Anda di halaman 1dari 15

Accelerat ing t he world's research.

Bhinneka Tunggal Ika


RIZAL IKHSAN

Related papers Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

Keset araan Warga dan Hak Budaya Komunit i dalam Masyarakat Majemuk Indonesia 1
RIZAL IKHSAN

Komunikasi Mult ikult ural dalam Masyarakat Indonesia


Findy Jumpa

PENGERT IAN MASYARAKAT


Choirul Nizar
Bhinneka Tunggal Ika:
Keanekaragaman Sukubangsa atau Kebudayaan? 1

Parsudi Suparlan

(Universitas Indonesia)

Abstract

In this article, the author presents his thoughts on cultural diversity as the motto of Indo-
nesia nation, on the basis of the ideology of ‘Unity in Diversity’ (Bhinneka Tunggal Ika). The
author has a notion that the meaning of bhinneka tunggal ika was emphasized as ethnics diver-
sity during New Order (Orde Baru) and Habibies rezim era. It represents the consequence of
ethnical politics with plural society model used by the regimes.
The fall down of the New Order regime, caused any social conflicts and national disintegra-
tion especially in a period of Habibie governance. To rebuild social solidarities and the Indo-
nesian national integration, the author offers model of multiculturalism in comprehending
bhinneka tunggal ika which emphasizing equal cultural diversity. The author stresses that the
model of multiculturalism only possible exist and expand in societes which uphold principles of
democracy, justice supremation of law, and also eradication of corruption and collusion.

Pendahuluan: masyarakat majemuk kebudayaannya. Kelompok-kelompok suku-


Indonesia dan permasalahannya bangsa itu dipersatukan dan diatur secara ad-
Dalam berbagai tulisan saya, antara lain ministratif oleh sistem nasional Indonesia yang
Suparlan (2001a, 2001b), telah saya tunjukkan berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945.
bahwa penekanan corak masyarakat majemuk, Di bawah pemerintahan Presiden Soeharto,
atau bhinneka tunggal ika Indonesia didasarkan sistem nasional tersebut didominasi oleh
pada kesukubangsaan yang mengacu pada coraknya yang sentralistis, otoriter-militeristis,
kelompok-kelompok atau masyarakat-masya- korup, pemanipulasian SARA dan hukum le-
rakat sukubangsa2 dengan masing-masing gal, hukum adat, serta berbagai konvensi sosial
untuk kepentingan penguasa/pejabat dan
kekuasaan rezim. Hak warga dan hak komuniti
1
Tulisan ini pernah disampaikan dalam Seminar (masyarakat lokal atau kolektiva sosial) diabai-
‘Menuju Indonesia Baru: Dari Masyarakat Majemuk
ke Masyarakat Multikultural’, Perhimpunan Indone- kan atau tidak dihargai. Hak hidup sukubangsa,
sia Baru dan Asosiasi Antropologi Indonesia, Yogya- kebudayaan, dan pranata-pranatanya ditekan
karta, 16 Agustus 2001. selama tidak mendukung keberadaan dan
2
Atas permintaan penulis, kata ‘sukubangsa’ dalam artikel kemantapan penguasa dalam rezim Soeharto.
ini ditulis menjadi satu kata yang mengacu pada kata eth-
nic dalam bahasa Inggris.

24 ANTROPOLOGI INDONESIA 72, 2003


Dalam kegiatannya, rezim ini melakukan berada dalam bayang-bayang ketakutan
eksploitasi secara maksimal atas semua sum- akan kemutlakan kekuatan penghancur
ber-sumber daya yang ada di Indonesia. yang ada pada sistem nasional; dan
Melemahnya sistem nasional yang otoriter- • sebagian dari tokoh-tokoh itu telah ikut
militeristis, tetapi dengan tetap diaktifkannya menikmati berbagai fasilitas dan keisti-
pemanipulasian SARA dan hukum, serta mewaan yang diperoleh dari sistem nasional
kebijakan-kebijakan sosial, ekonomi dan karena secara politik mereka mendukung
politik, ditambah dengan krisis ekonomi yang dan memperkuat posisi rezim Orde Baru.
membingungkan dari pemerintahan Presiden Hal ini membenarkan hipotesa yang pernah
Habibie sebagai kelanjutan masa pemerintahan saya buat (1982) bahwa dalam masyarakat
presiden Soeharto, telah memunculkan kesa- majemuk seperti Indonesia, keseimbangan
daran dan penggunaan politik kesukubangsaan. hubungan kekuatan antara masyarakat-
Misalnya adalah munculnya berbagai konflik masyarakat sukubangsa dengan sistem
primordial yang bersumber pada kesukubang- nasional bercorak ekuilibrium. Apabila
saan dan keagamaan (Suparlan 2001b, 2001c). sistem nasional diperkuat sehingga menjadi
Dalam zaman pemerintahan Habibie yang kekuatan absolut, masyarakat-masyarakat
lemah karena kendornya kekuatan otoriter- sukubangsa akan secara formal menjadi
militeristiknya, konflik antarsukubangsa dan lemah. Kekuatan sosial politik masyarakat
keyakinan keagamaanlah yang justru muncul, sukubangsa ini kemudian akan tersembunyi
dan bukan konflik antara masyarakat suku- dalam berbagai bentuk sakit hati yang
bangsa melawan pemerintah atau sistem sesekali terungkap sebagai satire, lelucon,
nasional. Konflik antarsukubangsa tersebut atau memunculkan diri dalam berbagai
juga bukan didasari oleh semangat nativisme bentuk pemberontakan terselubung, atau
dari masyarakat sukubangsa asli setempat akan meledak sebagai sebuah pemberon-
(Suparlan 2001d, 2001e). Konflik itu muncul takan terbuka pada waktu sistem nasional
karena perlawanan atau pembalasan mereka itu lemah.
terhadap sekelompok sukubangsa pendatang Pada saat sistem nasional lemah, masya-
yang telah sewenang-wenang mengeksploitasi rakat-masyarakat sukubangsa yang merasa
sumber-sumberdaya setempat melalui tin- tertekan itu akan mencoba membebaskan
dakan-tindakan kekerasan dan premanisme. dirinya dari kungkungan sistem nasional untuk
Tindakan-tindakan kekerasan dan premanisme menjadi sebuah satuan tatanan politik atau
dari para pendatang terjadi karena mereka negara sukubangsa. Cara yang ditempuh adalah
merasa terlindungi oleh oknum-oknum tertentu dengan menghancurkan berbagai kelompok
dalam memenangkan persaingan. Oknum- sukubangsa pendatang yang selama ini
oknum ini dilihat oleh warga sukubanga setem- dianggap merugikan dan merupakan kepan-
pat sebagai mewakili kekuasaan pemerintah di jangan kekuasaan sistem nasional. Kemudian,
wilayah mereka. barulah mereka mengonsolidasi diri untuk
Ketidakberdayaan warga masyarakat melawan sistem nasional seperti yang terjadi
sukubangsa setempat dalam melawan peme- di Aceh. Masyarakat Aceh menghancurkan dan
rintah atau sistem nasional, kecuali di Aceh, mengusir semua pendatang asal pulau Jawa dan
disebabkan oleh beberapa hal, yakni: daerah lain di Indonesia, serta para pendatang
• selama ini tokoh-tokoh dari masyarakat- yang bukan Islam. Hal itu merupakan semacam
masyarakat sukubangsa di Indonesia telah gerakan nativistik untuk pemurnian Aceh dari

