Anda di halaman 1dari 10

RESUME BUKU

ETOS DAGANG ORANG JAWA

PENGALAMAN RAJA MANGKUNEGARA IV

KARYA : DRS. DARYONO, MSI

TUGAS MATA KULIAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

DOSEN: DRS. DARYONO, MSI

OLEH

NAMA : DEWI ANGGRAENI

NIM : B.131.19.0088

HARI/ JAM : SENIN/ 20.00

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SEMARANG

2019
Soal:

1. Uraikan dan jelaskan pengertian etos dan bagaimana contoh prakteknya oleh Raja
Mangkunegara ke IV
Jawaban:
Etos merupakan sikap manusia berkenaan dengan hukum moral berdasarkan atas
keputusan bebasnya. Etos kadang diartikan untuk menunjukkan karakter tertentu, yaitu yang
didasarkan pada unggulnya suatu nilai khusus, atau unggulannya sikap moral dari satu nilai
khusus oleh seluruh bangsa atau sekelompok sosial. Tetapi F.M. Suseno menjelaskan
terdapat kesamaan antara sikap moral dengan etos, namun tidak identik. Kesmaan teletak
pada kemutlakan sikapnya sikapnya, sedangkan perbedaanya terletak pada tekanannnya.
Sikap moral menegaskan orientasi pada norma-norma sebagai suatu standar yang harus
diikutinya, sementara etos menegaskan bahwa sikap itu merupakan sikap yang sudah
mantap dan atau sudah menjadi kebiasaan , suatu hal yang nyata mempengaruhi dan
menentukan bagaimana seseorang atau sekelompok orang mendekati atau melakukan
sesuatu.
Adapun penjelasannya menurut K. Bertens, bahwa “Etos” adalah salah satu kata
Yunani yang masuk kedalam banyak bahasa (termasuk bahasa Indonesia). Kata itu
menunjukkan ciri ciri pandangan, nilai-nilai yang menandai suatu kelompok atau seseorang.
Etos menunjukkan kepada suasanakhas yang meliputi kerja atau profesi dan perlu
ditekankan bahwa kata “suasana” harus dipahami dalam arti baik secara moral. Pemahaman
secara lebih luas tentang nilai adalah suatu cita-cita mutlak yang terkenal dalam filsafat
adalah hal yang benar, hal yang baik dan yang indah. Oleh karena itu filsafat nilai dapat
dianggap sebagai suatu perluasan dari bidang etika tradisional yang memusatkan
perhatiannya pada seluruh nilai-nilai moral sebagai dasar sikap moral tindakan terpuji
berarti, di satu pihak berada pada dataran pikiran atau konsep, serta dipihak lain dihayati
pelaksanaanya dalam kehidupan atau pada salah satu bidangnya.
Berdasarkan pada penjelasan tersebut maka dalam hal ini memberikan dua petunjuk
yaitu, pertama perlu adanya semacam konsep dunia kehidupan jawa sebagai bagian tentang
budaya jawa. Kedua, penting dikaji kembali konsep pemikiran dan pemahaman sikap dan
tindakan itu sebagai etos dagang jawa yang sesuai dan pernah berhasil dipraktikkan oleh
para priyayi dahulu. Aktifitas dagang dapat dilukiskan sebagai kegiatan ekonomis yang
kurang lebih terstruktur atau terorganisasi untuk menghasilkan untung yang bagi dunia
dagang modern dapat diwujudkan dalam bentuk uang namun sebenarnya itu tidak yang
hakiki atau bukan yang terpenting. Mencermati penjelasan tentang etos tersebut, istilah etos
diungkapkan sebagai semangat dan sikap batin yang tetap pada seseorang atau sekelompok
orang-orang sejauh didalamnya termuat tekanan-tekanan moral dan nilai-nilai moral
tertentu. Hubungan penjelasan tersebut dengan makna “etos” dimuka, dijelaskan secara
bagus oleh F.M. Suseno yang menyataan bahwa etos dagang Indonesia (Jawa) tidak berarti
harus sebagai perkawinan dari etika tradisional dan etika modern. Menurutnya, etos dagang
Indonesia harus modern seratus persen, artinya harus ditetapkan berdasarkan latar belakang
masyarakat Indonesia. Dengan demikian, etos dagang tersebut mesti mencerminkan
karakteristik budaya, peradaban, nilai-nilai, ciri keagamaan pandangan dunia serta hidup
masyarakat Indonesia.

