Disusun oleh :
DARYONO
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2006
BAB I
PENDAHULUAN
kekurangan usahawan pribumi asli orang Jawa, meskipun sudah ada berbagai
Dugaan itu seperti dijelaskan Mochtar Pabottinggi, sudah puluhan tahun para
komunitas, seperti pada pola gotong royong dan sikap feodalnya, dianggap
memanjakan dan tidak sesuai atau bertentangan dengan caranya orang Barat
tantangan kajian yang dapat memberikan pemahaman sebagai bukti benar dan
1
Mochtar Pabottinggi,”Kebudayaan dan Otosentrisitas”, dalam: Agus R, Sarjono
(ed.), Pembebasan Budaya-Budaya Kita, (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm. 138.
2
Francois Raillon,”Dapatkah Orang Jawa Menjalankan Bisnis ? Bangkitnya
Kapitalis Pribumi di Indonesia”, dalam: Hans Antlo dan Sven Cederroth (ed.),
Kepemimpinan Jawa Perintah Halus Pemerintahan Otoriter, (Jakarta: YOI, 2001), hlm. 223-
224.
1
telah berlangsung berabad-abad lamanya. Pengaruh Islam yang lebih kuat
dan daerah-daerah Jawa pedalaman yang sering juga disebut daerah kejawen.4
disimpulkan bahwa tidak ada sama sekali dalam budaya Jawa yang menentang
harus mengkaji dan memahami kembali pada tradisi kinerja dagang orang
dan sebagainya, yang diwariskan dari generasi ke generasi dalam kurun waktu
suatu komunitas sosial. Moralitas, sering disebut “etos” ialah sikap manusia
pada unggulnya suatu nilai khusus, atau unggulnya sikap moral dari satu nilai
Menurut K. Bertens, “etos” adalah salah satu kata Yunani yang masuk
3
Ibid., hlm. 227.
4
Kodiran,”Kebudayaan Jawa”, dalam: Koentjaraningrat (ed.), Antrophology in
Indonesia A Bibliograpical Review, (‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1995), hlm. 322.
5
Francois Raillon, Dapatkah….”, op. cit., hlm. 232-233.
6
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Graedia, 2002), hlm. 111
7
Ibid, hlm. 672-673.
2
ciri-ciri, pandangan, nilai yang menandai suatu kelompok atau seseorang.
kepada suasana khas yang meliputi kerja atau profesi, dan perlu ditekankan
bahwa, “suasana” dipahami dalam arti baik secara moral, misalnya, jika bicara
tentang profesi tentu hal yang terpuji.8 Sikap komersial pengusaha (pedagang)
moral dengan etos ada kesamaan, namun tidak identik. Kesamaannya terletak
yang harus diikuti, sementra etos menegaskan bahwa sikap itu merupakan
sikap yang sudah mantap dan atau sudah menjadi kebiasaan, suatu yang nyata-
sebagai semangat dan sikap batin yang tetap pada seseorang atau sekelompok
tertentu.10
8
K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia, 2005), hlm. 225-226.
9
Ibid., hlm. 228.
10
Franz Magnis Suseno, Berfilsafat dari Konteks, (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm.
120.
3
Mencermati penjelasan makna etos tersebut berarti, dalam kata “etos”
tersebut berarti, di satu pihak berada dalam pikiran atau konsep12 serta
mengkaji bagaimana pemahaman tentang konsep etos dagang Jawa dan cara
transaksi ketika jual beli saja, melainkan “dagang” dalam arti yang lebih luas
11
Menurut The Liang Gie, istilah “nilai” merupakan suatu konsep yang bermakna
ganda. Pemahaman secara lebih luas tentang “nilai” adalah suatu cita-cita mutlak yang
terkenal dalam filsafat adalah hal yang benar, hal yang baik dan yang indah. Ada arti-arti
nilai yang bersifat psikologis, sebagai contoh kepuasan dan kenikmatan. Ada juga dalam arti
sosial yang terbagi dua sub-kelas, yaitu: (1) nilai sebagai obyek dari tujuan-tujuan yang
disetujuai secara sosial, dan (2) nilai sebagai sumbangan untuk mencapai kemakmuran
masyarakat. Oleh karena itu filsafat nilai dapat dianggap sebagai suatu perluasan dari bidang
etika tradisional, yang memusatkan perhatiannya pada seluruh nilai-nilai moral yang
psikologis maupun sosial. The Liang Gie, Suatu Konsepsi Ke Arah Penertiban Bidang
Filsafat, terj. Ali Mudhofir, (Yogyakarta: Karya Kencana, 1879), hlm. 144-145.
12
Kata “konsep” dalam bahasa Inggris: concept, dalam bahasa Latin: conceptus, dari
concipere (memahami, mengambil, menerima, menangkap) yang merupakan gabungan dari
con (bersama) dan capere (menangkap, menjinakkan). Lorens Bagus, Kamus Filsafat,
(Jakarta: Gramedia, 2000), hlm. 481.
13
Priyayi adalah klasifikasi sosial berdasarkan tiga dimensi yaitu: ekonomi, politik,
dan sosial. Sartono Kartodirdjo, Perkembangan Peradaban Priyayi, (Yogyakarta: UGM
Press, 1993), hlm.2. Sebagai patokan penting identifikasi seorang priyayi adalah
kedinasannya dalam kerajaan. Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara di
Jawa Masa Lampau, (Jakarta: YOI, 1985), hlm. 110.
14
Dagang sama dengan jual-beli, niaga, dan atau bisnis (usaha komersial di dunia
perdagangan) adalah pekerjaan yang berhubungan dengan menjual dan membeli barang
untuk memperoleh keuntungan. Hasan Alwi (Pim. Red.),”Kamus Besar….”, op. cit., hlm.
157, dan 229. Kata “ekonomi” juga mengandung pengertian “dagang atau bisnis”, karena
dengan “ekonomi” dimaksudkan kegiatan jual-beli, membelanjakan dan menerima uang,
memproduksi, mendistribusikan, dan membeli barang. Pengertian itu khususnya jika
4
Dagang dapat dilukiskan sebagai kegiatan ekonomis yang kurang lebih
dagang modern diwujudkan dalam bentuk uang, namun sebenarnya itu tidak
hakiki atau bukan yang terpenting bagi usaha dagang. Hal yang terpenting
interaksi sosialnya) yang bertujuan mencari untung, oleh karena itu menjadi
perkawinan dari etika tradisional dan etika modern. Menurutnya, etos dagang
dihubungkan dengan situasi ekonomi, misalnya “kelesuan atau resesi. K. Bertens, Pengantar
Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 34.
15
Ibid, hlm. 17.
16
Franz Magnis Suseno,”Berfilsafat dari….”, op. cit., hlm. 165-166.
17
Mubyarto, Ekonomi Pancasila, (Jakarta: LP3ES, 1993), hlm. 30.
5
Mencermati berbagai persoalan dan petunjuk tersebut, penulis akan
mengkaji etos dagang Jawa dalam konsep18 atau pemikiran Sri Mangkunegara
sekarang telah muncul pemahaman dan penilaian yang kurang lengkap dan
18
Konsep dalam filsafat pada umumnya, dipakai untuk menunjukkan pada
pemahaman atau kemampuan seseorang menggunakan suatu bahasa. Memiliki kosep berarti
memiliki kemampuan untuk memilih dan membedakan penggunaan sebuah pernyataan.
Antony Flew (ed.), A Dictionary of Pilosophy, (New York: St. Martin’s Press, 1984), hlm.
69.
19
Abdullah Ciptoprawiro, Filsafat Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), hlm. 52.
20
Menurut Ki Hadjar Dewantara, budaya atau kebudayaan adalah buah budi
manusia yang berasal dari perkataan cultura, asal bahasa Latin colore berarti, memelihara,
memajukan dan, memuja-muja. Arti kata budi pada pokoknya terdiri dari tiga kekuatan jiwa
manusia yakni, pikiran, rasa dan, kemauan (cipta, rasa, karsa). Dengan kata lain, kebudayaan
adalah hasil perjuangan manusia dalam melawan segala kekuatan alam dan pengaruh-
pengaruh jaman yang dirintangi kemajuannya, kemajuan ke arah hidup yang selamat dan
bahagia. Perlawanan yang terus menerus ada antara hidup manusia dengan alamnya dan
jamannya atau masyarakatnya. Ki Hadjar Dewantara, Karya KHD Bagian IIA : Kebudayaan,
(Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1967), hlm. 10.
21
Th.G.Th. Pegeaud, Pangeran Adipati Ario Mangkunagoro IV sebagai Pujangga,
terj. RT Muhammad Husodo Pringgokusumo, (Surakarta: Reksopustoko Istana
Mangkunegaran, 1987), hlm. 3.
22
Pringgodigdo, Sejarah Perusahaan-Perusahaan Kerajaan Mangkunegaran, terj.
R.T. Muhamamad Husodo Pringgokusumo, (Surakarta: Reksopustoko Istana
Mangkunegaran, 1987), hlm. 47.
6
1) Serat Wedhatama dianggap sebagai sumber pandangan Jawa yang
pada masanya.
budaya Jawa kaitannya dengan etos dagang pada masanya. Berdasarkan hal itu
maka penting kiranya mengkaji tentang etos dagang Jawa menurut pemikiran
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan berbagai persoalan yang telah diuraikan pada latar
belakang masalah tersebut, maka yang menjadi pokok masalah dalam kajian
ini adalah :
23
Sujamto, Refleksi Budaya Jawa dalam Pemerintahan dan Pembangunan,
(Semarang: Dahara Press, 1997), 150.
24
Simuh, Mistik Islam Kejawen R.Ng. Ranggawarsita Studi terhadap Serat Wirid
Hidayat Jati, (Jakarta: UI Press, 1988), hlm. 34.
7
2. Bagaimana pemahaman nilai-nilai moral itu sebagai etos dagang Jawa
bidang perkebunan.
C. Tujuan Penelitian.
Sri Mangkunegara IV yang tertulis dalam karya-karyanya tentang tiga hal yait:
nilai-nilai moral budaya Jawa. Analisa demikian itu penulis bertujuan untuk
bidang dagang sehingga dapat juga dipahami sebagai salah satu etos dagang
25
Analisa berarti perincian. Dalam filsafat berarti perincian istilah-istilah atau
pernyataan-pernyataan ke dalam bagian-bagiannya sedemikian rupa sehingga dapat
dilakukan pemeriksaan atas makna yang dikandungnya. Louis O Kattsoff, Pengantar
Filsafat, terj. Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1986), hlm. 8.
26
Sikap moral yang sebenarnya adalah sikap otonom (dari kata Yunani autos,
sendiri). Otonomi moral berarti manusia mentaati kewajibannya karena ia sendiri sadar,
sehingga dalam memenuhi kewajibannya ia sebenarnya taat pada dirinya sendiri. Franz
Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta:
Kanisius, 2005), hlm. 45.
27
Maksudnya “kostruksi teoritis”, sebagaimana dalam toeri ilmu pengetahuan
modern yaitu, suatu skema atau struktur atau gambar yang tidak merupakan kesimpulan
8
pemahaman, agar menghasilkan “cita ideal”28 atau “tipe ideal”29 etos dagang
perkebunan.
induktif dari data tertentu dan tidak juga dari hasil deduksi, melainkan dibangun atas dasar
kepastaian penafsiran dengan tujuan untuk mencapai kejelasan logis, dengan konstruksi itu
akan membantu untuk memahami sesuatu dengan lebih baik. Begitu misalnya kebanyakan
istilah dari fisika modern seperti “electron” dan “masa inti” merupakan konstruksi belaka.
Pengetahuan biasanya tidak maju dengan deduksi atau induksi, melainkan dengan
memproyeksikan atau mengkonstruksikan sesuatu yang kemudian dicek dengan cara bekerja
dalam konstruk itu dengan realitas dan memperhatikan apakah resultan-resultan yang
diharapkan dapat dicapai. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Analisa Falsafati
Kebijaksanaan Hidup Jawa, (Jakarta: Gramedia, 2000), hlm. 4.
28
Cita ideal berarti pemikiran yang sesuai dengan yang dicita-citakan atau
dikehendaki. Hasan Alwi (Pim. Red), “Kamus Besar….”, op. cit., hlm. 416.
29
Tipe ideal berarti model yang dicita-citakan. Ibid,, hlm. 1199.
30
Strategi lebih dikaitkan dengan siasat atau keahlian dalam menangani atau
merencanakan. Berbeda dengan taktik yang lebih mengacu kepada langkah-langkah kongkret
seperti seni menangani ‘pasukan’. Jean L.Mc. Kechnie (ed.), Websters New Universal
Unibredged Dictionary, (New York: The Warld Publishing Company, ed. 2., 1972), hlm.
1799.
31
Norma-norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan
tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku
peran tertentu dan terbatas. Norma-norma moral merupakan tolok ukur yang dipakai
masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang, maka dengan itu ia betul-betul dinilai.
Itulah sebabnya penilaian moral selalu berbobot. Franz Magnis Suseno,”Etika Dasar….”, op.
cit., hlm. 19.
9
sebagai kerangka acuan dan atau tantangan32 pemikiran bagi budaya dagang
berikut:
2. Sebagai kerangka acuan pemahaman etos dagang Jawa dalam pemikiran Sri
bagi visi33 dalam membina budaya dagang Jawa, baik secara Regional (Jawa
32
Tantangan berarti hal atau obyek yang menggugah tekat untuk meningkatkan
kemampuan menguasai masalah, atau hal yang menggugah untuk bekerja lebih giat. Hasan
Alwi (Pim. Red.),”Kamus Besar….”, op. cit., hlm. 1147.
33
Visi adalah sesuatu yang sangat penting dalam mengaktualisasikan di alam
modern. Tanpa visi etis jadinya hanya slogan yang menuntut loyalistik, atau penampung
nilai-nilai modern yang diterima tanpa menunjukkan jalan menuju pemecahan masalah yang
sungguh-sungguh baru. Marshall Hodgson, ”Warisan Islam dalam Kesadaran Modern”,
dalam: Mochtar Pabottinggi (peny.), Isalam antara Visi, Tradisi dan HegemoniBukan
Muslim, (Jakarta: YOI, 1986), hlm. 25-26.
10
E. Telaah Pustaka
pada tahun 1898 dan kemudian dicetak ulang pada tahun 1899 oleh penerbit
Albert Rusche & Co di Surakarta dengan judul Dwidja Isjwara. Tahun 1928
Goesti Pengeran Adipati Arja Mangkoenagara IV, yang dibagi dalam tiga
jilid.34
dapat diketahui bahwa hasil karya Sri Mangkunegara IV tidak kurang dari 35
menjadi: Serat Piwulang (berisi nasehat dan pelajaran), Serat Babad (berisi
cukup sopan).35
sembah (ibadat) dan budi luhur (budi pekerti, akhlak) menurut pandangan
berisi nasehat dan pelajaran yang terdiri dari berbagai buku atau Serat yaitu:
34
Moh Ardani, Al-Qur’an dan Sufisme Mangkunegara IV Studi Serat-Serat
Piwulang, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1988), hlm. 7.
11
1. Serat Warayagnya berisi pelajaran dan atau nasehat Sri Mangkunegara IV
3. Serat Sriyatna berisi harapan bagi keselamatan negara dan nasehat bagi
anak cucu.
8. Serat Salokatama berisi pelajaran bagi para pemuda yang ingin meraih
12. Serat Wedhatama berisi petunjuk bagi golongan tua dan muda, bagi yang
ingin menuntut ilmu lahir dan batin, orang yang ingin mendapat limpahan
35
Ibid., hlm. 28.
12
anugerah Tuhan dan orang ingin menyembah Tuhan dengan segenap daya
dan rohaninya.36
Jawa’, seperti babad, primbon, suluk, piwulang, serat, dan bentuk puisi Jawa
lainnya memiliki nilai yang sama yaitu, sebagai bentuk dari peristiwa sastra
dan bagian dari peristiwa sejarah pada umumnya. Hal itu berarti, setiap karya
sastra Jawa dapat dipakai untuk memahami pandangan dunia dan pandangan
dasarnya, adalah sejarah pemikiran yang dilakukan oleh individu tunggal, dan
36
Ibid., hlm. 29-38.
37
Ardani misalnya menjelaskan, konsep sembah Mangkunegara IV jika dibandingkan
dengan konsep ibadat lahiriah dan batiniah menurut fikih dan tasawuf yang
dilaksanakan secara terpadu berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah serta teologi Asy’ari,
sebagaimana dipahami at-Tusi, al-Qusyairi, al-Kalabadi, al-Ghazali, dan Ibnu Athaillah al-
Sukandari menunjukkan kesesuaiannya. Ibid., hlm. 366.
38
Ibid., hlm. 359.
39
Arti umum istilah kejawaan sama dengan kejawen, dalam bahasa Inggris adalah
Javaneseness,atau Javanism merupakan suatu cap deskriptif bagi unsur-unsur kebudayaan
Jawa yang dianggap sebagai pada hakikatnya Jawa dan yang mendefinisikannya sebagai
kategori khas. John M. Echols and Hasan Shadily, An Indonesian-English Dictionary, (Ithaca:
Cornell University Press, 1963), hlm. 338.
40
S. Margana, Pujangga Jawa dan Bayang Bayang Kolonial, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004). hlm. 42-43.
41
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm. 190.
13
Mencermati berbagai penjelasan tersebut maka karya-karya sastra Sri
berbagai hal dan atau peristiwa di Jawa pada masanya. Jenis pemikiran itu
kajian terhadap babad dan juga sastra Jawa pada umumnya dari sisi penulisnya
yang sesuai antara “pandangan dunia Jawa”45 dengan pandangan hidupnya dan
karya-karya sastra Jawa yang disusun pada jaman kebangkitan rohani masa
Surakarta sejak tahun 1757 M yang berlangsung selama kurang lebih 125
42
Sejarah pemikiran adalah terjemahan dari “history of thought, history of ideas”,
atau “intellectual history”. Sejarah pemikiran dapat diterjemahkan sebagai the study of the role
of ideas in historical events and process. Roland N Stromberg, European Intellectual History
Since 1789, (New York: Meredith-Century-Croff, 1968), hlm.3.
43
Ibid., hlm. 190.
44
Ibid., hlm. 177.
45
Dimaksud “pandangan dunia Jawa”, sebagaimana dijelaskan Magnis Suseno yang
khas bagi pandangan dunia Jawa adalah, bidang-bidang realitas yaitu dunia, masyarakat, dan
alam adikodrati tidak dibagi-bagi dalam berbagai bidang yang terpisah-pisah dan tanpa
hubungan satu sama lain, melainkan bahwa realitas dilihat sebagai suatu kesatuan
menyeluruh atau merupakan satu kesatuan pengalaman. Franz Magnis Suseno, “Etika Jawa
sebuah….”, op. cit., hlm. 82.
14
tahun, yaitu sampai wafatnya Arya Mangkunegara IV pada tahun 1881 M,
sentris” tidak hanya dalam arti “berpusat di istana”, tetapi di samping sebagai
para priyayi Jawa pada waktu itu, bahwa politik merupakan nilai yang
tertinggi. Simuh lebih lanjut mejelaskan, maka segala aktivitas pemikiran para
kepentingan politik (raja). Pandangan para sastrawan istana bahwa nilai politik
seperti dalam salah satu karya Sri Mangkunegara IV, Serat Wedhatama sebagai
berikut:
46
Simuh, “Sufisme Jawa….” Op, cit., hlm. 63.
15
26-27. …Belum sempurna ilmu agama, telah dipanggil mengabdi
(kepada Raja). Apabila terlambat pasti dimarahi. Hatiku menjadi tidak
karuan, laksana kiamat setiap hari. Memberatkan Allah, atau Gusti (Raja),
yaitu kepada yang memberi penghidupan. Hatiku menjadi bingung.
Akhirnya kusimpulkan, lantaran aku adalah putra priyayi, apabila memilih
menjadi rais orang keduri, tentu hina.47
IV. Pemahaman demikian jika dianalisa menurut teori etika48, di satu pihak
pada waktu itu bernilai negatif yaitu bersifat heteronom49. Penilaian demikian
kajian sastra Jawa dari sisi penulisnya masih sedikit yang melakukan.
perkembangan sastra Jawa, pada dasarnya memiliki dimensi yang lebih luas
47
Simuh, “Mistik Islam….”, op. cit., hlm. 33-34.
48
Teori etika adalah gambaran rasional mengenai hakikat dan dasar perbuatan serta
keputusan yang benar juga prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan tersebut
secara moral diperintahkan atau dilarang. Majid Fakhry, Ethical Theories in Islam, terj.
Zakiyuddin Baidhawy, Etika dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. xv.
49
Kata “heteronom” berasal dari bahasa Yunani: heteros berarti “lain”, nomos berarti
“hukum”. Heteronomi moral adalah sikap di mana orang memenuhi kewajiban bukan karena
ia insaf bahwa kewajiban itu pantas dipenuhi, melainkan karena ia tertekan, takut berdosa,
takut dikutuk Tuhan, takut ditegur, dan sebagainya. Heteronomi dapat terjadi dalam
hubungan dengan orang tua, atasan, dalam ketaatan terhadap tuntutan agama. Franz Magnis
Suseno, “Etika Dasar….”, op. cit., hlm. 44.
16
daripada hanya aspek pilitik saja. Perspektif tersebut meliputi banyak unsur
dijiwai dan mewarnai seluruh aspek kebudayaan Jawa tradisional yang hingga
dalam hal ini, dia berpendapat bahwa inti dari ajaran kerohanian atau mistik
raga (badan), kalbu (cipta), jiwa, dan sembah rasa.52 Simuh antara lain
dunia” tersebut sama maksudnya dengan salah satu tahapan dalam tarekat
50
S. Margana, Pujangga Jawa dan…, op. cit., hlm. 87.
51
Simuh,”Sufisme Jawa….”, op. cit., hlm. 141.
52
Ibid, hlm. 164.
53
Ibid, hlm. 167.
54
Ibid, hlm. 169.
17
dalam percakapan sehari-hari. Menurut Y.A. Surahardjo, penafsiran istilah
memperoleh konotasi yang peyoratif, yaitu sebagai sesuatu yang ilusif, atau
dunia” seperti para wiku atau resi57 yang suka bertapa dipucuk gunung. Laku
(bertapa) yang paling tinggi nilainya adalah yang dilakukan oleh para prajurit,
karena langsung terlibat dalam dunia kongkret dengan berbagai bahaya dan
sebagai salah satu bagian dalam budaya Jawa, seperti dijelaskan F.M Suseno.
55
Y.A. Surahardjo, Mistisisme Suatu Introduksidi dalam Usaha Memahami Gejala
Mistik termasuk yang Ada di Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hlm. ix.
56
Penjelasan Soemarsaid Moertono berdasarkan penafsirannya terhadap ungkapan
pemikiran Sri Mangkunegara IV dalam karyanya berjudul Serat Wirawiyata yang
diterjemahkan sebagai berikut: “pekerjaan prajurit adalah yang paling tinggi …. Lebih tinggi
dari pekerjaan tapa seorang resi, sebab pengabdiannya harus dilakukan dengan segala
kesungguhan dan keberanian. Soemarsaid Moertono,”Negara dan….”, op. cit., hlm. 112.
57
Wiku, berarti pendeta pertapa, resi berarti orang suci atau petapa. Hasan Alwi
(Pim. Red.), “Kamus Besar….”, op. cit., hlm. 1273, dan 951.
58
Lihat KG PAA Mangkunagara IV, Serat Wirawiyata, (Semarang: Dhara Prize,
1995), hlm. 39.
18
Menurutnya, bagi orang Jawa walaupun tujuan terakhir usaha-usaha mistik
Gusti), namun itu hanya dijalankan sejauh memiliki nilai yang pragmatis bagi
sastra Jawa abad ke 19 dinilainya istana sentris dan bersifat semakin “mistis”
IV, perlu dikaitkan dengan sejarah sosialnya60 dan statusnya bagi masyarakat
sejarah sosial terutama juga mempunyai hubungan yang erat dengan sejarah
59
Fraz Magnis useno,”Etika Jawa sebuah….”, op. cit., hlm. 121.
60
Sejarah sosial artinya, menjadikan masyarakat secara keseluruhan sebagai bahan
garap, maka sangat luas dan beraneka-ragam. Salah satu tema yang dapat digarap oleh
sejarah sosial adalah tentang sebuah kelas sosial. Kuntowijoyo, “Metodologi….”, op.cit.,
hlm. 39-40.
61
Orang Jawa sendiri membedakan dua golongan sosial: 1) wong cilik (orang kecil)
terdiri dari sebagaian besar para petani dan mereka yang berpendapatan rendah di kota, dan
2) kaum priyayi dimana termasuk kaum pegawai dan orang-orang intelektual, serta kaum
ningrat (ndara). Franz Magnis Suseno, “Etika Jawa sebuah….”, op. cit., hlm. 12.
62
Lihat Sartono Kartodirdjo, dkk, Perkembangan Peradaban Priyayi, (Yogyakarta:
UGM Press, 1987), hlm. 8.
19
ekonomi, sehingga menjadi semacam sejarah sosial-ekonomi yang dimiliki
tidak hanya sekedar wejangan (pelajaran) tetapi dia juga memberikan contoh
moralnya dalam rangka membangun dunia dagang Jawa atau khususnya bagi
63
Lihat foot note nomor 91 halaman 27.
64
S. Margana, “Pujangga Jawa….”, op. cit., hlm. 229.
65
Ibid., hlm. 227.
66
Enterpreneurship atau enterpreneur, berasal dari bahasa Perancis, artinya yang
berusaha. Prof. J. Schumpeter menjelaskan, entrepreneurship sebagai orang yang aktif pada
“Durchsetzungneue kombinationen”. Dia mampu menciptakan kombinasi baru bagi faktor-
faktor produksi yang mencakup: 1) pembuatan artikel baru atau perbaikan artikel yang ada,
2) digunakannya suatu metode produksi yang baru, 3) dibukanya pasar penjualan baru, 4)
mengusahakan didapatnya bahan-bahan dasar atau bahan-bahan pembantu baru, dan 5)
menciptakan suatu organisasi baru. Winardi,”Kamus….”, op. cit., hlm. 194.
67
S. Margana,”Pujangga Jawa….”, op. cit., hlm. 230.
20
diterjemahkan R.Th. Muhammad Husodo Pringgokusumo berjudul Sejarah
dasar penghasilan yang kuat dan besar bagi pusat (kerajaan), bukan lagi dengan
telah menciptakan apa yang kini menjadi golongan menengah Indonesia yang
khas, yakni salaryman adalah orang yang nafkahnya bergantung pada gaji
tetap.70
mereka belum memberikan teori dan atau konsep71 yang dapat memberikan
68
Pringgodigdo, Geschiedenis der Ondernemingen van het Mangkoenagorosche
Rijk, terj. R.Tg. Muhammad Husodo Pringgokusumo, Sejarah Perusahaan-perusahaan
Mangkunegaran, jilid I, II, III, (Surakarta: Yayasan Mangadeg Surakarta, 1987), dan
Pringgodigdo, Lahir serta Tumbuhnya Kerajaan Mangkunegaran, (Surakarta: Yayasan
Mangadeg Surakarta, l987).
69
Pringgodigdo, Sejarah Perusahaan-perusahaan Mangkunegaran, jilid I, terj. R.Tg.
Muhammad Husodo Pringgokusumo, (Surakarta: Yayasan Mangadeg Surakarta, 1978), hlm.
9.
70
Ong Hok Ham, Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong Refleksi Historis
Nusantara, (Jakarta: Kompas), hlm. 239-240.
71
Teori, menurut Johnson, adalah seperangkat pernyataan yang disusun secara
sistematis. Adapun konsep merupakan bahan mentah bangunan teori yang paling dasar dan
karya teoritis pada tingkatan konseptual mencakup definisi, analisis konseptual, dan
pernyataan yang menegaskan adanya gejala empiris yang ditunjukkan oleh suatu konsep
(existence statement). Doyle Paul Johnson, Sosiological Theory Classical Founders and
Contemporary Perspective, (Boston: John Wiley & Sons. Inc., 1981), hlm. 47.
21
pemahaman tentang strategi atau pola72 sikap moral Sri Mangkunegara IV
sebagai perpadauan antara budaya Jawa dengan Barat, tetapi tidak hanyut
dalam budaya mereka sehingga dapat dipahami sebagai budaya Jawa modern
khususnya yang sesuai dengan fokus kajian ini kuran lebih sebagai berikut.
F. Landasan Teori
etos merupakan sikap manusia terhadap hukum moral yang didasarkan atas
keputusan bebasnya.73 menjadi semangat dan sikap batin tetap seseorang atau
nilai-nilai moral tertentu. Berdasarkan penjelasan itu, maka etos adalah sesuatu
yang dimiliki atau tidak dimiliki dan yang tidak dapat dipaksa. Etos, dengan
demikian juga tidak dapat dibuat begitu saja, misalnya karena seseorang mau
deskriptif tentang sikap mental namun karena dalam melakukan pekerjaan atau
profesi, dagang misalnya, (etos dagang) atau dalam menjalankan hidup (etos
72
Menurut The Liang Gie, pola adalah sebagai suatu rangkaian peristiwa dalam
waktu, atau sesuatu kumpulan obyek-obyek di dalam ruang, yang dapat dibedakan dari atau
diperbandingkan dengan suatu rangkaian atau kumpulan yang lain. The Liang Gie,”Suatu
konsepsi….”, op. cit., hlm. 21.
22
hidup) diharapkan bahkan dituntut adanya sikap tertentu dan menilai sikap-
sikap tertentu sebagai tidak memadai, maka kata etos lantas juga mendapat arti
Menuntut suatu etos di satu pihak mengandung kritik terhadap etos yang ada
moralnya. Mengingat sikap moral itu sebagai sikap kehendak maka tuntutan
peningkatan etos secara implisit memuat tuduhan bahwa nilai-nilai moral yang
kurang baik. Karenanya, pihak yang menuntut etos itu tahu bagaimana orang
moral yang menjadikan tindakannya baik secara moral maka di pihak lainnya
budi) bernilai terpuji seperti, benar, baik, indah, dan lain-lainnya sesuai dengan
dimaksud makna nilai-nilai moral dalam budaya dagang Jawa pada masanya.76
ditulis dalam buku tidak akan ada habis-habisnya. Kebudayaan pada dasarnya
73
Lihat penjelasan halaman 3.
74
Franz Magnis Suseno,”Berfilsafat dari….”, op.cit., hlm. 125.
75
Ibid, hlm. 127.
23
merupakan endapan dari kegiatan dan karya manusia.77 C. Gertz menjelakan,
saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain secara terus
menerus.78
menurut Gunawan S, para ahli kebudayaan, baik dari luar Indonesia maupun
yang ada di dalam negeri79, pada prinsipnya mereka memiliki kesamaan dalam
diidealkan” atau “budaya Jawa yang dipikirkan” khususnya untuk daerah Solo
disebutkan bahwa budaya Jawa adalah anti kepada konflik karena di dalamnya
mempunyai ideal bahwa dunia ini harus ditata secara harmonis baik antara
jagad cilik (jiwa, pikiran, hati nurani manusia) maupun jagad gede (komunitas,
76
Penjelasan tersebut mengacu pada pengertian “nilai” dari The Liang Gie (foot note
11) dan Ki Hadjar Dewantara tentang budaya. Lihat foot note 20.
77
C.A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan, terj. Dick Hartoko, (Yogyakarta:
Kanisius, 1976), hlm. 9.
78
Clifford Gertz,”The Impact of the Concept of Culture on the Concept of Man”,
dalam John R. Platt (ed.), New Views of the Nature of Man, (Chicago: The University of
Chicago Press, 1965), hlm. 93-95.
79
Gunawan S menyebutkan beberapa ahli dari luar Indonesia seperti, Niels Mulder,
Clifford Gertz, Ben Anderson, William Liddle, maupun yang ada di dalam negeri seperti Franz
Magnis Suseno (dia juga berasal dari Jerman), Mochtar Lubis, Koentjaraningrat, sampai
dengan Sri Sultan Hamengkubuwana X. Gunawan Sumodiningrat, “Budaya Jawa dan Integrasi
Nasional”, dalam: Leila Retna Kumala (Ket. Pan.), Keraton Surakarta dan Perubahan
Masyarakat, Membumikan Nilai-nilai Tradisional, (Surakarta: Team Simposium Nasional,
2003), hlm. 8.
24
dengan sikap toleransi80. Budaya Jawa adalah budaya yang paling memberi
tempat bagi perbedaan dan menerima perbedaan sebagai kekayaan yang harus
dipupuk bersama. Kedua, budaya Jawa dalam konteks modern lebih sesuai
“tempat” dalam hal ini bukanlah pemahaman mati atau mutlak, melainkan
yang bukan dunia material, tetapi sebagaimana dalam filsafat yaitu sesuatu
yang Metafisika atau Numinus (Yang Ilahi). Nilai yang transendental ini dalam
budaya Jawa, seperti yang disebut sebagai kejawen (mistik Jawa), kebatinan
yang dalam sastra Jawa disebut suluk, wirid, primbon, serat, serta istilah lain
80
Toleransi dalam bahasa Inggris: tolerance, dari bahasa Latin: tolerare (tahan,
bersabar). Toleransi adalah sikap seseorang yang bersabar terhadap keyakinan filosofis dan
moral orang lain yang dianggap berbeda, dapat disanggah, atau bahkan keliru. Dengan sikap itu
ia juga tidak mencoba memberangus ungkapan-ungkapan yang syah dari keyakinan-keyakinan
orang lain tersebut. Lorens Bagus,”Kamus….”, op. cit., hlm. 1111.
81
Gunawan Sumodiningrat, “Budaya Jawa dan …, op. cit., hlm. 11-13.
25
selalu menunjukkan kepada pengaruhnya bagi tiga sistem nilai-nilai moral
budaya Jawa, tetapi juga terutama dalam suatu hubungan tertentu memperoleh
dalam arti pengaruhnya juga bentuk lainnya dari pemikiran Sri Mangkunegara
menyangkut pada hubungan, pertautan, dan relasi tertentu memperoleh arti dan
maknanya. Arti sesuatu ialah cara sesuatu itu dialami dan diintegrasikan dalam
seluruh kehidupan sosial, segala yang dipandang lepas dari dunia sekitarnya
tidak lagi ada yang mempunyai arti. Memahami arti dan makna sesuatu berarti,
pemikiran keduanya disebut tahap ontologis, dan tahap mitis85 sebagai tahap
82
Mengacu kepada pendapat Van Peursen, kata ‘fungsi’ selalu menunjukkan
pengaruh terhadap sesuatu yang lain dan khususnya dalam suatu hubungan tertentu
memperoleh arti dan maknanya. Van Peursen,”Strategi….”, op. cit., hlm. 85.
83
Mengacu pada penjelasan Jujun S Suriasumantri, studi mengenai ‘hubungan’,
dapat berupa ‘pengaruh’ atau bentuk lainya dari suatu gagasan orang lain atau kejadian. Jujun
S. Suriasumantri,”Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan, dan Keagamaan Mencari Paradigma
Kebersamaan”, dalam Deden Ridwan (ed.),Tradisi Penelitian Agama Islam Tinjauan
Antardisiplin Ilmu, (Bandung: Nuansa, 2001), hlm. 70.
84
Ibid., hlm. 92-93
85
Tahap ontologis sikap manusia yang tidak hidup lagi dalam kekuasaan mitis,
melainkan yang secara bebas ingin meneliti segala hal ikhwal, ia mulai menyusun suatu ajaran
atau teori mengenai dasar hakekat segala sesuatu (ontologi) dan mengenai segala sesuatu
menurut perinciannya (ilmu-ilmu). Pemikiran ontologi itu berkembang dalam lingkungan-
26
pemikiran yang pertama. Van Peursen menjelaskan, pelukisan tahap mitis dan
tahap ontologis hanya berfungsi sebagai latar belakang, agar gambar mengenai
keadaan yang ada sekarang semakin jelas artinya. Maksudnya, ketiga tahap itu
atau menolak terhadap tiga sistem nilai-nilai moral yang secara normatif87
yang eksistensinya berada dalam pemikirannya dan sebagai “wujud baru” bagi
lingkungan kebudayaan kuno yang sangat dipengaruhi oleh filsafat dan ilmu pengetauan.
Sedang tahap pemikiran mitis ialah sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh
kekuatan-kekuatan gaib sekitarnya, yeitu kekuasan dewa-dewa alam raya atau kekuasaan
kesuburan, seperti dipentaskan dalam mitologi-mitologi yang dinamakan bangsa-bangsa
primitif. Ibid., hlm. 18.
86
Ibid., hlm. 23-24.
87
Kata “normatif”, berarti “value” (nilai), merupakan aturan atau ketentuan yang
mengikat warga kelompok dalam masyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan, dan kendali
tingkah laku yang sesuai dan diterima. Hadi Podo dan Joseph J. Sullivan. Kamus Ungkapan
Indonesia-Inggris, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 617. Kata “normatif” berasal dari
bahasa Inggris “normative”, merupakan kata sifat, derivasi kata benda “norm” yang berarti:
“standart”, “pattern”, “type”. Dengan demikian normatif berarti setting a standart. A.S.
27
diperlukan untuk mencapai perombakan dalam pandangan, namun tidak untuk
kembali suatu situasi dari dalam, lalu menemukan suatu pandangan baru atau
modern.88
tidak berarti sebagai sebuah informasi baru seperti misalnya seseorang yang
membuka buku baru. Namun kata itu berarti, memandang yang lama dengan
bentuk yang baru, atau dilihat dalam kaitan yang baru. Menurut van Peursen,
yang ‘baru’ dalam inventifitas dapat terwujud dalam dua pola atau bentuk.
lama itu tidak disingkirkan sama sekali. Pendek kata, dalam pola atau bentuk
yang pertama ini sungguh terjadi sesuatu yang baru, tanpa mengucilkan yang
lama yang masih dapat diikutsertakan sebagai sebuah unsur yang terbatas dan
sederhana. Pola kedua mengenai inventifitas ialah bila dua barang atau kaidah
28
yang baru, karena barangkali dulu orang tidak pernah memikirkan kombinasi
ini.89
tiga sistem nilai-nilai moral budaya Jawa yaitu, harmonis, struktural fungsional
89
Ibid., hlm. 152-153.
90
Menurut F.M. Suseno, dimaksud dengan dunia kehidupan dengan “tandon
anggapan-anggapannya” adalah cakrawala pengetahuan-pengetahuan, nilai-nilai dan norma-
norma yang merupakan “barang tentu” yang tidak direfleksikan dan merupakan latar belakang
pendapat dan penilaian-penilaian seseorang. Dunia kehidupan itu sendiri tidak dipersoalkan,
29
dengan artiya kemajuan yang manusiawi91 sebagai kesatuannya pemikiran dan
dengan para inteletual (Pujangga) Jawa dan dari Eropa (Barat) terutama orang-
yang dari Jawa: Raden Ngabehi Rangga Warsita (R.Ng. Rangga Warsita), Joyo
Saroso, Wiryo Kusumo, Sunan Paku Buwana IX, Raden Ngabehi Yasa Dipura
II, dan lainnya. Mereka dari Eropa atau Belanda seperti, Tuan Fredick Winter
(C.F. Winter), Dr. J.F.C. Gericke, penerjemah Injil dari Perhimpunan Injil
Belanda, J.A Wilkens, A.E. Cohen Stuart, Dr. D.L. Mounier, dan lainnya. C.F.
Raden Mas Gondokusumo, maka dia tahu benar bakatnya di bidang sastra.92
para pujangga Jawa dan sarjana Barat atau Belanda pada masanya memiliki
bidang seni wayang, karawitan (gamelan: musik Jawa), sastra, dan sebagainya.
Sri Mangkunegara IV dengan segala daya upayanya itu berperanan besar bagi
melainkan ia merupakan latar belakang yang padanya dipersoalkan. Franz Magnis Suseno, 12
Tokoh Etika Abad ke-20, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 223.
91
Menurut F.M. Suseno, dimaksud kemajuan yang manusiawi adalah, kemajuan
hanya bersifat manusiawi, apabila manusia menjadi lebih bebas dari penderitaan dan rasa takut,
apabila ia merasa semakin tentram dan selamat, apabila ia sanggup untuk mewujudkan
kehidupannya sebagai individu dalam lingkunagannya sesuai dengan cita-citanya, apabila ia
tidak diperbudak.. Franz Magnis Suseno, Kuasa & Moral, (Jakarta: Gramedia, 2001), hlm. 155.
92
S. Margana, Pujangga Jawa dan…, op. cit. hlm. 228-232..
30
kemajuan dan perkembangan budaya Jawa maka tidak berlebihan jika Pegeaud
nilai-nilai moral budaya Jawa sebagai karakteristik pemikiran etos dagang pada
caranya bersikap dalam pergaulan itu, maka acuan teoritisnya adalah melalui
prinsip hormat dan kerukunan. Sebab dua prinsip itu, menurut F.M. Suseno, di
satu sisi kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masayarakat
Jawa dan sebagai dinamikanya cara bersikap toleransi di sisi lainnya.94 Rukun
berarti, berada dalam keadaan selaras, tenang dan tentram, tanpa perselisihan,
tentang suatu masyarakat yang teratur baik, di mana setiap orang menganal
tempat dan tugas maka dengan demikian seluruh masyarakat sebagai kesatuan
yang selaras. Prinsip hormat dan kerukunan menuntut agar setiap orang selalu
93
Ibid., hlm. 233.
94
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Analisa Falsafati Kebijaksanaan Hidup
Jawa, (Jakarta: Gramedia, 2001), 159.
31
menguasai perasaan-perasaan dan nafsu-nafsunya, bersedia menomorduakan
beliau Sri Mangkunegara IV, benar-benar orang besar dan contoh yang jarang
dengan cara bersikap baik atau hormat dan rukun terhadap berbagai pihak yang
sisi yang sesuai (modern atau baru) baik dengan etos pemikirannya pada tiga
dengan problemnya adalah, terkait dengan sistem Tanam Paksa (Cultur Stesel)
95
Ibid., hlm. 39-40.
96
H.R. Seotono, Timbulnya Kepentingan Tanam Perkebunan di Daerah
Mangkunegaran, (Surakarta: Milik Perputakaan Rekso Pustoko Istana Mangkunegaran
(PRPIM), no. B.1731, 200), hlm. 28-29.
32
sekitar tahun 1830-1870.97 Pentingnya pemecahan problem dalamnya, karena
dengan involusi pertanian adalah, ekonomi modern lewat sistem Tanam Paksa
kemiskinan dan kelaparan. Teori Gertz itu telah mempengaruhi sebagian besar
20.98
dalam arti teknis mengolah tanah perkebunan, melainkan sebatas pada strategi
dagang Jawa yang sesuai (modern atau baru) pada masanya. Agar maksud cita
idealnya itu bisa dipahami, maka perlu dibandingkan dengan budaya dagang
kerangka acuan tantangan pemikiran etos dagang Jawa selanjutnya baik secara
97
Suyatno Kartodirdjo,”Relevansi Studi Tanam Paksa bagi Sejarah Ekonomi
Indonesia”, Pengantar dalam: Robert van Niel, Sistem Tanam Paksa di Jawa, terj. Hardoyo,
(Jakarta: Pustaka, 2003), hlm. xiv..
98
Ibid., hlm. ix.
33
Pilihan dalam masalah tersebut kiranya budaya dagang dari keturunan
antara Jawa dengan Cina telah berlangsung sejak awal Masehi dan mencapai
puncaknya pada abad XIII hingga abad XVII.99 Kedua, menurut penelitiannya
masyarakat Indonesia pada saat ini yang berjumlah kurang lebih 200 juta orang
cukup obyektif yaitu, dari kurang lebih 3% etnis Cina di Indonesia mewakili
G. Metode Penelitian
Sumber Data
etos dagang Jawa yang sesuai (modern atau baru) pada masanya terutama di
99
Dennys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia, jilid 2, (Jakarta:
Gramedia, 1996), hlm. 220.
100
Hana Tjandradiredja, Budaya dan Strategi Berkarakteristik dalam Mencapai
Keunggulan Pemasaran, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fak. Ekonomi UI, 2002), hl. 102.
34
museum istana Mangkunegaran di wilayah Surakarta, yang sejak penyerahan
oleh pihak istana101 hingga sekarang dijaga dan berkembang secara baik.
ini berbagai karya para ahli lainnya untuk dapat lebih memahamkan pokok
kajian ini yaitu, etos dagang Jawa dalam pemikiran Sri Mangkunegara IV.
teliti terhadap berbagai karyanya. Langkah itu dilakukan dengan tujuan untuk
budaya Jawa yang dituturkan atau diungkapkan dalam berbagai pupuh (lagu)
101
Berdasarkan judul penyerahan buku-buku milik Sri Mangkunegara IV yang
berbunyi: “Ing ngandhap punika cacah pratelanipun kagungan dalem serat-serat ingkang
katampen tanggal kaping 26 Nopember 1877, utawi tanggal kaping 20 wulan Dulkangidah
tahun Je angka 1806”. Artinya: Di bawah ini jumlah rincian buku-buku milik Paduka Sri
Mangkunegara IV yang dietrimakan tanggal 26 Nopember 1877 atau tanggal 20 Dulkangidah
tahun Je 1806. Ketika pelimphan itu ada 360 buku, namun jumlahnya lebih karena ada satu
nomor yang mencakup beberapa buku. Sebenarnya Sri Mangkunegara IV memiliki berbagai
buku dalam bahasa asing , maklum dia sebagai usahawan yang banyak menjalin hubungan
35
Agar tiga sistem nilai-nilai moral budaya Jawa itu merupakan bagian
dalam tanggapan atau penilaian pemikiran Sri Mangkunegara IV, maka analisis
yang sejenis atau berlainan, disusun secara logis dalam satu struktur pengertian
yang merupakan satu kesatuan nilai-nilai moral budaya Jawa dalam pemikiran
dengan luar negeri. RM. Sarwanto Wiryosaputro, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya
Mangkunegoro IV, (Surakarta: Reksopustoko Mangkunegaran, 2001), hlm. 38.
102
Content analysis atau analisis isi adalah suatu teknik penelitian untuk membuat
inferesi-inferesi yang dapat ditiru (replicable) dan sahih data dengan memperhatikan
konteksnya. Analisis isi dapat dikrakterisasikan sebagai metode penelitian makna simbolik
pesan-pesan. Klaus Krippendorff, Analisis Isi: Pengantar Teori dan Metodologi, terj. Farid
Wjidi, (Jakarta: P.T Raja Grfindo, 1993), hlm. 15. Metode Analisis isi tidak harus besifat
kuantitatif, justru content analysis yang bersifat kualitatif lebih mampu menyajikan nunansa
dan lebih mampu melukiskan prediksinya lebih baik, menyangkut pemaknaan dan mencai arti
yang diangkat dari intensitas kejadiannya. Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif,
(Yogyakarta: Rakesarasin, 1989), hlm. 77-78.
103
Secara bahasa kata hermeneutic berasal dari kata kerja bahasa Yunani
hermeneuein hermeneuein yang berarti “menafsirkan” (to interpret). Kata bendanya
hermeneiaa, yang berarti “penafsiran” (interpretation), dan penafsiran itu sendiri merupakan
gabungan dari pernyataan “menerangkan” dan “menterjemahkan”. Penekanannya adalah pada
aktivitas interpretasi, terutama teks. Joseph Bleicher, Contemporary Hermeneutics,
Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique, (London: Routledge & Paul Kegan, 1980),
hlm. 3-5 dan 33-35.
104
Metode vertehen adalah upaya memahami secara kejiwaan, kelakuan orang lain
serta karya ciptanya, yakni upaya interpretatif untuk memberikan makna kepada sesuatu yang
dianggap pada hakekatnya bersifat “fakta obyektif”. Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi
Penelitian Sosial Agama, (Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 71.
105
Hermeneutik ilmiah yaitu kecenderungan menggunakan hermeneutika khusus
untuk mengungkapkan dan mempelajari makna “murni” yang terkandung dalam sebuah teks.
Tujuan spesifiknya adalah mengembangkan pengetahuan yang memberikan pemahaman dan
penjelasan menyeluruh dan mendalam. Ibid., hlm. 73-75.
106
Maksudnya mengungkap dan mempejari makna “murni” dalam hal ini,
sebagaimana saran Van Leur, bahwa untuk menentukan makna perdagangan bagi ‘sejarah lama
36
Mangkunegara IV acuan pemikirannya tentang etos dagang Jawa yang sesuai
komprehensip tentang hal itu, maka penerapan metode itu tidak hanya terbatas
pada karyanya yang berupa buku, melainkan termasuk berbagai dokumen dan
simbol-simbol, baik yang dibuatnya sendiri atau yang berasal dan ditulis oleh
orang lain.
(logo, ritus), dan lain-lain yang dapat dipahami, dijelaskan, ditafsirkan, dan
atau diterjemahkan sebagi etos dagang Jawa Sri Mangkunegara IV. Agar
pemahaman yang dihasilkan dari langkah tersebut juga bisa dipahami sebagai
etos dagang Jawa yang sesuai (modern atau baru) dalam arti sekarang dan masa
Indonesia’ metode kajiannya hendaknya berlandaskan pada “elemen yang lebih tua, yang asli
(native)”, misalnya unsur kejawaan adalah faktor yang paling penting. R.Z. Leirissa, “DR J.C.
Van Leur dan Sejarah Ekonomi: Suatu Tinjauan Historigrafi”, dalam: Taufik Abdullah (peny.),
Sejarah Indonesia Penilaian Kembali Karya Utama Sejarawan Asing, (Jakarta: PPKBLP UI,
1997), hlm.197.
107
Dengan pendekatan sosiologis terungkap segi-segi sosial dari peristiwa yang
dikaji. Pembahasannya mencakup golongan sosial yang berperan, jenis hubungan sosial,
konflik berdasarkan kepentingan, pelapisan sosial, peranan dan status sosial, dan sebagainya.
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm.
11. Secara metodologis penggunaan sosiologis dalam kajian sejarah betujuan memahami arti
subyektif, dari perilaku sosial, di samping arti obyektif. Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan
Perkembangan Historigrafi Indonesia suatu Alternatif, (Jakarta: PT Gramedia, 1982), hlm. 54.
108
Interpretasi sosiologik adalah melakukan penafsiran dengan tetap berpegang pada
materi yang ada, dicari latar belakangnya, konteksnya agar dpat dikemukakan konsep atau
gagasannya lebih jelas. Dengan demikian dapat terungkap makna atau nilai logis, etik serta,
nilai transendentalnya: apa maknanya, apa keberartiannya bagi hidup manusia. Noeng
Muhadjir,”Medologi….”, op. cit., hlm. 138. Interpretasi sosiologik dapat dipergunakan sebagai
salah satu model analisis dalam pendekatan sosiologis, yaitu penafsiran atau interpretasi atau
membaut prediksi masa depan atau mencari makna masa lampau bagi masa depan. Analisis
demikian nampaknya akan sangat menarik bagi telaah sosiologi perubahan sosial. Ibid., hlm.
