Anda di halaman 1dari 14

IMAM AHMAD BIN HAMBAL

(Pendiri Madzhab HAMBALI) 164-241 H

1. Biografi Ahmad bin Hanbal serta Latar Belakang


Nama lengkap Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin ilal bin As’ad bin Idris bin
Abdullah bin Khayan bin Abdullah bin Annas bin Auf bin Qasit bin Mazan bin Syaiban
bin Dahl bin Tsaklaba bin Uqabah bin Syuaib bin Ali bin Bakr bin Wail bin Qasit bin
Hannab bin Aqsha bin Dakmi bin Jadilah bin As’ad bin Radiah bin Nazar nin Muadz bin
Adnan bin ‘Adi bin ‘Adad bin Humaisyak bin Khamal bin Nibthi bin Khazar bin Ismail
bin Ibrahim as. Panggilan sehari-harinya Abu Abdullah. Ahmad bin Hanbal dilahirkan di
Baghdad pada bulan Rabi’ul Awal tahun 164 Hijriah (780 Masehi) dan wafat pada
tanggal 12 Rabi’ul Awwal, tahun 241 H. . Ayahnya menjabat sebagi walikota Sarkhas
dan pendukung pemerintahan Abbasiyah. Menurut satu riwayat, ayahandanya yang
bernama Muhammad asy-Syalbani telah meninggalkan beliau sebelum dilahirkan ke
dunia fana ini. Sehingga beliau tumbuh remaja hanya dalam asuhan ibundanya, Syafiyah
binti Maimunah seorang wanita dari golongan terkemuka kaum Banu Amir.
Imam Ahmad adalah seorang zuhud, bersih hatinya dari segala macam pengaruh
kebendaan. Beliau juga dikenal seorang yang pendiam tetapi beliau tertarik untuk selalu
berdiskusi dan tidak segan meralat pendapatnya sendiri apabila jelas bahwa pendapat
orang lain lebih benar. Beliau adalah orang yang berwawasan luas, ulama yang sangat
dalam pemahamannya terhadap ruh syariat. Selama hayatnya, Imam Ahmad cinta sekali
kepada sunnah Rasulullah SAW, sehingga mendorongnya untuk banyak meniru
Rasulullah dalam segala urusan agama dan dunia. Beliau tidak hafal satu hadispun
kecuali mengamalkannya. Sehingga ada suatu kalangan yang lebih melihat beliau sebagai
seorang ilmuwan hadist daripada ilmuwan fiqh.
Sebagian fuqoha’ berkata tentang beliau, “Ahmad menguasai seluruh ilmu”.
Selain itu Imam Syafi’i selaku gurunya juga mengungkapkan, “ketika saya meninggalkan
Baghdad, disana tidak ada orang yang lebih pandai dibidang fiqih dan lebih alim
ketimbang Ahmad bin Hanbal”."Ia murid paling cendekia yang pernah saya jumpai
selama di Baghdad. Sikapnya menghadapi sidang pengadilan dan menanggung petaka
akibat tekanan khalifah Abbasiyyah selama 15 tahun karena menolak doktrin resmi
Mu'tazilah merupakan saksi hidup watak agung dan kegigihan yang mengabdikannya
sebagai tokoh besar sepanjang masa." Penilaian ini diungkapkan oleh Imam Syafi'i, yang
tak lain adalah guru Imam Hambali. Menurut Syafi'i, perjuangan mempertahankan
keyakinan yang tak sesuai dengan pemikiran seseorang, selalu menghadapi risiko antara
hidup dan mati. Dan Imam Hambali membuktikan hal itu. Imam Hambali yang dikenal
ahli dan pakar hadits ini memang sangat memberikan perhatian besar pada ilmu yang satu
ini. Kegigihan dan kesungguhannya telah melahirkan banyak ulama dan perawi hadits
terkenal semisal Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud yang tak lain buah
didikannya. Karya-karya mereka seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim atau Sunan Abu
Daud menjadi kitab hadits standar yang menjadi rujukan umat Islam di seluruh dunia
dalam memahami ajaran Islam yang disampaikan Rasulullah SAW lewat hadits-
haditsnya. Kepakaran Imam Hambali dalam ilmu hadits memang tak diragukan lagi
sehingga mengundang banyak tokoh ulama berguru kepadanya. Menurut putra
sulungnya, Abdullah bin Ahmad, Imam Hambali hafal hingga 700.000 hadits di luar
kepala.
Hadits sejumlah itu, diseleksi secara ketat dan ditulisnya kembali dalam kitab
karyanya Al Musnad. Dalam kitab tersebut, hanya 40.000 hadits yang dituliskan kembali
dengan susunan berdasarkan tertib nama sahabat yang meriwayatkan. Umumnya hadits
dalam kitab ini berderajat sahih dan hanya sedikit yang berderajat dhaif. Berdasar
penelitian Abdul Aziz al Khuli, seorang ulama bahasa yang banyak menulis biografi
tokoh sahabat, sebenarnya hadits yang termuat dalam Al Musnad berjumlah 30 ribu
karena ada sekitar 10 ribu hadits yang berulang. Kepandaian Imam Hambali dalam ilmu
hadits, bukan datang begitu saja. Tokoh kelahiran Baghdad, 780 M (wafat 855 M) ini,

