Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH UJIAN TENGAH SEMESTER

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Madzhab Hanafi

Disusun oleh

Alda Utami Hidayana

161610101006

UNIVERSITAS JEMBER

2017
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa


karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul Madzhab Hanafi tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Makalah ini penulis wujudkan sebagai tindak lanjut atas tugas mata
kuliah Pendidikan Agama Islam . Di samping itu, makalah ini juga
direalisasikan sebagai pengetahuan yang lebih tentang mahdzab hanafi.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang
mendalam kepada Dosen Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam, karena
senantiasa memberikan inspirasi dan motivasi bagi penulis untuk selalu
bersemangat saat di kelas.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna, baik dari
segi isi maupun penyusunannya. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat kontruktif dari segenap
pembaca. Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya
bagi mahasiswa Universitas Jember.

Jember, 11 Oktober 2017

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i


DAFTAR ISI . ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah .. 2
C. Manfaat dan Tujuan.... 2
BABA II PEMBAHASAN
A. Sejarah dan Biografi Imam Abu Hanifah.... 3
B. DasarDasar Pemikiran Madzhab Abu Hanifah.. 4
C. Perbandingan madzhab imam Abu Hanifah dengan imam yang lain.. 6
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.... 9
B. Kata Penutup.. 9
DAFTAR PUSTAKA..... 10

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam pada masa Rasulallah masih hidup apabila terdapat
kekurangan paham terhadap suatu hukum, para sahabat langsung
menanyakan kepada rasulallah, sehingga bisa cepat terselesaikan.
Kemudian sepeninggalan rasulallah para sahabat menggunakan
pengalaman yang diperoleh dari perkataan, perbuatan dan kebiasaan beliau
ketika msih hidup. Ketika sampai kepada masa tahap ini mereka berpegang
kepada al- quran, as sunah, dan kepada perkataan sahabat. Seiring
prekembangan jaman persoalan semakin bertambah jumlahnya dari waktu
ke waktu, sementara tidak seluruhnya solusi permasalahan ditemukan
dalam al quran, as sunah, maupun perkataan sahabat. Sehingga dilakukan
jakan ijtihad sendiri, termasuk melakukan qiyas (analogi) sebagai syara.
Sehingga seiring perkembanngan waktupun banyak terjadi perbedaan
madzhab.
Madzhab adalah cara yang ditempuh atau jalan yang diikuti.
Embriio dari perbedaan madzhab ini adalah karena terjadi perbedaan cara
pandang dan analisis terhadap nash (teks), walaupun semua mempunyai
dasar yang sama yaitu al quran dan hadis. Namun perbedaab tersebut
dianggap wajar oleh para ulama fiqih. Karena berbagai faktor yang
mempengaruhinya, diantaranya faktor intuisi, interaksi sosial budaya, dan
faktor adaptasi perkembangan jaman.
Madzhab dalam hukum islam pun semakin bermunculan. Sebagai
contoh ada madzhab sunni yang terdiri dari madzhab Hanafi, Maliki,
SyafiI dan Hambali. Sedangkan madzhab syii terdiri dari madzhab Zaidi
dan Jarani yang semua itu perlu untuk kita ketahui sebagai pertimbangan
dalam kita melaksanakan keislaman.

1
Dalam makalah ini kami bermaksud menuliskan salah satu dari macam
macam madzhab tersebut, yaitu madzhab Hanafi. Tentang bagaimana biografi
beliau, pola pikir beliau, apa saja dalil dasar yang digunakan, dan bagaiman
penerapan hukum beliau dalam realita.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah dan biografi dari imam Abu Hanifah?
2. Apa dasar pemikiran madzhab imam Abu Hanifah?
3. Bagaimana perbandingan madzhab imam Abu Hanifah dengan imam yang
lain?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui sejarah dan biografi dari imam Abu Hanifah
2. Untuk mengetahui dasar pemikiran madzhab imam Abu Hanifah
3. Untuk mengetahui perbandingan madzhab imam Abu Hanifah dengan imam
yang lain

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah dan Biografi Imam Abu Hanifah


