Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam masyarakat kita di Indonesia ini berkembang berbagai macam aliran


yang berkenaan dengan masalah fiqh. Kendatipun mayoritas umat Islam mengaku
bermadzab SyafiI, tetapi madzab lainpun sedikit banyaknya ada pengaruhnya
terhadap umat Islam di sini. Pemikiran ini didasarkan atas kenyataan-kenyataan
yang terjadi dalam masyarakat kita sehari-hari, bahwa ada saja terlihat perbedaan
pendapat yang berkenaan dengan masalah furu (cabang-cabang), baik mengenai
ibadah, muamalah, dan lain-lainnya.

Perbedaan pendapat yang paling pokok dalam madzab terletak pada penafsiran
teks-teks. Di satu titik ekstrim, tedapat kaum bathiniyah, yang menganggap bahwa
dalam banyak kasus, sisi eksoteris yang teramati atau yang nampak (Dhahir),
menunjukkan sebuah makna batin (bathin) yang kerap dikaitkan dengan
signifikansi osoteris, mistis, dan perlambang dari ungkapan keluar.

Kebalikan dari bathiniyah, dalam memahami kandungan nash Al-Quran dan


sunah. Madzab ini hanya mengambil dzahir (lahir) lafal nash dan sama sekali
tidak melakukan takwil terhadap nash tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Imam Ahmad Bin Hanbal?
2. Bagaimana karakteristik pemikiran hukum islam Imam Ahmad bin
Hanbal?
3. Bagaimana biografi Imam Dawud ad-Dzahiri?
4. Bagaimana karakteristik pemikiran hukum islam Dawud ad-Dzahiri?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui biografi Imam Ahmad bin Hanbal
2. Untuk mengetahui karakteristik pemikiran hukum islam imam Ahmad
bin Hanbal
3. Untuk mengetahui biografi Imam Dawud ad-Dzahiri
4. Untuk mengetahui karakteristik pemikiran hukum islam Imam Dawud
ad-Dzahiri

BAB II
PEMBAHASAN

A. Imam Ahmad bin Hanbal


1. Biografi
Imam Ahmad adalah tokoh pendiri madzhab Hambali. Ia bernama lengkap
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad al-Syaibani al-
Mawarzi. Kelahiran Baghdad tahun 164 H dan meninggal pada tahun 241 H
di Baghdad. Kedua orang tuanya keturunan Arab dari kabilah Syaiban, ia
berjumpa nasab dengan Nabi saw. pada Nazar 1
Imam Ahmad hidup di Baghdad yang merupakan pusat peradaban dan
ilmu pengetahuan nomor satu pada saat itu. Di sana, tinggal para pakar ilmu
pengetahuan. Sejak kecil Imam Ahmad menghafal al-Quran, belajar Bahasa
Arab, hadits, dan Sejarah. Ketika beranjak dewasa, Imam ahmad memilih
untuk menekuni ilmu hadits yang menuntutnya untuk mengembara ke
berbagai kota untuk mencari hadits. Dalam pengemabaraannya, Imam Ahmad
juga mengkaji Fiqih. Karenanya ia dapat memadukan hadits dan fiqih
sekaligus.2
Sebagai pecinta hadits, Imam Ahmad harus rela untuk mengembara ke
berbagai kota, sebab para ulama hadits telah terpencar ke kota-kota. Ia mulai
mencari hadits ke Baghdad selama tujuh tahun, pada tahun berikutnya ke
Hijaz, kemudian ke Basrah, Kufah, dan Yaman.3

Pengembaraan mencari hadits tersebut dalam rangka bertemu dengan para


perawi hadits yang masih hidup. Ia pergi ke Basrah lima kali dan ke Hijaz
lima kali juga. Pada saat itu, ia bertemu dengan Imam Syafii di Masjidil
Haram, Makkah. Kemudian ia bertemu lagi dengannya di Baghdad ketika
1 Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2000), h. 115.

2 Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah fi Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyyah


(Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t), h. 281.

3 Ibid., h. 283.
Imam Syafii menyebarkan madzhabnya. Pertemuannya dengan Imam Syafii
yang mementahkan fiqih rasional memberikan pengaruh pada pemikiran
Imam Ahmad. Ia pun mengembangkan fiqih tradisional dengan lebih banyak
mempergunakan al-Sunnah sebagai rujukan dalam memberikan fatwa.