ANTROPOLOGI INDONESIA 72, 2003 25


unsur-unsur asing; atau penghancuran kelom- yaan otoriter-militeristis yang berlaku.
pok-kelompok sukubangsa pendatang yang Produk dari penerapan demokrasi Pancasila
selama ini dilihat oleh masyarakat Aceh sebagai selama tiga puluh tahun yang mementing-
representasi sistem nasional, karena tindakan- kan lip-service ini tidak hilang begitu saja
tindakan para pendatang itu berada di bawah dengan kejatuhan pemerintahan Soeharto,
lindungan para oknum (seperti yang terjadi di karena ia telah menjadi kebudayaan aktual
Ambon pada tahap permulaan, di Sambas, dan yang nyata-nyata ada dalam kehidupan or-
di Sampit). ang Indonesia serta dimanfaatkan untuk
Secara singkat inti permasalahan yang keselamatan jiwa-raga dan harta benda,
berpotensi mendisintegrasikan bangsa Indone- untuk keuntungan sosial, ekonomi, dan
sia adalah: politik.
• corak bhinneka tunggal ika sebagai lam- Sebelumnya, dalam tulisan saya (Suparlan
bang negara yang menekankan kompo- 2000, 2001a), telah saya usulkan untuk meru-
sisinya pada keanekaragaman sukubangsa bah penekanan dari keanekaragaman suku-
dan kesukubangsaan, dan bukannya pada bangsa yang tercakup di dalam bhinneka
kebudayaan sebagai fokus keanekaragam- tunggal ika menjadi keanekaragaman kebuda-
annya, dan keanekaragaman sukubangsa yaan, sehingga masyarakat Indonesia berubah
sebagai produk dari keanekaragaman kebu- coraknya dari masyarakat majemuk (plural
dayaan tersebut; society) menjadi masyarakat beranekaragam
• sistem nasional yang otoriter-militeristis kebudayaan (multicultural society) yang secara
dan korup dalam segala aspeknya sehingga literal diterjemahkan sebagai masyarakat
terjadi berbagai bentuk pemanipulasian bangsa yang bercorak banyak kebudayaan3 .
hukum dan SARA bagi berbagai kepen- Secara singkat, tulisan ini akan menyajikan
tingan dan keuntungan oknum, yang pokok-pokok pemikiran mengenai keaneka-
menyebabkan munculnya rasa ketidak- ragaman kebudayaan yang menjadi isi utama
adilan hanya dapat diatasi dalam per- dari lambang negara dan bangsa kita bhinneka
lindungan sukubangsa dan kesuku- tunggal ika.Tulisan ini akan mencakup pem-
bangsaan; dan bahasan mengenai potensi-potensi sukubangsa
• corak masyarakatnya yang tidak demokratis dan keagamaan dalam solidaritas sosial dan
walau diakui sebagai demokratis. Dalam konflik yang primordial dibandingkan dengan
pemerintahan Soeharto, konsep demokrasi potensi-potensi kebudayaan untuk hal yang
diberi embel-embel, seperti demokrasi sama; model demokrasi dan multikulturalisme
Pancasila, yang hanya menjadi angan-angan sebagai sebuah satuan ideologi yang saling
karena tidak operasional. Karena itu, mendukung dan merupakan sebuah satuan yang
demokrasi tidak menjadi ideologi dalam bulat dan menyeluruh; serta penegakan hukum
pengertian yang sebenarnya karena hanya yang adil dan beradab berdasarkan prinsip
lip-service saja. Demokrasi Pancasila demokrasi dan multikulturalisme, untuk
dalam konteks filsafat dan ideologi menjadi menjamin terwujudnya kesetaraan dan kesejah-
obsolete (Suparlan 1992) karena tidak uni- teraan bagi semua warga dan kehidupan
versal, dan tidak didukung oleh filsafat dan
ideologi lainnya, serta tidak menjadi bagian
dari kebudayaan dan pranata-pranata 3
Kata cultural bukan culture, karena cultural berfungsi
demokrasi, tetapi menjadi inti dari kebuda- sebagai kata sifat yang mensifati corak masyarakatnya.

26 ANTROPOLOGI INDONESIA 72, 2003


komuniti, dan bagi keutuhan bangsa. untuk menyelesaikan konflik ini bukanlah
meredamnya dengan kekerasan (penggunaan
satuan tentara)—karena potensi konflik akan
Sukubangsa dan kebudayaan dalam
masyarakat majemuk tetap hidup seperti api dalam sekam yang
sewaktu-waktu dapat meledak bila ada kesem-
Dari berbagai macam perang dan konflik, patan—melainkan dengan memahaminya guna
konflik yang paling mengerikan dan merugikan menemukan penyebab-penyebabnya. Langkah
adalah konflik antarsukubangsa. Konflik ini berikutnya ialah memikirkan strategi negosiasi
lebih banyak terjadi dan lebih mengerikan agar masyarakat sukubangsa yang saling
daripada perang antarnegara. Dalam perang bermusuhan dapat hidup berdampingan secara
antarnegara ada Konvensi Jenewa yang damai.
melindungi hak-hak kemanusiaan dari prajurit, Upaya-upaya negosiasi perdamaian hanya
sedang dalam konflik antarsukubangsa hal mungkin dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak
semacam itu tidak ada karena intinya adalah memihak, yang dianggap mempunyai kekuatan
penghancuran sukubangsa pihak lawan dengan dan kewenangan oleh mereka yang berkonflik
segala atributnya. Konflik antarsukubangsa guna menindak terjadinya pelanggaran secara
yang terjadi di Uni Soviet setelah jatuhnya sepihak. Pihak ketiga ini adalah polisi, yang
rezim komunis misalnya, adalah hasil dari berfungsi sebagai pengayom masyarakat dan
buyarnya kekuasaan yang otoriter-militeristis penegak hukum. Pertanyaannya adalah apakah
dan tidak berlakunya penegakkan hukum yang ada penegak hukum yang dapat berlaku adil
adil karena korupsinya merajalela. Hal yang dan beradab dan mempunyai visi serta misi
sama juga dialami oleh Indonesia dengan untuk itu? Pertanyaan ini saya ajukan meng-
sebab-sebab yang hampir sama. Barangkali ingat bahwa perbuatan KKN sudah merasuk
berbagai kerusuhan dan konflik antarsuku- ke segala penjuru dan bidang kehidupan, ter-
bangsa yang dialami oleh Indonesia lebih masuk kehidupan para penegak hukum. Hal
dahsyat dan mengerikan daripada yang terjadi tersebut mengingat pula bahwa para penegak
di Uni Soviet mengingat jumlah sukubangsa hukum itu sendiri tidak atau belum dilengkapi
di Indonesia yang kira-kira lima kali jumlah dengan pengetahuan multikultural; dan tidak
sukubangsa di Uni Soviet, dan mengingat lebih atau belum dapat mengesampingkan kesuku-
besarnya ketertekanan warga masyarakat bangsaan masing-masing dalam berbagai
sukubangsa di Indonesia dibandingkan dengan penanganan konflik yang terjadi di Indonesia.
warga masyarakat sukubangsa di Uni Soviet Pertanyaan berikutnya adalah berapa
yang tertampung dalam tatanan kehidupan lamakah hidup berdampingan secara damai
negara-negara bagian. tersebut dapat dipertahankan mengingat bahwa
Apakah ada cara-cara yang baik dan manjur segala sesuatu dalam kehidupan manusia itu
sebagai resep umum untuk meniadakan konflik berubah, termasuk prinsip-prinsip hidup
antarsukubangsa? Jawabannya tidak ada karena berdampingan secara damai yang merupakan
konflik antarsukubangsa adalah produk dari variabel tergantung dari berbagai variabel yang
hubungan antarsukubangsa dengan sebab- ada dalam konteks-konteks kehidupan bersama
sebab yang berada dalam konteks-konteks lokal tersebut? Jawabannya tergantung pada banyak
hubungan antarsukubangsa itu sendiri. Jadi, faktor yang sangat kontekstual. Salah satu yang
cara-cara penyelesaiannya tidak dapat diber- paling penting ialah adanya hukum yang adil
lakukan secara umum. Mungkin cara terbaik dan operasional dalam konteks-konteks lokal

