Anda di halaman 1dari 12

1|Page

Biografi Imam Abu Hanifah

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬


Nama dan Kelahiran Imam Abu Hanifah
Abu Hanifah salah seorang diantara Imam Madzhab yang empat
(Madzahibul Arba’ah), pendiri Mazhab Hanafi.
Beliau adalah an-Nu’man bin Tsabit bin al-Marzuban, lebih dikenal
dengan Kunyahnya1 yakni Abu Hanifah.
Beliau berasal dari keluarga mulia di kaumnya, asalnya dari Kabul – ibu
kota Afganistan sekarang ini – termasuk keturunan bangsa Persia, kakeknya,
yakni al-Marzuban masuk Islam di masa Kekhilafahan Umar bin Khattab
radhiyallahu anhu, kemudian berpindah ke Kufah2 dan bertempat tinggal di
sana.
Imam Abu Hanifah lahir pada tahun 80 H (sekitar tahun 700 M) di
Kufah, yakni pada masa kekuasaan Abdul Malik bin Marwan3. Al-Khatib al-
Bagdadi meriwayatkan dengan sanadnya kepada Ismail bin Hammad bin an-
Nu’man bin Tsabit bin al-Marzuban:
“Demi Allah, kami sama sekali tidak pernah menjadi budak, kakekku
(Imam Abu Hanifah) lahir pada tahun 80 H, Tsabit (bapaknya Imam Abu
Hanifah) mendatangi Ali bin Abi Thalib ketika masih kecil, lalu Abu Thalib
mendo’akannya dengan keberkahan bagi dirinya dan anak keturunannya.
Kami berharap Allah subhanahu wa ta'ala telah mengabulkan do’a
tersebut”.4

1
Kunyah adalah sebutan yang diawali dengan kata Abu atau Ummu, dan ini termasuk Adab Islam yang
terpuji, bahkan ketika seseorang belum punya anak.
2
Salah satu kota di Irak, sebelah selatan kota Bagdad sekitar 156 KM darinya, kota ini pernah menjadi ibu
kota kekhilafahan di masa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu.
3
Beliau adalah Khalifah kelima diantara para Khalifah Bani Umayyah.
4
Tarikh Bagdad (13/ 326), lihat pula kitab Abu Hanifah an-Nu’man Imamul Aimmah al-Fuqaha karya Wahby
Sulaiman Gawiji, hal. 48
2|Page

Abu Abdillah bin Ahmad bin Kidam berkata: “Allah telah menjawab
do’anya, Allah subhanahu wa ta'ala menjadikannya khalifah di muka bumi,
orang yang memiliki pengikut terbanyak di muka bumi dalam agama, dan
manusia mengekor kepadanya dalam masalah Fiqih”.5
Imam asy-Syafii rahimahullah berkata:
َّ ‫من أراد أن‬
‫يتبحر في الفقه فهو عيال على أبي حنيفة‬
“Barang siapa hendak berwawasan luas dalam masalah Fiqih, maka –
pastinya – ia mengekor kepada Abu Hanifah”.6
Beliau pernah melihat Anas bin Malik sebagaimana disebutkan oleh
ad-Dzahabi dalam Siar, ini menunjukan bahwa beliau termasuk golongan
Tabi’in.
Faidah:
1. Tingginya kedudukan do’a.
2. Dahulu Kufah adalah tempat berkumpulnya para ulama.
3. Imam Abu Hanifah masuk generasi Tabiin, diantara generasi mulia
dalam agama Islam.

---&&&---

5
Muqaddimatu Ta’lim karya al-Muhaddits al-Faqih Mas’ud bin Syaibah as-Sindi, lihat kitab pula kitab Abu
Hanifah an-Nu’man Imamul Aimmah al-Fuqaha karya Wahby Sulaiman Gawiji, hal. 48
6
Al-Khatib dalam Tarikh Bagdad (15/ hal. 473)
3|Page

