Anda di halaman 1dari 19

Biografi Ilmuwan Pada Masa Bani Umayyah

1. Imam Hanafi

Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan at-Taymi (bahasa Arab: ‫النعمان بن‬
‫)ثابت‬, lebih dikenal dengan nama Abū Ḥanīfah, (bahasa Arab: ‫ة‬-‫و حنيف‬-‫( )أب‬lahir
di Kufah, Irak pada 80 H / 699 M — meninggal di Baghdad, Irak, 148 H /
767 M) merupakan pendiri dari Madzhab Fiqih Hanafi.
Abu Hanifah juga merupakan seorang Tabi'in, generasi setelah Sahabat
nabi, karena dia pernah bertemu dengan salah seorang sahabat Rasulullah SAW
bernama Anas bin Malik dan beberapa peserta Perang Badar yang dimuliakan
Allah SWT yang merupakan generasi terbaik islam, dan meriwayatkan hadits
darinya serta sahabat Rasulullah SAW lainnya.
Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun
kitab fiqh berdasarkan kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian
(taharah), shalat dan seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama
sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi'i, Abu Dawud, Imam Bukhari.
Abu Hanifah kecil sering mendampingi ayahnya berdagang sutra.
Namun, tidak seperti pedagang lainnya, Abu Hanifah memiliki kebiasaan pergi
ke Masjid Kufah. Karena kecerdasannya yang gemilang, ia mampu
menghafal Al-Qur'an serta ribuan hadits.
Sebagaimana putra seorang pedagang, Abu Hanifah pun kemudian
berprofesi seperti bapaknya. Ia mendapat banyak keuntungan dari profesi ini.
Di sisi lain ia memiliki wawasan yang sangat luas, kecerdasan yang luar biasa,
serta hafalan yang sangat kuat. Beberapa ulama dapat menangkap fenomena
ini, sehingga mereka menganjurkannya untuk pergi berguru kepada ulama
seperti ia pergi ke pasar setiap hari.
Pada masa Abu Hanifah menuntut ilmu, Iraq termasuk Kufah
disibukkan dengan tiga halaqah keilmuan. Pertama, halaqah yang membahas
pokok-pokok aqidah. Kedua, halaqah yang membahas tentang

1
Hadits Rasulullah metode dan proses pengumpulannya dari berbagai negara,
serta pembahasan dari perawi dan kemungkinan diterima atau tidaknya pribadi
dan riwayat mereka. Ketiga, halaqah yang membahas masalah fikih dari Al-
Qur'an dan Hadits, termasuk membahas fatawa untuk menjawab masalah-
masalah baru yang muncul saat itu, yang belum pernah muncul sebelumnya.
Abu Hanifah melibatkan diri dalam dialog tentang ilmu kalam, tauhid
dan metafisika. Menghadiri kajian hadits dan periwayatannya, sehingga ia
mempunyai andil besar dalam bidang ini.
Setelah Abu Hanifah menjelajahi bidang-bidang keilmuan secara
mendalam, ia memilih bidang fikih sebagai konsentrasi kajian. Ia mulai
mempelajari berbagai permasalahan fikih dengan cara berguru kepada salah
satu Syaikh ternama di Kufah, ia terus menimba ilmu darinya hingga selesai.
Sementara Kufah saat itu menjadi tempat domisili bagi ulama fikih Iraq.
Abu Hanifah sangat antusias dalam menghadiri dan menyertai gurunya,
hanya saja ia terkenal sebagai murid yang banyak bertanya dan berdebat, serta
bersikeras mempertahankan pendapatnya, terkadang menjadikan syaikh kesal
padanya, namun karena kecintaannya pada sang murid, ia selalu mencari tahu
tentang kondisi perkembangannya. Dari informasi yang ia peroleh, akhirnya
sang syaikh tahu bahwa ia selalu bangun malam, menghidupkannya dengan
salat dan tilawah Al-Qur'an. Karena banyaknya informasi yang ia dengar maka
syaikh menamakannya Al-Watad.
Selama 18 tahun, Abu Hanifah berguru kepada Syaikh Hammad bin
Abu Sulaiman, saat itu ia masih 22 tahun. Karena dianggap telah cukup, ia
mencari waktu yang tepat untuk bisa mandiri, namun setiap kali mencoba lepas
dari gurunya, ia merasakan bahwa ia masih membutuhkannya.
Kabar buruk terhembus dari Basrah untuk Syaikh Hammad, seorang
keluarga dekatnya telah wafat, sementara ia menjadi salah satu ahli warisnya.
Ketika ia memutuskan untuk pergi ke Basrah ia meminta Abu Hanifah untuk
menggantikan posisinya sebagai pengajar, pemberi fatawa dan pengarah dialog.
Saat Abu Hanifah mengantikan posisi Syaikh Hammad, ia dihujani oleh
pertanyaan yang sangat banyak, sebagian belum pernah ia dengar sebelumnya,