ANTROPOLOGI INDONESIA 72, 2003 27


yang mencakup hukum adat dan konvensi- sebagai hak ulayat atau wilayah adat masya-
konvensi sosial yang berlaku; yang dijalankan rakat sukubangsa tertentu. Sebuah sukubangsa
oleh penegak hukum yang memahami konteks- dapat terdiri dari hanya satu kolektiva atau
konteks permasalahan serta wilayah kewenang- masyarakat sukubangsa yang menempati se-
annya masing-masing; dan yang lebih me- buah wilayah, tetapi dapat pula terdiri dari dua
nekankan pada pentingnya tindakan preventif atau lebih masyarakat yang mendiami dua atau
dengan cara arif dan bijaksana daripada lebih wilayah yang berbeda. Secara umum
tindakan represif. Pertanyaan-pertanyaan masing-masing masyarakat sukubangsa yang
tersebut di atas juga saya ajukan mengingat sama tersebut mempunyai kebudayaan yang
bahwa kesukubangsaan, termasuk keyakinan ciri-ciri utamanya sama, terutama dalam
keagamaan, adalah satuan primordial bagi jati bahasanya, tetapi secara lebih khusus mem-
diri. punyai corak kebudayaan yang berbeda.
Sukubangsa adalah golongan sosial yang Perbedaan tersebut diakibatkan oleh adaptasi
askriptif berdasarkan atas keturunan dan tempat budaya terhadap lingkungan atau wilayah
asalnya. Dengan demikian, jati diri sukubangsa tempat mereka hidup, serta cara-cara atau
atau kesukubangsaan adalah jati diri yang teknologi dalam memanfaatkan sumber-sumber
askriptif yang didapat bersamaan dengan daya yang terkandung di dalamnya untuk
kelahiran seseorang atau tempat asalnya. pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup.
Kesukubangsaan berbeda dari berbagai jati diri Kebudayaan dapat dilihat sebagai pedoman
lainnya yang dipunyai oleh seseorang, karena bagi kehidupan yang diyakini kebenarannya
kesukubangsaan bersifat primordial (yang oleh para pemiliknya dalam menghadapi dan
pertama didapat dan menempel pada diri memanfaatkan lingkungan beserta isinya untuk
seseorang sejak masa kanak-kanaknya dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidupnya.
utama dalam kehidupannya karena merupakan Sebagai sebuah pedoman kehidupan bagi
acuan bagi jati diri dan kehormatannya). Ber- pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup,
bagai jati diri lain yang dipunyai oleh seseorang kebudayaan dimiliki secara bersama oleh se-
berdasarkan pada perolehan status dalam buah kolektiva atau masyarakat, karena ke-
kehidupan sosialnya. Berbagai jati diri lainnya butuhan-kebutuhan hidup manusia tidak dapat
dapat hilang karena tidak berfungsinya status- dipenuhi semata-mata secara individual. Kebu-
status yang dipunyai seseorang, sedangkan jati dayaan berisikan:
diri sukubangsa atau kesukubangsaan tidak • konsep-konsep sebagai hasil dari sistem-
dapat hilang. Bila jati diri sukubangsa tidak sistem penggolongan (yang merupakan
digunakan dalam interaksi, jati diri sukubangsa hakikat dari kebudayaan);
atau kesukubangsaan tersebut disimpan, dan • metode-metode untuk memilah-milah
bukannya dibuang atau hilang. konsep-konsep dan memilih konsep-konsep
Sebagai golongan sosial, sukubangsa hasil pilahan, serta mengombinasikan
mewujudkan dirinya dalam kolektiva-kolektiva konsep-konsep yang terpilih sebagai acuan
atau masyarakat-masyarakat sukubangsa yang atau pedoman bertindak dalam menghadapi
hidup dalam wilayah-wilayah yang diakui dan memanfaatkan lingkungan; dan
sebagai wilayah tempat hidupnya dan meru- • teori-teori yang dapat diseleksi untuk
pakan sumber-sumber pemenuhan kebutuhan dijadikan pedoman atau untuk menjelaskan
hidupnya. Wilayah masing-masing masyarakat sesuatu model atau pola bertindak dalam
sukubangsa ini, di Indonesia dinamakan menghadapi dan memanfaatkan ling-

