1
dikenal sebagai ulama yang gigih mendalami ilmu. Lahir dengan nama Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal, Imam Hanbali dibesarkan oleh ibunya, karena sang ayah
meninggal dalam usia muda. Hingga usia 16 tahun, Hambali belajar Al-Qur'an dan ilmu-
ilmu agama lain kepada ulama-ulama Baghdad. Setelah itu, ia mengunjungi para ulama
terkenal di berbagai tempat seperti Kufah, Basrah, Syam, Yaman, Mekkah dan Madinah.
Beberapa gurunya antara lain Hammad bin Khalid, Ismail bil Aliyyah, Muzaffar bin
Mudrik, Walin bin Muslim, dan Musa bin Tariq. Dari merekalah Hambali muda
mendalami fikih, hadits, tafsir, kalam, dan bahasa. Karena kecerdasan dan ketekunannya,
Hambali dapat menyerap semua pelajaran dengan baik.
Kecintaannya kepada ilmu begitu luar biasa. Karenanya, setiap kali mendengar
ada ulama terkenal di suatu tempat, ia rela menempuh perjalanan jauh dan waktu lama
hanya untuk menimba ilmu dari sang ulama. Kecintaan kepada ilmu jua yang menjadikan
Hambali rela tak menikah dalam usia muda. Ia baru menikah setelah usia 40 tahun.
Pertama kali, ia menikah dengan Aisyah binti Fadl dan dikaruniai seorang putra bernama
Saleh. Ketika Aisyah meninggal, ia menikah kembali dengan Raihanah dan dikarunia
putra bernama Abdullah. Istri keduanya pun meninggal dan Hambali menikah untuk
terakhir kalinya dengan seorang jariyah, hamba sahaya wanita bernama Husinah. Darinya
ia memperoleh lima orang anak yaitu Zainab, Hasan, Husain, Muhammad, dan Said. Tak
hanya pandai, Imam Hambali dikenal tekun beribadah dan dermawan. Imam Ibrahim bin
Hani, salah seorang ulama terkenal yang jadi sahabatnya menjadi saksi akan kezuhudan
Imam Hambali. ''Hampir setiap hari ia berpuasa dan tidurnya pun sedikit sekali di waktu
malam. Ia lebih banyak shalat malam dan witir hingga Shubuh tiba,'' katanya. Mengenai
kedermawanannya, Imam Yahya bin Hilal, salah seorang ulama ahli fikih, berkata, ''Aku
pernah datang kepada Imam Hambali, lalu aku diberinya uang sebanyak empat dirham
sambil berkata, 'Ini adalah rezeki yang kuperoleh hari ini dan semuanya kuberikan
kepadamu.''' Imam Hambali juga dikenal teguh memegang pendirian. Di masa hidupnya,
aliran Mu'tazilah tengah berjaya. Dukungan Khalifah Al Ma'mun dari Dinasti Abbasiyah
yang menjadikan aliran ini sebagai madzhab resmi negara membuat kalangan ulama
berang. Salah satu ajaran yang dipaksakan penganut Mu'tazilah adalah paham Al-Qur'an
merupakan makhluk atau ciptaan Tuhan. Banyak umat Islam yang menolak pandangan
itu.
Imam Hambali termasuk yang menentang paham tersebut. Akibatnya, ia pun
dipenjara dan disiksa oleh Mu'tasim, putra Al Ma'mun. Setiap hari ia didera dan dipukul.
Siksaan ini berlangsung hingga Al Wasiq menggantikan ayahnya, Mu'tasim. Siksaan
tersebut makin meneguhkan sikap Hambali menentang paham sesat itu. Sikapnya itu
membuat umat makin bersimpati kepadanya sehingga pengikutnya makin banyak kendati
ia mendekam dalam penjara. Sepeninggal Al Wasiq, Imam Hambali menghirup udara
kebebasan. Al Mutawakkil, sang pengganti, membebaskan Imam Hambali dan
memuliakannya. Namanya pun makin terkenal dan banyaklah ulama dari berbagai
pelosok belajar kepadanya. Para ulama yang belajar kepadanya antara lain Imam Hasan
bin Musa, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Abu Zur'ah Ad
Dimasyqi, Imam Abu Zuhrah, Imam Ibnu Abi, dan Imam Abu Bakar Al Asram.