2
maka sebagian ia jawab dan sebagian yang lain ia tangguhkan. Ketika Syaikh
Hammad datang dari Basrah ia segera mengajukan pertanyaan-pertanyaan
tersebut, yang tidak kurang dari 60 pertanyaan, 40 diantaranya sama dengan
jawaban Abu Hanifah, dan berbeda pendapat dalam 20 jawaban.
Dari peristiwa ini ia merasa bahawa masih banyak kekurangan yang ia
rasakan, maka ia memutuskan untuk menunggu sang guru di halaqah ilmu,
sehingga ia dapat mengoreksikan kepadanya ilmu yang telah ia dapatkan, serta
mempelajari yang belum ia ketahui.
Ketika umurnya menginjak usia 40 tahun, gurunya Syaikh Hammad
telah wafat, maka ia segera menggantikan gurunya.
Abu Hanifah tak hanya mengambil ilmu dari Syaikh Hammad, tetapi
juga banyak ulama selama perjalanan ke Makkah dan Madinah,
diantaranya Malik bin Anas, Zaid bin Ali dan Ja'far ash-Shadiq yang
mempunyai konsen besar terhadap masalah fikih dan hadits.
Imam Abu Hanifah diketahui telah menyelesaikan 600.000 perkara
dalam bidang ilmu fiqih dan dijuluki Imam Al-A'dzhom oleh masyarakat
karena keluasan ilmunya.Beliau juga menjadi rujukan para ulama pada masa
itu dan merupakan guru dari para ulama besar pada masa itu dan masa
selanjutnya.
Khalifah Abu Ja'far Al-Mansur berkata kepada menterinya, "Aku sedang
membutuhkan seorang hakim yang bisa menegakkan keadilan di negara kita
ini, dengan kualifikasi dia tidak takut kepada siapapun dalam menegakkan
kebenaran, paling memahami Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah. Menurutmu
siapa yang layak menduduki posisi ini?", lalu sang menteri menjawab, "Sejauh
pengetahuan saya, ulama yang paling tepat menduduki jabatan ini adalah Abu
Hanifah An-Nu'man, betapa bahagianya kita jika ia menerima tawaran sebagai
hakim ini!", "Apa mungkin seseorang bisa menolak jika kita yang
memintanya?" tanya Khalifah lagi, "Sejauh yang kami tahu, dia tidak pernah
tunduk kepada permintaan siapapun, tampaknya dia tidak suka menduduki
posisi sebagai hakim, maka utuslah seseorang utusan mudah-mudahan hatinya
terbuka, dan menerima tawaran ini."

3
Khalifah kemudian mengutus seorang utusan memintanya untuk
menghadap seraya menawarkan posisi sebagai hakim. Abu Hanifah menjawab,
"Aku akan istikharah terlebih dahulu, salat 2 rakaat meminta petunjuk kepada
Allah, jika hatiku dibuka maka akan aku terima, jika tidak maka masih banyak
ahli fikih lain yang bisa dipilih salah satu daintara mereka oleh Amirul
Mukminin."
Waktu terus berjalan, ternyata Abu Hanifah tak kunjung menghadap
Khalifah, maka ia mengutus seorang utusan memintanya menghadap, Abu
Hanifah kemudian pergi menghadap namun ia beritikad untuk menolak jabatan
hakim yang ditawarkan kepadanya.
Ternyata Khalifah tidak menyerah begitu saja, ia bersumpah agar Abu
Hanifah menerima jabatan sebagai hakim yang ditawarkan, akan tetapi Abu
Hanifah tetap menolaknya, seraya berkata, "Wahai Amirul Mukminin,
sesungguhnya aku tak pantas untuk menduduki jabatan hakim," lalu Khalifah
malah menjawab, "Engkau dusta!" sehingga Abu Hanifah pun berkata,
"Sekiranya Anda telah menghukumi saya sebagai pembohong, maka
sesungguhnya para pembohong tak layak menjadi hakim, dan sebaiknya Anda
jangan mengangkat rakyat Anda yang tidak memenuhi kualifikasi untuk
menduduki jabatan yang strategis ini. Wahai Amirul Mukminin, takutlah
kepada Allah, dan jangan Anda delegasikan amanah kecuali kepada mereka
yang takut kepada Allah, jika saya tidak mendapat jaminan keridhaan,
bagaimana saya akan mendapat jaminan terhindar dari murka?". Khalifah lalu
memerintahkan mencambuknya seratus cambukan, lalu dijebloskannya ke
penjara.
Selang beberapa hari, khalifah mendapat teguran dari seorang
kerabatnya, "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Anda telah mencambuk
diri Anda dengan seratus ribu pukulan pedang."
Maka khalifah segera memerintahkan untuk membayar 30.000 dirham
(sekitar Rp.2,1 miliar) kepada Abu Hanifah sebagai ganti atas yang telah
dideritanya, lalu membebaskannya dan mengembalikan ke rumahnya.

4
Ternyata setelah harta tersebut diberikan, ia menolaknya. Maka khalifah
memerintahkan untuk menjebloskan kembali ke penjara. Hanya saja para
menteri mengusulkan bahwa Abu Hanifah segera dibebaskan dan cukup diberi
dengan penjara rumah, serta melarangnya untuk duduk bersama masyarakat
atau keluar dari rumah.
Selang beberapa hari setelah mendapatkan tahanan rumah, ia terkena
penyakit, semakin lama semakin parah. Akhirnya ia wafat pada usia 68 tahun.
Berita kematiannya segera menyebar, ketika Khalifah mendengar berita itu, ia
berkata, "Siapa yang bisa memaafkanku darimu hidup maupun mati?" Salah
seorang ulama Kufah berkata, "Cahaya keilmuan telah dimatikan dari kota
Kufah, sungguh mereka tidak pernah melihat ulama sekaiber dia selamanya."
Yang lain berkata, "Kini mufti dan fakih Irak telah tiada."
Jasadnya dikeluarkan dipanggul di atas punggung kelima muridnya,
hingga sampai tempat pemandian, ia dimandikan oleh Al-Hasan bin Imarah,
sementara Al-Harawi yang menyiramkan air ke tubuhnya. Ia disalatkan lebih
dari 50.000 orang. Dalam enam kali putaran yang ditutup dengan salat oleh
anaknya, Hammad. Ia tak dapat dikuburkan kecuali setelah salat Ashar karena
sesak, dan banyak tangisan. Ia berwasiat agar jasadnya dikuburkan di Kuburan
Al-Khairazan, karena merupakan tanah kubur yang baik dan bukan tanah
curian.

