Anda di halaman 1dari 18

SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM

AHLI FIQIH (FUQAHA)

Disusun Oleh Kelompok 5 :

- ARTIKA FEBIOLA
- NINA ROSITA
- PUJA LESTARI
- DESVIA CAHYA NINGSIH
- BAYU PUTRA PRATAMA
- FAREL AVIAN EFENDI

Kelas VIII B

Pembimbing :
NOPAN ARIASTI, S.Pd

MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI


(MTSN) 1 MUKOMUKO
TAHUN AJARAN 2019/2020
AHLI FIQIH (FUQAHA)
Ilmu fiqih pada masa Abbasiyah juga mengalami perkembangan yang cukup baik.
Pada zaman itu muncul ulama-ulama Mujtahid yang berjasa besar menyimpulkan hukum-
hukum dalam agama Islam. Kekuatan usaha dan ilmu mereka telah dijadikan pedoman bagi
ummat Islam periode selanjutnya dalam masalah hukum Islam.
Ulama-ulama yang muncul saat itu dikenal dengan sebutan “Imam Madzhab” karena
kekuatan dan kemampuan mereka dalam menyimpulkan hukum-hukum dari berbagai
masalah yang ada.
Para ulama tersebut adalah :

1. Abu Hanifah
Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan at-Taymi (bahasa Arab: ‫)النعمان بن ثابت‬, lebih dikenal
dengan nama Abū Ḥanīfah, (bahasa Arab: ‫( )بو حنيفة‬lahir di Kufah, Irak pada 80 H / 699 M —
meninggal di Baghdad, Irak, 148 H / 767 M) merupakan pendiri dari Madzhab Yurisprudensi
Islam Hanafi.
Abu Hanifah juga merupakan seorang Tabi'in, generasi setelah Sahabat nabi, karena dia
pernah bertemu dengan salah seorang sahabat Rasulullah SAW bernama Anas bin Malik dan
beberapa peserta Perang Badar yang dimuliakan Allah SWT yang merupakan generasi
terbaik islam, dan meriwayatkan hadits darinya serta sahabat Rasulullah SAW lainnya.[3]
Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh berdasarkan
kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah), shalat dan seterusnya, yang
kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi'i, Abu
Dawud, Imam Bukhari.

Menuntut Ilmu
Abu Hanifah kecil sering mendampingi ayahnya berdagang sutra. Namun, tidak seperti
pedagang lainnya, Abu Hanifah memiliki kebiasaan pergi ke Masjid Kufah. Karena
kecerdasannya yang gemilang, ia mampu menghafal Al-Qur'an serta ribuan hadits.
Sebagaimana putra seorang pedagang, Abu Hanifah pun kemudian berprofesi seperti
bapaknya. Ia mendapat banyak keuntungan dari profesi ini. Di sisi lain ia memiliki wawasan
yang sangat luas, kecerdasan yang luar biasa, serta hafalan yang sangat kuat. Beberapa ulama
dapat menangkap fenomena ini, sehingga mereka menganjurkannya untuk pergi berguru
kepada ulama seperti ia pergi ke pasar setiap hari.
Pada masa Abu Hanifah menuntut ilmu, Iraq termasuk Kufah disibukkan dengan
tiga halaqah keilmuan. Pertama, halaqah yang membahas pokok-pokok aqidah. Kedua,
halaqah yang membahas tentang Hadits Rasulullah metode dan proses pengumpulannya dari
berbagai negara, serta pembahasan dari perawi dan kemungkinan diterima atau tidaknya
pribadi dan riwayat mereka. Ketiga, halaqah yang membahas masalah fikih dari Al-
Qur'an dan Hadits, termasuk membahas fatawa untuk menjawab masalah-masalah baru yang
muncul saat itu, yang belum pernah muncul sebelumnya.
Abu Hanifah melibatkan diri dalam dialog tentang ilmu kalam, tauhid dan metafisika.
Menghadiri kajian hadits dan periwayatannya, sehingga ia mempunyai andil besar dalam
bidang ini.
Setelah Abu Hanifah menjelajahi bidang-bidang keilmuan secara mendalam, ia memilih
bidang fikih sebagai konsentrasi kajian. Ia mulai mempelajari berbagai permasalahan fikih
dengan cara berguru kepada salah satu Syaikh ternama di Kufah, ia terus menimba ilmu
darinya hingga selesai. Sementara Kufah saat itu menjadi tempat domisili bagi ulama fikih
Iraq.
Abu Hanifah sangat antusias dalam menghadiri dan menyertai gurunya, hanya saja ia terkenal
sebagai murid yang banyak bertanya dan berdebat, serta bersikeras mempertahankan
pendapatnya, terkadang menjadikan syaikh kesal padanya, namun karena kecintaannya pada
sang murid, ia selalu mencari tahu tentang kondisi perkembangannya. Dari informasi yang ia
peroleh, akhirnya sang syaikh tahu bahwa ia selalu bangun malam, menghidupkannya dengan
salat dan tilawah Al-Qur'an. Karena banyaknya informasi yang ia dengar maka syaikh
menamakannya Al-Watad.
Selama 18 tahun, Abu Hanifah berguru kepada Syaikh Hammad bin Abu Sulaiman, saat itu ia
masih 22 tahun. Karena dianggap telah cukup, ia mencari waktu yang tepat untuk bisa
mandiri, namun setiap kali mencoba lepas dari gurunya, ia merasakan bahwa ia masih
membutuhkannya.

Menjadi Ulama
Kabar buruk terhembus dari Basrah untuk Syaikh Hammad, seorang keluarga dekatnya telah
wafat, sementara ia menjadi salah satu ahli warisnya. Ketika ia memutuskan untuk pergi ke
Basrah ia meminta Abu Hanifah untuk menggantikan posisinya sebagai pengajar, pemberi
fatawa dan pengarah dialog.
Saat Abu Hanifah mengantikan posisi Syaikh Hammad, ia dihujani oleh pertanyaan yang
sangat banyak, sebagian belum pernah ia dengar sebelumnya, maka sebagian ia jawab dan
sebagian yang lain ia tangguhkan. Ketika Syaikh Hammad datang dari Basrah ia segera
mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut, yang tidak kurang dari 60 pertanyaan, 40
diantaranya sama dengan jawaban Abu Hanifah, dan berbeda pendapat dalam 20 jawaban.
Dari peristiwa ini ia merasa bahawa masih banyak kekurangan yang ia rasakan, maka ia
memutuskan untuk menunggu sang guru di halaqah ilmu, sehingga ia dapat mengoreksikan
kepadanya ilmu yang telah ia dapatkan, serta mempelajari yang belum ia ketahui.
Ketika umurnya menginjak usia 40 tahun, gurunya Syaikh Hammad telah wafat, maka ia
segera menggantikan gurunya.
Abu Hanifah tak hanya mengambil ilmu dari Syaikh Hammad, tetapi juga banyak ulama
selama perjalanan ke Makkah dan Madinah, diantaranya Malik bin Anas, Zaid bin
Ali dan Ja'far ash-Shadiq yang mempunyai konsen besar terhadap masalah fikih dan hadits.
Imam Abu Hanifah diketahui telah menyelesaikan 600.000 perkara dalam bidang ilmu fiqih
dan dijuluki Imam Al-A'dzhom oleh masyarakat karena keluasan ilmunya.Beliau juga
menjadi rujukan para ulama pada masa itu dan merupakan guru dari para ulama besar pada
masa itu dan masa selanjutnya.