222.
37
Melalui berbagai langkah tersebut diharapkan dapat menghasilkan
pemahaman etos dagang Jawa dalam pemikiran Sri Mangkunegra IV dan atau
dalam budaya dagang Jawa yang sesuai (modern atau baru) pada masanya.
Analisis dalam hal itu serta dilengkapi dari berbagai sumber para ahli psikolog,
sosiolog, antroplog dan, etikawan dengan bobot dan jangkauan pemikiran yang
hidup Jawa terutama sebagai etika sosial109 Jawa khusus dalam hal dagangnya.
Sekaligus sebagai pihak yang lainnya, barangkali merupakan “tipe ideal” atau
“cita ideal” yang dapat dijadikan sebagai salah satu acuan atau tantangan bagi
budaya dagang Jawa modern jaman sekarang dan masa yang akan datang.
H. Sistematika Penulisan
masalah, tujuan dan manfaat penulisan, telaah pustaka, landasan teori, metode
109
Istilah etika sosial digunakan oleh W.H. Whyte dalam karyanya Organization
Man (1956), yang artinya: “Suatu pemikiran yang secara moral mengesahkan tekanan dalam
masyarakat terhadap individu”. Ada tiga masalah utama dalam hal ini: 1) suatu kepercayaan
dalam suatu kelompok sebagai sumber kreatif, 2) suatu kepercayaan sebagai suatu
bilongingness (milik pribadi) yang menjadi kebutuhan dasar individu, dan 3) suatu
kepercayaan dalam penerapan ilmunya untuk menerima “milik pribadi” itu. Allan Bullocks
(ed.), The Harper Dictionary of Modern Thought, (New Jersey: Harper & Row Publisher,
1988), hlm. 785.
38
yang menuntun bab-bab berikutnya sehingga tujuan yang diharapkan bisa
dalam hal etos dagang Jawa, dideskripsikan tentang kehidupan dan tanggapan
keraton Mangkunegaran. Khusus dalam hal yang terakhir itu, sebagai landasan
penting untuk dianalisa lebih lanjut, bahwa pola pemikiran Sri Mangkunegara
nilai moral budaya Jawa yang sesuai (modern atau baru) pada masanya.
kedua.
dagang Jawa yang sesuai (modern atau baru) pada masanya. Acuannya adalah
tiga sistem nilai-nilai moral budaya Jawa seperti pada bab sebelumnya, sebagai
obyektifikasi cara bersikap baik atau hormat dan peduli terhadap apa saja,
bersikap baik atau hormat dan rukun serta peduli terhadap sesma manusia dan
ketiga.
dijadikan sebagai acuan dan atau tantangan bagi budaya dagang Jawa sekarang
39
Karenanya pertama-tama, perlu diperjelas kaitannya pada pemahaman budaya
dagang keturunan Cina. Analisa pemahaman etos dagang Jawa bagi perspektif
etos dagang Jawa sekarang maupun masa mendatang di tingkat regional Jawa
40
B A B II
Keraton Mangkunegaran
malam Minggu (Ahad Legi tanggal 1 Sapar tahun Jimakir 1736 Windu
Sancaya dalam tahun Jawa), atau tanggal 3 Maret 1811 Masehi. Ia adalah putra
ketujuh dari Pangeran Hadiwjaya I yang menikah dengan salah seorang putri
Pangeran Rio (kelak Mangkunegara III), sejak berumur 10 dididik dalam satu
110
Istilah “Sri” dalam bahasa Jawa, biasanya diberikan sebagai gelar teramat luhur
bagi seorang raja. Benedict R.O’G. Anderson, “Mitologi dan….”, op. cit., hlm. 174.
111
Mengenai silsilah dinasti Mangkunegaran, lihat: Soemohatmoko, “Pratelan Para
Darah Dalem Kanjeng Goesti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV”, Manuskrip nomor 01
(Surakarta: Reksa Pustaka Mangkunegaran, 1923), hlm. 1. Lihat juga dalam Kamajaya, Pilihan
Anggitan KGPAA Mangkunegara IV Isi Serat-serat Anggitan-dalem KGPAA Mangkunegara
IV, (Yogyakarta: Yayasan Centini, 1992), hlm. 2.
112
Ibid., hlm. 4.
Mendidik anak dengan dititipkan sebagai keluarga kerabat yang telah
semua tingkat sosial bagi masyarakat Jawa. Langkah tersebut menempuh tiga
proses yang harus dijalani sebagai jenjang pendidikan yang menyatu dalam
113
pola kekeluargaan priyayi. Pertama ngenger atau nyuwita (mengabdi), kedua
dan perlindungan dan di sisi lain sebagai dasar pendidikan paling penting bagi
seperti, rasa belas kasihan, kebaikan hati, kemurahan hati, kemampuan untuk
merasakan kesusahan orang lain, rasa tanggung jawab sosial dan, keprihatinan
berkorban demi orang lain dan untuk mengahayati pengorbanan itu sebagai
nilai yang tinggi. Karenanya, dalam penghayatan pola kekeluargaan bagi orang
Jawa, makna sepi ing pamrih betul-betul dihayati atau dialami, sebagai caranya
113
Nyuwita berarti belajar dengan cara mengalami sendiri kehinaan dan kesulitan
yang terdapat pada kedudukan yang rendah atau kasar, yang kedua belajar dengan mengamati
seluk beluk tata krama di lingkungan keluarga priyayi yang lebih tinggi. Ia juga memperoleh
ketrampilan professional terutama, seperti latian keahlian menunggang kuda sebagai persiapan
dalam perang, membaca dan menulis terutama dalam bidang sastra, agama Islam dan, seni tari
maupun musik Jawa (gamelan). Soemarsaid Moertono,”Negara dan Usaha….”, op. cit., hlm.
68.
114
Magang sebagai kesatuan nyuwita, sosialisasi keduanya terjadi secara intensif
sedikit demi sedikit. Ia diterima dan dimasukkan dalam dan sebagai satu pola kekeluargaan,
sehingga dapat langsung menghayati tidak hanya metode kerja, tetapi juga gaya hidup priyayi
dengan segala nilai-nilainya. Hal itu antara lain kerajinan, ketekunan, ketabahan, kecermatan,
ketaatan, kesetiaan, dan terutama juga tentang sopan santun dengan tatasusilanya yang berlaku
di kalangan priyayi perlu dihayati dalam kehidupannya. Ibid., hlm. 70.
42
bersikap tidak mau (hendak) memaksakan kepentingan-kepentingannya sendiri
tradisional (keutamaan Jawa atau moralitas Jawa) terutama sepi ing pamrih
sebagai karakteristik acuan sikap dasar dalam pribadi dan sikap mental atau
berikut ini.
kepemilikan tanahnya yang berstatus sebagai catu atau “tanah untuk gaji”119.
115
Kuntowijoyo,”Raja, Priyayi….”, op. cit., hlm. 7.
116
Darsiti Soeratman, “Kehidupan Dunia….”, op. cit., hlm. 73.
117
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah…, op. cit., hlm. 173-174.
118
Pola adalah sebagai suatu rangkaian peristiwa dalam waktu, atau sesuatu
kumpulan obyek-obyek di dalam ruang, yang dapat dibedakan dari atau diperbandingkan
dengan suatu rangkaian atau kumpulan yang lain. Pola dapat dibedakan dengan jelas bukan
dari peristiwa-peristiwa yang sembarangan atau kekacauan, melainkan sebagai peristiwa-
peristiwa yang menentukan, misalnya bagi sistem pemikiran. The Liang Gie, Suatu
Konsepsi…, op. cit., hlm. 21.
119
Pringgodigdo,”Lahir serta….”, op. cit., hlm. 8. Tanah catu atau tanah untuk gaji
adalah tanah atau daerah dari sebagaian tanah raja yang diserahkan kepada seorang pejabat,
keluarga atau seorang yang disenagi. Lihat Soemarsaid Moertono,”Negara dan….”, op. cit.,
hlm. 136.
43
atau Pangeran Miji di bawah Kasunanan Surakarta pada masa pemerintahan
berkat ketangkasan dan keperkasaan para prajuritnya Raden Mas Said ketika
bantuan dari Sultan Hamengku Buwana I. Kedua, atas bantuan pihak Belanda
yang hampir terus berlangsung hampir selama 35 tahun. banyak rakyat kecil
perang”.122
120
Pringgodigdo,”Lahir serta….”, op. cit., hlm. 9.
121
Perundingan dilaksanakan di Salatiga tanggal 17 Maret 1757.
Pringgodigdo,”Lahir serta….”, op. cit., hlm. 9-10.
122
Ibid., hlm. 9.
44
Mencermati berbagai peristiwa yang melatarbelakangi sejarah sosial
Ina Slamet-Velsink yang dikutip Hans Antlov dan Sven Cederroth. Dijelaskan,
sedikit pilihan bawahan kecuali untuk menurut. Menafsirkan sikap itu sebagai
dasar budayanya orang Jawa berarti sangat menilai rendah tekanan politik dan
ekonomi yang diterapkan para elit penguasa (raja atau priyayi) terhadap orang
biasa. Menurutnya, gambaran orang Jawa sebagai rakyat yang jinak dan lembut
yang pada umumnya didasarkan pada kriteria subyektif atau bersifat sangat
secara adil.
123
Hans Antlov dan Sven Cederroth, “Pendahuluan”, dalam Hans Antlov dan Sven
Cederroth, Kepemimpinan Jawa…, op. cit., hlm. 19-20.
124
Pengertian ikatan “patron-klien” sebenarnya masih dalam perdebatan, pada
awalnya istilah itu berarti, hubungan antara tuan (raja) dan anak yang nyuwita bersifat sangat
pribadi. Penilaian raja atau tuan tempat nyuwita (mengabdi) didasarkan pada kriteria subyektif,
45
kependudukannya. Jarak antara keraton Mangkunegaran dengan kompleks
kraton dan rumah Residen. Pengaturan tempa-tempat itu erat kaitannya antara
yang dilakukan pada tahun 1749 antara VOC dengan kerajaan Mataram yang
Peranan Residen waktu itu lebih berfungsi sebagai duta besar daripada sebagai
penguasa kolonial. Para pejabat dari Pemerintah Belanda juga disebut sebagai
“rekanan senior” terutama bagi raja-raja Jawa Tengah walaupun mereka tidak
Jawa ini yang menjelma menjadi korps kepegawaian sipil pribumi, dengan
sehingga perhatiannya hanya ditujukan pada perbuatan abdi-nya yang selalu dapat
menyenangkan hatinya. Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia…, op. cit., hlm. 68-69.
125
Ibid., hlm. 2.
126
M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia, (London and Basingstoke: The
Macmillan Press Ltd., 1981), hlm. 105.
46
sebutan pangreh praja atau Penguasa Kerajaan.127 Kekuasaan pangreh praja
lanjut terutama bagi masa kehidupan Sri Mangkunegara IV. Sekedar sebagai
batas bidang kajian ini terutama adalah setelah Perang Jawa berakhir tahun
1830, sedang masalah latar belakang dan atau penyebab perang tersebut tetap
melalui tiga pola sikap dalam tindakannya yaitu yang realistis dan rasional,
bekerja sama berjuang tanpa kekerasan dan, sesuai dengan budaya atau
pengalaman keagamaan (Islam) Jawa. Kedua, eksistensi tiga pola sikap dalam
tindakannya tersebut berada baik pada dataran pemikiran dan perilaku lahiriah
(etiket). Sumber atau acuan dasar pembentuknya tiga pola tersebut berarti dua
127
Heather Sutherland, Terbentuknya sebuah Elite Birokrasi, (Jakarta: Sinar
Harapan, 1984), hlm. 25.
128
Ibid., hlm. 26.
47
pola sikap129 dalam tindakan-tindakan yang pernah ditunjukkan oleh para Raja
bisa dikaji dalam pola pemikiran130 sebagai acuan sikap dasar dalam bertindak
masing pihak diidentifikasikan dalam tiga pola sikap. Tiga pola yang pertama
sebagai karakteristik sikap pihak Kasunanan, sedang tiga lainnya sebagai pola
politik yang mengaturnya yaitu dari pihak Pemerintah Belanda. Dua acuan itu
penting bagi pemahaman tentang, di satu pihak gambaran situasinya dan cara
kepentingannya, terutama terhadap dan dari dua kerajaan tersebut pada pihak
129
Dimaksud dengan sikap, mengutip dari The Liang Gie, adalah, suatu
kecenderungan yang terbentuk karena pemahaman atau latihan untuk menanggapi secara ajek
dengan suatu cara tertentu terhadap sesuatu hal atau keadaan sekeliling. Lihat The Liang Gie,
Segi-segi Pemikiran Ilmiah, (Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu Berguna (PUBIB), 2003), hlm.
16.
130
Pola pemikiran artinya, sesuatu yang diterima seseorang dan dipakai sebagai
pedoman, sebagaiman diterimanya dari masyarakat sekelilingnya. Hasan Alwi (Pemred.),
Kamus Besar…, op. cit., hlm. 885.
48
“Surakarta adalah tempat kepentingan-kepentingan pemerintah
(Belanda) dan kepentingan raja-raja Jawa serta pengusaha-pengusaha
pribumi maupun Eropa saling berkait dan tertenun begitu rupa sehingga
tidaklah mudah untuk menguraikan warna-warna dan membedakan helai
demi helai serat-seratnya. Di dalam areal yang terbatas ini terdapat
perpotongan hak-hak dan kepentingan-kepentingan kekuasaan tinggi orang
Eropa dan dua kekuasaan pribumi yang saling bergantung satu sama lain
dan, dari sifat posisi mereka masing-masing, saling bertentangan, masing-
masing dengan lingkup pengaruhnya sendiri-sendiri, berikut para
pendukung dan penentangnya, kegiatan-kegiatan yang terbuka dan
tersembunyi.131
ini juga berusaha sedemikian rupa untuk menghindari segala sesuatu sikap
yang bisa memberi bagi kedua kerajaan itu alasan untuk mengeluh atau merasa
132
tidak puas dan atau tidak senang.
cara bertindak dan atau bersikap yang ditunjukkan oleh masing-masing pihak.
tiga cara untuk meningkatkan perasaan puas dan senang di kalangan elit
131
Vincent J.H. Houben, Keraton dan Kompeni Surakarta dan Yogyakarta 1830-
1870, terj. Setyawati Alkhatab, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002), hlm. 222-223.
132
Ibid., hlm. 155.
49
dan berbagai macam upacara (ritual) kunonya. Kedua, memberikan berbagai
aristokrasi Jawa akan tetap bersikap bersahabat. Ketiga, agar para keluarga
istana tetap merasa senang dan puas, Pemerintah Belanda berusaha melibatkan
keagamaan Jawa.134 Hal itu berarti, berhasil tidaknya atau sesuai dan tidaknya
bersikap atau cara berperilaku dari raja atau keluarga pihak Mangkunegaran
yang kepemerintahannya sebagai pangreh praja dan yang aktif terlibat dalam
pergaulan sosial dengan mereka. Pola dan cara-cara bersikap yang ditunjukkan
133
Ibid., hlm. 156-157.
134
Hal itu sebagaimana dijelaskan Niels Mulder, yang khas bagi pandangan dunia
Jawa ialah bahwa realitas tidak dibagi dalam berbagi berbagai bidang yang terpisah-pisah dan
tanpa hubungan satu sama lain, melainkan bidang realitas dilihat sebagai suatu kesatuan
menyeluruh. Niels Mulder, Kepribadian Jawa dan…, op. cit., hlm. 36. Lihat juga Franz Magnis
Suseno, Etika Jawa sebuah…, op. cit., hlm. 82.
50
di bidang dagang dan diharapkan baik pihak Pemerintahan Belanda maupun
Rincian keberlakuan pola dalam arti sebagai contoh atau model135 cara
IV dan sesuai dengan tiga cara tersebut, dikutip dari F.M. Suseno, mengacu
pada tiga sumber.136 Pertama, dari adat-istiadat seperti yang ditradisikan dalam
umum atau telah ditradisikan. Dia berusaha menentukan pola dan cara bersikap
yang sesuai dengan apa yang dalam situasi tertentu cocok (pantes), dan apa
dalam tata krama (perilaku sopan santun). Inti maksud nilai dalam etiket
tersebut adalah, untuk menunjukkan sikap hormat dan atau sikap rukun yang
tepat. Sikap yang pertama keberlakuannya bersifat umum, bagi apa dan siapa
135
Kata “pola” memiliki berbagai arti, antara lain: contoh, model, sistem, cara kerja,
bentuk (struktur) yang tetap. Lihat Hasa Alwi (Pimred.), Kamus Besar…, op. cit., hlm. 884-
885.
136
Tiga sumber ini merupakan rangkuman, seperti dijelaskan F.M. Suseno, yang
pada dasarnya juga merupakan acuan bagi setiap orang yang kehidupannya di Jawa dalam
rangka memenuhi tugasnya. Lihat Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah…, op. cit., hlm.
153-154.
51
Sumber ketiga, dari anugerah atau rahmat Tuhan berupa wahyu137
melalui resi138 atau melalui metafora139 berupa cahaya biru, masyarakat Jawa
aman atau sesuai dengan tuntutan zaman apabila generasi selanjutnya sanggup
untuk mengubah dan memperbaharui atau membangun terutama pada pola atau
cara berpikirnya.140
nilai yang eksistensinya dapat ditunjukkan melalui sikap sopan santun atau tata
krama: sikap baik atau hormat dan rukun. Pertama, nilai yang menjadi tujuan
utama kebijakan politik Pemerintah Belanda, yaitu agar orang atau masyarkat
Jawa pada umumnya atau para elit kerajaan khususnya, bisa saling merasa puas
dan senang. Kedua, nilai ini tidak bertentangan dengan pandangan dunia dan
Pola dalam sikap sopan santun ini sulit dipisahkan dari kehidupan
sosial Sri Mangkunegara IV sebagai priyayi yang pada waktu itu pengertiannya
berperan ganda. Priyayi, di satu pihak sebagai abdi atau pegawai pemerintah
137
Dalam bentuk asalnya bahasa Arab, wahy berarti “petunjuk” dari Tuhan, namun
orang Jawa menggapnya sebagai rahmat atau karunia (anugerah) dariNya. Anugerah Tuhan ini
tidak selalu diberikan kepada seseorang tertentu, dan disimbolkan dengan berbagai bentuk atau
rupa seperti, cahaya terang seperti “bintang”. Paling sering terlihat sebagai bola cahaya biru,
hijau atau putih yang menyilaukan (ndaru, pulung). Soemarsaid Moertono, Negara dan
Usaha…, op. cit., hlm. 66-67.
138
Resi berarti Pandhita. C.F. Winter Sr. dan R.Ng. Ranggawarsita, Kamus Kawi…,
op. cit., hlm. 228. Resi bisa berarti pertapa dan guru mistik. Sebagai pertapa, dia disebut
Begawan adalah gelar yang diberikan di kalangan bangsawan (priyayi). Lihat Benedict R.O’G.
Anderson, Mitologi dan…, op. cit., hlm. 173.
139
Istilah metafora maksudnya, ungkapan kias atau simbol. Y.A. Surahardjo,
Mistisisme…, op. cit., hlm. 74.
52
kolonial (abdining Kangjeng Gupernemen) dan sebagai abdi dalem141 pada
diri dengan etiket priyayi, baik sebagai abdi (pegawai) Belanda maupun abdi
baik atau hormat dan rukun ditunjukkan seperti pada pola atau model pakaian
Langenharjan.145
hadir merasa bingung tentang busana yang akan dipakainya. Dia khawatir cara
menunjukkan sikap hormat kepada para tamu yang sangat heterogen asal-usul
140
Ibid., hlm. 160. Cara berpikir artinya, sebagai keadaan dan aktivitas jiwa (batin),
perasaan individu, disebut mentalitas seseorang. Hasan Alwi (Pimred), Kamus Besar…, op. cit.,
hlm. 733
141
Di daerah kerajaan Jawa, yang dinamakan priyayi ialah mereka yang bekerja di
kantor-kantor Pemerintah Belanda (Gubernemen) dan yang bekerja di istana disebut abdi
dalem. Sartono Kartodirdjo dkk. Perkembangan Peradaban…, op. cit., hlm. 11.
142
Kuntowijoyo, Raja Priyayi…, op. cit., hlm. 51.
143
Ibid., hlm. 52.
144
Slametan, yang paling mendalam dirasakan oleh orang Jawa, yaitu nilai
kebersamaan, ketenangan, dan kerukunan sehingga mencegah gangguan-gangguan terhadap
keselarasan kosmis. Ibid., hlm. 81.
145
Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia…, op. cit., hlm. 108.
146
Babad Langenharjan (dari langen, “suka”, dan harja “sejahtera”) berarti “Sejarah
Langenharjan” adalah sebuah naskah Keraton sangat tebal yang mengambil judulnya dari
tempat peristirahatan Paku Buwana IX. John Pemberton, “Jawa” on the Subject of “Java”,
terj. Hartono Hadikusumo, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003), hlm. 148.
147
Untuk menghadiri upacara-upacara di Keraton Surakarta, Sri Mangkunegara IV
biasanya berpakaian seragam militer Belanda. Para tamu undangan pada upacara peresmian
53
cemerlang Sri Mangkunegara IV mengambil gunting untuk memotong buntut
keris yang anggun. Dia selanjutnya memakai kain batiknya yang terbagus
(bukan celana panjang) berarti, dia telah menciptakan mode terbaru untuk
Surakarta sejak tahun 1870-an. Sunan Paku Buwana IX berkata kepada cucu-
cucunya: “’Rokkie’ dijadikan gaya Jawa (rokkie kadamel cara Jawi). Semua
priyayi yang mengiringi Sri Mangkunegara IV juga memakai jas Jawa (rokkie
Jawi) ini”.148
inventifitas cara bersikap baik atau hormat dan rukun. Model pakaiannya itu, di
sisi lain khusus sebagai ungkapan tindakan moral untuk bersikap hormat yang
inti nilai moralnya adalah bersikap baik149 bagi sesama yang lebih sesuai atau
lain seperti tersirat dalam ungkapan kata-kata Sunan Paku Buwana IX di muka.
54
John Pemberton memperjelas perspektif arti kebenaran model pakaian atas
Sumber kedua sebagai dasar pembentuk pribadi dan sikap mental atau
pergaulan sosial yang telah diterima umum. Sumber kedua ini, seperti telah
keagamaan Jawa. Namun, identifikasi pola sikap dalam sumber kedua ini,
151
John Pemberton, “Jawa” on the…, op. cit., hlm. 152.
55
karya-karya sastra Jawa kuno yang berbentuk macapat (irama puisi Jawa)
senggang dari pendidikan untuk para Pangeran sejak kecilnya. Paku Buwana
akrabnya dengan para pujangga Kasunanan dengan orang Eropa atau Belanda.
menerima karya sastra Eropa akibat bergaul akrab dengan pejabat Belanda.154
Identifikasi kaitannya bagi cara bersikap baik atau hormat dan rukun
Mas Ario Gondokusumo dengan C.F Winter, seperti ditulis Anjar Any, sebagai
berikut:
152
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha…, op. cit., hlm. 15.
153
Pergantian nama ini setelah ia dinikahkan oleh Mangkunegara II dengan salah
seorang putri dari Pangeran Ario Suryomentaram. Tanpa Nama Pengarang, Punika Pemutan
Lalampahanipun Raden Mas Hario Gondokoesoemo, Putra ing Ngadiwidjajan ingkang
sapisan, saking Garwa Padmi angka 7 saking pambajengipun, Ingkang wekasan Djumeneng
Kangjeng Gusti Pangeran Hadipati Hario Mangkoenagoro ingkang kaping IV, (Surakarta:
Manuskrip Koleksi Perpustakaan Reksa Pustaka Mangkunegaran, No. 29), hlm. 1.
154
Sartono Kartodirdjo dkk., Perkembangan Peradaban…, op. cit., hlm. 144.
56
pembentukan kata dan sebagainya. Kepandaiannya akan bahasa dan kata-
kata Jawa tak ubahnya seperti para pujangga. Tuan Frederick Winter lalu
tertawa, dan ia menduga bahwa Raden Mas Ario Gondokusumo sedang
menyanjungnya. Raden Mas Ario Gondokusumo menolak anggapan itu,
karena sama sekali ia tidak menyanjung, karena dirinya berpendapat
bahwa hubungannya sudah seperti saudara sendiri. Jadi pujiannya terhadap
Tuan Frederick Winter itu berdasarkan kenyataan yang sebenarnya. Itulah
sebabnya ia belajar bahasa Kawi padanya, supaya sedikit demi sedikit
bertambah pengetahuannya, syukur nantinya dapat mengarang seperti
Tuan Frederick Winter. Frederick Winter menjawab dengan singkat,
“Syukur jika demikian”. Tuan Frederick Winter, telaahnya memang tajam
dan luas.155
Mas Ario Gondokusumo dengan C.F Winter tersebut kiranya bisa sebagai
salah satu identifikasi pemahaman bahwa perhatian dan hubungan antara pihak
pihak berusaha bertindak secara adil.156 Realisasi nilai-nilai moral budaya Jawa
sikap rukun157 Realisasinya cara bersikap yang diakui sebagai keluarga sendiri
(keluarga inti) maka nilai manusiawinya adalah saling cinta kasih (tresno). Inti
sikap moral dalam pola kekeluargaan Jawa adalah, diwarnai oleh rasa saling
155
Anjar Any, Menyingkap…, op. cit., hlm. 53.
156
Adil pada hakikatnya berarti bahwa kita memberikan kepada siapa saja apa yang
menjadi haknya, tentu dalam situasi yang sama. Jadi prinsip keadilan mengungkapkan
kewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap semua orang lain yang berada
dalam situasi yang sama dan untuk menghormati hak semua pihak yang bersangkutan. Franz
Magnis Suseno, Etika Dasar…, op. cit., hlm. 132.
157
Penafsiran sikap rukun sama dengan bertindak secara adil, dikutip dari F.M.
Suseno. Dijelaskan, prinsip kerukunan adalah pengganti prinsip keadilan, karena dalam prinsip
kerukunan terdapat sikap-sikap moral yang menjamin hak-hak pribadi dalam pola atau struktur
etika Jawa. Prinsip kerukunan menjamin bahwa individu tidak pernah ditindas oleh kelompok.
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa dalam…, op. cit., hlm. 77.
57
cinta kasih antar mereka dengan nilai-nilai keutamaannya bagi perasaan moral
implisit dua sikap yang membentuk karakteristik pemikiran Raden Mas Ario
Kawi, tidak dengan begitu saja atau asal agar supaya kelihatan bersikap rukun,
penilain kritis C.F. Winter tentang karya-karya sastra Jawa, secara implisit
untuk selalu atau segera bersikap tahu diri terhadap nilai-nilai yang terkandung
pemikiran Raden Mas Ario Gondokusumo telah terbiasa dan atau terbentuk
kepustaan Jawa. Kedua, dalam proses pembelajaran ini disertai dengan sikap
semangat untuk tahu diri (eling)159 sebagai dasar pola sikap tindakan-tindakan
158
Lihat uraiannya dalam halaman 152-153 foot note nomor 416-417.
159
Tahu diri dekat dengan sikap Jawa yang namanya eling. Tahu diri (eling) berarti,
menyadari keterbatasannya sendiri, memahami bahwa pengetahuan kita selalu terbatas dan oleh
karena itu kita sebaiknya bersedia terus belajar dan jangan mencampuri urusan orang lain. Tahu
diri mendasari sikap toleran yang sebenarnya. Tahu diri mengandung kesadaran bahwa
meskipun kita yakin akan kebenaran dan atau kebaikan agama dan kebudayaan kita, namun
bukanlah urusan kita untuk mencampuri golongan yang tidak sepaham atau tidak seagama.
Tahu diri (eling) bukan hanya suatu tuntutan kesopanan, melainkan merupakan tanda
kesungguhan keyakinan beragama. Karena eling juga berarti sebagai pengalaman keagamaan
bahwa kita selalu ingat bahwa Allah masih lebih besar daripada kita. Orang yang intoleran
terhadap agama dan kebudayaan lain, adalah orang yang mengukur Allah pada kekerdilan
otaknya sendiri. Franz Magnis Suseno, Kuasa dan…op. cit., hlm. 97-98.
58
moralnya. Ketiga, bersemangat melakukan pembaharuan160 terhadap nilai-nilai
moral budaya dalam sikap sopan santun tersebut sebagai sikap pergaulan sosial
Serat Panji Wulung versi Jawa. Menurut Rinkes, Serat Panji Wulung karyanya
ini diciptakan atas permintaan C.F. Winter sebagai pegangan bagi siswa yang
Raden Mas Ario Gondokusumo juga bersahabat akrab dengan para pejabat dan
sarjana Belanda yang bertugas di Surakarta antara lain, Dr. J.F.C. Gericke
baik atau hormat dan rukun sebagai pola pengalaman keagamaan (Islam) Jawa,
yang akan dibahas nanti. S. Margana menjelaskan, Dr. J.F.C. Gericke salah
kitab Injil ke dalam bahasa Jawa dan memimpin Institut Bahasa Jawa yang
160
Istilah pembaharuan (reform), yaitu perubahan yang terjadi dengan tetap
mempertahankan dasar-dasarnya (seperti, nilai-nilai moralnya) budaya atau agama.
Abdurrahman Surjomihardjo, “Dinamika Revolusi Indonesia”, dalam Taufik Abdullah dan Edi
Sedyawati (peny.), Sejarah Indonesia…, op. cit., hlm. 78.
161
D.A. Rinkes, Mangkoe-Nagaran, terj. Sarwanto W., (Surakarta: Reksa Pustaka
Mangkunegaran, 1987), hlm. 1.
162
S. Margana, Pujangga Jawa…, op. cit., hlm. 228.
59
didirikan oleh Pemerintah Belanda tahun 1832 sedang C.F. Winter sebagai
pembantu utamanya.163
sebagai berikut:
sebutkan di muka. Dia nampak bersikap tidak langsung percaya atau tidak
akan diangkat menjadi raja. Nilai moral dalam sikapnya itu implisit kebaikan
163
Ibid., hlm. 230.
164
Ibid., hlm. 53.
60
artinya bersikap ngemong,165 dan bersikap mau belajar dengan kritis tentang
Maksud nilai moral dalam sikap ngemong ini, sebagai sikap tengah-
tengah dalam persahabatan yaitu, antara sikap langsung percaya dan tidak
sebagai acuan alternatif sehingga teman bicara tidak dikecewakan atau tetap
yang bernilai positif, sebagaimana yang dimaksud dalam sikap pergaulan yang
disebut ethok-ethok.166
tersebut maka pola pemikirannya selain telah terbentuk suatu dorongan batin
bersikap baik kepada martabat167 setiap orang dalam statusnya sebagai sesama
manusia. Sikap baik ini selalu terkait, di satu pihak dengan sikap sopan santun
atau tata krama yang diungkapkan dalam sikap hormat dan rukun. Sikapnya itu
juga sebagai proses pembelajaran yang bersifat kritis168 terhadap berbagai pola,
165
Istilah ngemong dari kata dasar bahasa Jawa momong yang berarti memelihara
atau mengasuh dengan kasih, membimbing di dalamnya terkandung juga sikap waspada
senantiasa dan membujuk dengan halus. C.F. Winter dan R.Ng. Ranggawarsita, Kamus
Kawi…, op. cit., hlm. 155. Lihat juga Prawiroatmojo, Bausastra Jawa…, op. cit., hlm. 439.
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha…, op. cit., hlm. 31.
166
Bersikap ethok-ethok merupakan dasar sikap orang Jawa yang dimaksudkan
untuk tidak mencampuri urusan pribadi tetangganya, kecuali jika ada kaitannya dengan
kewajiban untuk saling membantu. Clifford Gertz, Abangan, Santri,…, op. cit., hlm. 331.
167
Istilah martabat, dalam bahasa Inggris: dignity, Latinnya: dignitas (layak, patut,
wajar). Martabat berarti “derajat” atau “pangkat”. Jadi “martabat manusia” adalah derajat atau
pangkat manusia sebagai manusia. Dengan kata lain “martabat manusia” mengungkapkan apa
yang merupakan keluhuran atau kebaikan manusia yang membedakannya dari makhluk-
makhluk lain di bumi. Franz Magnis Suseno, Berfilsafat dari…, op. cit., hlm.
168
Kritis berarti, bersifat tidak lekas percaya, bersifat selalu berusaha menemukan
kesalahan atau kekeliruan, tajam dalam penganalisisan. Hasan Alwi (Pimred.), Kamus Besar…,
op. cit., hlm. 601.
61
model atau bentuk pengetahuan yang dijumpai dalam lingkungan sosialnya
pada pihak lainnya. Karenanya, dalam bersikap baik ini juga terbentuk suatu
dan identifikasi pemahamannya dalam pola sikap sopan santun Raden Mas
politik dan ekonomi atau segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah
dagang.
169
Dorongan batin ialah keingintahuan yang tidak dapat ditindas untuk menemukan
alam semesta dan dirinya sendiri serta meningkatkan kesadarannya tentang dunia yang di
dalamnya manusia hidup dan bertindak. The Liang Gie, Segi-Segi Pemikiran…, op. cit., hlm. 9.
170
Sikap ilmiah adalah suatu kecenderungan pribadi seseorang untuk berperilaku
atau memberikan tanggapan dalam hal-hal tertentu yang sesuai dengan pemikiran ilmiahnya
atau tidak bertentangan dengan cita keilmuan pada umumnya. Ibid., hlm. 16.
171
Sikap toleransi dalam masyarakat modern disebut pluralitas modern. Maksudnya,
dalam masyarakat tersebut telah dikembangkan kemampun-kemampuan psikis dan cara
bersikap baik (etis) tertentu. Kemampuan itu dapat difungsikan untuk hidup sehari-hari dan
bekerja, dalam berbagai bidang kehidupannya. Walaupun dengan orang-orang yang beradat,
suku, etnis, dan agama yang berbeda, tetap sesuai (cocok) atau dapat diterima secara enak dan
rilek oleh masing-masing pihak tersebut. Termasuk di dalamnya kemampuan untuk
bertoleransi dalam menghormati keyakinan-keyakinan keagamaan dan politik yang berbeda,
untuk merasa solider dengan saudara sebangsa sebagai manusia (bukan sebagai senegara),
maka meskipun barangkali termasuk suku atau umat atau kelas sosial yang lain. Franz Magns
Suseno, Kuasa dan…, op. cit., hlm. 37.
62
menyalahgunakan kekuasaan seperti, menyelewengkan uang kerajaan. Kedua,
Buschkens, ada seseorang yang walaupun tidak berhak sebagai pengganti raja.
terus menjanjak serta keluhuran budinya dipercaya oleh berbagai pihak, maka
dia pada pada tahun 1850 telah diangkat sebagai pangeran yaitu, Pangeran Ario
berhak tersebut di atas memiliki watak atau kepribadian yang tidak pantas
sebagai raja. Kedua, Pangeran Ario Gondokusumo dinilai sangat cakap dan
172
John Pemberton, “Jawa” on the…, op. cit., hlm. 104. Lihat juga S. Margana,
Pujangga Jawa…, op. cit., hlm. 224.
173
Tanpa Nama Pengarang, Punika Pemutan Lalampahanipun…, op. cit., hlm. 4.
Lihat juga John Pemberton, “Jawa” on the…, op. cit., hlm. 102.
63
berhak sebagai pengganti raja, maka Residen Buschkens memintanya supaya
menikahi salah seorang putri Mangkunegara III, bernama Raden Ajeng Dunuk,
secara syah untuk diangkat sebagai raja. Karenanya, pada tanggal 16 Agustus
1857 diangkat secara resmi sebagai raja dengan menyandang gelar Kanjeng
dan arahan tentang etiket pengantin Jawa agar bisa disesuaikan dengan budaya
“Residen dan Nyonya Buschkens” dari Belanda. Keduanya gembira sekali atas
dengan senang mereka menanggapinya. Dialog tentang hal itu, dikutip John
berikut:
174
Tanpa Nama Pengarang, Punika Pemutan Lalampahanipun…, op. cit., hlm. 4.
Lihat juga John Pemberton, “Jawa” on the…, op. cit., hlm. 101. S. Margana, Pujangga
Jawa…, op. cit., hlm. 225.
175
Ibid., hlm. 6. Lihat juga John Pemberton, “Jawa” on the…, op. cit., hlm. 98. S.
Margana, Pujangga Jawa…, op. cit., hlm. 222.
176
Tanpa Nama Pengarang, Punika Pemutan Lalampahanipun…, op. cit., hlm. 11.
64
restu Tuan, saya telah memperoleh anugerah bagi jiwa dan kesehatan raga, dan
bagaimanakah kiranya dengan busana saya“ Residen Buschkens menjawab”
“Bagus, silahkan ingsun bahagia. Dan bilamana masih ada yang kurang, aku
(ingsun) akan menanganinya”…. Nyonya Buschkens menambahkan: “Sekali
lagi, Pangeran, apa-pun yang engkau inginkan, hiasan dan pakaian, yang
terbaik, dengan intan berlian. Agar engkau peroleh secepatnya, aku (ingsun)
sendiri akan pergi ke Semarang. Membeli barang-barang yang bagus-bagus,
apa yang masih kurang, aku (ingsun) sendiri akan pergi. Apa-pun yang engkau
kehendaki, tulis saja, berapa banyak dan apa macamnya”.177
telah dijelaskan dalam dua persahabatannya, dengan C.F. Winter dan R.Ng.
Ranggawarsita di muka. Perpaduan dua unsur (dorongan batin dan tiga sikap
baik kepada martabat setiap orang dalam statusnya sebagai sesama manusia.
Sikap integritas ini terkait, di satu pihak dengan sikap sopan santun
atau tata krama yang diungkapkan dalam sikap hormat dan rukun. Sikapnya itu
juga sebagai proses pembelajaran dengan bersikap kritis terhadap berbagai pola
atau model tradisi dan budaya pergaulan, agar tercipta suasana yang selaras
yang terlibat di dalamnya merasa terjalin dalam satu pola kekeluargaan Jawa
177
John Pemberton, “Jawa” on the…, op. cit., hlm. 107.
178
Integrasi adalah sikap terbuka keluar. Maksudnya, bersedia bersikap hormat atau
bersikap baik kepada berbagai tradisi atau budaya, pandangan hidup atau agama yang berbeda
bagi setiap orang yang hidup bersama dalam masyarakatnya demi terciptanya suasana yang
tenang, gembira, bebas dari rasa takut dan, bebas dari tekanan. Franz Magis Suseno, Kuasa
dan…, op. cit., hlm. 97.
65
yang saling kasih (tresno) sehingga tercipta keadaan harmonis (tenang) pada
pihak lainnya.
kata-kata: “aja mitunani wong liya” (jangan merugikan orang lain)”, sebagai
atau prinsip dasar etika sosial Jawa.179 Tujuan sikap integrasi dengan kekuatan
moral aja mitunani wong liyo adalah, manusia hendaknya selalu bersikap baik
satu sama lain, saling membuat bahagia, dan terutama mencegah untuk saling
mengganggu. Nilai-nilai moral tata krama Jawa yang diungkapkan dalam sikap
hormat dan sikap rukun justru sebagai usaha untuk menghasilkan itu.180
ketekadan-batin yang sesuai dengan tata krama pergaulan sosial pada masanya
Hendaknya kita jangan melakukan sesuatu demi diri kita sendiri yang
mengganggu atau merugikan lingkungan, membahayakan orang lain, dan
mengurangi kualitas hidup generasi-generasi yang akan datang.
Karenanya, kita harus sepi ing pamrih artinya, kita hendaknya bersedia
untuk tidak mementingkan kepentingan individual kita tanpa peduli
terhadap sesma. Kepentingan kita diakui, tetapi jangan dikejar secara
eksklusif. Usaha supaya kita dapat sepi ing pamrih kita harus “tahu diri
(eling). Eling berarti, kita jangan menganggap diri sebagai pusat dunia,
sebagai satu-satunya yang penting. Bersikap eling, ingat, siapa kita, bahwa
kita berasal dari orang lain, merupakan anugerah Tuhan bahwa kita hidup
dari masyarakat dan dari alam, dan oleh karena itu jangan pernah
memperalat mereka demi kepentingan kita sendiri saja. Orang akan tahu
179
Dalam sebuah penelitian yang diadakan oleh beberapa mahasiswa Sekolah Tinggi
Filsafat Driyarkara (Jakara) di berbagai daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah pada tahun 1976
menunjukkan bahwa “aja mitunani wong liya” (jangan merugikan orang lain) sering sekali
secara spontan dikemukakan sebagai dasar jawaban para responden terhadap berbagai aturan
moral. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah…, op. cit., hlm. 54. Lihat juga Franz Magnis
Suseno, Etika Jawa dalam…, op. cit., hlm. 54. Franz Magnis Suseno, Kuasa dan…, op. cit.,
hlm. 167.
180
Niels Mulder. Mystticism and Daily Life…, op. cit., hlm. 51.
66
diri apabila ia eling atau “ingat”. Orang yang memiliki sikap-sikap itu
akan sanggup untuk menjalin hubungan yang serasi (selaras) dengan alam
sekeliling kita. Jangan mencari kemenangan (sama dengan ojo mitunani
wong liyo) melainkan keseimbangan lingkungan kehidupan seluruhnya.181
tentang nilai-nilai moral budaya Jawa dalam dua hal. Pertama, pola sikap baik
sikap baik yang sesuai pada masanya ini mengacu pada pola sikap relistis dan
rasional, bekerja sama berjuang tanpa kekerasan dan, yang selaras atau sesuai
dengan pandangan dunia Jawa dan pengalaman keagamaan orang Jawa. Kedua,
analisa dan pemahaman sikap baik pertama tersebut, merupakan acuan pola
sikap-sikap moral pemikirannya yang diyakini bernilai baik dan sesuai dengan
kebutuhan dalam bidang sosial, politik, ekonomi atau dagang pada masanya
pada bidang politik. Hal itu juga identifikasi nilai kebenaran sebagai paradigma
tentang wahyu adalah petunjuk Tuhan, baik wahyu kapujanggan dan kedhaton
181
Franz Magnis Suseno, Kuasa dan…, op. cit., hlm. 168.
67
yang menurut tradisi atau budaya Jawa diperoleh melalui bertapa. Paradigma
dasarnya adalah, kebenaran adalah milik semua pihak atau tidak ada seorang-
pun dan sepihak-pun yang bisa memonopoli kebenaran untuk dirinya sendiri.
182
Berlaku prima fice berarti, berlaku kalau masalahnya hanya dilihat dari segi
kewajiban itu saja, atau kalau tidak ada alasan-alasan moral dari segi kewajiban lain yang perlu
diperhatikan. Jika ada kewajiban yang bertentangan, orang yang bersangkutan harus memilih
menurut keinsyafan atau kesadarannya sendiri, maka tidak ada peraturan lagi.Franz Magnis
Suseno, Etika Dasar…, op. cit., hlm. 136. Lihat juga Franz Magnis Suseno, Etika Umum…, op.
cit., hlm. 91. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah…, op. cit., hlm. 228.
183
Kondisi-kondisi pascakolonial (postcolonial conditions) ditandai oleh adanya
kondisi-kondisi ketidakbebasan, seperti penindasan dan ketidakadilan yang masih terjadi di
sebuah negara termasuk yang secara politik sudah terlepas dari penjajah. Sedang “negara
pascakolonial” (postcolonial state) berarti sebuah negara yang masih dipengaruhi secara
signifikan, baik secara politik, ekonomi, maupun kultural oleh sang kolonial. Fitzgerald K.
Sitorus, ”Identitas Dekonstruksi Permanen”, dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto,
Hermeneutik Pascakolonial Soal Identitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 170.
184
Pascakolonialisme bisa didefinisikan secara longgar sebagai, studi yang
melibatkan diri dengan pengalaman kolonialisme, baik masa kini atau masa lalu, pada level
kebudayaan material dan segala manifestasi kulturnya dengan menggunakan metolodologi
yang sangat eklektik. Ibid., hlm. 164.
185
Ibid., hlm. 172.
68
Mencermati penjelasan tersebut, kaitannya antara pola sikap baik bagi
seperti musuh yang harus dibasmi dengan penuh dendam. Periode kolonialisme
menurut Fitzgerald K. Sitorus, ibarat sebongkah batu yang ikut menyusun atau
masanya. Penyusunannya dengan sikap kritis terhadap masa lalu sebagai modal
yang dikelola secara kreatif terus-menerus. Maksudnya, realisasi sikap kritis itu
hormat dan sikap rukun sebagai cara bersikap kritis diplomatis ini identifikasi
186
Fitzgerald K. Sitorus, ”Identitas Dekonstruksi…, op. cit., hlm. 167.
187
Maksudnya “pemikiran”, dikutip dari The Ling Gie, adalah serangkaian kegiatan
dari budi rohani seseorang yang menciptakan pengertian, melakukan penalaran dan, mengolah
ingatan berdasarkan pengalaman terdahulu sebagai tanggapan terhadap dunia sekelilingnya.
The Liang Gie, Segi-segi Pemikiran…, op. cit., hlm. 7.
188
Istilah internalisasi maksudnya sama dengan “pembatinan”. Batin manusia sejak
kecil telah menginternalisasikan atau membatinkan perintah-perintah, larangan-larangan dan,
nilai-nilai moral dari masyarakat (orang tua, para guru, para teman sejawat, tempat kerja dan,
negara). Franz Magnis Suseno,”Etika Dasar….”, op. cit., hlm. 50-51.
69
lewat pemikiran mencoba menginterpretasikan hidupnya lewat dunia kata.189
budaya Jawa yang sesuai (modern) pada masanya, analisa dan pemahamannya
189
Lihat William Henry Hudson, An Introduction to the Study of Literature, (London: Goerge G.
Harrap & Co. Ltd., 1960), hlm. 14.
190
Istilah wacana kolonial (colonial discourse) menggambarkan sekumpulan teks,
dokumen, karya-karya seni, dan sarana-sarana ekspresi lainnya yang berkaitan secara langsung
maupun tidak langsung dengan wilayah kolonial, tata aturan kolonial, atau orang-orang yang
dijajah. Wacana kolonial cenderung berbentuk sistematisasi pada fondasi dengan keragaman
wajah ekspresi tekstual dan artistic. Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, Hermeneutik
Pascakolonial…, op. cit., hlm. 182.
191
Kuntowidjaja menjelaskan, obyektifikasi berasal dari bahasa Inggris
objecification, kata benda bentukan dari kata kerja objectify. Dalam Webster’s New Twentieth
Century Dictionary, kata objectification disamakan dengan objectivation. Menurutnya, antara
kedua kata itu perlu dibedakan. Obyektivasi (objectivation) berarti ‘memandang sesuatu
sebagai obyek atau benda’. Obyektivasi terhadap manusia artinya membendakan manusia atau
memandangnya sebagai benda. Sedang obyektifikasi (objectification) mengandung makna
‘membuat sesuatu menjadi obyektif’. Sesuatu dikatakan obyektif jika keberadaannya
independen atau tidak hanya tergantung pada pikiran sang subyek saja. Jadi, obyektifikasi
merupakan prilaku aktif untuk mengobyektifkan suatu pikiran-pikiran. Kuntowidjojo, Muslim
Tanpa Masjid: Esai-esai Agama, Budaya dan, Politik dalam Bingkai Strukturalisme
Transendental, (Bandung: Mizan, 200), hlm. 62.
70
B. Nilai-nilai Moral Budaya Jawa dalam Pemikiran Sri Mangkunegara
IV.
Scheler. Nilai bukanlah suatu ‘substansi’ (sesuatu yang berdiri sendiri) bukan
pula ide atau konsep, tetapi perjumpaan pengalaman manusia dengan apa yang
dirasakan dengan arti positif baginya. Pengalaman nilai positif ini dihayati
dalam perasaan, dari pada rasio saja, melainkan seluruh kepribadian (cipta,
rasa, dan karsa).192 Penjelasan tersebut sebagai acuan awal bagi pemahaman
sikap sopan santun atau tata krama yang diungkapkan melalui sikap hormat
dan sikap rukun sebagai salah satu identitas budaya Jawa. Dua sikap tersebut
sikap sopan santun atau tata krama Jawa melalui sikap hormat dan sikap rukun
itu seperti pola pendidikannya keluarga Jawa. Pola itu juga dilakukan sebagai
192
N. Driyarkara, Percikan Filsafat, (Jakarta: P.T. Pembangunan, 1964), hlm. 148.
193
Nilai-nilai moral (moralitas atau keutamaan Jawa) itu bernekawarna seperti
kesetiaan, kemurahan hati, keadilan, kejujuran dan, lain-lain. Lihat penjelasannya dalam
halaman 160-161, foot note nomor 416-417.
71
pola kekeluargaan keraton Mangkunegaran, terutama dikembangkan di bidang
sastra dan pergaulan sosial yang sesuai pada masa Sri Mangkunegara IV.
pemikiran Sri Mangkunegara IV, di satu pihak sebagai kekuatan moral dengan
tiga sikap semangatnya dan sebagai dorongan-batin untuk bersikap ilmiah pada
pihak lainnya.195
Sri Mangkunegara IV tersebut menyatu dalam sikap integrasi dan sikap sopan
santun atau tata krama Jawa (sikap hormat dan rukun) terhadap martabat setiap
tindakan moral dan nilai-nilai moralnya dua sikap dalam epistemologi tersebut
tidak bertentangan atau sesuai dengan tiga sumber pendidikan keluarga Jawa
sumber tersebut antara lain dalam adat-istiadat atau tradisi ritual, pergaulan
194
Lihat penjelasan dalam halaman 205 foot note nomor 510.
195
Tiga sikap semangatnya yang pertama, semangat untuk belajar atau mempelajari
kepustakaan Jawa. Kedua, semangat untuk selalu tahu diri (eling) dalam proses pembelajaran
itu. Ketiga, sikap semangat untuk melakukan pembaharuan terhadap nilai-nilai moral budaya
Jawa terutama dalam hal sikap sopan santun atau tata krama Jawa sebagai pola sikap pergaulan
sosial yang sesuai pada masanya. Lihat penjelasan selengkapnya dalam halaman 226-227.
196
Epistemologi, dari Yunani episteme (pengetahuan, ilmu pengetahuan) dan logos
(pengetahuan, informasi). Dapat dikatakan, pengetahuan tentang pengetahuan. Adakalanya
disebut “teori pengetahuan”. Lorens Bagus, Kamus…, op. cit., hlm. 212.