2. Imam Malik

Mālik ibn Anas bin Malik bin 'Āmr al-Asbahi atau Malik bin
Anas (lengkapnya: Malik bin Anas bin Malik bin `Amr, al-Imam, Abu `Abd
Allah al-Humyari al-Asbahi al-Madani), (Bahasa Arab: ‫ك بن أنس‬--‫)مال‬, lahir di
(Madinah pada tahun 711 M / 90H), dan meninggal pada tahun 795M / 174H).
Ia adalah pakar ilmu fikih dan hadis, serta pendiri Mazhab Maliki.
Abu abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amirbin Amr bin al-
Haris bin Ghaiman bin Jutsail binAmr bin al-Haris Dzi Ashbah. Imam Malik
dilahirkan di Madinah al Munawwaroh. sedangkan mengenai masalah tahun

5
kelahirannya terdapat perbedaaan riwayat. al-Yafii dalam kitabnya Thabaqat
fuqoha meriwayatkan bahwa Imam Malik dilahirkan pada 94 H. ibn Khalikan
dan yang lain berpendapat bahwa Imam Malik dilahirkan pada 95 H.
Sedangkan Imam Adz-Dzahabi meriwayatkan Imam Malik dilahirkan 90 H.
Imam yahya bin bakir meriwayatkan bahwa ia mendengar Malik berkata: "
Aku dilahirkan pada 93 H ". dan inilah riwayat yang paling benar (menurut al-
Sam'ani dan ibn farhun) .
Imam Malik bin Anas dikenal luas akan kecerdasannya. Suatu waktu ia
pernah dibacakan 31 buah Hadis Rasulullah SAW dan mampu mengulanginya
dengan baik dan benar tanpa harus menuliskannya terlebih dahulu.
Ia menyusun kitab Al Muwaththa', dan dalam penyusunannya ia
menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70
ahli fiqh Madinah.
Kitab tersebut menghimpun 100.000 hadis, dan yang meriwayatkan Al
Muwaththa’ lebih dari seribu orang, karena itu naskahnya berbeda beda dan
seluruhnya berjumlah 30 naskah, tetapi yang terkenal hanya 20 buah. Dan yang
paling masyur adalah riwayat dari Yahya bin Yahyah al Laitsi al Andalusi al
Mashmudi.
Sejumlah ‘Ulama berpendapat bahwa sumber sumber hadis itu ada
tujuh, yaitu Al Kutub as Sittah ditambah Al Muwaththa’. Ada pula ulama yang
menetapkan Sunan ad Darimi sebagai ganti Al Muwaththa’. Ketika melukiskan
kitab besar ini, Ibnu Hazm berkata,” Al Muwaththa’ adalah kitab
tentang fiqh dan hadis, aku belum mengetahui bandingannya.
Hadis-hadis yang terdapat dalam Al Muwaththa’ tidak
semuanya Musnad, ada yang Mursal, mu’dlal dan munqathi.
Sebagian ‘Ulama menghitungnya berjumlah 600 hadis musnad, 222 hadis
mursal, 613 hadis mauquf, 285 perkataan tabi’in, disamping itu ada 61 hadis
tanpa penyandara, hanya dikatakan telah sampai kepadaku” dan “ dari orang
kepercayaan”, tetapi hadis hadis tersebut bersanad dari jalur jalur lain yang
bukan jalur dari Imam Malik sendiri, karena itu Ibn Abdil Bar an
Namiri menentang penyusunan kitab yang berusaha memuttashilkan hadis

6
hadis mursal, munqathi’ dan mu’dhal yang terdapat dalam Al
Muwaththa’ Malik.
Imam Malik menerima hadis dari 900 orang (guru), 300 dari
golongan Tabi’in dan 600 dari tabi’in tabi’in, ia meriwayatkan hadis bersumber
dari Nu’main al Mujmir, Zaib bin Aslam, Nafi’, Syarik bin Abdullah, Az-
Zuhri, Abi az Ziyad, Sa’id al Maqburi dan Humaid ath Thawil, muridnya yang
paling akhir adalah Hudzafah as Sahmi al Anshari.
Adapun yang meriwayatkan darinya adalah banyak sekali di antaranya
ada yang lebih tua darinya seperti Az-Zuhri dan Yahya bin Sa’id. Ada yang
sebaya seperti Al-Auza’i, Sufyan Ats-Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Al-Laits bin
Sa’ad, Ibnu Juraij dan Syu’bah bin Hajjaj. Adapula yang belajar darinya
seperti Asy Safi’i, Ibnu Wahb, Ibnu Mahdi, al Qaththan dan Abi Ishaq.
Malik bin Anas menyusun kompilasi hadis dan ucapan
para sahabat dalam buku yang terkenal hingga kini, Al Muwatta.
Imam Malik diketahui sangat jarang keluar dari kota Madinah. Ia
memilih menyibukan diri dengan mengajar dan berdakwah di kota tempat
Rasulullah SAW wafat tersebut.Beliau sesekali keluar dari kota Madinah untuk
melakukan ritual ibadah haji di kota mekkah
Di antara guru dia adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim, Nafi’ al
Muqbiri, Na’imul Majmar, Az-Zuhri, Amir bin Abdullah bin Az-Zubair, Ibnul
Munkadir, Abdullah bin Dinar, dan lain-lain.
Di antara murid dia adalah Ibnul Mubarak, Al Qaththan, Ibnu
Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu Qasim, Al Qa’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin
Manshur, Yahya bin Yahya al-Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu
Mush’ab, Al-Auza’i, Sufyan ats-Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Imam
Syafi’i, Abu Hudzafah as Sahmi, Az Zubairi, dan lain-lain.
An Nasa’i berkata,” Tidak ada yang saya lihat orang yang pintar, mulia
dan jujur, tepercaya periwayatan hadisnya melebihi Malik, kami tidak tahu dia
ada meriwayatkan hadis dari rawi matruk, kecuali Abdul Karim”.
(Ket: Abdul Karim bin Abi al Mukharif al Basri yang menetap di
Makkah, karena tidak senegeri dengan Malik, keadaanya tidak banyak