28 ANTROPOLOGI INDONESIA 72, 2003


kungan. bila tidak menjadi keyakinan keagamaan dari
Kebudayaan diacu oleh para pemeluknya manusia yang meyakini kebenaran ajaran
untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan Tuhan tersebut. Untuk dapat menjadi keyakinan
biologi, sosial, dan adab. Nilai-nilai budaya keagamaan dari pemeluknya, maka agama
adalah acuan bagi pemenuhan kebutuhan adab, harus sesuai dengan kebudayaan dari
yaitu kebutuhan-kebutuhan untuk mengetahui pemeluknya. Penyesuaian bisa terjadi dalam
yang benar sebagai lawan dari yang salah, yang bentuk penyesuaian kebudayaan pemeluknya,
suci dari yang kotor, yang indah dari yang seperti pada sukubangsa Minangkabau dan
buruk, dan sebagainya. Satu atau sejumlah nilai Aceh yang menganut prinsip matrilineal, yang
budaya yang terseleksi dijadikan inti dari dan harus membuat beberapa penyesuaian dalam
yang mengintegrasikan sesuatu pemenuhan sistem matrilineal mereka, sehingga mereka
kebutuh-an biologi, sosial, adab atau sesuatu dapat mengatakan bahwa ‘adat bersendi sara’
kombinasi dari ketiganya. Penggunaan kebu- dan ‘sara bersendi kitabullah’, atau pada penye-
dayaan dalam pemenuhan sesuatu kebutuhan suaian dalam sebagian dari ajaran agama yang
dilakukan secara sistemik dengan nilai-nilai dipeluk, seperti adanya tradisi abangan, priyayi,
budaya sebagai inti atau pusatnya, yang diacu dan santri dalam kehidupan keagamaan orang
untuk mengintegrasikan pemenuhan kebutuhan Jawa Islam (Geertz 1980).
tersebut dan untuk pembenaran dan keabsahan- Pada waktu proses penyesuaian antara
nya (lihat Suparlan 1986). Misalnya, kebutuhan agama dengan kebudayan dari masyarakat yang
untuk makan bukan hanya asal makan, bersangkutan telah tercapai, maka agama
melainkan apa yang dimakan, dengan siapa tersebut menjadi bagian dari kebudayaan
makan, bagaimana memakannya, yang dise- sehingga berada dalam hubungan fungsional
suaikan dengan waktu, tempat, dan konteks dengan berbagai unsur kebudayaan dalam
makna dari makan. Secara keseluruhan kegiat- memproses masukan untuk menjadi keluaran
an makan tersebut dipedomani oleh nilai yang terwujud sebagai tindakan-tindakan.
budaya yang biasanya kita kenal dengan nama Dalam beberapa masyarakat, agama bukan
etika makan. hanya menjadi bagian dari kebudayaan,
Nilai-nilai budaya berisikan keyakinan- melainkan menjadi inti kebudayaan karena
keyakinan yang digunakan untuk menilai ber- agama telah menjadi nilai-nilai budaya atau
bagai gejala yang dihadapi menurut kebuda- setidak-tidaknya mewarnai nilai-nilai budaya
yaan yang dipunyai oleh pemilik kebudayaan dari kebudayaan tersebut. Nilai-nilai budaya—
yang bersangkutan. Dalam kehidupan manusia, yang pada hakikatnya adalah keyakinan-
nilai-nilai budaya ini diperkuat fungsinya oleh keyakinan dan pedoman penilaian menurut
keyakinan keagamaan pemiliknya; di situ kebudayaan yang bersangkutan—penuh
dipertegas batas-batas antara yang baik dari dengan muatan perasaan, dan terwujud dalam
yang tidak baik, antara yang halal dari yang bentuk luapan-luapan emosi yang tidak dapat
haram, antara yang sah dari yang tidak sah, dan ditawar. Nilai-nilai budaya yang diperkuat oleh
sebagainya. Agama sebagai petunjuk Tuhan keyakinan keagamaan ataupun keyakinan
mengenai kebenaran dan jalan menuju kebe- keagamaan yang mewujudkan dirinya sebagai
naran menurut perintah Tuhan, yang tertulis di nilai-nilai budaya, mempunyai corak primor-
kitab suci atau yang ada dalam teks-teks suci dial yang sama dengan corak dari kesuku-
yang tertulis maupun lisan, hanya akan menjadi bangsaan. Keyakinan keagamaan bisa mem-
dokumen-dokumen tertulis atau teks-teks lisan punyai corak yang primordial karena manusia

ANTROPOLOGI INDONESIA 72, 2003 29


belajar agama sejak masa kanak-kanak. Pelajar- sosial Indonesia mengatakan bahwa konflik
an agama adalah pelajaran mengenai keyakinan antarsukubangsa disebabkan oleh perbedaan
tentang kebenaran yang hakiki, yaitu kebenaran kebudayaan, sebagaimana dikemukakan oleh
dari agama yang diyakininya yang dibedakan Nitibaskara (2001), saya mengatakan bahwa
dari keyakinan keagamaan lain yang tidak hal itu tidak benar (Suparlan 2001b). Dalam
benar. Keyakinan keagamaan menciptakan sejarah kemanusiaan tidak pernah ada bukti
suatu aura subyektifitas dalam diri pelakunya bahwa sesama manusia itu konflik atau saling
berkenaan dengan kebenaran dan kehormatan berbunuhan karena perbedaan kebudayaan.
jatidiri yang berbeda atau bertentangan dengan Yang terjadi adalah mereka itu dapat saling
jatidiri lainnya. Primordialitas keyakinan bermusuhan karena memperebutkan sumber-
keagamaan dan kesukubangsaan adalah sama sumber daya, termasuk harga diri dan kehor-
dan saling menunjang atau memperkuat matan dalam struktur sosial kehidupan mereka,
keyakinan-keyakinan kebenaran yang hakiki, dengan menggunakan kebudayaan yang mereka
yang diacu untuk jatidiri dan digunakan dalam punyai masing-masing sebagai acuan stereotif
interaksi. dan prasangka bagi landasan penciptaan batas-
Kebudayaan dipunyai seseorang melalui batas sosial dan budaya di antara mereka, dan
proses belajar mengenai kebudayaan orang tua dalam mengorganisasi diri untuk bermusuhan.
dan komunitinya atau ‘enkulturisasi’, dan mela- Penghancuran terhadap setiap harta benda
lui ‘sosialisasi’ atau proses belajar dalam kehi- yang bercirikan kebudayaan sukubangsa pihak
dupan sosial tentang cara memerankan status- lawannya tidaklah dapat diartikan sebagai
status sosial di dalam kehidupan sosial yang konflik sukubangsa yang disebabkan oleh
nyata. Oleh karena kebudayaan dipunyai oleh adanya perbedaan kebudayaan. Hakikat konflik
seseorang atau kolektiva melalui proses belajar antarsukubangsa adalah konflik penghancuran
dan bukan melalui proses pewarisan yang kategori sukubangsa. Segala sesuatu yang
askriptif, maka hakikat kebudayaan berbeda mempunyai ciri-ciri yang tergolong sebagai
dengan hakikat kesukubangsaan. Bila hakikat sukubangsa pihak lawan akan dihancurkan.
kesukubangsaan adalah konstan, hakikat kebu- Dalam masyarakat majemuk bercorak oto-
dayaan adalah kumulatif. Kebudayaan dapat riter dan berpemerintahan sentralistis, ada ke-
berubah sesuai dengan perubahan lingkungan cenderungan dari pemerintah untuk menerap-
yang dihadapi; sesuai dengan motivasi- kan kebijakan asimilasi terhadap sukubangsa-
motivasi yang dipunyai untuk mengadopsi sukubangsa minoritas agar menjadi bagian dari
sesuatu unsur kebudayaan lain atau membuang masyarakat luas yang mayoritas dan dominan.
unsur-unsur kebudayaan yang tidak fungsional Di bawah pemerintahan presiden Soeharto
lagi; atau juga melakukan inovasi dan pencip- misalnya, telah dilakukan kampanye pembau-
taan sesuatu unsur kebudayaan untuk peme- ran—sebuah kata penghalus untuk asimilasi—
nuhan kebutuhan-kebutuhan hidup yang baru. bagi orang-orang Cina agar menjadi orang In-
Dengan demikian, seseorang sebagai anggota donesia. Orang-orang Cina menaatinya agar
kolektiva suatu sukubangsa tertentu dapat terhindar dari berbagai bentuk diskriminasi dan
mempunyai kebudayaan yang mencakup pengambinghitaman. Walaupun demikian,
berbagai unsur dari satu atau sejumlah kebu- mereka masih juga ditandai sebagai orang Cina
dayaan lainnya, atau hanya kebudayaan melalui kode tertentu di KTP mereka, agar dapat
sukubangsa tempat dia menjadi warganya. didiskriminasi dan dipalak, sampai pengodean
Oleh karena itu, pada waktu para pakar ilmu di KTP tersebut dihapuskan di masa pemerin-