Imam Abu Hanifah dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80 Hijriah (699
Masehi). Nama kecilnya ialah Numan bin Sabit bin Zautha bin Mah. Ayah
beliau keturunan dari bangsa Persi (Kabul-Afganistan) tetapi sebelum beliau
dilahirkan ayah beliau sudah pindah ke Kufah. Beliau dipanggil Abu Hanifah
karena sesudah berputra, ada di antaranya yang dinamakan Hanifah, maka dari itu
beliau mendapat gelar dari orang banyak dengan sebutan Abu Hanifah. Tetapi ada
riwayat lain, bahwa yang menyebabkan beliau dipanggil Abu Hanifah, karena
beliau seorang yang rajin melakukan ibadah kepada Allah dan sungguh-sungguh
mengerjakan kewajibannya dalam agama. Karena perkataan Hanif dalam
bahasa Arab artinya cenderung atau condong kepada agama yang benar.
Beliau wafat pada bulan Rajab tahun 150 H (767 M) di Bagdad.
1. Pendidikan Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah sejak kecil suka kepada ilmu pengetahuan, terutama
yang ada hubungannya dengan agama Islam. Beliau banyak belajar dari
ulama-ulama tabiin seperti Ata bin Abi Rabah dan Imam Nafi Maula Ibnu
Umar. Beliau juga belajar ilmu hadits dan fiqh dari ulama-ulama yang
terkemuka di negeri itu. Guru yang paling berpengaruh pada dirinya ialah
Imam Hammad bin Abi Sulaiman.
2. Hasil Karya Imam Abu Hanifah dan Murid-muridnya
Imam Abu Hanifah memang seorang ahli tentang fiqh dan ilmu kalam
dan pada saat beliau hidup banyak yang berguru padanya. Di bidang
ilmukalam beliau menulis kitab yang berjudul al-Fiqh al-Asqar dan al-Fiqh
al-Akbar. Tetapi dalam bidang ilmu fiqh tidak ditemukan catatan sejarah
yang menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah menulis sebuah buku fiqh
sewaktu hidupnya.
3. Ciri-ciri Khas Fiqh Mazhab Hanafi
Dalam membentuk hukum, Imam Abu Hanifah menempatkan al-Qur'an
sebagai landasan pokok, kemudian sunah sebagai sumber kedua. Beliau juga

3
berpegang pada fatwa sahabat yang disepakati, tetapi jika suatu hukum tidak
ditemukan dalam sumber-sumber tersebut, ia melakukan ijtihad. Illat ayat-ayat
hukum dan hadits, terutama dalam bidang muamalah, menurut pandangannya
perlu sejauh mungkin ditelusuri sehingga berbagai metode ijtihad dapat
difungsikan antara lain qiyas dan istihsan. Metode istihsan telah banyak
berperan dalam membentuk pendapat-pendapat fiqh Imam Abu Hanifah dan
membuat mazhabnya lebih dinamis, realistis dan rasional. Mazhab Hanafi
memiliki beberapa ciri sebagai berikut :
a. Fiqh Imam Abu Hanifah lebih menekankan pada fiqh muamalah
b. Fiqh Imam Abu Hanifah memberikan penghargaan khusus kepada hak
seseorang baik pria maupun wanita.

B. DasarDasar Pemikiran Madzhab Abu Hanifah.


1. Abu Hanifah adalah seorang imam yang terkemuka dalam bidang qiyas da
istihsan. Beliau mempergunakan qiyas dan istihsan apabila beliau tidak
memperoleh nash dalam Kitabullah, Sunnatur Rasul atau ijma. Dengan kita
memperhatikan cara-cara yang di tempuh Abu Hanifah untuk beristinbath,
nyatalah bahwa dasar-dasar hokum Fiqh dalam madzhabnya, ialah Al Kitab
Secara etimologis, lafal quran sama dengan lafal qiraat. Ia merupakan
bentuk masdar menurut wazn (pola) fulan, seperti lafal gufran dan syukran.
Bentuk kata kerjanya adalah qaraa yang berarti al-jamu wa al dammu,
yakni menghimpun dan mengumpulkan. Dengan demikian lafal quran dan
qiraat secara etimologis berarti menghimpun dan memadukan sebagian
huruf-huruf dan kata-kata dengan sebagian lainya. Firman Allah dalam surah
al-Qiyamah (75):17-18:



17. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu)
dan (membuatmu pandai) membacanya.
18. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.
2. As Sunnah
Sunnah (Arab, al-Sunnah, bentuk pluralnya al-sunan) secara etimologis
mengandung makna cara dan jalan hidup, baik yang berkualitas baik
maupun buruk. Sunnah di bagi menjadi 5, yaitu:

4
a. Sunnah qauliyyah
b. Sunnah filiyah

c. Sunnah taqririyah
d. Sunnah yang materinya berupa penggambaran sikap Nabi.
e. Sunnah yang materinya berupa penggambaran citra fisik Nabi.
3. Al Ijma
Ijma adalah kesepakatan semua mujtahid dari umat Nabi Muhammad
sesudah wafatnya beliau pada suatu masa terhadap suatu perkara.
Kedudukan ijma
Sehubungan dengan kedudukan ijma, ummat islam di bedakan menjadi
dua golongan, yakni golongan ahlu sunnah wal jamaah (sunni) dan
golongan non sunni (Khawarij, Syiah, dan Mutazilah). Golongan non Sunni
memandang bahwa ijma bukanmerupakan hujjah syariyyah. Sunni
berkeyakinan bahwa ijma merupakan hujjah syariyyah. Menurut mereka
ijma adalah dalil syara yang berbobot qathi.
4. Al Qiyas
Secara etimologis makna qiyas adalah hakiki (pengukuran) dan
bermakna majazi (persamaan). Secara terminologis yaitu: menghubungkan
sesuatu kepada sesuatu yang lain perihal ada atau tidak adanya hokum
berdasarkan unsure yang mempersatukan keduanya, baik berupa penetapan
maupun peniadaan hokum/sifat dari keduanya.
5. Al Istihsan
Istihsan secara etimologis mengandung arti menganggab sesuatu itu
baik. Secara terminologis, istihsan adalah berpalingnya sang mujtahid dari
tuntutan qiyas jaili kepada tuntutan qiyas khafiy berlandaskan dasar pikiran
tertentu yang rasional atau berpalingnya sang mujtahid dari tuntutan hokum
kully kepada tuntutan hokum juziy berlandaskan dasar pikiran tertentu yang
rasional.
Menurut Ibnu Al-Arabi, istihsan adalah meninggalkan kehendak dalil
dengan cara pengecualian atau memberikan rukhsah karena berbeda
hukumnya dalam beberapa hal. Ibnu Al Arabi menambahkan, istihsan adalah
beramal dari salah satu dari dua dalil yang paling kuat, berpegang kepada dalil

5
umum apabila dalil itu bias terus berlaku dan berpegang kepada qiyas apabila
qiyas itu berlaku umum.
Menurut Ibnu Rasyid, istihsan adalah meninggalkan qiyas dalam
menetapkan suatu hokum karena qiyas itu menimbulkan ketentuan hukum
yang terkesan berlebihan atau tidak wajar. Ibnu Rasyid berpandangan, pada
beberapa kasus penetapan hukum tidak dilakukan dengan qiyas, tetapi
diahlikan darinya karena ada pengertian yang mempengaruhi dalam
penetapan hokum yang mengkhususkan kasus tersebut.