Imam Ahmad hidup amat sederhana, tidak mempunyai mata pencaharian


tetap sebagaimana Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Sumber keuangan
yang sering mendatangkan hasil baginya adalah warisan rumah dan tanah
serta peralatan penyulaman yang sering disewakan. Seluruh waktunya
dihabiskan untuk melakukan analisis terhadap hadits-hadits Nabi, ia juga
menyusun hadits berdasarkan sistematika sanad, sehingga lahir karya
besarnya Musnad Ahmad bi hanbal. Karya ini ditulis dengan bantuan
murid-muridnya, terutama Abdullah, putranya sendiri.4
Namun perlu dicatat bahwa yang dicari dan diriwayatkan oleh Imam
Ahmad bukan sekedar hadits-hadits Nabi, tetapi juga fatwa dan putusna
hukum sahabat, serta fatwa dan putusan hukum murid sahabat Nabi. Riwayat-
riwayat tersebut disamping merupakan sunnah juga fiqih yang sangat
mendalam. Oleh karena itu, riwayat-riwayat Imam Ahmad tidak terlepas dari
fiqih dan fatwa. Bagaimanapun juga ia telah belajar fiqih rasionalis kepada
Imam Abu Yusuf yang memberikan pengaruh yang cukup besar pada
pemikiran hukumnya. Pemikirannya semakin matang ketika ia berguru
kepada Imam Syafii di Makkah dan Baghdad. Dengan keterpaduan hadits
dan fiqih dalam diri Imam Ahmad bin Hanbal, maka ia dipandang sebagai
ahli ijtihad , ahli hadits, bahkan ahli ilmu kalam, mengingat ia dianggap
sebagai pendiri aliran salaf.5

2. Guru dan Murid Imam Ahmad bin Hanbal

4 Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam (Surabaya: IAIN SA
Press, 2011), h. 213-214.

5 Ibid., h. 216.
Diantara guru-guru Imam Ahmad bin Hanbal adalah (1) Abu Yusuf, (2)
Muhammad bin idris al-Syafii, (3) Hasyim, (4) Ibrahim bin Saad, (5)
Sufyan bin Uyainah.
Ahmad bin hanbal mempunyai beberapa murid yang meneruskan dan
mengembangkan ajarannya, diantaranya:
a. Shalih bin Ahmad bin Hanbal (anak Ahmad bin Hanbal), w. 266 H.
b. Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (anak Ahmad bin hanbal), w. 290 H.
c. Ahmad bin Muhammad bin Hani Abu Bakr al-Atsrami (salah seorang
teman Ahmad bin Hanbal), w. 261 H.
d. Abd al-Malik bin Abd al-Hamid bin Mahran al-Maimanui (salah
seorang sahabat Ahmad bin Hanbal), w. 271 H.
e. Ahmad bin Muhammad bin al-Hajaj atau lebih dikenal dengan Abu
Bakar al-Mawardzi, w. 275 H.
f. Ibrahim bin Ishaq al-Harbi, seorang pakar bahasa Arab, w. 285 H.6
Karya Imam Ahmad yang terkenal adalah al-Musnad. Kitab ini
merupakan kumpulan hadits-hadits yang diterima Imam Ahmad sejak
pertama kali ia menerima hadits pada umur 16 tahun pada tahun 180 H
sampai akhir hayatnya. Imam Ahmad memang tidak suka mencatat dan
menulis, kecuali menulis hadits nabi. Al-Musnad yang ditulis sepanjang
hidupnya berserakan di berbagai bahan.
Pada saat merasa ajalnya sudah dekat, Imam Ahmad mengumpulkan
anak-anak dan murid pilihannya. Ia mendiktekan kepada mereka hadits-hadits
yang dicatatnya hingga menjadi sebuah kumpulan catatan hadits, namun
belum tersusun secara sistematis. Karena itu, penyusun al-Musnad yang
diterima hingga saat ini adalah putera Imam Ahmad bin Hanbal, Abdullah bin
Ahmad.7

3. Pemikiran Ahmad bin Hanbal

Imam Ahmad bin Hanbal mulai memberikan fatwa ketika menginjak umur
40 tahun. Sebenarnya sebelum umur tersebut ia sudah memiliki kapasitas

6 Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam (Bandung: PT Remaja


Rosdakarya, 2000), H. 118

7 Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi, h. 222.


yang cukup untuk melakukan hal itu. Namun Imam Ahmad memiliki prinsip
bahwa ia tidak akan meriwayatkan hadits atau berfatwa ketika gurunya masih
hidup. Oleh karena itu, ia baru bersedia mengeluarkan fatwa pada tahun 204
H, tepat tahun ketika Imam Syafii meninggal.