Penolakan Sebagai Hakim


Khalifah Abu Ja'far Al-Mansur berkata kepada menterinya, "Aku sedang membutuhkan
seorang hakim yang bisa menegakkan keadilan di negara kita ini, dengan kualifikasi dia tidak
takut kepada siapapun dalam menegakkan kebenaran, paling memahami Al-
Qur'an dan Sunnah Rasulullah. Menurutmu siapa yang layak menduduki posisi ini?", lalu
sang menteri menjawab, "Sejauh pengetahuan saya, ulama yang paling tepat menduduki
jabatan ini adalah Abu Hanifah An-Nu'man, betapa bahagianya kita jika ia menerima tawaran
sebagai hakim ini!", "Apa mungkin seseorang bisa menolak jika kita yang memintanya?"
tanya Khalifah lagi, "Sejauh yang kami tahu, dia tidak pernah tunduk kepada permintaan
siapapun, tampaknya dia tidak suka menduduki posisi sebagai hakim, maka utuslah seseorang
utusan mudah-mudahan hatinya terbuka, dan menerima tawaran ini."
Khalifah kemudian mengutus seorang utusan memintanya untuk menghadap seraya
menawarkan posisi sebagai hakim. Abu Hanifah menjawab, "Aku akan istikharah terlebih
dahulu, salat 2 rakaat meminta petunjuk kepada Allah, jika hatiku dibuka maka akan aku
terima, jika tidak maka masih banyak ahli fikih lain yang bisa dipilih salah satu daintara
mereka oleh Amirul Mukminin."
Waktu terus berjalan, ternyata Abu Hanifah tak kunjung menghadap Khalifah, maka ia
mengutus seorang utusan memintanya menghadap, Abu Hanifah kemudian pergi menghadap
namun ia beritikad untuk menolak jabatan hakim yang ditawarkan kepadanya.
Ternyata Khalifah tidak menyerah begitu saja, ia bersumpah agar Abu Hanifah menerima
jabatan sebagai hakim yang ditawarkan, akan tetapi Abu Hanifah tetap menolaknya, seraya
berkata, "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku tak pantas untuk menduduki jabatan
hakim," lalu Khalifah malah menjawab, "Engkau dusta!" sehingga Abu Hanifah pun berkata,
"Sekiranya Anda telah menghukumi saya sebagai pembohong, maka sesungguhnya para
pembohong tak layak menjadi hakim, dan sebaiknya Anda jangan mengangkat rakyat Anda
yang tidak memenuhi kualifikasi untuk menduduki jabatan yang strategis ini. Wahai Amirul
Mukminin, takutlah kepada Allah, dan jangan Anda delegasikan amanah kecuali kepada
mereka yang takut kepada Allah, jika saya tidak mendapat jaminan keridhaan, bagaimana
saya akan mendapat jaminan terhindar dari murka?". Khalifah lalu memerintahkan
mencambuknya seratus cambukan, lalu dijebloskannya ke penjara.
Selang beberapa hari, khalifah mendapat teguran dari seorang kerabatnya, "Wahai Amirul
Mukminin, sesungguhnya Anda telah mencambuk diri Anda dengan seratus ribu pukulan
pedang."
Maka khalifah segera memerintahkan untuk membayar 30.000 dirham (sekitar Rp.2,1 miliar)
kepada Abu Hanifah sebagai ganti atas yang telah dideritanya, lalu membebaskannya dan
mengembalikan ke rumahnya.
Ternyata setelah harta tersebut diberikan, ia menolaknya. Maka khalifah memerintahkan
untuk menjebloskan kembali ke penjara. Hanya saja para menteri mengusulkan bahwa Abu
Hanifah segera dibebaskan dan cukup diberi dengan penjara rumah, serta melarangnya untuk
duduk bersama masyarakat atau keluar dari rumah.