Contoh Prakteknya oleh Raja Mangkunegara IV, sebagai berikut :


1. Sri Mangkunegara IV adalah salah seorang filsuf dunia dari Indonesia yang tercatat dalam
Dictionnaire des Philosophes, pemikiran-pemikirannya yang tertulis dalam karya-karyanya
berarti mengandung nilai-nilai moral bagi salah satu budaya dagang Jawa menurut
konsepsinya.
2. Kerajaan Mangkunegara pada masa pemerintahan Sri Mangkunegara IV berhasil meraih
berbagai kemajuan, khususnya d bidang perekonomian. Ia merupakan peletak dasar
ekonomi perkebunan modern di Jawa pada masanya.
3. Disamping keberhasilannya itu, sejak lama sampai sekarang telah muncul dugaan negatif
terhadap budaya Jawa tentang dagangnya seperti dipaparkan di muka dan pemahaman atau
penilaian yang kurang.

2. Uraikan dan jelaskan 3 karakteristik nilai-nilai moral budaya jawa dan bagimana
contohnya masing-masing pada masa Raja Mangkunegara ke IV
Jawaban:

Karakteristik nilai-nilai moral budaya sikap tata krama yaitu sebagai pola sikap baik
yang praktis atau paling cocok agar berhasil dalam meraih kekuasaan tersebut. Tiga sumber
itu suatu kesatuan identitastransformasi sosial tidakan-tindakan moral Sri Mangkunegara IV
sesuai dengan pembentukan dan perkembangan struktur nilai-nilai moral budaya Jawa pada
masanya. Obyektifikasi atau konkretisasi tindakan moral yang eksistensinya berada pada
dataran pemikiran Sri Mangkunegara IV ini perlu dipahami dalam tiga karakteristik sebagai
central consepts sistem nilai-nilai moralbudaya Jawa yaitu harmonis, struktural fungsional
dan, transendental seperti dijelaskan di muka. Analisa dan pemahamannya masing-masing
antara lain adalah:
1. Harmonis
Inti dimaksud karakteristik pandangan harmonis adalah, menciptakan dan menjaga
kesesuaian atau keselarasan hubungan antara manusia dengan sesama manusia, masyarakat
dan dengan alam. Ketiganya merupakan satu sistem yang disebutkan “pandangan dunia
Jawa”. Tolok ukur arti pandangan dunia bagi orang Jawa adalah nilai pragmatisnya agar
mencapai suatu keadaan psikis tertentu: ketenangan, ketentraman dan, keseimbangan batin.
Karenanya, maksud pandangan dunia Jawa ini tidak terbatas bagi agama-agama formal dan
mitos, melainkan seperti dimaksud istilah kejawen.
Niels Mulder menjelaskan, kejawen merupakan suatu cap deskriptif bagi unsur-unsur
kebudayaan Jawa atau sebagai kategori yang khas Jawa. Kejawen bukanlah kategori
keagamaan (religius), namun ia lebih menunjuk pada sebuah etika dan gaya hidup yang
diilhami oleh pemikiran Jawa. Kejawen pada dasarnya merupakan “suatu sikap khas”
terhadap kehidupan sebagai sikap mental untuk mengatasi perbedaan agama.condong pada
“sinkretisme dan toleransi”, Sikap mental kejawen antara lain merupakan dasar sikap baik
yang dapat menciptakan sikap hormat terhadap berbagai ungkapan religius (agama formal)
mewujudkan kesatuan hidup Jawa.
Berikut ini analisa dan pemahaman pemikiran Sri Mangkunegara IV tentang
obyektifikasi tindakan moral dan transformasi sosial nilai-nilai moral budaya Jawa dalam
tradisi pertunjukan wayang yang sesuai pada masanya.
Menurut S. Margana, dalam Tripama salah satukarya sastra Sri Mangkunegara IV,
dikisahkan tiga contoh perjuangan dan pengabdian yang dilakukan oleh tiga tokoh dalam
wayang yang terkenal dan sangat digemari oleh masyarakat Jawa pada umumnya.berasal
dari India.
Menurut F.M. Suseno, sumber dasar tiga kisah itu
