Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap ahli hukum memiliki cara jalan berfikir berbeda. Begitu juga
dengan hli hukum Islam. Mereka berbeda dalam cara pengambilan hukum,
memahami dalil, dan cara menggunakan dalil. Dari cara mereka tersebut bisa kita
lihat juga bagaimana jalan pemikiran pada ahli tersebut. Disini pemakalah akan
membahas bagaimana pemikiran hukum Islam melalui pemikiran Imam Abu
hanifa dengan mazhab hanafinya serta pemikiran Imam Malik bin Anas pada
mazhab maliki nya. Disini juga akan mengupas bagaimana cara mereka
mengeluarkan suatu produk hukum dari dalil-dalil yang mereka teliti sesuai
dengan cara mereka berfikir.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pemikiran hukum Islam Imam Abu hanifa?


2. Bagaimana pemikiran hukum Isalam Imam Malik bin Anas?

C. Tujuan masalah

1. Untuk mengetahui pemikiran hukum Islam menurut Imam Abu


hanifa.
2. Untuk mengetahui pemikiran hukum Islam menurut Imam Malik
bin Anas

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biogarfi Imam Abu Hanifah

Nama lengkapnya Abu Hanifah Al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zutha Al-Kufi.
Ia lahir pada tahun 80 H/699 M di Anbar, kota yang termasuk bagian dari propinsi
Kufah.1 Ayahnya berasal dari keturunan Persia. Nama kecilnya Nu’man. Beliau
dikenal dengan gelarnya Abu Hanifah, artinya orang yang selalu membawa dawat,
kemana beliau pergi (untuk mencatat pelajaran-pelajaran dari guru-gurunya).

Demikian kata Hanifah menurut bahasa Persi.


Bapaknya bernama Tsabit, keturunan Persi. Kelahiran Imam Abu Hanifah
agaknya sudah diramalkan oleh Nabi Muhammad s.a.w. “Seandainya Ilmu
pengetahuan ada di bintang Tsurya, niscaya akan dicapai oleh putera-putera
Persi”.

Kakeknya, Zutha berasal dari Kabul, Afganistan yang sebelumnya masuk


bagian wilayah Persia. Ketika Tsabit masih dalam kandungan, ia dibawa ke Kufah
dan menetap di sini hingga Abu Hanifah lahir. Konon ketika Zutha bersama
anaknya Tsabit berkunjung kepada Ali ibn Abi Thalib, dengan serta merta kedua
orang ini didoakan agar mendapat keturunan yang luhur dan mulia.

Abu Hanifah tumbuh di kota Kufah. Di kota ini ia mulai belajar dan
menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Selain pernah melakukan pengembaraan ke
Basrah, Makkah dan Madinah dalam rangka mengembangkan wawasan dan
memperluas ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya.

1 . Ali Fikri. Kisah-kisah Imam Madzab. (Yogyakarta: Mitra Pustaka). hal. 6.

2
Namanya An-Nu’man bin Zauthi at-Tamimi al-Kufi, kepala suku dari Bani
Tamim bin Tsa’labah, biasa dipanggil Abu hanifah, kemasyhuran nama tersebut
menurut para ahli sejarah ada beberapa sebab:

1. Karena ia mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Hanifah, maka ia


diberi julukan dengan Abu Hanifah.
2. Karena semenjak kecilnya sangat tekun belajar dan menghayati setiap yang
dipelajarinya, maka ia dianggap seorang yang hanif (kecenderungan/condong)
pada agama. Itulah sebabnya ia masyhur dengan gelaran Abu Hanifah.
3. Menurut bahasa Persia, Hanifah berarti tinta. Imam Hanafi sangat rajin menulis
hadits-hadits, ke mana ia pergi selalu membawa tinta. Karena itu ia dinamakan
Abu Hanifah.

Gelarnya Al-Imam Al-A’zham (Imam Besar) dan terkenal dengan sebutan


Imam ahli Al-ra’yi (Imam Ahli Logika). Dia adalah keturunan orang-orang Persia
yang merdeka. Dia dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah di Kufah, saat pemerintahan
Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Dia hidup di dua zaman pemerintahan besar,
yaitu pemerintahan Bani Umayah dan Bani Abbasiyah. Dia adalah generasi Atba’
At-tabi’in. Ada pendapat lain mengatakan bahwa ia adalah tabi’in karena pernah
bertemu oleh sahabat Anas bin Malik.