Imam Ahmad bin Hanbal membuka dua majelis untuk kajian-kajiannya,


yaitu di rumah dan di masjid. Kajian di rumah diikuti oleh anak-anaknya
sendiri dan para muridnya, kajian di masjid diikuti oleh masyarakat umum
dan para muridnya.

Pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal dalam bidang hukum Islam dapat
dirangkum sebagai berikut:

a. Al-Quran dan al-Sunnah lebih diutamakan oleh Imam Ahmad bin


Hanbal daripada perkataan para sahabat Nabi saw, termasuk
pemahaman mereka terhadap kedua sumber hukum tersebut. Sebagai
contoh, Imam Ahmad melarang seorang muslim mewarisi harta non-
muslim sesuai dengan hadits Nabi. Ia tidak mengikuti pendapat
Muadz bin Jabal dan Muawiyah bin Abi Sufyan yang berpendapat
sebaliknya.
b. Pendapat sahabat Nabi diterima oleh Imam Ahmad selama tidak
terbantah oleh pendapat sahabat lainnya. jika ada perbedaan pendapat,
maka diadakan seleksi dengan menganalisi kedekatannya terhadap al-
Quran dan al-Sunnah.
c. Hadits Mursal (perawi tingkat sahabat Nabi tidak disebutkan)
dijadikan sebagai rujukan dalam penyelesaian kasus hukum, padahal
Imam Syafii sendiri sudah meninggalkannya, karena hadits mursal
tergolong hadits yang lemah. Bagi Imam Ahmad, meski sahabat yang
tidak disebut itu kurang populer atau diragukan oleh muridnya,
sahabat masih lebih baik daripada muridnya. Oleh sebab itu, sebelum
melakukan Qiyas, menurutnya lebih baik mengkaji hadits-hadits Nabi,
termasuk hadits mursal. Hadits yamg lemah diterima oleh Imam
Ahmad, selama hadits tersebut bukan merupakan hadits yang batil dan
munkar, serta tidak diceritakan oleh perawi yang diduga tidak
dipercaya.
d. Fatwa murid sahabat Nabi juga diakui oleh Imam Ahmad.
Menurutnya, jika seseorang tidak menemukan hukum di dalam al-
Quran, al-Sunnah, maupun fatwa sahabat Nabi, maka ia wajib
mengambil fatwa murid sahabat Nabi.
e. Qiyas diambil dalam keadaan terpaksa, yakni jika semua rujukan di
atas tidak menyatakan langsung tentang ketentuan-ketentuan hukum
atau persoalan-persoalan yang dihadapi. Cakupan Qiyas dalam
madzhab hambali sangat luas, yakni mencakup penggalian hukum di
luar sumber hukum al-Quran dan al-Sunnah, serta pendapat sahabat
Nabi dan muridya, jadi, istihsan, mashlahah, dan sebagainya disebut
sebagai kelompok Qiyas.8

4. Fiqih Imam Ahmad bin Hanbal


Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, nishab harta curian yang pencurinya
harus dikenai sanksi potong tangan adalah dinar atau 3 dirham.
Menurutnya, pencuri yang kadar curiannya mencapai dinar harus dipotong
tangan meskipun tidak sebanding dengan 3 dirham. Begitu juga pencuri yang
kadar curiannya mencapai 3 dirham harus dipotong tangan meskipun tidak
sebanding dengan dinar. Adapun nishab bagi pencuri selain barang
tambang adalah seharga dinar atau 3 dirham.
Dalam bidang pemerintahan, Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat
bahwa khalifah harus dari kalangan Quraisy. Sedangkan ketaatan kepada
khalifah adalah mutlak meskipun khalifah termasuk fajir. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, orang yang tidak taat kepada iamm dianggap telah
berlaku maksiat, dan apabila seseorang meninggal dalam keadaan tidak taat
kepada pemimpin, ia termasuk mati dalam keadaan jahiliyah.
Dalam bidang muamalah, terutama tentang khiyar majlis, Iamma Ahmad
bin Hanbal berpendapat bahwa jual beli belum dianggap lazim meskipun
telah terjadi ijab qabul. Apabila penjual dan pembeli masih berada dalam satu
tempat dimana akad itu dilakukan. Apabila keduanya atau salah satunya tidak