 Pertama, diambil dari kisah perjuangan Sumantri, ketika nyuwita atau ngenger
kepada raja Prabu Arjuna Sasrabahu di kerajaan Mahespati. Kisahtersebut,
pendahuluan kisah kepahlawanan dalam Ramayana. Berkat keluhuran budi atau
keutamaan dan keberhasilannya dalam menjalankan berbagai tugas dari rajanya
dia diangkat sebagai pejabat tertinggi setelah raja yaitu, patih dan bernama Patih
Suwanda.
 Kedua, kisah kepahlawanan Kumbakarno adalah seorang ksatria raksasa dari
kerajaan Alengka, sebagai kisah dalam Ramayana. Inti motivasi
kepahlawanannya bukan membela raja Rahwana yang terkenal berwatak angkara
murka, melainkan berdasarkan kesadaran budi luhurnya atau sifat keutamaannya
sebagai ksatria berkewajiban menjaga dan membela negera Alengka.
 Ketiga, kisah dalam Mahabarata tentang kepahlawanan Adipati Karno dari pihak
Kurawa yang gugur melawan Arjuna (Sanjaya) dari Pandawa. Adipati Karno
sebenarnya kakak seibu lain ayah dengan Ajuna. Adipati Karno nyuwita kepada
Prabu Suyudana (raja Kurawa) diberi kerajaan Ngawangga maka ia merasa
berhutang budi padanya. Motivasi kepahlawanannya di pihak Kurawa demi
membalas budi itulah yang memberikan nilai dirinya sebagai orang yang utama
atau berbudi luhur.
Harmanto Bratasiswara menjelaskan asal-usul tiga tokoh tersebut dalam “Paparan Ringkas
Tripama Piwulang Budi Luhur”.
 Pertama, tokoh Sumantri putra Resi Suwandagni di desa Jatisarana.
 Kedua, Kumbakarna adalah putra kedua dari empat bersaudara buah perkawinan
antara begawanWisrawa dengan Dewi Sukesih di kerajaan Alengka.
 Ketiga, Adipati Karno dilahirkan melalui perkawinan gaib antara Kunti dengan
Bathara Surya (Dewa Matahari). Karenanya, dia juga bernama Suryatmaja (anak
dewa matahari).
2. Struktural Fungsional
Maksudnya struktural fungsional dalam hal ini terkait dengan adanya asumsi
pemahaman bahwa setiap orang atau lembaga memiliki tempatnya masing-masing dan ia
harus berperilaku atau bekerja sesuai dengan tempat keberadaannya tersebut. Pemahaman
tentang “tempat” dalam hal ini bukanlah pemahaman final atau mutlak, melainkan sebagai
sesuatu yang kondisional atau relatif. Pemahaman itu termasuk tentang nilai-nilai moral
budaya Jawa sebagaimana yang diidealkan atau yang dipikirkan oleh para cendikiawan Jawa
(pujangga Jawa) yang tertuang dan tersebar dalam berbagai karya sastranya.
Identifikasi sebutan bagi kesusastraan Jawa tersebut antara lain, suluk, wirid,
primbon, serat, dan lain-lain seperti telah dijelaskan di muka. Mencermati penjelasan
tersebut maka istilah “struktural funsional” bukan dimaksudkan struktur dalam arti sebagai
stratifikasi sosial masyarakat Jawa seperti dalam pemikiran Gertz yang menafsirkan menjadi
priyayi, santri dan, abangan. Melainkan, sebagai struktur sosialtentang nilai-nilai moral
(keutamaan) Jawa. Maksudnya, “struktur” di satu pihak sebagai bangunan ide para pujangga
tentang nilai-nilai moral Jawa, dan cara memfungsikan ataupemberdayaannya sebagai
konsep hubungan antar individu dalam kehidupan bermasyarakat dan merupakan pedoman
ajaran moral bagi tingkah laku atau perilaku lahiriah individu dalam kondisi kolonial pada
pihak lainnya.
Mencermati penjelasan tersebut maka berbagai kepustakaan Jawa baik karya Sri
Mangkunegara IV maupun para pujangga Jawa lainnya, terutama sebagai pihak Kasunanan
Surakarta dan Mangkunegaran, akan dianalisa dan dipahami kesesuaiannya antara ajaran-