30 ANTROPOLOGI INDONESIA 72, 2003


tahan Habibie. kepada orang kulit hitam dan minoritas untuk
Masyarakat multietnis atau banyak suku- memperoleh pekerjaan dan jabatan yang ter-
bangsa, seperti Amerika, yang pada dasarnya sedia, guna mengejar ketertinggalan status
adalah masyarakat rasis yang telah meng- sosial mereka. Hal ini dilakukan dengan cara
hasilkan hierarki sosial dengan berbagai bentuk mendiskriminasikan mereka yang kulit putih
diskriminasi atas dasar ras dan asal sukubangsa, dan dominan agar tidak memperoleh satu jabat-
telah secara bertahap diubah melalui perjuang- an atau pekerjaan tertentu dalam situasi adanya
an persamaan hak menjadi lebih sesuai dengan kesamaan kemampuan profesional dari mereka
landasan dari negara itu. Masyarakat Amerika yang kulit hitam atau minoritas itu dengan
yang sejak didirikannya bercorak monokultural mereka yang kulit putih atau dominan.
dengan golongan WASP (White Anglo Saxon Persamaan hak berdasarkan prinsip demok-
Protestant) sebagai golongan mayoritas dan rasi ini juga diberlakukan bagi berbagai golong-
dominan telah secara bertahap berubah menjadi an minoritas yang sebelumnya didiskriminasi.
bercorak multikultural sebagaimana keadaan- Saat ini, Amerika merupakan satu-satunya
nya saat ini (Suparlan 1999). Perjuangan masyarakat yang mempunyai kebudayaan
persamaan hak dengan kulit putih terutama bagi bersama yang unsur-unsurnya mencakup
mereka yang kulit hitam atau berwarna, dimulai hampir semua kebudayaan yang ada dan hidup
secara luas di tahun 1960-an oleh Martin Luther di Amerika. Lebih dari itu, Amerika Serikat
King, Presiden Kennedy, dan yang kemudian juga merupakan satu-satunya negara yang
dilanjutkan secara lebih efektif oleh presiden warganya dapat menikmati berbagai kebebasan
Johnson. untuk mengekspresikan ungkapan budayanya
Sejak diundangkannya Civil Right Act pada masing-masing, sepanjang hal itu tidak meng-
tahun 1964, secara hukum tidak ada lagi ganggu yang lainnya, atau mengganggu keter-
diskriminasi. Artinya, bila terjadi diskriminasi tiban umum.
terhadap orang bukan WASP di tempat-tempat
umum dan di tempat kerja, yang melakukan
Multikulturalisme
diskriminasi tersebut dapat dituntut di peng-
adilan untuk dihukum. Walaupun demikian, Saya melihat multikulturalisme sebagai se-
tanpa dukungan dan perjuangan dari berbagai buah ideologi yang mengagungkan perbedaan
kelompok, kolektiva, dan komuniti untuk mem- budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui
berlakukan Civil Act tersebut, persamaan hak dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya
tidak akan mungkin terwujud secara sempurna sebagai suatu corak kehidupan masyarakat
dan cepat sebagaimana yang telah terjadi di (Lihat Bennet 1995; Jary dan Jary 1991:319;
Amerika Serikat saat ini. Perjuangan persama- Fay 1996; Nieto 1992; dan Reed 1997). Multi-
an hak yang meluas secara nasional tersebut, kulturalisme mengagungkan dan berusaha
telah dilakukan oleh kelompok-kelompok so- melindungi keanekaragaman budaya, termasuk
sial dan organisasi-organisasi gereja melalui kebudayaan dari mereka yang tergolong
apa yang dinamakan affirmative action, yaitu sebagai minoritas. Dalam pengertian multi-
perjuangan yang bukan hanya untuk membe- kulturalisme, sebuah masyarakat bangsa dilihat
baskan orang kulit hitam dan golongan mino- sebagai sebuah kebudayaan bangsa yang
ritas dari belenggu diskriminasi oleh orang kulit merupakan mainstream, seperti sebuah mosaik.
putih dan dominan, melainkan memperjuang- Di dalam kebudayaan bangsa tersebut terdapat
kan pemberian kesempatan yang lebih besar berbagai perbedaan corak budaya. Model

