A. Latarbelakang .................................................................................................................................... 2
B. Perumusan Masalah.......................................................................................................................... 4
1. Simpulan .................................................................................................................................... 13
A. Latarbelakang
memberi gambaran konflik yang terjadi di Indonesia. Peristiwa tersebut merupakan serentetan
konflik yang pernah dialami oleh bangsa ini, sehingga menjadikan 17 Agustus 1945 merupakan
lembaran sejarah kehidupan bangsa Indonesia. Sebelum dan sesudah itu, bangsa indonesia
mengalami pertentangan-pertentangan yang muncul justru dari para tokoh elit sosial-poltik
bangsa. Sebelumnya mereka saling membantu untuk mewujudkan Indonesia merdeka. Mereka
muncullah peristiwa pemberontakan, yang diawali dengan pemberontakan PKI tahun 1948,
Keadan itu memiliki makna bahwa “ Bhineka Tunggal Ika “ sesungguhnya hanya teori
semata, belum diterapkan secara nyata oleh bangsa ini. Perkataan itu merupakan cita-cita yang
masih perlu diwujudkan bagi segenap bangsa Indonesia. Akan tetapi, konflik-konflik sosial
sumber yang menjadi penyebabnya pun memiliki jenis yang tidak sama. Apabila disodori
pertanyaan : faktor laten apakah yang sebenarnya menjadi penyebab dari munculnya
pertentangan yang terjadi diatas, dan apa pula yang menjadi sumber yang bersifat laten bagi
konflik-konflik sosial yang mungkin saja terjadi di Indonesi dikelak kemudian hari? Hanya
melalui pemahaman yang mendalam mengenai sumber penyebabnya, maka konflik sosial
kenyataan tersebut ke dalam dunia bawah sadarnya, bukan saja mengira bahwa dengan demikian
akan dapat terhindar dari konflik yang lebih tajam, namun sesungguhnya kebanyakan orang tidak
menyukai kenyataan tersebut. Konflik yang terjadi diantara sesama bangsa Indonesia adalah
sesuatu yang menodai jiwa dan semangat gotong-royong yang bangsa ini muliakan, sesuatu yang
menodai jiwa dan semangat Bhineka Tunggal Ika yang kita junjung tinggi.
Yang tidak pernah kita sadari adalah, mekanisme psikologis seperti itu akan membawa
kita berlarut-larut kedalam konflik yang berkepanjangan, dan sulit untuk dipecahkan. Sehingga
kita akan kehilangan kepekaan kita terhadap perkembangan-perkembangan yang akan dapat
memecahkan konflik. Sementara kita terpesona dengan anggapan bahwa konflik yang terjadi
akan dapat kita atasi dengan gotong-royong dan semangat Bhineka Tunggal Ika, kita akan
terkejut dengan kenyataan bahwa konflik yang terjadi secara tiba-tiba menjadi dahsyat. Dengan
menyadari akan adanya konflik-konflik sosial yang bersifat laten di dalam masyarakat kita,
memungkinkan kita untuk mencari faktor-faktor penyebabnya melalui pendekatan gatra sosial
Dalam tinjauan sejarah sebagian dari negara-negara yang terfragmentasi secara ekstrim
ditandai oleh sejarah masa lalu penaklukan oleh bangsa asing secara kejam, yang diikuti oleh
kolonialisme, perbudakan dan kerja paksa serta bentuk-bentuk segmentasi dan ketimpangan yang
sangat terlembaga antara kelompok-kelompok etnis atau ras. Sebagian dari proses pembentukan
awal ini meninggalkan jejak segmentasi dan kepluralan horizontal dan vertikal pada bentuk
masyarakat tersebut setelahnya dengan berbagai implikasi secara sosial, budaya dan politik.
Menyimak pengalaman konflik dan integrasi Indonesia dalam berbangsa dan bernegara
tidak dapat tidak dipengaruhi oleh potensi kemajemukannya yang luar biasa. Potensi
keberbedaan secara positif diakui sebagai suatu kekayaan khasanah budaya, namun juga
menyimpan potensi konflik dan disintegrasi. Oleh karenanya relevan untuk mempelajari susunan
struktur dari sistem sosial budaya yang membentuk Indonesia guna memberi dasar pemahaman
