Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH PROYEK SEJARAH

UNTUK MENGANGKAT NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT


SULAWESI TENGAH

Disusun oleh :

 Andi Fadila
 Firmansyah
 Moh. Bintang Febrian
 Qaim Al Fauzi
 Rizal Gibran
 Samianti
 Sastri

SMA NEGERI 4 PALU


Tahun Pelajaran 2022 / 2023
Kelas X B (Sepuluh)

Jl. Mokolembake No. 1 Palu, Kel. Lere, Kec. Palu Barat, Sulawesi Tengah
Kode Pos, 94221
1
Kata Pengantar

Rasa syukur dan segala pujian tidak pernah henti-hentinya kita panjatkan kehadirat
Allah SWT sebagai tuhan yang maha esa karena hanya dengan segala rahmat dan karunia-
Nya sehingga tim kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas
kelompok proyek sebagai penguatan profil pelajar pancasila di SMA NEGERI 4 PALU.

Makalah ini akan menggali informasi salah satu situs bersejarah di Sulawesi Tengah
sehingga kita dapat mempelajari dan lebih mencintai warisan budaya sebagai kearifan lokal
yang harus dilestarikan agar dapat menjadi kebanggaan dan kekhasan daerah Sulawesi
Tengah. Makalah ini juga akan membuat kita lebih bersyukur atas apa yang diberikan tuhan
kepada kami dan juga bersyukur atas apa yang ditinggalkan leluhur kita kepada kami. Dan
juga hal ini dapat menunjukkan kepada kita, terutama bagi kalangan muda seberapa
indahnya alam semesta ini, daripada hanya menghabiskan waktu didepan layar visual
teknologi yang hanya membuat kita ketergantungan untuk menghabiskan waktu bagi hal-
hal yang kurang bermanfaat.

Terlepas dari berbagai kalimat yang akan dibahas, tim kami mengakui bahwa laporan
makalah ini masih jauh dari kata sempurna baik dari segi penyusunan, gaya bahasa,
kebakuan bahasa, maupun teknik penulisannya. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar menjadi acuan untuk menjadi lebih baik
di masa yang akan datang.

Terima kasih sebesar-besarnya kami ucapkan kepada ibu Heni Oktaviani T, S.Pd,
M.Pd sebagai fasilitator proyek kunjungan sejarah bagi SMAN 4 Palu dan juga ibu Susanna,
S.Si, M.Pd sebagai guru pembimbing proyek sejarah dan wali dikelas kami. Terima kasih
kami berikan pula kepada Kepala Sekolah beserta wakil-wakilnya, dan seluruh Dewan Guru
serta staff disekolah kami. Terima kasih juga saya ucapkan kepada anggota kelompok yang
telah membantu saya menyelesaikan tugas ini hingga tepat waktu. Terima kasih juga kami
ucapkan kepada teman-teman seperjuangan dikelas kami yang telah memberikan dukungan
secara materi maupun moral. Serta kami ucapkan terima kasih juga sebanyak-banyaknya
kepada para pembaca yang telah mengikuti hingga titik ini.
Semoga makalah ini bisa menambah wawasan para pembaca dan bermanfaat untuk
perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.
Palu, 22 Oktober 2022
Penulis

Moh. Bintang Febrian

2
Daftar Isi

MAKALAH PROYEK SEJARAH..........................................................................................1


Kata Pengantar....................................................................................................................2
Daftar Isi.................................................................................................................................3
Tujuan.....................................................................................................................................4
Bab I. Cagar Budaya Vatunonju, Sulawesi Tengah...................................................5
1. Pengenalan Cagar Budaya Vatunonju............................................................................5
2. Sejarah Desa Vatunonju.......................................................................................................6
3. Perkembangan Penelitian...................................................................................................6
4. Deskripsi Lumpang Batu.....................................................................................................7
A. Jenis Lumpang Batu...........................................................................................................7
B. Bentuk Lumpang Batu......................................................................................................8
C. Ukuran Lumpang Batu.....................................................................................................8
Bab II. Museum Provinsi Sulawesi Tengah.................................................................9
1. Pengenalan Museum Sulawesi Tengah.........................................................................9
2. Koleksi Bersejarah di Museum Sulawesi Tengah......................................................9
A. Koleksi Geologika............................................................................................................10
B. Koleksi Biologika............................................................................................................. 10
C. Koleksi Arkeologika dan Historika...........................................................................11
D. Koleksi Etnografika.........................................................................................................12
E. Koleksi Religius................................................................................................................13
1. Keragaman Flora & Fauna Khas Sulawesi Tengah.................................................14
A. Keragaman Flora di Sulawesi Tengah.....................................................................15
B. Keragaman Fauna di Sulawesi Tengah...................................................................16
Penutup................................................................................................................................18
1. Kesimpulan............................................................................................................................ 18
Dokumentasi Lumpang Batu........................................................................................20
.................................................................................................................................................20
Dokumentasi Koleksi Museum....................................................................................21
Daftar Pustaka...................................................................................................................22

3
Tujuan

Makalah ini dibentuk oleh penulis agar kita dapat mengetahui apa saja kearifan lokal
yang daerah kami miliki. Dan yang tidak kalah penting, tujuan kami dalam makalah ini agar
kami selaku pelajar SMA Negeri 4 Palu dapat menjadi pelajar yang sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila.

Perlu diketahui, kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang
tidak dapat dipisahkan dari dari bahasa masyarakat itu sendiri. Kearifan lokal dapat
berbentuk abstrak maupun non abstrak. Kearifan lokal biasanya diwariskan secara turun-
temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya melalui cerita lisan, dan dapat
dibuktikan sebagai kearifan lokal melalui status keresmiannya, maupun dengan penelitian
lebih dalam.

