Anda di halaman 1dari 5

PENGISLAMAN KULTUS DEWA-RAJA DI JAWA

Oleh : Dr. Onghokham


( diluncurkan pada acara Seminar Pengaruh Islam
Terhadap Budaya Jawa, 31 Nopember 2000 )
.
Paper ini ditulis dari bahan-bahan yang dikumpulkan waktu penulis sedang menyusun
disertasi pada tahun l975, jadi sudah lama sekali. Paper ini berdasarkan bahan-bahan
terbitan, artinya sumber sekunder dan tidak berdasarkan naskah-naskah asli dan sebagainya.
Saya kemudian juga tidak melakukan "PR" (pekerjaan rumah) lebih lanjut dengan
membandingkan dengan teori-teori politik yang dominan pada waktu, kerajaan Mataram ke II
(akhir abad ke XVI atau 1755) yang akan menjadi pokok paper saya: "Pengaruh Islam
terhadap Budaya Jawa : Peng-Islaman dari kerajaan yang berkonsep Dewa-Raja"
sebenarnya masalah politik dan bukan agama dan mungkin harus dilihat dari sudut terebut.
Fokus pada segi aspek politik tentu sedikit banyak juga dipengaruhi karena penulis bukan
seorang ahli teologi bahkan bukan beragama Islam pula. Perbandingan mana sebenarnya
penting sekali bagi diskusi obyek seminar ini.
Ada dua kerajaan Islam besar pada waktu itu yakni Kesultanan Ottoman (Turki Usmani) dan
Mughal di India. Kalau di kepulauan Indonesia sendiri yang menonjol sebagai kerajaan besar
adalah Aceh, namun juga masih ada Banten di pulau Jawa sendiri, dan ada Cirebon, suatu
kesultanan yang kekuasaan duniawinya sedang pudar namun kekuasaan rohaninya masih
besar. Sampai di mana contoh-contoh yang disebut di atas ini mempengaruhi teori politik di
Mataram. Kita tahu misalnya bahwa seorang Sultan Cirebon, keturunan Wali Songo, Sunan
Gunung Jati, datang ke Kraton Mataram untuk menobatkan Sultan Agung (1613 - 1645)
menjadi Susuhunan pada tahun 1625. Keabsahan Sultan Mataram yang secara militer kuat
harus diberi sultan yang lemah tetapi keturunan wali Sunan Gunung Jati. Bagaimana
keadaan sekarang dengan seorang sultan Yogya masih sebagai sumber mistik? dalam
pakaian keabsahan. Pun seorang Susuhunan yang kekuasaan tradisionalnya hanya sebesar
ruangan di bawah payung kebesarannya (Songsong Kuning ) menurut ucapan salah seorang
putranya, masih berperan dalam dunia mystik kekuasaan dan politik masa kini.
Apa sebabnya bahwa dalam Indonnesia modern sumber-sumber kekuasaan tradisionil ini
tetap berperan seperti kita lihat misalnya kini peran dari seorang Sultan Hamengku Buwono
ke-X, dari yang ke IX kita dapat memahami akan tetapi dari yang ke-X ada masalah. Apakah
lembaga-lembaga modern kita masih kurang memberikan keabsahan, kurang dapat
berfungsi, atau ada apakah di Indonesia (Jawa ini?). Saya duga bahwa salah satu sumber
kekuatan tradisional ini adalah bahwa ia dapat memberikan "kekuatan" pada pribadi dan
menjamin masalah "pribadi" dalam susunan politik Indonesia yang tetap mempertahankan
aspek elitis dan selektifnya.Demikian juga mungkin kita harus melihat teori-teori politik
Mataram.
Sebenarnya agak menyolok bahwa kesultanan Aceh dibawah Iskandar Muda ((l607-36)
rupanya banyak dipengaruhi Moghul dari India. Paling sedikit ia membandingkan diri dengan
Sultan Rum (Ottoman), Kaisar China dan lain-lain. Sultan Mataram tidak pernah. Mungkin
budaya Jawa Tengah ini terlalu "involuted" atau Narcis untuk dapat dipengaruhi dari luar atau
mengakui unsur luar? Bagi saya kebudayaan Jawa ini mungkin semysterius seperti bagi
Saudara-saudara sehingga marilah kita mendiskusikannya.
