Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

SYAR’U MAN QABLANA, MAHZAB SHAHABI DAN SAD DZARIAH

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih

Dosen Pembimbing :

Dwi Aprilianto, Lc., M. HI

KELOMPOK V

Disusun Oleh :

M. Ilham Sampurno (0120101099)

Nur Fatikhatul Izzah (012010108)

Syuaibatul Islamiyah (012010116)

FAKULTAS AGAMA ISLAM

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM LAMONGAN

2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
banyak memberikan beribu-ribu nikmat kepada kita umatnya. Rahmat beserta
salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita, pemimpin akhir zaman
yang sangat dipanuti oleh pengikutnya yakni Nabi Muhammad SAW.

Makalah tentang “Syar’u Man Qablana, Mahdzab Shahabi dan Sad


Dzariah” diharapkan bisa membuka wawasan kepada para mahasiswa dan
khalayak bahwa ilmu ushul fiqih dewasa ini sangat besar pengaruhnya terutama
dalam dunia pendidikan dan Islam.

Penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah


memberikan pengarahan-pengarahan sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan tepat waktu. Tidak lupa juga kepada Bapak Dosen
Pembimbing dan teman-teman yang lain untuk memberikan sarannya kepada
kami agar penyusunan makalah ini menjadi lebih baik lagi.

Demikian atas perhatiannya semoga makalah ini bermanfaat khususnya


bagi penyusun dan umumnya semua yang membaca makalah ini. Terima kasih.

Lamongan, 18 Oktober 2021

Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB 1-PENDAHULUAN......................................................................................4

1.1 Latar Belakang...............................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................4

1.2.1 Apa itu Syar:u Man Qablana dan pengaruhnya?.....................................4

1.2.2 Apa itu Mahdzab Shahabi dan pengaruhnya?.........................................4

1.2.3 Apa itu Sadd Adz-Dzariah dan pengaruhnya?.........................................4

1.3 Tujuan dan Manfaat........................................................................................4

1.3.1 Untuk mengetahui apa itu Syar’u Man Qablana dan pengaruhnya.........4

1.3.2 Untuk mengetahui apa itu Mahdzab Shahabi dan pengaruhnya..............4

1.3.3 Untuk mengetahui apa itu Sadd Adz-Dzariah dan pengaruhnya.............4

BAB 2-PEMBAHASAN.........................................................................................5

2.1 Pengertian Syar’u Man Qablana.....................................................................5

2.2 Pendapat Ulama Mengenai Syar’u Man Qablana..........................................5

2.3 Pengelompokan Syar’u Man Qablana............................................................6

2.4 Macam-Macam Syar’u Man Qablana............................................................7

2.5 Kedudukan Syar’u Man Qablana...................................................................7

2.6 Kehujjahan Syar’u Man Qablana...................................................................8

2.7 Pengertian Madzhab Shahabi.........................................................................9

2.8 Pelaksanaan Madzhab Shahabi Dalam Kehidupan Masyarakat...................10

2.9 Pendapat Ulama Tentang Kehujjahan Madzhab Shahabi............................12


2.10 Pengertian Sadd Adz-Dzari’ah...................................................................14

2.11 Dasar Hukum Sadd Adz-Dzari’ah..............................................................14

2.12 Macam – macam Sadd Adz-Dzari’ah........................................................16

2.13 Pandangan Ulama’ Tentang Sadd Adz-Dzari’ah.......................................17


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa itu Syar’u Man Qablana dan pengaruhnya?

