KERAJAAN BULELENG
DAN
KERAJAAN DINASTI WARMADEWA DI BALI
Disusun Oleh:
- Wella Anggria
- Mira Afriani
- Zevita Lestia Nengsih
- Rendi Nur’alif
- Ganis Sugrowati
Kelas X IPA
Pembimbing :
SUTRIANI, S.Pd
Bismillahirrahmaanirrahiim
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan taufik dan
hidayah-NYA kepada penyusun, sehingga penyusun dapat menyelesaikan penyusunan
makalah mata pelajaran Sejarah Indonesia berjudul : “Kerajaan Buleleng dan Kerajaan
Dinasti Warmadewa di Bali”.
Halaman
HALAMAN JUDUL ....................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................................. iii
DAFTAR PUSTAKA
KERAJAAN BULELENG DAN KERAJAAN DINASTI WARMADEWA DI BALI
Menurut berita Cina di sebelah timur Kerajaan Kalingga ada daerah Po-li atau Dwa-pa-
tan yang dapat disamakan dengan Bali. Adat istiadat di Dwa-pa-tan sama dengan kebiasaan
orang-orang Kaling. Misalnya, penduduk biasa menulisi daun lontar. Bila ada orang
meninggal, mayatnya dihiasi dengan emas dan ke dalam mulutnya dimasukkan sepotong
emas, serta diberi bau-bauan yang harum. Kemudian mayat itu dibakar. Hal itu menandakan
Bali telah berkembang.
Dalam sejarah Bali, nama Buleleng mulai terkenal setelah periode kekuasaan
Majapahit. Pada waktu di Jawa berkembang kerajaan-kerajaan Islam, di Bali juga
berkembang sejumlah kerajaan. Misalnya Kerajaan Gelgel, Klungkung, dan Buleleng yang
didirikan oleh I Gusti Ngurak Panji Sakti, dan selanjutnya muncul kerajaan yang lain.
Pada masa perkembangan Kerajaan Dinasti Warmadewa, Buleleng diperkirakan
menjadi salah satu daerah kekuasaan Dinasti Warmadewa. Sesuai dengan letaknya yang ada
di tepi pantai, Buleleng berkembang menjadi pusat perdagangan laut. Hasil pertanian dari
pedalaman diangkut lewat darat menuju Buleleng. Dari Buleleng barang dagangan yang
berupa hasil pertanian seperti kapas, beras, asam, kemiri, dan bawang diangkut atau
diperdagangkan ke pulau lain (daerah seberang). Perdagangan dengan daerah seberang
mengalami perkembangan pesat pada masa Dinasti Warmadewa yang diperintah oleh Anak
Wungsu. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kata-kata pada prasasti yang disimpan di
Desa Sembiran yang berangka tahun 1065 M.
Kata-kata yang dimaksud berbunyi, “mengkana ya hana banyaga sakeng sabrangjong,
bahitra, rumunduk i manasa...” Artinya, andai kata ada saudagar dari seberang yang datang
dengan jukung bahitra berlabuh di manasa...”
Sistem perdagangannya ada yang menggunakan sistem barter, ada yang sudah dengan
alat tukar (uang). Pada waktu itu sudah dikenal beberapa jenis alat tukar (uang), misalnya ma,
su dan piling. Dengan perkembangan perdagangan laut antar pulau di zaman kuno secara
ekonomis Buleleng memiliki peranan yang penting bagi perkembangan kerajaan-kerajaan di
Bali misalnya pada masa Kerajaan Dinasti Warmadewa.
KERAJAAN TULANG BAWANG
Dari hasil penelitian arkeologi yang dilakukan di Kota Kapur, Pulau Bangka, pada
tahun 1994, diperoleh suatu petunjuk tentang kemungkinan adanya sebuah pusat kekuasaan
di daerah itu sejak masa sebelum munculnya Kerajaan Sriwijaya. Pusat kekuasaan ini
meninggalkan temuan-temuan arkeologi berupa sisa-sisa sebuah bangunan candi Hindu
(Waisnawa) terbuat dari batu bersama dengan arca-arca batu, di antaranya dua buah arca
Wisnu dengan gaya seperti arca-arca Wisnu yang ditemukan di Lembah Mekhing,
Semenanjung Malaka, dan Cibuaya, Jawa Barat, yang berasal dari masa sekitar abad ke-5 dan
ke-7 Masehi. Sebelumnya di situs Kota Kapur selain telah ditemukan sebuah inskripsi batu
dari Kerajaan Sriwijaya yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), telah ditemukan pula
peninggalan-peninggalan yang lain di antaranya sebuah arca Wisnu dan sebuah arca Durga
Mahisasuramardhini. Dari peninggalan-peninggalan arkeologi tersebut nampaknya kekuasaan
di Pulau Bangka pada waktu itu bercorak Hindu-Waisnawa, seperti halnya di Kerajaan
Tarumanegara di Jawa Barat.