B. Perumusan Masalah
4. Bagaimana kaitan antara struktur masyarakat Indonesia dengan masalah integrasi nasional?
BAB II PEMBAHASAN
Aspek sosial dan budaya pada dasarnya merupakan sebuah aspek yang masing-masing
memiliki makna yang berbeda. Aspek sosial menyangkut masyarakat, sedangkan aspek budaya
menyangkut kebudayaan yang ada pada masyarakat itu sendiri. Namun dalam kenyataannya
masyarakat dan kebudayaan merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan, sebab dimana ada
masyarakat disitu ada kebudayaan dan dapat dikatakan bahwa kebudayaan merupakan sesuatu
suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya
dalam kelompok tersebut (Horton dan Hunt, 1987:59). Sedangkan kebudayaan adalah sesuatu
yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat
dalam pikiran manusia yang bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-
benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan
benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup,
organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu
Aspek sosial biasanya mengacu pada masalah struktur sosial dan pola hubungan sosial yang
ada didalamnya, sedangkan aspek budaya mengacu pada kondisi kebudayaan yang ada dalam
Struktur masyarakat Indonesia dibedakan menjadi dua. Yaitu, secara horisontal yang
ditandai oleh adanya kesatuan sosial berdasarkan atas perbedaan suku bangsa, agama, adat-
istiadat, serta kedaerahan. Secara vertikal, struktur sosial masyarakat indonesia ditandai oleh
adanya perbedaan sosial antara kelas atas dan kelas bawah yang sangat tajam.
Indonesia yang bersifat majemuk. Istilah ini diperkenalkan oleh Furnivall sebagai penggambaran
masyarakat Indonesia dimasa Hindia Belanda. Masyarakat majemuk ( plural societies ), yaitu
suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada
pembaruan satu sama lain yang berada pada satu kekuasaan politik. Masyarakat Indonesia
merupakan tipe masyarakat daerah tropis, dimana meraka yang berkuasa dan mereka yang
Dalam kehidupan berpolitik, pertanda paling jelas dari masyarakat Indonesia yang
bersifat majemuk adalah tidak adanya kehendak bersama ( common will ). Dalam kehidupan
ekonomipun juga tidak ada kehendak bersama, sehingga disimpulkan tidak adanya permintaan
sosial yang dihayati bersama oleh seluruh elemen masyarakat ( common social
demand ). Menurut Furnivall, setiap masyarakat politik dari kelompok nomad sampai bangsa
yang berdaulat, berangsur-angsur melalui periode waktu tertentu membentuk peradaban dan
kebudayaan sendiri, membentuk kesenian, baik berupa sastra, seni lukis, maupun musik, serta
1. Terjadinya segmentasi kedalam bentuk kelompok yang sering kali memiliki sub-kebudayaan
2. Memiliki struktur sosial yang terbagi kedalam lembaga yang bersifat non-komplementer.
3. Kurang berkembangnya konsensus antar anggota terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar.
5. Secara relatif integrasi sosial tumbuh diatas paksaan dan saling ketergantungan dalam bidang
ekonomi.
6. Terjadi domonasi politik oleh kelompok satu dengan kelompok yang lain.
Pertama, keadaan geografis wilayah Indonesian yang terdiri dari 3.000 lebih pulau yang tersebar
di daerah equator sepanjang kurang lebih 3.000 mil dari timur ke barat, lebih dari 1.000 mil dari
utara ke selatan, merupakan pengaruh besar terjadinya pluralitas suku bangsa Indonesia.
Faktor kedua, yaitu letak Indonesia yang berada diantara samudera Indonesia dan
samudera Pasifik, sangat berpangur akan terjadinya pluralitas agama di dalam masyarakat. Letak
Ketiga, iklim yang berbeda-beda dan struktur tanah yang tidak sama antara daerah di
kepulauan Nusantara ini, merupakan faktor yang menciptakan pluralitas regional di Indonesia.
Perbedaan curah hujan dan kesuburan tanah merupakan kondisi yang menciptakan dua macam
lingkungan ekologis yang berbeda di Indonesia, yakni: daerah pertanian sawah (wet rice
cultivation) yang terutama banyak dijumpai di pulau Jawa dan Bali, serta daerah pertanian
ladang (shifting cultivation) yang banyak kita jumpai di luar pulau Jawa. Perbedaan tersebut
menyebabakan terjadinya kontras perbedaan antara Jawa dan Luar Jawa di dalam bidang
Indonesia. Sementara secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia dapat kita lihat dengan
semakin berkembangnya polaritas sosial berdasrkan kekuatan politik dan kekayaan. Dengan
nasional yang mengikutinya, maka terjadi pelapisan sosial politis yang sangat kontras antara
golongan atas dan golongan bawah. Ketimpangan tersebut berakar dari zaman Hindia-Belanda,
Dalam sisitem dual economi, dua sektor ekonomi yang berbeda saling berhadapan. Yaitu
sekotor ekonomi modern yang lebih bersifat canggih (sophisticated), banyak berkaitan dengan
perdagangan Internasional, dimana motif mengeruk keuntungan yang semaksimal mungkin.