C. Perbandingan madzhab imam Abu Hanifah dengan imam yang lain


Kewajiban orang Islam apabila ia sendiri sukar mencari hukum langsung
dari dalil-dalilnya, ialah bertanya kepada orang-orang yang mempunyai
pengetahuan, tetapi tidak mesti ia menganut madzhab tertentu, karena tidak
ada kewajiban kecuali yang telah diwajibkan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Sedangkan Allah tidak mewajibkan seorang untuk bermadzhab dari sesuatu
madzhab dari imam-imam madzhab. Dalam penerapannya, berikut adalah
contoh perbandingan madzhab imam Hanafi dengan imam madzhab lainnya.
Contohnya adalah shalat sunnah bagi musafir.
Bagi musafir yang menunaikan shalat sunnah, sah baginya kearah manapun
sesuai dengan konsessus ulama. Dalam masalah ini, ada beberapa pendapat
para fuqaha, yatiu:
1. Menurut madzhab Hanafi
Menurut madzhab Hanafi, pensyaratan kiblat bagi orang yang sakit atau
sedang menaiki kendaraan adalah arah manapun yang memungkinkan.
Hukum ini juga berlaku bagi musafir atau ketakutan yang mencekam karena
musuh atau pencuri dan atau serangan binatang buas. rdhu
Khusus untuk shalat yang dilakukakn diatas kendaraan atau binatang
tumpangan, jika mungkin hendaknya berhenti dahulu. Tetapi jika dengan
berhentinya mengakibatkan efek negatif, misalnya ditinggal rombonganmaka
boleh menunaikan shalat dengan berdiri. Madzhab ini menambahkan bahwa
shalat yang diperbolehkan adalah shalat sunnah muakad. Namun kebolehan
itu tidak berlaku dalam shalat fardhu, witir, nadzar, dan jenazah. Shalat-shalat
tersebut tidak boleh ditunaikan diatas binatang kecuali ada udzur.

6
Bagaimana prosesi shaltnya? Dalam melakukan rangkaian gerakan, ia
bisa melakukannya dengan isyarat, (ima) dengan menghadap kearah
manapun karrena darurat. Sekali lagi, dalam kondisi ini, tidak ada persyaratan
menghadap kiblat. Jadi shalatnya tetap sah sekalipun dalam tubuh atau kaki
binatang tersebut terdapat najis.
2. Menurut madzhab Maliki
Menurut madzhab Maliki seseorang boleh melakukan shalat sunah,
baik dengan menghadap kiblat atau lainnya, jika dikhawatirkan dengan turun,
aakan terjadi bahya yang tidak diinginkan, misalnya serangan penjahat atau
serangan binatang buas. Hal tu juga berlaku bagi mereka yang berada dalam
tandu dengan tetap duduk diatasnya dan tandu tetap masih berjalan.
Dalam keadaan ini, gerakan rukun, seperti sujud dan ruku bisa diganti
dengan isyarat, misalnya gerakan sujud lebih rendah dibanding gerakan ruku.
Kondisi tanah tid ak harus bersih dan mereka tidak boleh berbicara.
Ada beberapa syarat yang ditetapkan demi keabsahan penunaian shalat
sunah dalam perjalanan, yaitu:
a. Perjalanan itu telah mencapai jarak minimal 89 KM. Bagi mereka yang
melakukan perjalanan karena kemaksiatan tidak mendapat keringanan
apapun.
b. Dalam perjalanan itu sebagai penunggang. Tidak berjalan atau duduk saja.
Bagi mereka yang perjalanannya menggunakan fasilitas perahu atau kapal,
tetap wajib baginya menghadap kiblat. Jika memang perahu atau kapal
tersebut berputar arah, maka ikut berputar.
c. perjalanan itu dalam kondisi normal, misalnya tidak terbalik atau kakinya
terikat.
3. Menurut madzhab Syafii
Menurut madzhab Syafii seorang musaafir baik dalam perjalanan jauh
atau dekat, dalam jangka waktu yang lama atau sebentar, boleh melakukan
shalat sunnah di atas kendaraanya. Namun keringanan tersebut tidak berlaku
bagi perjalanan maksiat. Juga mereka yang berjalan. Wajib bagi mereka untuk
tetap menyempurnakan syarat dan rukun yang telah ditetapkan syara.
Dalam melakukan shalat sunah tersebut, gerakan ruku dan sujud bisa
digantikan dengan isyarat. posisi tubuh ketika sujud harus lebi rendah
dibanding ketika ruku. Syaratny, shalat tersebut dimulai dengan menghadap