1.2.2 Apa itu Mahdzab Shahabi dan pengaruhnya?

1.2.3 Apa itu Sadd Adz-Dzariah dan pengaruhnya?

1.3 Tujuan dan Manfaat

1.3.1 Untuk mengetahui apa itu Syar’u Man Qablana dan pengaruhnya

1.3.2 Untuk mengetahui apa itu Mahdzab Shahabi dan pengaruhnya

1.3.3 Untuk mengetahui apa itu Sadd Adz-Dzariah dan pengaruhnya


BAB 2
PEMBAHASAN

A. Syar’u Man Qablana

2.1 Pengertian Syar’u Man Qablana


Syar’u Man Qablana adalah syari’at atau ajaran nabi-nabi sebelum islam
yang berhubungan dengan hukum, seperti syari’at Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi
Isa AS. Contoh dari Syar’u Man Qablana sendiri sebagaimana dalam surat Al-
Baqoroh ayat 183 :

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa


sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

2.2 Pendapat Ulama Mengenai Syar’u Man Qablana


Menurut Jumhur Ulama yang terdiri atas ulama Hanafiyah, Malikiyah,
sebagian ulama Syafi’iyyah dan salah satu pendapat Imam Ahmad Ibnu Hanbal
menyatakan bahwa apabila hukum-hukum syari’at sebelum islam itu disampaikan
kepada Rasulullah SAW. Melalui wahyu, yaitu AL-Qur’an, bukan melalui kitab
agama mereka yang telah berubah, dengan syarat tidak ada nash yang menolak
hukum-hukum itu, maka umat islam terikat dengan hukum-hukum itu. Alasan
yang di kemukakan adalah :

Pada dasarnya syari’at itu adalah satu karena datang dari Allah juga oleh
karena itu, apa yang disyari’atkan kepada para nabi terdahulu dan disebutkan
dalam Al-Qur’an berlaku kepada umat Muhammad SAW. Hal itu ditunjukkan
oleh Firman Allah dalam QS. As-Syura/42:13 :

Artinya: “Dia telah mensyari’atkan kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan
apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah
agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-
orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada
agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan member petunjuk kepada (agama)-
Nya orang yang kembali (kepada-Nya).”

Selain itu, terdapat beberapa ayat yang menyuruh mengikuti para nabi
terdahulu, antara lain firman Allah :

Artinya: “Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): Ikutilah agama


Ibrahim yang hanif.” (QS. An-Nahl/16:123).

2.3 Pengelompokan Syar’u Man Qablana


Syar’u man qablana dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu :

1. Syariat terdahulu yang terdapat dalam al-qur’an atau penjelasan Nabi yang
disyariatkan untuk umat sebelum Nabi Muhammad dan dijelaskan pula
dalam al-qur’an atau hadis Nabi bahwa yang demikian telah di-nasakh
dan tidak berlaku lagi bagi umat Nabi Muhammad SAW. Seperti firman
allah dalam surat Al-An’am/8:146 :
“Kami haramkan atas orang-orang Yahudi setiap binatang yang punya
kuku, dan dari sapi dan kambing kami haramkan pada mereka lemaknya”.

Ayat ini mengisahkan apa yang diharamkan Allah untuk orang Yahudi
dahulu. kemudian dijelaskan pula dalam al-qur’an bahwa hal itu tidak berlaku lagi
untuk umat Nabi Muhammad sebagaimana disebutkan dalam surat Al-
An’am/6:145 :

2. Hukum-hukum dijelaskan dalam al-qur’an maupun hadis nabi disyariatkan


untuk umat sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku untuk umat Nabi
Muhammad dan berlaku untuk selanjutnya.
3. Hukum-hukum yang disebutkan dalam al-qur’an atau hadis nabi,
dijelaskan berlaku untuk umat sebelum Nabi Muhammad, namun secara
jelas tidak dinyatakan berlaku untuk kita, juga tidak ada penjelasan bahwa
hukum tersebut telah di-nasakh.
2.4 Macam-Macam Syar’u Man Qablana
Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum
syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam Al-quran dan Sunnah.
Ulama’ sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat kita.
Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam Al-
quran dan Sunnah. Pembagian kedua ini diklasifikasi menjadi tiga, yaitu:

1. Dinasakh syariat kita (syariat islam). Tidak termasuk syariat kita menurut
kesepakatan semua ulama. Contoh : Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian
yang terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu.
2. Dianggap syariat kita melalui al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini termasuk
syariat kita atas kesepakatan ulama. Contoh : Perintah menjalankan puasa.
3. Tidak ada penegasan dari syariat kita apakah dinasakh atau dianggap
sebagai syariat kita.