Kehidupan Masa Kecil Imam Abu Hanifah


Imam Abu Hanifah di masa kecilnya hidup di Kufah dari keluarga
Muslim yang kaya, bapaknya adalah seorang pedagang kain di toko miliknya
di Kufah. Abu Hanifah adalah anak kesayangan orang tuanya, dan beliau
hafal al-Qur’an sejak kecil seperti teman-temannya yang cerdas pada waktu
itu.
Pada awalnya beliau tidak memiliki majlis khusus belajar agama,
sampai pada akhirnya beliau berjumpa dengan as-Sya’bi yang menjadi
pembuka kebaikan untuknya guna belajar agama secara khusus.
Abu Muhammad al-Haritsi meriwayatkan dengan sanadnya sampai
kepada Imam Abu Hanifah rahimahullah, beliau berkata:
“Pernah suatu hari aku melewati asy-Sya’bi7 ketika beliau sedang
duduk-duduk. Beliau memanggilku, lalu bertanya: “Kemana engkau biasa
pergi?” jawabku: “Kepada si Fulan”, beliau berkata: “Maksudku bukan pergi
ke Pasar, akan tetapi kepada ulama siapa biasanya kamu pergi (untuk belajar
agama)”. Jawabku: “Jarang aku pergi kepada mereka (untuk itu)”. Beliau
berkata: “Jangan seperti itu ! hendaklah kau perhatikan ilmu (agama), dan
duduk bersama para ulama, karena aku melihat kecerdasan dalam dirimu”.
Kata-kata itu membekas dalam diriku, akhirnya aku pun tinggalkan
kebiasaanku pergi ke Pasar dan aku sibuk mengambil ilmu, Allah
memberikan manfaat kepadaku dengan sebab perkataan itu”.8
Ketika usia enam belas tahun, bapaknya membawa beliau untuk pergi
haji dan berziarah ke masjid Nabawi, Imam Abu Hanifah bercerita:
“Aku pergi haji bersama bapakku pada tahun 96 Hijriah, ketika itu
usiaku 16 tahun, di sana aku melihat seorang Syaikh (Tuan guru) yang
dikelilingi oleh banyak orang, lalu aku bertanya kepada bapakku: “Siapakah
dia?” jawab beliau: “Dia adalah seseorang yang pernah berjumpa dengan

7
Seorang Tabiin, beliau ulama Hadits dan Fiqih seumur dengan Imam Hasan al-Bashri, wafat di Kufah pada
tahun 103 H.
8
Uqudul Juman fi Manaqib Imam Abu Hanifah an-Nu’man oleh Muhammad bin Yusuf bin Ali bin Yusuf ad-
Dimasqi, lihat pula kitab Abu Hanifah an-Nu’man Imamul Aimmah al-Fuqaha karya Wahby Sulaiman Gawiji,
hal. 49
4|Page

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, namanya Abdullah bin Harits bin


Jaz’u az-Zubaidi”. Aku bertanya kembali: “Apa yang dimilikinya ?” jawab
bapakku: “Hadits-hadits yang pernah ia dengar dari Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam”. Aku berkata: “Bawa aku ke sana”. Akhirnya bapakku
berjalan di depanku, dan orang-orang pun memberikan jalan untukku,
akhirnya aku pun bisa mendekatinya, aku mendengar dia berkata:
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‘Barang siapa belajar
agama Allah maka Allah akan menghilangkan segala kegalauannya dan Allah
akan memberikan kepadanya rizki dari jalan yang ia tidak kira”.9
Ilmu agama yang pertama kali beliau pelajari adalah ilmu Ushulud Din
atau ilmu Akidah, juga ilmu tentang mendebat orang-orang yang
menyimpang, bahkan beliau pernah mendebat Jahm bin shafwan, mendebat
kaum Mu’tazilah, Khawarij demikian pula Syiah, dan menjadikan mereka
semua tidak berkutik. Kendati demikian beliau melarang murid-muridnya
debat, beliau pernah melarang putranya yakni Hammad dari berdebat,
Hammad pun berkata: “Aku melihat Ayah berdebat, akan tetapi engkau
melarang kami darinya”. Jawab Imam Abu Hanifah: “Ketika aku berdebat
seolah-olah burung itu ada di kepalaku, aku khawatir lawan bicaraku itu
keliru, sementara kalian ingin lawan bicara kalian itu keliru, barang siapa
ingin lawan bicaranya keliru, maka berarti dia ingin lawan bicarnya kufur, dan
barang siapa yang ingin lawan bicaranya kufur maka dia telah kafir sebelum
lawan bicaranya kafir”.10
Awal keterkarikan Imam Abu Hanifah terhadap ilmu Fiqih:
Zupar pernah bercerita, aku mendengar Abu Hanifah berkata:
“Awalnya aku mempelajari ilmu kalam sehingga menjadi orang terpandang
dalam bidang tersebut, dan aku pun biasa duduk di Majlis Hammad bin Abi
Sulaiman, lalu seorang wanita datang kepadaku seraya bertanya: “Seorang
lelaki hendak menthalaq istrinya di atas Sunnah, berapa kali dia mesti
menthalaqnya?” lalu aku memerintahkan dia untuk bertanya kepada