Akhir Hayat
Selang beberapa hari setelah mendapatkan tahanan rumah, ia terkena penyakit, semakin lama
semakin parah. Akhirnya ia wafat pada usia 68 tahun. Berita kematiannya segera menyebar,
ketika Khalifah mendengar berita itu, ia berkata, "Siapa yang bisa memaafkanku darimu
hidup maupun mati?" Salah seorang ulama Kufah berkata, "Cahaya keilmuan telah dimatikan
dari kota Kufah, sungguh mereka tidak pernah melihat ulama sekaiber dia selamanya." Yang
lain berkata, "Kini mufti dan fakih Irak telah tiada."
Jasadnya dikeluarkan dipanggul di atas punggung kelima muridnya, hingga sampai tempat
pemandian, ia dimandikan oleh Al-Hasan bin Imarah, sementara Al-Harawi yang
menyiramkan air ke tubuhnya. Ia disalatkan lebih dari 50.000 orang. Dalam enam kali
putaran yang ditutup dengan salat oleh anaknya, Hammad. Ia tak dapat dikuburkan kecuali
setelah salat Ashar karena sesak, dan banyak tangisan. Ia berwasiat agar jasadnya dikuburkan
di Kuburan Al-Khairazan, karena merupakan tanah kubur yang baik dan bukan tanah curian.
Pujian Ulama
Imam Malik
"Subhanallah, Saya belum pernah melihat sosok seperti dia, Demi Allah, jika Abu Hanifah
berpendapat bahwa sebuah alat terbuat dari emas, maka pasti ia sanggup mempertengahkan
kebenaran atas perkataannya itu."
Imam Syafi'i
"Barangsiapa ingin memperdalam fikih, maka hendaklah menjadi anak asuh bagi Abu
Hanifah, Abu Hanifah merupakan orang yang diberi taufik oleh Allah dalam bidang fikih."
"Barangsiapa belum membaca buku-buku Abu Hanifah, maka ia belum memperdalam ilmu,
juga belum belajar fikih."
Imam Ahmad bin Hambal
"Subhanallah, ia berada dalam posisi keilmuan, wara' dan zuhud, mementingkan akhirat,
yang tidak dilihat oleh seorangpun."
Ibnu Juraij
"Aku mendengar bahwa an-Nu'man (julukan Abu Hanifah) orang yang paling wara', menjaga
agama dengan ilmunya, tidak mengedepankan pecinta dunia di atas pecinta akhirat, saya
berkeyakinan bahwa dalam dunia keilmuan dia akan memiliki prestasi yang menakjubkan."
Imam Fudhail bin Iyadh
"Abu Hanifah merupakan pribadi fakih yang terkenal dengan kefakihannya, kekayaan yang
cukup luas, terkenal dengan kebaikan terhadap setiap orang yang mengganggunya, sangat
sabar dalam menuntut ilmu baik siang maupun malam, selalu diam, sedikit berbicara hingga
datang kepadanya masalah-masalah halal dan haram, sangat cermat dalam menunjukkan
kebenaran, selalu lari dari harta penguasa."
2. Malik bin Anas
Mālik ibn Anas bin Malik bin 'Āmr al-Asbahi atau Malik bin Anas (lengkapnya: Malik bin
Anas bin Malik bin `Amr, al-Imam, Abu `Abd Allah al-Humyari al-Asbahi al-Madani),
(Bahasa Arab: ‫)مالك بن أنس‬, lahir di (Madinah pada tahun 714M / 93H), dan meninggal pada
tahun 800M / 179H). Ia adalah pakar ilmu fikih dan hadis, serta pendiri Mazhab Maliki.
Biografi
Abu abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amirbin Amr bin al-Haris bin Ghaiman bin
Jutsail binAmr bin al-Haris Dzi Ashbah. Imama malik dilahirkan di Madinah al
Munawwaroh. sedangkan mengenai masalah tahun kelahiranya terdapat perbedaaan
riwayat. al-Yafii dalam kitabnya Thabaqat fuqoha meriwayatkan bahwa imam malik
dilahirkan pada 94 H. ibn Khalikan dan yang lain berpendapat bahwa imam malik dilahirkan
pada 95 H. sedangkan Imam Adz-Dzahabi meriwayatkan imam malik dilahirkan 90 H. Imam
yahya bin bakir meriwayatkan bahwa ia mendengar malik berkata : " Aku dilahirkan pada 93
H ". dan inilah riwayat yang paling benar (menurut al-Sam'ani dan ibn farhun)[3].
Imam Malik bin Anas dikenal luas akan kecerdasannya.Suatu waktu ia pernah dibacakan 31
buah Hadis Rasulullah SAW dan mampu mengulanginya dengan baik dan benar tanpa harus
menuliskannya terlebih dahulu.
Ia menyusun kitab Al Muwaththa', dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40
tahun, selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah.
Kitab tersebut menghimpun 100.000 hadis, dan yang meriwayatkan Al Muwaththa’ lebih dari
seribu orang, karena itu naskahnya berbeda beda dan seluruhnya berjumlah 30 naskah, tetapi
yang terkenal hanya 20 buah. Dan yang paling masyur adalah riwayat dari Yahya bin Yahyah
al Laitsi al Andalusi al Mashmudi.
Sejumlah ‘Ulama berpendapat bahwa sumber sumber hadis itu ada tujuh, yaitu Al Kutub as
Sittah ditambah Al Muwaththa’. Ada pula ulama yang menetapkan Sunan ad Darimi sebagai
ganti Al Muwaththa’. Ketika melukiskan kitab besar ini, Ibnu Hazm berkata,” Al
Muwaththa’ adalah kitab tentang fiqh dan hadis, aku belum mengetahui bandingannya.
Hadis-hadis yang terdapat dalam Al Muwaththa’ tidak semuanya Musnad, ada
yang Mursal, mu’dlal dan munqathi. Sebagian ‘Ulama menghitungnya berjumlah 600 hadis
musnad, 222 hadis mursal, 613 hadis mauquf, 285 perkataan tabi’in, disamping itu ada 61
hadis tanpa penyandara, hanya dikatakan telah sampai kepadaku” dan “ dari orang
kepercayaan”, tetapi hadis hadis tersebut bersanad dari jalur jalur lain yang bukan jalur
dari Imam Malik sendiri, karena itu Ibn Abdil Bar an Namiri menentang penyusunan kitab
yang berusaha memuttashilkan hadis hadis mursal , munqathi’ dan mu’dhal yang terdapat
dalam Al Muwaththa’ Malik.
Imam Malik menerima hadis dari 900 orang (guru), 300 dari golongan Tabi’in dan 600 dari
tabi’in tabi’in, ia meriwayatkan hadis bersumber dari Nu’main al Mujmir, Zaib bin Aslam,
Nafi’, Syarik bin Abdullah, Az-Zuhri, Abi az Ziyad, Sa’id al Maqburi dan Humaid ath
Thawil, muridnya yang paling akhir adalah Hudzafah as Sahmi al Anshari.
Adapun yang meriwayatkan darinya adalah banyak sekali di antaranya ada yang lebih tua
darinya seperti Az-Zuhri dan Yahya bin Sa’id. Ada yang sebaya seperti Al-Auza’i, Sufyan
Ats-Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Al-Laits bin Sa’ad, Ibnu Juraij dan Syu’bah bin Hajjaj.
Adapula yang belajar darinya seperti Asy Safi’i, Ibnu Wahb, Ibnu Mahdi, al Qaththan dan
Abi Ishaq.
Malik bin Anas menyusun kompilasi hadis dan ucapan para sahabat dalam buku yang