2.5 Kedudukan Syar’u Man Qablana


Pada prinsipnya, syariat yang diperuntukkan Allah bagi umat terdahulu
mempunyai asas yang sama dengan syariat yang dibawa Nabi Muhammad. Hal ini
terlihat dalam firman Allah surat Al-Syura:13 :

Artinya: “Dia (Allah) telah mensyari’atkan kepadamu agama yang telah


diwasiatkannya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu
(Muhammad) dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa,
yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan jannganlah kamu
berpecah-pecah belah didalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk
mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang
dikehendaki kepada agama Tauhid dan memberikan petunjuk kepada (agama)-
Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya).”

Diantara asas yang sama itu adalah yang berhubungan dengan konsepsi
ketuhanan, tentang akhirat, tentang janji, dan ancaman Allah. Sedangkan
rinciannya ada yang sama dan ada juga yang berbeda sesuai dengan kondisi dan
perkembangan zaman masing-masing.
Oleh karena itu terdapat penghapusan terhadap sebagian hukum umat-
umat yang sebelum kita (umat Islam) dengan datangnya syari‟at Islamiyah dan
sebagian lagi hukum-hukum umat yang terdahulu tetap berlaku, seperti qishash.

2.6 Kehujjahan Syar’u Man Qablana


Syari’at umat sebelum kita kedudukannya dapat menjadi syariat kita jika
Al-Qur’an dan sunnah telah menegaskan bahwasannya syari’at ini di wajibkan
baik untuk mereka (orang yang sebelum kita) dan juga kepada kita utuk
mengamalkannya, seperti puasa dan qishas. Tetapi jika seandainya Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi menegaskan bahwa syariat orang sebelum kita telah di nasakh
(di hapus) hukumnya maka tidak ada perselisihan lagi bahwa syari’at orang
sebelum kita itu bukan syari’at kita. Seperti syar’iat Nabi Musa, yang menghukum
bahwa orang yang berdosa tidak dapat menebus dosanya kecuali ia harus
membunuh dirinya sendiri, pakaian yang terkena najis tidak dapat di sucikan
kecuali memotong bagian bagian yang terkena najis. Dua syari’at Nabi Musa
tersebut di atas tidak berlaku bagi umat Muhammad. Allah mengharamkan bagi
orang Yahudi setiap binatang yang berkuku, sapi dan domba. Syari’at ini tidak
berlaku bagi umat Muhammad. Selin itu juga, terdapat beberapa perbedaan
syari’at orang sebelum kita dengan syari’at kita seperti format ibadah.

Menurut Abu Zahrah bberapa ketentuan yang harus di perhatikan dalam


melihat syari’at orang. Sebelumkita dengan syari’at orang sebelum kita, sehingga
syar’u man qablana itu layak untuk diikuti atau d tinggalkan. Untuk memutuskan
itu sedikitnya ada tiga hal yang harus jadi pertimbangan :

1. Syari’at orang sebelum kita harus di ceritakan dengan berdasarkan kepada


sumber-sumber yang menjadi pedoman ajaran Islam. Yang tidak dinukil
dari sumber-sumber Islam, makatidak dapat di jadikan hujan bagi umat
Islam. Demikian hasil kesepakatan para fuqaha.
2. Apabila syari’at orang sebelum kita itu telah di naskh (di hapus), maka
tidak boleh di amalkan. Demikian juga jika terddapat dalil yang
menunjukkan kekhususan bagi umat terdahulu, maka syari’at itu khusus
untuk mereka dan tidak berlaku bagi kita seperti Allah sebagian daging
bagi orang bani Israil.
3. Bahwa di lakukan syariat itu untuk mereka (umat sebelum kita) dan juga
berlaku untuk kita itu di dasari oleh nas islam bukan oleh cerita orang-
orang terdahulu. Seperti kewajiban berpuasa Ramadhan.