Akan tetapi pada zaman Mataram pendekatan orang tentang hal-hal duniawi tidak mungkin
secara lain dari pada melalui cosmologi dan agama. Di Barat sendiri masalah politik di dunia
dijelaskan karena atau seharusnya karena akal manusia baru terjadi oleh Nicolo Machiavelli
dalam abad ke-0l5 di Italia dan karya Machaivelli hanya unntuk elite penguasa saja. Dengan
singkat pada zaman kesultanan Mataram cosmologi dan agama inilah yang menjadi
pendekatan terhadap dunia seperti kerajaan, klas atas dan rendah, dan seterusnya. Sebelum
pendekatan rasionil maka agama, kosmologi dan moralitas yang menjadi titik tolak untuk
menilai dunia. Kini pertanyaannya adalah kosmologi apa yang berlaku pada negara
tradisional di Asia Tenggara seperti Mataram?
Hampir semua studi mengenai kerajaan tradisionil apa itu oleh Soemarsaid Moertono,
Benedict Anderson atau yang lain-lain memulainya dengan suatu tulisan klasik yakni oleh
Robert von Heine-Geldern dan karangan saya. Ini tidak akan menyimpang dari tradisi di atas
ini. Menurut Heine Geldern kerajaan tradisional ini dianggap hanya merupakan microcosmos
dari sesuatu yang lebih tinggi lagi yakni dunia para dewa, atau hanya refleksi dari
makrokosmosnya. Dalam mythologi Hindu para Dewa dengan dewa yang paling tinggi Batara
Wishnu tinggal di atas gunung.
Demikian juga di dunia raja, keluarganya dan "parta yayi" (=adik raja/saudara raja)(priyayi)
tinggal di puncak duniawi yakni kraton. Biarpun kerajaan Mataram yang kita bicarakan di sini
beragama Islam namun ada banyak istilah dan symbolik kenegaraan yang mengingatkan kita
pada mythologi Hindu ini.
Tahta dalam bahasa Jawa misalnya disebut Siti-Inggil = tanah yang dinaikkan atau gunung.
Sampai di mana hal ini ada kaitan dengan mythos Hindu yang menggambarkan para dewa di
atas gunung dan di mana gunung itu memang dalam zaman pra-Islam dianggap simbol
kesaktian. Maka dari itu ada kesaktian juga dari gunung-gunung seperti Merapi, Lawu atau
Semeru pada zaman Mataram yang sejajar pentingnya dengan simbol-simbol kesaktian
Islam. Demikian juga julukan gelar "Gusti " = Sapi dari kendaraan para dewa: lembu anggini).
Di ibu kota Mataram symbol-simbol seperti Lingga/yoni tetap ada, bahkan di Ibu Kota republik
Indonesia, Jakarta, kedua symbol tradisional; zaman Hindu masih ada (Monas dan atap
gedung MPR). Orang-orang Jawa tua sering menyebut Allah Swt sebagai Sang Pangeran
biarpun dalam bahasa Inggris Tuhan juga disebut Our Lord tanpa ada kaitannya dengan
kultus Dewa-Raja. Soemarsaid Moertono menjelaskan betapa sentralnya kedudukan raja
Mataram dalam kerajaan. Benedict Anderson dalam suatu esai yang sangat provokatip
membicarakan konsep kekuasaan Jawa sebagai totaliter, keramat dan dalam aspek spirituil
dan mistiknya.
Kekuasaan itu ada, tidak tergantung dari pemakainya, suatu realitas eksistensiil. Kekuasaan
(duniawi) adalah sesuatu yang tidak bisa dipegang, misterius dan merupakan semacam
energi Tuhan yang menghidupkan buana (universe). Ia terungkap pada setiap benda di dunia
alam, pada batu, pohon …. Jadi formula dunia mystik yang terkenal : "Tuhan adalah Aku"
mengungkapkan secara konkrit konsep Jawa tentang kekuasan. Kuasa Ketuhanan (divine
power ) adalah inti dari Aku, yakni "diri". Mencari kekuasaan dan menambahnya adalah
tujuannya dan bukan penggunaannya,menambah kekuasaan melalui tapa, pengekangan diri,
meditasi dan lain-lain.
Soedjatmoko juga menekankan pentingnya pelajaran-pelajaran "ingsun" dalam kehidupan
seorang Jawa, "Suatu konsep tradisional tentang kehidupan adalah hubungan antara
keadaan jati diri dan kemampuannya untuk mengkontrol sekelilingnya". Jadi selalu ada
hubungan antara diri dan Tuhan untuk mencapai ketentraman jiwa (tentrem) guna
mengkontrol tata (keadaan politik).

Sufisme
Dari uraian-uraian di atas orang sudah dapat terka bahwa yang dibicarakan dalam paper ini
sebagai Islam dan Jawa adalah pengaruh Islam dalam aliran Sufi-nya . Di dunia Islam (Timur
Tengah), aliran Sufi dari Islam selama abad ke-XIII sampai avad ke-XVIII samgat dominan.