72
Tiga sumber tersebut paradigma dan epistemologinya, antara pihak
memiliki pola pemikiran yang berbeda. Pihak pertama bersifat realistis dan
pandangan dunia dan atau pengalaman keagamaan Jawa pada masanya. Pihak
yang diobyektifikasikan melalui model atau simbol para tokoh dalam wayang.
nilai-nilai moral yang dikembangkan sebagai sikap sopan santun atau tata
krama itu sebagai pola sikap baik yang praktis atau paling cocok agar berhasil
dalam meraih kekuasaan tersebut. Tiga sumber itu suatu kesatuan identitas197
197
Identitas, pembentukan identitas (identity, identity formation). Gugus identitas
(bentuk jamak) dan cara-cara kita membentuk mereka sebagian besar bersumber dari teori-teori
pascakolonial. Identitas di sini bukanlah esensi namun lebih dimengerti sebagai konstruksi,
sesuatu yang mana individu bertanggung jawab atas pembentukannya. Identitas lalu menjadi
sebuah proses “negoisasi” dalam kemajemukan, sebuah strategi yang mana lewatnya identitas
senantiasa dalam gerak perubahan, berada di bawah payung daya-daya cultural dan sosial yang
melampaui batasan-batasan ebangsaan, ras, kesukuan, agama dan gender. Mudji Sutrisno dan
Hendar Putranto, Hermeneutik Pascakolonial…, op. cit., hlm. 175-176.
198
Obyektifikasi juga merupakan konkretisasi dari keyakinan internal (subyektif)
tetapi harus diwujudkan dalam kategori-kategori obyektif. Misalnya, suatu perbuatan yang
merupakan konkretisasi dari nilai-nilai moral dalam Islam, disebut obyektif bila dirasakan oleh
non-muslim sebagai perbuatan natural (sewajarnya), bukan sebagai perbuatan keagamaan.
Obyektifikasi adalah perbuatan rasional nilai (wertrational) yang diwujudkan ke dalam
73
berada pada dataran pemikiran Sri Mangkunegara IV ini perlu dipahami dalam
tiga karakteristik sebagai central consepts sistem nilai-nilai moral budaya Jawa
1. Harmonis
sistem yang disebutkan “pandangan dunia Jawa”. Tolok ukur arti pandangan
dunia bagi orang Jawa adalah nilai pragmatisnya agar mencapai suatu keadaan
maksud pandangan dunia Jawa ini tidak terbatas bagi agama-agama formal dan
bagi unsur-unsur kebudayaan Jawa atau sebagai kategori yang khas Jawa.200
pada sebuah etika dan gaya hidup yang diilhami oleh pemikiran Jawa. Kejawen
pada dasarnya merupakan “suatu sikap khas” terhadap kehidupan sebagai sikap
perbuatan rational, sehingga orang luarpun dapat menikmati tanpa harus menyetujui nilai-nilai
asalnya (Islam). Kuntowidjaja, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 68-
69.
199
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah…, op. cit., hlm. 82.
200
Niels Mulder, Mysticism and Daily Life…, op. cit., hlm. 17
74
mental untuk mengatasi perbedaan agama.201 Sikap mental kejawen antara lain
condong pada “sinkretisme dan toleransi”,202 merupakan dasar sikap baik yang
formal) mewujudkan kesatuan hidup Jawa.203 Para pengkaji luar negeri dan
Menurut Niels Mulder, sikap sinkretis dan toleran kejawen ini, di satu
dagang Belanda (VOC), dan di lain pihak sebagai hasil dari pertemuan kolonial
antara orang Jawa dan Belanda. Akibat adanya pencampuradukan dan gesekan-
gesekan dari berbagai macam sosial budaya, nilai atau ideologi tersebut, orang
Jawa sebaiknya merasa wajib memikirkan kembali jati dirinya sebagai sebuah
dengan keadaan sosial budaya pada masa Sri Mangkunegara IV yang hidup
dikutip F.M. Suseno, orang Jawa memilki cara mengungkapkan sikapnya yang
201
Niels Mulder, Pribadi dan Masyarakat di Jawa, (Jakarta: Sinar Harapan, 1996),
hlm. 17.
202
Sinkretisme adalah penyatuan atau upaya penyatuan ideologi-ideologi yang
bertentangan ke dalam suatu kesatuan pikiran dan atau ke dalam suatu hubungan sosial yang
haromnis, saling kerja sama. Toleransi adalah sikap seseorang yang bersabar terhadap
keyakinan-keyakinan filosofis dan moral orang lain yang dianggap berbeda, dapat disanggah,
atau bahkan keliru maka toleransi lebih sebagai sikap hormat terhadap adanya keanekaragaman
ideologi itu dan terhadap martabat manusia yang bebas. Lorens Bagus Kamus..., op. cit., hlm.
1012 dan 111.
203
Niels Mulder, Mistisisme Jawa Ideologi di Indonesia, terj. Noor Cholis,
(Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 10.
204
Benedict R.O’G. Anderson, Mitologi dan Toleransi Orang Jawa, terj. Revianto
B.S., (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), hlm. 2.
75
sinkretis dan toleran yang sebenarnya, maupun simbol penting sebagai acuan
identifikasi pemikiran tentang cara hidupnya. Salah satu caranya, seperti secara
Cara hidup dan sikap-sikap yang diperlihatkan oleh para tokoh dalam
orang Jawa sejak kecil. Dia memiliki sejumlah besar kemungkinan identifikasi
moral dari padanya ia juga bisa memilih suatu model yang cocok, yang dapat
208
diharapkan akan juga diterima dalam masyarakatnya. Identifikasi cara hidup
akan menjadi landasan kuat bagi pengembangan etika Jawa moderm atau yang
acuan analisa untuk mengkaji sikap hormat Sri Mangkunegara IV terhadap apa
saja dan siapa saja sesuai dengan tradisi ritual Jawa yang diungkapkan dalam
205
Ibid., hlm. 11.
206
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa dalam…, op. cit., hlm. 56.
207
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha…, op. cit., hlm. 13.
208
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah…, op. cit., hlm. 164.
209
Franz Magni Suseno, Wayang dan Panggilan Manusia, (Jakarta: P.T. Gramedia
Pustaka Utama, 1991), hlm. 95-96.
76
yang berkepentingan pada masanya. Bisa juga dikatakan, sikap hormat (sikap
baik) tersebut tidak ditujukan bagi kemandirian moral dan keberanian moral
(etos) yang pernah ditunjukkan dan diraih oleh satu atau sekelompok orang
dengan status sosialnya saja. Melainkan, etos tersebut sebagai acuan dasar etos
Sri Mangkunegara IV sebagai sikap hormat terhadap apa saja dan siapa saja.
Sikap hormat ini juga dimaksudkan sebagai sikap baiknya terhadap masyarakat
Jawa pada umumnya (rakyat kecil: wong cilik) yang selalu berusaha bersikap
rukun kepada sesama. Tujuan dalam sikap hormat dan sikap rukun adalah, agar
tercipta suasana atau keadaan hubungan yang harmonis yaitu, bersikap saling
masanya tersebut.
budaya Jawa dalam tradisi pertunjukan wayang yang sesuai pada masanya.
Menurut S. Margana, dalam Tripama salah satu karya sastra Sri Mangkunegara
IV, dikisahkan tiga contoh perjuangan dan pengabdian yang dilakukan oleh
tiga tokoh dalam wayang yang terkenal dan sangat digemari oleh masyarakat
Jawa pada umumnya.210 Menurut F.M. Suseno, sumber dasar tiga kisah itu
210
S. Margana, Pujangga Jawa dan…, op. cit., hlm. 234.
77
tersebut, pendahuluan kisah kepahlawanan dalam Ramayana. Berkat keluhuran
dari rajanya dia diangkat sebagai pejabat tertinggi setelah raja yaitu, patih dan
seorang ksatria raksasa dari kerajaan Alengka, sebagai kisah dalam Ramayana.
Alengka.
Karno dari pihak Kurawa yang gugur melawan Arjuna (Sanjaya) dari Pandawa.
Adipati Karno sebenarnya kakak seibu lain ayah dengan Ajuna. Adipati Karno
Kurawa demi membalas budi itulah yang memberikan nilai dirinya sebagai
adalah putra kedua dari empat bersaudara buah perkawinan antara begawan
211
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah…, op. cit., hlm. 160.
212
Ibid., hlm. 162.
213
Harmanto Bratasiswara (Kabid. Kebudayaan dan Pendidikan Himpunan Kerabat
Mangkunegaran Suryasumirat (Kabid. KPHKMS), Paparan Ringkas Tripama Piwulang Budi
LuhurKarya KGPAA Mangkunegara IV, (Surakarta: Kantor Reksa Pustaka Pura
Mangkunegaran, 1998), hlm. 37-38.
78
Wisrawa dengan Dewi Sukesih di kerajaan Alengka.214 Ketiga, Adipati Karno
dilahirkan melalui perkawinan gaib antara Kunti dengan Bathara Surya (Dewa
Kunti merasa malu, maka dibuangnya ke sungai dan diambil Nyi Nanda dan Ki
Adirata. Ki Adirata, seperti dijelaskan Anderson, adalah sais atau sopir kereta
Berbagai penjelasan tentang sumber dan asal usul tiga tokoh sekaligus
dari tiga lakon wayang tersebut sebagai acuan analisa dan pemahaman tentang
nilai-nilai moral budaya Jawa yang sesuai pada masanya dan yang dikehendaki
pandangan dunia Jawa, terutama tentang nilai-nilai moral budaya Jawa pada
hormat ini sebagai sikap baiknya masyarakat Jawa pada umumnya (rakyat
kecil: wong cilik). Tujuan dalam cara bersikap hormat dan rukun adalah, agar
tercipta suasana atau keadaan hubungan yang harmonis yaitu, bersikap saling
214
Putra pertama, bernama Dasamuka atau Rahwana berparas raksasa dan berwatak
angkara, yang ketiga Gunawan Wibisana berparas satria dan berwatak satria-pinandhita dan,
yang ketiga Sarpakenaka berparas raksasa dan berwatak serba tidak menentu (amorven). Ibid.,
hlm. 45.
215
Ibid., hlm. 51-55.
216
Benedict R.O’G. Anderson, Mitologi dan…, op. cit., hlm. 37.
79
ngemong, saling kasih (tresno) kepada pihak-pihak yang berkepentingan pada
budaya Jawa yang pertama, yaitu harmonis dengan analisa sebagai berikut.
Asal usul keluarga Sumantri dan Adipati Karno dari golongan rakyat
kecil (wong cilik) atau masyarakat desa, sedang bentuk Kumbakarna adalah
raksasa. Adipati Karno selain pekerjaan ayahnya hanya sebagai sopir217 kereta,
dia berpihak kepada Kurawa. Orang Kurawa, dijelaskan F.M. Suseno, bagi
pandangan hidup orang Jawa pada umumnya, dinilai sebagai lambang orang
yang bermoral jelek atau tidak baik. Mereka itu rakus dan haus kuasa, tidak
dapat mengontrol diri dan kasar dalam pergaulan, mereka dinilai buta terhadap
(buta).218
dengan ciri-ciri badaniah yang sering menjijikan bagi pandangan dunia atau
hidup orang Jawa pada umumnya.219 F.M. Suseno menjelaskan, figur raksasa
(buta) pada dasarnya bagi orang Jawa sebagai “makhluk dari seberang” atau
217
Dengan masuknya pengaruh Eropa bagi masyarakat Jawa, kerja dinilai pada
pembagiannya menjadi: alus, sedheng dan, kasar (halus, sedang dan, kasar). Pekerjaan sebagai
sopir termasuk jenis kerja sedheng (sedang atau sebagai orang menengah). Sartono Kartodirdjo
dkk., “Perkembangan Peradaban….”, op. cit., hlm. 140-141.
218
Para raksasa (buta) tidak terdapat dalam Mahabarata India, jadi kiranya mereka
diciptakan di Jawa dan peranan mereka yang terbesar justru bukan sebagai tokoh utama dalam
lakon wayang. Magnis Suseno,”Etika Jawa sebuah….”, op. cit., hlm. 166.
219
Benedict R.O’G. Anderson, Mitologi dan…, op. cit., hlm. 42.
80
“orang luar” yang bukan manusiawi. Raksasa, karena di samping sebagai figur
yang tidak manusiawi, maka juga tidak bisa menjadi model identifikasi bagi
Istilah “makhluk dari seberang” atau “orang luar” bisa berarti orang
budaya Jawa pada waktu itu. Bisa juga dimaksudkan atau ditujukan kepada
orang-orang Barat, terutama orang Eropa dan atau Pemerintah Belanda yang
pada dasarnya merupakan perlambang orang Jawa yang berhasil bekerja sama
220
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah…, op. cit., hlm. 167.
221
Orang luar berarti orang yang tidak termasuk di satu lingkungan (golongan,
pekerjaan, dan sebagainya). Orang Barat berarti orang yang berasal dari belahan bumi sebelah
barat, terutama orang Eropa dan Amirika (orang kulit putih). Hasan Alwi (Pim. Red.), Kamus
Besar…, op. cit., hlm. 180.
222
Benedict R.O’G. Anderson, Mitologi dan…, op. cit., hlm. 43-44.
81
dan kesuciannya sama dengan manusia bercita-cita menyelamatkan kehidupan
sesama, dia berusaha menjadi manusia utama atau berbudi pekerti luhur).223
lambang orang yang “meyeberang” maka sikapnya ora pantes, atau ora ngerti
isin (tidak pantas, atau tidak tahu malu). Kumbakarna dinilai sebagai pihak
kolonial, penjajah, atau pihak yang harus dilawan. Sikap menyeberang juga di
lakukan adiknya Kumbakarna, yaitu Wibisana. Dia lambang orang yang lebih
Adipati Karna dan Wibisana sebagai sikap orang menyeberang, oleh orang
pihak sebagai obyektifikasi teori kritis226 terhadap pandangan dunia dan hidup
nilai moral budaya Jawa modern bagi pandangan hidup Jawa yang dicita-
223
Harmanto Bratasiswara (Kabid. KPHKMS), Paparan Ringkas Tripama…, op.
cit., hlm. 45.
224
Ibid., hlm. 70.
225
Ibid., hlm. 162. Lihat juga Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah…, op. cit.,
hlm. 161.
226
Teori kritis secara radikal memiliki pandangan tentang kajian antara teori dan
praktek. Dengan demikian, teori kritis sesungguhnya justru merupakan teori perubahan sosial
atau transformasi sosial. Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar bersama Insist Press, 2002), hlm. 93.
227
Transformasi sosial dilahirkan dari teori kritis, bisa disebabkan karena perubahan
penafsiran dan pemahaman terhadap nilai-nilai yang selama ini telah diyakini. Pemahaman
yang dahulu (pemahaman lama atau tradisional) dianggap telah usang dan tidak sesuai lagi
dengan konteks ruang ke-disini-an (hereness) dan waktu ke-kini-an (nowness), yang secara
otomatis akan mengubah cara pandang, teori dan, gerak langkah (aktivitas). Transformasi
sosial pada hakekatnya adalah transformasi kesadaran. Suwito N.S., Transformasi Sosial:
82
citakan priyayi. Acuan obyektifikasi dan konkretisasi transformasi sosial
searah dengan eksistensi Semar sebagai sikap kritinya terhadahap cita-cita atau
sikap integrasi seperti telah dijelaskan, juga sebagai satu tatanan dengan sikap
tentang keutamaan Jawa melalui simbol tiga tokoh wayang itu memang perlu
pihak mereka sebagai para ksatria dengan keutamaan Jawa, namun dalam kisah
Kajian Epistemologis Ali Syari’ati tentang Pemikiran Islam Modern, (Yogyakarta: Unggul
Religi bersama STAIN Purwakerta Press), hlm. 89-90.
228
Wujud Semar seperti Kumbakarna sebagai kritik tajam bagi pandangan priyayi.
Keduanya tidak menunjukkan keindahan, yang satu suka mengeluarkan angin busuk (kentut),
yang kedua (Kumbakarna) raksasa menjijikkan. Oleh karena itu dalam budaya Jawa yang
sebenarnya, tidak pernah kita boleh menarik kesimpulan langsung dari bentuk lahiriah
seseorang pada sifatnya yang sebenarnya. James R. Brandon (ed.), On Thrones of God. Three
Javanese Shadow Plays. With an Introduction, (Cambridge, Mass: Harvard University Press,
1970), hlm. 18 dan 41.
229
Sikap egaliter berarti sikap memberikan penilaian terhadap semua manusia adalah
sama dan seharusnya diperlakukan secara sama dalam hal kemerdekaan, hak, kehormatan,
penerimaan dan, kesempatan. Ali Mudhofir, Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi,
(Yogyakarta: UGM Press, 1996), hlm. 54.
230
Ras merupakan klasifikasi sosial adas dasar keturunan dengan ciri-ciri tertentu
seperti warna kulit, tekstur tubuh, bahasa, dan lain-lain. Ruth Benedict, Race and Racism,
(London: Routledge & Kegan Paul, 1983), hlm. 6.
83
perjalanan kehidupan mereka, memiliki berbagai sifat dan tingkah laku yang
pewayangan, hanya Sumantri yang ketika ngenger pada raja Arjuna Sasrabahu
selalu di-emong atau dalam momongan Semar.232 Namun nampaknya dia lupa
dilakukan oleh tiga tokoh di muka, dalam bertindak hanya menyesuaikan pada
norma-norma yang berlaku umum saat itu. Bedanya diantara mereka bertiga
moral yang cenderung pada guilt societies, maka sikap moralnya condong ke
etosnya yang shame societies, maka sikap moral keduanya condong ke arah
231
Sumantri sebagai orang yang tidak tahu diri karena adiknya yang membantunya
justru dibunuhnya hanya karena malu terhadap rupa adiknya yang jelek memaksa ingin ikut
suwita kepad raja Arjuna Sasrabahu. Bagi Kumbakarna, ragu-ragu atau tidak gigih setelah
gagal mengingatkan Rahwana tentang kemurkaannya, dia memilih bertapa membisu tidak mau
tahu keadaan serta, dia juga egois. Adipati Karna ditunjukkan, tinggi hati dan gila hormat,
pendendam dan pahlawan kebencian serta, kesetiaan membuta. Harmanto Bratasiswara (Kabid.
KPHKMS),”Paparan Ringkas Tripama….”, op. cit., hlm. 43, 50 dan, 63.
232
Semar mengasuh (momong) para tokoh Pandawa dalam siklus Mahabarata,
melainkan juga Sumantri dalam siklus Arjuna Sasrabahu dan Hanoman dalam Ramayana.
Mereka dianggap berasal dari Jawa dan tidak ada dalam epos-epos India asli. Peodjawijatna,
Filsafat Sana-Sini, (Yogyakarta: Kanisius, 1975), hlm. 56. Lihat juga Sri Mulyono, Apa dan
Siapa Semar, (Jakarta: Gunung Agung, 1978), hlm. 115.
233
Panakawan adalah orang kepercayaan yang memiliki kepekaan dan atau
ketajaman batin. Ibid., hlm. 68.
234
Tokoh Semar adalah lambang suara batin manusia. Tuti Sumukti, Semar Dunia
Batin Orang Jawa, terjemahan dari disertasinya berjudul The Power of Semar Based on
Selected Javanese Shadowply Stories, (Yogyakarta: Galang Press, 2005), hlm.49-50.
84
kolektivisme. F.M. Suseno menjelaskan, perbedaan guilt societies dan shame
ketika dia tidak bersikap baik kepada adiknya yang telah membantunya bahkan
merasa malu karena berwajah mirip raksasa. Sumantri perlambang tokoh yang
hanya mementingkan prestasi dirinya sendiri pada akhirnya bisa bersifat mirip
perang bukan demi prestasi, malainkan demi balas jasa raja atau masyarakat
negaraku”.238
nilai-nilai moral budaya Jawa sebagai dasar pola etos berbagai pihak itu telah
235
Dalam sosiologi dibedakan antara guilt societies dan shame societies. Perbedaan
itu sama dengan perbedaan antara orang yang lebih “ego-oriented” dan yang lebih “superego-
oriented”. Yang pertama condong ke arah individualisme, mencari prestasi dan tidak begitu
perduli akan pendapat (dan kadang-kadang: perasaan) orang lain. Yang kedua condong ke arah
kolektivisme, bertahan pada yang lama dan menomorsatukan kesepakatan dibanding dengan
prestasi. Franz Magnis Suseno, Etika Umum…, op. cit., hlm. 66-67.
236
Individualisme berarti, penekanan yang berlebihan atas individu sedemikian rupa,
sehingga hubungannya dengan orang lain atau masyarakat yang lebih besar disepelekan.Lorens
Bagus, Kamus…, op. cit., hlm. 339-340.
237
Kolektivisme berasal dari bahasa Latin collectivus (bersama) dan legere
(mengumpulkan). Kolektivisme merupakan prinsip hidup dan kerja sama sebagai suatu
kelompok, yang secara diametris bertentangan dengan individualisme.Yang lebih diutamakan
adalah hak-hak yang bersifat sosial dan tindakan kelompok atau pengendalian tingkah laku
para anggota masyarakat yang dilakukan oleh negara. Ali Mudhofir, Kamus Teori dan…, op.
cit., hlm. 33. Lihat juga Lorens Bagus, Kamus…, op. cit., hlm. 471.
238
Benedict R.O’G. Anderson, Mitologi dan…, op. cit., hlm. 47.
85
sebagai acuan dasar epistemologinya. Etos tindakan ketiganya, juga pihak yang
Semar, adalah suara batin setiap kesatria dan atau manusia,bukan dimaksudkan
F.M. Suseno, setiap orang pada dasarnya satria, maka eksistensi Semar milik
239
setiap orang Jawa juga setiap manusia.
Maksud istilah suara batin ini dalam budaya Jawa, dikutip dari F.M.
Suseno, sama pengertianya dengan istilah rasa atau perasaan.240 Zoet Mulder
menjelaskan, arti kata rasa adalah perasaan bersatunya diri manusia dalam
Jawa yang mampu menggunakan rasa disebut sebagai orang yang memiliki
sosial tindakan moralnya Sri Mangkunegara IV, yang sesuai (modern) pada
239
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa dalam…, op. cit., hlm. 55.
240
Secara singkatnya, suara batin atau rasa adalah kesadaran manusia akan
kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai manusia dalam situasi konkret. Franz Magnis Suseno,
Etika Dasar…, op. cit., hlm. 82.
241
P.J. Zoetmulder, Kalangwan: A Survey of Old Javanese Literatur, (The Hague
Martinus Nijhoff, 1974), hlm. 172-173.
242
S. Reksosusilo C.M., “Hati Nurani pada Alam Pikiran Orang Jawa dan pada
Alam Pikiran Barat”, dalam Franz Magnis Suseno, Etika Jawa dalam…, op. cit., hlm. 29-130.
243
Franz Magnis Suseno,”Etika Dasar….”, op. cit., hlm. 67.
244
Lihat penjelasannya dalam halaman 235 foot note nomor 565-566.
86
Serat Tripama) di muka, menurut para ahli, dijelaskan S. Margana, disebut
sosial247 sebagai satu tatanan etiket (tata krama Jawa: sikap hormat dan rukun)
sebagai identitas budaya masyarakat Jawa sesuai pada masanya yaitu dalam
kondisi kolonial.
sebagai ungkapan pola sikap baiknya terhadap apa saja dan siapa saja sama
dengan bersikap hormat248 adalah tata krama Jawa yang sesuai (modern). Bisa
juga katakan, pola atau model pakaian Sri Mangkunegara IV tersebut adalah
hasil dari gerak dialektis pemikirannya sebagai satu sistem fenomen kesadaran
245
Peradaban Jawa pada waktu itu atau sejak abad ke 19, agama Islam “taken for
granted” atau dianggap sebagai sesuatu yang benar adanya, menyebar dari kraton Surakarta
dan Yogyakarta oleh para pujangganya (para ahli atau terdidik) sebagai sastra Islam dan
dianggapnya sebagai satu-satunya peradaban Jawa asli. S.Margana,”Pujangga Jawa dalam….”,
op. cit., hlm. 56-57.
246
Perjuangan tanpa kekerasan artinya, suatu strategi perjuangan alternatif yang
menaruh sikap hormat terhadap moralitas lawan. Perjuangan tanpa kekerasan tidak mematikan
akal, tetapi membuka pintu ke arah negoisasi dan membangun sistem saling mempercayai yang
lebih mapan. Siawanto Masruri, Humanitarianisme Soedjatmoko Visi Kemanusiaan
Kontemporer, (Yogyakarta: PILAR, 2005), hlm. 389.
247
Ketangguhan sosial artinya, kualitas masyarakat yang memungkinkan warga dan
pranata sosial untuk berinteraksi dalam situasi konflik tetapi tidak harus dengan kekerasan.
Ibid., hlm. 340.
248
Pada prinsipnya, sikap hormat berdasarkan pendapat, semua hubungan dalam
masyarakat teratur secara hirarkis. Keteraturannya itu bernilai pada dirinya sendiri dan oleh
karena itu orang wajib untuk mempertahankannya dan untuk membawa diri sesuai dengannya.
Hildred Gertz, “The Javanese Family….”, op. cit., hlm. 110-114.
87
moralnya, dengan tidak melepaskan dan sekaligus tidak memutlakkan satu-pun
identitas dari pihak-pihak yang terlibat dalam budaya atau tradisi Jawa itu.249
Kedua, pola etos pemikiran dan transformasi sosial tindakan moral Sri
bidang sastra dan pengalaman keagamaan Jawa. Sikap demikian itulah sebagai
kekerasan dan ketahanan sosial. Sikap toleransinya orang Jawa, menurut F.M.
Suseno, pada dasar maksudnya sesuai atau sama dengan bersikap rukun yang
yang etis (perilaku etis) dan sebagai satu sistem dalam tiga bidang tersebut.
di satu pihak difungsikan sebagai tata krama Jawa dalam pergaulan sosial, juga
249
Kata-kata tersebut dikutip dari F.M. Suseno yang menyatakan, manusia harus
dilihat secara dialektis, dengan tidak melepaskan dan sekaligus tidak memutlakkan satu-pun
dari unsur itu. Franz Magnis Suseno, Berfilsafat dari…, op. cit., hlm. 85-86.
250
Sikap rukun pada dasar maksudnya sama dengan fungsi prinsip keadilan dalam
etika Barat ialah untuk menjamin kebebasan dan keutuhan individu terhadap segala kekuasaan
fihak lain. Franz Magnis Suseno,”Etika Jawa dalam….”, op. cit., hlm. 76-79.
251
Objektifikasi Islam adalah sebuah konkretisasi keyakinan yang dihayati secara
internal. Suatu perbuatan disebut objektif bila dapat dirasakan juga oleh orang non-Islam
Siswanto Masruri,”Humanitarianisme….”, op. cit., hlm. 388.
88
menyatu sebagai suatu “proses belajar”252 bersama anggota masyarakat Jawa
dengan berbagai pihak yang berkepentingan dalam kondisi kolonial pada pihak
atau bersikap sepi ing pamrih. Karakteristik ungkapan semangat dalam sika-
sikap tersebut adalah, untuk aja mitunani wong liya (jangan merugikan orang
yang terlibat di dalamnya merasa terjalin dalam satu pola kekeluargaan Jawa
yang saling kasih (tresno), saling percaya, merasa diperlakukan secara adil, dan
lain-lain.
beberapa kepustakaan Jawa adalah sumber ajaran moral Jawa. Negatif, karena
menciptakan norma moral atau ajaran moral Jawa yang belum pernah ada.
Kritik, karena berbagai ajaran moral yang tertulis dalam beberapa kepustakaan
Jawa akan dianalisa dan dipahami, fungsinya sejauh mana, masih mencukupi
252
Menurut van Peursen, kebudayaan dilukiskan secara ‘fungsionil’, yaitu sebagai
suatu relasi terhadap rencana hidup kita sendiri. Karenanya, kebudayaan lalu nampak sebagai
suatu proses belajar raksasa yang sedang dijalankan oleh umat manusia. C.A. van Peursen,
Strategi…, op. cit., hlm. 233.
253
Lihat Franz Magnis Suseno, Etika Dasar…, op. cit., hlm. 96. Lihat juga Franz
Magnis Suseno, Etika Umum…, op. cit. hlm. 79.
89
atau tidak dengan prinsip-prinsip moral dasar etos tindakan Sri Mangkunegara
negatif sebagai kelanjutan sistem budaya Jawa yang kedua yaitu, struktural
2. Struktural Fungsional
atau relatif. Pemahaman itu termasuk tentang nilai-nilai moral budaya Jawa
sebagaimana yang diidealkan atau yang dipikirkan oleh para cendikiawan Jawa
(pujangga Jawa) yang tertuang dan tersebar dalam berbagai karya sastranya.
Identifikasi sebutan bagi kesusastraan Jawa tersebut antara lain, suluk, wirid,
Jawa seperti dalam pemikiran Gertz yang menafsirkan menjadi priyayi, santri
para pujangga tentang nilai-nilai moral Jawa, dan cara memfungsikan atau
90
pemberdayaannya sebagai konsep hubungan antar individu dalam kehidupan
bermasyarakat dan merupakan pedoman ajaran moral bagi tingkah laku atau
sebab pembagian seperti itu tidak didasarkan pada kriteria yang konsekuen. Ia
atau golongan sosial dalam komunitas Jawa dan tidak menunjukkan salah satu
tradisi keagamaan khusus. Seorang atau para priyayi dapat termasuk muslim
saleh dan muslim statistik (santri dan abangan dalam istilah Gertz) sekaligus,
ajaran moral budaya Jawa yang difungsikan sebagai ideologi terutama, bagi
corak hidup seluruh kalangan bangsawan (priyayi) juga dapat memberikan arah
254
Struktur sosial artinya, konsep perumusan asas hubungan antarindividu dalam
kehidupan masyarakat yang merupakan pedoman bagi tingkah laku individu. Hasan Alwi (Pim.
Red.), Kmus Besar…, op. cit., hlm. 1092.
255
Zaini Muchtarom, Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan, (Jakarta:
Salemba Diniyah, 2002), hlm. 17.
256
Harsja W. Bachtiar,”The Religion of Java A Commentary”, dalam Indonesian
Journal of Cultural Studies, No. 1, Vol. V, (Januari 1973), hlm. 90.
257
Fachry Ali, Refleksi Paham “Paham…, op. cit., hlm. 153-155.
91
nilai moral budaya Jawa yang pertama dengan karakteristiknya harmonis
seperti telah dijelaskan di muka. Hal itu sebagaimana dijelaskan F.M. Suseno,
Jawa (kejawen) ini adalah sikapnya terhadap dunia luar (alam, masyarakat dan,
alam adikodrati) dialami sebagai satu kesatuan “numinus” atau Yang Ilahi258
politik Pemerintah Kolonial (Belanda) maupun bagi pandangan dunia dan atau
bagi pengalaman keagamaan Jawa dalam kondisi kolonial ini, antara lain
Misalnya dalam salah satu karya Sunan Paku Buwana IV yaitu Serat
priyayi ketika baru ngenger kepada raja. Dia harus dengan ikhlas lahir batin
mengikuti segala perintah raja. Ia tidak boleh ragu, dan harus mengumpamakan
sebagai sampah di laut, wajib berjalan menurut perintahnya. Dia harus mantep
dan madhep, artinya mantap dan tidak gentar menghadapi kesukaran. Dia harus
memelihara milik raja dengan gemi (tidak boros), terhadap perintahnya ia harus
258
Istilah“numinus” (dari latin, numen, cahaya; Inggris, numinous) menunjuk pada
92
nastiti (memperhatikan dengan cermat) dan, ngati-ati yang artinya hati-hati
dalam menjaga tuannya atau rajanya siang dan malam.259 Sikapnya ketika di
paseban, harus datang lebih dahulu daripada rajanya, dan wajib secara tertib
menghadap di paseban pada hari-hari tertentu, sekalipun raja tidak keluar dari
kedhaton.260
patih Koja Jajahan dari Mesir, mengemukakan bahwa seorang yang ngawula
dikatakan baik, jika ia dapat membuat dirinya seperti bayangan di dalam kaca
abdi dalem (priyayi) sebagai kuda, curiga, dan wanita (kuda, keris, dan
tentang rahasia rajanya, ia harus pandai dan awas akan isyarat, seperti tajamnya
curiga (keris). Tingkah laku dan atau sopan santunnya, cara bersikap dan
dalam baseban, abdi dalem diminta untuk mengatasi suatu permasalahan atau
bahaya, ia harus bersedia dengan berdasarkan pada guna, kaya, dan purun
(kepandaian, kekayaan, dan keberanian). Tiga hal itu dapat diringkas menjadi
tata titi. Tata sama dengan tertib berarti, bagus tingkah laku dan bicaranya,
pengalaman khas religius, dapat diterjemahkan dengan “ Yang Ilahi “, “Yang Adikodrati” dan
sebagainya. Franz Magnis Susen, Etika Jawa sebuah…, op. cit., hlm. 84.
259
Resodidjojo (peny.), Terjemahan Serat Wulangreh Karya Sunan Paku Buwana
IV, (Semarang: G.C.T. Van Dorp & Co., 1929), hlm. 17-19.
260
Ibid., hlm. 21-22.
261
Padmosudihardjo (peny.), Kitab Nitisruti, sajian R.Ng. Dr. Poerbatjarakan,
(Jakarta: Depdikbud., 1978), hlm. 41.
262
Tanpa nama pengarang, Serat Raja Kapakapa, Manuskrip nomor 302, (Surakarta:
Reksa Pustaka Mangkuneagaran, 1911), hlm. 3.
93
pandai menggunakan bahasa baik untuk golongan tingkat bawah maupun atas,
sedang titi artinya teliti. Dia dituntut bisa memeriksa dengan cermat segala hal
nya atau rakyatnya seperti seorang tuan atau ayah yang mengasuh anak-
komunikasi sosial Jawa.264 Karakteristik etos abdi dalem (priyayi) itu, bersifat
perintah, melaksanakan dan patuh sepenuhnya pada perintah atasan atau raja.
raja tersebut searah atau sesuai dengan maksud kekuasaan sebagaimana dalam
absolutisme. Paham tersebut pada dasarnya juga dimiliki atau sama dengan
kekuasaan Eropa (Barat). Kesamaannya tersebut antara lain atau jika dikaitkan
1715) ketika mengatakan: l’etat c’est moi (negara adalah saya). Konsekuensi
263
Tanpa nama pengarang, Serat Sewaka, (ingkang gancaran), Manuskrip nomor
127, (Surakarta: Reksa Pustaka Mangkunegaran , t. th.), hlm. 4-5.
264
Soemarsaid Moertono,”Negara dan Usaha….”, op. cit., hlm. 30
265
Supariadi, Kyai Priyayi…, op. cit., hlm. 136.
94
tanggung jawab yang besar sebagai imbangan kekuasaan mutlak (absolut) raja.
kewajiban moralnya terhadap negara dan rakyat, yang oleh para pujangganya
disimbolkan melalui kalimat berbudi bawa leksana, ambeg adil para marta.
Senapati atau Sultan Agung. Sikap yang sama juga ditunjukkan bagi kerajaan
“salah satu sikap hidup orang Jawa” khususnya bagi kaum priyayi.269
gabungan dua pola etos sebagai karakteristik sebagian bangsawan, raja atau
priyayi pihak Kasunanan Surakarta dapat dilihat pada, dikutip dari Supariadi,
selain tradisi ritual juga pada gaya hidupnya.270 Salah satu gaya hidup tersebut
266
Sartono Kartodirdjo, Perkembangan Peradaban…, op. cit, hlm. 67.
267
Ibid. hlm. xix.
268
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha…, op. cit., hlm. 53.
269
Suffridus de Jong, Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa, (Yogyakarta: Yayasan
Kanisius, 1976), hlm. xiii.
270
Tradisi atau adat-istiadat ritual (upacara) dan gaya hidup para elit kerajaan (raja
dan priyayi-nya) pada hakekatnya melambangkan makna hidup, kekuasaan, kewibawaan, dan
kekayaan. Sebab besar dan ramainya upacara merupakan indikator atau kriteria mengenai
derajat dan status penyelenggaranya. Termasuk di dalamnya struktur kelakuan dan rumah yang
dikembangkan baik sebagai cara bersikap maupun pada gelar yang disandang. Supariadi, Kyai
Priyayi…, op, cit., hlm.137-138.
95
ditunjukkan pada gelar nama dan struktur bangunan rumahnya. Keganjilan atau
kekurangwajaran gelar Sunan Paku Buwana IX, dikutip dari John Pemberton,
para pejabat kolonial Belanda”.271 Banyak dan panjangnya gelar tersebut antara
Leopoldorde van Belgie, Groot-Ridder der II-de Klasse met de Ster van Orde
Mencermati salah satu identifikasi gaya hidup dalam nama gelar yang
termasuk raja Jawa yang telah menghabiskan kemuliaan dan kemuktian serta
dunia atau dalam budaya Jawa, namun juga masuk dalam kolektivisme atau
271
John Pemberton, “Jawa” on the…, op. cit., hlm. 126. Pemberian pangkat militer
dan gelar dari Pemerintah Belanda kepada para raja Jawa telah dimulai sejak pemerintahan
Sunan Paku Buwana VII, dengan tujuan agar dapat meningkatkan pengaruh politik dan
wibawanya di dalam lingkungan keraton. Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia…, op. cit., hlm.
65
272
Gelar-gelar tersebut, jika ditulis selengkapnya seperti oleh para pejabat keraton
hingga memenuhi halaman permulaan dari dokumen-dokumen yang berisi setiap keputusan.
John Pemberton, “Jawa” on the…, op. cit., hlm. 128. Titel selengkapnya panjang sekali
tersebut sebagaimana yang tertulis dalam surat resmi yang dikirim ke Gubernur Jenderal pada
masa pemerintahan Sunan aku Buwana X. Lihat Kuntowijoyo, Raja Priyayi…, op. cit., hlm.
22-23
273
Ibid., hlm. 21.
96
superego-oriented dalam budaya Barat atau Pemerintah Belanda pada pihak
lainnya.
Identifikasi eksistensi pola etos pada sikap pertama tersebut bagi pihak
yang diarahkan kepada Adipati Karno dan raja Rahwana kepada Kumbakarno.
Bukti adanya sikap-sikap tersebut, antara lain yang ditunjukkan dalam tindakan
oleh pihak Kasunanan Surakarta lebih cenderung ke dalam legalisme etik atau
274
Maksudnya tindakan strategis adalah termasuk tindakan berasionalitas sasaran
yang secara instrumental hanya diarahkan pada pekerjaan. Dalam tindakan strategis orang
ingin mengendalikan orang lain jadi tindakan itu monologis tidak komunikatif. Di sini termasuk
bujukan, rekayasa, manipulasi, penekanan, paksaan, dan sebagainya. Tindakan strategis bukan
komunikasi dalam arti yang sebenarnya, karena tujuannya adalah hasil yang telah ditetapkan
sebelumnya, bukan kesepakatan bersama di mana hasil pembicaraan pada permulaan masih
terbuka. Franz Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika…, op. cit., hlm. 220.
275
Dalam Perang Dipanegara sering disalahgunakan oleh para pemimpin (raja atau
priyayi, kyai atau guru agama) yang hanya mencari pengikut dan berjuang bukan demi
kepentingan agama. Mereka melakukan kesalahan dengan memberikan janji yang berlebihan
terhadap para pengikutnya yang mengharapkan kekuasaan melalui mukjizat berupa jimat-jimat:
rajah, benda keramat sebagai pusaka, dan lain-lain. Namun kenyataannya berbagai jimat
mereka tidak ada gunanya, terbukti mereka yang maju di baris terdepan dengan keberanian
yang menggila menjadi kurban pertama timah hitam (bedhil). Lihat Karel A. Steenbrink,
Beberapa Aspek tentang…, op. cit., hlm. 18.
97
etika deontologi276 sebagaimana teori tradisional.277 Dua kecenderungan sikap
sebagai satu pola etos tersebut jika diwujudkan sebagai satu gaya hidup di
lingkungan sosial dan budaya masyarakat Jawa yang hidup dalam kondisi
kolonial tanpa sikap kritis dan kreatif, jelas juga akan mengesankan penilaian
yang dirasakan, di satu pihak kurang etis dan aneh, semacam ora pantes atau
yang dikembangkan dalam gaya hidup, melahirkan gaya tingkah laku dan atau
model bangunan rumah. yang keduanya sungguh menimbulkan nilai tidak baik
atau kurang wajar bagi dirinya dan bagi yang bisa merasakan pada pihak
lainnya. Identifikasi penilaian itu misalnya, dikutip dari John Pemberton, pada
tahun 1880 seorang pedagang Inggris bernama Arthur Earle yang mengunjungi
kepada Sunan Paku Buwana IX. Earle dalam catatan hariannya menceriterakan
276
Legalisme etik (Ethical Legalism) adalah teori etika yang mendasarkan pada
peraturan tingkah laku yang tertulis atau yang kelihatan dan peraturan tersebut harus ditaati.
Orang selalu bertindak menurut semua peraturan yang berlaku bukan karena merasa mengerti
atau menyetujui apa yang dimaksud dengan peraturan itu melainkan karena sudah biasa
mengikuti secara membuta pada peraturan. Ketaatan pada peraturan adalah tidak kritis dan
tidak rasional karena orang tidak mampu atau tidak berani mempersoalkan atau mencari makna
dari norma-norma yang berlaku umum dalam masyarakat. Ali Mudhofir, Kamus Teori dan…,
op. cit., hlm. 124.
277
Teori tradisional adalah anggapan terhadap suatu teori dimaksudkan sebagai
suatu keseluruhan ucapan tentang bidang tertentu yang disusun sedemikian rupa sehingga
semua ucapan itu dapat diturunkan begitu saja dari sejumlah ucapan dasar. Kegiatan dalam
konteks teori tradisional terbatas pada penguasaan teknologi dunia. Kagiatan serupa itu jauh
berbeda dengan praksis adalah, kegiatan revolusioner yang mengubah relasi antara manusia
dengan mendasarkan pengertian teoritis. Ibid., hlm. 121-122.
98
dari emas, tinggi besar dengan kaki-kaki indah yang terbuat dari perak,
yang tegak berdiri di sampingnya !! Dia kemudian mengambil surat itu
yang terbungkus kain kuning yang diberkan kepadanya, dan dengan
mengeluarkan sebuah sapu tangan sutra besar dia mencari-cari pisau
sakunya guna membuka surat… Akhirnya dia menemukan pisau saku itu.
Kesenyapan yang meliputi semua ini sungguh mencekam. Surat dibuka
dan ditelaah, kemudian dinyatakan sudah dipahami isinya.278
Namun sikap itu hanya diganti dengan sikap ora pantes (tidak pantas), karena
sementara itu hampir seluruh pola gaya hidupnya meniru budaya Barat atau
Belanda (hampir westernisasi) maka dari itu ora ngerti isin (tidak tahu malu).
Karenanya, pola etos dalam sikap-sikap dan atau perilaku lahiriahnya kurang
sesuai dengan nilai-nilai moral budaya Jawa (tata krama Jawa sikap hormat dan
278
John Pemberton, “Jawa” on the…, op. cit., hlm. 149.
279
John Pemberton, “Jawa” on the…, op. cit., hlm. 151.
280
Panembahan Senapati menunjukkan sikap angkernya ketika kedatangan pejabat
utusan Pemerintah Belanda yang akan menghadap dengan sikapnya yang tidak sopan. Melihat
sikap raja itu dia segera merubah sikap untuk menghormat walaupun dengan sangat kaku. Atau
sikap Ki Adipati Martalaya yang berani memegang leher seorang utusan Belanda untuk
memaksanya supaya duduk bersila dihadapan Amangkurat II (1677-1703). Soemarsaid
Moertono, Negara dan Usaha…, op. cit., hlm. 58
99
rukun) terhadap martabat sesama manusia sebagai identitas budaya Jawa yang
tersebut terutama bisa dikaji melalui pemikiran Sri Mangkunegara IV. Masalah
salah satu “sikap hidup” orang Jawa terutama bagi priyayi, seperti disebutkan
atau latihan untuk menanggapi secara ajek dengan suatu cara tertentu terhadap
sesuatu hal atau keadaan sekeliling, seperti dijelaskan di muka. Istilah “hidup”,
dikutip dari F.M. Suseno, terkait dengan dunia kehidupan.281 Dunia kehidupan
dalam bahasa, yang mereproduksikan diri dalam bentuk tradisi yang telah
sikap.282
281
Dengan dunia kehidupan dimaksud cakrawala pengetahuan-pengetahuan, nilai-
nilai dan norma-norma yang merupakan “barang tentu”, yang tidak direfleksikan dan
merupakan latar belakang pendapat dan penilaian-penilaian seseorang. Dunia kehidupan itu
sendiri tidak dipersoalkan, melainkan ia merupakan latarbelakang yang padanya dipersoalkan.
Franz Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika…, op. cit., hlm. 223.
282
Ibid., hlm. 224.
100
Terjemahan bebas:
“Kita dapat meneladani Kanjeng Gusti Pangeran Aria Mangkunegara
yang pertama….Sedangkan kita dapat pula meneladani Kanjeng Gusti
Pangeran Adipati Aria Mangkunegara yang kedua….Sampai dengan
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria Mangkunegara ketiga…Maka
hendaklah kamu tidak tergesa-gesa meraih cita-cita, apabila kamu belum
mempunyai cukup banyak amal kebajikan yang memberi bekas (bagi
kejayaan negara), maka lebih baik kamu belajar mengkuti laku perjalanan
pemerintahan.283
“Ambawani tanah Jawa, kang padha jumeneng aji, satria dibya
sumbaga tan lyan trahing Senapati, pan iku pantes ugi, tinulad labetanipun,
ing sakuwasanira, enake lan jaman mangkin, sayektine tan bisa ngepleki
kuna”.
Terjemahan:
“Yang memerintah pulau Jawa, mereka yang pada menjadi raja, yaitu
para satria yang termashur dan pantas mendapat pujian, mereka itu tidak
lain adalah keturunan Senapati. Bukankah hal itu pantas juga untuk
dijadikan suri tauladan dengan mencontoh peninggalan perbuatan baiknya
atau jejak darmanya, sepadan dengan kemampuanmu dan disesuaikan
dengan keadaan jaman sekarang, yang sesungguhnya memang tidak bisa
menyamai keadaan jaman dahulu”.284
maksud sikap kritis terhadap masalah kelebihan dan kelemahan, tidak terbatas
terhadap para raja melainkan meliputi berbagai pihak yang bisa disebut sebagai
leluhur berarti para elit kerajaan yaitu, raja, priyayi dan, atau kyai priyayi.
ini:
283
KG PAA Mangkunagara IV, Serat Wira Wiyata, (Semarang: Dahara Prize, 1995),
hlm. 14-21.
284
S.Z. Hadisutjipto, Terjemahan Wedhatama…, op. cit., hlm. 33-34.
285
Jujun S. Suriasumantri, “Penelitian Ilmiah…, op. cit., hlm. 66.
101
“Pantes tinulat tinurut, laladane mrih utami, utama kembanging
mulya, kamulyaning jiwa diri, ora ta yen ngeplekana, lir leluhur nguni-
nguni”.
Terjemahan bebas:
“Leluhur kita dahulu memiliki watak utama, dan keutamaan itu bunga
kebahagiaan. Maka wajib ditiru, walaupun tidak sepenuhnya menyamainya. Di
samping itu wajib diingat pula, bahwa leluhur kita itu juga manusia belaka
yang tidak luput dari pada kesalahan/kekhilafan-kekhilafan. Maka hal yang
tidak baik/tidak benar itu janganlah sampai ditiru.286
agar jangan atau tidak langsung bersikap membanggakan keturunan atau murid
yang telah mengerti serta berperilaku seperti mereka dahulu. Karenanya, selain
bersikap kritis juga agar bersikap kretif terhadapnya. Bersikap kreatif, dikutip
286
S.Z. Hadisutjipto, Terjemahan Wedhatama…, op. cit., hlm. 47.
287
Franz Magnis Suseno, Wayang dan…, op. cit., hlm. 86.
102
mereka di dalam hati. Demikianlah martabat dan atau inti tata krama
leluhur dahulu dan itulah inti sari daripada agama yang luhur.288
Mangkunegara IV pada satu sisi bersikap kritis dan kreatif yang di dalamnya
terkandung sikap “mawas diri” adalah “tahu diri” (eling) atau ngemong sebagai
satu tatanan sikap hormat dan rukun (tata krama Jawa) dan itu adalah identitas
teori kritis290 yang sebagaimana pernah ditunjukkan dalam pola etos tindakan
288
S.Z. Hadisutjipto, Terjemahan Wedhatama…, op. cit., hlm. 10.
289
Pengertian teori kebebasan kehendak (free will) dapat berarti, 1) kebebasan
memilih kemungkinan-kemungkinan. Merupakan kemampuan seseorang untuk memilih
berbagai tindakan, 2) kebebasan penentuan diri: dalam arti bebas yang tidak tergantung pada
faktor luar akan tetapi sesuai dengan dorongan batin dan cita-citanya sendiri. Ali Mudhofir,
Kamus Teori dan…, op. cit., hlm. 80.
290
Teori kritis mengandung dua arti. Pertama, kritis terhadap ajaran-ajaran di bidang
sosial yang ada pada waktu itu, termasuk juga Maxisme ortodok. Kedua, kritis terhadap
masyarakat pada saat itu, yang perlu dirubah secara radikal. Menurut teori kritis, pengenalan
tidak pernah merupakan suatu usaha yang terlepas dari atau terangkat dari aksi. Teori kritis
103
Dua pola etos tersebut teridentifikasi sebagai pola etos tindakan moral
dan perilaku lahiriah sebagaimana tata krama Jawa adalah sikap hormat dan
rukun. Karenanya, pola etos ini bukan sekedar semacam, “lontaran pemikiran”.
komunikatif yang sesuai baik bagi konteks struktur sosial masyarakat Jawa
maupun dengan nilai-nilai moral budayanya serta bagi tiga kebijakan politik
satu tatanan sikap moral dalam sikap hormat dan rukun (tata krama Jawa). Pola
dan benar sesuai atau modern sebagai kesatuan struktur etos sosial budaya
menyadari bahwa kegiatan ilmiah pada pokoknya sama dengan memihak kepada suatu bentuk
masyaraka tertentu. Maka teori kritis ingin memperjuangkan terwujudnya suatu masyarakat
yang mempunyai dasar rasional. Ibid., hlm. 123.
291
Istilah “lontaran pemikiran” dan “peristiwa”, dikutip dari Taufik Abdullah,
“Sekapur Sirih”, dalam Sartono Kartodirdjo, Sejak Indische…, op. cit., hlm. xvii.
292
Istilah pemberdayaan (empowerment) dalam literature sering dikaitkan dengan
pengakuan atas peran baik yang dikehendaki oleh berbagai organisasi seperti dalam bidang
ekonomi dan sosial. Karenanya, pemberdayaan merupakan pengakuan atas peran baik berbagai
organisasi itu dan peningkatan perannya dalam membantu masyarakat yang hanya dengan
dayanya sendiri tidak mampu mengatasi masalah. Ginanjar Kartasasmita,”Power dan
Empowerment sebuah Telaah tentang Konsep Pemberdayaan Masyarakat”, dalam Agus R.
Sarjono, Sejumlah Gagasan…, op. cit., hlm. 196.
104
Keadaan tersebut seperti yang telah dirasakan dan, diungkapkan oleh
seorang pedagang dari Inggris yang bernama Arthur Earle ketika pada tahun
hidup sebagaimana etiket atau perilaku sopan santun keluarga dan rajanya serta
Ungkapan rasa atas sikap integrasi atau egaliter tersebut jika dipahami
kaitannya sebagai bersikap baik dan adil yang diungkapkan dalam sikap saling
hormat dan rukun nampak masih terbatas dalam prinsip keadilan individual.
Dimaksud keadilan individual, dikutip dari F.M. Suseno, adalah keadilan yang
tergantung dari kehendak untuk merasakan dan memberikan nilai baik atau
yang baik dan yang pernah dilakukan pihak Mangkunegaran terutama pada
293
Lihat dalam halaman 291.
294
John Pemberton, “Jawa” on the…, op. cit., hlm. 151-152.
295
Franz Magnis Suseno, Kuasa dan…, op. cit., hlm. 50.
105
masa pemerintahan Sri Mangkunegara IV semacam, dikutip dari F.M. Suseno,
ketika menulis dan menyusun Serat Wedhatama, dilakukan oleh satu team
yang terdiri dari para ahli sastra Jawa termasuk R.M.Ng. Wiryokusumo.298 Dia
dikenal ahli kerawitan dan sastra juga dianggap memiliki pengetahuan esoterik
yaitu wiedershien artinya kemampuan “melihat jarak jauh” semacam ngerti sak
durunge winarah.299
tertanggal 10 April 1941 yang dibuat salah seorang priyayi dan keluarga besar
Anjar Any, ilham-ilham atau pemikiran Sri Mangkunegara IV oleh satu team
296
Pendekatan dialogis berarti suatu rencana yang baru, dipastikan sebagai hasil
dialog bebas terbuka antara sang ahli dengan mereka yang terkena. Sedang pendekatan
partisipatif merupakan sifat dialog itu sebagaimana dalam suatu rencana yang baru (suatu
kemajuan atau pembangunan) kelihatan apakah masyarakat secara spontan mengambil bagian
di dalamnya. Ibid., hlm. 22.
297
Bahasa adalah tempat manusia senantiasa sudah tahu apa yang dimaksud dengan
rasionalitas dan kebebasan dan ia “medan” paling utama dalam komunikasi adalah kebal
kekuasaan. Misalnya, raja tersesat waktu berburu menanyakan jalan ke Majapahit pada seorang
petani. Jika si petani saking takutnya tidak mengerti apa yang ditanyakan atau tidak bisa omong
dengan jelas, ancaman apapun tidak dapat membuatnya pertanyaan dengan betul. Franz Magnis
Suseno, 12 Tokoh Etika…, op. cit., hlm. 221-222.
298
Raden Mas Ngabehi (R.M.Ng.) Wiryokusumo lahir kira-kira tahun 1850. Dia
puteranya Bandara Raden Mas (BRM) Aryo Wiryodiningrat adalah putera Mangkunegara II
nomor 57. Jadi antara R.M.Ng. Wiryokusumo dengan Sri Mangkunegara IV sama-sama
sebagai cucu Mangkunegara II. Anjar Any, Menyingkap Serat…, op. cit., hlm. 95.
299
Ibid., hlm. 96-97.
106
ahli satra Jawa. Merekalah yang mensistematisir ilham atau pemikiran tersebut
Karenanya, mereka sangat paham tentang sastra maka fungsi dan peran mereka
Sekedar sebagai acuan pemahaman akan maksud peran serta para ahli
proses tersebut seperti apa yang disebut sebagai ideal role-taking. Maksudnya
Bisa juga seperti dalam kata-kata: “Dengan mengambil alih peran orang lain,
saya merefleksikan diri saya sendiri dan dengan demikian mengarahkan proses
dalam rasa, acuan dasarnya nilai-nilai moral budaya Jawa (keutamaan Jawa)
300
Ibid., hlm. 20.
301
Franz Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika…, op. cit., hlm. 220.
302
Humanitarianisme berasal dari kata Latin humanus = manusia. Maksudnya
adalah, 1) pandangan yang menganggap nilai-nilai manusiawi sebagai hal yang pokok, 2)
program moral atau sosial yang berusaha untuk mengurangi penderitaan manusia dan
meningkatkan kesejahteraannya. Pandangan ini sering melibatkan pengabdian emosional bagi
perubahan sosial, dan kadang-kadang diperluas sampai dengan pencegahan terhadap hewan, 3)
penghormatan terhadap kemanusiaan. Ali Mudhofir, Kamus Teori dan…, op. cit., hlm. 93-94.
107
Dimaksud “pengalaman keagamaan Jawa” di sini, bukan sebagaimana
dalam filsafat antropologi dengan corak teologi yang kemudian disebut sebagai
teori etika teonom, telah disebutkan di muka. Maksud itu juga berlaku bagi
dalam arti, di satu pihak sebagai acuan teoritis para ahli atau intelektual Jawa
(pujangga Jawa) dalam berbagai karya sastranya dan sebagai identifikasi tipe
ideal atau yang dicita-citakan dan yang dikehendaki dalam pola etos pemikiran
tindakan moralnya pada pihak lainnya. Karenanya, kata “Islam” sebagai acuan
percobaan sebagaimana dalam tradisi yang terekam dalam kesadaran dan atau
sebagai hasil pengetahuan dari seseorang di pihak lainnya. Pengertian kata itu
303
H. Maldwyn Hughes,”Experience”, dalam James Halting (ed.), The Encyclopedia
of Religions and Ethic, Vol. V, (New York: Charles Scribner’s Son, t.th), hlm. 630-633.
108
sebagai pandangan dunia atau spiritual yang dengannya manusia mengadakan
adalah berbagai perilaku yang bermakna spiritual sebagai cara bersikap dalam
penting, adalah keyakinan pada wilayah yang suci (the sacred), transenden atau
transempiris. Elemen itu jika ada maka dia beragama, jika tidak ada, dia tidak
sebagai sikap moral dalam tindakan atau perbuatan disebut sikap hormat dan
rukun yang berkembang dan atau hidup dalam kondisi kolonial. Obyektifikasi
304
William James, The Varieties of Religious Experience, (New York: The New
American Library, 1958), hlm. 462-463.
305
Lihat Peter Connolly,”Pendahuluan”, dalam Peter Connolly (ed.), Aneka
Pendekatan Studi Agama, terj. Imam Khoiri, (Yogyakarta: LKiS, 2002), hlm. 10.
306
Istilah praxis pengertiannya tidak sama dengan kata modern “praktek” (practice
atau perbuatan). Praxis adalah segala macam tindakan dan kegiatan dalam komunitas manusia,
tetapi hanya demi dirinya sendiri. Karenanya, praxis tidak termasuk dalam pekerjaan yang
berat dan kasar (pronos). Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika…, op. cit., hlm. 34-35.
109
pembaharuan atau pembangunan etis307 (pola pembangunan halus) yang sesuai
tindakan moral terhadap nilai-nilai moral budaya Jawa adalah keutamaan yang
diskusi batin adalah gerak dialektika dalam rasa (suara batin) disebut, dikutip
dari The Liang Gie, sebagai keinsyafan diri atau refleksi diri309 dengan metode
reflektif kritis.310
307
Dimaksud pembangunan etis atau halus (bahasa Jawa: alus) adalah pembaharuan
atau pembangunan yang tidak kasar mencampuri proses-proses hidup. Pola pembaharuan atau
pembangunan halus memerlukan pendekatan sistem bekerja sama dengan dan berdukungan
pada subsistem-subsistem yang ada atau pada kekuatan-kekuatan yang sudah bekerja dengan
penuh hormat dalam kesadaran tahu diri (eling, mawas diri) agar bisa saling menyesuaikan diri
dengan apa yang sudah ada. Franz Magnis Suseno, Kuasa dan…, op. cit., hlm. 165.
308
Istilah transendensi memiliki tiga pengertian dengan perspektifnya. Pertama,
mengakui ketergantungan manusia kepada penciptanya. Sikap merasa cukup dengan diri
sendiri yang memandang manusia sebagai pusat dan ukuran segala sesuatu, bertentangan
dengan makna transendensi. Transendensi mengatasi naluri-naluri manusia seperti keserakahan
dan nafsu berkuasa. Kedua, mengakui adanya kontinuitas dan ukuran bersama antara Tuhan
dan manusia. Artinya, transendensi merelatifkan segala kekuasaan, kekayaan dan pengetahuan.
Ketiga, mengakui keunggulan nilai-nilai mutlak yang melampaui akal manusia. Roger
Garaudy, Mencari Agama pada Abad XX, Wasiat Filsafat Roger Garaudy, terj. H.M. Rasjidi,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hlm. 256-261.
309
Dimaksud keinsyafan diri atau refleksi diri, merupakan sifat khas dari manusia
sebagai suatu sistem kehidupan berpikir, cerdas dan juga sadar secara moral, peka secara
estetis, dan cenderung ke arah yang manusiawi, luhur, rohaniah, adikodrati, nominus, Ilahi,
yang dalam pengertian filsafati umumnya digolongkan dalam konsep tentang budi. The Liang
Gie, Suatu Konsepsi ke Arah…, op. cit., hlm. 30.
310
Maksudnya metode reflektif kritis yaitu, merumuskan dengan tegas apa yang dari
permulaan merupakan kreasi dan milik manusia sendiri. Sifatdasar metode reflektif ialah
empiris, analitis dan juga rasional dalam hal bahwa ini mengakui pengalaman sebagai bahan
110
Dua macam refleksi tersebut di pihak lainnya, maksud dan tujuan bagi
sikap moral dalam tindakannya (praxis) sebagai satu struktur keutamaan Jawa
satu pihak terciptanya suasana keadilan sosial terutama dalam bidang dagang
yang sesuai baik bagi sturktur sosial masyarakat Jawa maupun bagi kemajuan
terkait dengan gerak dialektika sebagai proses refleksi diri bermetode reflektif
kritis dalam rasa adalah sumber etos tindakan moral Sri Mangkunegara IV
filsafat, tetapi hanya bagian atau aspek dari pengalaman yang disumbangkan oleh budi dengan
sikap penafsirannya, sedangkan asas-asas yang dicari adalah dalam arti tertentu bersifat a priori
dan atau telah terkandung dalam budi. Ibid., hlm. 26-27.
311
Dimaksud kegiatan bermakna adalah suatu kegiatan yang memiliki maksud sosial
yang diatur secara formal atau tidak formal dan merupakan kesatuan bermakna. Misalnya,
bermain musik atau sebagai dhalang dalam wayang, bercocok tanam (kegiatan perkebunan),
penelitian sejarah, membuka dan mengembangkan usaha dagang. Franz Magnis Suseno, 12
Tokoh Etika…, op. cit., hlm. 200.
312
Istilah spiritual/rohaniah dalam bahasa Inggris spiritual, Latinnya spiritualis dari
spiritus (roh). Beberapa pengertinnya: 1) tidak jasmani, immaterial, terdiri dari roh, 2) mengacu
ke kemampuan-kemampuan lebih tinggi (mental, intelektual, estetik, religius) dan nilai-nilai
pikiran, 3) mengacu ke nilai-nilai manusiawi yang nonmaterial seperti keindahan, kebaikan,
cinta, kebenaran, belaskasihan, kejujuran dan, kesucian, 4) mengacu ke perasaan dan emosi-
emosi religius dan, estetik. Lorens Bagus, Kamus…, op. cit., hlm. 1034.
313
Dimaksud makna internalnya sebagai suatu kegiatan yang menghendaki, 1)
mutunya, kualitasnya (excellency-nya), 2) bernilai bagi seseorang yang melakukannya, maka
memerlukan a) standar-standar mutu (standards of excellence), b) ketaatan terhadap aturan-
aturan (yang menentukannya) dan, c) pencapaian sesuatu yang bernilai. Ibid., hlm. 201.
111
karakteristik pertama, harmonis dan kedua struktural fungsional telah dianalisa
di muka, yang ketiga yaitu transendental yang dianalisa dalam tiga perspektif
3. Transendental
sesuatu secara kualitas teratas, atau di luar apa yang diberikan oleh pengalaman
dan mengungkapkan secara total sampai pada makna-makna hidup yang paling
314
final. Penjelasan makna kata “tansendental” itu implisit maksudnya searah
atau memperoleh rasa sejati adalah wahyu (anugerah Tuhan) sebagai semacam
315 316
“iklim” penghayatan budi luhur atau alam hakiki disebut ngelmu mistik
314
Lihat Louis Leahy, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, (Yogyakarta: Kanisius,
1994), hlm. 34.
315
Dimaksud kata rasa sejati dalam Serat Wdhatama bukan sesuatu yang organis
melainkan semacam “iklim” penghayatan budi luhur. Y.A. Surohardjo, Mistisisme…, op. cit.,
hlm. 62.
316
Menurut C. Gertz, dikutip F.M. Suseno, kata rahsa sejati atau rasa sejati disebut
sebagai “alam hakiki” adalah ngelmu yang berarti tiga hal sekaigus yaitu ilmu pengetahuan,
112
bagi kalangan priyayi (elit kerajaan), melainkan merupakan dasar kehendak
manusia. Maksudnya itu implisit dijelaskan, bahwa rasa sejati (wahyu atau
anugerah Tuhan) di satu sisi eksistensinya milik atau hak siapa saja, yang
Panembahan Senapati ini untuk membangun watak cinta kasih bagi sesama dan
pengertian mistis dan, kekuatan gaib sebagai salah satu bentuk kemampuan yang lebih
menyolok untuk bertindak tepat. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa dalam…, op. cit., hlm. 106.
317
Empat tigkat sembah atau “sembah catur” merupakan inti ajaran kerokhanian
(mistik) dalam Serat Wedhatama yaitu sebagai jalan mencapai penghayatan manunggal dengan
Tuhan. Simuh, Sufisme Jawa…, op. cit., hlm. 256.
113
atau menciptakan suasana yang mensejahterakan kehidupan sesama manusia.
pada tindakan laku (tapabrata) untuk memperoleh ngelmu dan sebagai sumber
satu pihak memberikan pengalaman spiritual (watak cinta kasih) bagi sesama
dan bisa melahirkan prinsi-prinsip moral dasar etos tindakan moral, dasar
dunia bahkan para dewa takut padanya. Hal itu sudah menjadi ciri khas bagi
pandangan dunia dan hidup sebagaimana tersebar dalam berbagai karya sastra
Jawa. Karenanya, orang-orang Jawa sudah sejak jaman kuno (dahulu) sampai
318
S.Z. Hadisutjipto, Terjemahan Serat Wedhatama…, op. cit., hlm. 31-38.
H. Karkono Kamajaya Partokusumo, “Kebudayaan Jawa dan Proses
319
Demokratisasi”, dalam Agus R. Sarjono, Sejumlah Gagasan…, op. cit., hlm. 218.
114
dengan sekarang memiliki kepercayaan bahwa terdapat hubungan yang sangat
seperti, mutih maksudnya pantang makan selain nasi, pati geni seperti puasa
dalam suatu ruangan yang pekat tidak tembus cahaya. Ngalong yaitu dengan
bertapa dikuburan seseorang dalam jangka tertentu. Bolot adalah tidak mandi
dalam jangka waktu tertentu, ngrambang artinya, menyendiri dalam hutan dan
bertahun-tahun lamanya hidup dalam hutan bersama sama dengan para pandita
bertapa (semadi) supaya memperoleh ilmu gaib dan atau daya-daya magis.322
bisa mendukung atau tidak diberdayakan, di satu pihak bagi kemajuan yang
320
C.C. Berg, Penulisan Sejarah Jawa, (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1985), hlm.
22.
321
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 372.
115
lainnya. Masalah itu bisa dicermati dalam bandingannya dengan pola budaya
pihak lainnya.
rasional (irrasional) dan tidak realistis atau tidak sesuai antara dasar nilai-nilai
manusiawi sesuai dengan struktur sosial masyarakat Jawa yang hidup dalam
dengan sikap moral dalam tindakan tersebut berarti terletak dalam pola etos
satu pihak laku (tapabrata) dengan perolehan ngelmu sebagai anugerah Tuhan
(wahyu atau rasa sejati) tidak ada proses gerak dialektika sebagaimana proses
322
Bernard H.M. Vlekke, Nusantara, A History of Indonesia, (Bandung: Wholly
116
fenomen kesadaran moral dalam rasa (suara batin) yang eksistensinya sebagai
sumber kesadaran moral yang sesuai dengan tuntutan pluralitas tradisi dan atau
dikutip dari F.M. Suseno, terkait erat dengan pandangan dunia dan hidup orang
Jawa tentang, di satu pihak sebagai prestasi dan kekuasaan pada pihak lainnya.
Dua pandangan itu pada dasarnya sama baik menurut wong cilik (rakyat biasa)
atau priyayi. Keduanya dalam pemikiran keagamaan (Islam) oleh para ahli
roh atau makhluk halus seperti dhanyang, memedi, dhemit, thuyul, dan lain-
lain.324 Bagi pihak kedua “kekuasaan” bersifat lebih halus atau lebih spekulatif
sebagai dasar sikap dalam hidup, namun keduanya sama-sama kaum abangan
sebutan.325 Identifikasi dimaksud wong cilik dalam hal itu ditunjukkan melalui
slametan.
yang dimengerti sebagai ritus pemulihan keadaan slamet.326 Bagi kaum priyayi
117
laku (tapabarata) teori atau jalan memperoleh ngelmu (kawruh) itu ditunjukkan
sebenarnya bersatu dengan Yang Ilahi.327 Persatuan itulah tujuan mistik Jawa
muka. Dia sebagai identifikasi tokoh ideal yang telah meperoleh rasa sejati
327
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah…, op. cit., hlm. 119.
328
Zoetmulder, Manunggaling Kawula…, op. cit., hlm. 204-208. Lihat juga Franz
Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah…, op. cit., hlm. 120.
118
dapat dikuasainya secara sempurna dan “kembali kepada fitrahnya
semula” (mulih mula-mulanira), ….Orang yang sudah sampai demikian
itu antara lain ialah mendiang Panembahan Senapati dari Mataram. Bagi
orang Jawa perlu mencontoh sikap-laku (tapabarata) Sang Panembahan
itu…Setiap pergi meninggalkan istana, berkelana ke tempat yang
sunyi…Di tepi samodra, dikarenakan kerasnya bertapa mendapat wahyu
Ilahi…tersebutlah Kanjeng Ratu Kidul, datang menghadap dengan hormat,
kalah wibawa dengan raja Mataram itu.”329
dengan Kanjeng Ratu Kidul tersebut mirip pengalaman Bima tokoh dalam
lakon wayang Dewa Ruci. Pendalaman maksud makna rasa sejati tersebut di
struktur sosial masyarakat Jawa yang dalam kondisi kolonial jika dibandingkan
dengan maksud yang sama dalam lakon wayang itu di pihak lainnya. Perlunya
analisa dimaksud karena, dikutip dari F.M. Suseno, dalam pandangan banyak
orang Jawa lakon Dewa Ruci memuat intisari kebijaksanaan Jawa.330 Acuan isi
singkat kisah itu dijelaskan Soebardi dalam disertasinya, The Book of Cabolek
sebagai berikut.
Bima berguru kepada Drona (Durna) agar menemukan air hidup (tirta
prawita sari atau manunggaling kawula Gusti). Bima disuruh masuk ke adalam
marah. Perkelahian seru-pun terjadi dan setelah keduanya mati ternyata dewa
Indra dan Bayu kena kutukan menjadi raksasa.Walaupun begitu, air kehidupan
329
S.Z. Hadisutjipto, Terjemahan Serat Wedhatama…, op. cit., hlm. 31-32.
330
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa dalam…, op. cit., hlm. 112.
119
belum diketemukan dan beranya kepada Durna. Gurunya Bima ini menjawab,
air itu berada di dasar samudera selatan. Tanpa menghiraukan tangis ratapan
kirinya. Bima merasa agak ragu tetapi dengan mudah ke batin Dewaruci. Ia
dan laut. Pendek katanya, seluruh alam lahir seperti terbalik (jagad walikan).
melihat empat warna, tiga daripadanya adalah kuning, merah dan hitam
kecil disebu pramana adalah prinsip hidup Ilahi yang berada dalam dirinya
sendiri serta memberi hidup. Karenanya, Bima menyadari hakikat dirinya yang
dengan Tuhan).333
331
Soebardi, Serat Cabolek…, op. cit., hlm. 64-65. Lihat juga Franz Magnis Suseno,
Etika Jawa sebuah…, op. cit., hlm. 115. Bdk. Franz Magnis Suseno, Wayang dan…, op. cit.,
hlm. 50.
332
Soebardi, Serat Cabolek…, op. cit., hlm. 67. Lihat juga Franz Magnis Suseno,
Etika Jawa sebuah…, op. cit., hlm. 117.
333
Soebardi, Serat Cabolek…, op. cit., hlm. 68. Lihat juga Ibid., hlm. 118.
120
Melalui kesatuan itu manusia mencapai apa yang oleh orang Jawa
asal (sangkan) dan tujuan (paran) segala yang diciptakan (dumadi). Berarti
Bima menjadi penguasa atas seluruh bumi atau alam semesta tertampung
olehnya (wus kawengku ameng sira jagad kabeh). Bima dalam kehidupannya
telah mati dan ia hidup dalam kematiannya (wus mati sajroning urip lan urip
sajroning mati), artinya ia telah mati bagi alam luar dan mencapai hidup yang
yang tak-terkalahkan (kasekten). Pertemuan Bima dengan Dewa Ruci selain itu
prawita sari sama dengan mulih mula-mulanira dan kawruh sangkan paraning
335
dumadi juga mendapat pesan penting.
Pentingnya pesan Dewa Ruci ditegaskan pada Bima tentang dua sikap
ini harus dirahasiakan dan tidak diperlihatkan kepada orang-orang lain. Kedua,
setiap orang yang telah memperoleh realisasi dari persatuan dengan Tuhan,
334
Soebardi, Serat Cabolek…, op. cit., hlm. 69. Lihat juga Ibid., hlm. 120. Bdk.
Franz Magnis Suseno, Wayang dan…, op. cit., hlm. 51
121
terutama harus tetap dalam keadaan bersikap jujur, waspada (eling) serta hati-
hati agar terhindar dari berbagai hawa nafsu seperti sikap sombong (bangga
diri) atau congkak dan lain-lain.336 Berarti, tirta prawita sari sebagai nilai-nilai
implisit dimaksud, di satu sisi sebagai manusia baru (insan kamil) dan telah
terbentuk atau memiliki perilaku lahiriah etis yang spiritual terutama sebagai
Bima (Werkudara) adalah satria yang paling ditakuti. Dia tidak mau
kemegahan dan basa-basi. Kepada siapun tidak mau menunjukkan sikap
hormat (dengan membungkuk misalnya) bahkan kepada dewapun
bicaranya tidak dengan bahasa halus melainkan ngoko (bentuk bahasa
Jawa untuk bercakap-cakap dengan teman akrab atau berkedudukan
rendah). Tidak belas kasih pada musuhnya, bertubuh sebesar raksasa,
kasar, berotot dan berbulu, dengan mata melotot dan suara mengguntur.
Tetapi bagaimanapun, kejujurannya yang teguh, kesetiaannya,
kegigihannya, kemampuan militernya menjadikannya di antara sosok yang
paling disegani di jagat wayang.338
335
Soebardi, Serat Cabolek…, op. cit., hlm. 70. Lihat juga Ibid., hlm. 121. Bdk.
Franz Magnis Suseno, Wayang dan…, op. cit., hlm. 53.
336
Dua pesan tersebut implisit dalam ungkapan berikut: “Jangan engkau
membicarakannya / dengan sesamamu / yang belum dikaruniai keanugerahan Ilahiah ini /
…dalam membicarakan ajaran rahasia ini / lebih baik mengalah / Janganlah mulutmu terdorong
banyak / jangan tinggi hati / …Dalam hal demikian hati-hatilah…/ jauhkan dari kesenangan
hawa nafsu / jujur dan waspadalah / …janganlah bangga, dan bicaralah dengan hati-hati /
(karena) ini adalah ajaran rahasia. Soebardi, Serat Cabolek…, op. cit., hlm. 102.
337
Dimaksud spiritual terutama dalam arti yang manusiawi adalah, yang
nonmaterial seperti keindahan, kebaikan, cinta, kebenaran, belaskasihan, kejujuran dan,
kesucian, mengacu ke perasaan dan emosi-emosi religius dan, estetik. Lihat penjelasan foot
note halaman 130. Lihat juga Franz Magnis Suseno, Wayang dan…, op. cit., hlm. 82.
338
Benedict R.O’G. Anderson, Mitologi dan…, op. cit., hlm. 28-29.
122
Karenanya F.M. Suseno mempertanyakan, dengan begitu apakah betul
laku (semedi) sudah pasti mencapai persatuan dengan Yang Ilahi? Menurutnya,
berbagai bentuk semedi dalam budaya Jawa tradisional sebetulnya salah arah.
Motivasi semedi Bima memang suci, yaitu demi tirta prawita sari seluruh
kekuasaan atau kekuatan yang dikandung dalam tirta prawita sari atau sebagai
diri sendiri”, jadi “dangkal” dan sering lebih cenderung membentuk sikap egois
diperoleh atas dasar dorongan nafsu atau motif-motif yang tidak baik. Dia
339
Ambivalensi berarti, perasaan tidak sadar yang saling bertentangan terhadap
situasi yang sama atau terhadap seseorang pada waktu yang sama. Hasan Alwi (Pim. Red.),
Kamus besar…, op. cit., hlm. 37. Dimaksud ambivalensi dalam laku (bertapa) atau semedi
yang bentuknya matiraga atau penyangkalan diri seperti dalam kisah Dewa Ruci,kekuasaan dan
usaha Bima untuk memperolehnya justru mudah dirusak oleh pamrih. Misalnya, kemampuan
atau keampuannya itu akan dipergunakan demi kemajuan masyarakat. Franz Magnis Suseno,
Wayang dan…, op. cit., hlm. 55-57. Lihat juga Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika…, op.
cit., hlm. 172.
340
Ciri khas kebudayaan Jawa sekarang terletak dalam kemampuan luar biasanya
untuk membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar.
Hinduisme dan Budhisme serta Agama Islam dirangkul dan semakin menemukan identitasnya
sendiri. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah…, op. cit., hlm. 1.
123
menyebut sebagai ngelmu karang atau ilmu rekaan (hasil rekayasa), atau
klenik342 (ilmu hitam, black magic). Dia dalam masalah itu cenderung hendak
yang nilai moralnya jelek dan sementara atau dangkal, seperti berbagai bentuk
sihir atau jimat-jimat (benda berkekuatan gaib). Kekuatan sejenis itu tidak
berikut ini:
tapabarata dan atau semedi sebagai budaya Jawa tradisional dengan berbagai
bentuknya, atau pada kisah Dewa Ruci tadi termasuk asketisme344 sudah tidak
341
Franz Magnis Suseno, Wayang dan…, op. cit., hlm. 64. Lihat juga Ibid., hlm.
117.
342
Klenik (ilmu hitam atau black magic) adalah usaha kebatinan demi tujuan-tujuan
yang jahat atau sebagai praktek-prektek jahat yang didorong oleh napsu-napsu rendah demi
benda-benda dunia (harta) dan kekuatan-kekuatan iblis. Sarwedi Sosrosudigdo, Fungsi dan Arti
Kebatinan untuk Pribadi dan Revolusi, (Jakarta: P.N. Balai Pustaka, 1965), hlm. 90. Lihat juga
Niles Mulder, Myisticism and Daily…, op. cit., hlm. 36.
343
S.Z. Hadisutjipto,”Terjemahan Serat Wedhatama….”, op. cit., hlm. 29-30. Lihat
juga Fatchurrohman, KGPAA Mangkunegara IV Wedhatama dan Tafsir Terjemahan, (Jakarta:
Wedatama Widta satra, 2003), hlm. 5-6. Y.A. Surohardo, Mistisisme…, op. cit., hlm. 24.
344
Kata asketisme berasal dari bahasa Yunani, asketikos (kata kerja askein) artinya,
“seseorang yang menjalankan”, “berolah tubuh”, “disiplin”. Secara etimologis, istilah
asketisme berarti, usaha yang kuat untuk mati raga. Pandangan ini timbul dalam kaitannya
dengan agama, khususnya Kristen dan Budha. Sebagai usaha yang diarahkan pada
124
atau kurang sesuai lagi sebagai acuan sikap dasar etos tindakan moral Jawa.
keduanya bertitik tolak pada semangat batin Yang Ilahi (bagi kesadaran mistik)
sebagai dasar etos tindakan moral. Namun acuan teoritis pengetahuan esoterik
masing-masing pihak bersedia bersikap baik dan adil yang makna atau nilai
kebaikannya sama dengan tata krama Jawa saling bersikap hormat dan rukun di
suasana kemajuan yang manusiawi yaitu suasana yang saling kasih (saling
kesemurnaan pribadi atau pembebasan diri. Badan merupakan suatu kejahatan dan merugikan
moral, spiritual yang dikehendaki Tuhan. Lorens Bagus, Kamus…, op. cit., hlm. 76. Lihat juga
Ali Mudhofir, Kamus Teori dan…, op. cit., hlm. 16.
345
Dimaksud metafor Kanjeng Ratu Kidul dalam pandangan dunia dan budaya Jawa
merupakan lambang kehidupan bumi dengan ukuran nilai “mempesona mendua” yang harus
disadari pengunaannya dengan kearifan dan pengertian. Pesona pertama, bersifat lahiriah:
kuasa (jabatan), harta dan, wanita. Banyak orang yang jatuh martabatnya karena ketiganya.
Kedua, bersifat batiniah atau berada dalam diri (hati sanubari) seseorang yaitu, keinginan,
ambisi dan nafsu. Banyak tokoh masyarakat, agama, negara, politik yang tergelincir hidupnya
karena tidak menyadari bahwa dalam jiwanya dibelenggu oleh keinginan, ambisi dan nafsunya.
Ki Tirtohamidjaja, Mitos Ratu Kidul dalam Perspektif Budaya, (Jakarta: Wedatama Widya
Sastra, 2002), hlm. 70
125
Bima sebagai pihak lainnya dalam hal itu semua cenderung kurang
dan atau memerangi hawa nafsu bagi dirinya sendiri sebagaimana metafornya
dalam berperang melawan dua raksasa (Rukmuka Rukmala) atau naga raksasa
Kedua, eksistensi pemikiran baik tentang rasa sejati atau tirta prawita
sari sebagai kebenaran mutlak bukan ciptaan Panembahan Senapati atau Bima
sendiri. Melainkan ketatapan kebenaran itu dari Tuhan dan makanya diyakini
sebagai wahyu (anugerah dari Tuhan), terutama dalam artinya yang bersifat
spiritual atau rohani, yaitu nilai-nilai manusiwi dan sebagai suatu strukutur
dengan rasa seperti bagi para ahli sebagai identitas budaya atau pengalamaan
keagamaan (Islam) Jawa yan berkembang dalam kondisi kolonial. Status tokoh
pihak adalah manusia yang senyatanya pernah hidup pada suatu masa sebagai
raja Jawa. Karenanya, identifikasi tokoh ideal yang dikendaki sebagai etos
346
Pertempuran Bima dengan raksasa Rukmuka Rukmala bisa ditafsirkan sebagai
lambang dari perjuangan manusia untuk mengatasi nafsu-nafsu dari dua inderanya yaitu, mata
dan telinganya. Pertarungannya dengan naga Nembur Nawa merupakan lambang kemenangan
manusia atas nafsu-nafsu seksualnya atau mengalahkan keinginan-keinginan dan nafsu-nafsu
jahatnya yang bersemayam dalam hati. Soebardi, Serat Cabolek…, op. cit., hlm. 66-67.
126
pemikiran Sri Mangkunegara IV adalah, manusia nyata, oleh karena itu bersifat
realistis.
etis (nilai baik) kata-kata tersebut yang dulu oleh Panembahan Senopati cara
Belanda.
sesuai (modern) pada keadaan struktur sosial masyarakat Jawa pada masanya.
Maksudnya dalam identifikasi tersebut bukan pada perannya sebagai Raja Jawa
yang sikapnya sangat konfrontatif pada Belanda.347 Pola etos pemikiran Sri
realitas sosial348 Jawa yang telah menjadi satu struktur kekuasaan Pemerintah
Belanda berakibat budaya Jawa hidup dan berkembang dalam kondisi kolonial.
memiliki kesadaran merasa dituntut secara mutlak atau wajib untuk bersikap
347
Lihat contoh sikap Panenbahan Senapati dalam foot note halaman 292. Lihat juga
S. Margana, Pujangga Jawa…, op. cit., hlm. 206.
348
Dimaksud realitas sosial pada dasarnya berfungsi sebagai konteks komunikasi
atau sebagai dunia kehidupan yang di dalamnya terkandung cakrawala pengetahuan-
pengetahuan, nilai-nilai dan norma-norma yang baginya barang tentu, yang belum direnungkan
(direfkleksikan) dan merupakan latar belakang pendapat dan penilain-penilaiannya untuk
mengambil sikap. Franz Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika…., op. cit., hlm. 224.
127
Maksud identifikasi demikian itulah yang melahirkan etos tindakan
bersedia belajar bersama dan dengan sikap ilmiah. Dorongan dan sikap itulah
realistis dan rasional, berjuang bersama tanpa kekerasan dan, sesuai dengan
moralnya merupakan kebaikan dan kebenaran moral yang sesuai dengan nilai
berkepentingan merasa senang atau puas sesuai baik bagi identitas budaya atau
349
Dimaksud nilai etis adalah sebagai nilai kebaikan dalam etika yang sesuai dengan
asas perilaku yang disepakati atau diterima secara umum. The Liang Gie, Filsafat Keindahan,
(Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu Berguna (PUBIB), 2004), hlm. 115. Lihat juga Hasan Alwi
(Pim.red.), Kamus Besar…, op. cit., hlm. 309.
350
Berperilaku etis maksudnya nilai etis (kebaikan) yang diungkapkan dalam
perilaku. Misalnya Plato dalam Republika (Book IV, Section 12) mengemukakan perilaku etis
sebagai 4 kebajikan utama yaitu, kerarifan, ketabahan, pengendalian diri (tahu diri,
entrospeksi), dan keadilan (wisdom, courage, discipliner, justice). Termasuk di dalamnya
seperti, kesediaan menolong (benevolence), kemurahan hati (benignity), kesetiaan (loyality),
kejujuran (honesty), dan kesederhanaan (temperance) yang pada pokonya dapat digolongkan
dalam kebaikan moral (bagi orang: motif, niat, ciri watak) dan kebenaran moral (untuk
tindakan). The Liang Gie, Filsafat…, op. cit., hlm.116. Termasuk di sini sikap integrasi
128
kemajuan-kemajuan terutama dalam bidang dagang (etos dagang) yang sesuai
(modern) dengan struktur sosial masyarakat Jawa pada masanya dalam kondisi
kolonial.
tersebut dapat diperjelas maksudnya melalui sika-sikap etis dalam tokoh ideal
yang berbeda secara mendasar dengan tokoh ideal dalam kisah Dewa Ruci di
muka. Seandainya Bima atau Dewa Ruci bisa sebagai identifikasi manusia,
berlakunya karena seperti telah disebutkan di muka, “salah satu sikap hidup
Pengandaian tokoh ideal sebagai manusia metafisika dan belum didasari sikap
Buana IX.353 Bukti sikap tanpa dasar rasional atas penokohan ideal tersebut
(terbuka), egaliter, ngemong dan lain-lain sebagai kesatuan dorongan batin untuk belajar
dengan sikap ilmiah, rasional, kritis.
351
Dimaksud manusia metafisika adalah orang ‘yang percaya bahwa kodrat hakiki
(misalnya, keadilan, ilmu pengetahuan, pengetahuan, eksistensi, iman, moralitas, filsafat)’
mempunyai arti obyektif. Manusia metafisik yakin bahwa segala sesuatu mempunyai hakikat
obyektifnya dan bahwa filsafat bertugas untuk menemukannya. Filsafat adalah benar, sejauh
menemukan hakikat obyektif itu. Pandangan dunia, keyakinan-keyakinan moral dan religius
menurut mereka bukan sekedar masalah kosa kata, melainkan masalah kebenaran obyektif.
Franz Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika…, op. cit., hlm. 246.
352
Dimaksud sikap-sikap dasar rasional manusia metafisika adalah orang yang mau
mendasarkan sikap-sikapnya pada dasar-dasar atau prinsip-prinsip metafisik. Dia berpendapat,
orang hanya dapat bersikap solider dengan orang lain apabila ada pendasaran metafisik.
Misalnya, “karena Allah menghendaki” (etika teonom), atau “karena manusia itu makhluk
rasional dan karena itu harus dihormati” (pemikiran Kant) atau “karena dia sama-sama
manusia” (humanisme). Ia menolak penyiksaan semena-mena oleh polisi karena hal itu
melanggar hak asasi manusia. Ibid., hlm. 249.
129
dengan Sri Mangkunegara IV (1853-1881). Paku Buwana IX menulis surat
untuk para Bupati dan kyai-nya agar berontak Pemerintah Kolonial (Belanda)
IV tersebut, di satu pihak hanya mengakui senioritas dalam sikap lahiriyah atau
hanya pengakuan pangkat yang lebih tinggi melalui tata krama yang sesuai.355
perintah, kami mengikuti”.356 Bersikap hormat pada tradisi di lain pihak, pada
dasarnya sebagai sikap tahu diri (eling) searah dengan dimaksud sikap andhap
bersedia belajar atau berguru kepada nasihat orang lain357 termasuk kepada
sebagaimana gerak dialektika dalam rasa (suara batin), di sini disebut sebagai
353
Suanan Paku Buwana IX menggambarkan bahwa Panembahan Senapati adalah
Tuhan yang menjadi raja, seperti diungkapkan: “Dia adalah Yang Maha Luhur (yaitu Tuhan)
yang menjadi raja, sama seperti Nabi Allah di masa dahulu. Lihat dalam halaman 279.
354
Pemberontakan bangkit atas surat selebaran Paku Buwana IX selengkapnya yang
kemudian dikenal sebagai “Pemberontakan Mangkuwijayan”. Lihat Vincent J.H. Houben,
Keraton dan Kompeni…, op. cit., hlm. 447-452.
355
Hildret Gertz, The Javanese Family…, op. cit., hlm. 111
356
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah…, op. cit., hlm. 68.
357
Franz Magnis Suseno, Etika Dasar…, op. cit., hlm. 79-80.
358
Dimaksud rasionalisasi duna kehidupan adalah, tempat di mana seseorang
tumbuh ke dalam realitas kehidupan sebagai konteks proses komunikasi dan sosialisasinya.
Konteks itu bukan sebagai sesuatu yang tidak berubah. .Karenanya, berlangsunglah proses
pemikiran dan pemahaman terhadapnya berkelanjutan. Setiap perubahan sosial meningkatkan
130
proses keinsyafan diri atau refleksi diri dengan metode reflektif kritis atas nilai-
nilai moral budaya Jawa (keutamaan) yang hidup dalam kondisi kolonial.359
Acuan teoritisnya disebut sembah rasa adalah semacam proses gerak dialektika
unsur-unsur fenomen kesadaran moral yang disebut sembah catur atau empat
sembah yaitu: sembah raga, cipta, jiwa dan, rasa seperti diungkapkan dalam
Kata sembah ini bukan “sembah” lahiriah seperti yang diperbuat para
prosesnya itu. Proses rasionalisasi itu juga mengenai pandangan-pandangan moral. Franz
Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika…, op. cit., hlm. 224.
359
Lihat penjelasannya dalam halaman 309 foot not nomor 720-721.
360
S.Z. Hadisutjipto, Terjemahan Serat Wedhatama…, op. cit., hlm. 38.
131
Melainkan, dijelaskan Sutjipto Brotohatmodjo, sembah sebagai perbuatan yang
sama dengan laku batin tetapi bukan tapa brata dalam arti asketisme seperti di
muka. Dimaksud laku (sembah) batin merupakan proses keinsyafan diri atau
refleksi diri dengan bermetode reflektif kritis dalam rasa. Laku (berbuat) dalam
361
Kata “sembah” dalam arti lahiriah adalah tanda penghormatan dengan cara
kelima jari tangan kanan dan kiri ditelungkupkan, kemudian diangkat ke atas sampai hidung.
Sembah itu bagi para elit kerajaan dikenal ada 5 lima tingkatan, pertama waktu duduk, kedua
waktu panembrama (tembang selamat datang), ketiga di tengah-tengah percakapan, keempat
selama duduk dan, kelima waktu pamit. Sembah kepada Raja tidak terbatas tempat dan waktu.
Darsiti Soeratman, Dunia Kehidupan…, op. cit., hlm. 217. Lihat juga Kuntowijoyo, Raja
Priyayi…, op. cit., hlm. 28.
362
Sutjipto Brotohatmodjo, Wedhatama Kawedar, (Surabaya: PT GRIP, 1963), hlm.
10-12.
132
sembah itu merupakan satuan struktur363 yang saling berinteraksi dalam suatu
proses364 sembah raga, cipta, jiwa dan, rasa disebut “sembah catur”. Sembah
sebagai laku berarti perbuatan dalam batin sama dengan proses pembatinan
133
kesadaran itu termuat sesuatu yang khusus, yang langsung membedakan
kesadaran moral itu dari kesadaran yang bukan moral. Unsur khusus itu
adalah adanya suatu keharusan yang langsung menimpanya, yang tidak
dapat ditawar-tawar, yang tidak tergantung dari pertimbangan untung-rugi
sendiri, suatu keharusan yang absolute atau mutlak. Keharusan mutlak itu
oleh Emanuel Kant disebut imperatif kategoris, artinya perintah yang tak-
bersyarat. Kemutlakan itu langsung disadari oleh setiap orang dengan jelas
disebut suara hati atau ‘suara batin. Dari itu ditarik kesimpaulan, bahwa
kesadaran moral bukan hanya perasaan melainkan pada hakikatnya
mengandung suatu pernyataan dan oleh karena itu rasional sifatnya, maka
bertindak sesuai kesadaran moral itu masuk akal. Selain masuk akal juga
dalam rangka melakukan kewajibannya, setia memberdayakan kesadaran
moral ini sebagai kewajiban mutlaknya. Dasar rasionalita kesadaran moral
adalah kesadaran bahwa melakukan kewajiban itu sesuatu yang baik.368
penjelas kaitannya di sini. Pertama, istilah suara batin sama dengan rasa telah
menerima wahyu (anugerah dari Tuhan) yang disebut rasa sejati adalah nilai
yang kebenarannya mutlak (dasar ketetapannya itu dari Tuhan) sebagai sumber
muka,369 adalah pedoman atau sebagai cita-ideal (tipe ideal) dalam kehidupan
bermasyarakat bagi orang Jawa. Dimaksud tipe-ideal adalah, setiap orang Jawa
menyadari (dalam rasa atau suara batin) merasa berkewajiban yang mutlak
atau harus (imperatif kategoris), berusaha menciptakan suasana agar orang atau
dimiliki atau dialami dan agar diusahakan pemberdayaannya oleh semua orang
368
Ranz Magnis Suseno,”Etika Umum….”, op. cit., hlm. 31.
369
Demikianlah martabat dan atau inti tata krama leluhur dahulu dan itulah inti sari
daripada agama yang luhur (mring atining tata-krama, nggon-anggon agama suci). Lihat
penjelasan dalam halaman 290-291.
134
sebagai identitas budaya atau pengalaman (Islam) keagamaan Jawa yang dalam
kondisi kolonial.
dua nilai moralnya. Pertama, sikap mutlak sebagai yang harus terus-menerus
satu tuntutan sikap mutlaknya adalah bersikap jujur kepada orang lain dengan
370
dua nilainya: bersikap terbuka dan bersikap wajar (fair). Bersikap terbuka
dalam kesadaran (dalam rasa) adalah, supaya terus merasa berkewajiban untuk
Mencermai penjelasan dalam dua sikap bagi satu sikap mutlak sebagai
yang harus disadari (dalam rasa) tersebut maka implisit di dalamnya, untuk
bersikap realistik dan kritis terhadap keadaan. Teknis pemberlakuan sikap kritis
inipun dituntut dengan, di satu pihak bersikap etis (tidak kasar tetapi dengan
370
Bersikap jujur kepada orang lain berarti bersikap terbuka dan wajar (fair)
maksudnya, pertama orang yang selalu tampil atau muncul sebagai dirinya sendiri yaitu, sesuai
dengan keyakinannya (spiritualnya) sendiri.Kedua, bersikap jujur juga sebagai bersikap wajar
(fair) maksudnya, ia memperlakukannya menurut standart-standart yang diharapakannya
dipergunakan orang lain terhadap dirinya. Ia menghormati hak orang lain, ia berusaha selalu
menepati janji yang diberikan, juga terhadap orang yang tidak dalam posisi untuk menuntutnya.
Ia tidak pernah akan bertindak bertentangan dengan suara batin atau rasa sebagai dasar
keyakinannya. Ibid., hlm. 142-143.
135
bersikap baik atau hormat) yang sesuai atau yang relevan371 dengan realitas
kehidupan (acuan sikap realistik) dalam struktur sosial masyarakat Jawa yang
hidup dalam kondisi kolonial. Namun, di pihak lainnya juga relevan (secara
rasional) bagi pemecahan masalah atau problem372 terhadap hal-hal yang tidak
sesuai atau tidak selaras dengan tuntutan mutlak bagi nilai-nilai spiritual atau
eksistensi manusiawi.
pihak relevan dengan dimaksud sikap hormat dan rukun (tata krama Jawa)
(identitas modern atau baru) bagi pengalaman keagamaan (Islam) Jawa adalah
utama bagi ketangguhan sosial. Maksudnya, karena orang lain (apapun agama,
ras, bangsa dan, status sosialnya), atau pihak-pihak lain yang berkepentingan
371
Dimakksud relevan artinya, nampak dengan jelas, langsung dapat dilihat,
menyangkut sesuatu yang sungguh-sungguh penting, berpijak pada kenyataan. C.V. van
Peursen, Strategi…, op. cit., hlm. 194-195
372
Istilah problem dimaksudkan sebagai sesuatu situasi (keadaan) praktis atau
teoritis yang untuk itu tidak ada jawaban lazim atau otomatis yang memadai, dan oleh karena
itu memerlukan proses-proses refleksi (perenungan, pemikiran mendalam dan atau
pemahaman). The Liang Gie, Suatu Konsepsi ke Arah…, op. cit., hlm. 48.
373
Diamksud yang modern atau baru di sini, bukan berarti sebuah informasi baru
seperti seseorang yang membuka buku baru. Melainkan kata itu dimaksudkan artinya, sebagai
memandang yang lama dengan cara yang baru dengan tidak menambahkan sesuatu kepada
136
semua diterima dengan sikap baik serta adil melalui tata krama Jawa sikap
dari kalimat itu sebagai satu struktur nilai transendental disebut obyektifikasi
etis. Dimaksud dengan sikap yang etis adalah, sebagai semacam sopan santun
transendensi376 di bidang dagang atau sebagai acuan etos dagang Jawa (yang
pengetahuannya yang lama, tetapi seluruh persoalan diberi bentuk yang baru atau dilihat dalam
kaitan yang baru. C.V. van Peursen, Strategi…, op. cit., hlm. 200.
374
Pendekatan tut wuri handayani artinya, manusia tidak lagi mengemudikan dari
luar atau dari atas, melainkan dari dalam. Ia memanfaatkan, mendukung, mengarahkan,
seperlunya sedikit membelokkan dinamika yang sudah terdapat, ia berboncengan pada proses-
proses alamiah dan sosial yang sudah berjalan. Ibid., hlm. 165-168.
375
Dimaksud obyektifikasi teosentris-humanistik adalah, perbuatan rasionalisasi nilai
(wertrational) transendental (nilai-inti atau core-value Islam) yang diwujudkan ke dalam
perbuatan rasional, sehingga orang luar-pun (selain orang Islam) dapat menikmati atau
merasakan kebaikan sikap-sikap dari perbuatannya tanpa harus menyetujui nilai-nilai asalnya
tersebut. Kuntowijoyo, Paradigma Islam…, op. cit., hlm. 69 dan 228-230.
376
Maksudnya sebagai kedalaman makna (nilai positif) dalam transendensi adalah,
tiga pengertian dengan perspektifnya. Pertama, mengakui ketergantungannya kepada Tuhan
dan berusaha menahan atau mengendalikan hawa nafsu seperti keserakahan dan nafsu
berkuasa. Kedua, mengakui adanya kontinuitas dan ukuran bersama antara Tuhan atau sikap
merelatifkan segala kekuasaan, kekayaan dan pengetahuan. Ketiga, mengakui keunggulan
nilai-nilai mutlak yang melampaui akal manusia. Lihat penjelasan dalam foot note nomor 717
halaman 308.
137
Ketiga, penjelasan tersebut penting untuk dicermati kaitannya dengan
fenomen kesadaran moral, di satu pihak bukan hanya masalah perasaan tetapi
suatu pernyataan yang rasional (masuk akal) dan itu sesuai dengan identitas
itu pada dasarnya kecenderungan yang dikehendaki bagi etos tindakan moral
pada dataran pemikiran Sri Mangkunegara IV, maka maksud suatu pernyataan
itu di sini bukan hanya sebatas ungkapan bahasa saja. Melainkan, konkretisasi
satu pihak dilakukan sejak magang atau nyuwita (mengabdi) merupakan masa
sebagai proses gerak dialektika refleksi diri secara reflektif kritis dalam sembah
138
rasa, sumber kesadaran nilai manusiwai rasa sejati (wahyu: anugerah Tuhan)
Acuan tipe-ideal (cita ideal) yang dikehendaki dalam kesadarannya baik bagi
nilai manusiawi dan eksistensinya itu dinalogkan dengan penghayatan dan atau
tidak langsung terkandung dalam kata-kata kang wus lumrah limang wektu,
antara nilai moral atas laku-nya Prajurit lebih tinggi dari pada laku-nya Wiku
atau Resi377 yang bersemedi di pucuk gunung, seperti diungkapkan dalam Serat
“…, ing pakaryan mangun jurit, iku kang luhur priyangga, ….,
ngasorken tapaning wiku, wit sumungkuning puja, neng pucuking gunung
wesi,sang pandhita neng pucuking kang aldaka,”
Terjemahan bebas:
“…. dalam tugas melaksanakan perang, itu yang paling luhur (suci
atau tinggi) nilainya, ….,bertapanya seorang prajurit itu, mengalahkan
bertapanya seorang Resi, karena tempat bertapanya, diujung senjata besi
(bedhil), sang Resi di ujung/pucuk gunung”.378
377
Dimaksud Wiku atau Resi lihat pengertiannya dalam halaman 27 foot note nomor
85.
378
KGPAA Mangkunagara IV, Serat Wirawiyata, (Semarang: Dhara Prize, 1995),
hlm. 39.