Terdapat banyak sekali kearifan lokal yang dapat kita temui di seluruh wilayah
Sulawesi Tengah, mulai dari suku daerah, bahasa, pakaian adat, senjata tradisional, rumah
adat, tradisi adat, kerajaan, benda-benda peninggalan hingga flora dan fauna khas yang
kami miliki. Diketahui terdapat 12 suku asli diwilayah Sulawesi Tengah dan menempati 62%
dari total populasi penduduk. Dari suku Kaili, Pamona, Lore, Kulawi, Mori, Saluan, Banggai
dan lain lain. Oleh karena itu, mari sama-sama kita lestarikan budaya yang kita miliki agar
tetap menjadi kebanggaan kita bersama serta agar tidak diklaim secara ilegal oleh daerah
lain hingga menjadi kebudayaan mereka.

Adapun tujuan yang disajikan melalui makalah ini adalah:


 Berkontribusi secara positif menjadi pelajar yang berpikir dan bertindak sesuai
dengan nilai-nilai Pancasila.
 Menumbuhkembangkan perspektif pelajar dalam mengkaji kebudayaan yang
terdapat di wilayah masing-masing.

Selanjutnya, kita akan masuk lebih dalam tentang kearifan lokal yang akan menjadi
pokok pembahasan kami yaitu, Cagar Budaya Lumpang Batu, Vatunonju, Sulawesi Tengah.
Dan juga kami akan membahas mengenai objek-objek kajian yang terdapat didalam
Museum Sulawesi Tengah.
Palu, 22 Oktober 2022
Penulis

Moh. Bintang Febrian

4
Bab I. Cagar Budaya Vatunonju, Sulawesi Tengah

1. Pengenalan Cagar Budaya Vatunonju.

Kali ini kita akan membahas mengenai Taman Purbakala Vatunonju .Taman
Purbakala Vatunonju didirikan dan diresmikan pada tahun 1983 oleh Menteri Sosial pada
saat itu, Hariyati Subagyo sebagai objek sejarah. Taman tersebut dijadikan sebagai Cagar
Budaya secara resmi bukan tanpa sebab. Taman ini memiliki peninggalan Lumpang Batu
sebanyak 15 buah batu yang telah ada dan digunakan oleh nenek moyang kita sejak zaman
batu besar tua (Megalithikum Tua). Zaman tersebut sudah ada sejak 3000 – 1000 tahun
sebelum Masehi (BCE) atau sekitar ≤5000 tahun lalu. Lempung Batu digunakan oleh nenek
moyang untuk menumbuk bahan makanan. Dari dulu hingga sekarang, penduduk asli dari
desa Vatunonju adalah penduduk asli Sigi (Sigimpu) yang memiliki etnis Kaili.
Taman Purbakala ini terletak di desa Vatunonju, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
Objek wisata ini berjarak ±28 km arah selatan dari kota Palu. Objek wisata ini dapat
dijangkau dengan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum. Perjalanan menuju lokasi
objek wisata ini memakan sekitar 20-30 menit. Sepanjang perjalanan, kita akan melihat
pemandangan dan suasana khas pedesaan di Sulawesi Tengah yang masih nampak alami
dengan sawah-sawah yang hijau serta dikelilingi oleh barisan perbukitan dan pegunungan.
Kawasan ini telah dipagari untuk alasan keamanan dan kenyamanan. Di dalam lokasi
objek wisata tersebut terdapat baruga yang dapat menampung sekitar 50 orang dan dua
replika gampiri. Listrik pun sudah ada sehingga anda tidak perlu khawatir akan bergelap-
gelapan saat malam tiba. Letak yang berdekatan dengan pemukiman juga mempermudah
dengan adanya masjid dan warung di sekitar lokasi. Untuk masuk dan melihat objek wisata
ini, kita harus mempersiapkan etika yang baik, agar tidak merusak peninggalan nenek
moyang dan juga agar tidak meninggalkan kesan yang buruk.

2. Sejarah Desa Vatunonju.

Dahulu daerah Vatunonju merupakan hutan dan ketika itu daerah Vatunonju belum
dihuni oleh manusia. Manusia zaman itu hidup berkelompok dan selalu tinggal berpindah-
pindah (nomaden), tetapi ketika telah tumbuh pengetahuan tentang bercocok tanam
mereka umumnya tinggal didaerah pegunungan. Kelompok manusia yang akan menjadi
penduduk Vatunonju adalah suatu kelompok yang bernama Hilonga. Mereka hidup
didaerah Sigimpu. Pekerjaan mereka yaitu berburu hewan dan berocok tanam.
Sebagai kebiasaan setelah panen, mereka mengadakan pesta syukuran yang
bernama Movunja (pesta panen). Kemudian untuk kelengkapan acara, sebelum memulai
acara mereka berburu hewan dihutan hingga ke bukit yang banyak batu berlubang
menyerupai lesung. Ketika mereka ingin memulai pesta syukuran terjadi semburan lumpur

5
dari dalam tanah menyebabkan banjir. Banjir itu pun membuat genangan air yang luas dan
disebut danau Ranotiko. Sekarang, danau tersebut telah menjadi lembah. Bencana itu
banyak memakan banyak korban jiwa. Beruntungnya orang yang tidak mengikuti pesta itu
selamat dari bencana. Menurut hasil penelitian, orang-orang yang selamat segera melarikan
diri ke daerah Lindu, daerah Palolo, daerah Bodi Lemontasi, Vatung Gede dan ada juga yang
lari menuju perbukitan yang semula mereka temukan ketika berburu (daerah Vatunonju).
Orang-orang dari kelompok Hilonga yang lari ke perbukitan itu mengadakan upacara
adat yang mereka sebut Mampasulemanu. Upacara itu bertujuan untuk mengetahui
tentang masalah layak atau tidak layak untuk mereka tinggal menetap di Vatunonju.
Upacara itu dipimpin oleh tetua adat mereka, dan hasil akhirnya yaitu mereka layak tinggal
di daerah itu. Seluruh daerah itu awalnya merupakan hutan, akan tetapi karena mereka
tinggal, kini separuh dari hutan itu merupakan tempat pemukiman mereka. Daerah itu
mereka namakan Vatunonju karena banyak mereka temukan lumpang batu atau batu yang
berlubang. Secara bahasa, Vatunonju berasal dari bahasa Kaili yang berarti lempung batu.