B. Pemikiran Imam Abu Hanifah

Mazhab Hanafi dikenal sebagai Imam Ahlurra’yi serta fiqih dari Irak. Ia
dikenal banyak menggunakan ra’yu, qiyas, dan istihsan. Dalam memperoleh suatu
hukum, yang tidak ada dalam nash, kadang-kadang ulama dalam mazhab ini
meninggalkan kaidah qiyas dan menggunakan kaidah istihsan. Muhammad Salam
Madkur menguraikan karakteristik manhaj Hanafi sebagai berikut :2

2 . Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996, hal.14

3
“Fiqih Hanafi membekas kepada ahli Kufah (negeri Imam Abu Hanifah
dilahirkan) yang mengembangkan aplikasi adat, qiyas, dan istihsan. Bahkan
dalam tingkatan imam, ia sering melewatkan beberapa persoalan; yakni apabila
tidak ada nash, ijma, dan qaul sahabat kepada qiyas, dan apabila qiyasnya
buruk (tidak rasional), Imam Hanafi meninggalkannya dan beralih ke istihsan,
dan apabila tidak meninggalkan qiyas, Imam Hanafi mengembalikan kepada
apa-apa yang telah dilakukan umat Islam dan apa-apa yang telah diyakini oleh
umat islam, begitulah hingga tercapai tujuan berbagai masalah.

Alasannya : kaidah umum (qiyas) tidak bisa diterapkan dalam menghadapi


kasus tertentu. Mereka dapat mendahulukan qiyas apabila suatu hadist mereka
nilai sebagai hadist ahad. Yang menjadi pedoman dalam menetapkan hukum
Islam (fiqih) di kalangan mazhab Hanafi adalah :
1)   Al-Qur’an
2)   Sunnah Nabi SAW
3)   Fatwa sahabat
4)   Qiyas
5)   Istihsan
6)   ‘Ijma

Dalam analisis Muhammad Said Tanthowi, dasar atau prinsip ijtihad


Hanafi menyandarkan kepada, “kemudahan, toleransi, menghargai martabat
manusia, kebebasan berpikir, dan kemaslahatan umat.”

Mazhab Al-Hanafiyah sebagaimana dipatok oleh pendirinya, sangat


dikenal sebagai terdepan dalam masalah pemanfaatan akal/ logika dalam
mengupas masalah fiqih. Oleh para pengamat dianalisa bahwa di antara latar
belakangnya adalah:

1. Karena beliau sangat berhati-hati dalam menerima sebuah hadits. Bila


beliau tidak terlalu yakin atas keshahihan suatu hadits, maka beliau lebih

4
memlih untuk tidak menggunakannnya. Dan sebagai gantinya, beliau
menemukan begitu banyak formula seperti mengqiyaskan suatu masalah
dengan masalah lain yang punya dalil nash syar’i.

2. Kurang tersedianya hadits yang sudah diseleksi keshahihannya di tempat


di mana beliau tinggal. Sebaliknya, begitu banyak hadits palsu, lemah dan
bermasalah yang beredar di masa beliau. Perlu diketahui bahwa beliau
hidup di masa 100 tahun pertama semenjak wafat nabi SAW, jauh sebelum
era imam Al-Bukhari dan imam Muslim yang terkenal sebagai ahli peneliti
hadits.’

Sebagai seorang sufi, Abu Hanifah tentu mempunyai pokok pikiran yang
patut kita contoh dan kita teladani. Diantara pokok pikiran Abu Hanifah adalah:
“Amalkanlah apa yang pernah kalian pelajari, karena teori tanpa praktek ibarat
tubuh tanpa roh”.’

Adapun salah satu metode istinbath hukum (ijtihad) yang dipopulerkan


oleh Abu Hanifah adalah istihsan. Secara bahasa, istihsan merupakan bentuk
masdar dari kata istahsana, yang berarti menganggap baik terhadap sesuatu.
Sedangkan menurut istilah, istihsan adalah beralih dari penggunaan sebuah dalil
dari qiyas jali ke qiyas khafi, atau dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas yang
lebih kuat daripadanya.3 Dalam pengertian yang lain, istihsan adalah
meninggalkan suatu hukum yang telah ditetapkan oleh Syara’ dan kemudian
menetapkan hukum lain karena ada dalil yang lebih cocok dan lebih kuat sesuai
dengan pemahaman mujtahid. Dengan demikian, istihsan tidaklah berdiri sendiri,
tetapi tetap berlandaskan pada dalil dalil syara’, bukan berdasar pada hawa nafsu. 4
Imam Malik dan Ahmad ibn Hanbal termasuk ulama yang menyepakati
digunakannya istihsan sebagai metode penggalian hukum, meskipun dalam tataran