ajaran moralnya dan ungkapan sikap-sikapnya. Maksud kesesuaiannya itu baik kaitannya
dengan tiga kebijakan politik Pemerintah Kolonial (Belanda) maupun bagi pandangan dunia
dan atau bagi pengalaman keagamaan Jawa dalam kondisi kolonial ini, antara lain
penjelasannya sebagai berikut. Serat Raja Kapakapa melambangkan abdi dalem (priyayi)
sebagai kuda, curiga, dan wanita (kuda, keris, dan wanita). Kuda melambangkan aspek
sepak terjangnya, jika ia dikasih tahu tentang rahasia rajanya, ia harus pandai dan awas akan
isyarat, seperti tajamnya curiga (keris).
Tingkah laku dan atau sopan santunnya, cara bersikap dan sebagainya harus seperti
wanita, tidak merasa dirinya sebagai pria.Karakteristik etos abdi dalem (priyayi)itu, bersifat
Sartono Kartodirjo, etos feodalistik ini memiliki ciri-ciri seperti orientasi kepada atasan,
dalam melaksanakan tugas hanya menunggu perintah, melaksanakan dan patuh sepenuhnya
pada perintah atasan atau raja. Loyalitasnya tinggi namun penghormatan yang diberikan
berlebihan sehingga dirinya sendiri direndahkan karena pelayanannya hanya untuk memberi
kepuasan dan kesenangan atasannya (rajanya). Paham tersebut pada dasarnya juga dimiliki
atau sama dengan kekuasaan Eropa (Barat). Konsekuensi atas ungkapan tersebut bagi
budaya kekuasaan Jawa mengimplikasikan suatu tanggung jawab yang besar sebagai
imbangan kekuasaan mutlak (absolut) raja. Salah satu gaya hidup tersebut ditunjukkan pada
gelar nama dan struktur bangunan rumahnya. Keganjilan atau kekurangwajaran gelar Sunan
Paku Buwana IX, dikutip dari John Pemberton, ditunjukkan pada “gelar-gelar kehormatan
yang tak-terkira panjangnya dan banyaknya medali penghargaan para penguasa asing yang
diberikan melalui para pejabat kolonial Belanda”.
Maksud bersikap kritis tentang masalah tersebut, dikutip dari Jujun S, adalah
menganggap bahwa dalam setiap produk pemikiran terdapat kelemahan dan kelebihan.
Sikap pemikiran Sri Mangkunegaran IV yang searah dengan maksud sikap kritis terhadap
masalah kelebihan dan kelemahan, tidak terbatas terhadap para raja melainkan meliputi
berbagai pihak yang bisa disebut sebagai leluhur berarti para elit kerajaan yaitu, raja, priyayi
dan, atau kyai priyayi.
Contoh prakteknya yaitu bersikap baik atau menghormati seksama dan rukun serta
peduli terhadap sesama manusia.
3. Transendental
Beberapa makna yang berkaitan dengan kata “transendetal” adalah sesuatu secara
kualitas teratas, atau di luar apa yang diberikan oleh pengalaman manusia. Kehidupan
mengarah ke dalam yang transendental berarti, sebagai yang mampu mengungkapkan
seluruh realitas obyektif yang sedang dikerjakan dan mengungkapkan secara total sampai
pada makna-makna hidup yang paling final. Penjelasan makna kata “tansendental” itu
implisit maksudnya searah obyektifikasi pemikiran atau konkretisasi tindakan moral Sri
Mangkunegara IV tentang Panembahan Senapati bagi identifikasi tokoh yang diidealkan
(dicita-citakan).Panembahan Senapati dianggap sebagai raja Jawa telah merasakan atau
memperoleh rasa sejati adalah wahyu (anugerah Tuhan) sebagai semacam “iklim”
penghayatan budi luhur atau alam hakiki disebut ngelmu mistikmerupakan eksistensi
pengalaman kegamaan (Islam) Jawa.
Contoh prakteknya yaitu Selaras dengan identitas budaya atau pengalaman
kehidupan dalam keagamaan (Islam) Jawa.

