PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap ahli hukum memiliki cara jalan berfikir berbeda. Begitu juga
dengan hli hukum Islam. Mereka berbeda dalam cara pengambilan hukum,
memahami dalil, dan cara menggunakan dalil. Dari cara mereka tersebut bisa kita
lihat juga bagaimana jalan pemikiran pada ahli tersebut. Disini pemakalah akan
membahas bagaimana pemikiran hukum Islam melalui pemikiran Imam Abu
hanifa dengan mazhab hanafinya serta pemikiran Imam Malik bin Anas pada
mazhab maliki nya. Disini juga akan mengupas bagaimana cara mereka
mengeluarkan suatu produk hukum dari dalil-dalil yang mereka teliti sesuai
dengan cara mereka berfikir.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan masalah
1
BAB II
PEMBAHASAN
Nama lengkapnya Abu Hanifah Al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zutha Al-Kufi.
Ia lahir pada tahun 80 H/699 M di Anbar, kota yang termasuk bagian dari propinsi
Kufah.1 Ayahnya berasal dari keturunan Persia. Nama kecilnya Nu’man. Beliau
dikenal dengan gelarnya Abu Hanifah, artinya orang yang selalu membawa dawat,
kemana beliau pergi (untuk mencatat pelajaran-pelajaran dari guru-gurunya).
Abu Hanifah tumbuh di kota Kufah. Di kota ini ia mulai belajar dan
menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Selain pernah melakukan pengembaraan ke
Basrah, Makkah dan Madinah dalam rangka mengembangkan wawasan dan
memperluas ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya.
2
Namanya An-Nu’man bin Zauthi at-Tamimi al-Kufi, kepala suku dari Bani
Tamim bin Tsa’labah, biasa dipanggil Abu hanifah, kemasyhuran nama tersebut
menurut para ahli sejarah ada beberapa sebab:
Mazhab Hanafi dikenal sebagai Imam Ahlurra’yi serta fiqih dari Irak. Ia
dikenal banyak menggunakan ra’yu, qiyas, dan istihsan. Dalam memperoleh suatu
hukum, yang tidak ada dalam nash, kadang-kadang ulama dalam mazhab ini
meninggalkan kaidah qiyas dan menggunakan kaidah istihsan. Muhammad Salam
Madkur menguraikan karakteristik manhaj Hanafi sebagai berikut :2
2 . Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996, hal.14
3
“Fiqih Hanafi membekas kepada ahli Kufah (negeri Imam Abu Hanifah
dilahirkan) yang mengembangkan aplikasi adat, qiyas, dan istihsan. Bahkan
dalam tingkatan imam, ia sering melewatkan beberapa persoalan; yakni apabila
tidak ada nash, ijma, dan qaul sahabat kepada qiyas, dan apabila qiyasnya
buruk (tidak rasional), Imam Hanafi meninggalkannya dan beralih ke istihsan,
dan apabila tidak meninggalkan qiyas, Imam Hanafi mengembalikan kepada
apa-apa yang telah dilakukan umat Islam dan apa-apa yang telah diyakini oleh
umat islam, begitulah hingga tercapai tujuan berbagai masalah.
4
memlih untuk tidak menggunakannnya. Dan sebagai gantinya, beliau
menemukan begitu banyak formula seperti mengqiyaskan suatu masalah
dengan masalah lain yang punya dalil nash syar’i.
Sebagai seorang sufi, Abu Hanifah tentu mempunyai pokok pikiran yang
patut kita contoh dan kita teladani. Diantara pokok pikiran Abu Hanifah adalah:
“Amalkanlah apa yang pernah kalian pelajari, karena teori tanpa praktek ibarat
tubuh tanpa roh”.’
3 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Kairo: Maktabah ad-Dakwah alIslamiyyah,
t.t.), hlm. 79
4 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fikih, cet13 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2010), hlm., 401
5
yang sangat minimalis. Sementara asy-Syafii dan az-Zahiri termasuk yang
menolak istihsan sebagai metode penggalian hukum.