3 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Kairo: Maktabah ad-Dakwah alIslamiyyah,
t.t.), hlm. 79
4 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fikih, cet13 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2010), hlm., 401

5
yang sangat minimalis. Sementara asy-Syafii dan az-Zahiri termasuk yang
menolak istihsan sebagai metode penggalian hukum.

Dari pokok pikiran itu dapat kita ambil pelajaran bahwa setiap perilaku,
tingkah laku, dan ibadah yang kita lakukan harus dibarengi denga teori ilmu yang
berkaitan dengan apa yang kita kerjakan tersebut, karena setiap perbuatan yang
kita lakukan disertai dengan ilmu, akan menampakkan hasil yang baik dan
memuaskan.

C. Biografi Imam Malik

Mazhab malaiki didirikan oleh imam Malik. Nama lengkapnya adalah :


Malik bin Anas bin Amir al-Asbahi. Al-asbahi merupakan nisbat terhadap suatu
golongan dari Yaman. Imam malik dilahirkan di Madinah al Munawwaroh.
sedangkan mengenai masalah tahun kelahiranya terdapat perbedaaan riwayat al-
Yafii dalam kitabnya Thabaqat fuqoha meriwayatkan bahwa imam Malik
dilahirkan pada 94 H. Ibn Khalikan dan yang lain berpendapat bahawa imam
Malik dilahirkan pada 95 H. Sedangkan. imam al-Dzahabi meriwayatkan imam
Malik dilahirkan 90 H. Imam Yahya bin Bakir meriwayatkan bahwa ia mendengar
Malik berkata :"Aku dilahirkan pada 93 H". Dan inilah riwayat yang paling benar
(menurut al-Sam'ani dan ibn farhun). Dalam kitab al-muwaththa’ juga disebutkan
bahwa Imam Malik dilahirkan pada tahun 93 H. Adapun Malikiah adalah aliran
terkemuka dalam hukum Islam yang didirikan oleh Imam Malik.5

Ayahnya berasal dari kabilah dzi asbah yang ada di yaman sdangkan
ibunya bernama aliyah binti syuraik dari kabilah azdi.  Dalam buku lain dikatakan
bahwa nama ibu imam malik adalah al-ghalit binti syarik bin Abdul rahman bin
syarik al-azdiyyah.  

5 . M Hanafi dan muchlis, Biografi Lima Madzhab Imam Malik, (Tangerang: Lentera
Hati, 2013), hal. 46

6
Imam malik meninggal dunia di madinah yaitu pada tanggal 14 rabiul
awwal tahun 179  hijriyah ada juga pendapat yang mengatakan bahwa beliau
meninggal pada 11, 13, dan 14 bulan rajab. Belau meninggal dunia karna sakit
selam 20 hari.

D. Pemikiran Hukum Imam Malik

Imam Malik merupakan imam ahli sunnah (hadis). Beliau dianggap


sebagai orang yang pertama kali menghimpun hadist yaitu kitab al-Muwaththa’.
Beliau termasuk orang yang tajam pikirannya. Beliau mengumpulkan di dalam
fiqhnya penjelasan yang pasti dengan nash al-qur’an, hadist dan fatwa sahabat
serta menjaga kemaslahatan manusia dalam segala fatwanya. Abu Qudamah
berkata bahwa Malik adalah orang yang paling memelihara hafalannya pada
zamannya.

Kadi Iyadh mengatakan bahwa: ” Bila anda perhatikan dengan teliti, orang
pertama yang menempuh jalan para imam mujtahid dan metodologi pengambilan,
dan ijtihad mereka dalam fiqh dan hukum, dialah Imam Malik”. Adapun metode
dan dasar-dasar istinbat Imam  Malik adalah:

1.    Al-Qur’an

Seperti halnya imam madzhab yang lain, imam malik meletakkan al-Qur’an di
atas semua dalil karena al-Qur’an merupakan syariat dan hujjahnya. Imam Malik
mengambil dari:
      Nas yang tegas yang tidak menerima takwil dan mengambil bentuk
lahirnya.
      Mafhum muwafaqoh atau fahwa al-khitab, yaitu hukum yang semakna
dengan satu nas (al-qur’an dan hadis) yang hukumnya sama dengan yang
disebutkan oleh nas itu sendiri secara tegas.