3.Uraikan dan jelaskan 3 karakteristik etos dagang orang jawa dan bagaimana contoh
praktiknya dalam bidang perkebunan
Jawaban:
Istilah “etos dagang Jawa” dalam bab ini acuan teoritisnya memiliki perbedaan, persamaan serta
hubungan dengan dimaksud dalam etos pemikiran Sri Mangkunegara IV di muka. Perbedaannya,
titik tolak acuan teoritis dalam etos pemikiran Sri Mangkunegara IV tersebut, di satu sisi
berdasarkan proses pendidikannya ketika magang, nyuwita (mengabdi) dalam pola kekeluargaan
keraton Mangkunegaran dan dengan tanda-tanda keberhasilan pembaharuannya di berbagai
bidang budaya Jawa seperti telah dibahas di muka. Acuan teoritis dalam istilah “etos dagang
Jawa” di sisi lainnya, hanya berdasarkan kontruksi teoritis dalam pemikiran para ahli baik
dengan contohnya atau tidak tentang perbuatan atau perilaku etis (halus atau sopan) pedagang
atau manager maupun atas dasar analisa tentang hal itu dalam kajian ini.
Berdasarkan penjelasan itu maka acuan teoritisnya seperti pada the stakeholders
benefit artinya, “manfaat bagi stakeholders”, dengan teori manajemen disebut sebagai
stakeholders-approache.Mengacu pada penjelasan tersebut maka, menurut Vincent,
kegiatan dagangnya memiliki nilai intrinsik sendiri (misalnya, memproduksi sesuatu yang
berguna bagi masyarakat), tidak baru menjadi bernilai karena membawa untung.Maksudnya,
keuntungan (laba) hanya sekedar sebagai acuan motivasi melaksanakan perdagangan
keuntungan (laba) sebagai tujuan utama dan atau yang sebenarnya.
Berdasarkan berbagai penjelasan tersebut maka penilaian sesuai dan tidaknya atau
baik dan buruknya mengenai keadaan serta perbuatan dari para pedagang dalam
stakeholders-approach sebagai konstruksi teoritis etos dagang Jawa ini, mengacu pada
pendapat umum. Maksudnya, bukan pada pedagang Jawa tertentu melainkan menurut
analisa kontruksi teoritisnya para ahli, atau sebagai semacam audit sosial. Dimaksudkan
persamaan dan hubungan antara etos dagang Jawa pada umumnya (audit sosial) dengan etos
pemikiran Sri Mangkunegara IV adalah, belum tentu etos pada umumnya sebagai
“kecenderungan tetap atau ketekadan dan keberanian sikap batinnya” atau sebagai sikap-
sikap moralnya yang sudah terbiasa atas pendidikannya sejak kecil.
Namun barangkali sebagai pedagang tetap memiliki etos walaupun lemah kadarnya
atau cenderung kurang sesuai dengan etos tindakan moral melalui tata krama Jawa modern
seperti yang dimaksudkan dalam tiga karakteristik etos pemikiran Sri Mangkunegara IV di
muka, yang pada masanya hidup dalam kondisi kolonial. Berdasarkan berbagai penjelasan
tersebut maka, etos pemikiran Sri Mangkunegara IV mengimplikasikan konsepsi “struktur
pemikiran manajemen (structure of management thought) stakeholders-approach. Etos dan
struktur pemikiran itu di satu sisi dimaksud sebagai acuan dasar bersikap hormat dan rukun
(tata krama Jawa modern) dan di sisi lainnya sebagai obyektifikasi cara berperilaku moral
(mewujudkan nilai-nilai moral dengan berperilaku etis artinya, sopan atau halus) dalam etos
dagangnya. Hubungan antara etos dagang Jawa pada umumnya (audit sosial) dengan etos
pemikiran Sri Mangkunegara IV ini terutama terletak pada dataran pemahaman sumber atau
acuan teori pengetahuannya. Maksudnya, tanda-tanda keberhasilan pembaharuan atas etos
pemikiran Sri Mangkunegara IV tersebut di muka, prosesnya sejak nyuwita, magang dan,
wisuda pada satu pola keluarga keraton Mangkunegaran. Tanda-tandanya tersebut di sisi
lainnya, dianalisa dan dipahami bagi struktur pemikiran manajemen stakeholders-approach
demi efisiensi tujuan etos dagangnya yang sesuai (modern atau baru) pada masanya terutma
di bidang perkebunan. Karenanya, struktur pemikirannya itu dalam analisanya nanti
dimaksud sebagai semacam pendekatan naratif. Dimaksudkan sebagai keterkaitan antara
budaya dagang Jawa pada umumnya (pendapat umum atau audit sosial) dengan sudut
pandang atau cara penerapan etos dagang modern dalam pemikiran Sri Mangkunegara IV
sesuai dengan kondisi masanya tersebut. Arah maksudnya adalah, di satu sisi, sebagai acuan
pemahaman kecenderungan nilai-nilai moralnya cara bersikap etis dalam tata krama Jawa
modern kepada pihak-pihak berkepentingan (stakeholders) untuk memenuhi kebutuhan
hidup pada masanya dan teknik penerapan bagi strategi pembaharuan etos dagangnya,
terutama di bidang perkebunan. Awal analisisnya adalah sejak masa pemerintahan Sri
Mangkunegara IV di kerajaan Mangkunegaran, sedang masa sebelum dan sesudahnya
sekadar lebih memahamkan.
Sri Mangkunegara IV nampak memahami benar bahwa sumber utama penyebab
beban rakyat kecil tersebut terkait erat antara Undang-undang (Piagem) pajak tanah lungguh
dalam prinsip kepemilikan tanah menurut tradisinya masyarakat Jawa dengan cara perhatian
priyayi (pemilik lungguh) baik terhadap penggarap dan tanah yang sudah disewakan
cenderung tidak adil atau tidak peduli kepada nasib wong cilik (rakyat biasa).Ketajaman
pemahaman Sri Mangkunegara IV tersebut lebih lanjutnya menjadi karakteristik etos
pemikirannya di muka diterapkan sebagai strategi memperbarui Serat Pranatan-pranatan
pendahulunya.
Penerapan strategi itu dengan diterbitkannya Serat Pranatan (Surat peraturan)
Penarikan Kembali Tanah Apanage (Lungguh) dengan Pemberian Gaji bagi Para Keluarga
Keraton Mangkunegaran. S. Margana menjelaskan, dibanding dengan ajaran atau pemikiran
pujangga Jawa lain pemikiran Sri Mangkunegara IV dapat dianggap sebagai “pemberontak”
terhadap nilai-nilai moral kebangsawanan Jawa pada masanya, terutama yang cenderung
merendahkan profesi dunia dagang. Pemikirannya tidak hanya sekedar wejangan (pelajaran)
tetapi dia juga memberikan contoh nyata. Selama masa pemerintahannya, telah berhasil
membangun kembali perekonomian Mangkunegaran yang pernah hancur akibat lilitan
hutang yang besar warisan penguasa sebelumnya.
Menurut S. Margana, karya-karya Sri Mangkunegara IV hendak memberikan
legitimasi bagi budaya Jawa dan sikap moralnya dalam rangka membangun dunia dagang
Jawa atau khususnya bagi perekonomian kerajaan Mangkunegaran sesuai pada masanya. S.
Margana selanjutnya berpendapat bahwa Sri Mangkunegara IV dapat dianggap sebagai
“Bapak pencetus jiwa pedagang atau pengusaha (jiwa entrepreneurship)” di kalangan
bangsawan Jawa.Pringgodigdo telah menulis buku sebanyak tiga jilid yang berjudul