7
diketahui, Malik hanya sedikit mentahrijkan hadisnya tentang keutamaan amal
atau menambah pada matan).
Sedangkan Ibnu Hayyan berkata,” Malik adalah orang yang pertama
menyeleksi para tokoh ahli fiqh di Madinah, dengan fiqh, agama dan
keutamaan ibadah”.
Imam as-Syafi'i berkata, "Imam Malik adalah Hujjatullah atas makhluk-
Nya setelah para Tabi'in[3] ".
Yahya bin Ma'in berkata, "Imam Malik adalah Amirul mukminin dalam
(ilmu) Hadis"
Ayyub bin Suwaid berkata, "Imam Malik adalah Imam Darul Hijrah
(Imam madinah) dan as-Sunnah,seorang yang Tsiqah, seorang yang dapat
dipercaya".
Ahmad bin Hanbal berkata, " Jika engkau melihat seseorang yang
membenci imam malik, maka ketahuilah bahwa orang tersebut adalah ahli
bid'ah"
Seseorang bertanya kepada as-Syafi'i, " apakah anda menemukan
seseorang yang (alim) seperti imam malik?" as-Syafi'i menjawab:"aku
mendengar dari orang yang lebih tua dan lebih berilmu daripada aku, mereka
mengatakan kami tidak menemukan orang yang (alim) seperti Malik, maka
bagaimana kami(orang sekarang) menemui yang seperti Malik?[3]
Imam Abu Hanifah berkata, "Aku tidak pernah melihat seseorang yang
lebih pandai tentang sunnah Rasulullah dari Imam Malik."
Abdurrahman bin Mahdi, " Aku tidak pernah tahu seorang ulama Hijaz
kecuali mereka menghormati Imam Malik, sesungguhnya Allah tidak
mengumpulkan umat Muhammad, kecuali dalam petunjuk."
Ibnu Atsir, "Cukuplah kemuliaan bagi asy-Syafi'i bahwa syaikhnya
adalah Imam Malik, dan cukuplah kemuliaan bagi Malik bahwa di antara
muridnya adalah asy-Syafi'i."
Abdullah bin Mubarak berkata, "Tidak pernah aku melihat seorang
penulis ilmu Rasulullah lebih berwibawa dari Malik, dan lebih besar
penghormatannya terhadap hadis Rasulullah dari Malik, serta kikir terhadap

8
agamanya dari Malik, jika dikatakan kepadaku pilihlah Imam bagi umat ini,
maka aku akan pilih Malik."
Laits bin Saad berkata, "Tidak ada orang yang lebih aku cintai di muka
bumi ini dari Malik."
Al-Muwaththa berarti ‘yang disepakati’ atau ‘tunjang’ atau ‘panduan’
yang membahas tentang ilmu dan hukum-hukum agama Islam. Al-Muwaththa
merupakan sebuah kitab yang berisikan hadis-hadis yang dikumpulkan oleh
Imam Malik serta pendapat para sahabat dan ulama-ulama tabiin. Kitab ini
lengkap dengan berbagai problem agama yang merangkum ilmu hadis, ilmu
fiqh dan sebagainya. Semua hadis yang ditulis adalah sahih kerana Imam Malik
terkenal dengan sifatnya yang tegas dalam penerimaan sebuah hadis. Dia
sangat berhati-hati ketika menapis, mengasingkan, dan membahas serta
menolak riwayat yang meragukan. Dari 100.000 hadis yang dihafal dia, hanya
10.000 saja diakui sah dan dari 10.000 hadis itu, hanya 5.000 saja yang
disahkan sahih olehnya setelah diteliti dan dibandingkan dengan al-Quran.
Menurut sebuah riwayat, Imam Malik menghabiskan 40 tahun untuk
mengumpul dan menapis hadis-hadis yang diterima dari guru-gurunya. Imam
Syafii pernah berkata, “Tiada sebuah kitab di muka bumi ini setelah al qur`an
yang lebih banyak mengandungi kebenaran selain dari kitab Al-Muwaththa
karangan Imam Malik, inilah karangan para ulama muaqoddimin.”
Menjelang wafat, Imam Malik ditanya masalah ke mana ia tak pergi lagi
ke Masjid Nabawi selama tujuh tahun, ia menjawab, "Seandainya bukan karena
akhir dari kehidupan saya di dunia, dan awal kehidupan di akhirat, aku tidak
akan memberitahukan hal ini kepada kalian. Yang menghalangiku untuk
melakukan semua itu adalah penyakit sering buang air kecil, karena sebab ini
aku tak sanggup untuk mendatangi Masjid Rasulullah. Dan, aku tak suka
menyebutkan penyakitku, karena khawatir aku akan selalu mengadu kepada
Allah." Imam Malik mulai jatuh sakit pada hari Minggu sampai 22 hari lalu
wafat pada hari Minggu, tanggal 10 Rabi'ul Awwal 179 Hijriyah atau 800
Miladiyyah.

9
Masyarakat Medinah menjalankan wasiat yang ia sampaikan, yakni
dikafani dengan kain putih, dan disalati diatas keranda. Imam shalat jenazahnya
adalah Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim al-Hasyimi yang merupakan
gubernur Madinah. Gubernur Madinah datang melayat dengan jalan kaki,
bahkan termasuk salah satu yang ikut serta dalam mengangkat jenazah hingga
ke makamnya. Dia dimakamkan di Pemakaman Baqi', seluruh murid-murid dia
turut mengebumikan dia.
Informasi tentang kematitan dia tersebar di seantero negeri Islam,
mereka sungguh sangat bersedih dan merasa sangat kehilangan, seraya
mendoakan dia agar selalu dilimpahi rahmat dan pahala yang belipat ganda
berkat ilmu dan amal yang dia persembahkan untuk Islam.