1
dikenal sebagai ulama yang gigih mendalami ilmu. Lahir dengan nama Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal, Imam Hanbali dibesarkan oleh ibunya, karena sang ayah
meninggal dalam usia muda. Hingga usia 16 tahun, Hambali belajar Al-Qur'an dan ilmu-
ilmu agama lain kepada ulama-ulama Baghdad. Setelah itu, ia mengunjungi para ulama
terkenal di berbagai tempat seperti Kufah, Basrah, Syam, Yaman, Mekkah dan Madinah.
Beberapa gurunya antara lain Hammad bin Khalid, Ismail bil Aliyyah, Muzaffar bin
Mudrik, Walin bin Muslim, dan Musa bin Tariq. Dari merekalah Hambali muda
mendalami fikih, hadits, tafsir, kalam, dan bahasa. Karena kecerdasan dan ketekunannya,
Hambali dapat menyerap semua pelajaran dengan baik.
Kecintaannya kepada ilmu begitu luar biasa. Karenanya, setiap kali mendengar
ada ulama terkenal di suatu tempat, ia rela menempuh perjalanan jauh dan waktu lama
hanya untuk menimba ilmu dari sang ulama. Kecintaan kepada ilmu jua yang menjadikan
Hambali rela tak menikah dalam usia muda. Ia baru menikah setelah usia 40 tahun.
Pertama kali, ia menikah dengan Aisyah binti Fadl dan dikaruniai seorang putra bernama
Saleh. Ketika Aisyah meninggal, ia menikah kembali dengan Raihanah dan dikarunia
putra bernama Abdullah. Istri keduanya pun meninggal dan Hambali menikah untuk
terakhir kalinya dengan seorang jariyah, hamba sahaya wanita bernama Husinah. Darinya
ia memperoleh lima orang anak yaitu Zainab, Hasan, Husain, Muhammad, dan Said. Tak
hanya pandai, Imam Hambali dikenal tekun beribadah dan dermawan. Imam Ibrahim bin
Hani, salah seorang ulama terkenal yang jadi sahabatnya menjadi saksi akan kezuhudan
Imam Hambali. ''Hampir setiap hari ia berpuasa dan tidurnya pun sedikit sekali di waktu
malam. Ia lebih banyak shalat malam dan witir hingga Shubuh tiba,'' katanya. Mengenai
kedermawanannya, Imam Yahya bin Hilal, salah seorang ulama ahli fikih, berkata, ''Aku
pernah datang kepada Imam Hambali, lalu aku diberinya uang sebanyak empat dirham
sambil berkata, 'Ini adalah rezeki yang kuperoleh hari ini dan semuanya kuberikan
kepadamu.''' Imam Hambali juga dikenal teguh memegang pendirian. Di masa hidupnya,
aliran Mu'tazilah tengah berjaya. Dukungan Khalifah Al Ma'mun dari Dinasti Abbasiyah
yang menjadikan aliran ini sebagai madzhab resmi negara membuat kalangan ulama
berang. Salah satu ajaran yang dipaksakan penganut Mu'tazilah adalah paham Al-Qur'an
merupakan makhluk atau ciptaan Tuhan. Banyak umat Islam yang menolak pandangan
itu.
Imam Hambali termasuk yang menentang paham tersebut. Akibatnya, ia pun
dipenjara dan disiksa oleh Mu'tasim, putra Al Ma'mun. Setiap hari ia didera dan dipukul.
Siksaan ini berlangsung hingga Al Wasiq menggantikan ayahnya, Mu'tasim. Siksaan
tersebut makin meneguhkan sikap Hambali menentang paham sesat itu. Sikapnya itu
membuat umat makin bersimpati kepadanya sehingga pengikutnya makin banyak kendati
ia mendekam dalam penjara. Sepeninggal Al Wasiq, Imam Hambali menghirup udara
kebebasan. Al Mutawakkil, sang pengganti, membebaskan Imam Hambali dan
memuliakannya. Namanya pun makin terkenal dan banyaklah ulama dari berbagai
pelosok belajar kepadanya. Para ulama yang belajar kepadanya antara lain Imam Hasan
bin Musa, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Abu Zur'ah Ad
Dimasyqi, Imam Abu Zuhrah, Imam Ibnu Abi, dan Imam Abu Bakar Al Asram.
Sebagaimana ketiga Imam lainnya; Syafi'i, Hanafi dan Maliki, oleh para muridnya,
ajaran-ajaran Imam Ahmad ibn Hanbali dijadikan patokan dalam amaliyah (praktik)
ritual, khususnya dalam masalah fikih. Sebagai pendiri madzhab tersebut, Imam Hambali
memberikan perhatian khusus pada masalah ritual keagamaan, terutama yang bersumber
pada Sunnah.

2. Setting Sosial-Budaya Pada Masa Imam Hanbali


Ketika menginjak masa muda, Ahmad melihat kehidupan orang-orang
disekitarnya sangat mengagumkan. Namun semaraknya bid’ah telah mengancam sunnah.
Orang yang berpendidikan telah mencelakakan orang yang tidak tahu, para penimbun
harta kenyang dengan emas dan perak timbunannya, tetapi mereka tidak tahu bagaimana
mereka akan membelanjakannya. Tidak jarang pula mereka terjerumus dalam

2
kemunafikan dan kejahatan. Kata-kata rayuan dan penipuan telah mengelabuhi manusia
hingga mereka meninggalkan kesejahteraan hidup yang dihalalkan, yang biasa disebut
wara’ atau zuhud.
Ahmad yang sejak kecil hafal al-Qur’an, memahami hukum-hukumnya, dan
mempelajari ilmu hadist untuk berhadapan dengan kehidupan dunia yang demikian parah.
Apapun yang beliau lakukan tidak lain adalah untuk menunjukkan bahwa beliau
membenci kehidupan dunia seperti itu. Beliau menamakan semua itu dengan bid’ah dan
bernazar untuk meluruskannya dan menghidupkan sunnah Rasulullah SAW. Namun
sebagian masyarakat menuduhnya sebagai orang yang mempersulit pelaksanaan agama.
Imam Ahmad yang hidup dimasa penuh dengan bid’ah dan agama ditawar-tawar
sehingga menggoyangkan sendi-sendinya, karena itu beliau memutuskan untuk selalu
berpegang pada al-Qur’an dengan sekuat-kuatnya. Ahmad tertuntut untuk mencari jalan
bagi pembebasan diri dan bersikap keras dalam menegakkan kebenaran serta
membebaskan orang-orang yang menjadi hamba bagi kondisi mereka. Alangkah jeleknya
kondisi waktu itu!
Yang mulia Imam Hambali selaku seorang alim besar dari ahli sunnah, senantiasa
bersikap keras akan urusan bid’ah dan orang yang ahli bid’ah, sebagai buktinya
ditunjukkan pada :
a. Beliau pernah berkata : “pokok pangkal “sunnah” itu bagi saya ialah memegang
teguh dan mengikut dengan kokohnya kepada apa yang pernah dilakukan oleh para
sahabat Nabi, dan menjauhi atau meninggalkan perbuatan bid’ah, karena tiap-tiap
bid’ah di dalam urusan agama itu sesat”. Jadi, sudah cukup jelas bahwa segala
perbuatan bid’ah yang bertalian dengan urusan ibadah itu sesat, dan tiap-tiap
kesesatan itu di dalam nerakalah tempat kembalinya.
b. Beliau juga pernah berkata : “janganlah kamu bertukar fikiran dengan orang ahli
bid’ah di dalam urusan agamamu, dan janganlah kamu berkawan dengan seorangpun
dengan mereka itu di dalam pelayanmu”. Sehingga sudahlah jelas akan sikap Imam
Hambali atas bid’ah itu sendiri dan juga orang-orang yang termasuk dalam ahli
bid’ah.

3. Kehidupan Politik Pada Masa Imam Hanbali


Ahmad bin Hanbal mengetahui bahwa yang paling mengundang kemarahan para
penguasa bani Abbas adalah penyebaran fiqh Ali bin Abi Thalib. Keturunannya berkali-
kali mengadakan pemberontakan terhadap para khalifah yang berbuat aniaya dari Bani
Umayyah, juga terhadap para khalifah Bani Abbas. Hal inilah yang mengakibatkan
timbulnya berbagai peperangan besar. Fiqih Imam Ali dan keputusan-keputusannya
hanya dihafal oleh sejumlah kecil ulama, terutama dari kalangan syi’ah.
Kemudian setelah Bani Abbas merasa khawatir terhadap fiqih Ali, maka itu
dipergunakan oleh para penentang fiqih Imam Ali untuk mengkritiknya. Hingga akhirnya
Bani Abbas tidak tahan menghadapi pertentangan tersebut, dan bila ada orang yang
datang menyampaikan pengaduan, kritikan, atau rintangan, maka pasti akan merasakan
tajamnya pedang para algojo atau lidahnya membisu dibalik tembok penjara.
Namun demikian, Imam Ahmad tidak bisa bersikap masa bodoh terhadap
perilaku tersebut. Imam Ahmad mencari fiqih dan keputusan para Khulafaur Rasyidin,
kemudian beliau mulai menyiarkan dan mempersaksikannya. Imam Ahmad tidak ingin
berpolitik tetapi mulai hanya berpendapat wajib mentaati khalifah meskipun mereka
menyimpang. Sebab, menurut beliau, taat kepada penguasa yang menyimpang itu lebih
baik ketimbang fitnah yang tidak hanya menimpa orang-orang yang berbuat aniaya saja.
Akan tetapi bukan berarti mendiamkan saja khalifah yang zalim. Dan menasehatinya
akan lebih baik daripada memberontaknya.
Ahmad bin Hanbal tidak menerjunkan dirinya langsung dalam kancah konflik
politik yang menyala-nyala. Akan tetapi, beliau berpendapat dengan sesuatu yang beliau
yakni kebenarannya dalam rangka mengikuti sunnah bagaimanapun caranya mencapai