Geschiedenis der Ondernemingen van het Mangkoenagorosche Rijk dan telah diterjemahkan
R.Th. Muhammad Husodo Pringgokusumo berjudul Sejarah Perusahaan-perusahaan
Mangkunegaran, dia juga menyalin kembali tulisan Pringgodigdo berjudul Lahir serta
Tumbuhnya Kerajaan Mangkunegaran.
Pringgodigdo menyatakan dalam hal ini, Mangkungara IV adalah peletak dasar
perdagangan atau perekonomian perkebunan modern. Searah dengan maksud penjelasan
tersebut menurut Ong Hok Ham, Sri Mangkunegara IV adalah “bapak pedagang” terutama
bidang perkebunan di Mangkunegaran. Dia yang pertama-tama mengorganisasi kerajaan
tradisional menjadi kerajaan modern secara finansial, yakni dengan jalan memberikan dasar
penghasilan yang kuat dan besar bagi pusat (kerajaan), bukan lagi dengan pemungutan pajak
lainnya. Menurutnya, singkat kata, Sri Mangkunegara IV telah menciptakan apa yang kini
menjadi golongan menengah Indonesia yang khas, yakni salaryman adalah orang yang
nafkahnya bergantung pada gaji tetap.
Mencermati makna etos tersebut di muka dan kaitannya dengan cara-caranya
bersikap dalam pergaulan itu, maka acuan teoritisnya adalah melalui prinsip hormat dan
kerukunan. Sebab dua prinsip itu, menurut F.M. Suseno, di satu sisi kaidah yang paling
menentukan pola pergaulan dalam masayarakat Jawa dan sebagai dinamikanya cara bersikap
toleransi di sisi lainnya. Rukun berarti, berada dalam keadaan selaras, tenang dan tentram,
tanpa perselisihan, bersatu dalam maksud untuk membantu. Prinsip hormat berdasarkan cita-
cita tentang suatu masyarakat yang teratur baik, di mana setiap orang menganal tempat dan
tugas maka dengan demikian seluruh masyarakat sebagai kesatuan yang selaras. Prinsip
hormat dan kerukunan menuntut agar setiap orang selalu menguasai perasaan-perasaan dan
nafsu-nafsunya, bersedia menomorduakan kepentingan-kepentingan pribadinya demi
terciptanya keselarasan.
Berdasarkan acuan itu dimungkinkan, di satu sisi yang sesuai (modern atau baru)
baik dengan etos pemikirannya pada tiga sistem nilai-nilai moral budaya Jawa (harmonis,
struktural fungsional dan, transendental) dan sebagai kemajuan yang manusiawinya budaya
dagang Jawa pada masanya terutama di bidang perkebunan. Alasan bidang perkebunan ini
diutamakan karena, karakteristik etos pemikiran Sri Mangkunegara IV diidentifikasi pada
tahap pemikiran fungsionil berkemampuan inventifitas memecahkan problem di dalamnya.
Dimaksudkan dengan problemnya adalah, terkait dengan sistem Tanam Paksa (Cultur
Stesel) atas kebijakan politik Pemerintah Belanda, menurut Suyatno Kartodirdjo, sejak
sekitar tahun 1830-1870. Pentingnya pemecahan problem dalamnya, karena akibat sistem itu
mengakibatkan keadaan-keadaan yang bertentangan atau tidak sesuai dengan perkembangan
sebagai kemajuan yang manusiawi.
Dimaksudkan dengan involusi pertanian adalah, ekonomi modern lewat sistem
Tanam Paksa adalah eksploitasi bersifat brutal dan mengakibatkan petani Jawa menderita
kemiskinan dan kelaparan. Teori Gertz itu telah mempengaruhi sebagian besar ilmuwan
Analisis dan pemahamannya tata krama Jawa modern dimaksudkan pada yang pertama
tersebut antara lain :

Anda mungkin juga menyukai