Sebagian sahabat abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian


sahabat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat mengatakan
bahwa hukum-hukum yang disebutkan dalam al-qur’an atau sunnah nabi
meskipun tidak diharamkan untuk umat nabi Muhammad selama tidak ada
penjelasan tentang nasakhnya, maka berlaku pula untuk umat nabi Muhammad.

Jadi, Syar’u man qablana berlaku bagi kita, apabila syari’at tersebut
terdapat dalam al-qur’an dan hadist-hadist yang shahih dengan alasan :

1. Dengan tercantumnya syar’u man qablana pada Al-Qur’an dan sunnah


yang shahih, maka ia termasuk dalam syari’at samawi
2. Kebenarannya dalam al-qur’an dan sunnah tanpa diiringin dengan
penolakan dan tanpa nasakh menunjukkan bahwa ia juga berlaku sebagai
syari’at Nabi Muhmmmad
3. Sebagai implementasi dari pernyataan bahwa al-qur’an membenarkan
kitab-kitab taurat dan injil
B. Mahzab Shahabi

2.7 Pengertian Madzhab Shahabi


Pengertian Madzhab Sahabat sendiri secara etimologi yaitu kata madzhab
merupakan sighat isim makan dari fi’il madli zahaba yang artinya pergi. Oleh
karena itu,mazhab artinya : tempat pergi atau jalan. Kata-kata yang semakna
ialah :maslak, thariiqah dan sabiil yang kesemuanya berarti jalan atau cara.

Sesuatu dikatakan madzhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut
menjadi ciri khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan
madzhab adalah metode yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian,
kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas
batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan
kaidah-kaidah. Dengan demikian, madzhab sahabat adalah jalan yang ditempuh
para sahabat.

Madzhab Sahabat yang lazimnya juga disebut Qaul Sahabat maksudnya


adalah pendapat-pendapat Shahabat dalam masalah-masalah Ijtihad. Dengan kata
lain Qaul Sahabat adalah pendapat para Sahabat tentang suatu kasus yang dinukil
oleh para Ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, yang tidak
dijelaskan dalam ayat atau hadits.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa pengertian dari madzhab sahabat


adalah jalan yang ditempuh oleh para shahabat dalam menetapkan hukum Islam,
yaitu berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijtihad. Jadi Madzhab Sahabat
adalah jalan yang ditempuh oleh para shahabat dalam menetapkan hukum Islam
berdasarkan Al-Qur’an, sunnah dan hadits. Sedangkan Qaul Sahabat ialah fatwa-
fatwa yang dikeluarkan oleh sahabat Rasulullah saw., menyangkut hukum
masalah-masalah yang tidak diatur dalam nash.

2.8 Pelaksanaan Madzhab Shahabi Dalam Kehidupan Masyarakat


Perbedaan pendapat para ulama mengenai kehujjahan madzhab shababi
sebagai salah satu sumber hukum,menyebabkan perbedaan pula dalam
menghukumi suatu permasalahan yang tidak ada nash yang
menjelaskannya.Berikut ini beberapa contoh dari sekian banyak contoh yang
ada,yang erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari.