ANTROPOLOGI INDONESIA 72, 2003 31


multikulturalisme—yang menekankan peng- sukubangsa dalam kehidupan masyarakat
akuan kesederajatan atas perbedaan-perbedaan sukubangsa yang bersangkutan. Model berpikir
tersebut—berbeda, atau bahkan bertentangan ini mungkin sejalan dengan model kebijakan
dengan model monokulturalisme yang me- politik di zaman pemerintahan Presiden
nekankan pada penyatuan kebudayaan-kebu- Soekarno yang melarang didirikannya partai
dayaan yang ada sebagai sebuah satuan kese- politik sukubangsa, tetapi mengagungkan
ragaman. Dalam model monokulturalisme ter- kehidupan budaya sukubangsa di dalam
sebut, kebudayaan yang dominan melakukan lingkungannya sendiri, dan menampilkan
kebijakan asimilasi atau pengasingan, bahkan ungkapan-ungkapan budaya tersebut secara
pemusnahan terhadap kelompok-kelompok nasional di bawah lambang bhinneka tunggal
sukubangsa yang digolongkan sebagai ika dengan penekanan pada keanekaragaman
minoritas. kebudayaan.
Dalam model multikulturalisme, penekan- Dalam konsep multikulturalisme penekan-
annya adalah pada kesederajatan ungkapan- an terletak pada pemahaman dan hidup dengan
ungkapan budaya yang berbeda-beda, pada perbedaan sosial dan budaya, baik secara indi-
pengayaan budaya melalui pengadopsian vidual maupun kelompok atau masyarakat.
unsur-unsur budaya yang dianggap paling Individu dilihat sebagai refleksi dari satuan
cocok dan berguna bagi pelaku dalam kehidup- sosial dan budaya tempat mereka menjadi ba-
annya tanpa ada hambatan berkenaan dengan gian dari satuan itu. Permasalahannya bukan
asal kebudayaan yang diadopsi tersebut karena terletak pada perbedaan kebudayaan ataupun
adanya batas-batas sukubangsa yang primor- pada hubungan budaya dengan berbagai corak
dial. Glazer (1997) mengatakan, dalam masya- akulturasi, yang menghasilkan warga masya-
rakat multikultural, setiap orang adalah multi- rakat multikultural yang multikulturalis,
kulturalis karena setiap orang mempunyai melainkan pada saat hubungan antarbudaya
kebudayaan yang bukan hanya berasal dari tersebut bergeser menjadi hubungan antarjati
kebudayaan asal atau sukubangsanya, melain- diri. Pada saat hubungan antarjatidiri masih
kan juga mempunyai kebudayaan yang berisi- berada dalam ruang lingkup kerja, atau ber-
kan kebudayaan-kebudayaan dari sukubangsa dasarkan atas status-status sosial yang diper-
atau bangsa lain. oleh, hubungan antarjatidiri yang berlangsung
Bila demikian, karena dalam masyarakat akan mengacu pada struktur satuan sosial
multikultural setiap orang telah menjadi tempat interaksi sosial tersebut berlangsung.
multikulturalis, pertanyaannya adalah berada Akan tetapi, pada saat hubungan tersebut
dimanakah posisi sukubangsa dalam masya- menjadi hubungan antarjatidiri yang mendasar
rakat yang multikultural? Sukubangsa sebagai dan umum, maka acuan bagi jatidiri yang
golongan sosial yang askriptif dan sebagai digunakan adalah sukubangsa. Hubungan
masyarakat pemilik kebudayaan, tetap ada antarjati diri yang menjadi hubungan antar-
dalam masyarakat multikultural. Akan tetapi, sukubangsa menafikan peranan pemahaman
sukubangsa sebagai sebuah ideologi dan antarbudaya yang mengakomodir perbedaan-
sebuah satuan politik diredupkan peranannya. perbedaan, dan sebaliknya menekankan peng-
Peranan sukubangsa tidak lagi harus ada dalam gunaan stereotip dan prasangka untuk mem-
kehidupan publik atau masyarakat luas, tetapi pertegas perbedaan dan batas-batas sukubangsa
berada dalam suasana-suasana sukubangsa di antara mereka.
yang merupakan ungkapan-ungkapan budaya Di sini multikulturalisme dilihat sebagai

32 ANTROPOLOGI INDONESIA 72, 2003


pengikat dan jembatan yang mengakomodir provinsi untuk menciptakan:
perbedaan-perbedaan, termasuk perbedaan- • sebuah konsep mengenai wilayah-wilayah
perbedaan kesukubangsaan dan sukubangsa umum dan nasional yang dibedakan dari
dalam masyarakat yang multikultural. Multi- wilayah-wilayah sukubangsa; dan
kulturalisme mengacu pada pengertian bahwa • konsep pluralisme budaya tempat hak-hak
perbedaan-perbedaan tersebut terwadahi di minoritas atau pendatang yang bermukim
tempat-tempat umum, tempat kerja, pasar, dan di wilayah tersebut dijamin hak-hak
sistem nasional dalam hal kesetaraan derajat hidupnya untuk berbeda dari mainstream
secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial. Ke- yang ada, dan dijamin pula tingkat kese-
sukubangsaan dan masyarakat sukubangsa derajatan hak-hak hidup mereka.
dengan kebudayaan sukubangsanya tetap dapat Golongan minoritas ini tidak seharusnya
hidup dalam ruang lingkup atau suasana kesu- diperlakukan sebagai kategori sukubangsa,
kubangsaannya. Walau demikian, dalam sua- tetapi sebagai variasi ungkapan budaya dari
sana nasional dan tempat-tempat umum yang kebudayaan bangsa Indonesia. Dengan demi-
seharusnya menjadi ciri di situ adalah kebang- kian, maka tindakan pembedaan antara yang
saan dengan pluralisme budayanya; bukan ‘asli’ dan yang ‘pendatang’ harus ditinjau
suatu kesukubangsaan atau suatu kebudayaan ulang. Dalam konsep yang sekarang berlaku,
sukubangsa tertentu yang dominan. mereka yang ‘asli’ adalah siapa saja yang hidup
Dengan kata lain, politik kesukubangsaan di mana saja asalkan yang bersangkutan itu
tidak mungkin dapat hidup atau ditoleransi merupakan keturunan dari sukubangsa asli di
untuk dapat hidup dalam suasana nasional atau daerah tersebut, sedangkan keturunan pen-
umum, karena hanya akan menjadi acuan datang yang sudah hidup turun-temurun di
pemecah-belah integrasi bangsa, terutama suatu wilayah sukubangsa digolongkan sebagai
dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia. pendatang. Padahal, keturunan pendatang
Model ini mungkin dapat kita temui dalam inilah yang lebih tahu dan hanya tahu mengenai
kebijakan politik kesukubangsaan yang dibuat kehidupan di daerah tempat dia hidup diban-
oleh Presiden Soekarno dalam rezim Orde Li- dingkan dengan mereka yang ‘asli’. Oleh sebab
beral (sebelum Orde Lama), yaitu yang mela- itu, yang ‘asli’ atau ‘putra daerah’ seharusnya
rang keberadaan partai-partai politik berlandas- adalah mereka yang dilahirkan di daerah
kan sukubangsa. tersebut; bukannya mereka yang orang tua atau
Bila kesukubangsaan tidak seharusnya nenek moyangnya berasal dari daerah tersebut,
dimunculkan dalam arena nasional dan umum, sedang mereka sendiri hidup di daerah lainnya.
bagaimana dengan kemunculannya di kabu- Mereka ini sebenarnya telah menjadi ‘putra
paten atau provinsi dalam rangka otonomi daerah’ di tempat lain. Dengan cara ini, maka
daerah? Sebaiknya konsep nasional dan umum pluralisme budaya dapat dikembangkan untuk
di sini didefinisikan dengan lebih jelas, sebab meredam munculnya kesukubangsaan sebagai
pengertian nasional dan umum sebetulnya dan potensi konflik antarsukubangsa.
seharusnya mencakup juga wilayah-wilayah Permasalahan pluralisme budaya ini men-
yang sekarang berada dalam sistem otonomi jadi pelik di Indonesia, sehingga di masa peme-
daerah. Jadi, bukan hanya Jakarta saja yang rintahannya, Presiden Soekarno pernah
merupakan wilayah nasional dan umum. melarang partisipasi kesukubangsaan melalui
Dengan demikian adalah menjadi kewajiban partai-partai politik sukubangsa di dalam arena
dari pemerintahan pada tingkat kabupaten dan politik nasional maupun daerah, karena