3. Perkembangan Penelitian

Lumpang batu di Vatunonju, pertama kali diteliti oleh dua orang ilmuan sekaligus
misioner Belanda yang sempat menyebarkan agama Kristen di Sulawesi Tengah terutama di
Kabupaten Poso saat Indonesia masih dijajah Belanda. Mereka adalah Dr. Albert Kruut dan
Adrian. Setelah mereka mengajarkan agama Kristen di Poso, lalu mereka berpindah
menyebarkan agama Kristen di Palu. Setelah itu ia meneruskan misinya ke daerah Sigi
Biromaru. Namun, misi mereka sangat ditentang oleh Raja Karanjalemba yang mempunyai
wibawa dan pengaruh yang sangat kuat di wilayah Sigi Biromaru. Dua orang misioner
tersebut pun pergi dari Vatunonju karena keberanian Raja Karanjalemba. Tetapi Albert
Kruut dan Adrian tidak pergi dengan tangan kosong, mereka sempat mengadakan penelitian
pertama kali terhadap peninggalan Lumpang Batu di Kec. Sigi Biromaru tersebut pada tahun
1898 Masehi (CE).
Setelah itu, lumpang batu tersebut diteliti lagi oleh Masyudin Masyuda. Ia adalah
seorang Budayawan Sulawesi Tengah, sekaligus orang Sulawesi Tengah yang pertama kali
meneliti Lumpang Batu di Vatunonju secara ilmiah pada tahun 1972.
Selanjutnya pada tahun 1975, Lumpang Batu tersebut diteliti oleh Dr. Herry
Sukendar. Ia menemukan empat belas buah lumpang batu di sekitar lokasi. Dia memelihara
batu-batu tersebut dengan membuat lembaga kebudayaan di Vatunonju pada tahun 1978
dan dikembangkan lagi pada tahun 1979. Tahun 1983, Menteri Sosial pada saat itu, Hariyati
Subagyo meresmikan Lumpang Batu di desa Vatunonju sebagai Cagar Budaya Megalhitikum.

6
4. Deskripsi Lumpang Batu

Perlu diketahui, Lumpang Batu adalah wadah berbentuk bejana yang terbuat dari
batu untuk menumbuk bahan makanan atau bahan olahan lainnya yang cukup keras.
Biasanya lumpang memiliki alat penumbuk yang terbuat dari batu atau kayu dengan bagian
ujung yang lebar dan bagian tengah yang mengecil untuk pegangan.

A. Jenis Lumpang Batu

Berdasarkan informasi dari narasumber di Vatunonju, Bapak Husein, Lumpang


Batu terbuat dari batu Andesit. Apa itu batu Andesit? Andesit adalah suatu jenis batuan
beku vulkanik, ekstrusif, komposisi menengah, dengan struktur afanitik hingga porfiritik.
Dalam pengertian umum, Andesit adalah jenis peralihan antara basal dan dasit, dengan
rentang silikon dioksida adalah 57 – 63%. Batuan Andesit ini terbentuk dari endapan aliran
lava yang diproduksi oleh Gunung Berapi berbentuk kerucut (Strato Volcano). Lava yang
diproduksi didalam gunung berapi akan dimuntahkan keluar dan lava tersebut akan
mengeras dengan cepat ketika terkena suhu permukaan. Oleh karena itu, batuan Andesit
termasuk kedalam jenis batuan ekstrusif atau batuan beku luar.

Batuan Andesit banyak ditemukan di stratovolcanoes di zona subduksi. Zona


Subduksi adalah zona terjadinya proses geologi wilayah kerak bumi dimana terdapat pada
batas dua lempeng tektonik litosfer, yang dimana salah satu dari lempeng akan menurun, ke
bawah lempeng yang lebih tebal secara konvergen.

Lumpang Batu Megalhitikum, Vatunonju

7
B. Bentuk Lumpang Batu

Lumpang Batu pada umumnya sudah berbentuk seperti mangkuk atau bejana.
Namun, Lumpang batu di Vatunonju memiliki bentuk yang variatif, mulai dari bentuk
tabung, batu bulat cukup pipih, dan bentuk balok. Di bagian atas dari batu, terdapat lubang
berbentuk lingkaran, bekas tempat menumbuk bahan olahan makanan yang digunakan oleh
nenek moyang kita. Terdapat beberapa lubang dari satu lumpang batu, adapun yang hanya
satu lubang saja. Kedalaman lubang pun bervariasi, ada yang mengikuti diameter lubang,
adapun yang hanya 2-5 cm saja ataupun yang 15-20 cm. Lubang yang dalam memiliki
volume setengah bola dengan diameter tertentu.