3. Hasan Al Basri
Al-Hasan Al-Bashri (bahasa Arab:‫ري‬--‫ن البص‬--‫ ; الحسن بن أبي الحس‬Abu Sa'id
al-Hasan ibn Abil-Hasan Yasar al-Bashri) (Madinah, 642 - 10 Oktober 728)
adalah ulama dan cendekiawan muslim yang hidup pada masa awal
kekhalifahan Umayyah.
Al-Hasan adalah Maula Al-Anshari. Ibunya bernama Khairah,
budak Ummu Salamah yang dimerdekakan, dikatakan Ibnu Sa’ad dalam kitab
tabaqat Hasan adalah seorang alim yang luas dan tinggi ilmunya, terpercaya,
seorang hamba yang ahli ibadah dan fasih bicaranya. Bapaknya bernama
Pirouz (kemudian dikenal sebagai Abul Hasan), yang menjadi budak pada
zaman pemerintahan Khalifah Umar bin Al-Khattab. Dari kampungnya Pirouz
kemudian dibawa ke Madinah sebagai seorang tawanan. Pirouz dan seorang
perempuan dari kampungnya, diberikan kepada Ummu Salamah. Lalu Ummu
Salamah memberikan mereka berdua kepada saudara terdekat dia dan
keduanya lantas menikah dengan tuan mereka dan dibebaskan.
Hasan al-Basri dilahirkan di Madinah pada tahun 21 Hijrah
(642 Masehi). Dia pernah menyusu dengan Ummu Salamah, isteri Rasulullah
S.A.W. Pada usia 14 tahun, Al-Hasan pindah ke kota Basrah, Irak, dan menetap
di sana. Dari sinilah Al-Hasan mulai dikenal dengan sebutan Hasan Al-Bashri.

10
Hasan kemudian dikategorikan sebagai seorang Tabi'in (generasi
setelah sahabat). Hasan al-Basri juga pernah berguru kepada beberapa orang
sahabat Rasulullah S.A.W. sehingga dia muncul sebagai Ulama terkemuka
dalam peradaban Islam.
Hasan Al Bashri berguru pada para sahabat Nabi, antara lain: Utsman
bin Affan, Abdullah bin Abbas, Ali bin Abi Talib, Abu Musa Al-Asy'ari, Anas
bin Malik, Jabir bin Abdullah and Abdullah bin Umar. Al-Hasan menjadi guru
di Basrah, (Iraq) dan mendirikan madrasah di sana. Di antara para pengikutnya
yang terkenal adalah Amr ibn Ubaid dan Wasil ibn Atha. Dia salah seorang
fuqaha yang berani berkata benar dan menyeru kepada kebenaran di hadapan
para pembesar negeri dan seorang yang sukar diperoleh tolak bandingnya
dalam soal ibadah. Dia menerima hadits dari Abu Bakrah, Imran bin Husein,
Jundub, Al Bajali, Muawiyah, Anas, Jabir dan meriwayatkan hadits dari
beberapa sahabat diantaranya ‘Ubay bin Ka’ab, Saad bin Ubadah, Umar bin
Khattab walaupun tidak bertemu dengan mereka atau tidak mendengar
langsung dari mereka. Dan kemudian hadits-haditsnya diriwayatkan oleh Jarir
bin Abi Hazim, Humail At Thawil, Yazid bin Abi Maryam, Abu Al Asyhab,
Sammak bin Harb, Atha bin Abi Al Saib, Hisyam bin Hasan dan lain-lain.
Hasan al-Basri meninggal dunia di Basrah, Iraq, pada hari jum'at 5
Rajab 110 Hijrah (728 Masehi), pada umur 89 tahun.
Hasan adalah pendukung kuat nilai tradisional dan cara hidup zuhud,
kehidupan duinia hanyalah perjalanan untuk ke akhirat, dan kesenangan
dinafikan untuk mengendalikan nafsu. dia merupakan tokoh sufi dalam islam .
[1] Khutbah-khutbah dia dianggap sebagi contoh terbaik dan terawal sastra
Arab[2].

4. Rabi’ah al-Adawiyah

Rabiah Al-Adawiyah (bahasa Arab: ‫ية‬--‫ة القيس‬--‫ة العدوي‬--‫ )رابع‬dikenal juga


dengan nama Rabi'ah Basri adalah seorang sufi wanita yang dikenal karena

11
kesucian dan dan kecintaannya terhadap Allah Rabi'ah merupakan klien
(bahasa Arab: Mawlat) dari klan Al-Atik suku Qays bin 'Adi, dimana ia
terkenal dengan sebutan al-Qaysyah. Ia dikenal sebagai seorang sufi wanita
yang zuhud, yaitu tidak tertarik kepada kehidupan duniawi, sehingga ia
mengabdikan hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Rabiah
diperkirakan lahir antara tahun 713 - 717 Masehi, atau 95 - 99 Hijriah, di kota
Basrah, Irakdan meninggal sekitar tahun 801 Masehi / 185 Hijriah. Nama
lengkapnya adalah Rabi'ah binti Ismail al-Adawiyah al-Basriyah. Rabiah
merupakan sufi wanita beraliran Sunni pada masa dinasti Umayyah yang
menjadi pemimpin dari murid-murid perempuan dan zahidah, yang
mengabdikan dirinya untuk penelitian hukum kesucian yang sangat takut dan
taat kepada Tuhan. Rabi'ah Al-Adawiyah dijuluki sebagai "The Mother of the
Grand Master" atau Ibu Para Sufi Besar karena kezuhudannya. Ia juga menjadi
panutan para ahli sufi lain seperti Ibnu al-Faridh dan Dhun Nun al-
Misri. Kezuhudan Rabi'ah juga dikenal hingga ke Eropa. Hal ini membuat
banyak cendikiawan Eropa meneliti pemikiran Rabi'ah dan menulis riwayat
hidupnya, seperti Margareth Smith, Masignon, dan Nicholoson.
Rabi'ah dilahirkan di kota Basrah, Irak, sekitar abad ke delapan tahun
713-717 Masehi. Ia dilahirkan dari keluarga yang sangat miskin dan
merupakan anak keempat dari empat bersaudara, sehingga ia dinamakan
Rabiah yang berarti anak keempat. Ayahnya bernama Ismail, ketika malam
menjelang kelahiran Rabi'ah, keadaan ekonomi keluarga Ismail sangatlah
buruk sehingga ia tidak memiliki uang dan penerangan untuk menemani
istrinya yang akan melahirkan. Beberapa hari setelah kelahiran Rabi'ah, Ismail
bermimpi bertemu dengan nabi Muhammad, dalam mimpinya dia berkata pada
Ismail agar jangan bersedih karena anaknya, Rabi'ah, akan menjadi seorang
wanita yang mulia, sehingga banyak orang akan mengharapkan syafaatnya.
Sejak kecil Rabi'ah sudah dikenal sebagai anak yang cerdas dan taat
beragama. Beberapa tahun kemudian, ayahnya, Ismail, meninggal dunia
kemudian disusul oleh ibunya, sehingga Rabi'ah dan ketiga saudara
perempuannya menjadi anak yatim piatu. Ayah dan Ibunya hanya