3
pendapat tersebut, karena beliau adalah orang yang paling ingin meniru Rasulullah SAW.
Beliau berkata “Ahli hadist adalah orang yang mengamalkannya”.
Sepanjang riwayat, ketia yang mulai Imam Syafi’i diminta oleh baginda harun al-
Rasyid untuk mencari ahli hukum dan yang berilmu pengethuan dalm pusat
pemerintahannya, maka Imam Syafi’i menunjuk Imam Hanabli untuk mendudukinya.
Namun, berulang kali dan secara tegas Imam Hanbali berkata : “Saya datang kepada
engkau ini hendak menuntut ilmu pengetahuan, bukan hendak mencari kedudukan atau
pangkat disisi kepala negara”. Meskipun demikian, Imam Ahmad tidak dapat menjauh
dari politik, karena politik selalu menyertai kehidupan dan politik juga mengantarkan
manusia mendekati kemaslahatan dan menjauhi kerusakan.
Begitu juga ketika aliran Mu’tazilah menguasai pemerintahan Ma’mun bin Harun
al-Rasyid yang membaca ajaran tentang kemahlukan al-Qur’an, kebijakan ini mendapat
reaksi keras dari para ahli fiqih aliran ahlussunah terutama Imam Ahmad. Tetapi,
kebijakan politik oleh penguasa Khalifah Ma’mun dan Mu’tashim tidak mampu
menyurutkan dan merubah pendiriannya, meskipun beliau mendapat penyiksaan keras
dari mereka. Bahkan semakin keras penyiksaan itu, semakin kuat pula pendiriannya.
Hingga akhirnya, muncullah seorang khalifah baru berpaham Ahlussunah yang berhasil
membasmi para pengikut aliran Mu’tazilah.
4. Pemikiran Imam Hambali
a. Wacana Keilmuwan Yang Digunakan. Dalam pesantrennya setiap selesai sholat
ashar, Imam Ahmad membiasakan memberi fatwa dan bersama dengan peserta
pesantrennya menyebutkan diri dengan apa yang dilakukan oleh para ulama salaf
dalam pesantren mereka, yaitu pengkajian al-Qur’an dan tafsirnya. Beliau
mengajukan bahwa ayat al-Qur’an itu ditafsirkan oleh sebagian yang lain oleh
sebagian yang lain atau oleh hadits dan atsar para sahabat. Beliau lebih
menekankan pada pesantrennya untuk menetapkan pengetahuan di bidang bahasa
arab, sastra dan ilmu bahasanya agar mereka dapat memahami al-Qur’an dan
hadits dengan mudah.
Adapun ilmu-ilmu lainnya yang tersebar dimasa Imam Ahad adalah tentang
perbincangan masalah akidah. Sebagian para pemikir dan fuqaha juga pernah
mambahas tentang Jabr dan ikhtiar. Sementara yang lainnya lagi berpendapat
bahwa tindakan-tindakan dan sifat Allah yang dapat ditangkap dengan panca
indra haruslah ditakwilkan dari maknanya yang lain. Mereka memperpanjang dan
membicarakan semua itu dengan ilmu kalam.
b. Metode Istinbat Hukum.
Telah kita kenal bahwasanya Ahmad bin Hambal dikenal luas sebagai pembela
hadits Nabi yang gigih. Hal ini dapat dilihat dari cara-cara yang digunakannya
dalam memutuskan hukum. Ia tidak suka menggunakan akal, kecuali dalam
keadaan sangat terpaksa atau sangat perlu dan sebatas tidak ditentukan hadits
yang menjelaskannya. Ibn Hanbal sangat berhati-hati tentang riwayat hadits,
karena hadits sebagai dasar tidak akan didapatkan faedahnya tanpa memiliki
riwayatnya. Dalam hal ini beliau berkata-kata “Barangsiapa yang tidak
mengumpulkan hadits dengan riwayatnya serta pembedaan pendapat
mengenainya, tidak boleh memberikan penilaian tentang hadits tersebut dan
berfatwa berdasarkannya”.
Kemudian, tentang dasar-dasar yang dipakai Ahmad bin Hanbal dalam
memutuskan hukum, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan gurunya, Imam
Syafi’i, yang didasarkan atas lima hal :
 Nash al-Qur’an dan Hadits Marfu’. Selama ada teks ini, Ahmad pasti akan
memutuskannya berdasarkan teks tersbut, meskipun ada dasar lain.
 Fatwa para sahabat Nabi. Apabila beliau tidak mendapatkan suatu nash
terang, baik dari al-Qur’an maupun sunnah, barulah menggunakan fatwa dari
sahabat yang dirasa tidak ada fatwa lain yang menandinginya. Katanya “itu
bukanlah ijma’”. Fatwa sahabat didahulukan daripada akal atau qiyas.

4
Apabila terjadi perbedaan pendapat dikalangan sahabat, maka beliau
Mengambil pendapat yang lebih dekat dengan bunyi teks al-Qur’an atau
hadits dan tidak akan mencari yang lainnya. Akan tetapi bila semuanya tidak
jelas, maka beliau tidak akan mengambil kesimpulan apapun.
 Hadits Mursal dan Hadits Dha’if.
Jalan ini diambil bila tidak dijumpai hadits lain yang setingkat. Hadits dha’if
menurutnya ialah “yang tidak batil” atau “tidak munkar”, atau yang
didalamnya tidak terdapat perawi yang muttaham, karena beliau memadang
bahwa hadits dho’if yang bertingkatan tidak sampai ketingkat shahit, tetapi
termasuk dalam hadits hasan itu lebih kuat dan lebih baik daripada qiyas.
 Qiyas
Beliau menggunakan qiyas bila sudah dalam keadaan terpaksa karena tidak
didapatkan dalam hadits mursal ataupun dha’if dan juga fatwa para sahabat.
Tentang ijma’, pendirian Imam Hanbali ini sebenarnya tiak berbeda dengan
pendirian Imam Syafi’i, karena Imam Syafi’i sendiri pernah berkata “Barang apa
yang belum diketahui ada perselisihan di dalamnya itu belum atau bukan ijma’
namanya”. Sedangkan Imam hanbali berpendapat bahwa ijma’ tidak diakui
keberadaannya setelah periode sahabat. Beliau berkata, “apa yang dituduh oleh
seseorang tentang ijma’ adalah dusta”. Beliau bukannya tidak mengakui ijma’ setelah
periode sahabat, tetapi tidak memungkinkan akan terjadinya. Karena itu beliau lebih
berpegang pada qiyas setelah teks al-Qur’an, sunnah dan atsar sahabat.
Kemudian pendirian Imam Hanbali terdapat ra’yi dan ahli ra’yi dalam hukum
keagamaan, tidak berbeda dengan para imam ahli hadits seperti Imam Maliki, Imam
Syafi’i, dan lainnya, yakni hukum agama tidak selayaknya dan tidak pada tempatnya
jika hanya bersandar atas pendapat dari buah fikiran orang yang tidak pada tempatnya
jika hanya bersandar atas dalil atau alasan dari al-Qur’an ataupun sunnah.
Imam Hanbali bukan seorang yang fanatik akan pendapt yang sampai padanya.
Sehinga beliau sering melarang penulis fiqih yang diajarkannya, karena seringnya
berubah pandangan. Beliau khawatir bila fiqih dibukukan, maka hukum-hukum
syariat akan beku dan taklid akan merajalela sepanjang masa. Sedang fiqih
seyogyanya selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan tuntutan zaman.