Sebagaimana ketiga Imam lainnya; Syafi'i, Hanafi dan Maliki, oleh para muridnya,
ajaran-ajaran Imam Ahmad ibn Hanbali dijadikan patokan dalam amaliyah (praktik)
ritual, khususnya dalam masalah fikih. Sebagai pendiri madzhab tersebut, Imam Hambali
memberikan perhatian khusus pada masalah ritual keagamaan, terutama yang bersumber
pada Sunnah.
2
kemunafikan dan kejahatan. Kata-kata rayuan dan penipuan telah mengelabuhi manusia
hingga mereka meninggalkan kesejahteraan hidup yang dihalalkan, yang biasa disebut
wara’ atau zuhud.
Ahmad yang sejak kecil hafal al-Qur’an, memahami hukum-hukumnya, dan
mempelajari ilmu hadist untuk berhadapan dengan kehidupan dunia yang demikian parah.
Apapun yang beliau lakukan tidak lain adalah untuk menunjukkan bahwa beliau
membenci kehidupan dunia seperti itu. Beliau menamakan semua itu dengan bid’ah dan
bernazar untuk meluruskannya dan menghidupkan sunnah Rasulullah SAW. Namun
sebagian masyarakat menuduhnya sebagai orang yang mempersulit pelaksanaan agama.
Imam Ahmad yang hidup dimasa penuh dengan bid’ah dan agama ditawar-tawar
sehingga menggoyangkan sendi-sendinya, karena itu beliau memutuskan untuk selalu
berpegang pada al-Qur’an dengan sekuat-kuatnya. Ahmad tertuntut untuk mencari jalan
bagi pembebasan diri dan bersikap keras dalam menegakkan kebenaran serta
membebaskan orang-orang yang menjadi hamba bagi kondisi mereka. Alangkah jeleknya
kondisi waktu itu!
Yang mulia Imam Hambali selaku seorang alim besar dari ahli sunnah, senantiasa
bersikap keras akan urusan bid’ah dan orang yang ahli bid’ah, sebagai buktinya
ditunjukkan pada :
a. Beliau pernah berkata : “pokok pangkal “sunnah” itu bagi saya ialah memegang
teguh dan mengikut dengan kokohnya kepada apa yang pernah dilakukan oleh para
sahabat Nabi, dan menjauhi atau meninggalkan perbuatan bid’ah, karena tiap-tiap
bid’ah di dalam urusan agama itu sesat”. Jadi, sudah cukup jelas bahwa segala
perbuatan bid’ah yang bertalian dengan urusan ibadah itu sesat, dan tiap-tiap
kesesatan itu di dalam nerakalah tempat kembalinya.
b. Beliau juga pernah berkata : “janganlah kamu bertukar fikiran dengan orang ahli
bid’ah di dalam urusan agamamu, dan janganlah kamu berkawan dengan seorangpun
dengan mereka itu di dalam pelayanmu”. Sehingga sudahlah jelas akan sikap Imam
Hambali atas bid’ah itu sendiri dan juga orang-orang yang termasuk dalam ahli
bid’ah.
3
pendapat tersebut, karena beliau adalah orang yang paling ingin meniru Rasulullah SAW.
Beliau berkata “Ahli hadist adalah orang yang mengamalkannya”.
Sepanjang riwayat, ketia yang mulai Imam Syafi’i diminta oleh baginda harun al-
Rasyid untuk mencari ahli hukum dan yang berilmu pengethuan dalm pusat
pemerintahannya, maka Imam Syafi’i menunjuk Imam Hanabli untuk mendudukinya.