12
meninggalkan harta berupa sebuah perahu yang kemudian digunakan Rabi'ah
untuk mencari nafkah. Rabi'ah bekerja sebagai penarik perahu yang
menyebrangkan orang dari tepi Sungai Dajlah ke tepi sungai yang
lain. Sementara ketiga saudara perempuannya bekerja dirumah menenun kain
atau memintal benang.
Ketika kota Basrah dilanda berbagai bencana alam dan kekeringan
akibat kemarau panjang, Rabi'ah dan ketiga saudara perempuannya
memutuskan untuk berkelana ke berbagai daerah untuk bertahan hidup. Dalam
pengembaraanya, Rabi'ah terpisah dengan ketiga saudara perempuannya
sehingga ia hidup seorang diri. Pada saat itulah Rabi'ah diculik oleh
sekelompok penyamun kemudian dijual sebagai hamba sahaya seharga
enam dirham kepada seorang pedagang. Pedagang yang membeli Rabi'ah
sebagai hamba sahaya memperlakukannya dengan kejam, sehingga Rabi'ah
harus selalu bekerja keras sepanjang hari. Dalam suatu malam, Rabi'ah
bermunajat kepada Allah jika ia dapat bebas dari perbudakan maka ia tak akan
berhenti sedikit pun beribadah. Ketika Rabi'ah sedang berdoa dan melakukan
salat malam, pedagang yang menjadi majikannya itu dikejutkan oleh sebuah
lentera yang bergantung di atas kepala Rabi'ah tanpa ada sehelai tali
pun Cahaya bagaikan lentera yang menyinari seluruh rumah itu merupakan
cahaya sakinah (diambil dari bahasa Ibrani yaitu "Shekina" yang berarti cahaya
rahmat Tuhan) dari seorang muslimah suci.
Melihat peristiwa tidak biasa yang terjadi pada Rabi'ah, pedagang itu
menjadi ketakutan dan keesokan harinya membebaskan Rabi'ah. Sebelum
Rabi'ah pergi, Pedagang itu menawarkan Rabi'ah untuk tinggal di Basrah dan ia
akan menanggung segala keperluan dan kebutuhan Rabi'ah, namun karena
kezuhudannya, Rabi'ah menolak dan sesuai janjinya jika ia bebas, maka
Rabi'ah akan mengabdikan hidupnya hanya untuk beribadah.
Setelah bebas sebagai hamba sahaya, Rabi'ah pergi mengembara
di padang pasir. Setelah beberapa saat tinggal di padang pasir, ia menemukan
tempat tinggal Di tempat itulah ia menghabiskan seluruh waktunya beribadah
kepada Allah. Rabiah juga memiliki majelis yang dikunjungi banyak

13
murid. Majelisnya itu juga sering dikunjungi oleh zahid-zahid lain untuk
bertukar pikiran. Di antara mereka yang pernah mengunjungi majelis Rabi'ah
adalah, Malik bin Dinar (wafat 748/130 H), Sufyan as-Sauri (wafat 778 /
161H), dan Syaqiq al-Balkhi (wafat 810/194H).[3] Rabi'ah hanya tidur sedikit
disiang hari dan menghabiskan sepanjang malam untuk bermunajat sehingga ia
dikenal sebagai pujangga dengan syair-syair cintanya yang indah kepada
Allah. Rabi'ah telah terkenal karena kecerdasan dan ketaatannya ke pelosok
negeri sehingga ia menerima banyak lamaran untuk menikah. Di antara mereka
yang melamarnya adalah Abdul Wahid bin Zaid, seorang teolog dan ulama,
Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi, seorang amir dari
dinasti Abbasiyah yang sangat kaya, juga seorang Gubernur yang meminta
rakyat Basrah untuk mencarikannya seorang istri dan penduduk Basrah
bersepakat bahwa Rabi'ah adalah orang yang tepat untuk gubernur
tersebut. Riwayat lain juga menyebutkan bahwa Hasan al-Bashri,
seorang sufi besar dan sahabat Rabi'ah, juga meminangnya, namun hal itu
masih diragukan kebenarannya mengingat Hasan al-Bashri meninggal 70 tahun
sebelum kematian Rabi'ah. Rabi'ah menolak seluruh lamaran itu dan memilih
untuk tidak menikah. Meskipun tidak menikah, Rabi'ah sadar bahwa
pernikahan termasuk sunah agama, sebab, tidak ada kependetaan
(bahasa Arab: Rahbaniyah) dalam syariat islam. Rabi'ah memilih untuk tidak
menikah karena ia takut tidak bisa bertindak adil terhadap suami dan anak-
anaknya kelak karena hati dan perhatiannya sudah tercurahkan kepada
Allah. Tidak ada satupun di dunia ini yang dicintai Rabi'ah kecuali
Allah. Sehingga atas dasar itulah, Rabi'ah memuntuskan untuk tidak menikah
hingga akhir hidupnya.
Sekembalinya Rabi'ah dari Mekah untuk melaksanakan ibadah haji,
kesehatan Rabi'ah mulai menurun. Ia tinggal bersama sahabatnya, Abdah binti
Abi Shawwal, yang telah menemaninya dengan baik hingga akhir
hidupnya. Rabi'ah tak pernah mau menyusahkan orang lain, sehingga ia
meminta kepada Abdah untuk membungkus jenazahnya nanti dengan kain
kafan yang telah ia sediakan sejak lama. Menjelang kematiannya, banyak