Sekilas Tentang Mazhab Hanbali


Untuk sekedar diketahui, bahwa mazhab Imam Hanbali ini mazhab yang kurang
berkembang di dunia Islam. Mula mazhabnya hanya berkermbang di Bagdad, tempat
kediaman Imam Hanbali. Hingga abad IV H, mazhab inipun belum merambah di negara
Mesir, tetapi baru sampai pada perbatasan Irak. Dan baru pada akhir abad VI Hijriah,
mazhab Hanbali terdengar beritanya di Mesir. Kemudian, dengan usaha gigih oleh Ibnu
Taimiyah dan Ibnu Qayim, mazhab ini menjadi lebih berkembang lagi dan di abad 12 H
dengan kesungguhan Muhammad ibn Abdil Wahhab Mazhab Hanbali menjadi mazhab
penduduk Najed. Dan sekarang resmi di pemerintahan Saudi Arabia dan memiliki
pengikut terbesar di Jazirah Arab, Palestina, Syria, Irak.
Menurut Ibnu Qayyim, salah seorang pengikut madzhab Hambali, ada
lima landasan pokok yang dijadikan dasar penetapan hukum dan fatwa madzhab
Hambali.
1. Pertama, nash (Al-Qur'an dan Sunnah). Jika ia menemukan nash, maka ia akan
berfatwa dengan Al-Qur'an dan Sunnah dan tidak berpaling pada sumber
lainnya.
2. Kedua, fatwa sahabat yang diketahui tidak ada yang menentangnya.
3. Ketiga, jika para sahabat berbeda pendapat, ia akan memilih pendapat yang
dinilainya lebih sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi SAW. Jika ternyata
pendapat yang ada tidak jelas persesuaiannya dengan Al-Qur'an dan Sunnah,

5
maka ia tidak akan menetapkan salah satunya, tetapi mengambil sikap diam
atau meriwayatkan kedua-duanya.
4. Keempat, mengambil hadits mursal (hadits yang dalam sanadnya tidak
disebutkan nama perawinya), dan hadits dhaif (hadits yang lemah, namun
bukan 'maudu', atau hadits lemah). Dalam hal ini, hadits dhaif didahulukan
daripada qias. Dan kelima adalah qias, atau analogi. Qias digunakan bila tidak
ditemukan dasar hukum dari keempat sumber di atas. Pada awalnya madzhab
Hambali hanya berkembang di Baghdad. Baru pada abad ke-6 H, madzhab ini
berkembang di Mesir. Perkembangan pesat terjadi pada abad ke-11 dan ke-12
H, berkat usaha Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) dan Ibnu Qayyim (w. 751 H).
Kedua tokoh inilah yang membuka mata banyak orang untuk memberikan
perhatian pada fikih madzhab Hambali, khususnya dalam bidang muamalah.
Kini, madzhab tersebut banyak dianut umat Islam di kawasan Timur Tengah.
Hasil karya Imam Hambali tersebar luas di berbagai lembaga pendidikan
keagamaan. Beberapa kitab yang sampai kini jadi kajian antara lain Tafsir Al-
Qur'an, An Nasikh wal Mansukh, Jawaban Al-Qur'an, At Tarikh, Taat ar
Rasul, dan Al Wara. Kitabnya yang paling terkenal adalah Musnad Ahmad bin
Hanbal.