Namun, berulang kali dan secara tegas Imam Hanbali berkata : “Saya datang kepada
engkau ini hendak menuntut ilmu pengetahuan, bukan hendak mencari kedudukan atau
pangkat disisi kepala negara”. Meskipun demikian, Imam Ahmad tidak dapat menjauh
dari politik, karena politik selalu menyertai kehidupan dan politik juga mengantarkan
manusia mendekati kemaslahatan dan menjauhi kerusakan.
Begitu juga ketika aliran Mu’tazilah menguasai pemerintahan Ma’mun bin Harun
al-Rasyid yang membaca ajaran tentang kemahlukan al-Qur’an, kebijakan ini mendapat
reaksi keras dari para ahli fiqih aliran ahlussunah terutama Imam Ahmad. Tetapi,
kebijakan politik oleh penguasa Khalifah Ma’mun dan Mu’tashim tidak mampu
menyurutkan dan merubah pendiriannya, meskipun beliau mendapat penyiksaan keras
dari mereka. Bahkan semakin keras penyiksaan itu, semakin kuat pula pendiriannya.
Hingga akhirnya, muncullah seorang khalifah baru berpaham Ahlussunah yang berhasil
membasmi para pengikut aliran Mu’tazilah.
4. Pemikiran Imam Hambali
a. Wacana Keilmuwan Yang Digunakan. Dalam pesantrennya setiap selesai sholat
ashar, Imam Ahmad membiasakan memberi fatwa dan bersama dengan peserta
pesantrennya menyebutkan diri dengan apa yang dilakukan oleh para ulama salaf
dalam pesantren mereka, yaitu pengkajian al-Qur’an dan tafsirnya. Beliau
mengajukan bahwa ayat al-Qur’an itu ditafsirkan oleh sebagian yang lain oleh
sebagian yang lain atau oleh hadits dan atsar para sahabat. Beliau lebih
menekankan pada pesantrennya untuk menetapkan pengetahuan di bidang bahasa
arab, sastra dan ilmu bahasanya agar mereka dapat memahami al-Qur’an dan
hadits dengan mudah.
Adapun ilmu-ilmu lainnya yang tersebar dimasa Imam Ahad adalah tentang
perbincangan masalah akidah. Sebagian para pemikir dan fuqaha juga pernah
mambahas tentang Jabr dan ikhtiar. Sementara yang lainnya lagi berpendapat
bahwa tindakan-tindakan dan sifat Allah yang dapat ditangkap dengan panca
indra haruslah ditakwilkan dari maknanya yang lain. Mereka memperpanjang dan
membicarakan semua itu dengan ilmu kalam.
b. Metode Istinbat Hukum.
Telah kita kenal bahwasanya Ahmad bin Hambal dikenal luas sebagai pembela
hadits Nabi yang gigih. Hal ini dapat dilihat dari cara-cara yang digunakannya
dalam memutuskan hukum. Ia tidak suka menggunakan akal, kecuali dalam
keadaan sangat terpaksa atau sangat perlu dan sebatas tidak ditentukan hadits
yang menjelaskannya. Ibn Hanbal sangat berhati-hati tentang riwayat hadits,
karena hadits sebagai dasar tidak akan didapatkan faedahnya tanpa memiliki
riwayatnya. Dalam hal ini beliau berkata-kata “Barangsiapa yang tidak
mengumpulkan hadits dengan riwayatnya serta pembedaan pendapat
mengenainya, tidak boleh memberikan penilaian tentang hadits tersebut dan
berfatwa berdasarkannya”.
Kemudian, tentang dasar-dasar yang dipakai Ahmad bin Hanbal dalam
memutuskan hukum, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan gurunya, Imam
Syafi’i, yang didasarkan atas lima hal :
Nash al-Qur’an dan Hadits Marfu’. Selama ada teks ini, Ahmad pasti akan
memutuskannya berdasarkan teks tersbut, meskipun ada dasar lain.