9
Dibawakan oleh Imam al-Kurduri dalam kitabnya Manaqib Imam Abu Hanifah, lihat pula kitab Abu Hanifah
an-Nu’man Imamul Aimmah al-Fuqaha karya Wahby Sulaiman Gawiji, hal. 50
10
Manaqib Imam Abi Hanifah karya Ibnul Bazzazi (1/ 121) lihat pula kitab Abu Hanifah an-Nu’man Imamul
Aimmah al-Fuqaha karya Wahby Sulaiman Gawiji, hal. 50
5|Page

Hammad, kemudian kembali kepadaku untuk mengabarkan jawabannya,


lalu dia pun bertanya kepada Hammad. Jawabnya (Hammad): “Hendaklah
dia mentahalaqnya satu kali saja dalam keadaan wanita itu suci dari haid dan
belum digauli, kemudian dia membiarkannya sehingga dia melalui masa haid
sebanyak tiga kali, lalu jika dia telah mandi maka dia halal untuk menikah
dengan laki-laki lainnya. Dia pun kembali dan mengabarkan hal itu kepadaku.
Aku berkata: “Aku tidak butuh ilmu kalam”, lalu aku mengambil sandalku dan
duduk di majlis Hammad seraya mendengarkan masalah-masalahnya, aku
menghafal apa yang ia katakan…”11

Fawaid:
1. Kata-kata itu memberikan pengaruh yang sangat besar.
2. Jadilah pembuka kebaikan !
3. Imam Abu Hanifah seorang Imam Ahlus Sunnah, yang mendebat
kelompok bid’ah.
4. Ilmu Kalam ditinggalkan oleh beliau, karena tidak memberikan
manfaat apa-apa.

Berguru kepada Hammad bin Abi Sulaiman


Setelah mengetahui pentingnya ilmu Fiqih, maka beliau sepenuh hati
berusaha untuk mempelajarinya dengan berguru kepada Hammad bin Abi
Sulaiman, siapakah beliau ?
Beliau adalah Hammad bin Muslim bin Yazid (Abu Sulaiman), yang
berguru kepada Ibrahim an-Nakhai12. Keilmuan beliau (Hammad) diakui oleh
gurunya sendiri, Ibnu Adi dalam kitabnya al-Kamil meriwayatkan dengan
sanadnya sampai kepada Abdul Malik bin Iyas asy-Syaibani, dia bertanya

11
12
Seorang Tabiin yang masyhur dengan keilmuannya di bidang Fiqih, Hadits dan Qira’ah.
6|Page