14
orang-orang saleh ingin mendampinginya, namun Rabi'ah menolak. Rabiah
diperkirakan meninggal dalam usia 83 tahun pada tahun 801 Masehi / 185
Hijriah dan dimakamkan di Bashrah, Irak.
Ibnu Arabi adalah ulama tasawuf besar setelah masa Rabi'ah
Ketika menjadi hamba sahaya, Rabi'ah mengembangkan aliran sufi yang
berlandaskan seluruh amal ibadahnya atas dasar cinta kepada Ilahi tanpa
pamrih atas pahala, surga atau penyelamatan dari azab neraka.[1] Rabi'ah
terkenal dengan metode cinta kepada Allah (Bahasa Arab: Al-mahabbah,
artinya cinta tanpa pamrih)[1] dan uns (kedekatan dengan Tuhan).[2] Perkataan
mistik Rabi'ah menggambarkan kesalehan dirinya, dan banyak di antara mereka
yang menjadi kiasan atau kata-kata hikmah yang tersebar luas di wilyah-
wilayah negara Islam.[2] Rabi'ah al-Adawiyah terkenal zahid (tak tertarik pada
harta dan kesenangan duniawi) dan tak pernah mau meminta pertolongan pada
ornag lain.[3] Ketika ia ditanya orang mengapa ia bersikap demikian, Rabi'ah
menjawab:

“ Saya malu meminta sesuatu pada Dia yang memilikinya, apalagi pada
orang-orang yang bukan menjadi pemilik sesuatu itu. Sesungguhnya Allah
lah yang memberi rezeki kepadaku dan kepada mereka yang kaya.
[3] Apakah Dia yang memeberi rezeki kepada orang yang kaya, tidak
memberi rezeki kepada orang-orang miskin? Sekiranya dia menghendaki
begitu, maka kita harus menyadari posisi kita sebagai hamba-Nya dan
haruslah kita menerimanya dengan hati rida (senang). ”

Berbeda dari para zahid atau sufi yang mendahului dan sezaman dengannya, Rabi'ah
dalam menjalankan tasawuf itu bukanlah karena dikuasai oleh perasaan takut kepada
Allah atau takut kepada nerakanya. Hatinya penuh oleh perasaan cinta kepada Allah
sebagai kekasihnya.

Para ulama tasawuf memandang Rabi'ah sebagai tonggak penting


perkembangan tasawuf dari fase dominasi emosi takut kepada Allah menuju fase
dominasi atau mengembangkan emosi cinta yang maksimal kepada-Nya. Tingkat

15
kehidupan zuhud yang tadinya direntangkan oleh Hasan al-Bashri sebagai ketakutan
dan pengharapan kepada Allah, telah dinaikkan maknanya oleh Rabi'ah sebagai zuhud
karena cinta kepada Allah. Rabi'ah telah membuka jalan ma'rifat Illahi sehingga ia
menjadi teladan bagi para cendikiawan muslim, seperti Sufyan ath-Thawri, Rabah bin
Amr al-Qaysi, dan Malik bin Dinar.

Ajaran-ajaran Rabi'ah tentang tasawuf dan sumbangannya terhadap


perkembangan sufisme dapat dikatakan sangat besar. Sebagai seorang guru dan
penuntun kehidupan sufistik, Rabi'ah banyak dijadikan panutan oleh para sufi dan
secara praktis penulis-penulis besar sufi selalu membicarakan ajarannya dan mengutip
syair-syairnya sebagai seorang ahli tertinggi. Di antaramereka adalah Abu Thalib al-
Makki, As-Suhrawandi, dan teolog muslim, Al-Ghazali yang mengacu pada ajaran-
ajaran Rabi'ah sebagai doktrin-doktrin dalam sufisme.

Cinta murni kepada Tuhan adalah puncak tasawuf Rabi’ah. Syair-syair


kecintaannya kepada Allah kemudian banyak keluar dari ucapan sufi-sufi besar seperti
Fariduddin Al-Athar, Ibnu Fardih, Al-Hallaj, Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi telah
dimulai lebih dahulu oleh Rabi’ah. Setengah dari syairnya adalah:

“ Aku cinta padamu dua macam cinta

Cinta rindu
dan cinta karena engkau berhak menerima cintaku
Adapun cinta, karena Engkau
Hanya Engkau yang aku kenang
Tiada yang lain
Adapun cinta karena Engkau berhak menerimanya
Agar Engkau buka kan aku hijab
Supaya aku dapat melihat Engkau
Pujian atas kedua perkara itu bukanlah bagiku
Pujian atas kedua perkara itu adalah bagi Mu sendiri ”