7
      Mafhum mukhalafah, yaitu penetapan lawan hukum yang diambil dari
dalil yang disebutkan dalam nas (al-qur’an dan hadist) pada sesuatu yang
tidak disebutkan dalam nas
      ’Illat-’illat hukum(sesuatu sebab yang menimbulkan adanya hukum).

2.    Sunnah

Sunnah yang diambil oleh Imam Malik adalah:


 Sunnah mutawatir
 Sunnah masyhur, baik pada masa tabi’in maupun tabi’ al-tabi’in. Tingkat
kemasyhuran setelah generasi ini tidak dapat dipertimbangkan.
 Khabar(hadis) ahad yang didahului atas praktek penduduk Madinah dan kias.
Namun, kadang-kadang hadis ahad tertolak oleh kias dan maslahat.

3.    Praktek penduduk Madinah

Jika praktek ini benar-benar dinukilkan dari Nabi SAW., maka hal ini
dipandang sebagai hujjah. Sehubungan dengan hal itu, praktek penduduk Madinah
yang dasarnya ra’yu (akal, penalaran) bisa didahulukan atas khabar ahad.
Menurut Imam Malik, perbuatan penduduk Madinah termasuk sebagian dari
sunnah mutawatir karena pewarisannya melalui generasi ke generasi yang
dilakukan secara massal sehingga menutup kemungkinan untuk terjadi
penyelewengan dari sunnah. Para sahabat yang berada di Madinah bergaul dengan
Nabi Muhammad Saw dan mengembangkan tradisi hidup Nabi yang kemudian
diwariskan kepada tabi’in dengan cara yang sama. Pewarisan itu berlangsung
secara berkesinambungan hingga sampai kepada tabi’i al-tabi’in.

4.    Fatwa sahabat

Fatwa ini dipandang sebagai hadis yang wajib dilaksanakan. Dalam kaitan
ini, Imam Malik mendahulukan fatwa sebagian sahabat dalam soal manasik haji

8
dan meninggalkan sebagian yang lain, dengan alasan sahabat yang bersangkutan
tidak melaksanakannya karena tidak ada perintah dari Nabi SAW. Selain itu,
Imam Malik juga mengambil fatwa tabi’in besar, tetapi tidak disamakan
kedudukannya dengan fatwa sahabat.

5.    Kias, al-maslahah al-mursalah, dan istihsan

Imam Malik mengambil kias dalam pengertian umum yang merupakan


penyamaan hukum perkara, yakni hukum perkara yang tdak ditegaskan. Hal ini
disebabkan adanya persamaan sifat (’illat hukum). Sementara istihsan adalah
memandang lebih kuat ketetapan hukum berdasarkan maslahat juz’iyah atas
ketetapan hukum berdasar kias. Jika dalam kias ada keharusan menyamakan suatu
hukum yang tidak tegas, maka maslahat juz’iyah mengharuskan hukum lain dan
ini yang diberlakukan, yang kemudian dinamakan istihsan. Namun dalam
madzhab Maliki, istihsan itu sifatnya lebih umum yang mencakup setiap
maslahat, yaitu hukum maslahat yang tidak ada nas, baik dalam tema itu dapat
diterapkan kias atau tidak, sehingga pengertian istihsan itu mencakup al-
maslahah al-mursalah. Hal ini selaras dengan pendapat Iskandar Usman yang
mengatakan bahwa istihsan menurut Imam Malik berdasarkan kepada teori
mengutamakan realisasi tujuan syari’at (kemaslahatan-kemaslahatan). Contoh:
Dalil umum melarang aurat seseorang. Akan tetapi bila dalil umum ini tetap
diperlakukan sampai melarang melihat aurat seseorang dalam pengobatan, maka
hal itu akan mengakibatkan hilangnya maslahat yang ingin diwujudkan oleh dalil
itu, karena dalil umum itu ingin memelihara kemaslahatan tahsiniyyat
(pelengkap).