kepada Ibrahim an-Nakhai, “Kepada siapakah aku bertanya setelah engkau


tiada?” jawaban beliau: “Kepada Hammad”.
Suatu hari Ibrahim an-Nakhai meminta Hammad untuk membeli
daging sambil membawa wadah dan membawa uang satu dinar, kemudian
Hammad bertemu dengan bapaknya yang melihatnya membawa wadah
tersebut, lalu bapaknya memarahinya dan membuang wadah tersebut dari
tangannya13. Setelah Ibrahim an-Nakhai wafat datanglah para ulama hadits
dan orang-orang Khurasan mengetuk pintu rumah Abu Sulaiman Muslim bin
Yazid (bapaknya Hammad), lalu bapaknya pun keluar. Mereka berkata:
“Bukan engkau yang kami inginkan, akan tetapi kami menginginkan
Hammad”, akhirnya bapaknya pun masuk kembali dan meminta Hammad
untuk menemui mereka seraya berkata: “Sekarang aku tahu, wadah itu telah
menjadikanmu seperti ini”14.
Hammad seorang ulama yang terkenal dengan kedermawannya.
Imam asy-Syafii rahimahullah berkata: “Senantiasa aku mencintai Hammad
bin Abi Sulaiman karena cerita yang sampai kepadaku, bahwa suatu hari
beliau sedang naik kendaraan lalu kancing bajunya putus, beliau melewati
seorang tukang jahit dan hendak memperbaiki kancing bajunya itu, lalu
tukang jahit pun memperbaikinya, setelah itu Hammad mengambil uang dari
sakunya beberapa dinar, kemudian beliau memberikannya kepada tukang
jahit, dia pun meminta maaf bahwa yang diberikannya hanya sedikit dan dia
bersumpah hanya itu yang ia miliki15.
Kembali kepada Imam Abu Hanifah dengan Hammad bin Abi Sulaiman.
Imam Abu Hanifah meriwayatkan sebanyak dua ribu hadits Ahkam
dari Hammad, beliau belajar secara khusus kepadanya selama 18 tahun.
Begitu besar penghormatan Abu Hanifah kepada Hammad, Abu Syaikh
Ibnu Hayyan meriwayatkan dalam Thabaqat Muhadditsi Ashbahan, dari
Atikah saudarinya Hammad bin Abi Sulaiman:

13
Hal itu karena bapaknya melihat bahwa Hammad berkhidmat kepada manusia, padahal berkhidmat
kepada para ulama adalah kemuliaan.
14
Abu Hanifah an-Nu’man oleh Wahbi Sulaiman Gawaji, hal. 40
15
Hayatul Imam Abi Hanifah oleh Sayyid Afifi, hal. 27. Lihat dalam Abu Hanifah an-Nu’man oleh Wahbi
Sulaiman Gawaji, hal. 41
7|Page

“An-Nu’man dahulu biasa ada di pintu rumah kami, beliau membusar


16
kapas milik kami, membelikan susu dan sayuran untuk kami dan pekerjaan-
pekerjaan lainnya. Jika ada seseorang bertanya kepadanya, maka dia
berkata: “Apa pertanyaanmu?” dia berkata: “Ini dan itu”, lalu An-Nu’man
(Abu Hanifah) berkata: “Jawabannya adalah seperti ini”, kemudian dia
berkata: “Jangan dulu pergi !” lalu beliau masuk mendatangi Hammad seraya
berkata: “Tadi ada orang bertanya, lalu aku jawab seperti ini, bagaimana
pendapatmu?” Hammad berkata: “Mereka meriwayatkan kepadaku seperti
ini, kawan-kawan kami mengatakan seperti ini, Ibrahim berkata demikian”,
lalu an-Nu’man berkata: “Bolehkah aku meriwayatkan darimu?” beliau
menjawab: “Iya,” demikianlah keadaanya, selalu menyertai guru dan
berkhidmat secara terus menerus”.17
Al-Muwaffaq al-Makki meriwayatkan dengan sanadnya sampai
kepada Muhammad bin al-Hasan bin Abil Basyir, beliau berkata: Aku
mendengar Abu Hanifah berkata: “Setelah wafatnya Hammad, tidaklah aku
melakukan shalat kecuali aku beristigfar untuknya dan untuk kedua orang
tuaku. Sungguh aku beristigfar untuk orang tempat aku belajar atau aku
mengajarkan ilmu untuknya”. Juga diriwayatkan bahwa beliau berkata: “Aku
tidak pernah menselonjorkan kakiku ke arah rumah Hammad karena
menghormati beliau”, padahal antara rumah beliau dan Hammad dihalangi
oleh tujuh gang”.