terkenal hingga kini, Al Muwatta.
Imam Malik diketahui sangat jarang keluar dari kota Madinah.Ia memilih menyibukan diri
dengan mengajar dan berdakwah di kota tempat Rasulullah SAW wafat tersebut.Beliau
sesekali keluar dari kota Madinah untuk melakukan ritual ibadah haji di kota mekkah
Di antara guru dia adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim, Nafi’ al Muqbiri, Na’imul Majmar, Az-
Zuhri, Amir bin Abdullah bin Az-Zubair, Ibnul Munkadir, Abdullah bin Dinar, dan lain-lain.
Di antara murid dia adalah Ibnul Mubarak, Al Qaththan, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu
Qasim, Al Qa’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al-
Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al-Auza’i, Sufyan ats-Tsauri, Sufyan
bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as Sahmi, Az Zubairi, dan lain-lain.
Pujian Ulama untuk Imam Malik
An Nasa’i berkata,” Tidak ada yang saya lihat orang yang pintar, mulia dan jujur, tepercaya
periwayatan hadisnya melebihi Malik, kami tidak tahu dia ada meriwayatkan hadis dari rawi
matruk, kecuali Abdul Karim”.
(Ket: Abdul Karim bin Abi al Mukharif al Basri yang menetap di Makkah, karena tidak
senegeri dengan Malik, keadaanya tidak banyak diketahui, Malik hanya sedikit mentahrijkan
hadisnya tentang keutamaan amal atau menambah pada matan).
Sedangkan Ibnu Hayyan berkata,” Malik adalah orang yang pertama menyeleksi para tokoh
ahli fiqh di Madinah, dengan fiqh, agama dan keutamaan ibadah”.
Imam as-Syafi'i berkata, "Imam Malik adalah Hujjatullah atas makhluk-Nya setelah
para Tabi'in[3] ".
Yahya bin Ma'in berkata, "Imam Malik adalah Amirul mukminin dalam (ilmu) Hadis"
Ayyub bin Suwaid berkata, "Imam Malik adalah Imam Darul Hijrah (Imam madinah) dan as-
Sunnah ,seorang yang Tsiqah, seorang yang dapat dipercaya".
Ahmad bin Hanbal berkata, " Jika engkau melihat seseorang yang membenci imam malik,
maka ketahuilah bahwa orang tersebut adalah ahli bid'ah"
Seseorang bertanya kepada as-Syafi'i, " apakah anda menemukan seseorang yang (alim)
seperti imam malik?" as-Syafi'i menjawab :"aku mendengar dari orang yang lebih tua dan
lebih berilmu daripada aku, mereka mengatakan kami tidak menemukan orang yang (alim)
seperti Malik, maka bagaimana kami(orang sekarang) menemui yang seperti Malik?[3]
Imam Abu Hanifah berkata, "Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih pandai
tentang sunnah Rasulullah dari Imam Malik."
Abdurrahman bin Mahdi, " Aku tidak pernah tahu seorang ulama Hijaz kecuali mereka
menghormati Imam Malik, sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan umat Muhammad,
kecuali dalam petunjuk."
Ibnu Atsir, "Cukuplah kemuliaan bagi asy-Syafi'i bahwa syaikhnya adalah Imam Malik, dan
cukuplah kemuliaan bagi Malik bahwa di antara muridnya adalah asy-Syafi'i."
Abdullah bin Mubarak berkata, "Tidak pernah aku melihat seorang penulis ilmu Rasulullah
lebih berwibawa dari Malik, dan lebih besar penghormatannya terhadap hadis Rasulullah dari
Malik, serta kikir terhadap agamanya dari Malik, jika dikatakan kepadaku pilihlah Imam bagi
umat ini, maka aku akan pilih Malik."
Laits bin Saad berkata, "Tidak ada orang yang lebih aku cintai di muka bumi ini dari Malik."
Kitab Al-Muwaththa
Artikel utama: Muwatta Malik
Al-Muwaththa berarti ‘yang disepakati’ atau ‘tunjang’ atau ‘panduan’ yang membahas
tentang ilmu dan hukum-hukum agama Islam. Al-Muwaththa merupakan sebuah kitab yang
berisikan hadis-hadis yang dikumpulkan oleh Imam Malik serta pendapat para sahabat dan
ulama-ulama tabiin. Kitab ini lengkap dengan berbagai problem agama yang merangkum
ilmu hadis, ilmu fiqh dan sebagainya. Semua hadis yang ditulis adalah sahih kerana Imam
Malik terkenal dengan sifatnya yang tegas dalam penerimaan sebuah hadis. Dia sangat
berhati-hati ketika menapis, mengasingkan, dan membahas serta menolak riwayat yang
meragukan. Dari 100.000 hadis yang dihafal dia, hanya 10.000 saja diakui sah dan dari
10.000 hadis itu, hanya 5.000 saja yang disahkan sahih olehnya setelah diteliti dan
dibandingkan dengan al-Quran. Menurut sebuah riwayat, Imam Malik menghabiskan 40
tahun untuk mengumpul dan menapis hadis-hadis yang diterima dari guru-gurunya. Imam
Syafii pernah berkata, “Tiada sebuah kitab di muka bumi ini setelah al qur`an yang lebih
banyak mengandungi kebenaran selain dari kitab Al-Muwaththa karangan Imam Malik,
inilah karangan para ulama muaqoddimin.”
Akhir Hayat
Menjelang wafat, Imam Malik ditanya masalah kemana ia tak pergi lagi ke Masjid Nabawi
selama tujuh tahun, ia menjawab, "Seandainya bukan karena akhir dari kehidupan saya di
dunia, dan awal kehidupan di akhirat, aku tidak akan memberitahukan hal ini kepada kalian.
Yang menghalangiku untuk melakukan semua itu adalah penyakit sering buang air kecil,
karena sebab ini aku tak sanggup untuk mendatangi Masjid Rasulullah. Dan, aku tak suka
menyebutkan penyakitku, karena khawatir aku akan selalu mengadu kepada Allah." Imam
Malik mulai jatuh sakit pada hari Minggu sampai 22 hari lalu wafat pada hari Minggu,
tanggal 10 Rabi'ul Awwal 179 Hijriyyah atau 800 Miladiyyah.
Masyarakat Medinah menjalankan wasiat yang ia sampaikan, yakni dikafani dengan kain
putih, dan disalati diatas keranda. Imam shalat jenazahnya adalah Abdullah bin Muhammad
bin Ibrahim al-Hasyimi yang merupakan gubernur Madinah. Gubernur Madinah datang
melayat dengan jalan kaki, bahkan termasuk salah satu yang ikut serta dalam mengangkat
jenazah hingga ke makamnya. Dia dimakamkan di Pemakaman Baqi', seluruh murid-murid
dia turut mengebumikan dia.
Informasi tentang kematitan dia tersebar di seantero negeri Islam, mereka sungguh sangat
bersedih dan merasa sangat kehilangan, seraya mendoakan dia agar selalu dilimpahi rahmat
dan pahala yang belipat ganda berkat ilmu dan amal yang dia persembahkan untuk Islam.
3. Abu Abdullah Muhammad asy-Syafi'i

Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi'i al-Muththalibi al-Qurasyi (bahasa Arab:  ‫أبو‬
‫ )عبد هللا محمد بن إدريس الشافع ّي المطَّلِب ّي القرش ّي‬atau singkatnya Imam Asy-
Syafi'i (Ashkelon, Gaza, Palestina, 150 H/767 M - Fusthat, Mesir, 204 H/819 M) adalah
seorang mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri mazhab Syafi'i. Imam Syafi'i juga tergolong
kerabat dari Rasulullah, ia termasuk dalam Bani Muththalib, yaitu keturunan dari al-
Muththalib, saudara dari Hasyim, yang merupakan kakek Muhammad.
Saat usia 13 tahun, Imam Syafi'i dikirim ibunya untuk pergi ke Madinah untuk berguru
kepada ulama besar saat itu, Imam Malik. Dua tahun kemudian, ia juga pergi ke Irak, untuk
berguru pada murid-murid Imam Hanafi di sana.
Imam Syafi`i mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab Syafi'i. Yang pertama namanya
Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid.
Kelahiran dan kehidupan keluarga[sunting | sunting sumber]
Kelahiran[sunting | sunting sumber]
Idris bin Abbas menyertai istrinya dalam sebuah perjalanan yang cukup jauh, yaitu menuju
kampung Gaza, Palestina, di mana saat itu umat Islam sedang berperang membela negeri
Islam di kota Asqalan.
Pada saat itu Fatimah al-Azdiyyah sedang mengandung, Idris bin Abbas gembira dengan hal
ini, lalu ia berkata, "Jika engkau melahirkan seorang putra, maka akan kunamakan
Muhammad, dan akan aku panggil dengan nama salah seorang kakeknya yaitu Syafi'i bin
Asy-Syaib."
Akhirnya Fatimah melahirkan di Gaza, dan terbuktilah apa yang dicita-citakan ayahnya.
Anak itu dinamakan Muhammad, dan dipanggil dengan nama "asy-Syafi'i".
Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa Imam Syafi'i lahir di Gaza, Palestina, namun di
antara pendapat ini terdapat pula yang menyatakan bahwa dia lahir di Asqalan; sebuah kota
yang berjarak sekitar tiga farsakh dari Gaza. Menurut para ahli sejarah pula, Imam Syafi'i
lahir pada tahun 150 H, yang mana pada tahun ini wafat pula seorang ulama besar Sunni yang
bernama Imam Abu Hanifah.
Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Sesungguhnya Allah telah mentakdirkan pada setiap
seratus tahun ada seseorang yang akan mengajarkan Sunnah dan akan menyingkirkan para
pendusta terhadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Kami berpendapat pada seratus
tahun yang pertama Allah mentakdirkan Umar bin Abdul Aziz dan pada seratus tahun
berikutnya Allah menakdirkan Imam Asy-Syafi`i."
Nasab[sunting | sunting sumber]
Idris, ayah Imam Syafi'i tinggal di tanah Hijaz, ia merupakan keturunan dari al-Muththalib,
jadi dia termasuk ke dalam Bani Muththalib. Nasab Dia adalah Muhammad bin Idris bin Al-
Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-
Mutthalib bin Abdulmanaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib
bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin
Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah di Abdul-
Manaf.
Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie,
adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi
wa alihi wasallam .
Kemudian juga saudara kandung Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad
shallallahu `alaihi wa alihi wasallam, bernama Syifa’, dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid,
sehingga melahirkan anak bernama As-Sa’ib, ayahnya Syafi’. Kepada Syafi’ bin As-Sa’ib
radliyallahu `anhuma inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan nasabnya sehingga terkenal
dengan nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab
yatim ini sangat dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani Hasyim, adalah
saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang melahirkan Bani Mutthalib, maka
Rasulullah bersabda:
“ Hanyalah kami (yakni Bani Hasyim) dengan mereka (yakni Bani Mutthalib) berasal
dari satu nasab. Sambil dia menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan dia. ”
— HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9 hal. 65 - 66