Sektor kedua yaitu sektor ekonomi pedesaan yang bersifat tradisional, yang menjaga motif
keamanan dan kelanggengan tidak berminat untuk mengharap keuntungan yang maksimal.
Perbedaan tersebut secara integral terjadi dalam keseluruhan masyarakat Indonesia yang hidup di
tiap daerah. Di Indonesia dijumpai bermacam-macam suku bangsa, dengan kebudayaan daerah
yang menyertai keberadaan suku tersebut. Demikian pula lapisan sosial yang berbeda dalam
masyarakat membawa perbedaan perilaku yang diwujudkan dalam keadaan tertentu seperti
bahasa yang digunakan, kebiasaan berpakaian, kebiasaan konsumsi makanan, dan sebagainya.
mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa adalah kebudayaan nasional atau kebudayaan
Indonesia. Kebudayaan ini tidak sama dengan kebudayaan daerah tertentu dan tidak sama artinya
adalah kebudayaan kita bersama, yakni kebudayaan yang mempunyai makana bagi bangsa
Indonesia.
Apa yang disebut dengan kebudayaan bangsa (berarti juga kebudayaan nasional) dalam
diseluruh Indonesia. “Puncak-puncak kebudayaan” itu artinya adalah kebudayaan yang diterima
dan dijunjung tinggi oleh sebagian besar suku-suku bangsa di Indonesia, dan memiliki
terintegrasi secara horizontal, sementara stratifikasi sosial memberi bentuk integrasi nasional
Van den Berghe menyatakan bahwa masyarakat majemuk tidak dapat digolongkan
kedalam salah satu jenis masyarakat. Menurut analisis Emile Durkheim, masyarakat majemuk
tidak dapat disamakan dengan masyarakat yang memiliki unit-unit kekerabatan yang bersifat
segmentasi, tetapi juga tidak dapat digolongkan kedalam masyarakat yang memiliki diferensiasi
dan spesialisasi tinggi. Dalm keadan yang demikian, menggunakan terminologi Emil Durkheim,
maka van den Berghe menyatakan bahwa baik solidaritas mekanis yang diikat oleh kesadaran
kolektif maupun solidaritas organis yang diikat oleh saling ketergantungan di antara bagiab-
bagian dari suatu sistem sosial, tidak mudah dikembangkan atau ditumbuhkan di dalam
masyarakat yang bersifat majemuk. Hal yang demikian juga berarti bahwa pendapat para
Mengikuti pandangan mereka, suatu sistem sosial selalu terintegrasi di atas landasan dua
hal berikut. Pertama, suatu masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus di
antara sebagian besar anggota masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat
fundamental. Dari sudut lain, masyarakat senantiasa terintegrasi karena setiap anggota
masyarakat sekaligus menjadi anggota kesatuan sosial (cross-cutting affiliations). Karena setiap
konflik yang terjadi antar kesatuan sosial akan segera dinetralisir dengan adanya loyalitas
ganda (cross-cutting loyalities) dari para anggota masyarakat terhadap berbagai kesatuan sosial.
Keduanya mendasari terjadinya integrasi sosial dalam masyarakat yang bersifat majemuk, karena
Segmentasi dalam bentuk kesatuan sosial yang terikat dalam primordial dengan sub-
kebudayaan yang berbeda satu sama lain, mudah sekali menimbulkan konflik antar kelompok
sosial. Dalam hal ini ada dua macam tingkatan konflik yang mungkun terjadi, yaitu:
1. Konflik ideologis.
Konflik tersebut terwujud di dalam bentuk konflik antar sistem nilai yang dianut oleh berbagai
kesatuan sosial.
2. Konflik politis.
Terjadi dalam bentuk pertentengan di dalam pembagian status kekuasan, dan sumber ekonomi
yang terbatas ketersediaannya di dalam masyarakat. Di dalam situasi konflik, maka secara sadar
atau tidak sadar, maka anggota kelompok akan mengabdikan diri dengan cara memperkokoh
Dengan adanya masyarakat yang majemuk, maka melahirkan keanggotan yang saling
menyilang. Cross-cutting affiliations yang telah menyebabkan konflik antar golongan tidak
terjadi terlalu tajam. Konflik suku bangsa misalnya, akan segera meredam oleh bertemunya
loyalitas agama. Demikian juga sebaliknya, apabila terjadi konflik agama, daerah, atau lapisan
pada tingkat tertentu masyarakat Indonesia juga terintegrasi atas dasar tumbuhnya perbedaan.