Fatwa para sahabat Nabi. Apabila beliau tidak mendapatkan suatu nash
terang, baik dari al-Qur’an maupun sunnah, barulah menggunakan fatwa dari
sahabat yang dirasa tidak ada fatwa lain yang menandinginya. Katanya “itu
bukanlah ijma’”. Fatwa sahabat didahulukan daripada akal atau qiyas.
4
Apabila terjadi perbedaan pendapat dikalangan sahabat, maka beliau
Mengambil pendapat yang lebih dekat dengan bunyi teks al-Qur’an atau
hadits dan tidak akan mencari yang lainnya. Akan tetapi bila semuanya tidak
jelas, maka beliau tidak akan mengambil kesimpulan apapun.
Hadits Mursal dan Hadits Dha’if.
Jalan ini diambil bila tidak dijumpai hadits lain yang setingkat. Hadits dha’if
menurutnya ialah “yang tidak batil” atau “tidak munkar”, atau yang
didalamnya tidak terdapat perawi yang muttaham, karena beliau memadang
bahwa hadits dho’if yang bertingkatan tidak sampai ketingkat shahit, tetapi
termasuk dalam hadits hasan itu lebih kuat dan lebih baik daripada qiyas.
Qiyas
Beliau menggunakan qiyas bila sudah dalam keadaan terpaksa karena tidak
didapatkan dalam hadits mursal ataupun dha’if dan juga fatwa para sahabat.
Tentang ijma’, pendirian Imam Hanbali ini sebenarnya tiak berbeda dengan
pendirian Imam Syafi’i, karena Imam Syafi’i sendiri pernah berkata “Barang apa
yang belum diketahui ada perselisihan di dalamnya itu belum atau bukan ijma’
namanya”. Sedangkan Imam hanbali berpendapat bahwa ijma’ tidak diakui
keberadaannya setelah periode sahabat. Beliau berkata, “apa yang dituduh oleh
seseorang tentang ijma’ adalah dusta”. Beliau bukannya tidak mengakui ijma’ setelah
periode sahabat, tetapi tidak memungkinkan akan terjadinya. Karena itu beliau lebih
berpegang pada qiyas setelah teks al-Qur’an, sunnah dan atsar sahabat.
Kemudian pendirian Imam Hanbali terdapat ra’yi dan ahli ra’yi dalam hukum
keagamaan, tidak berbeda dengan para imam ahli hadits seperti Imam Maliki, Imam
Syafi’i, dan lainnya, yakni hukum agama tidak selayaknya dan tidak pada tempatnya
jika hanya bersandar atas pendapat dari buah fikiran orang yang tidak pada tempatnya
jika hanya bersandar atas dalil atau alasan dari al-Qur’an ataupun sunnah.
Imam Hanbali bukan seorang yang fanatik akan pendapt yang sampai padanya.
Sehinga beliau sering melarang penulis fiqih yang diajarkannya, karena seringnya
berubah pandangan. Beliau khawatir bila fiqih dibukukan, maka hukum-hukum
syariat akan beku dan taklid akan merajalela sepanjang masa. Sedang fiqih
seyogyanya selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan tuntutan zaman.
5
maka ia tidak akan menetapkan salah satunya, tetapi mengambil sikap diam
atau meriwayatkan kedua-duanya.
4. Keempat, mengambil hadits mursal (hadits yang dalam sanadnya tidak
disebutkan nama perawinya), dan hadits dhaif (hadits yang lemah, namun
bukan 'maudu', atau hadits lemah). Dalam hal ini, hadits dhaif didahulukan
daripada qias. Dan kelima adalah qias, atau analogi. Qias digunakan bila tidak
ditemukan dasar hukum dari keempat sumber di atas. Pada awalnya madzhab
Hambali hanya berkembang di Baghdad. Baru pada abad ke-6 H, madzhab ini
berkembang di Mesir. Perkembangan pesat terjadi pada abad ke-11 dan ke-12
H, berkat usaha Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) dan Ibnu Qayyim (w. 751 H).