PEMIKIRAN FIQIH IMAM HAMBALI


Ahmad ibn Hanbal (Imam Hambali) menyibukkan diri sebagai seorang
yang Ahli Hadist (tradisionalist), para ahli theology menyetujui bahwa Imam
Hambali sebagai Ahli Hadist. Adapun hasil pemikirannya tentang Islam mengenai
ilmu fiqih sebagai berikut.
1. Najis dan bersuci
Menurut madzhab Imam Hambali tentang bersuci, Imam Hambali berpendapat
bahwa: “Najis tidak dapat dihilangkan kecuali dengan air”. Dari pendapat Imam
Hambali tersebut, kami dapat memberi sebuah pendapat bahwa yang
dimaksudkan oleh Imam Hambali adalah najis tidak akan dikatakan hilang apabila
belum dibasuh dengan air. Namun air yang seperti apa? Apakah bisa dengan
sembarang air atau bagaimana? Itulah pertanyaan yang timbul ketika kami berfikir
tentang pendapat Imam Hambali mengenai bersuci.
Kemudian ada sebuah pendapat Imam Hambali kembali mengenai bersuci,
“Air tersebut tidak dapat dipergunakan untuk bersuci”. Pernyataan inilah yang
seakan membuat kami menjadi bertanya-tanya, air seperti apakah yang
dimaksudkan? Maka kami dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud oleh Imam
Hambali ialah air yang mampu untuk bersuci harus memiliki syarat mutlak yaitu
air yang suci sekaligus mensucikan. Artinya banyak sekali jenis air yang suci
namun belum tentu mensucikan. Dan tharah menurut pandangan hambali adalah
hilangnya hadas atau semisalnya serta hilangnya najis dari hukum hadas itu
sendiri.
2. Wudlu
Ada beberapa pendapat Imam Hambali mengenai Wudlu, antara lain:
 Membaca Basmalah ketika wudlu adalah wajib.
 Berkumur dan menghirup air kedalam hidung adalah sunnah didalam
wudlu serta mandi.
 Wajib mengusap seluruh kepala.
 Disunnahkan mengusap kepala dengan sekali sapu.
 Kedua telinga termasuk bagian kepala. oleh karena itu, disunnahkan
mengusap keduanya ketika mengusap kepala.
6
 Sunnah mengusap kepala serta telinga dengan sekali usap.
 Boleh mengusap kedua kaki, boleh juga memilih antara membasuh dan
mengusap seluruh kaki.
 Tertib didalam wudlu itu wajib.
Dari beberapa pendapat Imam Hambali tersebut, kami dapat memberi
pendapat bahwa dalam hal wudlu ataupun rukun wudlu itulah yang sekarang ini
dianut oleh kebanyakan masyarakat Islam di Indonesia. Namun ada sebuah
kekurangan atas pendapat Imam Hambali dalam hal wudlu yang sebenarnya wajib
dilakukan dalam rukun wudlu yaitu mengenai membasuh wajah atau muka.
3. Tayamum
Menurut Imam Hambali mengenai Tayamum, ada beberapa pendapat yang
dikemukakan yaitu antara lain:
 Tidak boleh bertayamum kecuali dengan tanah yang suci atau dengan pasir
yang berdebu.
 Mengusap sampai kesiku adalah mustahab (sunnah), sedangkan sampai
kepergelangan tangan adalah wajib.
 Tayamum akan batal secara mutlak jika telah menemukan air.
 Tidak boleh mengerjakan dua sholat fardu dengan satu tayamum, baik bagi
orang mukmin ataupun musyafir.
Dari beberapa pendapat Imam Hambali tersebut mengenai Tayamum, maka
kami berpendapat bahwa tata cara bertayamum serta hal yang membatalkan
tayamum sudah sejalan dengan dasar hukum islam yaitu Al-qur’an. Namun
seperti halnya pendapat Imam Hambali mengenai wudlu,dalam tayamum ini pun
sama. Masih ada sebuah kekurangan tentang mengusap wajah atau muka.
Disamping itu, kami berpendapat mengenai tayamum yang tidak boleh
mengerjakan dua waktu sholat fardu dengan satu tayamum. Artinya ialah hanya
satu waktu sholat saja untuk satu tayamum,apabila untuk melaksanakan sholat
fardu berikutnya harus melakukan tayamum kembali.
4. Sholat
Imam Hambali berpendapat mengenai Sholat antara lain:
 Menutup aurat termasuk syarat-syarat sholat.
 Mengangkat kedua tangan pada waktu takbirotul ikhrom ada tiga
pendapat, yaitu sejajar bahu, sejajar telinga dan boleh memilih diantara
keduanya.
 Bersedekap dengan meletakkan kedua tangan dibawah pusar.
 Wajib membaca Surat Al fatihah pada setiap roka’at sholat.
Berdasarkan pendapat Imam Hambali tersebut mengenai Sholat,kami
berpendapat bahwa dalam sholat seorang muslim atau muslimat wajib menutup
anggota tubuh mereka yang sebagai daerah terlarang untuk diperlihatkan
(aurat),karena dari segi moral bertujuan untuk menjaga kesopanan dan harga diri
seseorang.
Mengenai mengangkat tangan saat takbirotul ikhrom sebagian orang ada yang
sejajar bahu, Namun ada pula yang melakukannya sejajar telinga. Kedua hal
tersebut sah untuk dilakukan, akan tetapi lebih baik dilakukan dengan sejajar
bahu. Karena sesuai dengan anjuran Rosulullah SAW. Begitu pula dengan tata
cara bersedekap,lebih baik diletakkan diatas pusar atau lebih tepatnya di ulu hati.
Selain itu mengenai wajibnya membaca surat Al fatihah itu sangat diharuskan,
karena itu termasuk rukun dan syarat sahnya sholat. Jika hal itu tidak dilakukan
maka sholat yang dilakukan dapat dikatakan sia-sia.
5. Zakat
7
Mengenai membayar zakat, Imam Hambali berpendapat bahwa “Jika
seseorang memiliki barang sampai nisab, maka ia harus mengeluarkan zakatnya”.
Artinya bahwa seseorang yang memiliki harta atau kekayaan yang sudah
mencapai nisab (berat timbangan) sesuai dengan hukum islam. Maka diwajibkan
untuk mengeluarkan zakat. Hal ini bertujuan agar kita belajar untuk saling berbagi
dengan sesama, karena semua hal yang kita punya adalah titipan yang sifatnya
sementara.
6. Puasa
Menurut Imam Hambali mengenai puasa, ada beberapa pendapat diantaranya:
 Waktu niat dalam berpuasa ramadhan antara terbenam matahari hingga
waktu fajar kedua (fajar sadiq).
 Puasa dikatakan batal jika melakukan persetubuhan, namun jika makan
tidak dikatakan batal.
Dari beberapa pendapat Imam Hambali mengenai puasa, kami dapat
memberikan pendapat bahwa dalam melakukan niat puasa dibulan ramadhan itu
pada waktu tenggelam matahari, lebih tepatnya setelah kita usai mengerjakan
sholat tarawih hingga sebelum terbit fajar. Niat tersebut bias saja didalam hati
ataupun diucapkan, karena untuk lebih meyakinkan serta memantapkan akan apa
yang akan dilakukan termasuk niat berpuasa.
Pendapat Imam Hambali mengenai batalnya puasa jika bersetubuh, namun jika
makan puasa itu tidak batal. Imam Hambali berpendapat demikian dengan catatan
bahwa ada unsur paksaan. Namun seperti yang kita tahu bahwa puasa ialah
menahan lapar dan dahaga serta hawa nafsu dari terbit fajar sampai tenggelamnya
matahari. Menurut kami atas dasar pengertian puasa tersebut, bagaimana pun
keadaannya. jika kita makan maka puasa pada saat itu juga dapat dikatakan batal.
7. Haji
Imam hambali dalam pendapatnya mengenai Haji yaitu “Wajib dilaksanakan
dengan segera dan tidak boleh ditunda-tunda jika sudah berkewajiban”. Dari
pendapat Imam Hambali, kami dapat memberikan pendapat bahwa yang
dimaksud berkewajiban ialah seseorang yang telah memenuhi syarat untuk
menunaikan ibadah haji. Baik secara material (harta) maupun spiritual (mental).
Seperti yang terkandung dalam rukun Islam yang kelima, Menunaikan ibadah haji
bila mampu. Jika seseorang tersebut telah mampu secara fisik maupun mental,
memiliki harta yang cukup, serta sudah mubaligh (dewasa). Maka diharuskan
untuk melaksanakan ibadah haji tersebut dan tidak boleh menundanya lagi.