C. Ukuran Lumpang Batu

Pada umumnya, lumpang batu memiliki panjang 15-20 cm. Namun, lumpang batu
yang akan kita teliti yaitu Lumpang batu Vatunonju, memiliki ukuran yang lebih besar dari
ukuran biasanya. Hal ini dapat terjadi dikarenakan pada zaman Megalitik Tua atau Zaman
Batu Besar, orang-orang masih belum menemui cara untuk memperkecil ukuran batu
sesuai kebutuhan, ini dapat terjadi karena kemajuan ilmu pengetahuan yang masih rendah
dan juga alat-alat yang masih belum memadai.
Kami mengukur panjang dari 6 lumpang batu untuk mendapatkan rata-ratanya.
Disini kami mengukur panjang lumpang batu hanya berdasarkan perbandingan digambar
yang telah kami ambil. Kami tidak sempat untuk mengukur lumpang batu secara langsung
dikarenakan waktu yang kurang cukup. Jadi, disini kami mengharapkan koreksi dari teman-
teman semua jika terdapat kesalahan saat pengukuran.
Berikut hasil pengukurannya :
Rata-rata Diameter lubang = 15,8 cm + 21,5 cm + 14,15 cm + 17 cm + 13 cm + 21,8 cm
=103,25 cm / 6 = 17,208 cm.
Rata-rata panjang = 81,3 cm + 52,4 cm + 93,3 cm + 31 cm + 62,8 cm + 87,9 cm / 6
= 408,7 cm / 6 = 68,116 cm.
Rata-rata tinggi = 19,9 cm + 27,5 cm + 18,05 cm + 29,7 cm + 45,2 cm + 22,1 cm / 6
= 167,45 cm / 6 = 27,075 cm.
Rata-rata volume lubang = 4/3/2 x π x r^3 = 2/3 x 3,14 x 8,604 x 8,604 x 8,604 cm
= 1.333,3359661286 cm^3
Rata-rata volume batu dengan pendekatan tabung = π x r^2 x t
= 3,14 x 34,05 x 34,05 x 27,075 cm
= 98.567,18323875 cm^3
Jadi, perbandingan antara volume lubang dengan volume total batu adalah
1.333,33/98.567,18 = 1/73,92 atau dirata-ratakan menjadi 1 banding 74.

Untuk menghitung luas dan volume acak secara akurat, kita harus menggunakan
perhitungan yang lebih rumit seperti Calculus Trigonometri yang didapat dari perguruan
tinggi.

8
Bab II. Museum Provinsi Sulawesi Tengah

1. Pengenalan Museum Sulawesi Tengah

Museum Sulawesi Tengah terletak di jalan Kemiri No. 23, Kelurahan Kamonji, Kec.
Palu Barat, Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah, Indonesia. Museum Sulawesi Tengah
dibangun diatas tanah seluas 18.330 meter persegi. Museum Sulawesi Tengah digagas oleh
budayawan Sulawesi Tengah yaitu Masyhuddin Masyuda, dalam tulisannya yang berjudul
Perspektif Pembangunan Museum Negeri Provinsi Sulawesi Tengah yang mempresentasikan
pada penataran di Museum Nasional tahun 1975. Upaya menyelamatkan warisan budaya
mulai pada tahun 1975 dengan usaha pengumpulan koleksi dengan bantuan Gubernur
Sulawesi Tengah. (sumber : id.m.wikipedia.org )
Museum Sulawesi Tengah dilengkapi dengan fasilitas dan sarana seperti ruang
pameran tetap, ruang pameran temporer, ruang auditorium, ruang administrasi, ruang
penyimpanan koleksi dan toilet.

2. Koleksi Bersejarah di Museum Sulawesi Tengah

Museum Sulawesi Tengah memiliki koleksi hingga tahun 2005 berjumlah 7398 dari
berbagai objek-objek seperti objek Geologi, Biologi, Etnografi, Arkeologi, Historic,
Numismatic, Filologi, keramik seni rupa, dan teknologi modern. Kami akan menjelaskan
beberapa objek dari jenis-jenis yang berbeda yang terdapat di Museum Sulawesi Tengah ini.

A. Koleksi Geologika
Objek Geologika didasarkan pada disiplin dari ilmu
Geologi, yaitu ilmu yang mempelajari tentang kerak
bumi dari lapisan tanah, kandungan mineral dalam
bumi serta batuan-batuannya, seperti : Batu Marmer,
Batu Kapur, dan Pasir Besi.

B. Koleksi Biologika

Biologika berkenaan dengan disiplin ilmu Biologi, yaitu ilmu yang mempelajari asal,
bentuk, dan tingkah laku flora dan fauna, seperti :
1. Tanduk Kerbau
2. Tanduk Rusa
3. Tanduk Anoa
4. Kulit Anoa
5. Kupu-Kupu

9
Peninggalan Biologika bukan hanya mempelajari tentang flora dan fauna namun
seluruh organisme hidup dan tak hidup, termasuk manusia. Peninggalan Biologika dengan
struktur tubuh manusia seperti Tengkorak Manusia Purba. Berikut jenis tengkorak
berdasarkan umurnya :
1. Homo Erectus, ditemukan di situs Sangiran, Jawa Tengah yang diperkirakan berumur
600.000 – 700.000 tahun yang lalu.
2. Homo Sapiens, Ditemukan disitu Wajak, wilayah Jawa Timur yang diperkirakan
berumur 25.000 – 40.000 tahun yang lalu.