Dari pokok pikiran itu dapat kita ambil pelajaran bahwa setiap perilaku,
tingkah laku, dan ibadah yang kita lakukan harus dibarengi denga teori ilmu yang
berkaitan dengan apa yang kita kerjakan tersebut, karena setiap perbuatan yang
kita lakukan disertai dengan ilmu, akan menampakkan hasil yang baik dan
memuaskan.
Ayahnya berasal dari kabilah dzi asbah yang ada di yaman sdangkan
ibunya bernama aliyah binti syuraik dari kabilah azdi. Dalam buku lain dikatakan
bahwa nama ibu imam malik adalah al-ghalit binti syarik bin Abdul rahman bin
syarik al-azdiyyah.
5 . M Hanafi dan muchlis, Biografi Lima Madzhab Imam Malik, (Tangerang: Lentera
Hati, 2013), hal. 46
6
Imam malik meninggal dunia di madinah yaitu pada tanggal 14 rabiul
awwal tahun 179 hijriyah ada juga pendapat yang mengatakan bahwa beliau
meninggal pada 11, 13, dan 14 bulan rajab. Belau meninggal dunia karna sakit
selam 20 hari.
Kadi Iyadh mengatakan bahwa: ” Bila anda perhatikan dengan teliti, orang
pertama yang menempuh jalan para imam mujtahid dan metodologi pengambilan,
dan ijtihad mereka dalam fiqh dan hukum, dialah Imam Malik”. Adapun metode
dan dasar-dasar istinbat Imam Malik adalah:
1. Al-Qur’an
Seperti halnya imam madzhab yang lain, imam malik meletakkan al-Qur’an di
atas semua dalil karena al-Qur’an merupakan syariat dan hujjahnya. Imam Malik
mengambil dari:
Nas yang tegas yang tidak menerima takwil dan mengambil bentuk
lahirnya.
Mafhum muwafaqoh atau fahwa al-khitab, yaitu hukum yang semakna
dengan satu nas (al-qur’an dan hadis) yang hukumnya sama dengan yang
disebutkan oleh nas itu sendiri secara tegas.
7
Mafhum mukhalafah, yaitu penetapan lawan hukum yang diambil dari
dalil yang disebutkan dalam nas (al-qur’an dan hadist) pada sesuatu yang
tidak disebutkan dalam nas
’Illat-’illat hukum(sesuatu sebab yang menimbulkan adanya hukum).
2. Sunnah
Jika praktek ini benar-benar dinukilkan dari Nabi SAW., maka hal ini
dipandang sebagai hujjah. Sehubungan dengan hal itu, praktek penduduk Madinah
yang dasarnya ra’yu (akal, penalaran) bisa didahulukan atas khabar ahad.
Menurut Imam Malik, perbuatan penduduk Madinah termasuk sebagian dari
sunnah mutawatir karena pewarisannya melalui generasi ke generasi yang
dilakukan secara massal sehingga menutup kemungkinan untuk terjadi
penyelewengan dari sunnah. Para sahabat yang berada di Madinah bergaul dengan
Nabi Muhammad Saw dan mengembangkan tradisi hidup Nabi yang kemudian
diwariskan kepada tabi’in dengan cara yang sama. Pewarisan itu berlangsung
secara berkesinambungan hingga sampai kepada tabi’i al-tabi’in.
Fatwa ini dipandang sebagai hadis yang wajib dilaksanakan. Dalam kaitan
ini, Imam Malik mendahulukan fatwa sebagian sahabat dalam soal manasik haji
8
dan meninggalkan sebagian yang lain, dengan alasan sahabat yang bersangkutan
tidak melaksanakannya karena tidak ada perintah dari Nabi SAW. Selain itu,
Imam Malik juga mengambil fatwa tabi’in besar, tetapi tidak disamakan
kedudukannya dengan fatwa sahabat.