1. Hukum shalat jum’at bagi yang shalat ied


a. Imam Asyafi’i berpendapat bahwa kewajiban shalat jumat bagi ahli balad
adapun ahli qura dirukhsah,imam syafi’i berdalilkan sebuah riwayat oleh
imam malik dari ibnu shihab abi ubaid bekas hamba sahaya ibnu azhar,dia
berkata :
“Saya melakukan shalat ied bersama Utsman bin Affan, maka Utsman
shalat lalu berkhatbah dan berkata,sesungguhnya telah berkumpul pada
hari ini dua id,maka barang siapa yang hendak menunggu dari ahli a’liyah
maka tunggulah dan barang siapa hendak pulang maka diizinkan padanya.
b. Imam ahmad berpendapat bahwa shalat jum’at tidak usah dilakukan bagi
mereka yang melaksanakan shalat id baik ahli balad atau ahli qura keculi
imam.Adapun imam ahmad berdalillkan dari yang diriwayatkan iyas bin
abi ramlah asy-syami,dia berkata.SayamelihatMu’awiyah bertanya kepada
Zaid bin Arqam :
”Apakah engkau pernah mendapatkan dua ‘id bersatu pada satu hari
bersama Rasulullah SAW? maka Zaid berkata, ”Iya”. “Maka bagaimana
hukumnya?” Zaid menjawab, ”Shalat ‘Id kemudian dirukhsah pada shalat
jum’at”. Lalu Zaid berkata, ”Barang siapa yang hendak shalat ( shalat
jum’at) maka shalatlah”.(HR.Abu Daud).
c. Adapun imam abu hanifah dan malik berpendapat bahwa shalat jumat dan
shalat id wajib keduanya untuk dilaksanakan ,abu hanifah berdalillkan
bahwa hukum melaksanakan shalat jumat adalah wajib adapun shalat id
maka bagi siapa yang meninggalkannya berarti sesat dan bidah.
2. Status Pernikahan dalam masa ‘Iddah
Imam Malik, Al-Auza’I dan Al-Laits berpendapat bahwa mereka harus
dipisahkan, dan wanita itu menjadi haram bagi laki-laki tersebut
selamanya. Mereka berpendapat dengan perkataan Umar yang
memisahkan antara Thalhah Al-Asdiah dengan suaminya Rasyid Ats-
Tsaqafi ketika mereka menikah pada masa ‘iddah dari suaminya. Dan
berkata, ”Setiap wanita yang menikah dalam masa iddahnya, apabila
suami yang menikahinya itu belum menggaulinya maka harus dipisahkan
keduanya. Kemudian sang wanita menyempurnakan masa iddahnya. Lalu
jika pada masa iddah itu dia menikah lagi dengan yang lain dan sudah
digauli maka harus dipisahkan keduanya. Kemudian sang wanita
menyempurnakan masa ‘iddah dari suami yang pertama lalu dilanjutkan
dengan menjalani masa iddah dari suami yang kedua. Dan antara wanita
tersebut dengan suaminya yang ketiga tidak boleh bersatu selamanya”.
3. Hukum potong tangan bagi seorang pembantu
Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum bagi seorang pembantu yang
mencuri harta tuannya tidak dipotong. Adapun dalilnya :
a. Diriwayatkan oleh Imam Malik, beliau berkata, ”Telah bercerita
kepada kami dari Az-Zuhri dari As-Saib bin Yazid bahwa
Abdullah bin Amar bin Hadhrami datang kepada Umar bi Khattab
dengan seorang hamba, lalu dia berkata, ”Potong tangannya karena
dia telah mencuri”. Umar bertanya, ”Apa yang dicuri olehnya?”,
dia menjawab, ”Cermin istriku yang berharga enam puluh dirham”.
Maka Umar berkata, ”Lepaskan saja karena tidak ada potong
tangan bagi pembantu yang mencuri hartamu”.
b. Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud bahwa seseorang datang
kepadanya lalu berkata, ”Budak saya mencuri harta milik budak
saya yang lain”, lalu Ibnu mas’ud berkata, ”Tidak ada potong
tangan bagi “harta” (baca: budak) yang mencuri “harta” (baca:
budak).

2.9 Pendapat Ulama Tentang Kehujjahan Madzhab Shahabi


Pendapat sahabat tidak menjadi hujjah atas sahabat lainnya. Hal ini telah
disepakati. Namun yang masih diperselisihkan ialah, apakah pendapat sahabat
bias menjadi hujjah atas tabi’n dan orang-orang setelah tabi’in. Ulama ushul
memilik itiga pendapat, di antaranya adalah :

Satu pendapat mengatakan bahwa mazhab Sahabat (qauluss shahabi) dapat


menjadi hujjah. Pendapat ini berasal dari Imam Maliki, Abu bakarar-Razi, Abu
Said shahabat Imam Abu Hanifah, begitu juga Imam Syafi’i dalam madzhab
qadimnya, termasuk juga Imam Ahmad Bin Hanbal dalam satu riwayat. Alasan
pendapat ini adalah firman Allah SWT dalam QS. Ali-Imran: 110 yang artinya
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar”.