Tengkorak Manusia Purba

C. Koleksi Arkeologika dan Historika

Koleksi Arkeologika dan Historika berkaitan


erat dengan disiplin ilmu Arkeologi dan Sejarah,
yaitu ilmu yang mempelajari sejarah kebudayaan
manusia dimasa lampau melalui benda yang
ditinggalkan maupun melalui cerita secara lisan yang
diceritakan secara turun temurun, seperti :
1. Kapak Genggam yang diduga dari zaman Palaeolitik dan ditemukan di : Bunane,
Lakibong, Cabenge, Kab. Soppeng, Sulawesi Selatan.
2. Batu Intan bahan dasar pembuatan Flakes (serpihan), diduga dari zaman Palaeolitik
dan ditemukan di Cabenge, Kab. Soppeng. Dan juga dari zaman Epi Poelitik yang
ditemukan di Kab. Maros, Sulawesi Selatan.
3. Empat buah Flakes (serpihan) yang diduga dari zaman Palaeolitik, dan ditemukan di
Kab. Soppeng dan Kab. Maros, Sulawesi Selatan.
4. Kapak Lonjong, ditemukan di Desa Kaleke, Kec. Dolo, Kab. Sigi dan diduga dari
zaman Neolitik. Digunakan sebagai peralatan pertanian.
5. Kapak Persegi, ditemukan di Kec. Baolan, Kab. Toli-toli dan diduga dari zaman
Neolitik. Digunakan sebagai peralatan pertanian.
6. Beliung, ditemukan di Lembah Palu dan diduga dari zaman Neolitik. Digunakan
sebagai peralatan pertanian dan pertambangan.
7. Gelang Batu dan Gelang Kerang, pada zaman Megalitik digunakan sebagai perhiasan
dan bekal kubur pada upacara penguburan kedua suku Mori di Kabupaten Morowali.

10
8. Patung Tembikar, ditemukan di Desa Toima, Kec. Bunta, Kab. Banggai pada tahun
1984. Terbuat dari tanah liat, bercorak ragam hias geometris dan digunakan sebagai
bekal kubur.
9. Tau-Tau, berfungsi sebagai perwujudan dari nenek moyang.
10. Taiganja, digunakan sebagai simbol keabsahan dalam upacara peminangan kaum
bangsawan Suku Kulawi.
11. Sagala, digunakan sebagai hiasan ranjang pengantin kaum bangsawan Suku Kulawi.

Patung Tembikar Taiganja

D. Koleksi Etnografika

Nilai-nilai Etnografi sangat erat kaitannya dengan keberadaan ilmu Etnologi. Ilmu
Etnologi adalah ilmu yang membahas mengenai asas kemanusiaan dalam kebudayaan
berbagai suku bangsa. Etnologi sendiri merupakan salah satu cabang ilmu Antropologi
Budaya. Peninggalan berbentuk Etnografi seperti : Guma (Parang), Poteveulu, Dulang.
Terdapat tiga jenis Guma yang dikenal masyarakat Sulawesi Tengah dan
penggunaannya dalam upacara. Pada saat perang, Guma digunakan sebagai senjata. Guma
adalah senjata tradisional suku Kaili dan terbuat dari bahan yang beragam seperti besi,
silika, wolfram, mangan, nikel, tembaga, bahkan hingga titanium. Guma berumur lebih dari
50 tahun bahkan hingga 300 tahun lamanya. Adapun benda-benda tersebut diklasifikasikan
menurut status sosial masyarakat, jenis Guma itu antara lain :
1. Guma Kalama
Digunakan pada upacara adat oleh kaum bangsawan dan memiliki gagang
berbentuk ular serta berasal dari Desa Bolapapu, Kec. Kulawi, Kab. Sigi, Sulawesi
Tengah.
2. Guma Lompu
Digunakan oleh semua lapisan masyarakat sebagai alat peralatan rumah tangga
dan berasal dari Desa Beka, Kec. Marawola, Kab. Sigi, Sulawesi Tengah.
3. Guma Taono
Digunakan oleh semua lapisan masyarakat sebagai peralatan rumah tangga dan
berasal dari Desa Beka, Kec. Marawola, Kab. Sigi, Sulawesi Tengah.

11
Struktur Guma (sumber : Korem 132 Tadulako)

Guma Lompu dan Taono

Adapun benda peninggalan lainnya yang bernilai Etnografi yakni :


1. Poteveulu (Tempat Ludah)
Pada saat peminangan Poteveulu digunakan oleh hampir semua lapisan masyarakat,
khususnya yang mengunyah sirih pinang dan berfungsi sebagai tempat ludah.
2. Dulang
Dipakai oleh seluruh lapisan masyarakat pada semua upacara-upacara adat yang
berfungsi sebagai wadah.
3. Tempayan Kubur Suku Pamona
Digunakan pada gua penguburan di sekitar danau Poso, Tentena, Kec. Pamona
Utara, Kab. Poso. Digunakan oleh masyarakat pamona sebagai wadah penguburan
kedua pada tradisi penguburan Megalitik. Tradisi penguburan ini berlangsung pada
masa prasejarah dan berakhir pada awal abad ke-20.

Poteveulu Tempayan Kubur

12
E. Koleksi Religius

Nilai-nilai religi akan bergabung dengan sistem kebudayaan didaerah masing-masing.


Penggabungan tersebut akan meninggalkan benda-benda yang bernilai religi, namun
memiliki ciri-ciri khas tersendiri. Benda-benda tersebut seperti :
1. Al-Qur’an Tulis Tangan
2. Temboka Pejunu
Ditemukan di kelurahan Baru, Kec. Palu Barat dan digunakan sebagai gayung pada
tradisi mandi Bulan Safar.
3. Keris
Keris ragam Bone dengan hias tulisan kaligrafi yang mengandung arti “Kalau engkau
mau berbuat sesuatu harus di pikirkan dahulu”.
4. Pasatimpo
Pada sarung pasatimpo terdapat tulisan huruf Arab Langgam Jawa yang mengandung
makna solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat.