ANTROPOLOGI INDONESIA 72, 2003 33


khawatir partai-partai politik ini menjadi acuan Di negara-negara Barat, khususnya
bagi penggalangan politik yang memecah belah Amerika Serikat, yang mayoritas penduduknya
integrasi kehidupan berbangsa menjadi negara- beragama Kristen, justru para imigran yang
negara sukubangsa. Sebaliknya, keyakinan beragama Islam memperoleh kebebasan untuk
keagamaan yang juga bersifat primordial dan mengekspresikan keyakinan keagamaan
mempunyai potensi pemecah belah bangsa mereka tanpa harus khawatir untuk didis-
melalui batas-batas sosial budaya yang diper- kriminasi atau dilarang oleh negara, dan tanpa
kuat oleh keyakinan keagamaan, justru dikem- takut untuk diserbu dan dibakar masjidnya oleh
bangsuburkan. Kalau kita perhatikan kasus- warga setempat yang beragama Kristen.
kasus Aceh, Ambon, Maluku Utara, dan Poso, Bahkan, di kota Bloomington di negara bagian
kita semua dapat merenungkan makna dari Indiana—berdasarkan pengamatan saya—
keyakinan keagamaan berkenaan dengan masjid dibangun di atas sebidang tanah hasil
potensinya dalam gejolak-gejolak yang sumbangan dari jemaah gereja setempat.
membahayakan integrasi bangsa. Pembakaran, pengrusakan, atau pemboman
Kalau kita perhatikan sejarah Eropa Barat, gereja atau kelenteng merupakan gejala yang
kita dapat memahami mengapa negara-negara tidak mengagetkan di Indonesia, tetapi sangat
Barat, termasuk Amerika Serikat, memisahkan mengagetkan dan tidak masuk akal bagi orang
kehidupan kenegaraan dari keagamaan. Di abad Amerika. Kejadian-kejadian tersebut terjadi di
ke-16, Eropa Barat terpecah-pecah oleh konflik abad ke-20 dan ke-21 dan bukannya di zaman
atau perang antara penganut agama Katolik kegelapan sebagaimana yang telah terjadi di
dengan agama Protestan mengenai agama mana Eropa Barat pada abad ke-16.
yang berhak memerintah di suatu wilayah Multilkulturalisme adalah sebuah politik
kerajaan. Akhirnya, konflik-konflik itu dise- nasional. Apabila pemerintah Indonesia
lesaikan dengan cara memisahkan domain memang menginginkan adanya kestabilan
kekuasaan negara dengan domain kekuasaan keamanan secara nasional dan keteraturan
gereja, dan meneguhkan kebebasan individual sosial dalam kehidupan sehari-hari yang
dalam beragama. Agama, menjadi milik pribadi memungkinkan warga masyarakat dapat
atau individu, dan menjadi urusan komuniti menjalankan fungsi-fungsi produktivitasnya
atau masyarakatnya dan bukannya menjadi dan menikmati kesejahteraan hidup yang
urusan negara. Dalam prinsip pemisahan ke- pantas, sudah sepantasnya model multikul-
kuasaan negara dan kekuasaan agama, negara turalisme dipelajari dengan sungguh-sungguh.
menjamin kebebasan warganya untuk mem- Sejumlah kebijakan haruslah diambil untuk
punyai keyakinan keagamaan apa pun sepan- dijalankan secara nasional. Penerapan multikul-
jang tidak mengganggu ketertiban dan turalisme untuk menghasilkan sebuah masya-
produktivitas masyarakat. Dengan kebijakan rakat multikultural tidak dapat dipaksakan oleh
tersebut, maka kelompok-kelompok keagama- pemerintah. Tugas pemerintah adalah men-
an minoritas dilindungi secara tidak langsung stimuli atau memberi semangat bagi terciptanya
oleh negara dengan cara memberikan hak masyarakat multikultural dan membuat pro-
kebebasan individu untuk memuja Tuhan yang gram-program jangka pendek maupun jangka
diyakininya, dan kebebasan untuk secara panjang dalam sistem dan lembaga pendidikan,
bersama-sama berjamaah tanpa harus takut hukum. Pemerintah juga harus melakukan
untuk tidak disetujui atau didiskriminasi oleh penegakan hukum berikut sanksi-sanksinya;
negara. dan membuat desain untuk kegiatan umum dan

34 ANTROPOLOGI INDONESIA 72, 2003


pasar yang memungkinkan warga dari komu- Penutup
niti-komuniti setempat belajar dari berbagai Sebagai penutup perlu dikemukakan bahwa
pengalaman agar dapat hidup dalam keaneka- kebijakan multikulturalisme sebagai sebuah
ragaman dan perbedaan kebudayaan, tanpa kebijakan politik nasional hanya mungkin
harus menggunakan perbedaan kesukubang- terlaksana bila warga masyarakat Indonesia pa-
saan untuk acuan pemahamannya. da umumnya, dan komuniti-komuniti serta
Pemerintah harus menegaskan bahwa yang individu-individu merasakan bahwa kebijakan
utama adalah menjadi warga negara dan bangsa tersebut menguntungkan mereka. Untuk itu
Indonesia tanpa memperdulikan asal suku- sebuah strategi kampanye harus dilakukan
bangsa, ras, agama, dan daerah. Yang dilihat sehingga dapat diterima dan masuk akal bagi
pada seorang warga adalah kesetiaannya pada semua. Kampanye yang bertujuan untuk mem-
Indonesia, dalam bentuk karya-karyanya yang perkenalkan multikulturalisme harus dibarengi
dapat mensejahterakan diri dan komunitinya dengan program-program yang nyata yang
serta masyarakat Indonesia pada umumnya. hasilnya dapat dipetik baik dalam jangka
Penegasan tersebut di atas, yang merupakan pendek maupun jangka panjang. Program-pro-
landasan bagi kebijakan politik menuju gram ini harus mampu mendorong terciptanya
masyarakat multikultural, hanya dapat dicapai pranata-pranata dan tradisi-tradisi dalam
bila diiringi dengan penataan kehidupan kehidupan sosial, baik pada tingkat komuniti
demokrasi, penegakan hukum yang adil dan maupun pada tingkat umum dan nasional yang
beradab, pemberantasan korupsi dan kolusi, bercorak multikultural
dan berbagai bentuk pemerasan atau pemalak- Model multikulturalisme hanya mungkin
an. hidup dan berkembang dalam masyarakat yang
Program-program jangka panjang yang memegang prinsip demokrasi. Jika prinsip
secara langsung akan mendukung terciptanya demokrasinya ditambah dengan embel-embel
masyarakat multikultural di masa datang adalah yang menunjukkan corak otoriter penguasanya,
pendidikan kewarganegaraan, pendidikan model multikulturalisme tidak berlaku, dan
multikultural, pendidikan bahasa, serta pen- masyarakat multikultural tidak akan terwujud.
didikan keanekaragaman kebudayaan suku- Yang akan terwujud adalah masyarakat maje-
bangsa, keanekaragaman agama dan keyakinan muk dengan sistem nasional yang otoriter,
ke-agamaan lain (yang tidak menjadi keyakinan opresif, dan diskriminatif. Hal ini akan menjadi
keagamaan dari si pelajar pada tingkat SMU landasan bagi pemerintahan yang korup.
atau mahasiswa). Program-program lainnya Demokrasi seharusnya tidak hanya dijadikan
adalah program-program perbaikan hukum dan ideologi saja, atau hanya berlaku pada tingkat
lembaga-lembaga penegakan hukum, serta pro- makro saja (pemisahan kewenangan eksekutif,
gram-program pemberantasan korupsi dan legislatif, dan yudikatif), tetapi juga harus dapat
kolusi. Pemerintah juga sebaiknya mengeluar- berlaku dalam kehidupan nyata. Di sini
kan sebuah ketetapan hukum mengenai kese- demokrasi mewujudkan dirinya dalam keseta-
taraan warga dan komuniti-komuniti setempat raan derajat dan kewenangan yang berada
(tanpa memandang asal, sukubangsa, agama, dalam hubungan saling berkompetisi dan
dan ras), untuk meniadakan potensi konflik keseimbangan antara individu, komuniti (hak
yang diakibatkan oleh pembedaan dan pendis- budaya komuniti), dan negara (pemerintah)
kriminasian antara ‘asli’ dan ‘pendatang’ (lihat sesuai dengan konteks kepentingan masing-
Suparlan 2001c).