Alasan yang kedua adalah hadits Rasul SAW. yang artinya “Sahabatku
bagaikan bintang-bintang siapa saja di antara mereka yang kamu ikuti pasti
engkau mendapat petunjuk”. Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW
menjadikan ikutan kepada siapa saja dari sahabatnya sebagai dasar memperoleh
petunjuk (hidayah). Hal ini menunjukkan bahwa tiap-tiap pendapat dari mereka
itu adalah hujjah dan wajib kita terima/amalkan.

Satu pendapat lagi mengatakan bahwa mazhab sahabat (qauluss shahabi)


secara mutlak tidak dapat menjadi hujjah/dasar hukum. Pendapat ini berasal dari
jumhur Asya’iyah dan Mu’tazilah, Imam Syafi’i dalam mazhabnya yang jaded
(baru) juga Abu Hasan al-Kharha dari golongan Hanafiyah. Alasan mereka antara
lain adalah firman Allah SWT dalam QS. Al-Hasyr yang artinya “Maka ambillah
(kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai
pandangan”. Maksud ayat tersebut adalah bahwa Allah SWT menganjurkan
kepada orang-orang yang mempunyai pandangan/pikiran untuk mengambil i’tibar
(pelajaran). Yang dimaksud i’tibar dalam ayat tersebut ialah qiyas dan ijtihad,
sedangkan dalam hal mujtahid sama saja apakah mujtahid itu sahabat atau bukan
sahabat.

Dari segi alasan logika, pendapat sahabat dijadikan hujjah karena terdapat
kemungkinan bahwa pendapatmeraka itu berasal dari Rasulullah. Disamping itu
karena mereka sangat dekat dengan Rasulullah dalam rentang waktu yang lama,
hal ini memberikan pengalaman yang sangat luas kepada mereka dalam
memahami ruh syari’at dan tujuan-tujuan persyari’atan hokum syara’. Dengan
bergaul dengan Rasulullah berarti mereka merupakan murid-murid langsung dari
beliau dalam menetapkan hukum, sehingga diyakini pendapat mereka lebih
mendekati kebenaran. Oleh karena itu, jika pendapat mereka bertentangan dengan
al-Qiyas, maka sangat mungkin ada landasan hadits yang mereka gunakan untuk
itu. Sebagaimana diketahui, mereka adalah generasi terbaik (memiliki sifat Al
‘Adalah), yang sangat sulit diterima menurut kebiasaan jika melahirkan pendapat
syara’tanpa alasan, sebab hal itu terlarang menurut syara’.

C. Sadd Adz-Dzari’ah
2.10 Pengertian Sadd Adz-Dzari’ah
Secara etimologis, kata sadd adz-dzari’ah (‫ )سد الذريعة‬merupakan bentuk
frase (idhafah) yang terdiri dari dua kata, yaitu sadd ( ‫) َس ُّد‬dan adz-dzari’ah (‫)ال َّذ ِر ْي َعة‬.
Secara etimologis, kata as-sadd (‫)ال َّس ُّد‬merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari
‫ َس َّد يَ ُس ُّد َس ًّدا‬. Kata as-sadd tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan
menimbun lobang. Sedangkan adz-dzari’ah (‫ )ال َّذ ِر ْي َعة‬merupakan kata benda (isim)
bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana dan sebab terjadinya sesuatu. Secara
terminologis atau istilah kata Adz-Dzari’ah di kalangan ahli Ushul diartikan
sebagai jalan yang menjadi perantaraan dan jalan kepada sesuatu yang dilarang.
Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara tersebut bisa
berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan. Dari berbagai
pandangan di atas, bisa dipahami bahwa Sadd Adz-Dzari’ah adalah menetapkan
hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan
maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.

2.11 Dasar Hukum Sadd Adz-Dzari’ah


Yang pertama adalah Al-Qur’an. Seperti firman Allah SWT dalam QS. Al-
An’am:108 yang artinya “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang
mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan.Demikianlah Kami jadikan setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka.Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali
mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka
kerjakan”.