Al-Qur’an Tulis Tangan

1. Keragaman Flora & Fauna


Khas Sulawesi Tengah

Mendengar kata flora dan fauna di Indonesia,


kita sudah tidak asing lagi dengan
Garis Wallace dan Garis Weber. Seorang Naturalis
Inggris pada tahun 1859, A.R Wallace mengeluarkan suatu pernyataan yang disebut Garis
Wallace yang membusur dari Bali dan Lombok menuju ke antara Kalimantan dan Sulawesi,
sebelah selatan Filipina dan sebelah utara Hawaii yang menandai perbedaan flora dan fauna
pada daratan yang terpisah ketika zaman es. Wallace membuat garis hipotesis ini untuk
membagi tipe flora dan fauna di Indonesia yang membagi menjadi Tipe Asiatis yang lebih
dominan seperti flora dan fauna Asia, tipe ini berada di sebelah barat Garis Wallace, dan
disebelah timur yang lebih dominan Tipe Endemik (Peralihan).
Kemudian pada tahun 1919, Max C.W. Weber, seorang ilmuwan Geografis asal
Jerman membuat Garis Weber yang terbentang dari selatan pulau Timor Leste, Laut Banda,
barat pulau Maluku, hingga ke Samudra Pasifik. Garis tersebut membagi tipe flora dan fauna
di Indonesia menjadi dua tipe, yaitu Tipe Endemik (Peralihan) di sebelah barat, dan Tipe
Australis di sebelah timur yang lebih dominan seperti flora dan fauna Benua Australia.
Melalui petunjuk kedua garis Wallace dan Weber, kita dapat menyimpulkan bahwa
Pulau Sulawesi memiliki Flora & Fauna yang khas dengan Tipe Endemik. Di Sulawesi Tengah,
flora dan fauna tersebut tersebar dibanyak wilayah khusus, dan sudah dilindungi oleh

13
pemerintah setempat. Untuk menjaga kelestariannya, pemerintah melindungi flora dan
fauna di Taman Nasional dan Cagar Alam. Beberapa Taman Nasional dan Cagar Alam
tersebut antara lain : Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), Taman Nasional Kepulauan Togean
(TNKT), Cagar Alam Morowali, Cagar Alam Tanjung Api, Cagar Alam Gunung Dako, Cagar
Alam Pamona, Cagar Alam Pangi Binanga, Cagar Alam Gunung Sojol, dan Cagar Alam
Gunung Tinombala.
Salah satu Taman Nasional terbesar di Sulawesi Tengah adalah Taman Nasional Lore
Lindu (TNLL) yang terletak di sekitar Danau Lindu, Kabupaten Sigi. Taman Nasional ini
memiliki luas 217.991 hektar ditetapkan pemerintah sebagai taman nasional melalui SK
Menteri Kehutanan No. 593/kpts-II/199 pada tanggall 5 Oktober 1993.

A. Keragaman Flora di Sulawesi Tengah

1. Kantong Semar Danau Tambing (Nepenthes pitopangii)

Dari sebelas jenis tumbuhan langka kantong semar, lima diantaranya ada di obyek
wisata Danau Tambing. Salah satu spesies kantong semar jenis Nepenthes pitopangii hanya
tumbuh dikawasan hutang lindung sekitar Desa Sedoa. Selain itu, ada spesies lainnya seperti
Nepenthes nigra, Nepenthes maxima, Nepenthes tentaculata, dan Nepenthes mirabilis.

2. Kayu Hitam Sulawesi

Kayu Hitam Sulawesi atau lebih dikenal dengan Kayu Eboni merupakan tumbuhan
Berkayu yang menarik perhatian karena warnanya yang hitam dengan teras kecoklatan.
Eboni memiliki beberapa jenis, namun yang paling terkenal adalah Diospyros celebica dan
Diospyros rumphii. Jenis kayunya yang cantik membuat kayu Eboni diperdagangkan dan
dieksploitasi secara besar-besaran dan ilegal. Eksploitasi ditambah dengan kemampuan
regenerasi alami yang kurang baik membuat Pohon Eboni masuk ke daftar tanaman yang
vulnerable.

3. Strongylodon celebicus huang

Tumbuhan ini merupakan jenis tumbuhan liana berkayu endemik yang hanya
ditemukan di hutan Sulawesi. Strongylodon celebicus huang memiliki bunga yang
tersusun layaknya pagoda. Bunganya warna merah muda hingga putih. Ia dapat ditemukan
di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah.

B. Keragaman Fauna di Sulawesi Tengah

1. Anoa Dataran Rendah (Bubalus depressicornis)

Spesies bernama latin Bubalus depressicornis ini disebut sebagai Lowland Anoa,
Anoa de Ilanura, Anoa des Plaines. Anoa ini lebih sulit ditemukan dibandingkan Anoa
pegunungan. Anoa dataran rendah mempunyai ukuran tubuh yang relatif lebih gemuk,

14
dengan panjang tubuhnya sekitar 150 cm dengan tinggi sekitar 85 cm. Tanduk Anoa dataran
rendah panjangnya dan 40 cm dan endemik ini memiliki bobot hingga 300 kg. Anoa dataran
rendah dapat hidup hingga usia 30 tahun yang matang secara seksual pada umur 2-3 tahun.
Anoa betina melahirkan satu bayi dalam satu masa kehamilan. Masa kehamilannya sekitar
9-10 bulan. Sehingga tidak jarang satu induk terlihat bersama denga 2 anak Anoa yang
berbeda usia. Anoa dataran rendah hidup dihabitat mulai dari hutan pantai sampai hutan
dataran tinggi dengan ketinggian 1000 mdpl.