Masa belajar
Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu membawanya ke
Mekah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim. Sejak kecil
Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al Ashma’i
berkata,”Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang
disebut Muhammad bin Idris,” Imam Syafi’i adalah imam bahasa Arab.

Belajar di Makkah
Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji
sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Demi ia
merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang
mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini
belajar fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji
yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah.
Kemudian dia juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari
pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan
bin Uyainah.
Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim,
Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol
dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para
Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut di atas.

Belajar di Madinah
Kemudian ia pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji
kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i
meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin
Syafi’ dan lain-lain.
Di majelisnya ini, Imam Syafi’i menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab karya
Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’ . Kecerdasannya membuat Imam Malik amat
mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`ie sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi
Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah.
Imam Syafi’i menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang
terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya
akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga ia menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada
Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di
majelis itu.” Ia juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga ia
menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-
Muwattha’ .” Ia juga menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti
bertambah pemahamanku.”
Dari berbagai pernyataannya di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling ia kagumi
adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, Imam
Syafi’i juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang ada di Al-
Madinah, seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-
Darawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi
sayang, gurunya yang disebutkan terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits,
memiliki pandangan yang sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman
kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini
telah terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi`ie, khususnya di akhir hayatnya, ia tidak mau
lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.

Di Yaman
Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Disebutkanlah sederet
Ulama’ Yaman yang didatangi oleh dia ini seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf
Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, dia melanjutkan tour ilmiahnya ke kota
Baghdad di Iraq dan di kota ini dia banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan,
seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga dia mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan
Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya.

Di Baghdad, Irak
Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba ilmu dari Muhammad
bin Hasan. Ia memiliki tukar pikiran yang menjadikan Khalifah Ar Rasyid.

Di Mesir
Di Mesir Imam Syafi'i bertemu dengan murid Imam Malik yakni Muhammad bin Abdillah
bin Abdil Hakim. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya (qaul qadim).
Kemudian dia pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru (qaul jadid). Di
sana dia wafat sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab 204 H.

Karya tulis
Salah satu karangannya adalah “Ar-risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al
Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid
mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz.
Imam Ahmad berkata tentang Imam Syafi’i,”Dia adalah orang yang paling faqih dalam Al
Quran dan As Sunnah,” “Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta (ilmu)
melainkan Allah memberinya di ‘leher’ Syafi’i,”. Thasy Kubri mengatakan di Miftahus
sa’adah,”Ulama ahli fiqh, ushul, hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya sepakat
bahwa Syafi’i memiliki sifat amanah (dipercaya), ‘adalah (kredibilitas agama dan moral),
zuhud, wara’, takwa, dermawan, tingkah lakunya yang baik, derajatnya yang tinggi. Orang
yang banyak menyebutkan perjalanan hidupnya saja masih kurang lengkap,”

Mazhab Syafi'i
Dasar madzhabnya: Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Dia juga tidak
mengambil Istihsan (menganggap baik suatu masalah) sebagai dasar madzhabnya, menolak
maslahah mursalah, perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i mengatakan,”Barangsiapa
yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan syariat,”. Penduduk Baghdad
mengatakan,”Imam Syafi’i adalah nashirussunnah (pembela sunnah),”
Muhammad bin Daud berkata, “Pada masa Imam Asy-Syafi`i, tidak pernah terdengar
sedikitpun dia bicara tentang hawa, tidak juga dinisbatkan kepadanya dan tidakdikenal
darinya, bahkan dia benci kepada Ahlil Kalam (maksudnya adalah golongan Ahwiyyah atau
pengikut hawa nafsu yang juga digelari sebagai Ahlul-Ahwa’ seperti al-Mujassimah, al-
Mu'tazilah, Jabbariyyah dan yang sebagainya) dan Ahlil Bid’ah.” Dia bicara tentang Ahlil
Bid’ah, seorang tokoh Jahmiyah, Ibrahim bin ‘Ulayyah, “Sesungguhnya Ibrahim bin
‘Ulayyah sesat.” Imam Asy-Syafi`i juga mengatakan, “Menurutku, hukuman ahlil kalam
dipukul dengan pelepah pohon kurma dan ditarik dengan unta lalu diarak keliling kampung
seraya diteriaki, “Ini balasan orang yang meninggalkan kitab dan sunnah, dan beralih kepada
ilmu kalam (ilmu falsafah dan logika yang digunakan oleh golongan Ahwiyyah)”
Dia mewariskan kepada generasi berikutnya sebagaimana yang diwariskan oleh para nabi,
yakni ilmu yang bermanfaat. Ilmu dia banyak diriwayatkan oleh para murid- muridnya dan
tersimpan rapi dalam berbagai disiplin ilmu. Bahkan dia pelopor dalam menulis di bidang
ilmu Ushul Fiqih, dengan karyanya yang monumental Risalah. Dan dalam bidang fiqih, dia
menulis kitab Al-Umm yang dikenal oleh semua orang, awamnya dan alimnya. Juga dia
menulis kitab Jima’ul Ilmi.
Dia mempunyai banyak murid, yang umumnya menjadi tokoh dan pembesar ulama dan
Imam umat islam, yang paling menonjol adalah:
Ahmad bin Hanbal, Ahli Hadits dan sekaligus juga Ahli Fiqih dan Imam Ahlus Sunnah
dengan kesepakatan kaum muslimin.
Al-Hasan bin Muhammad Az-Za’farani
Ishaq bin Rahawaih,
Harmalah bin Yahya
Sulaiman bin Dawud Al Hasyimi
Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi dan lain-lainnya banyak sekali.