Dari ayat di atas, nampak jelas bahwa mencaci maki Tuhan atau sembahan
agama lain adalah adz-dzari’ah yang akan menimbulkan adanya sesuatu
mafsadah yang dilarang, yaitu mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi
mechanism defense, orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas
mencaci Tuhan yang diyakini oleh orang sebelumnya mencaci. Karena itulah,
sebelum balasan caci maki itu terjadi, maka larangan mencaci maki tuhan agama
lain merupakan tindakan pencegahan (Sadd Adz-Dzari’ah).
Yang kedua adalah As-Sunnah. Seperti hadist yang diriwayatkan oleh
Allah SWT berikut ini “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Yang
halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas. Namun diantara keduanya ada
perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Maka
barangsiapa yang menjauhi diri dari yang syubhat berarti telah memelihara
agamanya dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang sampai jatuh (mengerjakan)
pada perkara-perkara syubhat, sungguh dia seperti seorang penggembala yang
menggembalakan ternaknya di pinggir jurang yang dikhawatirkan akan jatuh ke
dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki batasan, dan ketahuilah bahwa
batasan larangan Allah di bumi-Nya adalah apa-apa yang diharamkan-Nya. Dan
ketahuilah pada setiap tubuh ada segumpal darah yang apabila baik maka baiklah
tubuh tersebut dan apabila rusak maka rusaklah tubuh tersebut. Ketahuilah, ia
adalah hati".(Shohih Bukhari No.50)

Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan yang syubhat lebih


besar kemungkinan akan terjerumus mengerjakan kemaksiatan daripada
kemungkinan dapat memelihara diri dari perbuatan itu. Tindakan yang paling
selamat ialah melarang perbuatan yang mengarah kepada perbuatan maksiat itu.

Yang ketiga adalah kaidah fiqih. Di antara kaidah fikih yang bisa dijadikan
dasar penggunaan Sadd Adz-Dzari’ah adalah :

‫ح‬ َ ‫ب ْال َم‬


ِ ِ‫صال‬ ِ ‫اس ِد أَوْ لَى ِم ْن َج ْل‬
ِ َ‫ َدرْ ُء ْال َمف‬.

Artinya: “Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih


kebaikan (maslahah).”

Kaidah ini merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah


turunan di bawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada kaidah ini. Karena
itulah, sadd adz-dzari’ah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa
dipahami, karena dalam sadd adz-dzari’ah terdapat unsur mafsadah yang harus
dihindari.
2.12 Macam – macam Sadd Adz-Dzari’ah
Dari segi kualitas kemafsadatannya, dzari’ah dibagi menjadi empat:

 Dzari’ah/perbuatan yang pasti akan membawa mafsadat, misalnya


menggali sumur di jalan umum yang gelap.
 Dzari’ah/perbuatan yang jarang membawa mafsadat misalnya menanam
pohon anggur. Walaupun buah anggur sering dibuat minuman keras, tetapi
hal ini termasuk jarang. Karena itu, dzari’ah ini tidak perlu dilarang.
 Dzari’ah/perbuatan yang diduga keras akan membawa mafsadat, misalnya
menjual anggur kepada perusahaan pembuat minuman keras. Dzari’ah ini
harus dilarang.
 Dzari’ah/perbuatan yang sering membawa mafsadat, namun kekhawatiran
terjadinya tidak sampai pada dugaan yang kuat melainkan hanya asumsi
biasa, misalnya transaksi jual beli secara kredit yang memungkinkan
terjadinya riba. Terjadi perbedaanpendapat di kalangan ulama tentang
dzar’ah yang keempat ini. ada yang berpendapat harus dilarang dan ada
yang berpendapat sebaliknya.

Dzari’ah dilihat dari jenis kemafsadatan yang ditimbulkan

Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dzari’ah jenis ini dibagi menjadi dua yaitu :

 Perbuatan yang membawa kemafsadatan misalnya meminum minuman


keras yang mengakibatkan mabuk, dan mabuk itu suatu kemafsadatan.
 Perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau dianjurkan, namun
digunakan untuk melakukan perbuatan yang haram baik disengaja ataupun
tidak. Yang disengaja misalnya nikah al-tahlil dan yang tidak sengaja
misalnya mencaci-maki ibu bapak orang lain yang mengakibatkan orang
tuanya juga dicaci-maki orang tersebut.