Karya terbesar Imam Hambali


Kemampuannya dalam bidang hadits terbukti dari kesanggupannya
menyusun Al Musnad yaitu suatu kitab hadits yang menghimpun kurang lebih
40.000 hadits dan disusun berdasarkan nama sahabat yang merawikannya.
Didalam penelitian Muhammad Abdul Aziz Al Khuli menunjukkan bahwa ada
10.000 hadits yang berulang dalam Musnad tersebut jadi jumlah sebenarnya
adalah 30.000 hadits.
Ada isyarat yang cukup jelas dari Imam Ahmad sendiri bahwa dia
menginginkan Musnadnya ini menjadi pedoman bagi penentuan kualitas hadits-
hadits yang beredar di masyarakat. Dia menyatakan, ”Aku menulis kitab ini untuk
menjadi pedoman (imâm). Jika orang-orang berbeda pendapat tentang sunnah
Rasulullah, maka kitab inilah yang mereka rujuk.”
Dalam pernyataannya yang lain, Imam Ahmad berkata, ”Jika kaum
muslimin berselisih tentang sebuah hadits dari Rasulullah, maka hendaklah
8
mereka merujuk kepada kitab ini. Jika mereka tidak menemukan hadits tersebut di
sana, maka hadits itu tidak bisa dijadikan hujjah.” Pernyataan-pernyataan itu
seakan-akan menunjukkan bahwa semua hadits yang terdapat dalam Musnad
benilai sahih. Tetapi ada pernyataan lain dari Imam Ahmad yang menunjukkan
bahwa tidak semua hadits-hadits di dalam Musnadnya sahih berdasarkan
kriterianya sendiri. Diriwayatkan bahwa Ahmad pernah berkata kepada putranya,
Abdullah, ”Aku juga mencantumkan di dalam Musnad ini hadits-hadits masyhur
dan kuserahkan masyarakat ke dalam perlindungan Allah. Seandainya aku
bermaksud mencantumkan hanya hadits-hadits yang menurutku sahih, maka
hanya sedikit hadits-hadits yang bisa kuriwayatkan di dalam Musnad ini. Tetapi,
wahai Anakku, engkau tahu metode yang kugunakan dalam meriwayatkan hadits.
Jika tidak ada hadits yang sahih dalam suatu bab tertentu, maka aku tidak akan
menentang hadits-hadits yang ada, meski ia mengandung kelemahan.”
Versi Musnad yang sampai ke tangan kita dewasa ini tidak sepenuhnya
merupakan riwayat Imam Ahmad. Ahmad al-Sa’ati menyatakan bahwa hadits-
hadits di dalam Musnad, berdasarkan periwayatannya, terbagi menjadi enam
kategori yaitu :
1. Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal dari
ayahnya secara sama’an. Kategori inilah inti dari Musnad Ahmad dan meliputi
lebih dari 3/4 bagiannya.
2. Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah dari ayahnya sekaligus dari
orang lain.
3. Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah dari orang lain dan tidak
diriwayatkannya dari ayahnya. Kategori ini disebut oleh para ulama hadits
sebagai ”zawaid ’Abdillah”.
4. Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah dari ayahnya qira`atan, bukan
sama’an.
5. Hadits-hadits yang ditemukan oleh Abdullah dalam catatan yang ditulis
sendiri oleh ayahnya dan tidak pernah diriwayatkannya dari ayahnya itu secara
qira`atan maupun sama’an. Hadits-hadits dalam kategori ini biasanya
didahului dengan ungkapan “wajadtu bikhaththi abi...”.
6. Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakr al-Qathi’I murid Abdullah
dari orang lain di luar Ahmad dan Abdullah.
Tampaknya, Imam Ahmad memang berusaha untuk melakukan seleksi
secara ketat terhadap hadits-hadits yang akan dimasukkannya ke dalam Musnad.
Dia sangat berhati-hati untuk tidak mencantumkan hadits-hadits yang berasal dari
orang-orang yang diragukan kejujuran, integritas moral atau ketaatan mereka
dalam menjalankan ajaran-ajaran agama. Tetapi mesti juga diakui, berdasarkan
pernyataannya sendiri, bahwa dia sengaja memasukkan hadits-hadits yang masih
problematis (fîhi dha’f) ketika tidak ditemukan hadits-hadits lain yang lebih sahih
dalam persoalan yang sama. Itu barangkali bersumber dari keteguhannya
memegang prinsip bahwa hadits dha’if harus didahulukan di atas penalaran
rasional. Apalagi, di sisi lain, Imam Ahmad memang mendukung pendapat yang
membolehkan periwayatan hadits-hadits dha’if kecuali yang mawdhu’
menyangkut persoalan-persoalan tertentu yang tidak prinsipil, seperti at-tarhib wa
al-targhib dan al-mawa’izh.
Pernyataan bahwa seluruh hadits dha’if yang terdapat di dalam Musnad
bisa dianggap mendekati kualitas hadits hasan patut juga dipertanyakan. Bahkan
Ibn Hajar sendiri menyatakan bahwa ada tiga atau empat hadits di dalam Musnad
yang tidak diketahui asal-usulnya (la ashla lahu). Terhadap ini, kita bisa
9
mengajukan beberapa alasan. Pertama, Imam Ahmad sendiri barangkali memang
tidak sempat menuntaskan proses perbaikan dan koreksi terhadap Musnadnya ini.
Kedua, sebagaimana diungkapkan Ibn Hajar, Imam Ahmad barangkali pernah
memerintahkan agar hadits-hadits dha’if itu dihapuskan, namun Abdullah lupa
untuk menghapusnya. Ketiga, sebagaimana diungkapkan oleh Ibn Taymiyah,
boleh jadi hadits-hadits dha’if itu bersumber dari apa yang diriwayatkan oleh
Abdullah dan al-Qathi’i dari guru-guru selain Imam Ahmad.

3. Metode penghimpunan
Sesuai dengan definisinya, hadits-hadits di dalam musnad disusun
berdasarkan para sahabat yang meriwayatkannya. Ada beberapa cara penyusunan
urutan sahabat dalam penulisan kitab-kitab musnad. Sebagian musnad
menyusunnya secara alfabetis. Sebagian yang lain menuliskannya berdasarkan
kabilah. Model sistematika penyusunan Musnad Ahmad berbeda dengan dua
model tadi.
Tidak ada kriteria tunggal yang dijadikan standar oleh Imam Ahmad
dalam penyusunan urutan sahabat di Musnadnya. Dia memulai urutan itu dengan
empat orang al-Khulafa ar-Rasyidun, diikuti kemudian dengan 6 sahabat lain yang
termasuk ke dalam 10 orang yang dijamin masuk surga. Sampai di sini, kriteria
yang digunakannya barangkali adalah kedudukan atau tingkatan para sahabat
berdasarkan siapa di antara mereka yang terlebih dahulu masuk Islam (al-
asbaqiyyah fi al-Islam). Kemudian Imam Ahmad menulis riwayat para Ahl al-
Bayt dan sanak kerabat Rasulullah, termasuk anggota Bani Hasyim. Setelah
mereka, Imam Ahmad beralih kepada kriteria jumlah periwayatan dengan
mencantumkan para sahabat yang meriwayatkan hadits dalam jumlah besar (al-
muktsirun min al-riwayah).
Selanjutnya, dia menggunakan kriteria tempat dan domisili. Dalam kriteria
ini, Imam Ahmad menyebutkan riwayat-riwayat para sahabat yang tinggal di
Mekah (al-Makkiyyun), lalu mereka yang tinggal Madinah (al-Madaniyyun), lalu,
secara berurutan, mereka yang tinggal di Syam (al-Syamiyyun), di Kufah (al-
Kufiyyun), dan di Basrah (al-Bashriyyun). Barulah, pada bagian berikutnya,
Imam Ahmad mencantumkan riwayat-riwayat para sahabat Anshar, kemudian
para sahabat perempuan.
Mengenai penulisan bab, Imam Ahmad menjadikan setiap sahabat sebagai
bab tersendiri. Di dalamnya, dia mencantumkan seluruh hadits yang
diriwayatkannya dari sahabat tersebut lengkap dengan sanadnya. Jika terdapat
perbedaan sanad atau demi tujuan tertentu, Imam Ahmad mengulang kembali
pencantuman sanad atau matan hadits seringkali kedua-duanya pada tempat yang
berbeda. Karena itu, jumlah hadits yang mengalami pengulangan mencapai
seperempat bagian Musnadnya.
Imam Ahmad juga menggunakan kata ”musnad” atau ”hadits” secara
bergantian dalam penulisan judul bab. Secara umum, jika sebuah bagian meliputi
beberapa orang sahabat, dia menggunakan kata ”musnad”, seperti Musnad Ahl al-
Bayt atau Musnad al-Madaniyyin. Kemudian untuk setiap sahabat di dalam
kelompok itu, dia menggunakan kata ”hadits”, seperti Hadits al-Hasan atau Hadits
Tsabit ibn ’Abdillah, meski bab tersebut berisi lebih dari satu hadits. Tetapi hal ini
tidak berlaku secara keseluruhan. Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Bakar dan Umar, misalnya, diletakkan di dalam bab yang berjudul Musnad Abi
Bakr dan Musnad ’Umar.

10
Jika ada dua hadits yang sanadnya sama dan disebutkan berurutan di
dalam Musnad, maka Imam Ahmad hanya mencantumkan sanad tersebut di hadits
yang pertama dan tidak mencantumkannya di hadits yang kedua. Sementara jika
dua hadits tersebut memiliki sanad yang berbeda, maka Imam Ahmad
mencantumkan masing-masing sanad itu pada hadits yang bersangkutan. Dalam
persoalan redaksi periwayatan hadits (shighah al-ada`), Imam Ahmad dikenal
sangat ketat. Ia berpendapat bahwa seseorang tidak boleh mengubah shighah al-
ada` sebagaimana yang telah didengarnya dari gurunya. Artinya, jika gurunya
meriwayatkan hadits dengan redaksi “haddatsana”, misalnya, maka ia tidak boleh
mengubahnya dengan “akhbarana”. Karena itu, kita dapat mengasumsikan bahwa,
dalam Musnad Ahmad, semua shighah al-ada` ditulis sebagaimana adanya.