          Al maslahah al-mursalah artinya suatu kemaslahatan yang tidak ada


ketegasan nash al-Qur’an dan sunnah, tetapi dirujukkan pada tujuan-tujuan moral
dan pemahaman menyeluruh dari nash-nash itu. Contoh dari penggunaan teori ini
dapat dilihat pada tindakan Umar bin Khattab terhadap beberapa orang Yaman
yang membunuh satu orang. Ketika itu, sekelompok orang Yaman mengadakan

9
konsspirasi dalam pembunuhan satu orang. Tidak ad nash yang menegaskan kasus
ini, yang ada adalah ”an nafsu bin nafsi”(satu jiwa dengan satu jiwa). Setelah
mendikusikan masalah ini dengan Ali bin Abi Thalib, umar memutuskan qisas
terhadap orang-orang yang terlibat dalam konspirasi itu. Sikap itu, kata Umar
adalah suatu upaya mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan, yaitu mencegah
pertumpahan darah dan terjadinya hukum rimba. Kemaslahatan ini ini juga
merupakan suatu kemaslahatan yang menjadi sasaran utama Al-Qur’an. Sebab jka
orang-orang yang terlibat itu tidak dibunuh, maka cara konspirasi seprti itu akan
dianggap sebagai cara paling aman untuk menghindar dari qisas.  Dan inilah yang
dimaksudkkan al-maslahah al-mursalah.

6.    Az-Zara’i

Yaitu sarana yang membawa pada hal-hal yang diharamkan maka akan
menjadi haram pula, sarana yang membawa pada hal-hal yang dihalalkan maka
akan menjadi halal juga, dan sarana yang membawa pada kerusakan maka
diharamkan juga. Sarana yang membawa kepada kerusakan dalam madzhab
Maliki adalah:
a. Sarana yang secara pasti membawa pada kerusakan, contohnya menggali sumur
di belakang rum ah
b. sarana yang diduga kuat akan mengantarkan pada kerusakan contoh jual beli
anggur dengan dugaan akan dibuat khamar oleh pembelinya
c. sarana yang jarang membawa kerusakan contoh menggali sumur di tempat yang
tidak membahayakan orang
d. sarana yang banyak mengantarkan pada kerusakan tapi tidak dipandang umum,
contoh jual beli dengan tenggang waktu yang dapat membawa pada praktek
riba.

          Jaih Mubarok dalam bukunya mengatakan bahwa langkah-langkah ijtihad


Imam Malik hanya ada lima atau yang disebut ushul al-khomsah yaitu al-qur’an,

10
sunnah, perbuatan penduduk Madinah, fatwa sahabat, kias dan istihsan tanpa  az-
zara’i.
Beberapa hal yang menarik yang dapat diamati dari pemikiran dan dasar-
dasar mazhab Maliki dalam melakukan ijtihad adalah sebagai berikut:

1. Imam Malik mendahulukan orang-orang Madinah sebelum ia


melakukan pemikiran ijihadnya dengan ra’yu dan qiyas. Bagi Imam Malik,
perbuatan orang-orang Madinah dianggap memiliki kehujjahan yang sejajar
dengan Sunnah Nabi, bahkan Sunnah Mutawatirah. Ia beranggapan pewarisan
tradisi orang Madinah dilakukan secara massal dari generasi ke generasi sehingga
menutup kemungkinan ternjadinya penyelewengan dari sunnah.

2. Imam Malik menganggap dan menggunakan qaul sahabat sebagai dali syar’i
yang harus didahulukan penggunaannya daripada Qiyas. Walaupun belakangan
pandangan ini banyak diprotes keras, dia tetap berpandangan pentingnya
mengedepankan pemikiran dan pandangan sahabat dalam bentuk qaul fikih dan
fatwanya walaupun di dalamnya terdapat sahabat yang dianggap tidak ma’shum.

3. Kecenderungan yang kuat dalam penggunaan al-maşlahah mursalah.


Metodologi ini pada awalnya merupakan khas pemikiran Imam Malik yang
diduga kuat merupakan pengaruh dari pemikiran tokoh fikih sahabat, seperti
Umar bin Khaththab. Metode ini kemudian mendapat legitimasi dari semua
mazhab sesudahnya meskipun dengan sebutan yang berbeda. Dalam teori ini
dapat diketahui bahwa Imam Malik di satu sisi sangat kuat dan populer dengan
penggunaan hadits, ia juga tetap menggunakan rasio.