Dzari’ah dilihat dari bentuknya dibagi menjadi empat, yaitu:

 Yang secara sengaja ditujukan untuk suatu kemafsadatan misalnya


meminum mminuman keras. Hal ini dilarang oleh syara’
 Pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan tetapi dilakukan untuk suatu
kemafsadatan, misalnya nikah tahlil. Hal ni dilarang oleh syara’.
 Pekerjaan yang hukumnya boleh dan tidak bertujuan untuk suatu
kemafsadatan tetapi biasanya akan mengakibatkan mafsadat, misalnya
mencaci sesembahan orang lain. Hal ini dilarang oleh syara’
 Pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan tetapi kadang membawa
mafsadat, misalnya melihat wanita yang dipinang. Tetapi menurut Ibnu
Qayyim, kemaslahatannya lebih besar maka dibolehkan sesuai kebutuhan.

2.13 Pandangan Ulama’ Tentang Sadd Adz-Dzari’ah


Sebagian besar Ulama’ berpendapat bahwa sadd adz-dzariah dapat
dijadikan dalil dalam fiqh Islam, mereka hanya berbeda dalam
pembatasannya.Imam Malik dan Imam Ahmad amat banyak berpegang pada
dzari.’ah, Ulama malikiyah dan hanabilah dapat menerima kehujjahan sadd adz-
dzari’ah ini sebagai salah satu dalil syara’. Alasan mereka antara lain :

 Firman Allah dalam surat Al-An’am/6:108 :

Artinya: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah


selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas
tanpa pengetahuan….(QS: An An’am:108)

 Hadits Rasulullah SAW

“Ingatlah, tanaman Allah adalah ma’siat-ma’siat kepada-Nya. Siapa yang


menggembalakan di sekitar tanaman tersebut, ia akan terjerumus di dalamnya.
(HR. Bukhari dan Muslim).

Sedangkan Imam Syafi’i dan Abu Hanifah kurang dari mereka walaupun
mereka berdua terakhir tidak menolak dzari’ah secara keseluruhan dan tidak
mengakuinya sebagai dalil yang berdiri sendiri. Menurut Syafi’I dan Abu
Hanifah, dzari’ah ini masuk kedalam dasar yang telah mereka tetapkan yaitu qiyas
dan istihsan menurut Hanafi.
Berpegang pada dzari’ah tidak boleh terlalu berlebihan, karena orang yang
tenggelam didalamnya bisa saja melarang perbuatan yang sebenarnya mubah,
mandub bahkan yang wajib, karena terlalu khawatir terjerumus ke jurang
kedzaliman. Oleh karena itu Ibnul Araby didalam kitabnya Ahkamul Qur’an
mengaitkan keharaman karena dzari’ah itu apabila yang diharamkan karena saddu
dzari’ah itu, tsabit keharamannya dengan nash, bukan dengan qiyas, dan bukan
pula dengan dzari’ah. Oleh karena itu tidak boleh meninggalkan perwalian harta
anak yatim karena takut dzalimnya wali.

Dengan demikian, maka mukallaf (orang muslim yang dikenai kewajiban


atau perintah dan menjauhi larangan agama) wajib mengetahui benar didalam
menggunakan dzari’ah itu akan bahaya menggunakannya atau bahaya
meninggalkannya. Merekapun harus mentarjihkan (menguatkan) diantara
keduanya kemudian harus mengambil mana yang rajih (unggul).
BAB 3
PENUTUP

KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

https://epalyuardi.blogspot.com/2019/02/makalah-syarun-man-qablana-
pengertian.html?m=1

https://santritua17.blogspot.com/2017/09/madzhab-shahabi.html?m=1

https://harianto05091995.blogspot.com/2018/11/makalah-ushul-fiqh-tentang-sad-
adz.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai