Anda di halaman 1dari 10

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................1

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................2

A. Latar Belakang Masalah.................................................................................2


B. Perumusan Masalah.......................................................................................2
C. Tujuan Penulisan ...........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................

A. Sejarah dan Biografi Imam Abu Hanifah.......................................................3


B. Dasar–Dasar Pemikiran Madzhab Abu Hanifah............................................5
C. Perbandingan madzhab imam Abu Hanifah dengan imam yang lain........... 8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................................9
B. Saran ..............................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................10

BAB I

1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fiqih merupakan ilmu yang mengatur tentang hukum-hukum Islam. Dalam
lingkungan Islam, ilmu fiqih terus menglami perkembangan yang cukup pesat dari
zaman Rasulullah SAW sampai sekarang. Sepeninggal Rasulullah SAW para sahabat
mulai melakukan ijtihad untuk menentukan suatu hukum, kemudian pada masa tabi’in
perkembangan ilmu fiqih berkembang cukup pesat. Pada masa tabi’in inilah mulai
muncul beberapa imam madzhab seperti imam Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali.
Empat imam madzhab diatas memiliki cara pandang dan dasar-dasar tersendiri
dalam menentukan hukum maupun kaidah-kaidah fiqih, baik tentang fiqih ibadah,
muamalah, maupun bidang fiqih lainnya. Para umat muslim di dunia juga menganut
madzhab-madzhab dari empat madzhab tersebut. Menurut sejarah, dari kekempat imam
madzhab, madzhab Hanafi adalah permulaan madzhab.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah
1. Bagaimana sejarah dan biografi dari imam Abu Hanifah?
2. Apa dasar pemikiran madzhab imam Abu Hanifah?
3. Bagaimana perbandingan madzhab imam Abu Hanifah dengan imam yang lain?
C. Tujuan Penulisan
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui sejarah dan biografi dari imam Abu Hanifah
2. Untuk mengetahui dasar pemikiran madzhab imam Abu Hanifah
3. Untuk mengetahui perbandingan madzhab imam Abu Hanifah dengan imam yang lain

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah dan Biografi Imam Abu Hanifah


Imam Abu Hanifah dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80 Hijriah (699 Masehi).
Nama kecilnya ialah Nu’man bin Sabit bin Zautha bin Mah. Ayah beliau keturunan dari
bangsa Persi (Kabul-Afganistan) tetapi sebelum beliau dilahirkan ayah beliau sudah
pindah ke Kufah. Beliau dipanggil Abu Hanifah karena sesudah berputra, ada di
antaranya yang dinamakan Hanifah, maka dari itu beliau mendapat gelar dari orang
banyak dengan sebutan Abu Hanifah. Tetapi ada riwayat lain, bahwa yang menyebabkan
beliau dipanggil Abu Hanifah, karena beliau seorang yang rajin melakukan ibadah kepada
Allah dan sungguh-sungguh mengerjakan kewajibannya dalam agama. Karena perkataan
“Hanif” dalam bahasa Arab artinya “cenderung” atau “condong” kepada agama yang
benar. Beliau wafat pada bulan Rajab tahun 150 H (767 M) di Bagdad.
1. Pendidikan Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah sejak kecil suka kepada ilmu pengetahuan, terutama yang
ada hubungannya dengan agama Islam. Beliau banyak belajar dari ulama-ulama
tabi’in seperti Ata’ bin Abi Rabah dan Imam Nafi’ Maula Ibnu Umar. Beliau juga
belajar ilmu hadits dan fiqh dari ulama-ulama yang terkemuka di negeri itu. Guru
yang paling berpengaruh pada dirinya ialah Imam Hammad bin Abi Sulaiman.
2. Hasil Karya Imam Abu Hanifah dan Murid-muridnya
Imam Abu Hanifah memang seorang ahli tentang fiqh dan ilmu kalam dan
pada saat beliau hidup banyak yang berguru padanya. Di bidang ilmukalam beliau
menulis kitab yang berjudul al-Fiqh al-Asqar dan al-Fiqh al-Akbar. Tetapi dalam
bidang ilmu fiqh tidak ditemukan catatan sejarah yang menunjukkan bahwa Imam
Abu Hanifah menulis sebuah buku fiqh sewaktu hidupnya.
3. Ciri-ciri Khas Fiqh Mazhab Hanafi
Dalam membentuk hukum, Imam Abu Hanifah menempatkan al-Qur'an sebagai
landasan pokok, kemudian sunah sebagai sumber kedua. Beliau juga berpegang pada
fatwa sahabat yang disepakati, tetapi jika suatu hukum tidak ditemukan dalam
sumber-sumber tersebut, ia melakukan ijtihad. Illat ayat-ayat hukum dan hadits,
terutama dalam bidang mu’amalah, menurut pandangannya perlu sejauh mungkin
ditelusuri sehingga berbagai metode ijtihad dapat difungsikan antara lain qiyas dan
istihsan. Metode istihsan telah banyak berperan dalam membentuk pendapat-pendapat

