Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih
Dosen Pembimbing :
KELOMPOK V
Disusun Oleh :
2021/2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
banyak memberikan beribu-ribu nikmat kepada kita umatnya. Rahmat beserta
salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita, pemimpin akhir zaman
yang sangat dipanuti oleh pengikutnya yakni Nabi Muhammad SAW.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1-PENDAHULUAN......................................................................................4
1.3.1 Untuk mengetahui apa itu Syar’u Man Qablana dan pengaruhnya.........4
BAB 2-PEMBAHASAN.........................................................................................5
1.3.1 Untuk mengetahui apa itu Syar’u Man Qablana dan pengaruhnya
Pada dasarnya syari’at itu adalah satu karena datang dari Allah juga oleh
karena itu, apa yang disyari’atkan kepada para nabi terdahulu dan disebutkan
dalam Al-Qur’an berlaku kepada umat Muhammad SAW. Hal itu ditunjukkan
oleh Firman Allah dalam QS. As-Syura/42:13 :
Artinya: “Dia telah mensyari’atkan kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan
apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah
agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-
orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada
agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan member petunjuk kepada (agama)-
Nya orang yang kembali (kepada-Nya).”
Selain itu, terdapat beberapa ayat yang menyuruh mengikuti para nabi
terdahulu, antara lain firman Allah :
1. Syariat terdahulu yang terdapat dalam al-qur’an atau penjelasan Nabi yang
disyariatkan untuk umat sebelum Nabi Muhammad dan dijelaskan pula
dalam al-qur’an atau hadis Nabi bahwa yang demikian telah di-nasakh
dan tidak berlaku lagi bagi umat Nabi Muhammad SAW. Seperti firman
allah dalam surat Al-An’am/8:146 :
“Kami haramkan atas orang-orang Yahudi setiap binatang yang punya
kuku, dan dari sapi dan kambing kami haramkan pada mereka lemaknya”.
Ayat ini mengisahkan apa yang diharamkan Allah untuk orang Yahudi
dahulu. kemudian dijelaskan pula dalam al-qur’an bahwa hal itu tidak berlaku lagi
untuk umat Nabi Muhammad sebagaimana disebutkan dalam surat Al-
An’am/6:145 :
1. Dinasakh syariat kita (syariat islam). Tidak termasuk syariat kita menurut
kesepakatan semua ulama. Contoh : Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian
yang terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu.
2. Dianggap syariat kita melalui al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini termasuk
syariat kita atas kesepakatan ulama. Contoh : Perintah menjalankan puasa.
3. Tidak ada penegasan dari syariat kita apakah dinasakh atau dianggap
sebagai syariat kita.
Diantara asas yang sama itu adalah yang berhubungan dengan konsepsi
ketuhanan, tentang akhirat, tentang janji, dan ancaman Allah. Sedangkan
rinciannya ada yang sama dan ada juga yang berbeda sesuai dengan kondisi dan
perkembangan zaman masing-masing.
Oleh karena itu terdapat penghapusan terhadap sebagian hukum umat-
umat yang sebelum kita (umat Islam) dengan datangnya syari‟at Islamiyah dan
sebagian lagi hukum-hukum umat yang terdahulu tetap berlaku, seperti qishash.
Jadi, Syar’u man qablana berlaku bagi kita, apabila syari’at tersebut
terdapat dalam al-qur’an dan hadist-hadist yang shahih dengan alasan :
Sesuatu dikatakan madzhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut
menjadi ciri khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan
madzhab adalah metode yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian,
kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas
batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan
kaidah-kaidah. Dengan demikian, madzhab sahabat adalah jalan yang ditempuh
para sahabat.
Alasan yang kedua adalah hadits Rasul SAW. yang artinya “Sahabatku
bagaikan bintang-bintang siapa saja di antara mereka yang kamu ikuti pasti
engkau mendapat petunjuk”. Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW
menjadikan ikutan kepada siapa saja dari sahabatnya sebagai dasar memperoleh
petunjuk (hidayah). Hal ini menunjukkan bahwa tiap-tiap pendapat dari mereka
itu adalah hujjah dan wajib kita terima/amalkan.
Dari segi alasan logika, pendapat sahabat dijadikan hujjah karena terdapat
kemungkinan bahwa pendapatmeraka itu berasal dari Rasulullah. Disamping itu
karena mereka sangat dekat dengan Rasulullah dalam rentang waktu yang lama,
hal ini memberikan pengalaman yang sangat luas kepada mereka dalam
memahami ruh syari’at dan tujuan-tujuan persyari’atan hokum syara’. Dengan
bergaul dengan Rasulullah berarti mereka merupakan murid-murid langsung dari
beliau dalam menetapkan hukum, sehingga diyakini pendapat mereka lebih
mendekati kebenaran. Oleh karena itu, jika pendapat mereka bertentangan dengan
al-Qiyas, maka sangat mungkin ada landasan hadits yang mereka gunakan untuk
itu. Sebagaimana diketahui, mereka adalah generasi terbaik (memiliki sifat Al
‘Adalah), yang sangat sulit diterima menurut kebiasaan jika melahirkan pendapat
syara’tanpa alasan, sebab hal itu terlarang menurut syara’.
C. Sadd Adz-Dzari’ah
2.10 Pengertian Sadd Adz-Dzari’ah
Secara etimologis, kata sadd adz-dzari’ah ( )سد الذريعةmerupakan bentuk
frase (idhafah) yang terdiri dari dua kata, yaitu sadd ( ) َس ُّدdan adz-dzari’ah ()ال َّذ ِر ْي َعة.
Secara etimologis, kata as-sadd ()ال َّس ُّدmerupakan kata benda abstrak (mashdar) dari
َس َّد يَ ُس ُّد َس ًّدا. Kata as-sadd tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan
menimbun lobang. Sedangkan adz-dzari’ah ( )ال َّذ ِر ْي َعةmerupakan kata benda (isim)
bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana dan sebab terjadinya sesuatu. Secara
terminologis atau istilah kata Adz-Dzari’ah di kalangan ahli Ushul diartikan
sebagai jalan yang menjadi perantaraan dan jalan kepada sesuatu yang dilarang.
Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara tersebut bisa
berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan. Dari berbagai
pandangan di atas, bisa dipahami bahwa Sadd Adz-Dzari’ah adalah menetapkan
hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan
maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.
Dari ayat di atas, nampak jelas bahwa mencaci maki Tuhan atau sembahan
agama lain adalah adz-dzari’ah yang akan menimbulkan adanya sesuatu
mafsadah yang dilarang, yaitu mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi
mechanism defense, orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas
mencaci Tuhan yang diyakini oleh orang sebelumnya mencaci. Karena itulah,
sebelum balasan caci maki itu terjadi, maka larangan mencaci maki tuhan agama
lain merupakan tindakan pencegahan (Sadd Adz-Dzari’ah).
Yang kedua adalah As-Sunnah. Seperti hadist yang diriwayatkan oleh
Allah SWT berikut ini “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Yang
halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas. Namun diantara keduanya ada
perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Maka
barangsiapa yang menjauhi diri dari yang syubhat berarti telah memelihara
agamanya dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang sampai jatuh (mengerjakan)
pada perkara-perkara syubhat, sungguh dia seperti seorang penggembala yang
menggembalakan ternaknya di pinggir jurang yang dikhawatirkan akan jatuh ke
dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki batasan, dan ketahuilah bahwa
batasan larangan Allah di bumi-Nya adalah apa-apa yang diharamkan-Nya. Dan
ketahuilah pada setiap tubuh ada segumpal darah yang apabila baik maka baiklah
tubuh tersebut dan apabila rusak maka rusaklah tubuh tersebut. Ketahuilah, ia
adalah hati".(Shohih Bukhari No.50)
Yang ketiga adalah kaidah fiqih. Di antara kaidah fikih yang bisa dijadikan
dasar penggunaan Sadd Adz-Dzari’ah adalah :
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dzari’ah jenis ini dibagi menjadi dua yaitu :
Sedangkan Imam Syafi’i dan Abu Hanifah kurang dari mereka walaupun
mereka berdua terakhir tidak menolak dzari’ah secara keseluruhan dan tidak
mengakuinya sebagai dalil yang berdiri sendiri. Menurut Syafi’I dan Abu
Hanifah, dzari’ah ini masuk kedalam dasar yang telah mereka tetapkan yaitu qiyas
dan istihsan menurut Hanafi.
Berpegang pada dzari’ah tidak boleh terlalu berlebihan, karena orang yang
tenggelam didalamnya bisa saja melarang perbuatan yang sebenarnya mubah,
mandub bahkan yang wajib, karena terlalu khawatir terjerumus ke jurang
kedzaliman. Oleh karena itu Ibnul Araby didalam kitabnya Ahkamul Qur’an
mengaitkan keharaman karena dzari’ah itu apabila yang diharamkan karena saddu
dzari’ah itu, tsabit keharamannya dengan nash, bukan dengan qiyas, dan bukan
pula dengan dzari’ah. Oleh karena itu tidak boleh meninggalkan perwalian harta
anak yatim karena takut dzalimnya wali.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
https://epalyuardi.blogspot.com/2019/02/makalah-syarun-man-qablana-
pengertian.html?m=1
https://santritua17.blogspot.com/2017/09/madzhab-shahabi.html?m=1
https://harianto05091995.blogspot.com/2018/11/makalah-ushul-fiqh-tentang-sad-
adz.html?m=1