4. Sistematika isi kitab


Didalam kitab Musnad ini berbeda dengan kitab-kitab Shahih dan Sunan
yang mana didalam kitab ini menggunakan nama sahabat bukannya menggunakan
bab-bab. Didalam kitab ini sahabat Abu Hurairah menduduki peringkat atas dalam
periwayatan hadits terbanyak karena kurang lebih ¾ dari kitab Musnad jilid 2
terdapat hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Dan banyak juga
sahabat yang hanya meriwayatkan satu hadits saja. Jadi, didalam penyusunan
kitab ini yaitu menggunakan nama-nama sahabat dalam fihrisnya atau daftar
isinya.

5. Nilai kualitas hadits


Para ulama sendiri berbeda pendapat menyangkut kualitas hadits-hadits
yang terdapat dalam Musnad Ahmad. Secara umum, pendapat-pendapat mereka
dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok.
1. Ulama yang berpendapat bahwa semua hadits Musnad bisa dijadikan hujjah.
Abu Musa al-Madîni termasuk mereka yang berpendapat seperti ini.
2. Ulama yang berpendapat bahwa di dalam Musnad terdapat hadits-hadits sahih,
dha’if, bahkan mawdhu’. Ibn al Jawzi dan al ’Iraqi termasuk para ulama dalam
kelompok kedua ini.
3. Para ulama yang berpendapat bahwa selain mengandung hadits-hadits sahih,
Musnad juga mengandung hadits-hadits dha’if yang mendekati kualitas hasan.
Di antara mereka terdapat al-Dzahabi, Ibn Hajar al-’Asqalani, Ibn Taymiyah
dan al-Suyuthi.
Kitab-kitab syarahnya
1. Syamsudin Moh. Bin Yusuf Al Jazuri judul kitab : Al Musnad Al Ahmad fima
yata’allaqu bin musnad ahamd.
2. Syarah Abi Hasan Al Abdul Hadi
3. Syarah Syekh Ahmad Moh. Syakir
4. Bulughu Alamani Asrar Al Fath Al Sabbani ditulis oleh Syekh Abdurrahman
Al Banna terkenal dengan gelar Al Sa’ati

Ciri utama dan karakteristik


Adapun yang menjadi ciri utama dan karakteristik Musnad Imam Ahmad
jika dibandingkan dengan kitab-kitab Hadits yang lain, yaitu;
1. Metode penghimpunan menggunakan nama-nama sahabat, sedangkan kitab-
kitab hadits yang lain menggunakan bab atau tema sesuai isi kandungan
hadits.

11
2. Kualitas hadits yang ada dalam Musnad mencakup shahih, sunnan dan
muwattha'.
3. Ada kemungkinan Musnad ini sangat jarang sekali digunakan sebagai rujukan
untuk mengatasi sebuah masalah yang berkaitan dengan fiqh, aqidah dan
sebagainya, karena penyusunannya tidak berdasarkan tema, melainkan
berdasarkan nama sahabat.
4. Jumlah matan hadits lebih banyak dari kitab-kitab hadits yang lain.
5. Kitab Musnad terdapat banyak pengulangan-pengulangan matan hadits yang
berjumlah kurang lebih 10.000 pengulangan, sedangkan dalam kitab lain tidak
demikian.
Alasan kenapa masuk standar kutubut tis’ah
1. Musnad mencakup semua matan hadits yang terdapat di Shahih, Sunnan dan
Muwattha'
2. Sosok Imam Ahmad yang sangat selektif dalam pemilihan p