2. Anoa Pegunungan (Bubalus quarlesi)

Endemik ini memiliki panggilan lain seperti Mountain Anao, Anoa de montagne,
Anoa de Quarle, Berganoa, dan Anoa de montana. Anoa pegunungan mempunyai ukuran
tubuh lebih ramping dibandingkan Anoa dataran rendah. Panjang tubuhnya sekitar 122-153
cm dengan tinggi sekitar 75 cm. Panjang tanduk sekitar 27 cm dan memiliki bobot hingga
150 kg. Anoa pegunungan berusia antara 20-25 tahun yang matang secara reproduksi saat
berusia 2-3 tahun. Anoa pegunungan memiliki siklus kehamilan dan induk yang mirip seperti
Anoa dataran rendah. Anoa pegunungan berhabitat di dataran tinggi hingga ketinggian 3000
mdpl. Anoa pegunungan cenderung lebih aktif saat pagi hari, dan beristirahat sat tengah
hari. Tanduk Anoa digunakan untuk menyibak semak-semak atau menggali tanah. Saat
perkelahian, bagian ujung yang tajam digunakan untuk melukai lawan. Ketika bersemangat,
Anoa pegunungan akan mengeluarkan suara “moo”.
Sejak tahun 1986, IUCN Redlist memasukkan kedua jenis Anoa ini dalam status
konservasi “Endangered” (Terancam Punah). Selain itu, CITES juga memasukkan kedua
satwa langka ini dalam Apendiks I yang berarti tidak boleh diperjual belikan. Pemerintah
melalui Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No. 7 Tahun 1999 memasukkan Anoa
sebagai salah satu satwa yang dilindungi. Anoa sebenarnya tidak memiliki predator alami.
Ancaman utama kepunahan hewan ini adalah Deforestasi Hutan dan perburuan yang
dilakukan manusia untuk mendapatkan daging, kulit, dan tanduknya.

3. Kera Hitam Sulawesi (Macaca nigra)

Merupakan jenis primata yang mulai langka dan teracam kepunahan. Kera Hitam
Sulawesi yang dalam bahasa latin disebut Macaca nigra merupakan satwa endemik asli
Sulawesi Utara. Kera Hitam Sulawesi selain mempunyai bulu berwarna hitam, tapi juga
mempunyai jambul di atas kepalanya. Kera ini sering disebut oleh masyarakat sekitar
dengan sebutan Yaki atau monyet berjambul. Kera Hitam mempunyai ciri-ciri sekujur tubuh
yang ditumbuhi bulu berwarna hitam kecuali pada daerah punggung dan selangkangan yang
berwarna agak terang. Pada kepala Kera Hitam Sulawesi memiliki jambul. Mukanya tidak

15
berambut dan memiliki moncong yang agak menonjol. Panjang tubuh Kera Hitam Sulawesi
dewasa berkisar antara 45 – 57 cm, dengan berat sekitar 11 – 15 kg.
Kera Hitam Sulawesi hidup secara berkelompok besar terdiri atas 5 – 10 ekor. Musuh
utama primata ini sama seperti Tarsius yaitu ular Phyton. Penyebaran kera ini terfokus di
hutan primer dan daya jelajahnya selalu menuju ke satu arah dan kan kembali ke arah
semula dengan daya jelajah hingga 1 km.

4. Tarsius (Tarcia)

Tarsius adalah jenis primata terkecil di dunia. Hewan Endemik Sulawesi ini hanya
Mempunyai berat sekitar 100 gram dengan panjang badan 20 cm serta bermata bulat besar.
Tarsius hidup berkelompok kecil di lahan seluas 1 hektar. Selain itu, Tarsius adalah hewan
nokturnal dengan serangga sebagai mangsa utamanya. Diperkirakan terdapat dua jenis
Tarsius yang ada di TNLL yaitu Tarsius dilanae dan jenis yang terkecil, Tarsius pumillus.

5. Musang Sulawesi (Mcrogalidia muschenbroecki)

Walaupun sudah ditemukan oleh para ahli sejak 100 tahun yang lalu, binatang ini
sangat sulit dijumpai manusia. Panjangnya 130 cm dan berat 9 kg. Pemanjat pohon yang
ulung ini merupakan predator asli Sulawesi terbesar yang kedua setelah ular sawah.
Makanan utamanya, burung, mamalia kecil, buah palem, dan telur.

6. Burung Maleo (Macrochepalon maleo)

Maleo adalah salah satu burung unik di TNLL. Bulunya berwarna hitam tetapi dada
Hingga perutnya berwarna ungu keputih-putihan. Kepalanya seperti memakai topi baja.
Tidak seperti burung lainnya, maleo tidak mengerami telurnya sendiri. Agar menetas, maleo
mengubur telurnya di tanah berpasir yang dekat sumber air panas, dipinggir pantai atau di
pinggir sungai yang langsung terkena sinar matahari. Setelah tiga bulan, telur menetas dan
anak maleo itu terus mencari jalan ke permukaan. Tiba di permukaan tanah, anak maleo
akan langsung mencari makanan sendiri di hutan.

7. Burung Gagak Banggai (Corvus unicolor)

Burung Gagak Banggai adalah jenis gagak yang dikira punah sejak 100 tahun lalu.
Namun, ternyata masih ditemukan di habitat aslinya pada survei tahun 2007/2008. Burung
tersebut adalah salah satu spesies Gagak khas Indonesia yang hidup di Pulau Peleng,
Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah. Selama ini, para ilmuwan hanya
mengetahui jejak kehidupan gagak tersebut dari dua ekor spesimennya yang ditangkap
tahun 1900. Kedua sampel Gagak Banggai itu disimpan di Museum Sejarah Alam USA, New

16
York. Namun, pada tahun 2007, seorang ilmuwan dari Universitas Indonesia, Mochamad
Indrawan menemukannya kembali di habitat yang sama.

8. Ikan Cardinal Banggai (Pterapogon Kauderni)

Bentuknya mirip capung, dengan corak-corak lurus berwarna hitam mewarnai


tubuhnya yang berwarna kuning hingga putih. Ikan ini hanya memiliki panjang 10 – 30 cm.
Cardinal Fish ini hanya ditemukan di perairan Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah. Ikan ini
memiliki status konservasi terancam punah oleh IUCN. Penyakit Iridovirus diketahui sebagai
penyebab utama kematian ikan ini.