ANTROPOLOGI INDONESIA 72, 2003 35


masing (lihat Suparlan 1991). Hubungan antara ral society), sedangkan model yang telah
individu, komuniti, dan negara yang berada digunakan oleh para pelopor dan bapak bangsa
dalam kesetaraan derajat hanya mungkin Indonesia untuk mengatur dan mentrans-
terwujud bila didukung oleh sistem hukum dan formasi masyarakat Indonesia yang majemuk
penegakan hukum yang juga harus adil dan adalah pluralisme budaya atau multikultu-
demokratis. ralisme. Dalam pernyataan mengenai kebuda-
Kita semua patut mengingat pembukaan yaan bangsa tersebut, tersurat bahwa
UUD 1945 yang menyatakan bahwa ‘Kebuda- kebudayaan bangsa adalah kebudayaan yang
yaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak dimiliki bersama oleh bangsa Indonesia karena
kebudayaan di daerah.’ Dalam pemerintahan terdiri dari puncak-puncak semua kebudayaan
Orde Baru, kata ‘di daerah’ dihilangkan men- yang ada di Indonesia. Penekanan lambang
jadi tinggal ‘daerah’ saja, dan kata daerah diberi bhinneka tunggal ika dengan mengacu pada
makna sebagai sebuah provinsi dengan sebuah pembukaan UUD 1945 tersebut jelas menunjuk-
sukubangsa yang dominan di provinsi tersebut. kan keanekaragaman kebudayaan dan bukan-
Model yang digunakan oleh pemerintahan Orde nya keanekaragaman sukubangsa.
Baru adalah model masyarakat majemuk (plu-

Referensi
Bennet, C.I.
1995 Comprehensive Multicultural Education: Theory and Practice. Boston: Allien and
Bacon.
Fay, B.
1996 Contemporary Philosophy of Social Science: a Multicultural Approach. Oxford:
Blackwell.
Geertz, C.
1980 Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Diterjemahkan oleh Aswab
Mahasin dari buku The Religion of Java. Jakarta: Pustaka Jaya.
Glazer, N.
1997 We are All Multiculturalists Now. Cambridge, Mss.: Harvard University Press.
Nitibaskara, N
2001 ‘Mencegah Konflik Kekerasan Antar Etnis’, Kompas, 3 April.
Jary, D., dan J. Jary
1991 Dictionary of Sociology. New York: Harper. Hlm.319.
Nieto, S.
1992 Affirming Diversity: The Sociopolitical Context of Multicultural Education. New
York: Longman.
Reed, I. (peny.)
1998 Multi America: Essays on Cultural Wars and Cultural Peace. Penguin: USA.

36 ANTROPOLOGI INDONESIA 72, 2003


Suparlan, P.
1981 Pokok-pokok Pikiran mengenai Strategi Pengembangan Kebudayaan Nasional. Makalah
disampaikan kepada Direktur Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisional, Direktorat Jenderal
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
1986 ‘Kebudayaan dan Pembangunan’ Media IKA, 14(11):106–135.
1991 ‘Yang Sakral dalam Nilai-nilai Budaya Amerika’, Jurnal Studi Amerika 1(2):4–11.
1992 ‘Antropologi untuk Indonesia’, dalam S. Effendi, S. Sairin, dan M.A. Dahlan (peny.)
Membangun Martabat Manusia: Peranan Ilmu-ilmu Sosial dalam Pembangunan.
Yogyakarta: UGM. Hlm.191–206.
1999 ‘Kemajemukan Amerika: dari Monokulturalisme ke Multikulturalisme’, Jurnal Studi
Amerika. Vol.5 Agustus–Desember. Hlm.35–42.
2000 ‘Masyarakat Majemuk dan Perawatannya’, Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA
63(24):1–14.
2001a Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat majemuk Indone-
sia. Makalah disampaikan dalam Simposium Internasional ANTROPOLOGI INDO-
NESIA ke-2, Universitas Andalas, Padang, 18–21 Juli.
2001b Keyakinan Keagamaan dalam Konflik Antarsukubangsa. Makalah disampaikan dalam
Simposium Internasional ANTROPOLOGI INDONESIA ke-2, Universitas Andalas,
Padang, 18–21 Juli.
2001c Hak Budaya Komuniti dalam Kerusuhan Antarsukubangsa. Makalah disampaikan
dalam Simposium Internasional ANTROPOLOGI INDONESIA ke-2, Universitas
Andalas, Padang, 18–21 Juli.
2001d ‘Ethnic and Religious Conflict in Indonesia’, Kultur: The Indonesian Journal for
Moslem Culture 1(2):30–41.
2001e Konflik Antarsukubangsa dan Purifikasi. Makalah dalam Seminar ‘Konflik Etnik dan
Naluri Nativistik di Indonesia’, Perhimpunan Indonesia Baru dan Asosiasi Antropologi
Indonesia. Jakarta, 22 Mei.
Weiner, E.
2000 ‘Coexistence Work: a New Profession’, dalam E. Weiner (peny.) The Handbook of
Interethnic Coexistence. New York: Abraham. Hlm.13–24.

ANTROPOLOGI INDONESIA 72, 2003 37

Anda mungkin juga menyukai