Bersama dengan tumbuhnya konsensus nasional mengenai nasionalisme Pancasila yang
bersifat coercive, dengan struktur silang-menyilang itulah Indonesia tetap dapat lestari walau
masyarakat Indonesia yang diwarnai dengan berbagai keanekaragaman dan pelapisan berbagai
aspeknya dapat terwujud integrasi nasioanal. Dalam aspek kebudayaan sistem nilai budaya
mempertahankan nilai-nilai budaya asli yang dianggap baik serta kesediaan untuk menerima
pengaruh yang datang dari luar demi kemajuan bangsa. Dan tentunya dalam menerima pengaruh
dari luar juga melalui tahap filterisasi atau tahap penyaringan, mana yang baik dan mana yang
tidk baik.
Segala perbedaan yang ada dalam masyarakat indonesia juga hendaknya tidak ditanggapi
sebagai keadaan yang menghambat persatuan dan kesatuan bangsa, melainkan sebagai kekayaan
bangsa yang dapat dijadikan sebagai sumber bagi pengembangan kehidupan nasional. Dalam hal
ini sikap eksklusivisme yang berlebihan perlu dihindari dengan tujuan untuk meminimalisir
terjadinya suatu konflik. Dengan kata lain perbedaan yang ada tidak dilihat sebagai sebuah
pertentangan akan tetapi sebagai kondisi yang saling melengkapi secara fungsional. Di situlah
Dalam pandangan fungsionalisme struktural, suatu sistem sosial terintegrasi atas dasar
· Masyarakat terintegrasi karena warga masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai
kesatuan sosial (cross cutting affiliation). Dalam kondisi demikian maka suatu konflik yang
terjadi di antara satu kesatuan sosial dengan kesatuan sosial lainnya segera akan ternetralisasi
oleh loyalitas ganda dari para anggota masyarakat terhadap berbagai kesatuan nasional
(Nasikun,1993:62).
Mengacu pada aspek yang disebut pertama, maka aktualisasi Pancasila memiliki peranan
yang sangat penting dalam mawujudkan integrasi masyarakat, karena Pancasila merupakan
wujud kesepakatan nilai yang bersifat fundamental dalam kehiduan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara. Mengacu pada aspek kedua pengembangan organisasi masyarakat yang bersifat
lintas suku, lintas agama, lintas budaya, dan lintas perbedaaan lainnya merupakan hal yan sangat
penting dalam rangka mewujudkan integrasi masyarakat, yang berarti juga mendukung
ketahanan sosial.
Di bidang kebudayaan, ketahanan budaya antara lain ditentukan oleh kemampuan kita
menanggapi secara arif pengaruh nilai-nilai budaya dari luar untuk mengembangkan atau
memperkaya, serta meningkatkan kualitas budaya nasional. Hal itu berarti bahwa kita tidak boleh
bersikap a-priori terhadap nilai-nilai budaya sendiri maupun terhadap nilai-nilai budaya yang
Guna memperkokoh ketahan budaya perlu dikembangkan sistem nilai budaya yang
mendukung terjadinya perubahan ke arah kemajuan. Sebab kemajuan masyarakat tidak hanya
ditentukan oleh faktor ekonomi seperti tersedianya modal atau biaya yang cukup, akan tetapi
juga ditentukan oleh faktor-faktor non ekonomi, yang dalam hal ini adalah sistem nilai budaya
yang mendukung kemajuan itu sendiri. Sistem nilai budaya yang dimaksud seperti kedisiplinan
dan menghargai waktu, orientasi ke masa depan, tidak hanya berserah kepada nasib, percaya
akan kemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sikap menghargai materi tanpa harus
Ketahan budaya juga perlu diwujudkan dengan memberikan ruang dan kesempatan bagi
bermacam-macam kebudayaan daerah untuk tumbuh dan berkembang dengan baik sehingga
memperkaya kebudayaan nasional. Untuk itu diperlukan sikap saling menghargai di antara
pendukung kebudayaan daerah yang berbeda, serta kesediaan untuk mensikapi berbagai
persoalan kebudayaan dengan perspektif sistem nilai dalam masyarakat pemilik kebudayaan
1. Simpulan
Konflik yang terjadi di Indonesia sebelum dan sesudah kemerdekaan tidak dapat tidak
struktur masyarakat Indonesia merupakan khasanah budaya yang dapat memperkaya kebudayaan
nasional. Sementara keberadaan keberagaman tersebut juga menyimpan potensi konflik dan
disintegrasi nasional.
masyarakat, karena Pancasila merupakan wujud kesepakatan nilai yang bersifat fundamental
dalam kehiduan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ketahanan budaya antara lain
ditentukan oleh kemampuan kita menanggapi secara arif pengaruh nilai-nilai budaya dari luar
PRESS.
Handoyo, Eko, dkk. 2007. Studi Masyarakat Indonesia. Semarang: Fakultas Ilmu Sosial
UNNES.