Temuan lain yang penting dari situs Kota Kapur ini adalah peninggalan berupa benteng
pertahanan yang kokoh berbentuk dua buah tanggul sejajar terbuat dari timbunan tanah,
masingmasing panjangnya sekitar 350 meter dan 1200 meter dengan ketinggian sekitar 2–3
meter. Penanggalan dari tanggul benteng ini menunjukkan masa antara tahun 530 M sampai
870 M. Benteng pertahanan tersebut yang telah dibangun sekitar pertengahan abad ke-6 M
tersebut agaknya telah berperan pula dalam menghadapi ekspansi Sriwijaya ke Pulau Bangka
menjelang akhir abad ke-7 M. Penguasaan Pulau Bangka oleh Sriwijaya ini ditandai dengan
Temuan piring di situs Kota Kapur dipancangkannya inskripsi Sriwijaya di Kota Kapur yang
berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), yang isinya mengidentifikasikan dikuasainya
wilayah ini oleh Sriwijaya. Penguasaan Pulau Bangsa oleh Sriwijaya ini agaknya berkaitan
dengan peranan Selat Bangsa sebagai pintu gerbang selatan dari jalur pelayaran niaga di Asia
Tenggara pada waktu itu. Sejak dikuasainya Pulau Bangka oleh Sriwijaya pada tahun 686
maka berakhirlah kekuasaan awal yang ada di Pulau Bangka.
Pusat kekuasaan tersebut meninggalkan banyak temuan arkeologi berupa sisa-sisa dari
sebuah bangunan candi Hindu (Waisnawa) yang terbuat dari batu lengkap dengan arca-arca
batu, di antaranya yaitu dua buah arca Wisnu dengan gaya mirip dengan arca-arca Wisnu
yang ditemukan di daerah Lembah Mekhing, Semenanjung Malaka, dan Cibuaya, Jawa
Barat, yang berasal dari masa sekitar abad ke-5 dan ke-7 masehi.
Sebelumnya, di situs Kota Kapur selain telah ditemukan sebuah inskripsi batu dari
Kerajaan Sriwijaya yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), telah ditemukan pula
peninggalan - peninggalan lain yaitu di antaranya sebuah arca Wisnu dan sebuah arca Durga
Mahisasuramardhini. Dari peninggalan-peninggalan arkeologi tersebut nampaknya kekuasaan
di Pulau Bangka pada waktu itu bercorak Hindu-Waisnawa, seperti halnya di Kerajaan
Tarumanegara di Jawa Barat.
Temuan lain yang penting dari situs Kota Kapur ini adalah peninggalan berupa benteng
pertahanan yang kokoh berbentuk dua buah tanggul sejajar terbuat dari timbunan tanah,
masingmasing panjangnya sekitar 350 meter dan 1200 meter dengan ketinggian sekitar 2–3
meter. Penanggalan dari tanggul benteng ini menunjukkan masa antara tahun 530 M sampai
870 M. Benteng pertahanan tersebut yang telah dibangun sekitar pertengahan abad ke-6
tersebut agaknya telah berperan pula dalam menghadapi ekspansi Sriwijaya ke Pulau Bangka
menjelang akhir abad ke-7.
Penguasaan Pulau Bangka oleh Sriwijaya ini ditandai dengan dipancangkannya
inskripsi Sriwijaya di Kota Kapur yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), yang isinya
mengidentifikasikan dikuasainya wilayah ini oleh Sriwijaya. Penguasaan Pulau Bangsa oleh
Sriwijaya ini agaknya berkaitan dengan peranan Selat Bangsa sebagai pintu gerbang selatan
dari jalur pelayaran niaga di Asia Tenggara pada waktu itu. Sejak dikuasainya Pulau Bangka
oleh Sriwijaya pada tahun 686 maka berakhirlah kekuasaan awal yang ada di Pulau Bangka
TERBENTUKNYA JARINGAN NUSANTARA MELALUI PERDAGANGAN
http://id.scribd.com/doc/188009330/Kerajaan-Buleleng-Dan-Dinasti-Warmadewa
http://id.wikipedia.org/wiki/Prasasti_Blanjong
http://kebudayaankesenianindonesia.blogspot.com/2011/06/wisata-budaya-puri-gede-
buleleng.html
http://sejarahbabadbali.blogspot.com/2013/09/dinasti-warmadewa.html
http://sejarahharirayahindu.blogspot.com/2011/12/pura-tirta-empul.html