Sedangkan Islam yang datang ke-Jawa di sekitar abad ke XIV. A.H. Johns bahkan
berpendapat bahwa Islam tidak akan menyebar di seluruh Nusantara atau Asia Tenggara dan
khususnya Jawa kalau Islam ini tidak datang dalam bentuk Sufinya. Aliran Sufi ini sangat
menekankan segi mystik dari agama. Segi mystiknya menyangkut masalah Sang Pencipta
dan yang diciptakan dan tempat manusia dalam alam Tuhan ini. Mystik Islam ini jauh lebih
efektif di alam Jawa dari pada Islam yang menekankan hukum-hukumnya dan bersifat sangat
legalistik. Islam mystik ini dapat dengan mudah mencakup adat-istiadat, tradisi dan berbagai
kepercayaan dalam agama baru (abad ke-XIV), yakni Islam. Mungkin yang lebih penting lagi
Islam dan bentuk sufi dapat menjamin struktur politik yang ada bahkan memberi keabsahan
yang lebih besar padanya.
Untuk mengerti pengaruh Islam terhadap kebudayaan Jawa maka kita tidak melihat pada
keseluruhannya akan tetapi kita ambil satu aspek yakni dalam hal konsep kekuasaan
kerajaan Jawa atau sebenarnya Raja Jawa (Mataram). Hal ini kami coba teliti melalui
peninggalan fisik (makam para wali), lakon wayang dan naskah-naskah Jawa.
Di sini tidak perlu dijelaskan secara mendetail betapa pentingnya sampai hari kini peran
wayang dan popularitas wayang di kalangan masyarakat sampai kini. Sampai kini wayang itu
berfungksi memasyarakatkan dunia politik atau berperan untuk membuat masyarakat
"politically literate " (bebas buta huruf tentang politik). Salah satu lakon yang paling terkenal
adalah Dewa-Ruci, yang tidak ada di India, yang berarti tidak berasal dari Ramayana atau
Mahabarata, akan tetapi lakon tersebut adalah khas Jawa. Lakon itu berkisar pada pelajaran-
pelajaran – ingsun Bima, ketiga dari para saudara Pandawa dan yang paling kuat secara
fisik, menyelam ke dalam laut dan bertemu dengan miniatur dirinya yang mengungkapkan
jati-dirinya. Kekuatan magis ini kemudian memasuki pribadi Bima, yang menjadi kuat, bijak
dan sakti. Kemudian kesaktian Bima ini akan pergi ke Arjuna, nenek moyang mythologis para
raja Jawa.
Thema yang paralel dengan lakon Dewa-Ruci adalah juga ajaran-ajaran salah seorang wali
yakni Sunan Bonang yang mengatakan "Sifat-sifat Allah s.w.t tercermin pada manusia"
Menurutnya "Orang mengaku diri adalah Allah dan Allah adalah Aku". Salah suatu unsur
paling gaib dalam ajaran mystik Jawa (ajaran-Ingsun) adalah identifikasi Manusia dengan
Tuhan. Dalam mystik sufi ini maka tujuan yang paling tinggi dan sempurna adalah penyatuan
hamba dan tuannya atau manusia dan Tuhan yang dinyatakan sebagai "manunggaling
kawula Gusti".
Salah satu jasa Benedict Anderson adalah untuk melihat ajaran ajaran – Ingsun ini dalam
konteks politik duniawinya. Sebelumnya para sarjana Belanda melihat mystik ini hanya
sebagai agama aja. Zaman mereka masih kolonial yang berarti bahwa tidak ada politik
bahkan politik itu lebih tabu dari pada zaman Orde Baru dengan floating mass. Tentu baik
dalam zaman kolonial maupun Orde Baru tetap ada politik akan tetapi operasinya demikian
lain dari pada kini sehingga khususnya bagi para sarjana, kebanyakan filologi, politik dan
masalah duniawi dari naskah mystik Jawa Sufi tidak dapat terbayangkan. Terobosan pertama
adalah oleh ahli ilmu politik/sejarah B. Anderson tersebut. Biarpun kami juga ada beberapa
kritik terhadapnya kelak.
Formula Manunggaling Kawula–Gusti diterjemahkan bagi keadaan duniawi, atau untuk
singkatnya dalam kerajaan Mataram-Islam, menjadi "ketaatan total rakyatnya dengan
kehendak Raja-nya" Sebab menyatunya orang dengan kehendak Rajanya akan menjadikan
manusia utuh dan sempurna serta bahagia bahkan menempatkannya dalam keadaan Tata-
tentrem dalam arti duniawi yang dalam zaman kolonial maupun Orde Baru menjadikan orang
taat secara pasif.