9. Pelatuk Kelabu Sulawesi (Mulleripicus fulvus)

Pelatuk ini adalah spesies burung pelatuk dalam famili Picidae. Pelatuk kelabu adalah
Spesies burung Endemik di Sulawesi. Endemik ini memiliki status konservasi resiko rendah
oleh IUCN.

10. Elang Sulawesi (Nisaetus lanceolatus)

Elang Sulawesi adalah spesies burung pemangsa dalam famili Accipitridae. Burung ini
Endemik di pulau Sulawesi, kepulauan Banggai, dan Kepulauan Sula. Elang ini memiliki
status konservasi resiko rendah oleh IUCN.

Penutup

1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dibahas sebelumnya, Lumpang batu di Desa
Watunonju, Sulawesi Tengah berasal dari leluhur suku Kaili, dan berusia ±3000 tahun lalu.
Kemudian Lumpang batu tersebut pertama kali diteliti oleh misionaris asal Belanda, Dr.
Albert Kruut dan Adrian. Mereka meneliti lumpang batu tersebut pada tahun 1898 M dan
menemukan 15 buah lumpang batu. Kemudian, peneliti lainnya mulai meneliti lumpang
batu tersebut, hingga tahun 1983 M, tempat tersebut diresmikan sebagai Cagar Budaya dan
Taman Purbakala Megalitik oleh Menteri Sosial pada saat itu, Hariyati Subagyo.

17
Beralih ke Museum Sulawesi Tengah, terdapat banyak jenis koleksi yang dapat kita
temukan. Mulai dari koleksi Geologi, Biologi, Arkeologi, Etnografi, Histori, Religi, dan
informasi mengenai flora dan fauna khas Sulawesi Tengah. Koleksi-koleksi yang terdapat di
Museum antara lain Tanduk Anoa, Kulit Anoa, Tengkorak Manusia Purba, Kapak Genggam,
Serpihan Pisau, Kapak Lonjong, Kapak Persegi, Beliung, Patung Tembikar, Tau-tau, Taiganja,
Sagala, Poteveulu, Dulang, Tempayan Kubur, Guma, Al-Qur’an Tulis Tangan, Keris,
Pasatimpo, dan lain sebagainya.
Itulah yang dapat kami uraikan untuk makalah ini. Terima kasih kepada seluruh
pembaca karena telah sampai dititik ini. Kami menyadari banyak kekurangan yang kami
miliki di makalah ini, mulai dari penyusunan kalimat, penggunaan kata, dan sebagainya.
Tetapi, kami akan terus lebih baik kedepannya. Ayo kita lestarikan kebudayaan dan
alam kita! Karena kalo bukan kita, siapa lagi?!

Palu, 22 Oktober 2022


Penulis

Moh. Bintang Febrian

Dokumentasi Lumpang Batu

18
Dokumentasi Koleksi Museum

19
Daftar Pustaka

1. Penerbit sulteng.antaranews.com. “Wisata taman megalitik Watunonju – Berita


terkini Sulawesi Tengah” tanggal terbit 24 Februari 2020.
https://sulteng.antaranews.com/berita/99978/wisata-taman-megalitik-watunonju.
2. Penerbit galeriwisata.wordpress.com. “Taman Purbakala Watunonju – Galeri Wisata
Nusantara” tanggal terbit 7 Agustus 2012.

20
https://galeriwisata.wordpress.com/wisata-sulawesi/wisata-sulawesi-tengah/info-
wisata-sulawesi-tengah/taman-purbakala-watunoju/
3. Penerbit anakuntad.com. “Wisata Edukatif di Taman Purbakala Vatunonju” tahun
terbit 2015. https://anakuntad.com/2015/01/wisata-edukatif-di-taman-purbakala-
vatunonju/
4. Penerbit sulsel.idntimes.com. “Guma, Senjata Tradisional Sulteng di Pernikahan Suku
Kaili” terbit tahun 2021. https://sulsel.idntimes.com/news/indonesia/kristina-
natalia/guma-senjata-tradisional-sulteng-sebagai-mahar-pernikahan-suku-kaili.
5. Penerbit thecolourofindonesia.com “Flora dan Fauna Sulawesi Tengah” terbit
tanggal 16 Oktober 2015. https://www.thecolourofindonesia.com?2015/10/flora-
dan-fauna-sulawesi-tengah.html?m=1#:~:text=Flora%20dan%20Fauna%20Khas
%20Provinsi,sebagai%20Fauna%20Khas%20Sulawesi%20Tengah.
6. Penerbit galeriwisata.wordpress.com. “Flora & Fauna Sulawesi Tengah” terbit tahun
2012. https://galeriwisata.wordpress.com/wisata-sulawesi/wisata-sulawesi-tengah/
info-wisata-sulawesi-tengah/flora-fauna-sulawesi-tengah/
7. Penerbit id.m.wikipedia.org dan ditulis oleh Masrudin. “Gagak Banggai” terbit tahun
2009. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Gagak_banggai#:~:text=Gagak%20banggai
%20atau%20Corvus%20unicolor,Pulau%20Peleng%20pada%202007%2F2008
8. Penerbit id.m.wikipedia.org, ditulis oleh Ariefrahman. “Elang Sulawesi” terbit tahun
2014. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Elang_sulawesi#:~:text=Elang%20sulawesi
%20(Nisaetus%20lanceolatus)%20adalah,Kepulauan%20Banggai%3B%20dan
%20Kepulauan%20Sula.
9. Penerbit id.m.wikipedia.org. “Banggai cardinalfish” terbit tahun 2016.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Banggai_cardinalfish.
10. Kunjungan dan wawancara di Museum Negeri Provinsi Sulawesi Tengah.
11. Kunjungan dan wawancara terhadap pengurus di Cagar Budaya Watunonju, Sulawesi
Tengah, Bapak Husein.

21
22

Anda mungkin juga menyukai