Kedua tokoh inilah yang membuka mata banyak orang untuk memberikan
perhatian pada fikih madzhab Hambali, khususnya dalam bidang muamalah.
Kini, madzhab tersebut banyak dianut umat Islam di kawasan Timur Tengah.
Hasil karya Imam Hambali tersebar luas di berbagai lembaga pendidikan
keagamaan. Beberapa kitab yang sampai kini jadi kajian antara lain Tafsir Al-
Qur'an, An Nasikh wal Mansukh, Jawaban Al-Qur'an, At Tarikh, Taat ar
Rasul, dan Al Wara. Kitabnya yang paling terkenal adalah Musnad Ahmad bin
Hanbal.
3. Metode penghimpunan
Sesuai dengan definisinya, hadits-hadits di dalam musnad disusun
berdasarkan para sahabat yang meriwayatkannya. Ada beberapa cara penyusunan
urutan sahabat dalam penulisan kitab-kitab musnad. Sebagian musnad
menyusunnya secara alfabetis. Sebagian yang lain menuliskannya berdasarkan
kabilah. Model sistematika penyusunan Musnad Ahmad berbeda dengan dua
model tadi.
Tidak ada kriteria tunggal yang dijadikan standar oleh Imam Ahmad
dalam penyusunan urutan sahabat di Musnadnya. Dia memulai urutan itu dengan
empat orang al-Khulafa ar-Rasyidun, diikuti kemudian dengan 6 sahabat lain yang
termasuk ke dalam 10 orang yang dijamin masuk surga. Sampai di sini, kriteria
yang digunakannya barangkali adalah kedudukan atau tingkatan para sahabat
berdasarkan siapa di antara mereka yang terlebih dahulu masuk Islam (al-
asbaqiyyah fi al-Islam). Kemudian Imam Ahmad menulis riwayat para Ahl al-
Bayt dan sanak kerabat Rasulullah, termasuk anggota Bani Hasyim. Setelah
mereka, Imam Ahmad beralih kepada kriteria jumlah periwayatan dengan
mencantumkan para sahabat yang meriwayatkan hadits dalam jumlah besar (al-
muktsirun min al-riwayah).
Selanjutnya, dia menggunakan kriteria tempat dan domisili. Dalam kriteria
ini, Imam Ahmad menyebutkan riwayat-riwayat para sahabat yang tinggal di
Mekah (al-Makkiyyun), lalu mereka yang tinggal Madinah (al-Madaniyyun), lalu,
secara berurutan, mereka yang tinggal di Syam (al-Syamiyyun), di Kufah (al-
Kufiyyun), dan di Basrah (al-Bashriyyun). Barulah, pada bagian berikutnya,
Imam Ahmad mencantumkan riwayat-riwayat para sahabat Anshar, kemudian
para sahabat perempuan.
Mengenai penulisan bab, Imam Ahmad menjadikan setiap sahabat sebagai
bab tersendiri. Di dalamnya, dia mencantumkan seluruh hadits yang
diriwayatkannya dari sahabat tersebut lengkap dengan sanadnya. Jika terdapat
perbedaan sanad atau demi tujuan tertentu, Imam Ahmad mengulang kembali
pencantuman sanad atau matan hadits seringkali kedua-duanya pada tempat yang
berbeda. Karena itu, jumlah hadits yang mengalami pengulangan mencapai
seperempat bagian Musnadnya.
Imam Ahmad juga menggunakan kata ”musnad” atau ”hadits” secara
bergantian dalam penulisan judul bab. Secara umum, jika sebuah bagian meliputi
beberapa orang sahabat, dia menggunakan kata ”musnad”, seperti Musnad Ahl al-
Bayt atau Musnad al-Madaniyyin. Kemudian untuk setiap sahabat di dalam
kelompok itu, dia menggunakan kata ”hadits”, seperti Hadits al-Hasan atau Hadits
Tsabit ibn ’Abdillah, meski bab tersebut berisi lebih dari satu hadits. Tetapi hal ini
tidak berlaku secara keseluruhan. Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Bakar dan Umar, misalnya, diletakkan di dalam bab yang berjudul Musnad Abi
Bakr dan Musnad ’Umar.