Akhir Hayat
Pada suatu hari, Imam Syafi'i terkena wasir, dan tetap begitu hingga terkadang jika ia naik
kendaraan darahnya mengalir mengenai celananya bahkan mengenai pelana dan kaus
kakinya. Wasir ini benar-benar menyiksanya selama hampir empat tahun, ia menanggung
sakit demi ijtihadnya yang baru di Mesir, menghasilkan empat ribu lembar. Selain itu ia terus
mengajar, meneliti dialog serta mengkaji baik siang maupun malam.
Pada suatu hari muridnya Al-Muzani masuk menghadap dan berkata, "Bagamana kondisi
Anda wahai guru?" Imam Syafi'i menjawab, "Aku telah siap meninggalkan dunia,
meninggalkan para saudara dan teman, mulai meneguk minuman kematian, kepada Allah
dzikir terus terucap. Sungguh, Demi Allah, aku tak tahu apakah jiwaku akan berjalan menuju
surga sehingga perlu aku ucapkan selamat, atau sedang menuju neraka sehingga aku harus
berkabung?".
Setelah itu, dia melihat di sekelilingnya seraya berkata kepada mereka, "Jika aku meninggal,
pergilah kalian kepada wali (penguasa), dan mintalah kepadanya agar mau memandikanku,"
lalu sepupunya berkata, "Kami akan turun sebentar untuk salat." Imam menjawab, "Pergilah
dan setelah itu duduklah disini menunggu keluarnya ruhku." Setelah sepupu dan murid-
muridnya salat, sang Imam bertanya, "Apakah engkau sudah salat?" lalu mereka menjawab,
"Sudah", lalu ia minta segelas air, pada saat itu sedang musim dingin, mereka berkata, "Biar
kami campur dengan air hangat," ia berkata, "Jangan, sebaiknya dengan air safarjal". Setelah
itu ia wafat. Imam Syafi'i wafat pada malam Jum'at menjelang subuh pada hari terakhir bulan
Rajab tahun 204 Hijriyyah atau tahun 809 Miladiyyah pada usia 52 tahun.
Tidak lama setelah kabar kematiannya tersebar di Mesir hingga kesedihan dan duka melanda
seluruh warga, mereka semua keluar dari rumah ingin membawa jenazah di atas pundak,
karena dahsyatnya kesedihan yang menempa mereka. Tidak ada perkataan yang terucap saat
itu selain permohonan rahmat dan ridha untuk yang telah pergi.
Sejumlah ulama pergi menemui wali Mesir yaitu Muhammad bin as-Suri bin al-Hakam,
memintanya datang ke rumah duka untuk memandikan Imam sesuai dengan wasiatnya. Ia
berkata kepada mereka, "Apakah Imam meninggalkan hutang?", "Benar!" jawab mereka
serempak. Lalu wali Mesir memerintahkan untuk melunasi hutang-hutang Imam seluruhnya.
Setelah itu wali Mesir memandikan jasad sang Imam.
Jenazah Imam Syafi'i diangkat dari rumahnya, melewati jalan al-Fusthath dan pasarnya
hingga sampai ke daerah Darbi as-Siba, sekarang jalan Sayyidah an-Nafisah. Dan, Sayyidah
Nafisah meminta untuk memasukkan jenazah Imam ke rumahnya, setelah jenazah
dimasukkan, dia turun ke halaman rumah kemudian salat jenazah, dan berkata, "Semoga
Allah merahmati asy-Syafi'i, sungguh ia benar-benar berwudhu dengan baik."
Jenazah kemudian dibawa, sampai ke tanah anak-anak Ibnu Abdi al-Hakam, disanalah ia
dikuburkan, yang kemudian terkenal dengan Turbah asy-Syafi'i sampai hari ini, dan disana
pula dibangun sebuan masjid yang diberi nama Masjid asy-Syafi'i. Penduduk Mesir terus
menerus menziarahi makam sang Imam sampai 40 hari 40 malam, setiap penziarah tak
mudah dapat sampai ke makamnya karena banyaknya peziarah.
4. Ahmad bin Hanbal
Ahmad bin Hanbal (bahasa Arab: ‫أحمد بن حنبل‬, lahir 20 Rabiul awal 164 H (27 November 780)
- wafat 12 Rabiul Awal 241 H (4 Agustus 855))[1] adalah seorang
ahli hadits dan teologi Islam. Ia lahir di Marw (saat ini bernama Mary di Turkmenistan,
utara Afganistan dan utara Iran) di kota Baghdad, Irak. Kunyahnya Abu Abdillah
lengkapnya: Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Al Marwazi Al
Baghdadi/ Ahmad bin Muhammad bin Hanbal dikenal juga sebagai Imam Hambali.
Biografi[sunting | sunting sumber]
Awal mula Menuntut Ilmu[sunting | sunting sumber]
Ilmu yang pertama kali dikuasai adalah Al Qur'an hingga ia hafal pada usia 15 tahun, ia juga
mahir baca-tulis dengan sempurna hingga dikenal sebagai orang yang terindah tulisannya.
Lalu, ia mulai konsentrasi belajar ilmu hadits di awal umur 15 tahun itu pula. Ia telah
mempelajari Hadits sejak kecil dan untuk mempelajari Hadits ini, ia pernah pindah atau
merantau ke Syam (Syiria), Hijaz, Yaman dan negara-negara lainnya sehingga ia akhirnya
menjadi tokoh ulama yang bertakwa, saleh, dan zuhud. Abu Zur'ah mengatakan bahwa
kitabnya yang sebanyak 12 buah sudah dihafalnya di luar kepala. Ia menghafal sampai sejuta
hadits. Imam Syafi'i mengatakan tentang diri Imam Ahmad, "Setelah saya keluar dari
Baghdad, tidak ada orang yang saya tinggalkan di sana yang lebih terpuji, lebih shaleh dan
yang lebih berilmu daripada Ahmad bin Hambal". Abdur Rozzaq Bin Hammam yang juga
salah seorang guru dia pernah berkata, "Saya tidak pernah melihat orang se-faqih dan se-
wara' Ahmad Bin Hanbal"[2]
Keadaan fisik[sunting | sunting sumber]
Muhammad bin ‘Abbas An-Nahwi bercerita, Saya pernah melihat Imam Ahmad bin Hambal,
ternyata Badan dia tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu pendek, wajahnya tampan, di
jenggotnya masih ada yang hitam. Ia senang berpakaian tebal, berwarna putih dan bersorban
serta memakai kain. Yang lain mengatakan, “Kulitnya berwarna coklat (sawo matang)”
Keluarga[sunting | sunting sumber]
Dia menikah pada umur 40 tahun dan mendapatkan keberkahan yang melimpah. Ia memiliki
anak-anak yang shalih dari istri-istinya, yang mewarisi ilmunya, seperti Abdullah dan Shalih.
Bahkan keduanya sangat banyak meriwayatkan ilmu dari bapaknya.
Kecerdasan[sunting | sunting sumber]
Putranya yang bernama Shalih mengatakan, ayahku pernah bercerita, “Husyaim meninggal
dunia saat saya berusia dua puluh tahun, kala itu saya telah hafal apa yang kudengar darinya”.
Abdullah, putranya yang lain mengatakan, Ayahku pernah menyuruhku, “Ambillah kitab
mushannaf Waki’ mana saja yang kamu kehendaki, lalu tanyakanlah yang kamu mau tentang
matan nanti kuberitahu sanadnya, atau sebaliknya, kamu tanya tentang sanadnya nanti
kuberitahu matannya”.
Abu Zur’ah pernah ditanya, “Wahai Abu Zur’ah, siapakah yang lebih kuat hafalannya? Anda
atau Imam Ahmad bin Hambal?” Dia menjawab, “Ahmad”. Ia masih ditanya, “Bagaimana
Anda tahu?” dia menjawab, “Saya mendapati di bagian depan kitabnya tidak tercantum
nama-nama perawi, karena dia hafal nama-nama perawi tersebut, sedangkan saya tidak
mampu melakukannya”. Abu Zur’ah mengatakan, “Imam Ahmad bin Hambal hafal satu juta
hadits”.
Pujian Ulama[sunting | sunting sumber]
Abu Ja’far berkata, “Ahmad bin Hambal manusia yang sangat pemalu, sangat mulia dan
sangat baik pergaulannya serta adabnya, banyak berfikir, tidak terdengar darinya kecuali
mudzakarah hadits dan menyebut orang-orang shalih dengan penuh hormat dan tenang serta
dengan ungkapan yang indah. Bila berjumpa dengan manusia, maka ia sangat ceria dan
menghadapkan wajahnya kepadanya. Ia sangat rendah hati terhadap guru-gurunya serta
menghormatinya.”
Imam Asy-Syafi’i berkata, “Ahmad bin Hambal imam dalam delapan hal, Imam dalam
hadits, Imam dalam Fiqih, Imam dalam bahasa, Imam dalam Al Qur’an, Imam dalam
kefaqiran, Imam dalam kezuhudan, Imam dalam wara’ dan Imam dalam Sunnah”.
Ibrahim Al Harbi berkata, “Saya melihat Abu Abdillah Ahmad bin Hambal seolah Allah
gabungkan padanya ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang belakangan dari berbagai
disiplin ilmu”.
Abdullah bin al-Maimuni berkata, "Tidak ada yang lebih mulia yang pernah dilihat oleh
mataku, selain Imam Ahmad bin Hambal. Tidak ada seorangpun dari ahli hadits yang paling
mengagungkan larangan-larangan Allah dan Sunnah Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam jika
benar menurutnya, dan tidak ada seseorangpun yang lebih kuat dalam mengikutinya selain
dari Ahmad."
Abu Bakar as-Sijistani berkata, "Aku pernah bertemu dengan 200 guru-guru ilmu, tidak ada
satupun yang menyerupai Imam Ahmad bin Hambal. Dia betul-betul menyelami ilmu, dan
jika disebutkan suatu ilmu, dia ahlinya."
Abdul Wahhab Al-Warraq berkata, "Abu Abdullah adalah pemimpin kami, dia adalah orang
yang matang dalam ilmu. Jika aku berada dihadapan Allah kelak, dan aku ditanya, "Siapa
orang yang kamu ikuti?" aku akan katakan, "Aku mengikuti Ahmad bin Hambal." Sungguh
Imam Ahmad bin Hambal telah teruji keilmuannya selama 10 tahun tentang Islam."
Kezuhudannya[sunting | sunting sumber]
Dia memakai peci yang dijahit sendiri. Dan kadang dia keluar ke tempat kerja membawa
kampak untuk bekerja dengan tangannya. Kadang juga dia pergi ke warung membeli seikat
kayu bakar dan barang lainnya lalu membawa dengan tangannya sendiri. Al Maimuni pernah
berujar, “Rumah Abu Abdillah Ahmad bin Hambal sempit dan kecil”.