3
fiqh Imam Abu Hanifah dan membuat mazhabnya lebih dinamis, realistis dan
rasional. Mazhab Hanafi memiliki beberapa ciri sebagai berikut :
a. Fiqh Imam Abu Hanifah lebih menekankan pada fiqh muamalah
b. Fiqh Imam Abu Hanifah memberikan penghargaan khusus kepada hak
seseorang baik pria maupun wanita.
B. Dasar–Dasar Pemikiran Madzhab Abu Hanifah.
Abu Hanifah adalah seorang imam yang terkemuka dalam bidang qiyas da istihsan.
Beliau mempergunakan qiyas dan istihsan apabila beliau tidak memperoleh nash dalam
Kitabullah, Sunnatur Rasul atau ijma’. Dengan kita memperhatikan cara-cara yang di
tempuh Abu Hanifah untuk beristinbath, nyatalah bahwa dasar-dasar hokum Fiqh dalam
madzhabnya, ialah:
1. Al Kitab
Secara etimologis, lafal qur’an sama dengan lafal qira’at. Ia merupakan
bentuk masdar menurut wazn (pola) fu’lan, seperti lafal gufran dan syukran. Bentuk
kata kerjanya adalah qara’a yang berarti al-jam’u wa al dammu, yakni menghimpun
dan mengumpulkan. Dengan demikian lafal qur’an dan qira’at secara etimologis
berarti menghimpun dan memadukan sebagian huruf-huruf dan kata-kata dengan
sebagian lainya. Firman Allah dalam surah al-Qiyamah (75):17-18:

ُ‫ِإ َّن َعلَْينَا مَجْ َعهُ َو ُق ْرآنَهُ فَِإذَا َقَرْأنَاهُ فَاتَّبِ ْع ُق ْرآنَه‬
17. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan
(membuatmu pandai) membacanya.
18. apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.
2. As Sunnah
Sunnah (Arab, al-Sunnah, bentuk pluralnya al-sunan) secara etimologis
mengandung makna “cara dan jalan hidup”, baik yang berkualitas baik maupun buruk.
Sunnah di bagi menjadi 5, yaitu:
a. Sunnah qauliyyah
b. Sunnah fi’liyah
c. Sunnah taqririyah
d. Sunnah yang materinya berupa penggambaran sikap Nabi.
e. Sunnah yang materinya berupa penggambaran citra fisik Nabi.
3. Al Ijma’

4
Ijma’ adalah kesepakatan semua mujtahid dari umat Nabi Muhammad sesudah
wafatnya beliau pada suatu masa terhadap suatu perkara.
Kedudukan ijma’
Sehubungan dengan kedudukan ijma’, ummat islam di bedakan menjadi dua
golongan, yakni golongan ahlu sunnah wal jama’ah (sunni) dan golongan non sunni
(Khawarij, Syi’ah, dan Mu’tazilah). Golongan non Sunni memandang bahwa ijma’
bukanmerupakan hujjah syar’iyyah. Sunni berkeyakinan bahwa ijma’ merupakan
hujjah syar’iyyah. Menurut mereka ijma’ adalah dalil syara’ yang berbobot qath’i.
4. Al Qiyas
Secara etimologis makna qiyas adalah “hakiki” (pengukuran) dan bermakna
majazi (persamaan). Secara terminologis yaitu: menghubungkan sesuatu kepada
sesuatu yang lain perihal ada atau tidak adanya hokum berdasarkan unsure yang
mempersatukan keduanya, baik berupa penetapan maupun peniadaan hokum/sifat dari
keduanya.
5. Al Istihsan
Istihsan secara etimologis mengandung arti “menganggab sesuatu itu baik”.
Secara terminologis, istihsan adalah berpalingnya sang mujtahid dari tuntutan qiyas
jaili kepada tuntutan qiyas khafiy berlandaskan dasar pikiran tertentu yang rasional
atau berpalingnya sang mujtahid dari tuntutan hokum kully kepada tuntutan hokum
juz’iy berlandaskan dasar pikiran tertentu yang rasional.
Menurut Ibnu Al-Arabi, istihsan adalah meninggalkan kehendak dalil dengan
cara pengecualian atau memberikan rukhsah karena berbeda hukumnya dalam
beberapa hal. Ibnu Al Arabi menambahkan, istihsan adalah beramal dari salah satu
dari dua dalil yang paling kuat, berpegang kepada dalil umum apabila dalil itu bias
terus berlaku dan berpegang kepada qiyas apabila qiyas itu berlaku umum.
Menurut Ibnu Rasyid, istihsan adalah meninggalkan qiyas dalam menetapkan
suatu hokum karena qiyas itu menimbulkan ketentuan hokum yang terkesan
berlebihan atau tidak wajar. Ibnu Rasyid berpandangan, pada beberapa kasus
penetapan hukum tidak dilakukan dengan qiyas, tetapi diahlikan darinya karena ada
pengertian yang mempengaruhi dalam penetapan hokum yang mengkhususkan kasus
tersebut.
C. Perbandingan madzhab imam Abu Hanifah dengan imam yang lain
Kewajiban orang Islam apabila ia sendiri sukar mencari hukum langsung dari dalil-
dalilnya, ialah bertanya kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan, tetapi tidak

5
mesti ia menganut madzhab tertentu, karena tidak ada kewajiban kecuali yang telah
diwajibkan kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan Allah tidak mewajibkan seorang
untuk bermadzhab dari sesuatu madzhab dari imam-imam madzhab. Dalam
penerapannya, berikut adalah contoh perbandingan madzhab imam Hanafi dengan imam
madzhab lainnya. Contohnya adalah shalat sunnah bagi musafir.
Bagi musafir yang menunaikan shalat sunnah, sah baginya kearah manapun sesuai
dengan konsessus ulama. Dalam masalah ini, ada beberapa pendapat para fuqaha, yatiu:
1. Menurut madzhab Hanafi
Menurut madzhab Hanafi, pensyaratan kiblat bagi orang yang sakit atau sedang
menaiki kendaraan adalah arah manapun yang memungkinkan. Hukum ini juga
berlaku bagi musafir atau ketakutan yang mencekam karena musuh atau pencuri dan
atau serangan binatang buas. rdhu
Khusus untuk shalat yang dilakukakn diatas kendaraan atau binatang tumpangan,
jika mungkin hendaknya berhenti dahulu. Tetapi jika dengan berhentinya
mengakibatkan efek negatif, misalnya ditinggal rombonganmaka boleh menunaikan
shalat dengan berdiri. Madzhab ini menambahkan bahwa shalat yang diperbolehkan
adalah shalat sunnah muakad. Namun kebolehan itu tidak berlaku dalam shalat
fardhu, witir, nadzar, dan jenazah. Shalat-shalat tersebut tidak boleh ditunaikan diatas
binatang kecuali ada udzur.
Bagaimana prosesi shaltnya? Dalam melakukan rangkaian gerakan, ia bisa
melakukannya dengan isyarat, (ima’) dengan menghadap kearah manapun karrena
darurat. Sekali lagi, dalam kondisi ini, tidak ada persyaratan menghadap kiblat. Jadi
shalatnya tetap sah sekalipun dalam tubuh atau kaki binatang tersebut terdapat najis.
2. Menurut madzhab Maliki
Menurut madzhab Maliki seseorang boleh melakukan shalat sunah, baik dengan
menghadap kiblat atau lainnya, jika dikhawatirkan dengan turun, aakan terjadi bahya
yang tidak diinginkan, misalnya serangan penjahat atau serangan binatang buas. Hal
tu juga berlaku bagi mereka yang berada dalam tandu dengan tetap duduk diatasnya
dan tandu tetap masih berjalan.
Dalam keadaan ini, gerakan rukun, seperti sujud dan ruku bisa diganti dengan
isyarat, misalnya gerakan sujud lebih rendah dibanding gerakan ruku. Kondisi tanah
tid ak harus bersih dan mereka tidak boleh berbicara.
Ada beberapa syarat yang ditetapkan demi keabsahan penunaian shalat sunah
dalam perjalanan, yaitu:

6
a. Perjalanan itu telah mencapai jarak minimal 89 KM. Bagi mereka yang melakukan
perjalanan karena kemaksiatan tidak mendapat keringanan apapun.
b. Dalam perjalanan itu sebagai penunggang. Tidak berjalan atau duduk saja. Bagi
mereka yang perjalanannya menggunakan fasilitas perahu atau kapal, tetap wajib
baginya menghadap kiblat. Jika memang perahu atau kapal tersebut berputar arah,
maka ikut berputar.
c. perjalanan itu dalam kondisi normal, misalnya tidak terbalik atau kakinya terikat.
3. Menurut madzhab Syafi’i
Menurut madzhab Syafi’i seorang musaafir baik dalam perjalanan jauh atau dekat,
dalam jangka waktu yang lama atau sebentar, boleh melakukan shalat sunnah di atas
kendaraanya. Namun keringanan tersebut tidak berlaku bagi perjalanan maksiat. Juga
mereka yang berjalan. Wajib bagi mereka untuk tetap menyempurnakan syarat dan
rukun yang telah ditetapkan syara’.
Dalam melakukan shalat sunah tersebut, gerakan ruku dan sujud bisa digantikan
dengan isyarat. posisi tubuh ketika sujud harus lebi rendah dibanding ketika ruku.
Syaratny, shalat tersebut dimulai dengan menghadap kiblat jika memungkinkan. Jikaa
seseorang menunaikan shlat dengan memegang tali kendaraan hewan yang disitu
terdapat najis, maka shalatny tidak sah, baik najisnya basah atau kering. Perinciannya
adalah sebagai berikut:
a. Jika seseorang menaiki tandu, wajib baginya menghadap kiblat selama menunaikan
rukun shalat. Kalau tidak bisa sebagian saja, misaalnya sujud dan ruku. Hal itu
dianggap mudah dan sangat memungkinkan. Jika memang menyulitkan cukuplah
baginya menghadap kiblat saat takbiratul ihram. Itupun juga memungkinkan.
Jika hewannya berhenti dan memungkinkan untuk merubah arah serta tali
kendali ada ditangannya, maka ini memudahkannya mengendalikan jalannya
hewan tersebut. Jika sulit dan tidak memungkinkan untuk mengendalikannya,
tidak wajib baginya menghadap kiblat karena keadaan ini cukup menyulitkannya.
b. Untuk seorang nahkoda, tidak diwajibkan menghadap kiblat. Hal ini mengingat
resiko yang ditimbulkan jika ia memaksakan hal itu.
4. Menurut madzhab Hambali
Menurut madzhab Hambali, bahwa kebolehan tersebut hanya untuk mereka
yang menaiki kendaraan, baik itu perjalanan dekat atau jauh. Gerakan sujud dan
rukunya cukup dengan isyarat. Caranya posisi tubuh waktu sujud bungkuknya lebih
rendah dibanding ruku. Kewajiban menghadap kiblat tetap harus ditunaikan bagi

7
mereka yang menunggang kendaraan, tetapi didaerahnya sendiri. Itu tidak bisa
dikatakan musafir. Jadi kembali kehukum semula. Lebih lanjut mereka boleh
melkukan hal itu diatas keledai atau sejenisnya. Beda halnya dengan shalat diatas
binatang najis, disitu harus ada alas suci yang meanghalangi interaksi langsung
dengan kulitnya. Dengan kata lain, carilah alas atau penutup apapun untuk
memisahkan tubuh dengan bagian najis pada tubuh binatang tersebut.
Secara umum bisa dikatakan bahwa sekiranya memang mungki ke arah kiblat,
maka ia tidak boleh merubah kearah yang lebih mudah. Jika seseorang berada diatas
kapal atau perahu besar, maka ia harus menghadap kiblat jika memungkinkan . Begitu
juga dengan gerakan ruku dan sujud. Jika dia mungkin menhgadap kiblat, tapi tidak
memungkinkan untuk ruku dan sujud, maka menghadap kiblat harus diprioritaskan.
Untuk ruku dan sujud cukup dengan isyarat.

8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
1. Ciri-ciri khas fiqh mazhab Hanafi adalah fiqh imam Abu Hanifah lebih menekankan
pada fiqh muamalah dan memberikan penghargaan khusus kepada hak seseorang baik
pria maupun wanita.
2. Dasar pemikiran madzhab Hanafi adalah Al-Qur’an, sunah, ijma, qiyas, dan istihsan.
3. Madzhab Hanafi memiliki perbedaan dengan madzhab imam fiqih yang lain, namun
dasar mereka dalam menetapkan hukum itu sama, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits
sebagai dua sumber utama.
B. Saran
Demikian makalah yang dapat kami susun. Semoga makalah ini dapat berguna bagi
kami sendiri maupun orang yang membacanya.sebelumnya kami memohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran
yang membangun demi perbaikan dimasa depan.

9
DAFTAR PUSTAKA

Asmawi, 2011, Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta:AMZAH

Chalil, Moenawar, 1986, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Jakarta : Bulan Bintang
Musyafa’, Fadholan Mu’thi, 2007, Shalat di Pesawat dan Angkasa, Tuban: Syauqi Press
Syaltut, Mahmud, 2005, Perbandingan Masalah Madzhab dalam Masalah Fiqih, Jakarta:
Bulan Bintang

Teungku Muhammad Hasbi, 1999 , Pengantar Iilmu Fikih, Semarang: Pustaka Rizki Putra

10

Anda mungkin juga menyukai