Manhaj dan Akidah Imam Abu Hanifah


Bahasan tentang Manhaj dan Akidah adalah bahasan paling penting
dalam sejarah hidup seorang Imam, karena dia adalah panutan para pengikut
dan murid-muridnya.
Sebagaimana disampaikan sebelumnya Imam Abu Hanifah adalah
seorang Imam dari para Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan beliau
meninggalkan Ilmu Kalam juga melarangnya, oleh karena itu Muhammad

16
Membersihkan kapas dari biji-bijinya.
17
Lihat dalam Abu Hanifah an-Nu’man oleh Wahbi Sulaiman Gawaji, hal. 55-56
8|Page

Ibnul Hasan – salah seorang murid beliau – pernah berkata: “Abu Hanifah
senantiasa mendorong kami untuk mempelajari Fiqih dan melarang kami
dari Ilmu kalam”18.
Ibnu Abdil Barr meriwayatkan dalam kitabnya al-Intiqa, bahwa Imam
Abu Hanifah berkata:
َ ْ َ َْ ََ َ ْ ََ َّ ُ َ َّ ُ َ ْ َ َ ‫آخذ بك‬
‫اب‬ِ ‫ت‬ ‫ك‬
ِ ‫ي‬ ‫ف‬ ِ ‫د‬ ‫ج‬ِ ‫أ‬ ‫م‬‫ل‬ ‫ا‬‫م‬‫ف‬ ‫سلم‬ ‫و‬ ‫ه‬
ِ ‫ي‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫هللا‬ ‫صلى‬ ‫ه‬
ِ ‫الل‬ ‫ل‬ ِ ‫و‬ ‫س‬ ‫ر‬ ‫ة‬
ِ ‫ن‬ ‫س‬ ‫ب‬
ِ ‫ف‬ ‫د‬ ‫ج‬ ِ ‫أ‬ ‫فمالم‬ ‫هللا‬ ‫اب‬ ‫ت‬ ِِ
ُ ُ َ َ
ْ ‫الله صلى هللا َع َل ْيه َوسلم أ َخ ْذ ُت ب َق ْول أ‬ َّ ُ ُ َّ ُ َّ
‫ص َح ِاب ِه آخذ ِب َق ْو ِل َم ْن‬ ِ ِ ِ ِ ‫الل ِه والفى سنة َرسو ِل‬
َ َ َ َ ْ َ ْ َ ْ
‫ِشئ ُت ِم ْن ُه ْم َوأ َد ُع َم ْن ِشئ ُت ِم ْن ُه ْم َوال أخ ُر ُج ِم ْن ق ْوِل ِه ْم ِإلى ق ْو ِل غ ْي ِر ِه ْم‬
“Aku mengambil dari Kitabullah, jika tidak aku dapatkan maka dari
Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, jika aku tidak
mendapatkannya dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah maka aku ambil
dari perkataan shahabatnya, aku mengambil perkataan siapa saja yang aku
mau diantara mereka, dan aku meninggalkan perkataan siapa saja yang aku
mau diantara mereka, aku tidak keluar dari perkataan mereka menuju
perkataan selain mereka”19.
Demikianlah manhaj (cara beragama) Imam Abu Hanifah yang sangat
jelas. Adapun perkataan bahwa Imam Abu Hanifah mendahulukan Qiyas
daripada Nash, maka itu adalah tuduhan yang tidak disertai bukti, bahkan
beliau sendiri berkata:

‫كذب وهللا وافترى علينا من يقول إننا نقدم القياس على النص وهل يحتاج بعد النص‬
‫إلى القياس‬
“Demi Allah, dia berdusta dan mengatakan sesuatu atas nama kami
tanpa bukti. Siapa yang mengatakan bahwa kami mendahulukan Qiyas di
atas nash? dan apakah seseorang butuh Qiyas setelah adanya Nash?”20.
Beliau pun berkata:

18
Dzammul Kalam karya Imam al-Harawi ( 5/221)
19
Al-Intiqa karya Imam Ibnu abdil Barr (hal. 142)
20
Al-Mizanul Kubra karya as-Sya’rani (1/ 65)
9|Page

‫ليس ألحد أن يقول برأيه مع كتاب هللا تعالى وال مع سنة رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
‫وال مع ما أجمع عليه الصحابة‬
“Tidak seorang pun berbicara dengan pendapatnya sendiri sementara
masalah tersebut ada dalam al-Qur’an, tidak pula sementara ada dalam
Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak pula sementara ada
dalam kesepakatan para shahabat”.21
Diantara perkara yang menunjukan akidah beliau adalah sebagai
berikut:

‫ املأمور به ما استفيد من قوله‬، ‫ال ينبغي ألحد أن يدعو هللا إال به والدعاء املأذون فيه‬
‫ وهلل األسماء الحسنى فادعوه بها وذروا الذين يلحدون في أسمائه سيجزون ما‬: ‫تعالى‬
‫كانوا يعملون‬
“Tidak dibenarkan bagi seseorang berdo’a kepada Allah kecuali
dengan menyebut-Nya, dan do’a yang diizinkan bahkan diperintah adalah
yang diambil dari firman-Nya (Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka
bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan
tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam
(menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan
terhadap apa yang telah mereka kerjakan)”22.
Ini masuk dalam bahasan Tauhid Uluhiyyah, yakni bahwa berdo’a
hanya dibenarkan dengan menyebut nama-Nya bukan nama mahluk seperti
sebagian orang yang bertawassul dengan yang sudah meninggal.
Beliau pun berkata:

، ‫ وغضبه ورضاه صفتان من صفاته بال كيف‬، ‫ال يوصف هللا تعالى بصفات املخلوقين‬
‫ ورضاه‬، ‫ غضبه عقوبته‬: ‫ وال يقال‬، ‫ وهو يغضب ويرض ى‬، ‫وهو قول أهل السنة والجماعة‬
‫ ونصفه كما وصف نفسه‬، ‫ثوابه‬

21
Ukudul Juman Fi Manakibil Imam al-A’zham karya Muhammad ash-Shalihi (hal. 175)
22
Ad-Durrul Mukhtar (6/ 396)
10 | P a g e

“Allah ta’ala tidak disifati dengan sifat mahluk. Marah dan ridho-Nya
adalah dua sifat diantara sifat-sifat-Nya tanpa kita harus menetapkan
Kaifiyyah (wujud nyatanya bagi Allah), inilah pendapat Ahlus Sunnah wal
Jama’ah. Allah marah dan ridha, dan tidak boleh dikatakan bahwa yang
dimaksud dengan marah adalah hukuman-Nya dan yang dimaksud dengan
ridha adalah pahala dari-Nya, kita hanya mensifati-Nya sebagaimana Allah
mensifati diri-Nya”23.
Perkataan di atas menunjukan akidah beliau dalam masalah asma was
sifat, yakni mensifati Allah sebagaimana yang Allah dan Rasul-Nya sifati
tanpa mentakwil, tanpa mentasybih, tanpa menentukan kaifiyyah (wujud
nyatanya bagi Allah), juga tanpa menta’thil.
Bahkan beliau pun berkata:

‫ وكذا من قال إنه على العرش‬، ‫من قال ال أعرف ربي في السماء أم في األرض فقد كفر‬
‫وال أدري العرش أفي السماء أم في األرض‬
“Barang siapa mengatakan, aku tidak tahu Rabku apakah dia di langit
atau di bumi, maka sungguh dia telah kafir. Demikian pula orang yang
berkata, Allah ada di atas arasy akan tetapi aku tidak tahu dimana Arasy,
apakah di langit atau di bumi”.24

Sifat dan Akhlaq Imam Abu Hanifah


Sebelum menjelaskan sifat dan akhlaq beliau, termasuk yang sangat
penting adalah mengetahui guru-guru beliau juga murid-muridnya.
Imam Abu Hanifah berguru kepada banyak ulama bahkan ada yang
mengatakan sampai empat ribu guru. Imam Abu Hanifah pun berjumpa
dengan beberapa shahabat, dan karena itulah beliau dimasukan pada
generasi Tabiin, hanya saja para ulama berbeda pendapat apakah dalam
perjumpaannya itu beliau meriwayatkan hadits dari mereka atau tidak ?