Wara’ dan menjaga harga diri[sunting | sunting sumber]
Abu Isma’il At-Tirmidzi mengatakan, “Datang seorang lelaki membawa uang sebanyak
sepuluh ribu (dirham) untuk dia, tetapi dia menolaknya”. Ada juga yang mengatakan, “Ada
seseorang memberikan lima ratus dinar kepada Imam Ahmad namun dia tidak mau
menerimanya”. Juga pernah ada yang memberi tiga ribu dinar, tetapi dia juga tidak mau
menerimanya.
Tawadhu’ dengan kebaikannya[sunting | sunting sumber]
Yahya bin Ma’in berkata, “Saya tidak pernah melihat orang yang seperti Imam Ahmad bin
Hambal, saya berteman dengannya selama lima puluh tahun dan tidak pernah menjumpai dia
membanggakan sedikitpun kebaikan yang ada padanya kepada kami”.
Dia (Imam Ahmad) mengatakan, “Saya ingin bersembunyi di lembah Makkah hingga saya
tidak dikenal, saya diuji dengan popularitas”.
Al Marrudzi berkata, “Saya belum pernah melihat orang fakir di suatu majlis yang lebih
mulia kecuali di majlis Imam Ahmad, dia perhatian terhadap orang fakir dan agak kurang
perhatiannya terhadap ahli dunia (orang kaya), dia bijak dan tidak tergesa-gesa terhadap
orang fakir. Ia sangat rendah hati, begitu tinggi ketenangannya dan sangat memuka
kharismanya”.
Dia pernah bermuka masam karena ada seseorang yang memujinya dengan mengatakan,
“Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas jasamu kepada Islam?” dia mengatakan,
“Jangan begitu tetapi katakanlah, semoga Allah membalas kebaikan terhadap Islam atas
jasanya kepadaku, siapa saya dan apa (jasa) saya?!”
Sabar dalam menuntut ilmu[sunting | sunting sumber]
Tatkala dia pulang dari tempat Abdurrazzaq yang berada di Yaman, ada seseorang yang
melihatnya di Makkah dalam keadaan sangat letih dan capai. Lalu ia mengajak bicara, maka
Imam Ahmad mengatakan, “Ini lebih ringan dibandingkan faidah yang saya dapatkan dari
Abdurrazzaq”.
Hati-hati dalam berfatwa[sunting | sunting sumber]
Zakariya bin Yahya pernah bertanya kepada dia, “Berapa hadits yang harus dikuasai oleh
seseorang hingga bisa menjadi mufti? Apakah cukup seratus ribu hadits? Dia menjawab,
“Tidak cukup”. Hingga akhirnya ia berkata, “Apakah cukup lima ratus ribu hadits?” dia
menjawab. “Saya harap demikian”.
Kelurusan aqidahnya sebagai standar kebenaran[sunting | sunting sumber]
Ahmad bin Ibrahim Ad-Dauruqi mengatakan, “Siapa saja yang kamu ketahui mencela Imam
Ahmad maka ragukanlah agamanya”. Sufyan bin Waki’ juga berkata, “Ahmad di sisi kami
adalah cobaan, barangsiapa mencela dia maka dia adalah orang fasik”.
Masa Fitnah[sunting | sunting sumber]
Pemahaman Jahmiyyah belum berani terang-terangan pada masa khilafah Al Mahdi, Ar-
Rasyid dan Al Amin, bahkan Ar-Rasyid pernah mengancam akan membunuh Bisyr bin
Ghiyats Al Marisi yang mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluq. Namun dia terus
bersembunyi pada masa khilafah Ar-Rasyid, baru setelah dia wafat, dia menampakkan
kebid’ahannya dan menyeru manusia kepada kesesatan ini.
Pada masa Khalifah Al Ma’mun, orang-orang Jahmiyyah berhasil menjadikan paham
Jahmiyyah sebagai ajaran resmi negara, di antara ajarannya adalah menyatakan bahwa Al
Qur’an makhluk. Lalu penguasa pun memaksa seluruh rakyatnya untuk mengatakan bahwa
Al Qur’an makhluk, terutama para ulamanya.
Barangsiapa mau menuruti dan tunduk kepada ajaran ini, maka dia selamat dari siksaan dan
penderitaan. Bagi yang menolak dan bersikukuh dengan mengatakan bahwa Al Qur’an
Kalamullah bukan makhluk maka dia akan mencicipi cambukan dan pukulan serta kurungan
penjara.
Karena beratnya siksaan dan parahnya penderitaan banyak ulama yang tidak kuat
menahannya yang akhirnya mengucapkan apa yang dituntut oleh penguasa zhalim meski
cuma dalam lisan saja. Banyak yang membisiki Imam Ahmad bin Hambal untuk
menyembunyikan keyakinannya agar selamat dari segala siksaan dan penderitaan, tetapi dia
menjawab, “Bagaimana kalian menyikapi hadits “Sesungguhnya orang-orang sebelum
Khabbab, yaitu sabda Nabi Muhammad ada yang digergaji kepalanya namun tidak
membuatnya berpaling dari agamanya”. HR. Bukhari 12/281. lalu dia menegaskan, “Saya
tidak peduli dengan kurungan penjara, penjara dan rumahku sama saja”.
Ketegaran dan ketabahan dia dalam menghadapi cobaan yang menderanya digambarkan oleh
Ishaq bin Ibrahim, “Saya belum pernah melihat seorang yang masuk ke penguasa lebih tegar
dari Imam Ahmad bin Hambal, kami saat itu di mata penguasa hanya seperti lalat”.
Di saat menghadapi terpaan fitnah yang sangat dahsyat dan deraan siksaan yang luar biasa,
dia masih berpikir jernih dan tidak emosi, tetap mengambil pelajaran meski datang dari orang
yang lebih rendah ilmunya. Ia mengatakan, “Semenjak terjadinya fitnah saya belum pernah
mendengar suatu kalimat yang lebih mengesankan dari kalimat yang diucapkan oleh seorang
Arab Badui kepadaku, “Wahai Ahmad, jika anda terbunuh karena kebenaran maka anda mati
syahid, dan jika anda selamat maka anda hidup mulia”. Maka hatiku bertambah kuat”.
Ahli hadits sekaligus juga Ahli Fiqih[sunting | sunting sumber]
Ibnu ‘Aqil berkata, “Saya pernah mendengar hal yang sangat aneh dari orang-orang bodoh
yang mengatakan, “Ahmad bukan ahli fiqih, tetapi hanya ahli hadits saja. Ini adalah
puncaknya kebodohan, karena Imam Ahmad memiliki pendapat-pendapat yang didasarkan
pada hadits yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia, bahkan dia lebih unggul dari
seniornya”.
Bahkan Imam Adz-Dzahabi berkata, “Demi Allah, dia dalam fiqih sampai derajat Laits,
Malik dan Asy-Syafi’i serta Abu Yusuf. Dalam zuhud dan wara’ dia menyamai Fudhail dan
Ibrahim bin Adham, dalam hafalan dia setara dengan Syu’bah, Yahya Al Qaththan dan Ibnul
Madini. Tetapi orang bodoh tidak mengetahui kadar dirinya, bagaimana mungkin dia
mengetahui kadar orang lain!!
Guru[sunting | sunting sumber]
Imam Ahmad bin Hambal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih dari dua ratus
delapan puluh yang tersebar di berbagai negeri, seperti di Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad,
Yaman dan negeri lainnya. Di antara mereka adalah:
Ismail bin Ja’far
Abbad bin Abbad Al-Ataky
Umari bin Abdillah bin Khalid
Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami
Imam Syafi'i
Waki’ bin Jarrah
Ismail bin Ulayyah
Sufyan bin ‘Uyainah
Abdurrazaq
Ibrahim bin Ma’qil
Murid-murid Ahmad bin Hanbal[sunting | sunting sumber]
Putranya, Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal
Putranya, Abdullah bin Imam Ahmad bin Hambal
Keponakannya, Hambal bin Ishaq
Akhir Hayat[sunting | sunting sumber]
Imam Ahmad bin Hambal mulai sakit pada malam Rabu, dua hari dari bulan Rabi'ul Awwal
tahun 241 Hijriyyah, ia sakit selama sembilan hari. Tatkala penyakitnya mulai parah dan
warga sekitar mulai mengetahuinya, maka mereka menjenguknya siang dan malam.
Penyakitnya kian hari kian parah, pada hari Kamis dan sebelum wafat ia memberikan isyarat
pada keluarganya agar ia diwudhukan, kemudian mereka pun mewudhukannya. Ketika
berwudhu, Imam Ahmad sambil berzikir dan memberikan isyarat kepada mereka agar
menyela-nyela jarinya. Dia menghembuskan napas terakhirnya di pagi hari Jum’at bertepatan
dengan tanggal 12 Rabi’ul Awwal 241 H pada umur 77 tahun di kota Baghdad. Ia
dimakamkan di pemakaman al-Harb, jenazah dia dihadiri delapan ratus ribu pelayat lelaki
dan enam puluh ribu pelayat perempuan.
Karya tulis[sunting | sunting sumber]
Ahmad bin Hanbal menulis kitab al-Musnad al-Kabir yang termasuk sebesar-besarnya kitab
"Musnad" dan sebaik baik karangan dia dan sebaik baik penelitian Hadits. Ia tidak
memasukkan dalam kitabnya selain yang dibutuhkan sebagai hujjah. Kitab Musnad ini berisi
lebih dari 25.000 hadits.
Di antara karya Imam Ahmad adalah ensiklopedia hadits atau Musnad, disusun oleh anaknya
dari ceramah (kajian-kajian) - kumpulan lebih dari 40 ribu hadits juga Kitab ash-Salat dan
Kitab as-Sunnah.
Karya-Karya Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah[sunting | sunting sumber]
Kitab Al Musnad, karya yang paling menakjubkan karena kitab ini memuat lebih dari dua
puluh tujuh ribu hadits.
Kitab at-Tafsir, tetapi Adz-Dzahabi mengatakan, “Kitab ini telah hilang”.
Kitab an-Nasikh wa al-Mansukh
Kitab at-Tarikh
Kitab Hadits Syu'bah
Kitab al-Muqaddam wa al-Mu'akkhar fi al-Qur`an
Kitab Jawabah al-Qur`an
Kitab al-Manasik al-Kabir
Kitab al-Manasik as-Saghir
Menurut Imam Nadim, kitab berikut ini juga merupakan tulisan Imam Ahmad bin
Hanbal[sunting | sunting sumber]
Kitab al-'Ilal
Kitab al-Manasik
Kitab az-Zuhd
Kitab al-Iman
Kitab al-Masa'il
Kitab al-Asyribah ‫اﻞ‬
Kitab al-Fadha'il
Kitab Tha'ah ar-Rasul
Kitab al-Fara'idh
Kitab ar-Radd ala al-Jahmiyyah

Anda mungkin juga menyukai