379
Ekpresi mistik adalah taraf tertinggi ekspresi mitis. E. Cassirer, Language and
Myth, (New York: Dover Publications Inc., 1953), hlm. 10
139
cenderung mudah dipraktekannya magi.380 Masalah itu merupakan unsur bagi
pengetahuan esoterik yang berkembang atau sebagai budaya keraton Jawa pada
dikutip dari F.M. Suseno, searah nilainya dengan makna yang dimaksud dalam
pamong (merasa harus momong atau ngemong) buwana (dunia kehidupan), dia
Sri Mangkunegara IV tentang hal itu seperti ditunjukkan dalam tradisi ritual
tari, seni wayang dan atau sastra Jawa, terutama ketika menulis atau menyusun
Kedua, bersikap baik atau hormat tersebut, dikutip dari F.M. Suseno,
terutama kaitannya terhadap sesama manusia, dasar maknanya atau nilai positif
dan kebaikannya berusaha saling bersikap adil atau saling bersikap rukun.382
Acuan dasar teoritisnya melalui teori kehendak bebas (free will) dan teori kritis
380
Segi kelemahan dalam pemikiran tahap mitis adalah kelihatan adanya praktek
“magi”. Dimaksud “magi” adalah usaha menguasai orang-orang lain atau proses-proses alam
dengan ilmu sihir. C.A. van Peursen, Strategi…, op. cit., hlm. 21.
381
Dalam sikap momong atau ngemong ini mengungkapkan sikap manusia bahwa ia
hendaknya merasa bertanggungjawab terhadap alam atau dunia, bertanggungjawab agar alam
termasuk budaya itu seindah mungkin, agar alam tetap utuh. Sikap itu didasari penghayatan
bahwa apa saja yang ada merupakan ciptaan Tuhan atau percikan dari eksistensi Ilahi, maka
perlu dihormati, dipelihara baik-baik, bagaikan memelihara sebuah benda berharga yang
dititipkan padanya. Franz Magnis Suseno, Kuasa dan…, op. cit., hlm. 168.
382
Sikap baik bukan hanya sebuah prinsip sikap yang difahami secara rasional,
melainkan juga mengungkapkan, syukur alhamdulillah, suatu kecondongan yang memang
sudah ada dalam watak manusia. Bersikap baik mendasari semua norma moral karena hanya
atas dasar sikap baik masuk akal bahwa semua orang harus bersikap adil, atau jujur dan atau,
140
dan dengan pendekatan dialogis partisipatif (tut wuri handayani) seperti telah
disebutkan dimuka.
tersebut maka dimaksudkan keduanya tidak sama dengan kata-kata Sunan Paku
Buwana IV: sarah munggeng jaladri, darma lumaku sapakon artinya, bagaikan
maksud itu dijelaskan F.M. Suseno, bersikap hormat dan rukun tidak berarti
sebagai semacam perasaan sosial alamiah istimewa pada orang Jawa. Bagi
orang Jawa dalam bersikap rukun belum tentu langsung berhubungan dengan
atas tidak hanya sebagai perasaan melainkan suatu pernyataan perbuatan nyata
bersikap rukun (setia) kepada orang lain. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa dalam…, op. cit.,
hlm. 55. Lihat juga Franz Magnis Suseno, Etika Dasar…, op. cit., hlm.
383
Lihat Paku Buwana IV, Serat Wulangreh, (Semarang, Surabaya, Bandung:
G.C.T. Van Dorp & Co., 1929), hlm. 18.
384
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah…, op. cit., hlm. 56.
385
Dimaksud nilai eksistensi manusiawi sebagaimana terangkum dalam kalimat
mamangun karyenak tyasing sasami di muka.
141
Sikap ngemong (tahu diri atau eling) merupakan acuan sikap dasar
(selanjutnya ditulis etos pemikiran Sri Mangkunegra IV) bagi identifikasi tiga
sikap transendensi yang maksudnya searah dengan kalimat tut wuri handayani.
388
Ketiga, etosnya juga berakteristik pasca-rasional sebagai obyektifikasi Islam
tiga karakteristik etos pemikirannya itu wajar kiranya jika Sri Mangkunegara
386
Searah dengan maksud Subagio Sastrowardoyo menyatakan, sikap eling
merupakan yang terpenting dalam Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV (1809-1881)
dikatakan: “Mangka kanthining tumuwuh / salami wus awas eling”. Maksudnya, bahwa selama
hidup kita (manusia) harus sanggup melihat segala sesuatu sampai “inti kedalamannya
(spiritualnya)” dan harus dengan sikap eling selalu. “Eling” dalam kaitannya sebagai kebenaran
dan kebaikan sikap lebih banyak berarti sadar dari pada ingat saja. Subagio
Sastrowardoyo,”Eling Sikap Batin Jawa yang Paling Inti”, dalam Sulastin Sutrisno dkk.,
Bahasa-Sastra-Budaya…, op. cit., hlm. 698-699.
387
Identifikasi mendasar tentang kesadaran orang Jawa terhadap Yang Ilahi
terungkap dalam kata-kata: Aja lali marang asale (jangan melupakan asalmu) merupakan
peringatan yang sering terdengar. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah…, op. cit., hlm.
141. Lihat juga Soetrisno, Falsafah Hidup Pancasila sebagaimana…, op. cit., hlm. 13.
388
Maksudnya pasca-rasional adalah, orang yang dapat memberikan penilain moral
(penilain baik buruk) yang memadai dengan cara memahami acuan-acuan penilain dan dengan
semakin mempertimbangkan apa yang sebaiknya dilakukan dan mengapa, dan untuk
merefleksikan mengapa sebuah perbuatan yang ditegur tidak tepat. Hanya pendidikan yang
reflektif dan rasional yang dapat membantu seseorang untuk berkepribadian matang atau
142
IV termasuk salah satu filosof Jawa389 berkemampuan kesadaran inventifitas390
yang pragmatis391 terutama dalam bidang dagang yang sesuai (modern atau
baru) baik bagi nilai-nilai moral budaya Jawa tradisional maupun realitas sosial
Mangkunegara IV dalam sikap ngemong (tahu diri atau eling) yang etis (sopan
atau halus) yang sesuai (modern atau baru) sebagai sikap hormat dan rukun
diri.393 Acuan teori etos pemikiran Sri Mangkunegara IV tentang hal itu tidak
dengan laku dalam artinya asketisme seperti kisah Bima, di muka. Melainkan,
dalam “transendensi diri” justru tidak dengan menguasai dirinya sendiri namun
melalui dari dalam kesediaannya untuk bersikap ngemong dan percaya kepada
dewasa. Franz Magnis Suseno, 12 Tokoh…., op. cit., hlm. 161. Lihat juga Franz Magnis
Suseno, “Etika Dasar…., op. cit., hlm. 67.
389
Lihat sebutan itu dalam alasan pemilihan judul bagi kajian ini.
390
Inventifitas berarti kaya akal, cerdas, yang bisa memuncak menjadi ‘kreativitas’.
Inventifitas di sini sungguh menciptakan sesuatu yang baru, tetapi baik inventifitas maupun
kreatifitas meninjau kembali, memikirkan kembali suatu situasi dari dalam, lalu menemukan
suatu pandangan baru. Secara tidak terduga ia telah mendobrak sebuah rintangan lama.
Inventifitas diperlukan untuk mencapai perombakan dalam pandangan, tidak untuk
memusnahkan “nilai sesuatunya”, melainkan untuk mencapai sesuatu pembaharuan yang
menyelamatkan. C.A. van Peursen, Strategi…, op. cit., hlm. 151.
391
Pragmatis adalah orang yang sanggup untuk bertindak, yang tidak terjerumus
dalam pertengkaran ideologis yang mandul, melainkan secara nyata berusaha memecahkan
yang dihadapi dengan pertimbangan-pertimbangan yang cukup manusiawi untuk tidak
melupakan kebutuhan nyata orang-orang sekelilingnya demi teori-teorinya. Franz Magnis
Suseno, Kuasa dan…, op. cit., hlm. 65.
392
Dimaksud berbagai macam hawa nafsu seperti, keserakahan dan amarah yang
dikenal oleh masyarakat Jawa dengan sebutan atau disingkat ma lima: minum (minuman keras),
main (berjudi), madon (main perempuan), madat (mabuk-mabukan atau narkoba) dan maling
(mencuri) Subagio Sastrowardoyo,”Eling Sikap Batin…, op. cit., hlm. 699.
393
Dimaksud transendensi diri berarti peningkatan diri. Y.A. Surahardjo,
Mistisisme…, op. cit., hlm.77.
143
sesama. Dimaksudkan dengan sikap ngemong dan percaya, dikutip dari F.M.
Suseno, selain bersedia bersikap jujur terhadap orang lain (terbuka dan fair)394
juga percaya pada sikap baik yaitu, sikap kasih-sayang atau belas-kasih bebas
dan kebaikan yang mutlak dalam rasa sejati dengan eksistensi manusiawinya
dasar acuan teori pengetahuannya bukan hanya dengan menguasai diri sendiri.
Melainkan dengan, di satu sisi bersedia bersikap ngemong dan percaya serta
sebagai satu tatanan sumber nilai spiritual (eksistensi manusiawi) dalam rasa-
nya (suara batin) semua orang di sisi lainnya. Kedalaman eksistensi manusiawi
396
itu maksudnya searah dengan kata al-fitrah bagi setiap manusia. Bersedia
atau al-fitrah ini sebagai acuan dasar etos pemikiran Sri Mangkunegara IV
dalam bersikap baik dan adil melalui tata krama (bersikap hormat dan rukun)
sasami), antara lain sebagai suasana hubungan kerja sama yang saling kasih
394
Lihat penjelasan bersedia bersikap jujur kepada orang lain berarti bersikap
terbuka dan wajar (fair) dalam halaman 335 foot note nomor 784.
395
Franz Magnis Suseno, Wayang dan…, op. cit., hlm. 65.
396
Kata al-fitrah berarti “mengadakan” dan “menciptakan hal baru”. Ia berarti juga
agama (al-millah) dengan pemahamannya sebagai kredo, kepercayaan (faith) dan kesadaran
(confession). Konotasi intinya adalah menetapkan dan memperkokoh kepercayaan. Hans Wehr,
A Dictionary of Modern Written Arabic,(London: George Allen and Unwin Ltd., 1971), hlm.
918.
144
Kejelasan kedalaman maksud sikap hormat dan rukun itu, dikutip dari
kasih (tresno), damai, bahagia dan lain-lain) selalu merupakan anugerah yang
bebas (tulus) baik dari Yang Ilahi maupun dari dalam suara batin atau rasa
setiap orang397 Karenanya, lahir dan tidaknya pengalaman itu sangat tergantung
atau tindakan) sembah batin sebagai acuan kesadaran diri (refleksi diri) secara
kritis adalah acuan sikap dasar bagi pengalaman “otonomi manusia” atau dasar
sama halnya hati orang lain tidak mungkin kita rebut secara paksa. Kita hanya
dan atau dengan mempergunakan kekuatan dan kesaktian demi tujuan diri
yang sepi ing pamrih demi tirta prawitasari, belum tentu sesuai bagi sesama.
Apa yang dapat direbutnya melalui paksaan hanyalah barang jasmani, barang
397
Ibid., hlm. 66.
145
nilai-nilai yang bermakna eksistensi manusiawi tersebut, sikap manguasai tidak
perspektifnya di muka,399 yang tidak sama dengan atau bukan sebagai sikap
etos pemikiran Sri Mangkunegara IV yang sesuai (modern atau baru) sebagai
cara bersikap baik dan adil yang secara etis (sopan atau halus) seperti dalam
tata krama Jawa bersikap hormat dan rukun demi tercipta suasana kemajuan
dalam sikap eling itu antara lain, implisit adanya dua tuntutan sikap etis yang
mutlak. Tuntutan mutlak dalam sikap etis tersebut, di satu pihak sesuai bagi
identitas budaya Jawa (sikap hormat dan rukun) dan pengalaman keagamaan
(Islam) Jawa yang telah terstruktur dengan tiga kebijakan politik Pemerintah
etis yang pertama telah dijelaskan dengan metafornya menikahi Kanjeng Ratu
Kidul.
dan kebaikan sikap-sikapnya yang tepat atau sesuai baik dengan kenyataan dan
398
Ibid., hlm. 50-51.
399
Lihat maksud penjelasannya pada foot note nomor 791 halaman 339.
146
atau situasi400 lingkungan atau realitas sosial pada masanya yang mutlak
dalam hal itu melalui keinsyafan diri atau refleksi diri secara kritis.
telah ditunjukkan dalam berbagai bidang budaya, seperti dalam tradisi ritual
terutama antara lain, ketika dipilih dan diangkat sebagai raja Mangkunegaran.
Dasar pilihan terhadapnya itu, atas sikap ketulusan saling kasih (tresno) yang
“baru” (modern), karena pada waktu itu ada tiga calon yang lebih berhak (bagi
400
Yang dimaksud kebenaran di sini adalah, pengertiannya sesuai dengan
kenyataan. Franz Magnis Suseno, Berfilsafat dari…, op. cit., hlm. 202. Karenanya, dimaksud
sesuai dengan kenyataan dan situasi di sini adalah, di satu pihak sebagai kebenaran keadaan
budaya dan struktur sosial masyarakat Jawa serta sikap-sikap etis dalam tata krama Jawa
(bersikap hormat dan rukun) yang telah diubah dan diperbaharui pemberdayaannya sesuai
dengan tiga tuntutan kebijaksanaan politik Pemerintah Belanda di pihak lainnya. Sehingga
masing-masing pihak baik bagi Sri Mangkunegara IV maupun para pejabat Pemerintah
Belanda merasa dalam satu jalinan sikap saling percaya yang ditunjukkan dalam hubungan
kekeluargaan saling kasih (tresno), merasa puas, senang dan atau bahagia.
147
moralnya, dinilai lebih senang berperilaku dalam kategori ma lima seperti telah
dijelaskan di muka.401
barangkali penting untuk dicermati kembali masalah tepat dan atau tidaknya
abangan atau kejawen403 dan bukan santri.404 Begitu juga maksud penafsiran
istana sentris.405 Pencermatan kembali atas penilaian para ahli itu (yang di luar
motivasi dan atau maksud etos pemikirannya. Sekedar contoh yang dimaksud
401
Dimaksud tiga calon yang lebih berhak adalah Pangeran Hadiwijaya III,
Pangeran Kusumadiningrat dan, Pangeran Suryadiningrat. Yang pertama dinilai terlalu bodoh,
kedua suka madon (main perempuan) dan pemabuk serta, yang ketiga terlibat masalah
penyelewengan keuangan kerajaan. John Pemberton, “Jawa” on the…, op. cit., hlm. 104.
402
Dimaksud para ahli di sini misalnya, lihat Simuh, Islam dan Pergumulan…, op.
cit., hlm. 165-166. Franz Magnis Sseno, Etika Jawa sebuah…, op. cit., hlm. 13 dan 152.
Subagio Sastrowardoyo, “Eling Sikap Batin…”, op. cit., hlm. 700.
403
Kaum priyayi, walaupun mereka secara resmi mengakui Islam namun dalam
kesadaran dan cara hidupnya lebih ditentukan oleh tradisi-tradisi Jawa pra-Islam.
Koentjaraningrat,”The Javanese of South Central Java”, dalam George Peter Murdock (ed.),
Social Structure in…, op. cit., hlm. 94.
404
Arti santri dan abangan, dalam perjalanan sejarah telah berubah. Penggolongan
atas abangan, santri dan, priyayi (dari C. Gertz) menimbulkan bahaya mengkacaukan kategori-
ketegori yang berbeda di dalamnya. Lagi pula, terutama di Jawa Tengah kata abangan pernah
cenderung menjadi ungkapan sinis yang merendahkan derajat.Para cendikiawan itu
menekankan bahwa apa yang dinamakan (oleh C. Gertz) “varian abangan” dalam agama di
Jawa seharusnya dianggap sebagai varian atau ragam dalam agama Islam dan dalam umat
Islam. Segi yang sedikit negatif dalam analisis C. Gertz dalam hal ini ialah, bahwa
pertentangan yang dinyatakannya sedemikian tajamnya sehingga tak-realisitis.
Koentjaraningrat, “Ahli Asing…, op. cit., hlm. 5-6.
405
Lihat penafsiran tersebut atas karya Sri Mangkunegara IV yaitu Serat Wedhatama
dalam Simuh, Mistik Islam Kejawen…, op. cit., hlm. 33-34. Lihat juga Simuh, Sufisme Jawa…,
op. cit., hlm. 63-64.
148
di satu pihak sebagai orang (Islam) Jawa dianggap percaya kepada makhluk
halus (Kanjeng Ratu Kidul),406 dan merasa kurang atau tidak menguasai bahasa
Jawa dan Arab serta sering tidak sembahyang di masjid.407 Dua contoh tersebut
masalah itu, di satu sisi sebagai usaha pemberdayaan nilai moral budaya Jawa
tradisional serta obyektifikasi dan konkretisasinya (sikap tahu diri (eling) dan
ngemong) dalam sikap hormat dan rukun sebagai sikap baik dan adil (bersikap
solider)408 yang sesuai (modern) baik bagi tiga kebijakan politik Pemerintah
Jawa yang sesuai (modern) dengan realitas sosial masayrakat Jawa yang hidup
406
Kanjeng Ratu Kidul atau Nyi Roro Kidul Dengan dicantumkannya Kanjeng Ratu
Kidul, Nyi Roro Kidul atau Dewi Laut Selatan dalam Serat Wedhatama karya Mangkunegara
IV sering dinilai sebagai “anti-Islam” oleh semangat Islam yang terlalu “menggebu-gebu” yang
berusaha meninggalkan nilai-nilai tradisi Jawa. Karel Steenbrink,”Menangkap Kembali
Masa…”, op. cit., hlm. 167.
407
Anjar Any, Menyingkap Serat…, op. cit., hlm. 37. Lihat juga S.Z. Hadisutjipto,
Terjemahan Wedhatama…, op. cit., hlm. 15.
408
Dimaksud bersikap solider sama dengan bersetiakawan (lihat penjelasan
selengkapnya dalam halaman 337 foot note nomor 788).
149
Dimaksudkan dengan realitas sosialnya, tidak hanya bagi para pejabat
Pemerintah Belanda atau para intelektual Barat (Belanda) dan para elit kerajaan
dapat dirasakan atau dapat dinilai (sebagai kebenaran dan kebaikan tindakan)
terutama oleh rakyat biasa (wong cilik). Konkretisasi bagi tanda kepercayaan
suasana yang baru atau modern yaitu, berbagai pihak pada masanya tersebut
seperti telah dikaji panjang lebar di sini, tidak mutlak termasuk sebagai yang
bersifat semakin mistis dan istana sentris. Kedua, implikasi terpenting sebagai
tanda kepercayaan masyarakatnya dalam hal itu adalah, mampu mengubah dan
Sri Mangkunegara IV dalam hal itu barangkali yang paling nyata atau penting,
150
Acuan teoritis etos pemikiran Sri Mangkunegara IV tersebut di atas
kecenderungan tetap (disposisi) atau etos sebagai sifat watak yang stabil.409
Etos ini di pihak lainnya, bisa dimaksudkan sebagai acuan sikap dasar dalam
mengubah dan atau memperbaharui cara-cara bersikap yang praktis etis demi
sikap saling percaya yang sesuai atau tepat bagi efisiensi410 laba dalam dunia
salah satu tanda keutamaan moral dari tiga tanda yang terpenting dan baik bagi
409
Dimaksud etos sebagai watak yang stabil adalah, sebagai yang searah dengan
dimaksud oleh keutamaan. Keutamaan adalah suatu disposisi, artinya, suatu kecenderungan
tetap. Keutamaan (etos) adalah sifat watak yang ditandai stabilitas, maka ia sebagai sifat baik
yang mendarahdaging pada seseorang. Karenanya, etos memiliki hubungan eksklusif dengan
moral atau sama dengan keutamaan moral. K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia, 2005), hlm.
217-224.
410
Dimaksud efisiensi dalam kajian ini, mengutip The Liang Gie, adalah
perbandingan terbaik antara suatu usaha dengan hasilnya. Pertama segi “hasil”. Suatu usaha
(pekerjaan) dagang dapat disebut efisien jika dengan usaha-usaha tertentu memberikan hasil
yang maksimal, baik mutu atau jumlah satuan hasilnya. Kedua, segi “usaha”. Suatu pekerjaan
dapat dikatakan efisien jika suatu hasil tertentu tercapai dengan usaha yang minimal. The Liang
Gie, Efisiensi Kerja Bagi Pembangunan Negara suatu Bungarampai Bacaan, (Yogyakarta:
UGM Press, 1981), hlm. 30. Dimaksud hasil yang maksimal di sini terutama mengenai
mutunya, yaitu dalam pekerjaan dagang sebagai kegiatan bermakna spiritual internal (lihat
penjelasan maksudnya pada halaman 308 foot note nomor 720-722), sedang mengenai jumlah
satuan hasilnya sebagai kemungkinan pelengkap atau penguat penjelasnya.
411
Laba adalah tujuan utama dalam bisnis atau dagang, namun ia bukanlah
ungkapan sikap kerakusan pedagang (perusahaan). Melainkan, menurut Matsushita (sebuah
perusahaan terkenal di Jepang), laba adalah pertanda efisiensi. Dimaksud pertanda sebagai
ifisiensi dalam laba adalah, tanda kepercayaan masyarakat karena apa yang ditawarkan (yang
telah dilakukan atau dipraktekkan adalah yang diciptakan dalam efisiensi itu) bagi masyarakat
dihargai olehnya. Jakob Oetomo, Dunia Usaha dan…, op. cit, hlm. 15. Lihat juga Franz
Magnis Suseno, Berfilsafat dari…, op. cit., hlm. 161.
412
Menurut Robert C. Solomon yang membedakan keutamaan untuk pedagang
individual dan pada taraf perusahaan. Di antara tanda keutamaan yang harus dimiliki pedagang
individual adalah, kejujuran, fairness, kepercayaan atau sikap percaya (trust), dan keuletan
(tough-ness). R. C. Solomon, Ethics and Exellence, Cooperation and Integrity in Business,
151
sesuai dengan motivasi dan maksud sebagai ciri watak. Pokoknya yang dapat
etis (sopan atau halus) yang sesuai (modern atau baru) baik bagi realitas sosial
pada masa Sri Mangkunegara IV dan bagi tiga karakteristik keutamaan Jawa
demi efisiensi laba dalam dagang ini dasar acuannnya (seperti telah disebutkan
(New York: Oxford University Press, 1993), hlm. 206-216. Lihat juga K. Berten, Pengantar
Etika…, op. cit., hlm. 75-80. Franz Magnis Suseno, Berfilsafat dari…, op. cit., hlm. 158.
413
Dimaksud dengan tanda, dalam bahasa Inggris: sign, dari Latin signum dan
Yunani semeion yang semula berarti sinyal verbal. Tanda adalah 1) segala sesuatu yang,
(sebagai sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya), menuju kepada pengetahuan tentang
sesuatu yang lainnya, 2) apa saja yang mewakili (menggantikan, menandakan, menunjukkan)
obyek (atau relasi atau aktivitas) kepada seseorang yang memahaminya atau menanggapinya.
Tanda ialah obyek material, tindakan atau peristiwa, yang dapat diamati secara inderawi. Hal-
hal itu menunjukkan atau mewakili obyek lain, tindakan atau pembentukan subyektif dalam
proses kognisi (pengetahuan rasional). Karenanya tanda juga berarti, suatu tanda khusus dan
individual seperti: kata, ujaran, sikap tubuh, gerak, isyarat (sebagai contoh atau replika dari
suatu kata yang tertulis, yang diucapkan). Lorens Bagus, Kamus…, op. cit., hlm. 1062-1066.
414
Dimaksud tidak sebagaimana pragmatisme adalah, sebuah ideologi terselubung,
yaitu terselubung kaum teknokrat dan para penguasa. Terselubung karena pura-pura
antiideologis, praktis dan, netral. Tetapi ideologis karena diam-diam menunjang kepentingan
dan nilai-nilai satu pihak saja yaitu: kepentingan dan nilai-nilai para perencana dan kaum
kuasa. Pragmatisme merupakan siasat para decision maker (pembuat kebijakan) untuk
mencegah perdebatan demokratis tentang arah mana yang mau diambil bersama, untuk
152
Mencermati penjelasan tersebut maka modernisasi etos pemikiran Sri
Mangkunegara IV ini terstruktur dalam tiga pola sebagai suatu sistem kerangka
tradisional (tradisi ritual slametan, kekeluargaan, seni, sastra dan, politik) pada
masanya melalui proses kesadaran diri atau refleksi diri secara kritis seperti
415
telah dikaji diharapkan bisa sebagai salah satu cita-ideal bagi etos dagang
Jawa secara regional Jawa Tengah atau Nasional. Analisa acuan teoritis dan
mencegah kontrol semua pihak yang bersangkutan, dan sekaligus menjamin bahwa arah yang
ditempuh sesuai dengan kepentingan para decision maker itu sendiri. Franz Magnis Suseno,
Kuasa dan…, op. cit., hlm. 68.
153
BAB III
Istilah “etos dagang Jawa” dalam bab ini acuan teoritisnya memiliki
di berbagai bidang budaya Jawa seperti telah dibahas di muka. Acuan teoritis
dalam istilah “etos dagang Jawa” di sisi lainnya, hanya berdasarkan kontruksi
teoritis416 dalam pemikiran para ahli baik dengan contohnya atau tidak tentang
perbuatan atau perilaku etis (halus atau sopan) pedagang atau manager maupun
atas dasar analisa tentang hal itu dalam kajian ini. Berdasarkan penjelasan itu
maka acuan teoritisnya seperti pada the stakeholders benefit artinya, “manfaat
approache.418
415
Lihat penjelasan maksud cita-ideal (tipe-ideal) dalam halaman 11 foot note
nomor 30-31.
416
Lihat penjelasan dimaksud kontruksi teoritis dalam halaman 10 foot note nomor
29 dan halaman 127128.
417
Konon, istilah stakeholders untuk pertama kali muncul pada tahun 1963 dalam
sebuah memorandum internal dari Stanford Recearch Institute, California. Dimaksudkan
dengan stakeholders adalah orang atau instansi yang berkepentingan dengan suatu bisnis
(dagang) atau perusahaan, atau semua pihak yang berkepentingan dengan kegiatan suatu
perusahaan. Stakeholders sebagai individu-individu dan kelompok-kelompok yang dipengaruhi
oleh tercapainya tujuan-tujuan organisasi dan pada gilirannya dapat mempengaruhi tercapainya
tujuan-tujuan tersebut. R.E. Freeman, Strategic Management: a Stakeholder Approach,
154
Mengacu pada penjelasan tersebut maka, menurut Vincent, kegiatan
yang berguna bagi masyarakat), tidak baru menjadi bernilai karena membawa
suami yang hidup dan bekerja untuk istri dan anak-anaknya. Keuntungan (laba)
tercipta melalui berdagang, bukan tujuan bagi dirinya sendiri, inilah dimaksud
bahwa keuntungan (laba) sebagai tujuan utama dan atau yang sebenarnya.420
tidaknya atau baik dan buruknya mengenai keadaan serta perbuatan dari para
(Marchfield: MA, Pitman, 1984), hlm. 46. Dalam bahasa Indonesia istilah stakeholders sering
dipakai terjemahan “semua pihak yang berkepentingan”. K. Berten, Pengantar Etika…, op. cit.,
hlm. 163. Stakeholders adalah semua mereka yang mempunyai “taruhan” dalam perusahaan
yang bersangkutan. Jadi, mereka semua yang kepentingannya tersentuh, secara langsung atau
tidak langsung, oleh kebijakan perusahaan itu. Franz Magnis Suseno, Berfilsafat dari…, op.
cit., hlm. 161.
418
Dimaksud dengan manajemen stakeholders-approach adalah kebijakan
perusahaan tidak hanya mencari untung (laba) sendiri saja melainkan akan memperhatikan
semaua pihak berikut: manajemen, pemiliki, karyawan dan buruh, langganan/konsumen dan
langganan/produsen. Tetapi mereka juga mereka yang tidak secara langsung terilibat seperti:
orang-orang di sekitarnya, dari segi kesempatan kerja, dari apakah perusahaan itu
menguntungkan atau merugikan local business people, dan lain-lain. Ibid., hlm. 162-163.
419
Kenneth Blanchard dan Norman Vincent Peale, The Power of Ethical
Management, (London: Cedar Ltd., 1991), hlm. 106-107.
155
pedagang dalam stakeholders-approach sebagai konstruksi teoritis etos dagang
Jawa ini, mengacu pada pendapat umum.421 Maksudnya, bukan pada pedagang
Jawa tertentu melainkan menurut analisa kontruksi teoritisnya para ahli, atau
belum tentu etos pada umumnya sebagai “kecenderungan tetap atau ketekadan
dan keberanian sikap batinnya” atau sebagai sikap-sikap moralnya yang sudah
tetap memiliki etos walaupun lemah kadarnya atau cenderung kurang sesuai
dengan etos tindakan moral melalui tata krama Jawa modern seperti yang
420
Shirley Roels, “Business Goals and Processes”, dalam: M. Stackhouse dan D.
McCann dan Sh. Roels (ed.), On Moral Business, (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1995),
hlm. 912.
421
Pendapat umum dinilai sebagai suatu bentuk khusus dari adanya kesadaran sosial
dalam bentuk kesadaran massa yang tidak resmi dari kelompok-kelompok sosial atau asosiasi-
asosiasi dari rakyat terhadap kepentingan-kepentingan umum. Karena itu, pendapat umum
tidak hanya menyingkap suatu perbedaan kepentingan, tetapi juga suatu tingkat kesadaran
sosial yang tidak sama. Lorens Bagus, Kamus…, op. cit., hlm. 797.
422
Dimaksud audit sosial, sebagaimana melalui “audit” dalam arti biasa sehat
tidaknya keadaan finansial suatu perusahaan dipastikan, demikian juga kualitas etis suatu
perbuatan ditentukan oleh penilaian masyarakat “umum”. Manusia itu makhluk sosial dan
perilakunya selalui mempunyai dimensi sosial. Perilaku sosial itu bersifat baik secara moral,
bila tahan uji dalam audit sosial. Perilaku bersifat buruk secara moral, bila secara umum dinilai
sebagai tidak baik. Mungkin tidak semua orang menyetujui pandangan ini terutama yang
menganut relativisme moral. Misalnya, dalam dunia bisnis di Jepang nilai tertinggi adalah
kesetiaan karyawan pada perusahaan, sedang di Amerika Serikat nilai tertinggi adalah
kebebasan individual (liberalisme). Tetapi sulit diterima bahwa korupsi merupakan suatu
masalah perbedaan nilai saja. Audit sosial menunjukkan bahwa korupsi (sesuai asal usul
katanya dari bahasa Latin corruptio artinya kebusukan) selalu merupakan suatu hal yang tidak
baik. K. Berten, Pengantar Etika…, op. cit., hlm. 32.
156
Berdasarkan berbagai penjelasan tersebut maka, etos pemikiran Sri
pemikiran itu di satu sisi dimaksud sebagai acuan dasar bersikap hormat dan
rukun (tata krama Jawa modern) dan di sisi lainnya sebagai obyektifikasi cara
artinya, sopan atau halus) dalam etos dagangnya. Mencermati penjelasan itu
maka maksud tata krama Jawa modern dalam struktur pemikiran manajemen
pengertian ilmu ekonomi425 yang sesuai (modern atau baru) pada masanya.
dengan etos pemikiran Sri Mangkunegara IV ini terutama terletak pada dataran
423
Structure of management thought atau struktur pemikiran manajemen artinya,
filsafat, asumsi-asumsi, prinsip-prinsip dan teori yang bersifat dasar bagi studi tentang sesuatu
disiplin atau pengetahuan terutama berguna untuk menganalisa disiplin management. Secara
sederhana kita mengatakan bahwa sebuah “filsafat” yaitu suatu pandangan atau persepsi
tentang keadaan yang sebenarnya ada yang telah berkembang dengan berlangsungnya waktu
melalui praktek. Bagi seorang manager, sebuah filsafat pada pokoknya suatu cara berfikir
maksudnya apa yang menurut pengalamannya, menurut persepsinya tentang lingkungan,
kerangka organisatorik dan kelompok-kelompok nilai-nilainya telah meyakinkannya apa cara
terbaik untuk melaksanakan tanggung jawabnya sebagai seorang manager. Filsafat manager
merupakan dasar untuk membuat asumsi-asumsi tentang lingkungan, peranan organisatoriknya
di dalam lingkungan tersebut, serta pengetahuan yang akan membantunya dalam hal
melaksanakan tanggung jawabnya. Berdasarkan asumsi-asumsi itu, prinsip-prinsip yang
berhubungan dengan persoalan-persoalan spesifik dicapai. Prinsip-prinsip itu pada pokonya
merupakan hipotesis-hipotesis yang dites melalui waktu menjadi teori yang berguna sebagai
petunjuk untuk tindakan-tindakan pihak manager. Teori bagi manager merupakan managemen
yang membantu mengerti problem-problem managerial yang membentuk filsafatnya tentang
praktek management sebagai suatu proses: obeservasi, analisa, sintesa, praktek dan, observasi
lebih lanjut. Winardi, Kamus Ekonomi…, op. cit., hlm. 455-456.
424
Dimaksud berperilaku moral sama dengan mewujudkan nilai-nilai moral. K.
Berten, Etika…, op. cit., hlm. 147.
425
Menurut Paul A. Samuelson, dalam sebuah buku pegangan yang banyak dipakai
di seluruh dunia, ekonomi sebagai ilmu didefinisikan sebagai berikut: “ekonomi adalah studi
tentang cara bagaimana orang atau masyarakat menggunakan sumber daya yang langka untuk
memproduksikan komoditas-komoditas yang berharga dan mendistribusikannya di antara
157
pemahaman sumber atau acuan teori pengetahuannya. Maksudnya, tanda-tanda
di muka, prosesnya sejak nyuwita, magang dan, wisuda pada satu pola keluarga
efisiensi tujuan etos dagangnya yang sesuai (modern atau baru) pada masanya
bisa sebagai acuan tantangan pemikiran etos dagang Jawa secara regional Jawa
yaitu, suatu negara yang, dalam kenyataannya didirikan bukan oleh borjuis
pribumi, melainkan oleh borjuis imperialis asing. Negara yang semacam ini,
427
secara politik telah merdeka, namun secara ekonomi belum tentu merdeka.
orang-orang yang berbeda”. Paul A. Samuelson dan William A. Nordhaus, Economics, (New
York: McGraw-Hill, edisi ke-15, 1995), hlm. 4.
426
Dimaksud pendekatan naratif adalah, kebenaran dan kebaikan moral yang mau
dijadikan sebagai dasar acuan, tidak dibicarakan secara teoritis, melainkan dikisahkan sebagai
suatu contoh atau kasus konkret. Berdasarkan pendekatan itu bisa memahamkan apa
maksudnya keutamaan secara paling baik, bilamana bisa telah dibuktikan dengan figur
pedagang atau pebisnis yang benar-benar mempraktekkan keutamaan. K. Berten, Pengantar
Etika…, op. cit., hlm. 81.
427
Hamza Alavi, “The State in Post-Colonial Societies: Pakistan and Bangladesh”,
dalam Harry Goulbourne (ed.), Politics and State in the Third World, (London and
Basingstoke: MacMillan Ltd., 1979), hlm. xii.
158
pendekatan berdasar pada teori keutamaan (virtue)428 yang memandang tentang
sikap atau akhlak seseorang. Dimaksud pendekatan itu dalam kajian ini adalah,
tidak untuk menjawab pertanyaan suatu perbuatan tertentu pada waktu itu dari
Pemerintah Belanda atau yang lainnya tersebut di muka sebagai adil, atau jujur,
disebut sebagai orang-orang yang berwatak atau berniat berbuat atau bersikap
adil, jujur, murah hati, dan sebagainya. Kedua, jawaban dari permasalahan
sopan atau halus) bersikap baik atau hormat dan rukun terhadap stakeholders
internal dan eksternal di bidang dagang yang sesuai (modern atau baru) pada
masanya
pertama tersebut. Dimaksudkan dengan bersikap baik atau hormat terhadap apa
saja dan siapa saja ini, mengukutip dari F.M. Suseno, memiliki dua pengertian.
Pertama, bersikap baik berlaku bagi segenap makhluk yang ada, dan bersikap
428
Teori keutamaan memiliki tradisi lama sejak filsafat Yunani kuno. Dalam hal ini
tokoh besarnya adalah Aristoteles (384-322). Kadang-kadang virtue diterjemahkan sebagai
“kebajikan” atau “kesalehan”. Tetapi terjemahan lebih baik dalam bahasa Indonesia adalah
“keutamaan”, karena terjemahan itulah yang paling dekat dengan arate yang dipakai
Aristoteles dan seluruh tradisi filsafat Yunani. Keutamaan bisa didefinisikan sebagai berikut:
disposisi (kecenderungan tetap) atau sifat watak yang ditandai stabilitas (etos) yang telah
diporoleh seseorang dan memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik secara moral. Teori
keutamaan tidak menyoroti perbuatan, tetapi memfokuskan pada seluruh manusia sebagai
pelaku moral. Tidak ditanyakan “what should he/she do ?”, melainkan: “what kind of person
should he/she be?”. Maksudnya, tidak ditanyakan: apakah suatu perbuatan tertentu adil, atau
159
hormat hanya berlaku bagi manusia sebagai person,429 termasuk sebagai sikap
hormat terhadap diri sendiri. Kedua, inti motivasi dan maksud bersikap baik
atau hormat terhadap apa saja adalah merasa wajib bertanggung jawab untuk
untuk bersikap baik atau hormat terhadap siapa saja (sesama manusia) melalui
bersikap rukun demi keadilan berlakunya juga bersifat prima facie.431 Acuan
baru) baik dalam perilaku etisnya (tata kramanya) dan eksistensi manusiawi
dengan makna etisnya keutamaan Jawa seperti dalam kalimat dalam tut wuri
handayani.
jujur, atau murah hati, melainkan: apakah orang itu bersikap adil, jujur, murah hati, dan
sebagainya. Ibid., hlm. 74. Lihat juga K. Bertens, Etika…,op. cit., hlm. 217.
429
Dimaksud manusia sebagai person adalah, manusia wajib untuk selalu
memperlakukan diri sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri yaitu, pusat
berpengertian dan berkehendak, yang memiliki kebebasan dan suara batin atau makhluk
berakal budi. Maka, sebagai itu manusia tidak pernah boleh dianggap sebagai sarana semata-
mata demi suatu tujuan saja, jadi nilainya bukan sekedar sebagai sarana untuk mencapai suatu
maksud atau tujuan yang lebih jauh. Hal itu juga berlaku bagi diri kita sendiri. Franz Magnis
Suseno, Etika Dasar…, op. cit., hlm.133-135.
430
Bersifat prima fice dalam hal ini berarti, Bersikap tahu diri atau eling ini
mengimplikasikan maksud, menyadari (dalam rasa) sebagai warga ekosistem bumi, sebagai
bagian masyarakat dan alam maka tidak merusakkan melainkan memperindah dan atau
menjaga keselamatannya. Karenanya, “aja mitunani wong liya: jangan merugikan orang lain”
artinya jangan melakukan sesuatu demi diri kita sendiri yang mengganggu atau merugikan
lingkungan, membahayakan orang lain dan atau mengurangi kualitas hidup generasi-generasi
yang akan datang. Franz Magnis Suseno, Etika Dasar…, op. cit., hlm. 136. Lihat juga Franz
Magnis Suseno, Kuasa…, op. cit., hlm. 168.
431
Menurut K. Bertens, hormat terhadap hak setiap manusia pada dasarnya bersifat
prima facie. Para ahli etika mengatakan bahwa kebanyakan hak adalah hak prima facie atau
hak pada pandangan pertama, artinya, hak itu berlaku sampai dikalahkan oleh hak lain yang
lebih kuat (karena pertimbangan alasan suatu nilai yang lebih penting). Dengan kata lain,
kebanyakan hak tidak bersifat absolut. K. Bertens, Etika…, op. cit., hlm. 189.
160
Mencermati penjelasan tersebut maka penentu mutu (kualitas) moral
sebagai karakteristik kebaikan tindakan melalui bersikap baik atau hormat bagi
apa saja dan bersikap baik atau hormat terhadap siapa saja (tata krama Jawa)
ini, mengutip dari F.M. Suseno, tidak tergantung pada apakah tujuan tindakan
itu tercapai atau tidak. Hasil tindakan tidak menentukan mutu moral tindakan
itu. Melainkan, yang menentukan mutu moralnya adalah motivasi dan maksud
diperjelas perbedaan antara maksud dan motivasi sebagai suatu tatanan nilai
satu pihak bersifat obyektif, sedang dalam motivasi (motive) bersifat subyektif
dasar sikap batin (rasa) menjadi kebiasaan perbuatan etis (perilaku etis) kita.433
432
Lihat Franz Magnis Suseno, Etika Dasar…, op. cit., hlm. 123.
433
Dimaksud penjelasan itu dikaitkan dalam konteks dagang adalah, laba
(keuntungan) tidak sebagai satu-satunya maksud dalam dagang. Maksud dagang adalah
menyediakan produk atau jasa yang bermanfaat bagi masyarakat. Keuntungan hanya sekedar
motivasi untuk mengadakan aktivitas dagang. Ronald Duska,”The Why’s of business
161
Karenanya, cara bersikap baik atau hormat dan rukun terhadap apa saja dan
siapa saja sebagai tata krama Jawa yang sesuai (modern atau baru) tersebut,
dari K. Bertens, tidak selalu pasti ada kaitan atau kepadanan timbal balik baik
antara hak dan kewajiban atau kewajiban tidak selalu perlu dikaitkan dengan
hak, bisa juga kewajiban dikaitkan dengan tanggung jawab, karena, tanggung
walaupun terlepas dari pada pengertian hak legal.434 yaitu sebagai salah satu
bagian tanggung jawabnya dalam hak sosial.435 Artinya, hak yang disadari
hak-hak sesama manusia dan tidak pernah melanggar ha-hak itu belum tentu
hak sesama adalah tuntutan etis yang sangat diperlukan. Mutu moral seseorang
revisited”, dalam Journal of Busines Ethics, Vol. 16, No. 12, 13 September 1997, hlm. 1402-
1406.
434
Hak legal artinya hak yang didasarkan atas hukum dalam salah satu bentuk
misalnya, undang-undang, peraturan hukum atau dokumen legal lainnya. Orang yang sudah
meninggal, misalnya, jelas tidak mempunyai hak legal lagi. Tetapi tidak mustahil bagi
seseorang atau tradisi dan budaya masyarakat tertentu tetap memiliki keyakinan diwajibkan
bertanggung jawab terhadapnya. Misalnya, untuk menjaga nama baiknya. Dalam etika
kedokteran menjadi keyakinan umum bahwa rahasia medis harus disimpan juga jika pasien
telah meninggal. Walaupun di sini tidak bisa timbul lagi masalah hak, namun itu tidak berarti
bahwa dengan seenaknya orang boleh menjelekkan namanya atau membuka rahasianya. Jika
saya berbuat demikian, kelakuan saya itu pasti tidak etis, biarpun di sini tidak dilanggar hak
dalam arti yang sebenarnya. Ibid., hlm. 207.
435
Hak-hak sosial artinya hak-hak yang dimiliki manusia bukan kaitannya terhadap
negara, melainkan justru sebagai anggota masyarakat bersama dengan anggota-anggota lain.
Misalnya, hak pekerjaan, hak atas pendidikan, hak atas pelayanan kesehatan, hak dihormati
dalam pergaulan dan lain-lain. Hak-hak ini semua bersifat positif. Ibid., hlm. 188.
162
akan hancur berantakan, kalau tuntutan itu tidak dipenuhi, namun pengakuan
hak itu tidak lebih dari pada suatu tuntutan minimum etis saja. Seandainya
etika disamakan dengan teori hak begitu saja, berarti membatasi etika sampai
suatu tahap minimalistis. Etika yang sebenarnya jauh lebih luas, orang yang
sungguh-sungguh baik secara etis tidak akan membatasi diri pada pengakuan
437
hak saja.
tidak kalah penting dalam menentukan kualitas moral manusia, yaitu perbuatan
yang melampaui hak dan kewajiban seseorang tetapi dinilai sangat terpuji jika
ia melakukan, dan tidak ada orang yang mencelanya jika tidak melakukannya.
dituntut. Orang tersebut bahkan bisa dianggap sebagai kudus atau pahlawan.438
sosial tindakan moral Sri Mangkuneagara IV sebagai salah satu filosof Jawa
436
Ibid., hlm. 196.
437
Dalam rangka mempelajari mutu (kualitas: exellenncy) moral perbuatan-
perbuatan manusia, teori-teori etika biasanya membedakan tiga kategori perbuatan. Pertama,
ada perbuatan yang sebagai kewajiban begitu saja dan harus dilakukan misalnya, kita harus
mengatakan yang benar, harus menghormati privacy (kebebasan, keleluasaan pribadi)
seseorang, dan sebagainya. Kita menjadi baik secara moral, jika melakukannya. Kedua,
perbuatan-perbuatan yang dilarang secara moral dan tidak boleh dilakukan misalnya, tidak
boleh berbohong, mengingkari janji, membunuh sesama manusia, dan seterusnya. Kita menjadi
buruk secara moral bila melakukannya. Ketiga, ada perbuatan yang dapat diijinkan dari sudut
moral, dalam arti tidak dilarang dan tidak diwajibkan. Seperti, main catur di waktu senggang,
nonton TV di luar waktu kerja, dan seribu satu kegiatan lain yang mengisi kehidupan kita
setiap hari. Perbuatan terakhir ini adalah netral dari sudut moral atau amoral dalam arti tidak
baik dan tidak buruk juga. Kategori perbuatan ketiga ini dianggap sama luasnya dengan
perbuatan yang tidak termasuk kategori pertama dan kedua. Dan dengan demikian kategorisasi
perbuatan dari sudut pandangan moral dianggap sudah selesai. Ibid., hlm. 226.
438
Ibid.,hlm. 227.
163
dengan pola pemikiran pasca-rasional dan infentivitas yang pragmatis, seperti
telah dikaji dan dipahami di muka. Hal itu antara lain (sebagai salah satu tanda
dikutip dari H.R. Soetono, sebagai berikut: “Mengapa saya ingin mengatur
pendapatan atau hasil anggota Keraton dan para pejabat, karena saya
berkewajiban menggaji mereka dan bukan pada apanage (para penyewa tanah
perkebunan), merupakan kelanjutan usaha saya yang wajib dan atau harus
hal itu maka perlu segera ditambahkan bahwa, obyektifikasi atau konkretisasi
motivasi dan maksudnya bersikap baik atau hormat dan rukun demi keadilan
terhadap apa saja dan siapa di muka, cakupan kualitas moralnya daalam etos
pemikiran Sri Mangkunegara IV, tidak terbatas pada kata kewajiban dan atau
439
Salah satu tanda orang berkualitas moral super-erogatoris, sebagai orang yang
kudus atau pahlawan etis sesudah perbuatannya menegaskan:”saya hanya melakukan yang
harus saya lakukan” atau “saya hanya melakukan kewajiban saya”. Bisa saja itu sebagai
ungkapan sikap rendah hati (andhap asor) atau barangkali ia sungguh merasa bahwa baginya
tidak ada pilihan lain untuk melakukan perbuatan dalam situasi konkret itu, atau barangkali ia
mengalami suatu kewajiban subyektif yang diperintahkan oleh hati nuraninya tetapi secara
obyektif tidak ada kewajiban. Ibid., hlm. 230-231.
440
H.R. Soetono, Timbulnya Kepentingan…, op. cit., hlm. 14.
441
Dimaksud etika keadilan adalah etika dengan kata-kata kunci seperti hak,
kewajiban, kontrak, fairness, ketimbalbalikan dan, otonomi. Ia bertolak dari pandangan
individu atomistik di mana orang dilihat sebagai individu yang secara “rasional” (artinya,
berdasarkan kepentingannya sendiri) dan “otonom” memutuskan sikap dan kelakuannya, lepas
dari ketertanamannya dalam alam nilai, pandangan dunia dan kepercayaan-kepercayaan
normatif (dunia kehidupan) sebuah komunitas tertentu. Secara filosofis, etika keadilan berlatar
belakang pencerahan, liberalisme, kosmopolitanisme dan, kontraktarianisme (pandangan
bahwa negara berdasarkan perjanjian yang dipakai sebagai kerangka pahamnya tentang
164
Obyektifikasi atau konkretisasi transformasi sosial tindakan-tindakan
hormat dan rukun sebagai tata krama Jawa yang sesuai (modern atau baru) bagi
adat istiadat ritual slametan, seni, satra dan politik, telah dijelaskan di muka.
Karenanya, kedalaman motivasi dan maksud tata krama Jawa modern itu juga
tujuan etos dagangnya443 yang sesuai (modern atau baru) pada masanya.
keadilan misalnya sebagai fairness. Franz Magnis Suseno, Pijar-pijar Filsafat dari Gatholoco
ke Filsafat perempuan dari adam Muller ke Postmodernisme, (Yogyakarta: Kanisius, 2005),
hlm. 238.
442
Maksud etika kepedulian berlawanan dengan etika keadilan. Etika kepedulian
bersifat kontekstual dan situasional, berfokus pada orang konkret dan kebutuhannya, orang
dilihat dalam rangka suatu hubungan personal dan sosial, dengan hubungan-hubungan
kesalingtergantungan dan keterlibatan emosional. Sikap-sikap yang ditegaskan adalah peduli
pada sesama, empati, hubungan konkret antarorang daripada sistem-sistem peraturan. Orang
dilihat dalam ketertanaman dalam sebuah konteks sosial tertentu dan bukan sebagai sebatang
kara (people standing alone). Kalau etika keadilan berfokus pada tindakan, maka etika
kepedulian menegaskan bahwa kemampuan untuk menunggu, kesabaran, kemampuan untuk
percaya pada orang lain, untuk mendengarkannya merupakan sikap-sikap yang sama saja
kunci dalam keseluruhan dimensi moral. Ibid., hlm. 239.
443
Sekedar sebagai contoh dimaksud yang dikehendaki dalam pemikiran Sri
Mangkunegara IV itu seperti implisit dalam ungkapannya sebagai berikut: ”…wruhanta sagung
pakerti, kabeh donya puniki, tan ana prabedanipun, kang dagang neng lautan, miwah ingkang
among tani, suwana kang suwita ing narendra…, lakone padha kewala, awit iku dadi margi,
mrih katekaning kapti…, nanging sarananira, mantep temen lan taberi…, kang kalebu
pangabekti, nora sembahyang kewala, kang dadi parenging Widhi, sakeh panggawe becik, kang
manteb suci ing kalbu, uga dadi panembah, yen katriman iku sami, sinung rahmat samurwate
badanira”. Terjemahan: “…ketahuilah semua pekerjaan, yang ada di dunia ini, tak ada bedanya,
yang berdagang di lautan, dan yang mengerjakan sawah (sebagai petani), serta yang mengabdi
kepada raja,… nilainya sama saja, karena itu menjadi jalan, agar tercapai tujuannya,… tapi
persyaratannya, mantap siap dan rajin,… yang termasuk dalam pengabdian, tidak hanya
sembahyang saja, yang menjadi kehendak Tuhan, semua perbuatan baik, dilaksanakan dengan
165
etos dagangnya tersebut berarti tiga. Pertama, di satu sisi berkualitas moral
sebagai suatu sistem kemampuan infentivitas yang pragmatis yaitu dalam etos
dagangnya melalui tata krama Jawa yang sesuai (modern atau baru) pada
masanya yang hidup dalam kondisi kolonial. Kondisinya atau keadaan tersebut
jika ditinjau dari sudut etika dan ilmu ekonomi bisa dikategorikan sebagaimana
dimaksud etika pasar bebas444 atau seperti dalam era globalisasi ekonomi.445
mantap, juga merupakan pengabdian/ibadah, bila semua itu diterima, mendapat rahmat bagi
dirimu. KG PAA Mangkunegara IV, Serat Wira…, op. cit., hlm. 8-11.