8 Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi, H. 218-220


di tempat itu lagi (sudah berpisah), maka akad sudah lazim. Alasannya ialah
hadits Nabi Muhammad saw yang artinya: setiap penjual dan pembeli
mempunyai hak khiyar (pilih) selama keduanya belum berpisah.9

B. Imam Dawud Ad-Dzahiri


1. Kelahiran Imam Dawud Ad-Dzahiri
Madzhab Dzahiri dipelopori oleh Imam Dawud bin Ali al-Asfahani. Ia
dilahirkan di Baghdad pada tahun 200 H dan wafat pada tahun 270 H.. Nama
aliran Imam Dawud dinisbatkan kepada gelar dirinya, yakni Dawud al-
Dzahiri. Ia digelari al-Dzahiri karena pendapatnya tentang cara memahami al-
Quran dan al-Sunnah dengan menggunakan makna dzahir.10
Imam Dawud pada mulanya penganut fanatik Madzhab Syafii, meskipun
ayahnya penganut madzhab Hanafi. Ia tidak belajar langsung kepada Imam
Syafii, tetapi kepada murid sahabatnya, karena ia baru berusia empat tahun
ketika Imam Syafii wafat.

Ia pernah mempelajari hukum Islam madzhab Syafii di Baghdad, tetapi


kemudian ia mengkritik madzhab yang ia pelajarinya itu. Ia pun melahirkan
teori-teori baru dalam kajian hukumnya. Sasaran kritiknya ialah pemikiran
rasionalis Imam Syafii yang bertumpu pada Qiyas dengan menolak Istihsan.
Inilah yang dianggap tidak konsisten oleh Imam Dawud. Menurutnya, Qiyas
dan istihsan adalah sama-sama rasionalitas.

Imam Dawud pun bergabung dengan pengajian Imam Ahmad untuk


belajar hadits kepadanya. Namun ia pun diusir oleh imam Ahmad karena
mengemukakan pendapat bahwa al-Quran adalah hal yang baru (muhdats).
Imam Dawud berkata: al-Quran yang ada di Lauh mahfudz bukan makhluk,
sedangkan al-Quran yang ada di manusia adalah makhluk. Setelah keluar

9 Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam (Bandung: PT Remaja


Rosdakarya, 2000), H. 120-122

10 Ibid, H. 123
dari pengajian Imam Ahmad, Imam dawud membuat pemikirannya sendiri.
Imam Dawud belajar hadits kepada para pakar hadits di Baghdad dan
Nisabur, Iran.

Imam Dawud memiliki banyak perbendaharaan hadits. Akan tetapi, tidak


banyak ulama yang meriwayatkan hadits darinya. Penyebabnya adalah
pendapatnya bahwa al-Quran di manusia itu makhluk. Pada masanya,
pendapat demikian ini dianggap bidah, dan hadits tidak boleh diriwayatkan
oleh orang yang melakukan bidah.11

2. Guru dan Murid Imam Dawud Ad-Dzahiri


Di antara guru Imam Dawud adalah Ishaq bin Rahawaih dan Abu Tsaur.
Adapun murid-muridnya adalah:
a. Abu Bakar Muhammad (putra Imam Dawud), ia wafat tahun 297 H.
Salah satu kitabnya adalah al-Wushul ila Marifat al-Ushul.
b. Abu Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm al-Andalusi
c. Abu Jafar Muhammad bin Jarir bin Yazid Katsir bin Ghalib al-
Thabari.12

Pemikiran Imam Dawud tentang al-Quran sulit diterima oleh kalangan


ulama. Karenanya, madzhab Dzahiri sulit untuk berkembang. Setelah hampir
redup, madzhab Dzahiri dihidupkan kembali oleh murid Masud bin
Sulaiman, yaitu Abu Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm al-
Andalusi, yang dikenal dengan nama Ibnu Hazm.13

Ibnu Hazm sangat cerdas dalam merumuskan pemikiran hukum Islam. ia


juga begitu gigih membela pemikiran gurunya. Usahanya diwujudkan dalam
beberapa karyanya tentang hukum Islam, antara lain : al-Ihkam fi Ushul al-
Ahkam, al-Fishal, dan al-Muhalla. Karena Ibnu Hazm berdomisili di Andalus,

11 Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi, h. 225-226.