9
konsspirasi dalam pembunuhan satu orang. Tidak ad nash yang menegaskan kasus
ini, yang ada adalah ”an nafsu bin nafsi”(satu jiwa dengan satu jiwa). Setelah
mendikusikan masalah ini dengan Ali bin Abi Thalib, umar memutuskan qisas
terhadap orang-orang yang terlibat dalam konspirasi itu. Sikap itu, kata Umar
adalah suatu upaya mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan, yaitu mencegah
pertumpahan darah dan terjadinya hukum rimba. Kemaslahatan ini ini juga
merupakan suatu kemaslahatan yang menjadi sasaran utama Al-Qur’an. Sebab jka
orang-orang yang terlibat itu tidak dibunuh, maka cara konspirasi seprti itu akan
dianggap sebagai cara paling aman untuk menghindar dari qisas. Dan inilah yang
dimaksudkkan al-maslahah al-mursalah.
6. Az-Zara’i
Yaitu sarana yang membawa pada hal-hal yang diharamkan maka akan
menjadi haram pula, sarana yang membawa pada hal-hal yang dihalalkan maka
akan menjadi halal juga, dan sarana yang membawa pada kerusakan maka
diharamkan juga. Sarana yang membawa kepada kerusakan dalam madzhab
Maliki adalah:
a. Sarana yang secara pasti membawa pada kerusakan, contohnya menggali sumur
di belakang rum ah
b. sarana yang diduga kuat akan mengantarkan pada kerusakan contoh jual beli
anggur dengan dugaan akan dibuat khamar oleh pembelinya
c. sarana yang jarang membawa kerusakan contoh menggali sumur di tempat yang
tidak membahayakan orang
d. sarana yang banyak mengantarkan pada kerusakan tapi tidak dipandang umum,
contoh jual beli dengan tenggang waktu yang dapat membawa pada praktek
riba.
10
sunnah, perbuatan penduduk Madinah, fatwa sahabat, kias dan istihsan tanpa az-
zara’i.
Beberapa hal yang menarik yang dapat diamati dari pemikiran dan dasar-
dasar mazhab Maliki dalam melakukan ijtihad adalah sebagai berikut:
2. Imam Malik menganggap dan menggunakan qaul sahabat sebagai dali syar’i
yang harus didahulukan penggunaannya daripada Qiyas. Walaupun belakangan
pandangan ini banyak diprotes keras, dia tetap berpandangan pentingnya
mengedepankan pemikiran dan pandangan sahabat dalam bentuk qaul fikih dan
fatwanya walaupun di dalamnya terdapat sahabat yang dianggap tidak ma’shum.
4. Imam Malik sangat toleran terhadap penggunaan hadits ahad. Ini merupakan
salah satu indikator bahwa tradisi bahwa tradisi orang Madinah dalam bentuk
hadits ahad bagi Imam Malik merupakan Hujjah.6
6 Dedi Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2011. Hal 300-
301
11
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
12
Beberapa hal yang menarik yang dapat diamati dari pemikiran dan dasar-
dasar mazhab Maliki dalam melakukan ijtihad adalah sebagai berikut:
2. Imam Malik menganggap dan menggunakan qaul sahabat sebagai dali syar’i
yang harus didahulukan penggunaannya daripada Qiyas. Walaupun belakangan
pandangan ini banyak diprotes keras, dia tetap berpandangan pentingnya
mengedepankan pemikiran dan pandangan sahabat dalam bentuk qaul fikih dan
fatwanya walaupun di dalamnya terdapat sahabat yang dianggap tidak ma’shum.
4. Imam Malik sangat toleran terhadap penggunaan hadits ahad. Ini merupakan
salah satu indikator bahwa tradisi bahwa tradisi orang Madinah dalam bentuk
hadits ahad bagi Imam Malik merupakan Hujjah.
13
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996
Fikri, Ali. Kisah-kisah Imam Madzab, Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Hanafi, Muhammad dan Muchlis, Biografi Lima Madzhab Imam Malik,
Tangerang: Lentera Hati, 2013
Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqih , Kairo: Maktabah ad-Dakwah
alIslamiyyah, t.t.
Ismatullah, Dedi, Sejarah Sosial Hukum Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2011
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fikih, cet13 ,Jakarta: Pustaka Firdaus, 2010
14