444
Istilah etika pasar bebas sama dengan “pasar sempurna” maksudnya adalah,
pasar di mana kompetisi berjalan dengan sempurna. Dalam situasi itu tidak dibutuhkan
ditegakkannya rambu-rambu moral karena kepentingan-kepentingan pribadi masing-masing
orang secara sempurna sesuai dengan kepentingan sosial seluruh masyarakat. Di situ semuanya,
menurut Adam Smith, akan diatur atau dibimbing oleh semacam invisible hand (suatu tangan
yang tak-kelihatan). Mekanisme pasar dalam pasar sempurna atau etika pasar bebas berjalan
dengan sendirinya atau seperti sistem computer. Setiap orang mengejar kepentingan diri yang
selalu sejalan dengan kepentingan-diri dari piahk lainnya (sosialnya). Semua orang mengambil
keputusan rasional yang selalu cocok dengan keputusan rasional yang tepat dari orang lain.
Pertimbangan-pertimbangan moral tidak berperan di situ. Moralitas baru diperlukan bila pasar
gagal atau mempunyai kekurangan-kekurangan. Ibid., hlm. 139.
445
Dimaksud era globalisasi ekonomi adalah, kegiatan ekonomi mencakup seluruh
dunia, sehingga hampir semua negara tercantum dalam “pasar” sebagaimana dimengerti
sekarang dan merasakan akibat pasang surutnya pasar ekonomis. Ibid., hlm. 347. Searah
dengan maksud tersebut, dalam hal ini Suyatno Kartodirdjo menjelaskan, berbagai studi sejarah
ekonomi dan sejarah sosial abad ke 19 di Indonesia umumnya atau pulau Jawa khususnya
menunjukkan bahwa pelaksanaan Sistem Tanam Paksa telah mendorong kembali suatu
pertumbuhan yang mantap di bidang ekspor. Jawa semakin mantap terlibat dalam perdagangan
global atau international. Suyatno Kartodirdjo, Relevansi Studi Tanam Paksa Bagi Sejarah
Ekonomi Indonesia, dalam Robert van Niel, Sistem Tanam Paksa…, op. cit., hlm. ix.
446
Menurut F.M. Suseno, dimaksud pasca-konvensional sama dengan kematangan
sikap pribadi berkesadaran pasca-rasional (sebagai orang yang secara moral dewasa) sama
dengan dalam filsafat Jawa disebut rasa. Ia sudah mantap dalam ketekadan untuk selalu
memilih yang baik dan benar. Ia tidak dangkal dan atau tidak kacau jiwanya maka ia sanggup
bertindak semata-mata dengan melihat tanggung jawabnya. Franz Magnis Suseno, etika
Dasar…, op. cit., hlm. 67-82. Orang berkualitas moral tingkat pasca-konvensional berarti,
baik-buruk dalam arti moral tidak lagi dipahami sebagai penyesuaian dengan masyarakat
tradisional, dengan konvensi-konvensinya, melainkan semata-mata mengacu pada prinsip-
166
hidup dalam realitas sosial masyarakat Jawa yang dalam kondisi masyarakat
dan etika terapan bagi tiga makna etis448 eksistensi manusiawi dan keutamaan
Jawa. Pertama, cara bersikap baik atau hormat dan peduli terhadap apa saja
(alam atau dunia) selain manusia sebagai lingkungan hidup alamiahnya. Cara
prinsip obyektif (prinsip-prinsip dasar moralnya). Nilai-nilai diyakini bukan karena diyakini
oleh kelompok, melainkan karena ia sendiri yakin. Karenanya, ciri khas sikap pribadi tingkat
pasca-konvensional antara lain pertama, moralitas (nilai-nilai moral) kelompok dan atau
masyarakat sendiri dapat dipertanyakan secara kritis. Dalam bersikap martabat setiap pribadi
sebagai persona disadari dan diakui kewajiban mutlak untuk selalu memperlakukan siapa saja
sesuai dengan martabatnya sebagai manusia. Kedua, ia mencapai identitas berdasarkan
keakuannya sendiri (ego-identity) di mana ia tidak lagi sekedarnya ditentukan oleh perasaan
fisik (identitas alami) atau mendasarkan diri seluruhnya pada peran yang diharapkan
masyarakat darinya (identitas peran). Melainkan berdasarkan sikap-sikap yang diambilnya
sendiri sesuai dengan apa yang dinilainya sebagai baik, tepat (benar) dan wajib. Franz Magnis
Suseno, 12 Tokoh Etika…, op. cit., hlm. 161-164.
447
Dimaksud dengan dalam kondisi masyarakat pluralis pasca-tradisional oleh
F.M. Suseno dinyatakan sebagai berikut: “Saya mempunyai sebuah motivasi pikiran dan
sebuah intuisi dasar… Pikiran motivatif saya ialah, rekonsiliasi modernitas yang terpecah
sendiri, jadi pikiran bahwa, tanpa mengorbankan perbedaan-perbedaan yang telah
memungkinkan modernitas baik dalam medan cultural maupun sosial dan ekonomis,
ditemukan bentuk-bentuk hidup bersama di mana otonomi sungguh-sungguh berdamai dengan
bergantungan. Maksudnya, bahwa orang dapat berjalan tegak dalam kebersamaan yang tidak
mengacu pada kebersamaan-kebersamaan inter-substansial yang terarah ke belakang, yang
meragukan. Intuisi berasal dari bidang pergaulan dengan orang lain, intuisi itu terarah pada
pengalaman-pengalaman inter-subyektivitas yang utuh,…sebagai jaringan hubungan
intersubyektif yang memungkinkan kaitan antara kebebasan dan ketergantungan sebagaimana
selalu hanya dapat dibayangkan dengan model-model interaktif. Di mana saja bayangan-
bayangan ini muncul… sebagai bayangan-bayangan selalu mengenai interaksi yang berhasil.
Saling berhadapan dan adanya jarak, kejauhan dan kedekatan yang berhasil, yang tidak gagal,
yang mudah terluka dan saling bersikap halus. Semua gambar pengayoman, keterbukaan dan
belas kasihan, penyerahan diri dan perlawanan muncul dari cakrawala pengalaman hidup
bersama yang ramah… Keramahan itu tidak berarti bahwa tidak ada konflik, melainkan yang
dimaksud adalah bentuk-bentuk human (yang manusiawi) di dalamnya orang dapat survive
dalam konflik”. Ibid., hlm. 236.
448
Dimaksud makna etis adalah, asas-asas dan nilai-nilai tentang yang diyakini baik
dan buruk, yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat, sering kali tanpa disadari,
167
kualitas moralnya dalam suatu struktur pemikiran manajemen stakeholders-
dalam kesadaran batinnya (rasa-nya atau suara batinnya) sumber makna etis
bersikap baik atau hormat dan bersikap peduli tersebut berdasarkan pada hak
449
moralnya baik yang legal atau sebagai hak konvensional ). Tanggung jawab
tersebut hak tersebut juga diyakini dalam kesaran rasa-nya sebagai yang sesuai
bagi makna etisnya keutamaan Jawa dalam kalimat mamayu ayuning bawana.
Kedua, begitu juga, namun dengan cara bersikap baik atau hormat dan
rukun atau bersikap peduli khusus terhadap sesama manusia. Acuan motivasi
dan maksudnya pada makna etis yang sesuai (cocok) baik dengan eksistensi
keutamaan Jawa dalam kalimat tutwuri handayani. Ketiga, dua pola tata krama
Jawa modern itu sebagai suatu sistem obyektifikasi atau konkretisasi motivasi
dijadikan bahan refleksi dalam suatu penelitian sistematis dan metodis. K. Bertens, Etika…, op.
cit., hlm. 6.
449
Hak konvensional artinya, hak-hak yang tidak bersifat legal ataupun moral. Ibid.,
hlm.181. Maksudnya di sini, mengutip F.M. Suseno, orang menaati hukum bukan karena itu
hukum, melainkan karena hukum dipahami sebagai hasil perjanjian tak-tertulis antara “aku” dan
masyarakat atau sebagai perjanjian sosial (seperti adat istiadat atau tradisi pergaulan atau
berbagai kegiatan di lingkungan sosialnya). Nilai dasar dalam hak konvensional ini adalah
fairness. Fairness berarti, bahwa dalam kerja sama dalam mayarakat kita-pun memberikan
sumbangan kita. Maka hak orang, termasuk hak-hak asasi manusia wajib, ditaati. Apa yang
disepakati secara demokratis harus dijalankan. Orang berkesadaran dalam hak konvensional ini
tetap terikat pada kelompoknya dan negaranya, tetapi sekaligus ia mampu melihatnya secara
kritis. Maksudnya misalnya, pemerintah wajib ditaati, tetapi tidak mutlak. Apabila pemerintah
bertindak tidak moral misalnya, maka haknya atas ketaatanku padanya runtuh. Kesadaran
dalam hak konvensional ini orang, karena cinta pada bangsanya, seperlunya menentang
pemerintah. Franz Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika…, op. cit., hlm. 159-160.
168
Pertama, sebagai sistemnya tiga karakteristik inti konsep sistem nilai-
IV yaitu, yang realistis dan rasional, berjuang bersama tanpa kekerasan, sesuai
Kesesuaiannya dalam tiga makna etis yang menusiawi tersebut dimaksud demi
efisiensi tujuan etos dagangnya yang sesuai (modern atau baru) pada masanya
tersebut atau sebagai kerangka acuan tantangan pemikiran etos dagang Jawa
pada umumnya (audit sosial) baik secara regional Jawa Tengan atau Nasional.
Analisa dan pemahaman tata krama Jawa modern dimaksud pada yang pertama
Acuan dasar asas atau prinsip motivasi dan maksudnya cara bersikap
baik atau hormat dan peduli ini berdasarkan pendapat, bahwa semua hubungan
dalam masyarakat Jawa teratur secara hirarkis. Keteraturannya itu bernilai pada
dirinya sendiri dan oleh karena itu orang wajib untuk mempertahankannya serta
untuk membawakan diri sesuai dengannya. Namun karena kewajiban dalam hal
itu begitu ditekankan, maka situasi yang menuntut dalam tata krama ini sering
169
menimbulkan tekanan emosional berat. Dimaksud dengan “berat” bagi kajian
ini, bukan sebatas agar bisa merasa lebih bersifat wedi, isin, atau sungkan.450
satu kesatuan kesadaran dalam motivasi dan maksud yang ditunjukkan melalui
terhadap tuntutan-tuntutan dalam sikap baik atau hormat, maka perilaku yang
kurang hormat menimbulkan rasa tidak enak. Ngerti isin (tahu malu), sungkan,
dan rukun merupakan satu kesatuan sikap baik atau hormat (tata krama Jawa).
Orang yang telah mengerti atau mampu menunjukkan kapan dan bagaimana
perasaan-perasaan itu diungkapkan dalam berbagai sikap moral yang baik atau
hormat yang sesuai (cocok) dalam realitas dunia kehidupan atau lingkungan
sosialnya berarti, orang itu telah mencapai keadaan yang dicita-citakan oleh
orang Jawa pada umumnya disebut nJawani. Maksudnya, menjadi orang Jawa
450
Wedi berarti takut, baik sebagai reaksi terhadap ancaman fisik maupun sebagai
rasa takut terhadap akibat kurang enak suatu tindakan. Isin berarti malu, juga dalam arti malu-
malu, merasa bersalah, dan sebagainya. Isin dan sikap hormat merupakan suatu kesatuan
Sungkan adalah malu dalam arti yang lebih positif. Berbeda dengan rasa isin, perasaan sungkan
bukanlah suatu rasa yang hendaknya dicegah. Sungkan bisa digambarkan sebagai rasa hormat
yang sopan terhadap atasan atau sesama yang belum dikenal, atau sebagai “pengakuan halus
terhadap kepribadian sendiri demi hormat terhadap pribadi lain. Hilderd Gertz, The Javanese
Family…, op. cit., hlm. 113-117. Lihat juga di sini dalam halaman 259.
451
Merasa bersalah berbeda dengan merasa isin (malu). Rasa bersalah pada
dasarnya tidak tergantung dari apa ada orang yang mengetahui kesalahannya atau tidak. Rasa
itu mengungkapkan keinsyafan seseorang bahwa, ia tidak melakukan kewajibannya, bahwa ia
menggagalkan sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Jadi rasa bersalah memandang apa
yang dilakukan. Sedang merasa isin (malu) hanya mungkin terhadap seorang penonton dan jika
isin (malu) pada diri sendiri maka kita sendirilah penontonnya. Rasa malu timbul kalau orang
lain mengetahui atau melihat apa yang mau saya sembunyikan, entah karena itu suatu
kesalahan, atau tidak pantas dilihat. Jadi rasa malu bahkan tidak mengandaikan kesalahan sama
sekali. Lihat Franz Magnis Suseno, Etka Umum…, op. cit, hlm. 68.
170
dewasa dan berbudaya yaitu, tahu bagaimana membawakan diri, sehat, dan
hormat dan peduli terhadap apa saja sebagai tata krama Jawa modern pada
sisi dengan etiket453 dan etika keadilan serta etika kepedulian di sisi lainnya.
norma bagi perilaku atau tindakan manusia dan dengan demikian menyatakan
Bedannya dengan etiket, yang pertama, dimaksud tata krama Jawa ini
baik atau hormat dan peduli terhadap apa saja berdasarkan pada kesadarannya
makna etisnya tiga keutamaan Jawa di muka. Karenanya, tidak sama dengan
dimaksud etiket (perilaku lahiriah) yang dari luar sangat sopan dan atau halus
sekaligus yang menentukan kualitas moral sikap baik atau hormat dan
pedulinya (tata krama Jawa) yang sesuai (modern atau baru), di satu pihak pada
452
Ibid., hlm. 152.
453
Ciri khas pengertian etiket antara lain, menyangkut cara berbuat yang diharapkan
serta ditentukan dalam suatu kalangan tertentu, hanya berlaku dalam pergaulan, bersifat relatif
dan, hanya memandang manusia dari segi lahiriah. K. Bertens, Etika…, op. cit., hlm. 9-10.
171
masanya dan dengan makna etis manusiawi atau makna spiritual internalnya.
acuan dasar sikap etis (perilaku etis) yang harus dilakukan dan atau yang tidak
keberlakuannya dalam kehidupan sosial bukan karena dilihat atau tidak dilihat
keinsyafan diri atau refleksi diri bermetode refleksi kritis dalam rasa (suara
batin) yang, di satu sisi sebagai sumbernya fenomen kesadaran moralnya dan
dengan sikap pedulinya ini searah dengan maksud F.M Suseno, sebagai sikap
baik atau hormat terhadap apa saja dan siapa saja. Menurutnya, kiranya tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa sikap hormat merupakan sikap yang berharga
bagi masa depan bangsa Indonesia. Sikap hormat terhadap apa saja yang ada
arah kejujuran dan sikap bakti nyata terhadap masyarakat. Menurutnya, dalam
sikap itu terkandung ajaran atau anjuran agar bersikap menahan diri, toleransi,
tidak mau memaksakan tentang sesuatu, menerima dengan simpati hukum dan
irama perkembangan dari apa yang ada. Sikap hormat tersebut juga merupakan
454
Ibid., hlm. 11.
172
semangat umat manusia mencapai prestasi-prestasi tertinggi dalam bidang ilmu
hormat dan peduli terhadap apa saja sebagai tata krama Jawa modern tersebut
di muka, di satu sisi merupakan ungkapan atau obyektifikasi etos (watak yang
stabil atau suatu disposisi artinya, kecenderungan tetap atau sifat baik yang
Mangkunegara IV yang sesuai (modern atau baru) baik dalam pandangan dunia
dan hidup Jawa yang pada masanya hidup dalam kondisi kolonial atau dalam
edisiensi tujuan etos dagangnya yang sesuai (modern atau baru) pada masanya
tersebut. Sistem struktur pemikiran itu, di sisi lainnya juga memiliki kedalaman
motivasi dan maksudnya searah dengan makna etisnya keutamaan moral Jawa
dengan merasa berkewajiban moral agar jangan merugikan orang lain (aja
455
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa dalam…, op. cit., hlm. 58-59.
173
mitunani wong liya). Kedua, dalam pendekatan itu merasa bertanggung jawab
secara moral untuk wajib bersikap ngemong (tahu diri atau eling) sebagai sikap
adil dan peduli terhadap sesamanya (stakeholders) demi efisiensi tujuan etos
misalnya merasa senang atau bahagia dalam sikap saling kasih (tresno).
Bisa juga dikatakan, dua inti semangat bagi motivasi dan maksudnya
tersebut dalam aktivitas dagang,458 merupakan kesatuan dasar sikap baik yang
approchnya demi efiseinsi tujuan etos dagangnya. Efisiensi tujuannya itu yang
(para stakeholders yang internal dan eksternal460) pada masanya tersebut. Para
456
Lihat penjelasannya dalam halaman 355, foot note nomor 824.
457
Lihat penjelasannya dalam halaman 356, foot note 825
458
Dimaksud dengan aktivitas dagang adalah orang yang terlibat dalam bisnis
(dagang) seperti, pembeli, penjual, produsen, manajer, pekerja dengan moralitasnya masing-
masing. Ibid., hlm. 379.
459
Dasar sikap baik yang hakiki atau terpenting dalam dagang ialah jangan
merugikan kepentingan orang lain. Maksudnya, janganlah dagang sampai menjadi pekerjaan
kotor. Karenanya, dalam dagang harus disertai dengan bersikap tahu diri (eling) dan makanya
harus memperhatikan rambu-rambu moral atau etika. Teori perhatian semestinya dalam bahasa
Inggris disebut the due care theory. Kata “perhatian” dipahami sebagai perhatian efektif yang
bersedia mengambil tindakan seperlunya. Norma dasar yang melandasi dalam teori perhatian
semestinya ini adalah bahwa seseorang tidak boleh atau jangan merugikan orang lain dalam
kegiatannya. Teori tersebut tidak memfokuskan pada kontrak sosialnya dalam persetujuan
antara konsumen dan produsen saja, melainkan terutama kualitas produk serta tanggung jawab
produsen atau pedagang. Karena itu tekanannya bukan pada hak legal atau hukum saja,
melainkan pada etika dalam arti luas. Motto yang berlaku bagi teori perhatian semestinya ini
bukan caveat emptor (“hendaklah si pembeli hati-hati”), melainkan caveat venditor
(“hendaklah si penjual berhati-hati”). Norma dasar “tidak merugikan” ini dapat diterima atau
memiliki kesesuaian baik dalam arti teori etika deontologi, teori hak, utilitarisme, maupun juga
dalm teori keadilan, maka teori perhatian semestinya memiliki basis etika yang teguh. K.
Bertens, Pengantar Etika…, op. cit., hlm.236-237.
460
Stakeholders internal maksudnya pihak yang perkepentingan sebagai “orang
dalam” dari suatu perusahaan yaitu, orang atau instansi yang secara langung terlibat dalam
174
stakeholders merasa diperhatikan semestinya dengan cara bersikapnya seperti,
(perpaduan teori etika keadilan dengan etika kepedulian). Identifikasi hasil atau
etisnya itu adalah, adanya suasana hubungan dialektis dalam satu komunikasi
kerja sama yang terjalin dengan semangat sikap saling kasih atau tresno
Penjelasan dua inti semangat dalam tata krama Jawa modern sesuai
dengan etika keadilan dan kepedulian dalam teori perhatian semestinya dan dua
175
etika dan ilmu ekonomi pada masa Sri Mangkunegara IV tersebut di muka
bebas dan era globalisasi ekonomi, maka memerlukan acuan teori perhatian
semestinya yang sesuai (modern atau baru) baik dengan efisiensi tujuan etos
dagangnya dan bagi masanya dari segi etika dan ilmu ekonomi tersebut.
melalui cara bersikap baik atau hormat seperti maksud etika keadilan dan
kepedulian terhadap apa saja dan siapa saja diharapkan sebagai acuan teoritis
etis (berperilaku sopan dan halus atau tidak kasar) terhadap stakeholders-nya
dalam efisiensinya tujuan etos dagangnya yang sesuai (modern atau baru) pada
masanya tersebut.
etos pemikiran Sri Mangkunegara IV, maka mengandung dua implikasi sebagai
mutu atau kualitas moral dalam motivasi dan maksudnya efisiensi. Pertama,
462
Dimaksud efisiensi kerja adalah perbandingan terbaik antara sesuatu kerja (usaha)
dengan hasil yang dicapai. Yang dimaksud dengan kerja adalah keseluruhan pelaksanaan
kegiatan-kegiatan (aktivitas atau tindakan) jasmaniah dan rohaniah yang dilakukan oleh
seseorang untuk mencapai tujuan tertentu, khususnya yang berhubungan dengan kelangsungan
hidupnya. The Liang Gie, Cara Bekerja Efisien, (Yogyakarta: Supersukses, 1982), hlm. 7.
Konsepsi tentang efisiensi kerja itu dapat diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan sejak
dari pribadi yang bersifat perseorangan sampai dengan lapangan pekerjaan yang luas dalam
bermasyarakat. The Liang Gie, Administrasi Perkantoran Modern, (Yogyakarta: Nur Cahaya,
1983), hlm. 259. Dimaksud perbandingan terbaik dalam kerja itu, sama dengan sebagaimana
yang dijelaskan dan diterapkan (kerja atau usaha) dalam bidang dagang di muka. Lihat
penjelasan dalam halaman 356 foot note nomor 825-826.
176
dagangnya tersebut. Kedua, mengandung acuan teoritis tentang asas, pedoman
dan atau semuanya merasa senang (bahagia). Efisiensi tujuan etos dagangnya
dalam arti yang ketiga itu kiranya, di satu sisi sebagai cita idealnya etos dagang
Jawa dalam pemikiran Sri Mangkunegara IV. Cita ideal itu di sisi lainnya juga
diharapkan sebagai kerangka acuan tantangan pemikiran etos dagang Jawa baik
pada masanya atau pada umumnya (audit sosial) secara Regional Jawa Tengah
atau Nasioanal dengan tiga karakteristiknya inti konsep sistem nilai-nilai moral
budaya Jawa tradisional di muka atau dengan makna etisnya keutamaan Jawa
dalam tiga kalimat yaitu, mamayu ayuning bawana, tut wuri handayani dan,
atau pemahaman pandangan dunia dan hidup Jawa oleh kaum abangan (priyayi
dan ong cilik) melalui tata krama dan nilai-nilai moral budaya tradisionalnya
atau dengan makna etisnya keutamaan Jawa dalam tiga kalimatnya tersebut di
muka. Berikut ini analisa bagi obyektifikasi atau konkretisasi pandangan atau
463
Asas adalah suatu dalil umum yang harus pula dinyatakan dalam istilah-istilah
umum dengan tanpa menyarankan cara-cara khusus yang diperlukan untuk melaksanakannya.
Pedoman adalah perumusan secara garis besar mengenai sesuatu cara melaksanakan
sebagaimana dimaksud dalam asas tersebut. Pelaksanaan merupakan susunan cara-caranya
sebagai keseluruhan tindakan itu bagaimana dilakukan. The Ling Gie, Efisiensi Kerja Bagi…,
op. cit., hlm. 55.
177
kalimat mamayu ayuning bawana kaitannya dengan demi efisiensi tujuan etos
dagang Jawa baik pada masanya Sri Mangkunegara IV atau etos dagang Jawa
Mulder, menjadikan negeri (Indonesia) ini sebuah tempat yang lebih baik dan
menunjukkan pada suatu sikap mendalam mentalitasnya orang Jawa yang mau
menghormati alam atau dunia, sama dengan mau bersikap baik atau hormat
terhadap apa saja dengan penuh simpati. Sikap mendalamnya mamayu ayuning
Ibarat simpati seorang istri yang tidak mencampuri urusan suaminya, tetapi
kalimat mamayu ayuning bawana berarti dua. Pertama, motivasi dan maksud
sikap etisnya orang dan atau masyarakat Jawa terhadap lingkungan hidupnya,
baik yang bersifat alamiah (selain manusia) dan hubungan sosialnya (terhadap
atau, paham mereka. Dua arti makna etis tersebut yang menentukan identifikasi
atau karakteristik baik buruk (makna etis), di satu sisi dalam sikap etis sebagai
464
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah…, op. cit., hlm. 147
465
Suffridus de Jong, Salah Satu Sikap…, op. cit., hlm. 33-35.
466
Niels Mulder, Mistisisme Jawa…, op. cit., hlm. 107.
178
perilaku ekologis468 mereka dan realisasi atau kemungkinan dampaknya bagi
acuan dasar bersikapnya demi efisiensi tujuan kerjanya dalam berbagai bidang
kehidupannya sebagai yang sesuai atau tidak (modern atau tidak) baik pada
pada masa Sri Mangkunegara IV berdasar pada acuan teoritis pandangan dunia
Jawa dari kaum abangan baik kalangan wong cilik (rakyat biasa) atau priyayi.
rasa atau ngelmu (sebagai alam hakiki, pengetahuan esotrik atau pengalaman
mistik yang absolut atau mutlak) yang dipraktekkan melalui tata krama Jawa
etisnya tata krama Jawa pada masanya diperbaharui ke dalam sikap etisnya
yang sesuai (modern atau baru) yaitu yang realistis dan rasional.469 Maksudnya,
467
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa dalam…, op. cit., hlm. 51-53. Lihat juga
Suffridus de Jong, Salah Satu Sikap…, op. cit., hlm. 34.
468
Kata ekologis secara etimologis berasal dari kata ekologi (Inggris: ecology), dari
bahasa Yunani, yakni gabungan dari dua kata oikos berarti rumah tangga, dan logos yang
berarti ilmu. Karenanya, kata ekologi dapat dikembangkan artinya menjadi ilmu yang
mempelajari tentang seluk beluk rumah tangga termasuk proses dan pelaksanaan fungsi dan
hubungan antar komponen secara keseuruhan. Sedangkan secara terminologis, ekologi adalah
ilmu yang mengkaji tentang proses interrelasi dan interdepensi antar organisme dalam satu
wadah lingkungan tertentu secara keseluruhan. Kaslan A Tahir, Butir-butir Tata Lingkungan,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 29.
469
Dimaksud dengan proses pemikirannya Sri Mangkunegara IV yang realistis dan
rasional kaitannya dengan ngelmu, implisit dalam ungkapannya sebagai berikut: “Basa ngelmu,
mupakate lan panemu, pasahe lan tapa, yen satriya tanah Jawi, kuna-kuna kang ginilut....”.
Terjemahan bebas: “Yang dinamakan suatu ilmu (ngelmu) ialah kalau sesuatunya itu sehat dan
masuk akal. Jadi orang hidup itu wajib mengolah hal sesuatu yang wajar masuk akal, jangan
hendaknya ikut-ikut di sana-sini saja dan bertakhayul. Maka harus dicari atau diselidiki, diolah
179
ngelmu yang nilai kebenarannya diyakini dan atau bisa dipahami dalam akal
pihak lainnya. Ngelmu yang di luar itu (yang tidak realistis dan atau irrasional)
dinilainya sebagai ngelmu karang (ilmu rekaan atau ilmu hitam dan ilmu
atau keutamaan Jawa tradisional pada masanya pola etos pemikirannya seperti
dan diyakini sendiri akan kebenarannya; demikian itulah jalan cara-cara yang dianut oleh
leluhur kita….”. S.Z. Hadisutjipto, Terjemahan Wedhatama…, op. cit., hlm. 36-37.
470
Menurut Bambang Ismawan, dalam kata pemberdayaan mengandung makna
semangat dan daya gerak dalam melakukan suatu aktivitas atau program kerja. Pemberdayaan
merupakan suatu model aktivitas yang menempatkan manusia menjadi pusat pengembangan
diri itu sendiri. Artinya, pemberdayaan yang berpusat pada manusia, tidak hanya
memperhatikan masalah kebutuhan dan aspirasinya saja. Melainkan juga menghargai berbagai
potensi dirinya serta tujuannya dalam realita sekitarnya. Melalui interaksi dan komunikasi di
dalamnya manusia memperkaya diri dan justru akan menjadi dirinya sendiri. Melalui interaksi
yang saling “mengutuhkan” antar manusia dan manusiapun akan semakin mandiri. Bambang
Ismawan, “Peran Keuangan Mikro terhadap Pemberdayaan Masyarakat”, dalam: A. Ferijani
(ed.), Bunga Rampai Pemberdayaan Masyarakat, (Semarang, LPM Universitas Katolik
Soegijapranata, 2005), hlm. 13.
471
Menurut F.M. Suseno, etika pengembangan diri dirumuskan oleh Aristoteles.
Dimaksud dengan etika pengembangan diri adalah, manusia tidak menjadi bahagia apabila ia
scara pasif saja mau menikmati segala-galanya. Ia menjadi bahagia kalau ia secara aktif
merealisasikan bakat-bakatnya dan potensi-potensinya. Manusia adalah makhluk dengan
banyak nilai. Kebahagiaan tentu tidak tercapai kalau hanya mencari salah satunya, terutama
apalagi jika nilai itu bersifat inderwi dan terbatas saja. Berbagai macam nilai (pluralisme nilai)
itu tidak berarti manusia seakan-akan harus berusaha mencapai semua nilai itu. Yang penting
agar ia tidak, demi nilai yang lebih rendah, menutup kemungkinannya untuk mencapai nilai
lebih tinggi (dan lebih bahagia) kalau nilai itu menawarkan diri. Jelaslah, orang hanya dapat
menjadi manusia utuh kalau semua nilai atas- jasmani tidak asing baginya, yaitu nilai-nilai
kebenaran dan pengetahuan, kesosialan, tanggung jawab moral, estetis dan religius. Franz
Magnis Suseno, Etika Dasar…, op. cit., hlm. 118-119.
180
revivalisme, perang suci serta, magico-religious practice. Ketiganya cenderung
selain kurang atau tidak diberdayakannya sikap partisipatif dialogis yang sesuai
(modern atau baru) pada masanya juga tetap dianutnya tindakan moral yang
Senapati (Sultan Agung) raja Mataram. Bagi etos pemikiran Sri Mangkunegara
tersebut di muka.
472
Lihat penjelasan dimaksud dengan transendensi dalam foot note nomor 789.
181
Obyektifikasi atau konkretisasi tiga sistem pembaharuan pembaharuan
dan kebaikan sikap etisnya seperti dimaksud bagi kerakyatan474 di sisi lainnya.
yang sesuai (modern atau baru) khusus di bidang perkebunan sebagai ekonomi
dengan tata krama Jawanya itu sebagai bukti, bahwa eksistensi etos pemikiran
approachnya demi efisiensi tujuan etos dagangnya yang sesuai (modern atau
473
Dimaksud kata Ratu adalah lambang perempuan atau wanita yang bermakna
“menarik” atau mempunyai “daya tarik” yang luar biasa. Sedang kata Kidul adalah ‘selatan’
sebagai lambang kerakyatan dan lambang duniawi atau hal-hal yang bersifat lahiriah. Ki
Tirtohamidjaja, Mitos Ratu Kidul…, op. cit., hlm. 2.
474
Dimaksud kerakyatan adalah sebagai asas kehidupan masyarakat Jawa dalam
bentuk kekeluargaan, kegotongroyongan, tolong-menolong, mengutamakan persatuan dan
kesatuan, saling mengasihi, serta mengedepankan tenggang rasa dan kepedulian sosial. Ibid.,
hlm. 3.
475
Menurut Sri Edi Swasono, dimaksud dengan ekonomi kerakyatan adalah sistem
ekonomi yang mengedepankan pentingnya pengutamaan kepentingan rakyat dan atau hajat
hidup orang banyak, yang bersumber pada kedaulatan rakyat atau demokrasi. Oleh karena itu,
sistem ekonominya adalah demokrasi ekonomi yang tidak menghendaki “otokrasi ekonomi”,
sebagaimana pula demokrasi politik menolak “otokrasi politik”. Sri Edi Swasono,
“Kemandirian Dasar Martabat Manusia”, Makalah Seminar, dalam: Dialog Terbuka,
Bekerjasama Pemerintah Propinsi Jawa Tengah dan STIE BPD Jateng, Perspektif Ekonomi
Jawa Tengah Menuju Kemandirian, Semarang, 10 September 2002, hlm. 9.
182
baru) baik pada masanya atau pada umumnya (audit-sosial).Dimaksud dengan
yang sesuai adalah sebagai yang modern atau baru, dalam arti dua. Pertama,
bagi status sosialnya sebagai salah satu kaum abangan dari priyayi (menurut C.
Gertz).
baru) dengan kondisi realitas sosialnya masyarakat Jawa yang hidup dalam
tujuan etos dagangnya melalui tata krama Jawa yang sesuai (modern atau baru)
seperti upacara adat slametan, pergaulan sosial, seni pewayangan atau sastra
kesatuan acuan sikap dasar, baik dalam pandangan dunia dan cara bersikapnya
nilai dan simbol, kedua faktor struktur yang berupa pranata dan perilaku sosial
183
dan, yang ketiga faktor infrastruktur yang berupa pemberdayaan pada ilmu
abangan baik priyayi atau wong cilik di muka, sikap etis bagi perilaku ekologis
salah satu pendekatan teknologis tertentu, yaitu di mana manusia hanya tahu
alam bernilai pada diri sendiri maka perlu dipelihara, tidak termasuk ke dalam
diringkas sebagai sikap merampas dan membuang, sama dengan sebagai sikap
eksploitatif. Maksudnya, alam dibongkar diambil apa saja yang diperlukan, dan
476
Maksud nilai dan simbol sebagai faktor suprastruktur adalah bahwa setiap
masyarakat memiliki nilai dan atau simbol ekologis yang dijunjung tinggi oleh anggotanya,
bersumber dari ideologi (suprastruktur ideologis) yang terdiri dari beberapa unsur. Yaitu,
ideologi umum, kepercayaan, ilmu pengetahuan, kesenian, kesusastraan dan, agama. Semua
agama besar, Islam, Kristen, Hindu, Budha dan, Katolik memiliki nilai dan simbol ekologis
yang dijadikan panduan bagi masing-masing pemeluknya. Ibid., hlm. 4.
477
Anthropomorphism, dari Yunani anthropos (manusia) dan morphe (bentuk).
Artinya, gambaran atau simbol tentang Tuhan, dewa/dewi, atau kekuatan-kekuatan alam seperti
makhluk-makhluk halus (roh-roh, hewan) sebagai memiliki bentuk dan ciri-ciri manusiawi.
Lorens Bagus, Kamus…, op. cit. hlm. 59.
478
Antroposentrik dalam bahasa Inggris: anthropocentric. Berasal dari bahasa
Yunani anthropikos dari anthropos (manusia) dan kenthron (pusat). Istilah antroposentrik ini
mengacu kepada pandangan manapun yang mempertahankan bahwa manusia merupakan pusat
dan tujuan akhir dari alam semesta. Ibid., hlm. 60.
184
apa yang tidak diperlukan, termasuk berbagai produk sampingan dari pekerjaan
dikaitkan demi efisiensi tujuan etos dagang Jawa pada umumnya (audit sosial),
masyarakat Jawa selanjutnya. Acuan dasar akan dampaknya itu mengacu pada
oleh karena itu alam dan lingkungan hidup manusia mesti semakin rusak.481
selalu direalisisasikan di bawah rezim diktator yang tidak mau atau tidak peduli
pada pendapat masyarkat dan yang tidak berani mengajukan protes. Berdasar
pada pola produksi bagi industrialisasinya yang dipaksakan dan tanpa perhatian
479
Istilah teknokratis berasal dari kata techne artinya, kepandaian manusia untuk
mengerjakan sesuatu, dijalankan dengan tujuan untuk kratein yaitu, untuk menguasai. Franz
Magnis Suseno, Kuasa dan…, op. cit., hlm. 150.
480
Ibid., hlm. 152. Lihat juga Franz Magnis Suseno, Berfilsafat dari…, op. cit., hlm.
226.
481
Ibid., hlm. 226-227.
185
dua pola ekonomi modern yang merusak tersebut yaitu adanya sebuah pola
sikap tersebut nampak bertentangan atau tidak sesuai dengan pola obyektifikasi
bertentangan atau sama sekali tidak memadai dengan makna etisnya nilai-nilai
dagang. Idntifikasi sikap tersebut terutama dari kaum abangan oleh wong cilik
yang dipandang bisa membuat kaya secara mendadak. Caranya dengan bekerja
482
Dimaksud dengan sikap ideologis adalah setiap usaha yang memutlakkan suatu
ide tertentu (selain sikap baik atau hormat terhadap setiap manusia dalam kemampuannya
untuk mengembangkan diri dalam dimensi-dimensi hakikinya). Jelaslah bahwa suatu sikap
idelogis berlawanan dengan martabat manusia karena mengorbankan kebahagiaan dan
kebebasannya demi suatu ide. Setiap ide ciptaan manusia yang dimutlakkan mengorbankan
manusia konkret, karena setiap orang lebih luas dan lebih kaya daripada segenap pikiran
manusia tentang sesuatu. Kecuali itu, setiap ideologi sekaligus merupakan legitimasi privilese-
privilese penguasa sebagai pengemban ideologi itu untuk secara sepihak menentukan
kehidupan masyarakat, atau dengan kata lain untuk mengembangkan demi kepentingan mereka
sendiri. Franz Magnis Suseno, Kuasa dan…, op. cit., hlm. 68.
483
Franz Magnis Suseno, Berfilsafat dari…, op. cit., hlm. 229.
484
Menurut K. Bertens, dimaksud sikap ekofasisme adalah di mana manusia sebagai
individu dikorbankan kepada alam sebagai keseluruhan. Kita tidak dapat membiarkan martabat
khusus manusia tergilas oleh keagungan alam namun juga dengan tegas kita menentang
tendensi sikap teknokratis untuk merusak alam dan tidak memeliharanya. K. Bertens,
Pengantar Etika…., op., cit. hlm. 325-326.
186
sama atau memelihara thuyul (setan gundhul),485 atau “ular siluman” disebut
penyebab sikapnya itu bagi lingkungan hidupnya berarti dua, keduanya sebagai
pola etos mereka nampak cenderung ke dalam sebagai yang heteronom487 maka
485
Menurut Peter Boomgaard, ceritera-ceritera tentang tuyul atau setan gundhul
cukup banyak di Jawa dewasa ini. Beberapa tahun lalu hal itu dibicarakan dalam sebuah
seminar di Semarang di mana dapat ditemukan istananya. Penampilan keduanya seperti
seorang bocah kecil berumur empat atau lima tahun, dengan kepala gundhul seperti umumnya
anak Jawa. Ia adalah pemberi atau bisa membuat kaya mendadak majikannya dan juga
dianggap beranggungjawab terhadap segala sesuatu yang hilang dengan tiba-tiba. Ceritera
tentang makhluk halus itu saya temukan disebut-sebut pertama kali dalam sebuah sumber
bertahun 1860. Bahkan pada tahun 1738, permaisuri Paku Buwana II, mengalami keguguran
sehingga kesehatannya terganggu. Gangguan tersebut dikhawatirkan berasal dari pengaruh
makhluk halus sejenis thuyul atau setan gundhul yang hidup atau tinggal bersama pedagang
Jawa yang kaya dan itu menjadi alasan bagi Arya Purbaya (Patih dari Paku Buwana II) untuk
menyita harta mereka. Peter Boomgaard, “Kekayaan-kekayaan Haram Perkembangan Ekonomi
dan Perubahan Sikap terhadap Uang dan Kekayaan seperti tercermin dalam Kepercayaan Jawa
Populer”, dalam J. Thomas Lindblad (ed.), Sejarah Ekonomi Modern Indonesia Berbagai
Tantangan Baru, (Jakarta: LP3ES, 2000), hlm. 287-297.
486
Dalam literatur paling tua (kira-kira 1855-1875), Blorong dimaksud sebagai ‘ular
siluman’ jantan dan Nyi Blorong sebagai betina. Orang kaya karena memeliharanya, termasuk
thuyul (setan gundhul) dan sebagainya tampak berpenampilan kotor, tidak merawat diri dan
atau rumahnya, serta bertingkah kasar atau aneh. Sebagaimana diduga, para pemilik makhluk
halus seperti blorong, thuyul (setan gundhul), kera, anjing, babi dan, celeng (babi hutan), harus
memberi imbalan untuk kekayaan ‘haram’ yang diperolehnya secara mendadak itu. Keterangan
memang beragam tentang bentuk imbalannya, tetapi mereka sependapat dengan bentuk
imbalan yang membawa maut bagi orang lain. Mereka yang telah menikmati kekayaan diminta
memberikan manusia sebagai korban (kerabat, pembantu) secara teratur dan kematian manusia
itu akan datang awal dengan sangat mengerikan. Bagi pemilik thuyul atau setan gundhul,
berbahaya sepanjang hidup pemiliknya. Yaitu bagi wanita yang memiliki bayi harus meneteki
dan ini sangat menyakitkan atau membahayakan kesehatannya. Ibid., hlm. 299-303.
487
Menurut F.M. Suseno, kata heteronom berasal dari bahasa Yunani: heteros berarti
“lain” dan nomos berarti “hukum”. Dimaksud heteronom adalah suatu sikap di mana manusia
membiarkan diri diatur dari luar. Dia tidak menentukan diri sesuai dengan apa yang
dimengertinya dan disetujuinya, melainkan ia menyesuaikan diri kepada hukum atau norma-
norma yang disyahkan oleh kekuatan-kekuatan gaib di belakang dunia yang kelihatan.
Karenanya, penyesuaian itu tidak karena ia mengerti dan menyetujui maksud hukum tersebut,
melainkan asal saja itu merupakan hukum. Franz Magnis Suseno, Etika Dasar…, op. cit., hlm.
44.
187
(heteronomi etos).488 Akibatnya, berbagai sikap atau tindakan-tindakan moral
merusak, tidak sesuai (ketinggalan jaman) dan atau, bertentangan serta tidak
memadai dengan realitas sosialnya masyarakat Jawa yang hidup dalam kondisi
abangan dari wong cilik) di satu sisi hidup dalam kondisi kolonial yang secara
etika dan ilmu ekonomi mengalami etika pasar bebas dan dalam era globalisasi
cenderung masih menganut legalisme etik dalam teori tradisional Jawa dengan
simbol nilai moralnya dari makhluk halus (thuyul, blorong atau nyi blorong)
Searah dengan maksud keberlakuan atau realisasi dua sikap (tekonokratis dan
ekofasisme) bagi kaum abangan dari priyayi ditunjukkan, di satu pihak melalui
atau antroposentrik.
wong cilik atau priyayi tersebut di satu sisi tidak sesuai dengan makna etisnya
keutamaan Jawa dalam kalimat mamayu ayuning bawana. Pola etos tersebut
sebagai sisi lainnya juga kurang efektif dan efisien bagi acuan sikap dasar etos
488
Diamaksud heteronomi moral (heteronomi etos) adalah sikap di mana orang
memenuhi kewajiban bukan karena insyaf (sadar) bahwa kewajiban itu pantas bagi sesama
untuk dilakukan, atau ia taat peraturan tetapi tanpa melihat (memahami) makna atau nilainya.
Melainkan karena tertekan, takut dikutuk oleh makhluk halus, kekuatan gaib atau Tuhan dan
sebagainya. Heteronomi etos merendahkan manusia, membuatnya tidak bebas, tertekan atau
188
dagang Jawa atau tidak relevan bagi pemecahan problem (masalah) aktivitas
dagang, sama dengan penting dijadikan acuan tantangan pemikiran etos dagang
Jawa pada masanya atau pada umumnya (audit sosial) secara regional Jawa
tersebut adalah, jika heteronomi etos itu sebagai acuan etos dagang Jawa, akan
kehormatan dan, cara bersikap kaum abangan itu, cenderung boros serta tidak
wajar dan atau ketinggalan jaman (tidak modern atau tidak baru) baik bagi
kedua secara sosial, berbagai pola sikap dan atau perilaku mereka cenderung
tidak sesuai (tidak modern) baik bagi dunia kehidupan atau realitas sosial
masyarakat Jawa pada masanya yang hidup dalam kondisi kolonial atau dalam
takut dan, buta terhadap nilai-nilai moral serta tanggung jawab manusia yang sebenarnya. Ibid.,
189
stakeholders-approachnya Sri Mangkunegara IV demi efisiensi tujuan etos
sisi perilaku ekologis mereka terhadap yang alamiah, tidak realistis dan tidak
rasional, kurang dan tidak memiliki kecenderungan sikap etis untuk bersama-
sama berjuang tanpa kekerasan serta, tidak sesuai dengan identitas budaya atau
lainnya juga dinilai sebagai orang yang dalam hidupnya berpegang pada ilmu
klenik.489
perilaku ekologisnya kaum abangan bagi dunia kehidupan atau realitas sosial
atau takut, buta terhadap nilai-nilai dan tanggung jawabnya yang sebenarnya.
pandangan dunia dan hidup Jawa dari kaum abangan itu perlu direkonstruksi
dua acuan dasar bersikapnya kaitannya demi efisiensi tujuan etos dagang Jawa
hlm. 45.
489
Dimaksud ilmu klenik, lihat penjelasan dalam halaman 322 foot note nomor 754.
490
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa dalam…, op. cit., hlm. 10-11. Lihat juga Franz
Magnis Suseno, Etika…, op. cit., hlm. 44-45.
190
dan atau pola berfikirnya491 sebagai acuan dasar cara bersikap etis melalui tata
dan rukun demi keadilan dan peduli terhadap sesamanya. Karenanya, seperti
dijelaskan, tata krama Jawa modern atas etos pemikiran Sri Mangkunegara IV
dasar cara bersikap etisnya yang sesuai (modern atau baru) dengan kondisi
Barat atau Pemerintah Belanda, orang Arab, Cina, dan lainnya. Mereka semua,
person) dihormati dalam tata krama Jawa modern terjalin melalui sikap saling
(tresno) maka diharapkan saling mengembangkan sikap etis dan rasa kasih itu
tyasing sasami.
dagang Jawa baik pada masanya atau pada umumnya (audit sosial) mungkin, di
491
Menurut F.M. Suseno, teknis “pendobrakan” terhadap heteronomi etos salah
satunya apabila manusia mulai memikirkan manakah norma-norma yang paling wajar, dan
bagaimana norma-norma-norma itu dapat ditentukan. Norma yang berlaku tidak diterima lagi
begitu saja, melainkan diselidiki dengan kritis apakah memang dapat dibenarkan. Franz Magnis
Suseno, Etika Jawa dalam…, op. cit., hlm. 12-13. Bdk. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa
sebuah…, op. cit., hlm. 79.
191
satu pihak tidak termasuk etika Jawa ke dalam etika kemalasan492 atau tidak
bertentangan dengan kata rame ing gawe493 di pihak lainnya. Namun karena
etika hasil494 tetapi sikapnya lebih ke dalam egoisme etis,495 maka bertentangan
dengan keutamaan moral Jawa, sepi ing pamrih.496 Sikap-sikap moral mereka
492
Menurut F.M. Suseno, etika Jawa bukan suatu etika kemalasan, tetapi tindakan
yang dituntut itu bukanlah suatu aksi atau etika Jawa bukanlah etika aksi. Tujuannya bukan
perubahan-perubahan tertentu yang harus dilakukan dalam dan pada dunia, melainkan suatu
proses perkembangan kematangan dirinya sendiri. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah…,
op. cit., hlm. 202-203.
493
Kata-kata rame ing gawe secara harfiah berarti, menjadi aktif secara ramai. Ibid.,
hlm. 145. Tidak jarang ungkapan rame ing gawe dijelaskan sebagai, kewajiban untuk bekerja
keras. Begitu misalnya Sutrisno menulis, “Rame ing gawe kecuali berarti bekerja keras untuk
diri kita sendiri, berarti pula bekerja untuk keluarga, masyarakat, kemanusiaan atau untuk
kesejahteraan dunia”. Sutrisno, Falsafah Hidup Pancasila…, op. cit., hlm. 11. Menurut F.M.
Suseno, penjelasan itu tidak mengenai inti dari apa yang dimaksud, melainkan karena terlalu
dipengaruhi oleh usaha untuk membuktikan bahwa dalam tradisi Jawa tentang pekerjaan demi
kemajuan masyarakat juga dianggap sebagai cita-citanya. F.M. Suseno menjelaskan, istilah
rame ing gawe harus dimengerti dari hubungannya dengan sepi ing pamrih. Orang Jawa yakin
bahwa dunia baru beres apabila masing-masing melepaskan pamrih-nya. Manusia bisa
dikatakan sepi ing pamrih apabila ia tidak lagi mengejar kepentingan-kepentingan
individualnya tanpa memperhatikan keselarasan sosial seluruhnya berarti, ia berada di tempat
yang tepat dalam kosmos. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah…, op. cit., hlm. 146-147.
494
Dimaksud dengan etika hasil menurut F.M. Suseno, sebagai etika kebijaksanaan
etika Jawa adalah etika hasil artinya, suatu tindakan adalah baik, apabila hasilnya baik dan
pertanyaan dengan maksud apa sebenarnya hasil itu tercapai, apakah demi diri sendiri (egoisme
etis), demi keselarasan umum, dan lain-lain, tergantung masing-masing pengalaman dalam
bertindaknya. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa dalam…, op. cit., hlm. 113. Lihat juga Franz
Magnis Suseno, Etika Umum…, op. cit., hlm. 84.
495
Egoisme etis adalah pandangan yang menyatakan: 1) setiap orang seharusnya
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kepentingannya sendiri, 2) yang terbaik bagi
kehidupan seharusnya memperoleh yang paling memuaskan atau, yang paling menyenangkan
bagi dirinya sendiri dan, 3) keberhasilan dan kebahagiaan bagi diri sendiri seharusnya
merupakan nilai yang pokok dan nilai yang terakhir. Ali Mudhofir, Kamus Teori dan…, op.
cit., hlm. 55.
496
Pengertian sepi ing pamrih lihat dalam foot note nomor 908 di muka. Menurut K.
Berten, sepi ing pamrih merupakan salah satu keutamaan moral Jawa yang belum muncul
dalam cakrawala pandangan moral Aristoteles dan termasuk sebagai salah satu dari tiga
keutamaan moral pokok: iman atau kepercayaan, pengharapan dan, cinta kasih. K. Bertens,
Etika…, op. cit., hlm. 222.