Kitab Mu'tabar dalam Mazhab Hambali


Terdapat banyak sekali kitab yang ditulis dalam mazhab Hambali. Di
antara kitab-kitab terpenting dalam mazhab ini adalah
sebagai berikut:
a. Al-Mustaw‘ib
Kitab ini ditulis oleh al-‘Allamah Mujtahid al-Madhhab Muhammad b. ‘Abd
Allah b. al-Husayn al-Samuri (610). Ia sebuah kitab yang ditulis dengan kalimat-
kalimat yang ringkas, namun padat makna. Ia mencakup keseluruhan isi kitab:
Mukhtasar al-Kharqi, al-Tanbih (al-Khalal), al-Irshad (Ibn Abi Musa), al-Jami‘ al-
Saghir, al-Khisal (al-Qadi Abu Ya‘la), al-Khisal (Ibn al-Banna), Kitab al-Hidayah
(Abu al-Khattab), dan al-Tadhkirah (Ibn ‘Uqayl). Secara umum, kitab ini
merupakan himpunan matan yang terbaik dalam Mazhab Hambali.
b. Al-Furu‘
Kitab ini ditulis oleh Muhammad b. Muflih b. Muhammad b. Mufrij al-
Muqaddasi (763 H), seorang ulama yang menjadi referensi utama dalam Mazhab
Hambali pada masanya. Ia lebih dikenal dengan nama Ibn Muflih. Kitab ini ditulis
tanpa menyebutkan dalil atau argumen. Penulisnya hanya menyebutkan pendapat
yang rajih dalam mazhab. Meskipun tidak menyebutkan dalil, Ibn Muflih tidak
hanya menyebutkan pendapat al-Imam Ahmad. Ia juga menyebutkan apa saja
yang menjadi ijma‘ bersama tiga imam mazhab yang lain, yang tidak ijma‘, yang
bertepatan dengan al-Imam Ahmad, dan yang bertentangan. Hal ini menjadikan
buku tersebut menjadi rujukan semua mazhab.
c. Al-Iqna‘ li Talib al-Intifa‘
Kitab ini adalah karya al-‘Allamah al-Muhaqqiq Musa b. Ahmad b. Musa b.
Salim b. ‘Isa b. Salim al-Hijawi al-Muqaddasi al-Dimashqi al-Salihi (968 H).
Sebagian besar kitab ini diambil dari Kitab al-Mustaw‘ib di atas, ditambah dari al-
Muharrar, al-Furu‘, dan al-Muqni‘. Secara umum, kitab ini amat bermanfaat.
d. Mukhtasar al-Kharqi dan Al-Mughni
Mukhtasar al-Kharqi ini amat terkenal di kalangan Mazhab al-Imam Ahmad,
baik al-mutaqaddimin maupun al-mutawassitin. Tidak ada kitab yang digunakan
dalam mazhab ini melebihi kitab mukhtasar ini, dan tidak ada kitab yang
memperoleh perhatian ulama melebihi kitab ini. Ia menerima lebih dari seratus
syarah. Tersebar rumor di kalangan ulama mazhab ini, “Barangsiapa membaca
kitab ini, setidaknya ia akan memperoleh satu dari tiga manfaat: menerima seratus
dinar, menjadi hakim (qadi), atau menjadi orang yang saleh.” Syarah yang paling
12
besar dan paling masyhur atas Mukhtasar al-Kharqi adalah al-Mughni, karya al-
Imam Muwaffiq al-Din al-Muqaddasi. Al-Mughni ini akan kami jelaskan sebagai
satu di antara empat karya al-Muqaddasi di bawah ini.
e. Empat Kitab karya al-Imam Muwaffiq al-Din al-Muqaddasi
Kitab-kitab di bawah ini adalah karya al-Imam Muwaffiq al-Din al-
Muqaddasi. Ia merupakan rangkaian dari beberapa kitab yang lain, yaitu:
1) Al-‘Umdah. Kitab ini ditulis untuk para al-mubtadi’in (pemula). Penulis
mengawali tiap bab dengan sebuah hadith sahih, lalu menyebutkan beberapa
hukum yang berkaitan dengan hadith tersebut. Bila dicermati, hukum-hukum
yang disebutkan itu merupakan hasil istinbat dari hadith itu. Dengan cara
tersebut, pembaca akan lebih memperhatikan hadith, yang dengan sendirinya
akan meningkat pemahamannya dalam hal istinbat dan ijtihad.
2) Al-Muqni‘. Ia ditulis untuk al-mubtadi’in yang memiliki kemauan untuk
meningkatkan pemahamannya, namun tidak sampai kepada al-mutawassitin.
Oleh karena itu, kitab ini tidak memuat dalil maupun argumentasi. Hanya
disebutkan riwayat-riwayat yang berasal dari al-Imam Ahmad, yang akan
melatih pembaca untuk mengetahui pokok-pokok pendapat dalam mazhab.
3) Al-Kafi. Kitab ini disiapkan untuk al-mutawassitin untuk sampai pada tingkat
al-ijtihad fi al-madhhab. Dengan disebutkannya banyak dalil dalam kitab ini,
diharapkan para pembaca menjadi lebih kritis. Hadith-hadith dalam kitab ini
telah ditakhrij oleh al-Hafiz al-Kabir Muhammad b. ‘Abd al-Wahid b. Ahmad
b. ‘Abd al-Rahman b. Isma‘il b. Mansur al-Sa‘di al-Muqaddasi, yang diberi
nama al-Diya’ fi Takhrij Ahadith al-Kafi.
4) Al-Mughni. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, kitab ini merupakan syarah
atas Mukhtasar al-Kharqi. Kitab ini disiapkan untuk meningkatkan
kemampuan dari al-mujtahid fi al-madhhab menuju al-mujtahid al-mutlaq, bila
yang bersangkutan memang memenuhi syarat untuk itu. Setiap menerangkan
permasalahan dalam kitab ini, Muwaffiq al-Din al-Muqaddasi:
- menyebutkan pendapat al-Imam Ahmad
- menyebutkan pendapat para ulama yang lain, baik imam mazhab empat,
para mujtahid sahabah, tabi‘in, tabi‘u al-tabi‘in.
- menjelaskan dalil atau alasan hukum masing-masing.
- memutuskan pendapat yang paling kuat (rajih).
- menjelaskan permasalahan-permasalahan lain yang berkaitan dengan
pokok permasalahan.
Oleh karena itu, kitab al-Mughni menjadi kitab yang digunakan oleh
seluruh mazhab. Orang yang menelaah kitab ini akan:
- memahami apa saja yang menjadi ijma‘ dan ikhtilaf di antara para ulama
- mengetahui pendapat-pendapat dari mazhab yang tidak lagi punya
pengikut (al-madhahib al-matrukah)
- memahami metode ijtihad secara praktis
- meningkatkan wawasan, dari seorang muqallid menjadi lebih kritis.
f. Muntaha al-Iradat fi Jam‘ al-Muqni‘ ma’a al-Tanqih wa Ziyadat
Ia ditulis oleh al-‘Allamah Taqi al-Din Ahmad b. ‘Abd al-‘Aziz ‘Ali b.
Ibrahim al-Futuhi al-Misri, tapi lebih dikenal dengan panggilan Ibn al-Najjar (972
H). Sesuai dengan namanya, kitab ini merupakan gabungan dari dua kitab matan
utama dalam Mazhab Hambali, yaitu al-Muqni‘ dan al-Tanqih al-Musbi‘ (al-
Mardawi). Kebanyakan penjelasan dalam kitab ini diambil dari al-Furu‘, karya
Ibn al-Muflih. Kitab ini amat terkenal. Ia menjadi rujukan utama al-
muta’akhkhirin, dan sumber fatwa dalam mazhab.
13
g. Al-Insaf fi Ma‘rifah al-Rajih min al-Khilaf
Kitab ini ditulis al-‘Allamah al-Fadil al-Qadi ‘Ala’ al-Din ‘Ali b. Sulaiman al-
Sa‘di al-Mardawi al-Salihi. Kitab ini amat mirip sebagai syarah al-Muqni‘. Ia
disusun ketika para pengikut Mazhab Hambali semakin banyak berselisih dan
bertaklid buta. Dalam menyusun kitab ini, ia menyebutkan berbagai pendapat
dalam setiap masalah, lalu menjadikan pendapat yang terbanyak sebagai yang
dipilih. Dengan demikian, kitab ini amat bermanfaat bagi para muqallid, sehingga
tidak memerlukan kitab yang lain. Setelah itu, ia menulis Kitab al- Tanqih al-
Mushbi‘ fi Tahrir Ahkam al-Muqni‘ di bawah ini.
h. Al-Tanqih al-Mushbi‘ fi Tahrir Ahkam al-Muqni‘
Kitab ini menjelaskan kedudukan riwayat-riwayat yang tidak memperoleh
penjelasan dalam al-Muqni‘, menjelaskan riwayat yang paling kuat ketika terdapat
dua riwayat yang bertentangan, memerinci apa yang sebelumnya masih bersifat
umum, dan memberikan penjelasan atas hukum dan lafaz yang masih samar.
Dengan demikian, kitab ini menjadi koreksi atas kitab-kitab yang lain dalam
Mazhab Hambali. Kitab ini merupakan salah satu rujukan utama dalam Mazhab
Hambali. Penulis kitab ini layak dinobatkan sebagai mujaddid dalam Mazhab
Hambali.

DAFTAR PUSTAKA

Khalil, K.H. Munawar, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Bulan Bintang, Jakarta,
1983.
Asy-Syarqawi Abdurrahman, Kehidupan, Pemikiran dan Perjuangan Lima Imam
Mazhab Terkemuka, Al-Bayan, Bandung, 1994.
Mushtofa Al-Maraghi Abdullah, Pakar-Pakar Fiqh Sepajang Sejarah, LKPSM,
Yogyakarta, 2001.
Munawir Imam, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam Dari Masa ke Masa,
PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1985.
Ash-Shiddieqy, Hasbi, Prof. Dr. TM, Pengantar Ilmu Fiqih, Bulan Bintang, Jakarta,
1978.
Abdurrahman Asy-Syarqawi, 5 Imam Mazhab Terkemuka, al-Bayan, Bandung,
1994, hlm 148.
Ibid, hlm. 140.
Ibid, 142.
K.H. Munawar Khalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Bulan Bintang,
Jakarta, 1983, hlm. 290.
Abdurrahman asy-Syarqawi, Op. Cit, hlm. 153-154.
Ibid.
K.H. Munawar Khalil, Op.Cit, hlm. 265.
Armstrong,Karen.2002.Islam Sejarah Singkat.Yogyakarta:Jendela.
Hassan,Ibrahim Hassan.1989.Sejarah dan Kebudayaan Islam.Yogyakarta:Kota
Kembang.
Shiddieqy,Teungku Muhammad Hasbi Ash.1999.Pengantar Ilmu
Fiqih.Semarang:PT. Pustaka Rizki Putra

14

Anda mungkin juga menyukai