23
Al-Fiqhul Absath (hal 56)
24
Al-Fiqhul Absath (46), disebutkan pula oleh ad-Dzahabi dalam kitabnya al-Uluw (101-102)
11 | P a g e

diantara shahabat yang pernah beliau jumpai adalah Anas bin Malik dan
Abdullah bin Harits bin Jaz’u az-Zubaidi.
Diantara guru-guru beliau adalah Ibrahim an-Nakhai, Hammad bin Abi
Sulaiman, Atha bin Abi Rabah, Ikrimah, Amir as-Sya’bi, dan yang lainnya.
Selanjutnya tentang murid-muridnya:
Al-Khatib al-Bagdadi menyebutkan dalam kitab Tarikhnya dengan
sanadnya sampai kepada Abu Karomah, beliau berkata: Pernah aku berada
di majlis Waqi bin Jarrah (guru Imam asy-Syafii), lalu seseorang berkata: ‘Abu
Hanifah keliru’, lalu Waqi berkata: “Bagaimana Abu Hanifah bersalah
sementara bersamanya ada orang seperti Abu Yusuf , Muhammad Ibnul
Hasan, dan Zufar dalam Qiyas dan Ijtihadnya, bersamanya ada Yahya bin
Zakaria Ibni Abi Zaidah, Hafhs bin Gayyats, juga Hibban dan Mandal
keduanya ahli dalam masalah hadits, bersamanya ada al-Qasim bin Ma’an
bin Abdirrahman bin Abdillah bin Mas’ud yang ahli dalam ilmu bahasa dan
Nahwu, bersamanya ada Dawud ath-Thai dan Fudhail bin Iyad dalam
masalah kewara’an, bersamanya ada Abdullah Ibnul Mubarak dalam
masalah Tafsir, hadits dan sejarah. Bagaimana beliau keliru sementara
orang-orang seperti mereka ada di sekelilingnya, mereka semuanya
memujinya, dan kalau lah keliru niscaya mereka akan meluruskannya”.25
Imam Abu Hanifah kulitnya coklat keputih-putihan, badannya kurus
dan agak tinggi dengan wajahnya yang tampan. Berbicara sangat baik dan
fasih, pilih-pilih dalam berpakain dan senang memakai minyak wangi,
diketahui ketika dia datang dan pergi.
Hammad putra Imam Abu Hanifah berkata: “Sungguh Abu Hanifah
rahimahullah, orangnya tinggi, berkulit coklat, bagus pakaiannya26, tampan
wajahnya, indah penampilannya, banyak pakai minyak wangi yang diketahui
ketika dia datang dan keluar dari rumah sebelum terlihat orangnya”27.
Adapun terkait dengan akhlaq beliau, maka sungguh akhlaq adalah
cerminan hati dan akidah seseorang. Beliau seorang ulama besar yang

25
Tarikh Bagdad (14/ 250)
26
Yakni pakaiannya bagus dan mahal, demikianlah jika kita mampu untuk membelinya maka lakukanlah.
27
Qalaid Uqudid Durar (27-29)
12 | P a g e

pernah berjumpa dengan beberapa shahabat, juga belajar dari ulama-ulama


besar dari kalangan Tabiin, murid senior beliau, yakni Abu Yusuf pernah
ditanya oleh Khalifah ar-Rasyid tentang akhlaq Abu Hanifah, beliau
menjawab:
“Demi Allah, beliau orang yang sangat membela aturan-aturan Allah,
menjauhi Ahli Dunia, sering diam banyak berfikir, dan bukan orang yang
banyak ngomong. Jika beliau ditanya dan bersamanya ilmu maka beliau
jawab. Aku tidak mengetahuinya – wahai Amirul Mu’minin – kecuali orang
yang sangat menjaga diri dan agamanya, sibuk dengan dirinya sendiri
daripada orang lain, beliau tidak pernah menyebut seseorang kecuali
kebaikan”.
Lalu ar-Rasiyd berkata: “Itulah Akhlaq orang-orang shalih”28.
Al-Muwaffaq membawakan riwayat dengan sanadnya sampai kepada
Imam Ahmad bin Hanbal, al-Muwaffaq berkata, “Nama Abu Hanifah di
sebutkan di hadapan Ahmad bin Hanbal, lalu beliau berkata: ‘Semoga Allah
merahmatinya, beliau adalah orang yang sangat wara, dipaksa untuk
menjadi hakim sampai dicampuk sebanyak 21 kali, akan tetapi beliau tetap
menolaknya’.29

28
lihat kitab Abu Hanifah an-Nu’man Imamul Aimmah al-Fuqaha karya Wahby Sulaiman Gawiji, hal. 82
29
Manaqib al-Muwaffaq al-Makki (2/ 148)

Anda mungkin juga menyukai