4. Imam Malik sangat toleran terhadap penggunaan hadits ahad. Ini merupakan
salah satu indikator bahwa tradisi bahwa tradisi orang Madinah dalam bentuk
hadits ahad bagi Imam Malik merupakan Hujjah.6

6 Dedi Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2011. Hal 300-
301

11
BAB III

PENUTUP

Sekian makalah yang dapat kami presentasekan. Semoga dapat bermanfaat


bagi para pendengar dalam menambah khasanah ilmu pengetahuan. Kami sangat
memerlukan kritik dan saran guna membangun makalah ini lebih baik. Akhir kata,
kami ucapkan kepada seluruh pihak yang membantu menyelesaikan makalah ini.
Syukur kepada Allah, shalawat kepada rasulullah.

Kesimpulan

Mazhab Al-Hanafiyah sebagaimana dipatok oleh pendirinya, sangat dikenal


sebagai terdepan dalam masalah pemanfaatan akal/ logika dalam mengupas
masalah fiqih. Oleh para pengamat dianalisa bahwa di antara latar belakangnya
adalah:

1. Karena beliau sangat berhati-hati dalam menerima sebuah hadits. Bila


beliau tidak terlalu yakin atas keshahihan suatu hadits, maka beliau lebih memlih
untuk tidak menggunakannnya. Dan sebagai gantinya, beliau menemukan begitu
banyak formula seperti mengqiyaskan suatu masalah dengan masalah lain yang
punya dalil nash syar’i.

2. Kurang tersedianya hadits yang sudah diseleksi keshahihannya di tempat


di mana beliau tinggal. Sebaliknya, begitu banyak hadits palsu, lemah dan
bermasalah yang beredar di masa beliau. Perlu diketahui bahwa beliau hidup di
masa 100 tahun pertama semenjak wafat nabi SAW, jauh sebelum era imam Al-
Bukhari dan imam Muslim yang terkenal sebagai ahli peneliti hadits.’

12
Beberapa hal yang menarik yang dapat diamati dari pemikiran dan dasar-
dasar mazhab Maliki dalam melakukan ijtihad adalah sebagai berikut:

1. Imam Malik mendahulukan orang-orang Madinah sebelum ia


melakukan pemikiran ijihadnya dengan ra’yu dan qiyas. Bagi Imam Malik,
perbuatan orang-orang Madinah dianggap memiliki kehujjahan yang sejajar
dengan Sunnah Nabi, bahkan Sunnah Mutawatirah. Ia beranggapan pewarisan
tradisi orang Madinah dilakukan secara massal dari generasi ke generasi sehingga
menutup kemungkinan ternjadinya penyelewengan dari sunnah.

2. Imam Malik menganggap dan menggunakan qaul sahabat sebagai dali syar’i
yang harus didahulukan penggunaannya daripada Qiyas. Walaupun belakangan
pandangan ini banyak diprotes keras, dia tetap berpandangan pentingnya
mengedepankan pemikiran dan pandangan sahabat dalam bentuk qaul fikih dan
fatwanya walaupun di dalamnya terdapat sahabat yang dianggap tidak ma’shum.

3. Kecenderungan yang kuat dalam penggunaan al-maşlahah mursalah.


Metodologi ini pada awalnya merupakan khas pemikiran Imam Malik yang
diduga kuat merupakan pengaruh dari pemikiran tokoh fikih sahabat, seperti
Umar bin Khaththab. Metode ini kemudian mendapat legitimasi dari semua
mazhab sesudahnya meskipun dengan sebutan yang berbeda. Dalam teori ini
dapat diketahui bahwa Imam Malik di satu sisi sangat kuat dan populer dengan
penggunaan hadits, ia juga tetap menggunakan rasio.

4. Imam Malik sangat toleran terhadap penggunaan hadits ahad. Ini merupakan
salah satu indikator bahwa tradisi bahwa tradisi orang Madinah dalam bentuk
hadits ahad bagi Imam Malik merupakan Hujjah.

13
DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996
Fikri, Ali. Kisah-kisah Imam Madzab, Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Hanafi, Muhammad dan Muchlis, Biografi Lima Madzhab Imam Malik,
Tangerang: Lentera Hati, 2013
Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqih , Kairo: Maktabah ad-Dakwah
alIslamiyyah, t.t.
Ismatullah, Dedi, Sejarah Sosial Hukum Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2011
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fikih, cet13 ,Jakarta: Pustaka Firdaus, 2010

14

Anda mungkin juga menyukai