10
Jika ada dua hadits yang sanadnya sama dan disebutkan berurutan di
dalam Musnad, maka Imam Ahmad hanya mencantumkan sanad tersebut di hadits
yang pertama dan tidak mencantumkannya di hadits yang kedua. Sementara jika
dua hadits tersebut memiliki sanad yang berbeda, maka Imam Ahmad
mencantumkan masing-masing sanad itu pada hadits yang bersangkutan. Dalam
persoalan redaksi periwayatan hadits (shighah al-ada`), Imam Ahmad dikenal
sangat ketat. Ia berpendapat bahwa seseorang tidak boleh mengubah shighah al-
ada` sebagaimana yang telah didengarnya dari gurunya. Artinya, jika gurunya
meriwayatkan hadits dengan redaksi “haddatsana”, misalnya, maka ia tidak boleh
mengubahnya dengan “akhbarana”. Karena itu, kita dapat mengasumsikan bahwa,
dalam Musnad Ahmad, semua shighah al-ada` ditulis sebagaimana adanya.
11
2. Kualitas hadits yang ada dalam Musnad mencakup shahih, sunnan dan
muwattha'.
3. Ada kemungkinan Musnad ini sangat jarang sekali digunakan sebagai rujukan
untuk mengatasi sebuah masalah yang berkaitan dengan fiqh, aqidah dan
sebagainya, karena penyusunannya tidak berdasarkan tema, melainkan
berdasarkan nama sahabat.
4. Jumlah matan hadits lebih banyak dari kitab-kitab hadits yang lain.
5. Kitab Musnad terdapat banyak pengulangan-pengulangan matan hadits yang
berjumlah kurang lebih 10.000 pengulangan, sedangkan dalam kitab lain tidak
demikian.
Alasan kenapa masuk standar kutubut tis’ah
1. Musnad mencakup semua matan hadits yang terdapat di Shahih, Sunnan dan
Muwattha'
2. Sosok Imam Ahmad yang sangat selektif dalam pemilihan p
DAFTAR PUSTAKA
Khalil, K.H. Munawar, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Bulan Bintang, Jakarta,
1983.
Asy-Syarqawi Abdurrahman, Kehidupan, Pemikiran dan Perjuangan Lima Imam
Mazhab Terkemuka, Al-Bayan, Bandung, 1994.
Mushtofa Al-Maraghi Abdullah, Pakar-Pakar Fiqh Sepajang Sejarah, LKPSM,
Yogyakarta, 2001.
Munawir Imam, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam Dari Masa ke Masa,
PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1985.
Ash-Shiddieqy, Hasbi, Prof. Dr. TM, Pengantar Ilmu Fiqih, Bulan Bintang, Jakarta,
1978.
Abdurrahman Asy-Syarqawi, 5 Imam Mazhab Terkemuka, al-Bayan, Bandung,
1994, hlm 148.
Ibid, hlm. 140.
Ibid, 142.
K.H. Munawar Khalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Bulan Bintang,
Jakarta, 1983, hlm. 290.
Abdurrahman asy-Syarqawi, Op. Cit, hlm. 153-154.
Ibid.
K.H. Munawar Khalil, Op.Cit, hlm. 265.
Armstrong,Karen.2002.Islam Sejarah Singkat.Yogyakarta:Jendela.
Hassan,Ibrahim Hassan.1989.Sejarah dan Kebudayaan Islam.Yogyakarta:Kota
Kembang.
Shiddieqy,Teungku Muhammad Hasbi Ash.1999.Pengantar Ilmu
Fiqih.Semarang:PT. Pustaka Rizki Putra
14