7
kiblat jika memungkinkan. Jikaa seseorang menunaikan shlat dengan
memegang tali kendaraan hewan yang disitu terdapat najis, maka shalatnya
tidak sah, baik najisnya basah atau kering. Perinciannya adalah sebagai
berikut:
Jika seseorang menaiki tandu, wajib baginya menghadap kiblat selama
menunaikan rukun shalat. Kalau tidak bisa sebagian saja, misaalnya sujud dan
ruku. Hal itu dianggap mudah dan sangat memungkinkan. Jika memang
menyulitkan cukuplah baginya menghadap kiblat saat takbiratul ihram.
Itupun juga memungkinkan Jika hewannya berhenti dan memungkinkan
untuk merubah arah serta tali kendali ada ditangannya, maka ini
memudahkannya mengendalikan jalannya hewan tersebut. Jika sulit dan tidak
memungkinkan untuk mengendalikannya, tidak wajib baginya menghadap
kiblat karena keadaan ini cukup menyulitkannya. Untuk seorang nahkoda,
tidak diwajibkan menghadap kiblat. Hal ini mengingat resiko yang
ditimbulkan jika ia memaksakan hal itu.
4. Menurut madzhab Hambali
Menurut madzhab Hambali, bahwa kebolehan tersebut hanya untuk
mereka yang menaiki kendaraan, baik itu perjalanan dekat atau jauh. Gerakan
sujud dan rukunya cukup dengan isyarat. Caranya posisi tubuh waktu sujud
bungkuknya lebih rendah dibanding ruku.
Kewajiban menghadap kiblat tetap harus ditunaikan bagi mereka yang
menunggang kendaraan, tetapi didaerahnya sendiri. Itu tidak bisa dikatakan
musafir. Jadi kembali kehukum semula. Lebih lanjut mereka boleh
melkukan hal itu diatas keledai atau sejenisnya. Beda halnya dengan shalat
diatas binatang najis, disitu harus ada alas suci yang meanghalangi interaksi
langsung dengan kulitnya. Dengan kata lain, carilah alas atau penutup
apapun untuk memisahkan tubuh dengan bagian najis pada tubuh binatang
tersebut.
Secara umum bisa dikatakan bahwa sekiranya memang mungki ke arah
kiblat, maka ia tidak boleh merubah kearah yang lebih mudah. Jika seseorang
berada diatas kapal atau perahu besar, maka ia harus menghadap kiblat jika
memungkinkan . Begitu juga dengan gerakan ruku dan sujud. Jika dia
mungkin menhgadap kiblat, tapi tidak memungkinkan untuk ruku dan sujud,

8
maka menghadap kiblat harus diprioritaskan. Untuk ruku dan sujud cukup
dengan isyarat.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
1. Ciri-ciri khas fiqh mazhab Hanafi adalah fiqh imam Abu Hanifah lebih
menekankan pada fiqh muamalah dan memberikan penghargaan khusus
kepada hak seseorang baik pria maupun wanita.
2. Dasar pemikiran madzhab Hanafi adalah Al-Quran, sunah, ijma, qiyas, dan
istihsan.
3. Madzhab Hanafi memiliki perbedaan dengan madzhab imam fiqih yang lain,
namun dasar mereka dalam menetapkan hukum itu sama, yaitu Al-Quran dan
Al-Hadits sebagai dua sumber utama.
B. Kata Penutup
Demikian makalah yang dapat kami susun. Semoga makalah ini dapat
berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya.sebelumnya kami
memohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan
kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dimasa depan.

9
DAFTAR PUSTAKA

Asmawi, 2011, Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta:AMZAH

Chalil, Moenawar, 1986, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Jakarta : Bulan
Bintang

Musyafa, Fadholan Muthi, 2007, Shalat di Pesawat dan Angkasa, Tuban: Syauqi
Press
Syaltut, Mahmud, 2005, Perbandingan Masalah Madzhab dalam Masalah Fiqih,
Jakarta: Bulan Bintang

Teungku Muhammad Hasbi, 1999 , Pengantar Iilmu Fikih, Semarang: Pustaka Rizki
Putra

10

Anda mungkin juga menyukai