Sebaliknya dalam ajaran Sufi ini penyatuan diri dengan Tuhan adalah suatu unsur dinamis
pula yang berarti adanya saat extase kaum manusia. Telah mencapai keadaan manunggaling
dengan Gustinya. Demikian juga kesurupan (mendem) dengan Rajanya dapat juga terjadi
secara duniawi artinya kesetiaan dan ketaatan juga hanya dapat merupakan masalah extase
saja. Semboyan-semboyan dalam politik adalah gejala dari ini. Dalam zaman pasca kolonial
kita melihat kharisma Bung Karno dan jatuhnya atau dalam kalimat seorang dalang "pejah
gesang nderek Bung Karno …". Dengan singkatan dan slogan serta kharisma pribadi,
ternyata menjadi unsur penting dalam politik Indonesia.
Akan tetapi pun dalam pengaruh Islam dan pemikiran Jawa ini bisa ada perubahan-
perubahan, bukan dalam pencarian pada Tuhan namun pada symbol-simbolnya. B.Anderson
dalam menjelaskan konsep Jawa tentang kekuasaan sangat dipengaruhi oleh Serat
Gatolotjo, Serat Gatolotjo ini bersifat sangat pro-Jawa (Jawa-chavinis yang memang ada di
beberapa oknum Jawa) dan anti-Islam atau sebenarnya anti ulama./santri (anti clerical), yang
haru dibedakan dari anti agama. Ada beberapa santri yang ditanyakan oleh Gatolotjo, mana
yang paling penting dalam pertunjukan wayang kulit: blencong, kelir, dalang atau wayangnya
sendiri .Jawaban para antri semua berbeda beda ,ada yang menjawab dalangnya,kelir atau
lain lain .Tidak ada yang menjawab bahwa api dari blencong adalah puar dan permulaan dari
semuanya .Namun api dari blecong inilah menurut Gatolotjo adalahj sumber egala
galanya.Api dari blencong memungkinkan hadirin untuk melihat pertunjukannya
,memungkinkan dalang melihat dan melakukan poertunjukannya dsst.nya .Pokoknya api di
blencong ini adalah unur energi-nya yang diamakan dengan kuasa, oleh B.Andersson .
Dalam serat sunan Bonang berasal dari abad ke- XVI,yang diterjemahkan oleh G.W.J.
Drewess, yang dilihat sebagai unsur utama dalam pertunjukan wayang kulit adalah dalang
yang dibandingkan dengan Tuhan"…yang memimpin pertunjukan dunia ini " . Serat gatolotjo
berassal dari pertengahan atau achir abad ke-XIX . Apa perbedaan antara apa yang menjadi
imbol Tuhan ini "api"atau "dalang",mungkin diebabkan karena perubahan sejarah. Dalam
abad ke-XVI masih jelas siapa yang berkuasa yakni raja Jawa seddangkan dalam abad ke-
XIX sudah tidak jelass lkagi, Raja atau Belanda .
Namun perubahan yang kita bicakan dalam paper ini adalah dari pra-Islam kezaman Islam,
Mataram I, Ini mungkin suatu poerubahan seperti dalam arsitektur Hindua ke arssitektur
Islam. Pada zaman Hinddu (pra-Islam) bangunan candi merupakan simbol dari meru atau
gunung dan terbuka pada alam terdiri dari teras teras. Dalam zaman Islam atap Mesjid mirip
meru sering bersusun tiga atau lebih namun atapnya melebar kebawah .Ia seakan memberi
pengayoman pada semua yang dibawah atap tsb. Sesuai dengan prinsip Manunggaling
Kawula-Gusti" .

Daftar Bacaan:
Ph.van Akkeren, "Een Gedrocht en Toch Volmaakt Mens. De Javaanse Soeloek Gatolotjo,
The Hague, l951.
B.R.O’G. Anderson ,"The Idea of Power in Javanese Culture ." in: Claire Holt Culture and
Politicxs in Indonesia(ed.) Ithaca, N.Y., l972
KGPAA Mangkoenegoro VII, On the Wayang Kulit (Purwa) and Its Symbolic and Mystical
Elements, Claire Holt (transla.) Ithaca ,N.Y., l957
H .Kraemer, Een Javaanche Primbon uit de Zestiende Eeuw, Leiden, l921
Onghokham, The Residency of Maddiun : Priyayi and Peasant in the Nineteenth Century,
Yale Univ. (Ph.DD.Diasss, l975.
Soedjatmoko, "Indonesia :Problems and Opportunitiesss", Aussstralian Outlook ,21.3
(Dec.l967).
Soemarsaid Moertono, State and Staecraft in Old Java : a Sutdy of the Later Mataram Period,
l6th to the l9th Century, Ithaca.
Tjan Tjoe Iem , Hoe Koerapati Zijn Vrouw Verwierf, Leidden, l938

Anda mungkin juga menyukai