192
dengan dikuasai oleh pamrih-nya maka cenderung ke dalam, menurut F.M.
dalam etos pemikiran Sri Mangkunegara IV kaitannya dalam hal itu berarti dua
efisien tujuan etos dagangnya yang sesuai (modern atau baru) baik bagi realitas
kehidupannya atau realitas sosial masyarakat Jawa yang pada masanya hidup
bisa sebagai acuan tantangan pemikiran etos dagang Jawa selanjutnya di pihak
497
Orang yang bertindak karena pamrih-nya sendiri sama dengan egoisme.Ia hanya
mengusahakan kepentingan sendiri individualnya saja dengan tidak menghiraukan
kepentingan-kepentingan masyarakat. Ia mencari kepentingan-kepentingannya dalam dunia dan
dengan demikian mengikat diri pada alam luar sehingga ia kehilangan kesanggupan untuk
memusatkan kekuatan dalam batinnya sendiri (rasa-nya) menjadi dangkal atau mati. Franz
Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah…, op. cit., hlm. 139-140.
498
Oleh karena pengertian refleksi semula berarti proses dari peninjauan kembali
yang intelektual atau penengokan ke belakang dengan cara yang sungguh-sungguh tentang apa
yang telah terjadi, maka refleksi juga terdiri dari kegiatan penjelasan dari budi dan atau
pemikiran manusia tentang arti dan nilai dari apa yang merupakan ciptaannya sendiri.
Penjelasan arti dan nilai dari istilah-istilah yang menjadi dasar pada penyelidikan fisafati
sekarang dikenal sebagai analisa. The Liang Gie, Suatu Konsepsi ke Arah…, op. cit., hlm. 64.
499
Pengertian refleksi sama dengan filsafat sebagai usaha pencarian atau analisa,
implisit dalam pernyataan The Liang Gie. Menurutnya, filsafat harus didefinisikan sebagai
usaha pencarian dan atau analisa untuk menemukan arti sebagai kegiatan penilaian. Pencarian
dan kegiatan ini merupakan penaksiran tentang sifat nilai atau bernilai atau keberhargaan yang
melekat pada sesuatu hal, pengalaman tertentu atau tindakan manusia. Dua jenis nilai
berhubungan secara khusus dengan filsafat, yaitu nilai-nilai moral yang bersangkutan dengan
193
terhadap tiga karakteristiknya sistem nilai-nilai moral budaya Jawa tradisional
yang dikonsepsikan dalam pandangan dunia dan hidupnya serta tata kramanya.
atau pengalaman mistik yang dinilai sebagai yang mutlak atau absolut. Bagi
sebagai proses internalisasi dalam kesadaran diri atau refleksi diri bermetode
reflektif kritis, ngelmu itu di satu sisi kebenarannya dinilai sebagai yang relatif.
dijelaskan F.M Suseno, adalah kesadaran, yang dialami dalam setiap proses
yaitu sebagai cara berfikir dalam tahap makna.501 Gerak dialektika acuan
sikap dasarnya itu di satu sisi bagi obyektifikasi atau konkretisasi pembaharuan
pemberdayaannya laku dan ngelmu demi efisiensi tujuan etos dagangnya di sisi
lainnya. Gerak dialektika inilah sebagai yang melahirkan etos dagang Jawa
tingkah laku manusia dan nilai-nilai estetis (keindahan) yang bersangutan dengan benda-benda
dan pengalaman-pengalaman. Maka filsafat dipandang sebagai ilmu tentang nilai-nilai. Ibid.,
hlm. 67.
500
Lihat Franz Magnis Suseno, Pijar-pijar Filsafat…, o. cit., hlm. 85.
501
Berfilsafat adalah cara berpikir dalam tahap makna, ia mencari hakikat makna
dari sesuatu, atau keberadaan dan kehadiran kehidupan bagi manusia. Berpikir dalam tahap
makna artinya, menemukan makna terdalam dari sesuatu, yang berada dalam kandungan
sesuatu itu. Makna yang terkandung itu berupa nilai-nilai yaitu, kebenaran, keindahan ataupun
kebaikan, sehingga nilai keindahan menjadi makna dalam karya seni, nilai kebenaran bisa
terkandung dalam suatu teori keilmuan dan, nilai kebaikan bisa terkandung dalam suatu
194
yang sesuai (modern atau baru) baik nilai-nilai moral budaya Jawa tradisional
dilengkapi dengan pedomannya disebut dengan catur upaya (empat nilai yang
harus dicari atau diupayakan) oleh setiap manusia. Maksudnya, sembah catur
dan catur upaya, di satu pihak sebagai acuan dasar gerak dialektikanya proses
dan pedoman manusia demi kelangsungan hidupnya di dunia. Hal itu implisit
dagangnya sehingga melahirkan etos dagang Jawa modern atau baru, dengan
demikian di satu pihak melalui berfilsafat yang asas dan pedomannya, sembah
catur serta, catur upaya. Ketiga, keduanya pada pihak lainnya mengandung
tindakan. Nilai itulah yang memberikan makna sesuatu itu. Musa Asy’arie, “Filsafat Islam….”,
op. cit., hlm. 4-5.
502
Sri Mangkunegara IV, “Serat Darmawasita”, dalam Ki Padmasusastra, Dwija
Isjwara, (Surakarta: Abert Rusche & Co., 1889), hlm. 95-96.
195
dan atau inti kedalaman sikap dasarnya yang rokhaniah yaitu, sikap eling (tahu
diri), atau ngemong maknanya sama dengan bersikap sepi ing pamrih. Rincian
inti kedalaman sebagai dasar bersikap yang bermakna spiritual internal atau
rokhaniah itu, menurut para ahli terangkum dalam tiga kata yaitu lila (rela),
trima (sabar) dan, rila atau ikhlas. Dua kata terakhir itu dalam bahasa Jawa
503
disebut dengan legawa artinya tulus ikhlas.
“Basa ngelmu, mupakate lan panemu, pasahe lan tapa, yen satria tanah
Jawi, kuna-kuna kang ginilut tri-prakara. Lila lamun kelangan nora
gegetun, trima yen ketaman, sak serik sameng dumadi, tri legawa nalangsa
srah ing bathara”.
Terjemahan bebasnya: “Pembicaraan mengenai ilmu (ngelmu),
seyogyanya harus diselaraskan dengan hasil penelitian. Sedangkan cara
meresapkannya disertai dengan renungan yang tenang dan mendalam.
Adapun bagi satria di pulau Jawa dahulu yang dianut dan diusahakan
dengan sungguh-sungguh ialah tiga hal (tri-sarana). Adalah yang pertama
bersifat rela, yaitu tidak menyesal jika kehilangan atau telah memberikan
sesuatu. Yang kedua ialah tetap bersabar hati apabila terkena syak
wasangka sesama manusia. Yang ketiga ialah tulus ikhlas (legawa) serta
tawakal atau berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan”.504
The Liang Gie menjelaskan, sebagai syarat yang ketiga dalam suatu
503
Dimaksud para ahli kaitannya antara sikap eling semakna sepi ing pamrih yang
dirinci dengan tiga kata tersebut terutama, lihat dalam Franz Magnis Suseno, Etika Jawa
sebuah…, op. cit., hlm. 143-144. Clifford Gertz, “Ethos, World-View and…, op. cit., hlm. 241.
Suffridus de Jong, Salah Satu Sikap…, op. cit., hlm. 18. dan Muh Ardani, al-Qur’an dan
Sufisme…, op. cit., hlm. 175.
196
Karenanya, yang dimaksud perbandingan terbaik antara usaha dan hasilnya
dalam kerja (dagang) itu terutama, ditentukan oleh caranya bertindak yang
bersangkutan. Bisa dengan kata lainnya, efisiensi kerja pada umumnya sebagai
dagang
tersebut, implisit searah maksudnya dengan cara bersikap etis melalui tata
krama Jawa modern atas etos pemikiran Sri Mangkunegara IV, pola dan acuan
tujuan etos dagangnya yang sesuai (modern atau baru) baik pada masanya dan
bagi etos dagang Jawa pada umumnya (audit sosial). Penting kiranya dicermati
melalui tata krama Jawa modern tersebut, sebagai satu sistem pembaharuan
terakhir tersebut, implisit dalam ungkapannya yang disebut Asta Gina. Istilah
504
S.Z. Hadisutjipto, “Terjemahan Wedhatama….”, op. cit., hlm. 110.
197
manusia bakal berhasil baik, apabila menempatkan dirinya dalam delapan
macam cara bersikap etis yang berguna (Asta Gina506). Pertama, membudi-
(rigen), sedang yang ketiga, hemat dan hati-hati dalam membelanjakan dan
perhitungan biaya dan mampu merencanakan belanja berapa besar biaya hidup
yang diperlukan (wruh ing petungan). Keenam, rajin bertanya kepada para ahli
menahan kehendak hawa nafsu dari berbagai keinginan yang tidak berfaedah
serta menjauhi pemborosan harta (nyegah kayun pepinginan ………, tan boros
marang arto). Kedelapan, bertekad bulat dan atau berniat yang teguh. Sikap
demikian itu akan dapat berpengaruh pada tercapainya berbagai cita-cita dalam
waktu yang tidak lama (nemen ing seja, watekira sarwa gelis ingkang kinapti).
atas etos pemikiran Sri Mangkunegara IV demi efisiensi tujuan etos dagangnya
505
The Ling Gie, Efisiensi Kerja Bagi…, op. cit., hlm. 74.
506
Kata asta dari Bahasa Kawi astha berarti wolu (delapan). Gina artinya, guna
(berguna atau berfaedah). Lihat C.F. Winter dan R. Ng. Ranggawarsita, Kamus Kawi…, op.
cit., hlm. 14 dan 53.
198
“Manungsa apa kajate, sinembadan sakayun, yen dumunung mring
wolung warni, ingaran Asta Gina, panggautan gelaring pambudi, warna-
warna sakaconggahira, nut ing jaman kalakone, rigen ping kalihipun, dadi
pamrih marang pakolih, katri gemi garapnya, margane mrih cukup, ping pat
nastiti pamriksa, iku dadi margane weruh ing pasti, lima wruh ing
petungan. Watek adoh mring butuh sahari, kaping nenem taberi tatanya,
ngundhakken marang kawruhe, ping pitu nyegah kayun, pepinginan kang
tanpa kardi, tan boros marang arta, sugih watekipun, ping wolu nemen ing
seja, watekira sarwa gelis ingkang kinapti, yen bisa kang mangkana”.
Terjemahnya: “Apa yang dihajatkan manusia bakal terpenuhi, apabila
menempatkan dirinya dalam delapan macam yang disebut Asta Gina.
(Yang pertama) membudidayakan terbukanya lapangan usaha, yang
bermacam-macam bentuknya dan usahakan sekuat tenaga, dengan
mengikuti gerak laku jamannya (sesuai dengan perkembangan jaman), yang
kedua rigen (pandai mencari akal) agar supaya memperoleh hasil apa yang
diinginkan, yang ketiga gemi (hemat dan cermat) dalam menggarap dan
mengelolanya, hingga dapat mencukupi keperluan, yang keempat nastiti
(cukup hati dan teliti) dalam mengamati dan memeriksa sesuatu sehingga ia
dapat diketahui secara pasti, yang kelima mengetahui perhitungan (cara
menghitung sesuatu). Orang yang tahu perhitungan biasanya tak terdesak
kebutuhan yang mendadak sehari-hari, yang keenam taberi (rajin) bertanya
untuk menambah ilmu pengetahuan, yang ketujuh menahan kehendak hawa
nafsu dari berbagai keinginan yang tak berfaedah dan tidak memboroskan
uang yang semuanya itu membawa kecukupan, yang kedelapan bertekad
bulat (bersungguh-sungguh) dalam kehendak, watak demikian itu cepat
mencapai hasil apa yang diinginkan. Oleh karena itu jika dapat lakukanlah
yang demikian itu”.507
dalam Asta Gina tersebut eksistensinya sebagai suatu kesatuannya laku (proses
gerak dialektikanya rasa) dalam rahsa sejati (ngelmu) sumbernya asas dan
pedomannya sembah catur, catur upaya dan, tri prakara yang bermakna
spiritual internal atau yang rohaniahnya sikap tahu diri (eling) dan ngemong
199
manajemen stakeholder-approach demi efisiensi etos dagangnya, kiranya bisa
kedalaman makna etisnya bagi eksistensi manusiawi yang sesuai (modern atau
baru) dalam hal etos dagangnya tersebut. Pertama, tiga karakteristik yang
sesuai (modern atau baru) dalam tiga karakteristiknya inti konsep sistem nilai-
transendental.
Kedua, tiga karakteristik yang sesuai (modern atau baru) di satu sisi
tiga karakteristik etos pemikiran Sri Mangkunegara IV: realisitis dan rasional,
berjuang bersama tanpa kekerasan serta, yang sesuai dengan identitas budaya
lainnya juga yang sesuai (modern atau baru) bagi kondisi realitas kehidupan
atau realitas sosial masyarakat Jawa pada masanya yang dalam kondisi kolonial
Ketiga, tiga karakteristik yang sesuai (modern atau baru) itu sebagai
eksistensinya gerak dialektika dalam sistem dan atau proses etos pemikirannya
pada kedalaman rahsa sejati (eksistensinya wahyu atau anugerah Tuhan yang
pima facie) bagi acuan sikap dasar fenomen kesadaran moralnya rasa (suara
batin) adalah pusat kesadaran diri atau refleksi diri (proses gerak dialektika)
507
Sri Mangkunegara IV, “Serat Darmalaksita”, dalam: Ki Padmasusastra,
200
Pertama, sembah catur kedua, catur upaya dan, tri-prakara dengan
makna spiritual internalnya: sikap tahu diri (eling atau ngemong) yang dirinci
dalam tiga kata: lila, trima dan, legawa, yang ketiga, asta gina. Obyektifikasi
tiga tahapan tersebut sebagai satu pola acuan dasarnya cara bersikap etis (tata
etos pemikiran Sri Mangkunegara IV demi efisiensi tujuan etos dagang yang
masanya dengan makna etisnya keutamaan Jawa dalam tiga kalimat: mamayu
ayuning bawana, tut wuri handayani dan, mamangun karyenak tyasing sasami.
yang kedua (tut wuri handayani) dan yang ketiga (mamangun karyenak tyasing
201
sasami) diuraikan dalam judul sub-bab berikutnya, sedang terhadap yang
pertama yaitu dalam kalimatnya mamayu ayuning bawana antara lain sebagai
berikut.
bab ini, adalah apa yang dimaksud dengan obyektifikasi atau konkretisasi cara
pelaksanaannya bersikap etis dengan cara bersikap baik atau hormat dan peduli
terhadap apa saja dalam lingkungan hidupnya, baik pada yang alamiah sebagai
sumber daya alam (SDA) dan yang bersifat sosial bagi sumber daya manusia
(SDM). Dimaksud dengan cara bersikap etis itu adalah, menurut F.M. Suseno,
bersikap baik atau positif, menghendaki yang baik padanya, tidak merusaknya,
kecuali terhadap SDA (selain manusia) berdasar pada alasan tertentu misalnya,
yang lebih penting. Namun tetap berkewajiban moral (bertanggung jawab) agar
baik, indah, halus atau sopan dan, yang lainnya.509 Berdasar kepada ketentuan
etis (bersikap baik atau hormat dan peduli) baik terhadap SDA maupun SDM
aktivitas dagang atau perusahaan. K. Bertens, Pengantar Etika…, op. cit., hlm. 163. Lihat juga
penjelasannya dalam halaman 380 di muka.
509
Mengacu pada prinsip sikap baik, berdasar pada kesadaran bahwa apa saja yang
ada, karena adanya itu saja, pantas kita dukung, kita majukan, kita beri kesempatan untuk
berkembang. Pendek kata, apa saja yang ada adalah pantas agar kita bersikap baik terhadapnya.
Franz Magnis Suseno, Etika Dasar…, op. cit., hlm. 130
510
Berlaku prima facie dalam hal itu maksudnya, tidak perlu bersikap baik terhadap
alam apabila itu bertabrakan dengan kepentingan manusia yang sewajarnya. Karenanya,
menyiksa binatang tanpa alasan yang masuk akal (rasional), misalnya hanya karena orang
senang berbuat demikian, secara moral dianggap tidak beres. Demikian juga terhadap tumbuh-
tumbuhan atau hutan. Jadi bersikap baik atau hormat berlaku terhadap apa saja yang ada,
walaupun harus disesuikan dengan kedudukannya dalam dunia manusia yang berbeda-beda.
Ibid., hlm. 138.
202
Acuan teoritisnya cara bersikap baik atau hormat dan peduli terhadap
apa saja dalam hal ini, melalui tata krama Jawa modern dalam etos pemikiran
Sri Mangkunegara IV tersebut salah satunya, dirinci dalam Asta Gina sebagai
yang disebut Busana Langen Harjan sewaktu menghadiri upacara adat (tradisi)
tidak hanya para priyayi Kasunanan Surakarta, para penyewa tanah lungguh
yaitu orang-orang Barat atau Pemerintah Belanda, dan para tamu lainnya
itu juga ditiru dan dipertahankan (dilestarikan) oleh mayoritas rakyat Jawa,
bangsawan (priyayi) dan wong cilik (oleh C. Gertz disebut kaum abangan) di
dan atau keluasan jangkauan motivasi dan maksudnya cara bersikap etis atau
bersikap baik atau hormat dan peduli terhadap apa saja sebagai tata krama Jawa
tanggung jawab dengan etis terhadap tiga hak sekaligus. Pertama, bersikap
tanggung jawab wajib etis (wajib bersikap etis atau baik) terhadap hak dalam
203
dirinya sendiri. Kedua sikap yang sama terhadap hak orang lain pada masanya:
dan kebaikan perilaku ekologis terhadap SDA melalui tata krama Jawa modern
dalam etos pemikiran Sri Mangkunegara IV, terimplikasi dalam cara bersikap
etisnya terhadap “hak” yang ketiga tersebut. Identifikasi itu seperti dijelaskan
dalam tahun 1960-an. Sekaligus disadari pula masalah itu, secara langsung atau
tidak langsung, penyebabnya adalah sistem bisnis modern kapitalisme dan atau
512
sosialisme. Karakteristik kesesuaian (kemodernan) dan kebaikan perilaku
511
Dimaksud “hak” (dalam tanda petik) sama dengan sebagai “hak” potensialitas
adalah, yang belum mempunyai hak legal dan hak moral. Namun, tetap memiliki potensialitas
dalam hak dan potensinya sudah sangat terarah, terutama mereka seperti janin dalam
kandungan ibu sama dengan sebagai generasi-generasi kita mendatang dan begitu itu juga bagi
sumber daya alam lainnya. Walaupun mereka belum berhak legal dan moral, kita tetap
berkepentingan dan atau berkewajiban moral terhadapnya. Lihat K. Bertens, Etika…, op. cit.,
hlm. 206-207.
512
K. Bertens, Pengantar Etika…, op ,cit., hlm.309.
513
Ungkapan sikap, menguasai secara berpartisipasi, menggunakan sambil
memelihara ini mengutip dari F.M. Suseno sebagai ciri-ciri etika lingkungan hidup yang baru
(modern). Menurutnya, manusia harus tetap menguasai alam untuk digunakan. Yang perlu
berubah adalah cara penguasaan, cara pemanfaatan. Menguasai tidak sebagai pihak di luar dan
di atas alam, melainkan sebagai bagian alam, sebagai partisipan dalam ekosistem bumi. Jadi
menguasai sambil menghargai, mencintai, mendukung dan mengembangkan atau memelihara.
Memanfaatkan, tetapi tidak sebagaimana orang menghabiskan isi sebuah tambang. Melainkan
204
kalimat itu implisit seperti pengertian kerakyatan di muka dan bagi keutamaan
modelnya Busana Langen Haran dalam etos pemikiran Sri Mangkunegara IV,
berbagai pihak yang berkepentingan baik sejak pada masanya sampai generasi-
tujuan etos dagangnya yang sesuai (modern atau baru) bagi masanya tersebut
dan kebaikan perilaku ekologis dalam tata krama Jawa modern berkat etos
termasuk di bidang dagang antara lain bidang perkebunan sebagai salah satu
bagian ekonomi kerakyatan (yang akan dibahas dalam bab berikutnya nanti).
seperti kita memanfaatkan seekor sapi perah yaitu, dengan sekaligus memeliharanya. Franz
Magnis Suseno, Berfilsafat dalam…, op. cit., hlm. 232.
514
Menurut F.M. Suseno, mamayu ayuning bawana artinya memperindah dunia,
dalam arti kita merasa sebagai pamong atau momong buwana (dunia), kita tidak merusakkan
melainkan memperindahnya. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah…, op. cit., hlm. 150.
Lihat juga Franz Magnis Suseno, Kuasa dan…, op. cit., hlm. 168.
515
Dimaksud problem (masalah), seperti yang panjang lebar telah dikaji di sini,
seperti karakteristik etos heteronominya kaum abangan dari priyayi dan wong cilik maupun
orang-orang Barat atau para pejabat Pemerintah Belanda pada masa Sri Mangkunegara IV
mengakibatkan perilaku ekologisnya cenderung tidak sesuai atau bertentangan dengan
205
Mencermati kembali eksistensi manusiawi stakeholders baik internal
dan eksternal yang sulit dipisahkan di muka,516 maka demi efisiensi tujuan etos
dagang Jawa yang sesuai (modern atau baru) diperlukan acuan strategi dan atau
dan kebaikan perlaku ekologisnya ditunjukkan melalui cara bersikap etis (tata
krama Jawa modern) dengan cara pelaksanaannya bersikap baik atau hormat
dan rukun serta peduli terhadap sesama manusia pada masanya sebagai
dalam kalimat tut wuri handayani. Analisa dan pemahamannya tata krama
Jawa modern (yang ditulis miring) itu kurang lebih sebagai berikut.
pandangan dunia dan hidup Jawa. Dimaksud kecenderungan perilaku ekologis mereka itu
adalah ke dalam sikap teknokratis, ekofasisme, kapitalisme, dan lain-lain.
516
Lihat penjelasan tentang sulitnya menarik garis pemisah dalam stakeholders
internal dengan eksternal dalam foot note nomor 933 pada halaman 423.
206
B. Bersikap Baik atau Hormat dan Rukun serta Peduli terhadap Sesama
Manusia
terutama dalam cara bersikap etis (tata krama Jawa modern) dengan caranya
bersikap baik atau hormat dan peduli terhadap tiga hak tersebut di muka, maka
bersikap baik terhadap siapa saja dan apa saja. Kedua, tuntutan untuk dalam
segala tindakannya selalu menghormati (bersikap etis) melalui tata krama Jawa
modern bagi keutuhan martabat manusia (segenap persona-nya orang lain juga
etika keadilan dan kepedulian dengan keberlakuannya, di satu sisi prima facie
517
Terutama pengertian bersikap baik atau hormat dan rukun dimaksud sebagai
prinsip-prinsip dasar moral yang sesuai dengan prinsip keadilan atau etika keadilan. Namun
belum tentu sama dengan sikap peduli atau etika kepedulian.
518
Dimaksud manusia adalah persona artinya, manusia memiliki akal-budi (hati
nurani, suara batin atau rasa) dan kehendak bebas. Sebagai itu manusia memiliki diri secara
reflektif, menangkap makna eksistensinya dan karena itu mampu disapa oleh Yang Ilahi.
Karena itu, manusia bernilai mutlak pada dirinya sendiri, artinya manusia tidak pernah boleh
dipakai semata-mata sebagai sarana, sedangkan binatang atau sumber daya alam lainnya juga
bernilai pada dirinya sendiri (intrinsik), seperlunya (sewajarnya) boleh diambil atau diperlukan
(dipersaldokan) demi kepentingan lebih besarnya/mendasarnya manusia. Terhadap diri sendiri
maksudnya, menuntut untuk tidak membiarkan diri terlantar atau diperkosa. Lihat Franz
Magnis Suseno, Pijar-pijar Filsafat…, op. cit., hlm. 279-282.
519
Dimaksud dengan kesatuan, menurut F.M. Suseno, sebuah etika yang memadai
harus menampung baik etika kepedulian maupun keadilan. Tanpa keadilan tidak ada moralitas,
dan tanpa kepedulian tidak ada keadilan. Prinsip kepedulian menuntut agar kita terlibat pada
keselamatan makhluk lain, prinsip keadilan merupakan implikasi hormat terhadap harkat
persona. Ibid., hlm. 263.
207
(kemodernan) dengan martabat manusia.520 Dimaksud dengan bersifat mutlak
itu adalah, kemutlakan tuntutannya rasa (suara batin)521 bukan dalam artinya
pasti benar. Melainkan mutlak untuk tidak pernah menyeleweng dari apa yang
atau bersikap peduli) melalui tata krama Jawa modern itu terhadap segenap
dan perintah berbagai otoritas, oleh tuntutan ideologi, atau bahkan oleh
perasaan spontannya sendiri. Rasa (suara batin) memuat tuntutan mutlak untuk
selalu bertindak dengan baik, jujur atau ikhlas, wajar serta, adil, apa-pun
tindakan moral Sri Mangkunegara IV yang berdasar pada tuntutan mutlak rasa,
dengan para intelektual Barat atau pejabat Pemerintah Belanda di bidang sastra
520
Menurut F.M. Suseno, keadilan mendapat prioritas dalam penataan struktur-
struktur kehidupan bersama manusia, karena merupakan syarat kesesuaian dengan martabat
manusia. Ibid., hlm. 278.
521
Kemutlakan tuntutan suara hati (rasa atau suara batin) tidak berarti bahwa suara
hati pasti benar. Suara hati-pun hanya berdasarkan penilaian-penilaiannya dan penilaian
manusia tidak pernah pasti seratus persen. Penegertian manusia pada hakikatnya terbatas dan
sering kurang lengkap dan kadang-kadang berat sebelah atau salah. Franz Magnis Suseno,
Etika Dasar…, op. cit., hlm. 56-57.
522
Dimaksud dengan “lembaga-lembaga normatif” seperti dari keluarga (orang tua),
tempat berguru, norma agama, tempat kerja dan atau negara. Bdk. Ibid., hlm. 49-50.
208
priyayi dan kyai-priyayi-nya Kasunanan Surakarta seperti telah dijelaskan di
muka.523
etisnya keutamaan Jawa dalam kalimat tut wuri handayani, sebagaimana dalam
baru) di satu sisi sebagai tata krama Jawa modern dan dalam pengertiannya
sikap toleransi modern pada masanya sebagai sisi lainnya. Maksudnya, dalam
modelnya itu tidak menghilangkan sama sekali budaya Jawa tradisional dalam
yang ditunjukkan dengan cara berpakaian ketika menghadiri suatu upacara adat
dalam etos pemikiran Sri Mangkunegara IV, di satu sisi sebagai obyektifikasi
523
Keakraban Sri Mangkunegara IV di bidang sastra dan keagamaan tersebut
misalnya, dengan C.F. Winter atau R.Ng. Ranggawarsita. Pergaulan akrabnya
mengimplikasikan sikap-sikap etis di satu sisi seperti, bersikap hormat atau baik, tahu diri
(eling atau ngemong), ilmiah, kritis, bersedia belajar dan bersikap integrasi dan egaliter serta
bersikap toleransi di sisi lainnya. Lihat uraian pembahasannya dalam halaman
524
Maksudnya di muka, analisa dan pemahaman etos pemikirannya itu seperti dalam
judul sub-bab A,
525
Maksudnya budaya Jawa tradisional bagi model cara berpakainnya dalam upacara
adat slametan seperti, pakaiannya Mangkunegara I ketika menghadiri acara pernikahan putrinya
Sunan Paku Buwana IV dalam keraton Kasunanan Surakarta atau model pakaiannya Sunan
Paku Buwana IX dalam acara peresmian bangunan Pesanggrahan Langen Harjan. Model dan
cara berpakaian mereka, di satu sisi cenderung tidak wajar (bersikap ekofasisme), model
209
atau konkretisasi tuntutan mutlaknya rasa mengidentifikasikan kecenderungan
cara bersikap etisnya seperti berdasar pada dimaksud sikap sepi ing pamrih,
Mencermati penjelasan tersebut maka sikap sepi ing pamrih, rame ing
gawe sebagai dasar kesadaran moralnya untuk wajib bersikap tanggung jawab
melalui tata krama Jawa modern sebagai caranya bersikap etis yang sesuai
masanya maupun bagi realitas sosialnya masyarakat Jawa yang hidup dalam
bersikap etisnya melalui tata krama Jawa modern dengan cara bersikap baik
atau hormat dan rukun serta peduli ini kaitannya dalam etika keadilan berlaku
secara prima facie. Acuan sifat keberlakuannya itu berdasarkan pada kualitas
dalam sikap sepi ing pamrih, rame ing gawe526 yang diidentifikasi dalam tiga
pakaian Jawa dengan Belanda dicampur apa adanya, dan di sisi lainnya berpakaian asli model
Jawa (bersikap toleransi tradisional). Lihat penjelasan bahasannya dalam halaman
526
Sikap-sikap etis dalam tiga tahapan dan rinciannya tiga kata sebagai kualitas
fenomen kesadaran moralnya etos pemikiran Sri Mangkunegara tersebut mengimplikasikan
sikap sepi ing pamrih, rame ing gawe, seperti yang secara tidak langsung dijelaskan F.M.
Suseno. Menurutnya, manusia sepi ing pamrih (bebas dari pamrih) akan mengembangkan
sikap-sikap etisnya seperti, nrimo, iklas dan, rila atau lila (legawa). Sikap etis yang sering
diucapkan bersama dengan sepi ing pamrih, adalah rame ing gawe dapat diartikan sebagai
kesediaan manusia untuk dengan tenang, rendah hati (andhapasor) atau tanpa pemor dan pamer
210
tahapan. Pertama, sembah catur kedua, catur upaya dan, tri-prakara dengan
makna spiritual internalnya: sikap tahu diri (eling atau ngemong) dirinci dalam
tiga kata: lila, trima dan, legawa serta, yang ketiga, dalam asta gina. Ketiga,
cara bersikap etis yang kedua itu semuanya sebagai suatu kesatuannya kualitas
dalam sikap transendensi dengan cara bersikap etisnya tata krama Jawa modern
approachnya demi efisiensi tujuan etos dagangnya yang sesuai (modern atau
baru), baik pada masanya (dalam bidang perkebunan), maupun bagi eksistensi
jangkauan motivasi dan maksudnya tidak terbatas bagi masanya saja. Namun
juga bisa dan atau baik dilestarikan sampai masa sekarang527 dan barangkali
masa selanjutnya.
motivasi dan maksud dengan tiga rangkumannya, dalam artinya yang terkhir
211
tersebut maka juga mengidentifikasikan pembaharuan pemberdayaan terhadap
cara bersikap etis melalui bersikap baik atau hormat dan rukun serta peduli
terhadap sesama manusia (tata krama Jawa modern) sebagai cara bersikap baik
(dalam bidang perkebunan) atau bagi kerangka acuan tantangan pemikiran etos
dagang Jawa pada umumnya (audit sosial) selanjutnya (Regional Jawa Tengah
dan Nasional).
Jawa modern) yang dimaksud sebagai strategi atau polanya pembangunan yang
(tegen), tekun atau tidak cepat puas dan putus asa (wekel) serta, selalu bersikap
hati-hati (ngati-ati). Lima cara bersikap etis itu dengan berbagai makna etisnya
527
Implikasinya masa sekarang seperti diidentifikasikan melalui modelnya Busana
Langen Harjan dalam etos pemikiran Sri Mangkunegara IV tersebut di muka.
528
Pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) berarti,
pembangunan yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan dari generasi pada masanya (sekarang),
tanpa membahayakan kesanggupan generasi-generasi selanjutnya (mendatang) untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri. Pembangunan ekonomi selalu juga harus
memanfaatkan SDA sedemikian rupa sehingga tidak boleh merusak atau mengurangi kualitas
lingkungan hidup yang sehat (baik) bagi generasi-generasi mendatang. K. Bertens, Pengantar
Etika…, op. cit., hlm. 321.
529
Menurut Moh Ardani, kelanjutannya Asta Gina adalah lima sikap etis tersebut.
Lihat Moh Ardani, al-Qur’an dan Sufisme…, op. cit., hlm. 170.
212
dalam eksistensi manusiawinya (stakeholders) kerakyatan seperti diungkapkan
motivasi dan maksudnya (sepi ing pamrih, rame ing gawe) acuan strategi atau
bersikap etis itu kesatuannya Asta Gina dalam tiga tahapan dengan tiga katanya
berikut. Pertama, bermuka manis dan bermata lembut atau, susila dalam
melalui kata-kata yang enak didengar. Ketiga, ramah tamah atau bersikap etis
bermanfaat atau jika tidak demikian lebih baik diam dan, ketujuh, sederhana
213
atau wajar (prasojo) dalam bertingkahlaku bukan dibuat-buat. Rincian berbagai
yang cenderung ke dalam sikap sepi ing pamrih, rame ing gawe tersebut, maka
530
Sri Mangkunegara IV, “Serat Darmalaksita”, dalam Ki Padmasusastra, Dwija…,
op. cit., hlm. 96
531
Sri Mangkunegara IV, “Serat Darmalaksita”, dalam Ki Padmasusastra, Dwija…,
op. cit., hlm. 98-99.
214
diobyektifikasikan (dikonkretisasikan) melalui empat cara bersikap etis dengan
Pertama, dalam tiga tahapan (sembah catur, catur upaya, dengan tri-
prakara-nya: lila, trima dan, legawa) sebagai acuan kecenderungan dasar sikap
etisnya ke dalam sikap sepi ing pamrih dengan kebaikan arti nilainnya dalam
batin,532 eksistensinya sikap eling pada Yang Ilahi533. Kedua, dalam Asta Gina
dengan lima dan tujuh sikap-sikap etis kesatuannya cara bersikap etis sebagai
acuan dasar kesadaran moral sebagai sikap etisnya dalam berbuhungan sosial
dengan kebaikan arti nilainnya seperti dimaksudkan rame ing gawe534. Ketiga,
identifikasi dan implikasi kebaikan arti nilainya yang pertama dan kedua itu,
dengan cara bersikap baik atau hormat dan rukun serta peduli terhadap sesama
manusia (tata krama Jawa modern) sama dengan bersikap baik (etis) terhadap
532
Dimaksud dengan batin, dijelaskan Y.A. Surahardjo, awal penggunaan kata batin
terkait erat dengan penyebutan ilmu batin di Indonesia (Jawa) didapatkan dalam kalangan
agama Islam sebagai konsep ajaran tasawuf, ilmu sufi atau suluk dengan kedalamannya segi
lahir-batin (eksoteri-esoteri). Keduanya terdapat dalam sejarah perkembangan agama-agama
maupun filsafat seperti, di Mesir dan Yunani Kuno, Monoteisme Yahudi, Kristen dan Islam. Di
India: Hindu dan Budha. Segi esoteri inilah di Indonesia (Jawa) disebut segi batin atau
kebatinan. Lihat Y.A. Surahardjo, Mistisisme…, op. cit., hlm. 31.
533
Dimaksud dengan Yang Ilahi adalah, “the ultimate Truth” bersifat supernatural
dan mutlak atau yang menentukan segala-galanya. misalnya bagi agama-agama Semit (Yahudi,
Kristiani dan, Islam) adalah Tuhan Yang Maha Esa (Allah), bagi Hinduisme: dewa. Ibid., hlm.
8.
534
Menurut F.M. Suseno, rame ing gawe sering diucapkan setelah sikap sepi ing
pamrih (sepi ing pamrih, rame ing gawe). Sikap sepi ing pamrih erat kaitannya dengan sikap
eling (tahu diri, ngemong), yaitu ingat akan Kasih Ilahi atau mengingat akan asal-usul
hakikinya yang batin, ingat akan ketergantungannya dari dan kepada Yang Ilahi, akan
tempatnya dalam dunia dan masyarakat. Berdasar dalam sikap eling-nya itu
ditumbuhkembangkan untuk rame ing gawe yaitu, sebagai pemenuhan kewajiban moralnya
dalam hidup bermasyarkat (bersosialnya) masing-masing dengan tenang, rendah hati
(andhapasor): tanpa pamor dan pamer. Oleh karena itu orang Jawa menuntut dirinya sendiri:
sing eling lan waspada: ingatlah dan berwaspadalah. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa
sebuah…, op. cit., hlm. 150-151. Lihat juga foot note nomor 951 dalam halaman 433 di muka.
215
Keempat, eksistensi kebaikan arti nilainya yang pertama, kedua dan,
ketiga tersebut, di satu sisi berada dalam etos pemikiran Sri Mangkunegara IV
etos dagangnya yang sesuai (modern atau baru) pada masanya di sisi lainnya.
kerakyatan (di bidang perkebunan) pada masanya yang hidup dalam kondisi
dapat memahamkan makna etisnya keutamaan Jawa dalam tiga kalimat yaitu:
mamayu ayuning bawana, tut wuri handayani dan mamangun karyenak tyasing
sasami.
moral pada masa Sri Mangkunegara IV yang bisa memahamkan makna etisnya
kalimat mamayu ayuning bawana, tut wuri handayani sebagai suatu kesatuan
seperti telah dijelaskan di muka. Namun, karena kesatuan makna etis kedunya
juga terkait dalam kalimat yang ketiga: mamangun karyenak tyasing sasami,
sebagai sistem makna etis keutamaan Jawa dalam tiga kalimatnya itu, antara
216
Identifikasi dan implikasinya pertama, seperti dijelaskan di muka. Sri
H.F. Buschken (Tuwan Busken). Raden Mas Ario Gondokusumo sejak awal
minta persetujuan dan arahan (pertimbangan) tentang cara atau model pakaian
yang hendak dikenakan dalam upacara pernikahannya nanti kapada Tuan atau
kecenderungan, di satu sisi agar bersikap sepi ing pamrih (tahu diri, ngemong)
atau bersedia secara etis (halus atau sopan) dalam merelakan kepentingannya
gawe yaitu, bersedia untuk tenang dalam suasana dialogis partisipatif (seperti
yang rame ing gawe implisit maksud, sebagai kedalaman (keluasan jangkauan)
motivasi dan maksud etosnya Sri Mangkunegara IV, tidak mengusahakan demi
217
betapapun sederhananya, demi kesejahteraan (kesenangan, kebahagiaan) dan,
Penjelasan tersebut bisa dengan kata lainnya, etos tindakan moral Sri
pamrih, rame ing gawe dalam arti, menurut F.M. Suseno, ia tidak gelisah atau
prihatin terhadap dirinya sendiri dan itu salah satu tanda (yang menunjukkan),
implikasi yang kedua dalam etos tindakan moral Sri Mangkunegara IV dialami
atau ditunjukkan di bidang politik seperti diuraikan di muka. Dia dipilih atau
moralnya (sikap etisnya) cenderung tidak suka berbuat negatif yang tergolong
ke dalam ma-lima.
tersebut kaitannya dengan empat cara bersikap etis dan kebaikan arti nilainya
di muka. Berdasarkan itu maka dapat disimpulkan, pertama, bagi proses gerak
535
Bdk., penjelasan-penjelasan tersebut dengan foot note nomor 959 dan 951,
218
mungkin, mengutip dari The Liang Gie, seperti koordinasi organisasi tataraga
di satu sisi antara agama, filsafat, ilmu dan, seni, serta tentang empat macam
di sisi lainnya.
219
Sri Mangkunegara IV tersebut masih di luar jangkauan kajian ini. Uraiannya
dan atau tindakan moralnya yang mungkin ditinjau dari sudut pandang lain.
informil sebagai proses gerak dialektika fenomen kesadaran moral dalam etos
efisiensi tujuan etos dagangnya cenderung bersikap etis yang sesuai (modern
atau baru) dalam tiga makna etisnya eksistensi manusiawi. Pertama, terbiasa
atau berkecenderungan mutlak dalam proses kesadaran diri melalui refleksi diri
dengan bermetode reflektif kritis (dengan makna etisnya sikap sepi ing pamrih,
rame ing gawe) adalah tata krama Jawa modern yang berlakunya prima facie
caranya dengan bersikap baik atau hormat dan peduli terhadap apa saja dan,
bersikap baik atau hormat dan rukun serta peduli terhadap sesama manusia.
Acuan
Acuan kesadaran moral dengan dua caranya itu juga dua, pertama
berdasarkan kewajiban moralnya yang prima facie seperti pada etika keadilan
makna etisnya aja mitunani wong liya: jangan merugikan orang lain) dalam
stakeholders atau dalam tuntutan realitas sosial masyarakat Jawa pada masanya
220
Kedua, obyektifikasi (konkretisasi) dua cara yang sesuai (modern atau
obyektifikasi itu berada dalam fenomen kesadaran moralnya kurang lebih dua.
perspektifnya di muka.539
tersebut di muka, atau nilai manusiawi lainnya seperti: cenderung lebih sopan,
halus (tidak kasar) dan, tenang. Pokoknya membahagiakan semua pihak yang
539
Lihat penjelasan dimaksud sikap transendensi dengan tiga perspektifnya pada
foot note nomor 715 halaman 307 atau nomor 789 halaman 339.
540
Dimaksud dengan transendental lihat penjelasannya dalam foot note nomor
541
Sekedar sebagai acuan dimaksud nilai-nilai dasar manusiawi, menurut F.M.
Suseno. Disebut sebagai nilai-nilai dasar kemanusiaan uninversal seperti: kebebasan dari
penindasan, demokrasi, keadilan sosial, hak-hak asasi manusia, hak-hak buruh dan orang kecil
(keterlibatannya dalam sejenis LSM); kebebasan suara batin, berkepercayaan, beragama dan
berpolitik, toleransi religius serta penghargaan prinsipiil terhadap keyakinan hati orang lain,
kebebasan berilmu pengetahuan dan berinformasi; cita-cita lingkungan hidup, cita-cita budaya
dan seni, penolakan terhadap bentuk-bentuk kekuasaan totaliter, rasisme, diskriminasi dan
sebagainya. Termasuk penolakan terhadap kekerasan, terorisme dan atau peperangan sebagai
221
Ketiga, eksistensi manusiawi (nilai-nilai manusiawi) itu berada dalam
etos dagangnya yang sesuai (modern atau baru) pada masanya di muka, sebagai
baik dalam pandangan dunia dan hidup Jawa dengan sistem nilai-nilai moral
dengan makna etisnya keutamaan Jawa dalam tiga kalimat: mamayu ayuning
krama Jawa modern) bagi acuan pembangunan yang berkelanjutan pada masa
sebagai kerangka acuan tantangan pemikiran etos dagang Jawa pada umumnya
sarana mencapai tujuan politik dan banyak nilai lainnya. Orang yang sama-sama meyakini
nilai-nilai dasar kemanusiaan seperti itu dapat berkomunikasi secara mendalam dan amat
bermakna meskipun berbeda agamanya. Franz Mgnis Suseno, Pijar-pijar Filsafat…, op. cit.,
hlm. 23-24.
542
Dimaksud karakteristik etos pemikirannya adalah tiga: realistis dan rasional,
berjuang bersama tanpa kekerasan dan, sesuai dengan identitas budaya atau pengalaman
keagamaan (Islam) Jawa.
222
eksistensi manusiawi (nilai-nilai dasar manusiawi) di muka. Karenanya, uraian
berikut ini diperjelas dimaksud pembangunan itu sebagai yang sesuai (modern)
dan selaras dengan identitas budaya atau pengalaman keagamaan (Islam) Jawa.
konkretisasi cara bersikap etis (berperilaku etis) pada tata krama Jawa modern
prosesnya wilayah transenden acuan keyakinannya pada yang suci (the sacred
atau transempiris). Keyakinan itu di satu sisi acuan cara bersikap etisnya baik
etisnya (tata krama Jawa modern) bermakna spiritual internal bersifat komunal
implisit dalam pandangan dunia dan hidup Jawa. Acuan analisa implikasinya di
543
Makna etisnya nilai-nilai moral budaya Jawa tradisional mengacu pada tiga
karakteristik inti konsep (central concepts) sistemnya: harmonis, strktural fungsional dan,
transendental.
223
sini tidak sebatas pada kaum abangan: priyayi atau wong cilik (menurut C.
Gert). Melainkan juga berdasarkan konstruksi teoritis pemikiran para ahli lain
sebagai semacam pendapat umum, perlu dianalisa dan dipahami makna etisnya
sebagai kerangka acuan tantangan pemikiran etos dagang Jawa pada umumnya
(adit sosial) dalam etos dan atau struktur pemikiran manajemen stakeholders-
realitas sosial masyarakat Jawa yang dalam kondisi kolonial atau masyarakat
penting lain kaitannya dalam hal ini, mungkin karena dasar acuan obyektifikasi
(konkretisasi) pandangan dunia dan hidup Jawa kaum abangan bukan laku-nya
544
Bdk. penjelasan tersebut dengan halaman 304-306.
545
Memberikan pengertian dalam istilah bahasa Jerman disebut Aufklarung berarti
pencerahan maksudnya, mencerahkan atau memberikan cahaya dan pengertian. Hakikat setiap
teori ialah, ingin mencerahkan dan membebaskan manusia. Dalam pengertian ini, filsafat
Yunani, sejak dari Heraklitos dan Permenides, kaum Shopis, Plato dan Aristoteles, kaum Stoa,
para pengikut Epikuros sampai ke Plotinus, dapat dipahami sebagai usaha untuk mencerahkan
dan membebaskan. Pada jaman modern, istilah Aufklarung menjadi nama bagi suatu periode
pemikiran yang sangat dramatis. Franz Magnis Suseno, Pijar-pijar Filsafat…, op. cit., hlm.
150-151.
224
cenderung mengembangkan pemikiran (prasangka) berbagai kepercayaan yang
hidup Jawa tersebut, tetapi tujuannya itu tidak berhasil. Penyebab utamanya
apa yang dipandang itu. Maksudnya, teorinya itu hanya mengubah pengertian
tentang realitas, tetapi tidak mengubah realitas itu sendiri. Realitas tetap saja,
yang lebih memuaskan, justru menjadi puas dengan realitasnya itu. Karenanya,
546
Penjelasan pertama dan kedua tersebut mengacu pada konstruksi pemikiran F.M.
Suseno tentang teori tradisional kaitannya dengan realitas atau kebenaran. Menurutnya, teori
tradisional gagal dalam memberikan pengetahuan yang mencerahkan serta membebaskan
manusia dari pemikiran (prasangka), kepercayaan-kepercayaan takhayul, menakutkan,
penipuan dan, atau kebohongan. Teori tradisonal hanya mengubah pengertian kita untuk berada
sedekat mungkin dengan realitas atau kebenaran, namun tidak mengubah relitas itu sendiri.
Sebabnya adalah, teorinya membatasi diri pada kontemplasi artinya memandang, tetapi tidak
menjadi praktis dan mencoba untuk mengubah apa yang dipandang itu, maka dengan teorinya
itu pendekatan kontemplatif sekaligus menjadi afirmatif. Artinya, dengan memberikan
pengertian yang lebih memuaskan tentang realitas, kita justru menjadi puas dengannya, jadi,
225
berpolitik dan, perekonomian (perdagangan), seperti dijelaskan sebagiannya di
muka.
pengalaman keagamaan (Islam) dalam pandangan dunia dan hidup Jawa kaum
dialektika fenomen kesadaran moralnya sumber kesadaran diri atau refleksi diri
bagi efisiensi tujuan etos dagang pada masanya (bidang perkebunan) baik bagi
maupun bagi realitas sosialnya masyarakat Jawa yang dalam kondisi kolonial
Mangkunegara IV, di satu sisi mengakui (pada sikap baik atau hormat) bahwa,
eksistensi pengalaman keagamaan (Islam) Jawa atau bagi pandangan dunia dan
realitas itu diafirmasikan atau dibenarkan maka teori tradisional menjadi pendukung keadaan
yang ada. Ia menjadi konservatif dan reaksioner. Ibid., hlm. 155.
547
Emansipasi (pembebasan) merupakan pernyataan diri yang paling mendalamnya
suara batin (rasa) dengan teori kritisnya sebagai teori refleksif. Ibid., hlm. 154.
226
(realitasnya ngelmu: pengetahuan, pengalaman mistis) juga sebagai atau berada
problem itu dan yang telah disebutkan, maka di satu pihak tidak sesuai atau
maka pada pihak lainnya dalam realitas sosialnya terjadi semacam krisis sistem
sosial.548 Keadaannya itu dari segi etika ekonominya (pasar bebas dan ekonomi
Berdasar pada dua krisis sebagai problem sosial masyarakat Jawa itu
demi kedalaman realitas ngelmu dalam pandangan dunia dan hidup Jawa kaum
548
Menurut F.M. Suseno, krisis sitem sosial adalah, para anggota masyarakat
mengalami perubahan-perubahan struktur sebagai ancaman terhadap kemapanan mereka dan
merasa terancam dalam identitas sosial mereka sehingga generasi-generasi berikutnya tidak
lagi mengenali diri kembali dalam tradisi hakiki masyarakat itu. Ibid., hlm. 179.
549
Diamksud dengan krisis ekonomi adalah, konflik laten antara kelas-kelas sosial
muncul sebagai masalah cara dan yang mengemudikan proses perekonomian. Ibid., hlm. 183.
227
manusiawinya berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders: SDA-SDM).
Cara bersikapnya itu pada dasarnya sama dengan bersikap baik atau hormat
dan peduli terhadap apa saja dan bersikap baik atau hormat serta rukun dan
pada masanya.
acuan cita ideal kedalaman atau keluasan jangkauan motivasi dan maksud etos
krama Jawa modern), acuan pembangunan yang berkelanjutan pada masa dan
dengan cara bersikap etisnya pada kedalamannya sikap sikap sepi ing pamrih:
sembah catur, catur upaya, tri-prakara-nya: lila, trima dan, legawa dengan
dasar sikap eling dalam batin: Yang Ilahi, transendental. Obyektifikasi atau
ditunjukkan dalam pengertian bahwa sikap-sikap etisnya itu, di satu sisi tidak
absolut dan mutlak atau bukan otoniminya dalam segala dimensi maksudnya,
bukanlah otonominya untuk menentukan pada yang baik dan yang buruk.