Ulama besar Al-Ghazali banyak mendapatkan pengaruh dari kezuhudan Rabi'ah

16
Al-Ghazali memberikan pendapatnya tentang syair Rabi’ah itu. Menurut Al
ghazali, yang dimaksud dengan cinta kerinduan adalah cinta akan Allah karena
nikmat-Nya diatas dirinya karena Allah telah menganugerahinya hidup sehingga ia
dapat menyebut nama-Nya. Dan cinta kedua, yaitu cinta karena Allah berhak
menerimanya, ialah cinta karena menyaksikan keindahan Allah dan kebesarannya
yang kian hari kian terbuka baginya. Maka itulah cinta yang setingi-tingginya. Dalam
syair yang lain, Rabi’ah berkata:

“ Ku jadikan Engkau teman bercakap dalam hidupku

Tubuh kasarku biar bercakap dengan yang duduk


isimku biar bercengkrama dengan tolanku
Isi hatiku hanyalah teteap engkau sendiri

5. Abu Huraira

Abdurrahman bin Shakhr Al-Azdi (bahasa Arab: ‫)عبدالرحمن بن صخر األذدي‬


(lahir 598 - wafat 678), yang lebih dikenal dengan panggilan Abu
Hurairah (bahasa Arab: ‫رة‬-‫و هري‬-‫)أب‬, adalah seorang Sahabat Nabi yang terkenal
dan merupakan periwayat hadits yang paling banyak disebutkan dalam isnad-
nya oleh kaum Islam Sunni.
Ibnu Hisyam berkata bahwa nama asli Abu Hurairah adalah Abdullah
bin Amin dan ada pula yang mengatakan nama aslinya ialah Abdur Rahman
bin Shakhr.
Abu Hurairah berasal dari kabilah Bani Daus dari Yaman. Ia
diperkirakan lahir 21 tahun sebelum hijrah, dan sejak kecil sudah menjadi
yatim. Ketika mudanya ia bekerja pada Basrah binti Ghazawan, yang kemudian
setelah masuk Islam dinikahinya. Nama aslinya pada masa jahiliyah
adalah Abdus-Syams (hamba matahari) dan ia dipanggil sebagai Abu
Hurairah (ayah/pemilik kucing) karena suka merawat dan memelihara kucing.
Diriwayatkan atsar oleh Imam At-Tirmidzi dengan sanad yang mauquf hingga

17
Abu Hurairah. Abdullaah bin Raafi' berkata, "Aku bertanya kepada Abu
Hurairah, "Mengapa engkau bernama kuniyah Abu Hurairah?" Ia menjawab,
"Apakah yang kau khawatirkan dariku?" Aku berkata, "Benar, demi Allah,
sungguh aku khawatir terhadapmu." Abu Hurairah berkata, "Aku dahulu
bekerja menggembalakan kambing keluargaku dan di sisiku ada seekor kucing
kecil (Hurairah). Lalu ketika malam tiba aku menaruhnya di sebatang pohon,
jika hari telah siang aku pergi ke pohon itu dan aku bermain-main dengannya,
maka aku diberi kuniyah Abu Hurairah (bapaknya si kucing kecil)."
Thufail bin Amr, seorang pemimpin Bani Daus, kembali ke
kampungnya setelah bertemu dengan Nabi Muhammad dan menjadi muslim. Ia
menyerukan untuk masuk Islam, dan Abu Hurairah segera menyatakan
ketertarikannya meskipun sebagian besar kaumnya saat itu menolak. Ketika
Abu Hurairah pergi bersama Thufail bin Amr ke Makkah, Nabi Muhammad
mengubah nama Abu Hurairah menjadi Abdurrahman (hamba Maha Pengasih).
Ia tinggal bersama kaumnya beberapa tahun setelah menjadi muslim, sebelum
bergabung dengan kaum muhajirin di Madinah tahun 629. Abu Hurairah
pernah meminta Nabi untuk mendoakan agar ibunya masuk Islam, yang
akhirnya terjadi. Ia selalu menyertai Nabi Muhammad sampai dengan wafatnya
Nabi tahun 632 di Madinah.
Umar bin Khattab pernah mengangkat Abu Hurairah menjadi gubernur
wilayah Bahrain untuk masa tertentu. Saat Umar bermaksud mengangkatnya
lagi untuk yang kedua kalinya, ia menolak. Ketika perselisihan terjadi
antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan, ia tidak berpihak
kepada salah satu di antara mereka.
Abu Hurairah adalah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits
dari Nabi Muhammad, yaitu sebanyak 5.374 hadits. Di antara yang
meriwayatkan hadist darinya adalah Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Anas bin
Malik, Jabir bin Abdullah, dan lain-lain. Imam Bukhari pernah berkata:
"Tercatat lebih dari 800 orang perawi hadits dari
kalangan sahabat dan tabi'in yang meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah".

18
Marwan bin Hakam pernah menguji tingkat hafalan Abu Hurairah
terhadap hadits Nabi. Marwan memintanya untuk menyebutkan beberapa
hadits, dan sekretaris Marwan mencatatnya. Setahun kemudian, Marwan
memanggilnya lagi dan Abu Hurairah pun menyebutkan semua hadits yang
pernah ia sampaikan tahun sebelumnya, tanpa tertinggal satu huruf.
Salah satu kumpulan fatwa-fatwa Abu Hurairah pernah dihimpun oleh
Syaikh As-Subki dengan judul Fatawa' Abi Hurairah. Abu Hurairah sejak kecil
tinggal bersama Rasulullah.
Abu Hurairah termasuk salah satu di antara kaum fakir muhajirin yang
tidak memiliki keluarga dan harta kekayaan, yang disebut Ahlush Shuffah,
yaitu tempat tinggal mereka di depan Masjid Nabawi. Abu Hurairah
mempunyai seorang anak perempuan yang menikah dengan Said bin
Musayyib, yaitu salah seorang tokoh tabi'in terkemuka.
Pada tahun 678 atau tahun 59 H, Abu Hurairah jatuh sakit, meninggal di
Madinah, dan dimakamkan di Jannatul Baqi.

19

Anda mungkin juga menyukai