemudian ketua NU Jombang. Lalu
menjadi anggota PBNU bagian Ma’arif (pendidikan). Dari sinilah perjuangannya di NU semakin
meningkat dan akhirnya beliau dipilih menjadi Ketua NU.

Tahun 1942 Jepang datang ke Indonesia dan bersikap keras terhadap politik Indonesia.
Akibatnya, MIAI dibubarkan dan NU dibekukan untuk sementara waktu. Bahkan, ayah Wahid Hasyim,
Hasyim Asy’ari, sempat dipenjara dan berhasil dibebaskan oleh Wahid Hasyim dan kiai sepuh NU.
Wahid Hasyim juga melakukan strategi bagaimana memperoleh pelejaran militer Jepang bagi pemuda
Indonesia. Lalu, beliau mendirikan laskar-laskar dan memasukkan banyak pemuda di PETA dan
mendirikan Hizbullah.
Sekitar tahun 1944 Jepang memberi harapan jika Indonesia akan merdeka. Untuk itu,
dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Wahid Hasyim menjadi salah satu
anggota PPKI ini. Beliau juga ikut berperan dalam pembentukan Piagam Jakarta, Pancasila, dan UUD
1945. Setelah kemerdekaan dan terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden Soekarno-Hatta, maka
segeralah dibentuk kabinet pemerintahan. Wahid Hasyim memulai karirnya sebagi Menteri Negara.
Kemudian menjadi Menteri Agama dalam beberapa kabinet yang saat itu sering berganti karena pada
masa itu pemerintahan bersifat parlementer.

Hari Sabtu, tanggal 18 April 1953, Wahid Hasyim akan menghadiri rapat NU di Sumedang.
Beliau ditemani seorang sopir, Argo Sucipto (Sekjen PBNU), dan putra sulungnya, Abdurrahman Wahid
Ad-Dakhil atau Gus Dur. Sekitar pukul satu siang, mereka mengalami kecelakaan. Wahid Hasyim dan
Argo Sucipto terlempar keluar mobil dan mengalami luka parah. Pada pukul 16.00 mobil ambulans
membawa korban ke Rumah Sakit Boromeus Bandung. Besoknya, hari Minggu 19 April 1953, Wahid
Hasyim meinggal dunia pada usia 39 tahun. Jenazah beliau dimakamkan di Pesantren Tebuireng
Jombang.

Anda mungkin juga menyukai