12 Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam (Bandung: PT Remaja


Rosdakarya, 2000), H. 125

13 A Djazuli, Ilmu Fiqih (Jakarta: Kencana, 2006), h. 135.


Spanyol, maka madzhab dzahiri berkembang pesat di sana. Ketika Islam di
Spanyol jatuh, saat itu pula madzhab Dzahiri musnah. Penting dicatat bahwa
madzhab Dzahiri juga pernah menjadi madzhab resmi di Marokko.

Selain memiliki pengikut yang cemerlang seperti Ibnu Hazm, Imam Dawud
juga memili sejumlah karya, antara lain: Kitab al-Hujjah, Kitab al-Khabar al-
Mujib li al-Ilmi, Kitab al-Khushush wa al-Umum, Kitab al-Mufassar wa al-
Mujmal, Kitab Ibthal al-Taqlid, Kitab Ibthal al-Qiyas, dan Kitab Khabar al-
Wahid. Karya-karya Imam Dawud saat ini sudah tidak bisa ditemukan lagi.14

3. Pemikiran Hukum Islam Imam Ahmad bin Hanbal


Imam Dawud mengemukakan pemikirannya yang lebih menekankan pada
pemahaman literalis. Ia berharap agar pemikirannya bisa dipraktekkan dalam
kehidupan manusia. Pemikiran demikian disebutnya sebagai istidlal. Karena
pendekatannya yang bertumpu pada makna teks sumber hukum yang tampak,
maka madzhabnya populer dengan nama Madzhab Dzahiri.15

Secara garis besar, pemikiran Abu Dawud dapat dikemukakan sebagai


berikut:

a. Al-Quran dan al-Sunnah tetap menjadi rujukan dan sumber hukum


utama. Hanya saja, Imam dawud berkutat pada makna yang tampak darti
teks-teks sumber hukum tersebut. Ia menghindari makna-makna yang
lebih jauh, apalagi hasil penggalian rasional.
b. Ijma sahabat Nabi bisa diambil berdasarkan hukum yang diwahyukan
kepada Nabi dan disampaikan kepada sahabatnya. Pada masa sahabat,
ijma dimungkinkan, karena kesepakatannya melibatkan sedikit orang
dan wilayahnya tidak begitu luas. Dengan demikian, ijma sahabat Nabi
tidak dipandang sebagai hasil penalaran. Adapun ijma generasi setelah
sahabat Nabi tidak diakui.

14 Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi, h. 229-230.

15 Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah fi Tarikh al-


Madzahib al-Fiqhiyyah (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t), H. 388
c. Qiyas tidak diterima oleh Imam Dawud, karena terkait dengan penalaran.
Meski demikian, prinsip makna yang difahami (mafhum) dari teks al-
Quran dan al-Sunnah sebagaimana diajukan Imam Dawud sebagai
pengganti Qiyas, ternyata tidak berbeda dengan Qiyas. Imam Dawud
memberikan syarat bagi penggunaan Qiyas, yaitu alasan hukumnya (Illat)
harus telah dijelaskan oleh teks sumber hukum al-Quran dan al-Sunnah,
bukan digali dari pemikiran manusia.
d. Imam Dawud juga tidak setuju dengan sikap taqlid, yakni mengikuti
pendapat seseorang tanpa mengetahui dalilnya. Menurutnya, setiap
muslim harus bisa berpikir sendiri, setidaknya jika tidak mengerti, ia
harus bertanya kepada orang yang telah memahami. Tidak hanya itu,
pendapat yang menjadi jawaban harus mengandung dalil dari al-Quran
dan al-Sunnah. Pendapat tanpa dalil tidak boleh diikuti.16
4. Fiqih Imam Dawud Ad-Dzahiri
Di antara pendapat Imam Dawud al-Dzahiri adalah sebagai berikut:17
a. Seseorang yang junub boleh menyentuh al-Quran
Berkenaan dengan fiqih, Imam Abu Dawud berpendapat bahwa
kitab al-Quran yang tidak boleh disentuh kecuali oleh orang yang suci
ialah al-Quran yang berada di Lauh al-Mahfudz. Sedangkan al-Quran
yang ditulis di kertas dan beredar di kalangan manusia adalah makhluk,
ia (mushaf) boleh disentuh oleh orang yang sedang haidl atau junub.
b. Pemimpin harus dari kalangan Quraisy
Imam Dawud al-Dzahiri berpendapat bahwa pemimpin haruslah
dari kalangan Quraisy. Alasannya, adanya hadits politik yang sangat
terkenal di kalangan sunni yang dinilai shahih oleh Imam Bukhari dan
Imam Muslim. Selanjutnya, menurut Abu Dawud al-Dzahiri orang yang
meninggal dalam keadaan tidak baiat kepada imam, dianggap mati

16 Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi, h. 227-228.

17 Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam (Bandung: PT Remaja


Rosdakarya, 2000), H. 128-130
dalam keadaan jahiliyah, dan manusia tidak boleh taat kepada
pemimpin yang memerintahkan melakukan maksiat.
c. Bagian tubuh perempuan yang boleh dilihat ketika dipinang
Menurut Imam Dawud al-Dzahiri, seluruh tubuh perempuan yang
dipinang boleh dilihat oleh laki-laki yang meminangnya, karena Nabi
Muhammad saw menganjurkan laki-laki yangg meminang melihat
perempuan yang dipinangnya secara mutlak, tanpa dirinci tentang
anggota tubuh yang boleh dilihat.
d. Menikah dengan perempuan yang dipinang laki-laki lain.
Dalam dikatakan bahwa Nabi Muhammad saw melarang umat
Islam meminang perempuan yang berada dalam pinangan orang lain,
sebagaiamna seseorang tidak diperbolehkan membeli benda yang sudah
dibeli oleh orang lain, karena umat Islam dengan lainnya adalah
bersaudara.
Ulama berbeda pendapat dalam memahami cegahan yang terdapat
dalam hadits tersebut. Menurut imam al-Khuthabi, cegahan yang
terdapat dalam hadits tersebut adalah li tadib (bertujuan mendidik),
bukan li tahrim (mengharamkan). Dalam pandangan jumhurul ulama,
menikah dengan perempuan yang sedang berada dalam pinangan laki-
laki lain adalah sah, meskipun hukum peminangannya haram.
Sedangkan menurut Imam Dawud al-Dzahiri, pernikahan tersebut
dianggap fasakhm baik sudah melakukan persetubuhan maupun belum.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Imam Ahmad adalah tokoh pendiri madzhab Hambali. Ia bernama
lengkap Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad al-
Syaibani al-Mawarzi. Kelahiran Baghdad tahun 164 H dan meninggal
pada tahun 241 H di Baghdad.
Pemikiran Beliau dalam bidang hukum Islam dapat dirangkum sebagai
berikut:
1) Al-Quran dan al-Sunnah lebih diutamakan oleh Imam Ahmad bin
Hanbal daripada perkataan para sahabat Nabi saw.
2) Pendapat sahabat Nabi diterima oleh Imam Ahmad selama tidak
terbantah oleh pendapat sahabat lainnya.
3) Hadits Mursal (perawi tingkat sahabat Nabi tidak disebutkan)
dijadikan sebagai rujukan dalam penyelesaian kasus hukum.
4) Fatwa murid sahabat Nabi juga diakui oleh Imam Ahmad.
5) Qiyas diambil dalam keadaan terpaksa, yakni jika semua rujukan di
atas tidak menyatakan langsung tentang ketentuan-ketentuan
hukum atau persoalan-persoalan yang dihadapi.

Sementara Madzhab Dzahiri dipelopori oleh Imam Dawud bin Ali


al-Asfahani. Ia dilahirkan di Baghdad pada tahun 200 H dan wafat pada
tahun 270 H.. Nama aliran Imam Dawud dinisbatkan kepada gelar
dirinya, yakni Dawud al-Dzahiri. Ia digelari al-Dzahiri karena
pendapatnya tentang cara memahami al-Quran dan al-Sunnah dengan
menggunakan makna dzahir.
Secara garis besar, pemikiran Abu Dawud dapat dikemukakan
sebagai berikut:
1) Al-Quran dan al-Sunnah tetap menjadi rujukan dan sumber hukum
utama.
2) Ijma sahabat Nabi bisa diambil berdasarkan hukum yang
diwahyukan kepada Nabi dan disampaikan kepada sahabatnya.
3) Qiyas tidak diterima oleh Imam Dawud, karena terkait dengan
penalaran.
4) Imam Dawud juga tidak setuju dengan sikap taqlid, yakni mengikuti
pendapat seseorang tanpa mengetahui dalilnya.

Anda mungkin juga menyukai