(wahyu, anugerah Tuhan: sumber segala nilai), maka terbuka pada yang mutlak
228
(bisa disapa oleh yang mutlak)550 dan karenanya dapat menentukan sikapnya
(otonom) pada nilai-nilai moral yang baik dan buruk. Kejelasan maksudnya,
ingat atau eling) dan bergantung dari dan kepada Yang Ilahi (adikodrati dan,
transendental)551
eling berada dalam kesatauan sembah catur, catur upaya, tri prakara-nya: lila,
trima dan, legawa dengan lima sifat sikap etisnya: rajin (sregep), bersungguh-
sungguh (pethel), bertabah hati (tegen), tekun (wekel) dan, bersikap hati-hati
(pangati-ati). Inti eksistensi cara bersikap etisnya eling berarti, implisit berada
pada kedalaman lila, trima, legawa dan, lima sifat sikap etis itu identifikasinya
yang dikehendaki atau diajarkan dalam etos dan struktur pemikiran manajemen
(tata krama Jawa modern) acuan pembangunan yang berkelanjutan pada masa
550
Istilah bisa disapa oleh yang mutlak, mengutip dari F.M. Suseno, maksudnya
pada struktur fenomen kesadaran moral dalam suara batin (rasa) manusia menyadari diri
dipanggil dengan mutlak untuk melaksanakan dan menentukan kebebasan sikapnya terhadap
nilai absolut sekaligus tanda martabatnya dalam keterbukaannya terhadap yang mutlak atau
dalam kesanggupannya mendengarkan panggilan (sapaan) dari yang mutlak. Franz Magnis
Suseno, Etka Jawa sebuah…, op. cit., hlm. 20-21.
551
Menurut F.M. Suseno, eksistensi nilai-nilai yang manusiawi (nilai-nilai dasar
manusiawi) sebagai paham kemanusiaan universal, hanya mungkin terbentuk berdasar pada
pengalaman keagamaan (religius). Franz Magnis Suseno, Pijar-pijar Filsafat…, op. cit., hlm.
233. Paham itu implisit dalam dasar kesadaran orang Jawa dengan kalimatnya: ”aja lali
marang asale” artinya, hendaklah selalu bersikap ingat (eling) bahwa “jangan melupakan
asalmu” atau maka hendaknya ingat (eling) akan Allah dan sesuai dengan itu hendaknya
mempercayakan diri pada bimbingan Yang Ilahi (pracaya) atau percaya kepadaNya. Lihat
229
dan bidangnya masing-masing. Maksudnya, pihak-pihak yang berkepentingan
dalam cara bersikap transendensinya dimaksud sabar demi efisiensi tujuan etos
umumnya (audit sosial) tidak atau belum disebutkan sikap-sikap etis apa yang
sesuai (selaras) di dalamnya. Misalnya, sabar itu tanda seorang pemimpin baik
Sabar juga diartikan, mempunyai nafas panjang dalam kesadaran bahwa pada
Searah dengan maksud identifikasinya lima sifat cara bersikap etis itu,
pengembangan diri, berada pada kedalaman sikap sikap sepi ing pamrih acuan
reflektif kritis demi dua kesadaran kewajiban moral. Pertama, demi kewajiban
moralnya yang prima facie seperti pada etika keadilan dan kepedulian. Kedua,
Soetrisno, Falsafah Hidup Pancasila…, op. cit., hlm. 13. Lihat juga Franz Magnis Suseno,
Etika Jawa sebuah…, op. cit., hlm. 139.
552
Lihat Cliffort Gertz, Abangan, Santri,…, op. cit., hlm.323. Lihat juga Franz
Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah…, op. cit., hlm.142.
230
demi perhatian semestinya (aja mitunani wong liya) dalam keseimbangan yang
demi ketangguhan sosialnya yang selaras (sesuai) pada sisi lainnya. Dimaksud
masyarakat Jawa pada masanya yang mengalami krisis sistem sosial dan krisis
manusiawi) bermakna spiritual internalnya sikap eling (sepi ing pamrih) pada
rasa-nya (suara batinnya) dari dan pada Yang Ilahi (transendental). Eksistensi
kekuasaan kebaikan arti nilai-nilai dasar manusiawi itu pada dasarnya fitrah
semua manusia dan juga acuan kecenderungan tetapnya bagi acuan fenomen
kesadaran moralnya (rasa) melalui proses gerak dialektika kesadaran diri atau
553
Lihat Koentjaraningrat, Rintangan-rintang Mental…, op. cit., hlm. 43.
554
Menurut Mitchael Foucault ada dua macam arti kekuasaan. Pertama, kekuasaan
sebagai rujukannya kehendak kodrat dalam diri manusia untuk melakukan sesuatu yang
memiliki pengaruh nilai baik dalam maupun luar dirinya, dan kedua, pada sisi praktek
intervensi individu atau institusi terhadap yang lain secara negatif. Pada pengertian pertama,
kekuasaan itu berada di mana-mana, menjadi semacam jaring yang disebut sebagai kekuasaan
mikrofisik. Kekuasaan ini dijalankan tidak semata-mata sebagai alat pemaksaan oleh mereka
“yang berkuasa” tetapi juga berlaku bagi semua orang, dan kekuasaan ini tersebar oleh
tindakan mereka itu sendiri. Bahkan pengetahuan itu sendiri identik dengan kekuasaan.
Mitchael Foucault, Power/Knowledge, Selected Interview & Other Writings 1972-1977,
(Brighton: The Harvester Press, 1980), hlm. 182-183.
231
Acuan dasar eksistensinya karakteristik obyektifikasi dan konkretisasi
berasal dari pola atau model pendidikannya sejak kecil dalam kekeluargaannya
tetapnya itu, pada sisi lainnya cara memperolehnya tidak laku-tapa (asketisme:
melalui laku, dalam proses kesadaran diri atau refleksi diri bermetode reflektif
kritis pada sembah catur telah dijelaskan di muka. Prosesnya (teori kritis dan
555
kebebasan kehendak) itu menentukan kesadaran reflektif baginya sebagai
bersama tanpa kekerasan serta, yang sesuai (selaras) bagi identitas budaya atau
krisis ekonomi.
sebagai kesatuan-mutlanya sikap sepi ing pamrih yaitu lila, trima, legawa dan
555
Dimaksud dengan kesadaran reflektif, menurut F.M. Suseno, artinya bertindak
atas dasar pertimbangan dan penilaian rasional dalam teori kritis. Teori kritis merupakan teori
yang refleksif artinya, teori itu tidak saja mengenai salah satu masalah, melainkan dalam
menangani sebuah masalah, ia menyadari dirinya sendiri, ia merefleksikan perannya sendiri
sebagai teori. Karenanya, teori kritis berbeda antara teori kontemplatif dan teori kritis. Teori
232
sembah catur bagi proses kesadaran reflektifnya. Identifikasinya implisit pada
kedalaman motivasi dan maksud cara bersikap etisnya lila, trima dan, legawa.
Implikasi makna etis pada ketiganya, oleh para ahli556 selalu terangkum pada
(Islam) Jawa. Namun, pada sisi lainnya (pada masanya Sri Mangkunegara IV)
cenderung tidak dan kurang sesuai dengan yang dibuktikan atau ditunjukkan di
pamrih mesti terkait dengan rame ing gawe namun belum tentu sesuai (selaras)
dengan identitas budaya atau pengalaman keagamaan (Islam) Jawa jika acuan
acuan teoritis eksistensi kecenderungan tetap etos dan struktur pemikiran Sri
kritis menjadi praktis artinya, mempunyai dampak pada perubahan realitas sebagai teori. Franz
Magnis Suseno, Pijar-pijar Filsafat…, op. cit., hlm. 153 dan 179.
556
Dimaksud para ahli misalnya, menurut Koentjaraningrat, lila (rila) sama dengan
iklas berarti, “bersedia” melepaskan individulaitas sendiri dan mencocokkan diri ke dalam
keselarasan alam semestanya Yang Ilahi sebagaimana sudah ditakdirkanNya. Koentjaraningrat,
Rintangan-rintangan Mental…, op. cit., hlm. 43. Lihat juga Suffridus de Jong, Salah Satu
Sikap…, op. cit., hlm. 22. Trima (nrimo) berarti menerima segala apa yang datang tanpa protes
dan pemberontakan. Sikap nrimo memberi daya tahan untuk juga menanggung nasib yang buruk
karena sudah takdirnya dari Yang Kuasa. Koentjaraningrat, Rintangan-rintangan Mental…, op.
cit., hlm. 44. Legawa (iklas dan lila) bukan sebagai menyerah dalam arti jelek, melainkan
sebagai tanda penyerahan otonom (sumber kesadaran Yang Ilahi atau transendental), sebagai
kemampuan untuk melepaskan penuh pengertian daripada membiarkan saja sesuatu direbut
secara pasif. Suffridus de Jong, Salah Satu Sikap…, op. cit., hlm. 18.
233
berada dalam kesatuan permasalahan realitas sosialnya masyarakat Jawa pada
memanfaatkan cara bersikap etisnya sepi ing pamrih melalui tata krama Jawa
rame ing gawe yang berlaku prima facie pada dua eksistensi manusiawinya
konkretisasi itu dimaksud prima facie dalam etika keadilan dan kepedulian
demi perhatian semestinya (ojo mitunani wong liya), implisit dalam sikap-sikap
etis Asta Gina dengan tujuh dan lima sifat lainnya di muka. Berbagai caranya
bersikap etis tersebut cenderung belum, bahkan tidak menjadi acuan teoritisnya
Belanda.
dalam pandangan dunia dan hidup Jawa pada umumnya. Dimaksudkan dengan
kesamaannya itu adalah, dalam caranya bersikap etis sebagai obyektifikasi atau
konkretisasi sikap-sikap etisnya Asta Gina, tujuh dan lima sifat lainnya implisit
557
Dimaksud dengan dua kesadaran kewajiban moral yang prima facie adalah,
pertama seperti pada etika keadilan dan kepedulian. Kedua, demikian juga berlakunya demi
perhatian semestinya (aja mitunani wong liya) dalam keseimbangan yang proposionalitas
identifikasikan kemodernan dan kebaikan perilaku ekologisnya dengan makna etisnya, di satu
sisi demi obyektifikasi teosentris-humanistik dan demi ketangguhan sosialnya yang selaras
(sesuai) pada sisi lainnya. Dimaksud dengan identifikasi keselarasannya adalah, baik dalam
eksistensi manusiawinya (nilai-nilai dasar manusiawi) stakeholders dan dalam tuntutan realitas
sosialnya masyarakat Jawa pada masanya yang mengalami krisis sistem sosial dan krisis
ekonomi seperti telas disebutkan di muka. Lihat dalam halaman 452.
234
dimaksud demi pembaharuan pemberdayaan pengembangan dirinya dan napsu-
Sika-sikap etisnya itu (tata krama Jawa modern) juga sebagai obyektifikasi atau
konkretisasi dimaksud prima facie dalam etika keadilan dan kepedulian demi
Suseno, yang dianggap nafsu jelek dan bahaya oleh orang Jawa. Pandangannya
hampir tidak berbeda dari pandangan orang Eropa Barat yang normal. Banyak
berbahaya antara lain yang sangat populer disebut “malima”: madat, madon,
558
minum, main dan, maling. Bahaya lain yang harus diperhatikan orang Jawa,
kepentingan diri sendiri saja dengan tidak menghiraukan kondisi dan berbagai
menange dhewe artinya, selalu mau menjadi orang yang pertama, nepsu benere
dhewe berarti, menganggap diri selalu betul dan, nepsu butuhe dhewe artinya,
mudah menimbulkan semua sifat yang amat dibenci oleh orang Jawa, seperti
dahwen dan open artinya, sering mencampuri urusan orang lain. Drengki sama
558
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah…, op. cit., hlm. 139
235
dengan dengki artinya, tidak suka melihat orang lain dalam kesuksesan, srei
atau suka iri, jail artinya suka main intrik dan, methakil adalah kekasaran.560
Berbagai nafsu jelek atau bahaya itu seperti, “malima”, tiga nafsunya
open, drengki, srei, jail dan, methakil, implisit maksudnya dalam ungkapan Sri
berikut:
559
Soetrisno, Falsafah Hidup Pancasila…, op. cit., hlm. 26-28.
560
Ibid., hlm. 22.
561
Mangkunegara IV, “Serat Whedatama”, dalam: Ki Padmasusastra, Dwidja…, op.
cit., hlm. 117
562
Ibid., hlm. 117-118.
236
pamrih, oleh karena itu mustahil ia dapat mendekatkan diri kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa”.563
“Jangan lalai bahkan perhatikanlah, apa yang aku katakan seperti
berikut: pertama jangan membuat gelisah, kedua jangan membuat malu,
ketiga janaganlah kamu melakukan, perilaku yang mengganggu, keempat
jangan berusaha mencelakakan,… dan kelima janganlah kamu melanggar
pantangan ini, karena menyebabkan marah hatiku”.564
“Karena kesalahannya sendiri, mabuk lalu berjalan sempoyongan
seperti mau jatuh,… berlaku sombong dan atau kurang ajar, menggedor-
gedor pintu, tak ubahnya perilakunya, seperti orang mau membuat
kerusuhan.565
“… oleh karena itu wahai anak berantaslah segera, berbagai sifat jahat
itu dari hatimu, dan “berupayalah ke arah keselamatan”.566
ideal kedalaman atau keluasan jangkauan motivasi dan maksud dalam etos dan
etos dagang Jawa baik pada masanya dan umumnya dengan strategi atau pola
dengan sikap-sikap etis Asta Gina dan tujuh serta, lima sifat sikap etis lainnya,
memahamkan asas dan pedoman dalam pandangan dunia dan hidup Jawa pada
umumnya (audit sosial) atau selaras dengan identitas budaya atau pengalaman
563
Ibid., hlm. 118.
564
Mangkunegara IV, “Serat Paliatma”, dalam: Ki Padmasusastra, Dwidja…, op.
cit., hlm. 74.
565
Mangkunegara IV, “Serat Palimarma”, dalam: Ki Padmasusastra, Dwidja…, op.
cit., hlm. 81-82.
237
keagamaan (Islam) Jawa pada umumnya. Pemahaman ini dimaksud, di satu sisi
bagi pembaharuan pemberdayaan dirinya (napsu-napsu atau sifat jelek dan atau
etisnya ojo mitunani wong liya. Keberlakuan makna etisnya prima facie seperti
tujuan etos dagang Jawa modern pada masanya sebagai sisi lainnya. Maksud
Efisiensi tujuan etos dagang Jawa modern yang selaras bagi eksistensi
sifat cara bersikap etis dalam aktivitas dagangnya, rajin (sregep), bersungguh-
(disposisi sifat baik: kecenderungan tetap pada sifat baik) atau ber-etos567 pada
lima sifat tersebut. Arah maksud makna etisnya barangkali seperti pada kalimat
Jawa: ojo leren lamun durung sayah, ojo mangan lamun durung luwe artinya,
566
Ibid., hlm. 83.
567
Menurut K. Bertens, keutamaan adalah sifat baik yang mendarahdaging
(disposisi: kecenderungan tetap) pada seseorang dalam hubungan eksklusifnya dengan moral.
Pengertian itu bisa disejajarkan arah maksudnya antara keutamaan dengan etos. K. Bertens,
Etika…, op. cit., hlm. 217-218.
568
Bdk. Soetrisno, Falsafah Hidup Pancasila…, op. cit., hlm. 26.
238
sebatas kemampuan maksimal, sesuai dengan kondisi jamannya (panggautan
belanja berapa biaya yang diperlukan (wruh ing petungan). Keenam, rajin
bertanya pada para ahli dalam ilmunya jangan malu-malu, agar tambah
menahan kehendak hawa nafsu dari berbagai keinginan yang tidak berfaedah
serta menjauhi pemborosan harta (nyegah kayun pepinginan ………, tan boros
marang arto). Kedelapan, bertekad bulat (berniat teguh). Sikap demikian itu
akan dapat berpengaruh pada tercapainya berbagai cita-cita dalam waktu yang
tidak lama (nemen ing seja, watekira sarwa gelis ingkang kinapti).
dalam berbagai kalimat Jawa, pertama, pinter aja kuminter, sugih aja semugih
jagad ora sagodhong kelor dimaksud, adalah berguna untuk selalu ingat (eling)
bahwa “dunia tidak hanya sebesar daun kelor”. Misalnya, pedagang yang patah
569
Ibid., hm. 15.
239
hati maka hendaknya ia eling bahwa dalam dunia ini masih ada lebih banyak
kesempatan lagi.570
etisnya terkait erat dengan sikap nrima artinya, pedagang pada keadaan kecewa
putus asa dan, juga dengan tidak menentang secara percuma. Pedagang dengan
etisnya kata ketiga tersebut berarti, “ia tetap gembira dalam penderitaan dan
wong urip ora gampang, diarani gampang yo gampang, diarani angel yo angel
yang berarti, hidup itu tidak mudah, disebut mudah ya mudah, disebut sulit ya
sulit.572
yang ketiga, dirinci dalam tujuh cara bersikap etisnya. Pertama, bermuka manis
kecurigaan. Kedua, berbicara halus atau melalui kata-kata yang enak didengar.
Ketiga, ramah tamah artinya, bersikap etis atau perilaku yang memperlihatkan
tinggi. Keenam, bicaralah yang bermanfaat atau jika tidak demikian lebih baik
diam dan, ketujuh, sederhana atau wajar (prasojo) dalam bertingkahlaku bukan
dibuat-buat.
570
Bdk. Ibid., hlm. 12.
240
Identifikasi eksistensi makna etisnya tujuh cara bersikap etis itu arah
Pertama, timun wungkuk jaga imbuh, dimaksud “timun wungkuk”: timun yang
tidak berguna atau remeh, tidak berdaya beli dipersiapkan untuk diberikan
secara gratis pada konsumen. 2) wungkuk, simbol “bungkuk” badan dalam arti,
tanda sikap baik atau hormat (ramah-tamah atau sopan santunnya) tata krama
Jawa. Dua makna etis itu dalam pembaharuan pemberdayaannya bisa seperti
di muka dilanjutkan, seperti dalam kalimat Jawa yang kedua, yaitu tuna satak
bathi sanak. Kalimat itu makna etisnya adalah, “rugi sedikit barang (wungkuk)
Berdasar sikap etisnya itu maka aktivitas dagang Jawa dalam suasana
sikap saling kasih (tresno) atau bersikap simpati dalam kepedulian. Misalnya,
para pelanggan, entah membeli atau tidak, selalu dalam keakraban. Sikap itu
implisit dalam kalimat: mangan ora mangan nek kumpul artinya, “makan tidak
makan, pokoknya kita bersama”, dan karenanya, ono sethithik didum sethithik,
ono akeh didum akeh artinya, apa yang kita punyai kita bagi, “kalau sedikit
574
dibagi sedikit, kalau banyak dibagi banyak”. Ketiga, juga bersikap untuk:
571
Bdk. bid., hlm. 15
572
Ibid., hlm. 21.
573
Bdk. Jakob Oetomo, Dunia Usaha…, op. cit., hlm. 28.
574
Bdk. Soetrisno, Falsafah Hidup Pancasila…, op. cit., hlm. 39.
241
sapa becik den beciki, sapa ala den beciki maksudnya, “akan bersikap baik
tidak hanya terhadap orang baik, tetapi juga kepada orang buruk”. Maksudnya
seperti, tega larane nanging ora tega patine: “jika mungkin harus menyakiti
stakeholders hendaknya bersikap tahu diri (eling) secara wajar (prasojo) seperti
betul, tetapi jangan memakai cara seperti itu” sebab, becik ketitik ala ketara:
Kata-kata seperti, “makan atau tidak, “kumpul atau tidak”, dan lainnya
etisnya sepi ing pamrih, rame ing gawe (dalam tata krama Jawa modern) yang
keadilan dan kepedulian. Keadaan itu mungkin seperti dimaksud F.M. Suseno
menyatakan, sesama manusia pada budaya dagang Jawa tidak dianggap sebagai
575
Bdk. Ibid., hlm. 28.
576
Ibid., hlm. 38.
577
Dimaksud dialogis partisipatif pada kesadaran transendental adalah, proses
komunikasi antar semua pihak berkepentingan (stakeholders SDA-SDM) dan bersangkutan
dalam suatu komunikasi yang bebas dari kekuasaan. Menurut F.M. Suseno, terwujudnya proses
komunikasi itu merupakan kepentingan transendental manusia. Maksudnya seperti, ketika
pedagang, manajer, karyawan, pemasok, pelanggan, konsumen dan lingkungan masyarakat
atau sang tuan dan si budak suatu saat secara bersama-sama memikirkan pemecahan sebuah
242
obyek dipakai demi kepuasan berbagai kebutuhannya (laba) sendiri, melainkan
dikaji sistematisasi saling keterkaitannya antara berbagai kata dan atau kalimat
Asta Gina, lima sifat dan, tujuh sikap etis itu sebagai pemahaman pemanfaatan
(ngemong) pada kedalaman fenomen kesadaran moral dalam etos dan struktur
Jawa modern pada masa dan dalam pemikiran Sri Mangkunegara IV.
Jawa modern tersebut mungkin, di satu sisi (dalam cita idealnya) menghendaki
yang sesuai (modern atau baru) dalam budaya dagang Jawa pada masanya yang
masalah, mereka bukan lagi seperti tuan dan budak, melainkan sama-sama manusia. Franz
Magnis Suseno, Pijar-pijar Filsafat…, op. cit., hlm. 158.
578
Franz Magnis Suseno, Berfilsafat dalam…, op. cit., hlm. 86.
579
Keselarasan ekonomi (economic harmonies) adalah, kekuatan-kekuatan yang
menimbulkan kemakmuran masyarakat secara keseluruhan, apabila setiap individu mengejar
kepentingan sendiri. Menurut Adam Smith, kekuatan-kekuatan tersebut bukanlah berasal dari
manusia. Melainkan, manusia “dipimpin” oleh “tangan tak-kelihatan” (invisible hand) untuk
membantu untuk mencapai tujuan yang bukan (mungkin ?) merupakan bagian dari
keinginannya Winardi, Kamus…, op. cit., hlm. 179-180.
243
lainnya. Berdasar pada pemahaman identifikasi obyektifikasi atau konkretisasi
karakteristik cita ideal dalam etos dan struktur pemikiran Sri Mangkunegara IV
demi efisiensi tujuan etos dagang Jawa pada masanya tersebut, maka berikut
580
Ahli efisiensi (efficiency engineer) artinya, seorang yang ahli dalam bidang
244
BAB IV
IMPLEMENTASI STRATEGI SRI MANGKUNEGARA IV
BAGI BUDAYA DAGANG JAWA DAN PERSPEKTIF
PEMAHAMANNYA
Perkebunan
terkait dengan budaya dagang Jawa adalah, dalam arti bahasanya sebagai acuan
metode-metode produksi dan pengawasan yang mengusahakan agar dihindari pemborosan dan
ditentukan prosedur yang lebih efektif. Ibid., hlm.187.
581
Istilah “perspektif” secara umum berarti, sudut pandangan atau pandangan. Istilah
itu bisa berarti: 1) pandangan dari sudut satuan kompleks bahasa sebagai wujud yang bergerak,
yang mempuyai bagian awal, inti dan, bagian akhir sebagai satu kesatuan, disebut sebagai
“pandangan dinamis”. 2) pandangan dari sudut satuan bahasa sebagaimana satuan itu
berhubungan dengan yang lain dalam satu sistem atau jaringan disebut sebagai “pandangan
relasional”. 3) pandangan dari sudut satuan bahasa sebagai unsure yang lepas, disebut sebagai
“pandangan statis”. Hasan Alwi (Pim. Red.), Kamus Besar…, op. cit., hlm. 864.
245
orang-orang berdarah biru ini tidak diperbolehkan bekerja, tetapi mereka
mempunyai kewajiaban menghidupi semua kerabatnya. Rasa haus akan
gemerlapan dan kemewahan yang umumnya ada di kalangan orang-orang
Jawa yang berpangkat dan terkemuka, khususnya yang ada di Keraton Solo,
di satu sisi karena berkurangnya wilayah kekuasaan dan di sisi lain karena
salah urus yang bercampur dengan akibat-akibat penyewaan tanah
(lungguh) perkebunan, telah menyebabkan kemiskinan di kalangan para
pangeran dan pembesar-pembesar Kerajaan Surakarta”.582
antara acuan pandangan nilai-nilai moralnya cara bersikap dengan jalan yang
harus selalu nastiti, ngati-ngati dan, gemi cenderung bersifat statis dan berbalik
arah ke dalam sikap pamrih dengan berbagai implikasi napsu negatifnya tadi di
582
Viencent J.H. Houben, Keraton dan Kompeni…, op. cit., hlm. 343-345.
583
Status sosial priyayi merupakan golongan elit dalam masyarakat tradisional Jawa
di Surakarta pada akhir abad XVIII dan awal abad XIX. Pola hidup priyayi dalam konteks
birokrasi kerajaan sebagai abdi dalem harus terus menunjukkan kesungguhan dalam mengabdi
kepada raja. Dia harus bersikap gemi, nastiti dan, ngati-ati demi kepercayaan rajanya. Raja
memiliki wewenang mutlak memberi pangkat dan jabatan padanya. Orientasi pola atau gaya
hidup yang feodalistik pada status, kewibawaan, dan kebesaran inilah yang sering membuat
priyayi kurang memikirkan pertimbangan ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Supariadi, Kyai Priyayi…, op. cit., hlm. 138-139.
246
Mangkunegara IV memperbaharui pada masalah penyewaan tanah perkebunan
pada dasarnya bukan karena kondisi krisisnya sistem sosial dan ekonomi dalam
Perang Jawa (Perang Dipanegara 1825-1830). Dia (waktu itu masih bernama
melihat sendiri bagaimana beban rakyat kecil atas eksploitasi para bekel dan
584
pengusaha perkebunan dari Eropa (Barat).
penyebab beban rakyat kecil tersebut terkait erat di satu sisi antara Undang-
lungguh) baik terhadap penggarap dan tanah yang sudah disewakan cenderung
tidak adil atau tidak peduli kepada nasib wong cilik (rakyat biasa).
584
S. Margana, Pujangga Jawa dan…, op. cit., hlm. 221-225.
585
Menurut Soemarsaid Moetono, piagem (piagam: maklumat) yaitu undang-undang
pengontrakan hak memungut pajak pada pemberi modal (pengontrak) yang telah memberi uang
muka pada pemegang lungguh. Pengotrak (pemberi modal) ini ada orang Jawa, Eropa (Barat)
atau Belanda ada juga orang Cina. Soemarsaid Moetono, Negara dan Usaha…, op. cit., hlm.
150.
586
Pada prinsipnya tanah adalah milik desa, dan raja (seperti halnya para pejabat
desa) menerima imbalan sebagai balas jasa akan perlindungan dan pengaturan tata tertib.
Sangat sulit untuk mencari contoh mengenai pengambilan tanah desa oleh raja yang sebegitu
rupa sehingga warga desa sama sekali kehilangan hak tradisionalnya atas sebagian hasil tanah
itu, kecuali dipergunakan bagi kepntingan umum selain pertanian. Ibid., hlm. 147-148.
247
Ketajaman pemahaman Sri Mangkunegara IV tersebut lebih lanjutnya
1. Saya akan menata gaji para putra dan keluarga serta abdi saya, hanya
saya beri uang belanja (gaji) tanpa tanah lungguh di dusun. Sebab,
sewaktu masih mempunyai tanah itu mereka kurang berhati-hati,
banyak yang memiliki hutang, tidak memikirkan pembayarannya
penggarap…
2. …Hanya abdi saya para priyayi dan para opsir di Legiun
Mangkunegaran tetap saja memiliki tanah lungguh satu jung dan gaji 10
rupiah sebulan,…tetapi tidak bisa diwariskan, perubahan penghasilan
sesuai dengan keinginan masing-masing, sedangkan utnuk para abdi
penghasilannya sesuai dengan kerjanya,…oleh karena itu boleh diubah
ditata pengahsilannya dengan adil.
3. Peraturan ini dapat dikatakan mengubah tingkah laku orang kecil dan
priyayi. Sebab nantinya orang kecil merasa besar hati, karena yang
tadinya menganggap orang yang mempunyai tanah lungguh sebagai
bandara (majikan), sekarang merasa menjadi teman, demikian juga
para priyayi dalam memerintah orang kecil tidak seperti dulu, sekarang
banyak sopan santunnya.
…sumbangan untuk hadiah perkawinan puteri raja (babekten atau
pasangon putra), pungutan untuk raja (raja pundhut), pajak rumah
(panjumpleng atau pupunjungan), pajak sampingan (taker turun atau
taker tedaking nagara), uang syarat (panganyar-anyar atau watesan),
kerja wajib (bahu suku atau pasegahan), dan sebagainya, semuanya
sudah saya hapuskan. Hanya tinggal memberikan tenaganya, dan pajak
tanggungannya masing-masing.589
587
Karakteristik etos pemikirannya: pasca-rasional dan pasca-comvensional yang
super-erogatoris dengan kemampuannya yang inventivitas pragmatis.
588
Serat pranatan (Surat Peraturan) terkait dengan masalah agraria seperti,
persewaan tanah, perpajakan dan masalah-masalah pedesaan lainnya dalam dokumen-dokumen
Jawa pada umumnya dikeluarkan oleh kerajaan Surakarta dan Yogyakarta. Mangkunegara IV
selama masa pemerintahannya melakukan perubahan-perubahan mendasar di bidang
pemerintahan dan ekonomi, terutama pada masalah pertanahan dan perpajakan. S. Margana,
Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. xxi.
589
Ibid., hlm. 393.
248
Mencermati isi kalimat dalam Serat Pranatan tersebut sebagai bukti
dijelaskan di muka. Kaitan cita idealnya dengan penyebab beban rakyat kecil
akibat sikap eksploitasinya para penyewa tanah (lungguh) dan sikap tidak
dalam cita idealnya yaitu, terjadi dialogis partisipatif transendental (sikap eling,
cara bersikap eling atau ngemong dalam dialogis tersebut, setiap stakeholders
hendaknya selalu berdasar pada keutamaan Jawa yang dirnci dalam berbagai
kalimatnya seperti, ojo dumeh, ngono yo ngono ning ojo ngono, pinter ojo
bersikap etisnya sepi ing pamrih, rame ing gawe (dalam tata krama Jawa
modern) yang prima facie demi terciptanya keadaan slamet dalam eksistensi
249
dan rukun serta peduli demi sesamanya dalam hubungan dialogis partisipatif
dagang Jawa (bidang tanan lungguh perkebunan) tidak dianggap sebagai sarana
dan obyek yang dipakai demi kepuasan berbagai kebutuhannya sendiri, tetapi
590
sesama pada dirinya sendiri merupakan kebutuhannya.
Salah satu contoh pemanfaatan cara bersikap etisnya sepi ing pamrih,
rame ing gawe (dalam tata krama Jawa modern) yang prima facie tersebut,
(Tuan Busken) agar apa yang diinginkan tersebut bisa diterima dengan baik.591
diberi hak yang sama seperti para penyewa tanah lainnya dengan tujuan hendak
590
Bdk. penjelasan kaitan maksudnya dalam halaman 406-409.
591
Pada tahun 1857 Mangkunegara IV memprakarsai untuk membebaskan dan tidak
memperpanjang lagi kontrak-kontrak sewa tanah kepada orang-orang Cina, Eropa, Belanda
dari keluarga pendahulu dengan dukungan Tuan Busken. H.R. Soetono, Timbulnya
Kepentingan Tanam…, op. cit., hlm. 10-11.
592
Ibid., hlm. 12
250
menyewa tanah-tanah lungguh di wilayah Kasunanan Surakarta. Permohonan
ini tidak kabulkan dengan alasan khawatir terjadi hubungan yang kurang baik
antara keduanya.593
Makna etisnya sikap sepi ing pamrih, rame ing gawe pada dua contoh
lungguh dalam Serat Pranatan), namun tetap bersikap baik atau hormat (prima
593
Ibid., hlm. 15.
594
Dimaksud dengan orientasi contrak-sosial legalistis adalah, orang berkesadaran
relativisme nilai-nilai dan pendapat-pendapat pribadi dan kebutuhan untuk mencapai
konsensus. Selain apa yang disetujui secara demokratis, baik buruknya tergantung pada nilai-
nilai dan pendapat-pendapat pribadi. Segi hukum ditekankan, tetapi diperhatikan secara khusus
kemungkinan untu mengubahnya asal demi kegunaan sosial. Juga persetujuan bebas dan
perjanjian sebagai pengikat kewajiban. Misalnya, janji harus ditepati juga kalau berkembang
menjadi merugikan, karena berasal dari persetujuan bebas. Orientasi etika yang universal
artinya, orang mengatur tingkah laku dan penilaian moralnya berdasarkan hati nurani pribadi
(keduanya: hati nurani dan pribadi bersifat universal). Prinsip-prinsip ini pada dasarnya
251
atau membela martabat manusia (wong cilik). Bukan pekerjaannya yang dibela
tetapi pada caranya memperlakukan dirinya (rakyat) yang hanya sebagai sarana
sendiri melalui perannya baik pihak priyayi maupun para penyewa tanah dan
Pemerintah Belanda.
contohnya antara lain, pada tahun 1861 membangun pabrik gula Calamadu di
“Kedua pabrik gula itu dibuat sedemikian rupa sehingga bisa menjadi model
menyangkut keadilan, kesediaan membantu satu sama lain, persaman hak manusia dan hormat
untuk martabat manusia sebagai pribadi. K. Bertens, Etika…, op. cit., hlm. 83-84.
595
Pringgodigdo, Sejarah Perusahaan-perusahaan…, op. cit. hlm. 99.
596
Ibid., hlm. 88.
252
sekitar 30 hektar di bawah pengawasan J.B. Vogel. Percobaannya ini tidak bisa
Dia mendirikan pabrik indigo pada tahun 1880, yang dahulu pernah
Sri Mangkunegara IV, dicabut peraturan penanaman itu sebagai Tanam Paksa.
bungkil mesinnya dari Eropa. Indigo adalah tumbuhan tropis yang mengasilkan
zat wana biru tua berasal dari tumbuhan nila atau tarum, pemasarannya paling
598
banyak mendatangkan laba di pasar negeri Belanda.
ditanami kinine dan pala. Demikian maju serta banyaknya uang masuk dalam
kas kerajaan, sehingga dia pernah mengirim misi untuk mengikuti pameran di
negeri Belanda, berupa alat-alat kesenian (pakaian wayang orang, wayang kulit
dengan seperangkat musiknya (gamelan), senjata asli Jawa dan lain-lain. Tahun
dibangun beberapa gardu sebagai kantor pos, mulai tahun 1876 dibuka juga
kantor tilgram.599
597
Ibid., hlm. 104.
598
Ibid., hlm. 106.
599
Ibid., hlm. 155. Lihat juga H.R. Soetono, Timbulnya Kepentingan Tanam…, op.
cit., hlm.33.
253
berbagai negara waktu itu. Dinasti ini tradisionalismenya sangat berorientasi
Strateginya terkait pada cara bersikap etisnya kedalaman sikap sikap sepi ing
pamrih: sembah catur, catur upaya, tri-prakara-nya: lila, trima dan, legawa
acuan dasar sikap eling-nya pada Yang Ilahi (transendental). Sika-sikap etisnya
itu (bagi tata krama Jawa modern) juga sebagai obyektifikasi atau konkretisasi
dimaksudkan prima facie seperti etika keadilan dan kepedulian demi perhatian
semestinya dalam makna etis: jangan merugikan orang lain (ojo mitunani wong
liya).
rasional, berjuang bersama tanpa kekerasan serta, yang sesuai (selaras) bagi
krisis sistem sosial atau krisis ekonomi. Identifikasi dan implikasi dimaksud
demi efisiensi tujuan etos dagang Jawa modern tersebut mungkin, di satu sisi
600
Ong Hok Ham, Dari Soal Priyayi…, op. cit., hlm. 238.
254
acuan tantangan pemikiran pembangunan yang berkelanjutannya etos dagang
Jawa modern secara Regional Jawa Tengan atau Nasional pada sisi lainnya.
keturunan Cina (etnis Cina). Alasannya dua, pertama menurut Lombard, karena
dengan Cina telah berlangsung sejak awal Masehi dan mencapai puncaknya
selama tujuh tahun sejak 1994 sampai 2001, berjudul Hubungan Karakteristik
Individu, Keuangan dan Bisnis Para Eksekutif Bisnis Indonesia setiap Manajer
saat ini yang berjumlah kurang lebih 200 juta orang dicirikan oleh dominannya
601
Dennys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia, (Jakarta: Gramedia,
1996. hlm. 88.
602
Hana Tjandradiredja, Budaya dan Strategi…, op. cit., hlm. 178.
255
B. Perbandingan Pemahaman etos Dagang Jawa dengan Budaya Dagang
Keturunan Cina.
pengikut, penurut dan acapkali sebagai seorang yang tidak perlu melakukan
dari superior sedangkan bawahan hanya bersifat pasif saja.604 Chan dan Moore
lahan dan setahap demi setahap.606 Masyarakat Cina berarti, bukan masyarakat
Jawa tidak menyukai konsultasi dengan superior (pimpinan, atasan) tetapi lebih
keturunan Cina sebagai minoritas dan sering kali mendapat perlakuan yang
603
Stephen Martin, Industrial Economic, Economic Analyis and Publik Policy, (New
York: MacMillan Publ. Company, 1989), hlm. xxi.
604
Ibid., hlm. 75.
605
Nikhilesh Dholakia (ed.), Marketing as If Cultur Mattered, (University of Rhode
Island: University of Rhode Press., 1987), hlm. 55.
606
Stephen Martin, Industrial Economic,…, op. cit., hlm. 76.
256
berbeda menjadikan mereka dalam bertindak lebih mempercayai kemampuan
pribadinya.607
pandangan atas harga diri dari kehidupan masyarakat Cina seperti tersebut di
muka. Masyarakat Cina, menurut Chan, akan merasa terhina jika disentuh
seperti budaya Barat. Keadaan yang sebenarnya tidak ada masalah, maksudnya,
607
Hana Tjandradiredja, Budaya dan Strategi…, op. cit., hlm. 137-138.
608
Nikhilesh Dholakia (ed.), Marketing as If…, op. cit., hlm. 57.
609
Ibid., hlm. 59.
610
Hana Tjandradiredja, Budaya dan Strategi…, op. cit., hlm. 138.
257
disebabkan adanya pertukaran antara berbagai pihak lain yang terlibat dalam
perdagangan.611
keseimbangan dan hubungan khusus, sedang budaya Cina hal itu didasarkan
pada keterikatan moral jangka panjang, utang budi merupakan suatu bentuk
ikatan manusia bersifat pribadi, khas dan non-ideologis. Namun, berdasar pada
keluarga, marga, dan atau keturunan dalam Cinanya baru kemudian ke arah
kesamaan yang lain misalnya agama atau daerah. Sikap-sikapnya tersebut telah
turun temurun.612 Sikap-sikap tersebut, terkait erat pada etika dalam menghdapi
masalah.
ideal, yaitu suatu bentuk etika yang menekankan pada konsekuensi atas suatu
611
Ibid., hlm. 139.
612
Ibid., hlm. 143.
613
Nikhilesh Dholakia (ed.), Marketing as If…, op. cit., hlm. 57.
258
tindakan yang dapat dinilai dengan mempertimbangkan aspek yang lebih luas
Cina di Jawa, seperti hasil penelitian Hana, disebutkan bahwa mereka memiliki
Cina maupun Jawa memiliki pandangan yang cenderung sama, yaitu keduanya-
duanya cara untuk berusaha menjaga hubungan baik dengan para pelanggan,
diantara pesaing yang sudah ada. Kasus situasi pemasaran sehingga diketahui
614
Fred Luthans (ed.), Organizational Behavior, (New York: McGraw Hill Book
Company, 4th ed., 1985), hlm. 76.
615
Hana Tjandradiredja, Budaya dan Strategi…, op. cit., hlm. 150.
259
apakah perlu melakukan kerja sama sebagai bagian usaha menjaga hubungan
baru untuk bekerja sama, sedang para pedagang keturunan Cina cenderung
Hasil penelitian demikian bisa terjadi karena dalam suatu pertukaran kerja
sama dibutuhkan ikatan sosial jangka panjang, mungkin hal itu dinilai relatip
dianggap lebih berat oleh pedagang keturunan Cina yang mendasarkan kepada
hutang budi secara moral sulit dibayar dan dilupakan. Dikaitkan hal itu dengan
resiko, bagi pedagang pribumi asli nampak memiliki penilaian bahwa resiko
keturunan Cina menilai hal itu tanpa harus kerja sama, dalam arti kata lebih
berani menanggung resiko sendiri tanpa melibatkan pihak lain atau dengan
jika dihubungkan dengan ajaran asta gina dan catur upaya Sri Mangkunegara
agama (Islam) Jawa seperti telah dijelaskan di muka. Berdasar pada teknisnya
616
Ibid., hlm. 151.
260
yang telah disebutkan sama-sama memiliki sifat maskulin dengan pedagang
pribumi asli Jawa, maka kecenderungannya dalam hal itu lebih besar atau lebih
sebenarnya para pedagang Jawa juga akan dapat meraih keberhasilan dalam
dagangnya yang lebih tinggi. Sebab, seperti dijelaskan Budi Paramita, bahwa
dalam prinsip serta berpikir logis dalam meninjau masa lampau maupun masa
konsekuan atas keuntungan materi. Berlawanan dengan sikap itu adalah sikap
maksud yang diinginkan tanpa pertimbangan materi atas suatu tindakan, lebih
Hal itu seprti dijelaskan Cottle, bahwa pria memiliki orientasi pasar lebih tinggi
dibanding wanita, dalam arti pria lebih memiliki orientasi ke masa depan.619
617
Ibid., hlm. 153.
618
Budi Paramita, Struktur Organisasi di Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1985), hlm. 77.
619
Fred Luthans (ed.), Organizational…, op. cit., hlm. 57.
261
Memperhatikan berbagai penjelasan tersebut disimpulkan bahwa
para pedagang Jawa dalam kinerja bisnis sebaiknya berdasar pada perspektif
bagi kerangka acuan tantangan pemikiran etos dagang Jawa selanjutnya serta
BAB V
A. Kesimpulan
pemahaman etos dagang Jawa dalam pemikirannya yang sesuai dengan kondisi
262
2. Nilai-nilai moral yang terkandung dalam karya-karyanya sebagai cerminan
dan hidup Jawa dirangkum dalam tiga karakteristik sistem nilai-nilai moral
bermetode reflektif kritis dalam sembah catur, catur upaya, tri prakara, asta
gina da, lima sifat dengan tujuh caranya bersikap etis diobyektifikasikan di
pernah dikonkretisasikan melalui tiga sistem cara bersikap etis sebagai tata
krama Jawa yang baru atau modern yaitu, bersikap baik atau hormat dan
peduli terhadap apa saja, bersikap baik atau hormat dan rukun serta peduli
3. Implikasi cita ideal etos pemikiran Sri Mangkunegara IV salah satunya yaitu
Identifikasi acuan teoritisnya dengan cara bersikap etisnya (tata krama Jawa
263
modern) pada pembaharuan pemberdayaan transendensi bagi pengembangan
dirinya sikap sikap sepi ing pamrih, rame ing gawe sumber kecenderungan
mutlak dalam proses refleksi diri bermetode reflektif kritis demi kewajiban
moralnya prima facie seperti etika keadilan dan kepedulian atau perhatian
semestinya agar aja mitunani wong liya: jangan merugikan orang lain, pada
teori kritis dan kebebasan kehendak yang realisitis dan rasional, berjuang
etos dagangnya itu dimungkinkan baik pada masanya dan umumnya dengan
terangkum dalam berbagai kalimat Jawa antara lain seperti, “ojo leren lamun
durung sayah, ojo mangan lamun durung luwe”, “tuna satak bathi sanak”,
“timun wungkuk jogo imbuh”, “pinter aja kuminter, sugih aja semugih”,
cita ideal etos dagang Jawa dalam pemikirannya ditunjukkan terutama dalam
264
partisipatif transendentalnya sikap eling atau ngemong terhadap stakeholders
4. Berdasarkan kajian ini dan penelitian para ahli selama tujuh tahun, bahwa 3
etos dagang Jawa pada umumnya baik secara regional Jawa Tengah maupun
Nasional.
B. Rekomendasi
265
DAFTAR PUSTAKA
266
Drewes, G.W.J., “Ranggawarsita the Pustaka Raja Madya and the Wayang
Madya”, Oriens Edtremus, tahun. XXI Desember 1974.
Driyarkara, N., Percikan Filsafat, Jakarta: P.T. Pembangunan, 1964.
Duska, Ronald, ”The Why’s of business revisited”, dalam Journal of Busines
Ethics, Vol. 16, No. 12, 13 September 1997
Fakhry, Majid, Ethical Theories in Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, Etika dalam
Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
Fakih, Mansour, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar bersama Insist Press, 2002
Flew, Antony, (ed.), A Dictionary of Pilosophy, (New York: St. Martin’s Press,
1984.
Garaudy, Roger, Mencari Agama pada Abad XX, Wasiat Filsafat Roger Garaudy,
terj. H.M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986
Gertz, Clifford, ”The Impact of the Concept of Culture on the Concept of Man”,
dalam John R. Platt (ed.), New Views of the Nature of Man, Chicago: The
University of Chicago Press, 1965
, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj.C.Geertz,
Jakarta : Pustaka Jaya, 1981.
Gie, The Liang Segi-segi Pemikiran Ilmiah, Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu
Berguna (PUBIB), 2003.
, Efisiensi Kerja Bagi Pembangunan Negara suatu Bungarampai
Bacaan, (Yogyakarta: UGM Press, 1981
, Suatu Konsepsi ke Arah Penerbitan Bidang Filsafat, terj. Ali Muhamad
Mudhofir, Yogyakarta : Karya Kencana, 1979.
Hadisutjipto, S.Z., Terjemahan Wedhatama Karya K.G.P.A.A. Mangkunagoro IV
Surakarta Hadiningrat. Jakarta : Pradnya Paramita, 1979.
Hal, D.G., A History of Southeast Asia, London, 1968
Ham, Ong Hok Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong Refleksi Historis
Nusantara, Jakarta: Kompas, 2000.
Sosrosudigdo, Sarwedi, Fungsi dan Arti Kebatinan untuk Pribadi dan Revolusi,
Jakarta: P.N. Balai Pustaka, 1965
Hornby, A.S., Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Oxford:
Oxford University Press, 1974
Hodgson, Marshall, ”Warisan Islam dalam Kesadaran Modern”, dalam: Mochtar
Pabottinggi (peny.), Isalam antara Visi, Tradisi dan HegemoniBukan
Muslim, Jakarta: YOI, 1986.
Houben, Vincent J.H., Keraton dan Kompeni Surakarta dan Yogyakarta 1830-
1870, terj. Setyawati Alkhatab, Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002.
267
Johnson, Doyle Paul, Sosiological Theory Classical Founders and Contemporary
Perspective, Boston: John Wiley & Sons. Inc., 1981
Jong, Suffridus de, Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa, (Yogyakarta: Yayasan
Kanisius, 1976
Kartodirdjo, Suyatno,”Relevansi Studi Tanam Paksa bagi Sejarah Ekonomi
Indonesia”, Pengantar dalam: Robert van Niel, Sistem Tanam Paksa di
Jawa, terj. Hardoyo, Jakarta: Pustaka, 2003
Kamajaya, Pilihan Anggitan KGPAA Mangkunegara IV Isi Serat-serat Anggitan-
dalem KGPAA Mangkunegara IV, Yogyakarta: Yayasan Centini, 1992.
Kartodirdjo, Sartono, Pemikiran dan Perkembangan Historigrafi Indonesia suatu
Alternatif, (Jakarta: PT Gramedia, 1982
, Perkembangan Peradaban Priyayi, Yogyakarta : UGM Press, 1993.
Kattsoff, Louis O., Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta :
Tiara Wacana, 1986.
Kechnie, Jean L.Mc., Westers New Universal Unibredged Dictionary, New York :
The World Publishing Company ed. 2, 1972.
Kodiran,”Kebudayaan Jawa”, dalam: Koentjaraningrat (ed.), Antrophology in
Indonesia A Bibliograpical Review, ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff,
1995.
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta : Gramedia,
2000.
,”The Javanese of Soulth Central Java”, dalam George Peter Murdock
(ed.), Social Structure in Southeast Asia, Chicago: Quadrangle Books,
1971
, Kebudayaan Jawa, Jakarta : Balai Pustaka, 1994.
, Rintangan-rintangan Mental dalam Pembangunan Ekonomi di
Indonesia, Jakarta :Bhratara, 1969.
, Masyarakat-Desa di Indonesia Masa ini, Jakarta : JBP Fakultas
Ekonomi UI, 1964.
Kuntowidjojo, Muslim Tanpa Masjid: Esai-esai Agama, Budaya dan, Politik
dalam Bingkai Strukturalisme Transendental, Bandung: Mizan, 200.
, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, ed.: A.E. Priyono, Pengantar:
Dawam Rahardjo, Bandung: Mizan, 1991
, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997.
, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003.
Kropotkin, P.A. Ethic, Origin and Development, trans.by L.S. Friedland and J.R.
Piroshnikoff, New York, 1924.
Leahy, Louis, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, Yogyakarta: Kanisius, 1994
268
Lombard, Dennys, Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia, jilid 2, Jakarta:
Gramedia, 1996
Mangkunagara IV, KG PAA, Serat Wirawiyata, Semarang: Dhara Prize, 1995
Margana, S., Pujangga Jawa dan Bayang Bayang Kolonial, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004
Martin, Stephen, Industrial Economic, Economic Analyis and Publik Policy, New
York: MacMillan Publ. Company, 1989
Masruri, Siawanto, Humanitarianisme Soedjatmoko Visi Kemanusiaan
Kontemporer, Yogyakarta: PILAR, 2005.
Moertono, Soemarsaid, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau,
Jakarta : YOI, 1985.
Mubyarto, Ekonomi Pancasila, Jakarta: LP3ES, 1993
Mudhofir, Ali, Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, Yogyakarta: UGM
Press, 1996.
Muchtarom, Zaini, Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan, Jakarta:
Salemba Diniyah, 2002.
Mulder, Niels, Mysticism and Everyday Life in Contemporary Java, Cultural
Persistence and Change, Singapore : Singapore University Press, 1978.
, “Dinamika Kebudayaan Mutakhir di Jawa”, dalam Dinamika
Pesantren, Jakarta : P3M, 1988.
, Mistisisme Jawa Ideologi di Indonesia, terj. Noor Cholis,
Yogyakarta : LkiS, 2001.
Murtadho, M, Islam Jawa Keluar dari Kemelut Santri vs Abangan, Yogyakarta :
LAPERA, 2002.
Noer, Dilear, Ideologi Politik dan Pembangunan, Jakarta : Yayasan
Perkhidmatan, 1983.
Padmosudihardjo (peny.), Kitab Nitisruti, sajian R.Ng. Dr. Poerbatjarakan,
Jakarta: Depdikbud., 1978
Paramita, Budi, Struktur Organisasi di Indonesia, Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1985
Pegeaud, Th.G., “Pangeran Adipati Arja Mangkoenagara IV als Dichters” terj.
R.Tg.Muhamad Husodo dalam Djawa no. 4 Agustus 1927.
, Literature of Java vol, I, Leiden : The Haque-Martinus Nijhoff,
1967.
, Islamic States in Java 1500-1700, Leiden : The Haque-Martinus
Nijhoff, 1976.
Pemberton, John, “Jawa” on the Subject of “Java”, terj. Hartono Hadikusumo,
Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003.
269
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai
Pustaka, 2001.
Pakubuwana IV, Sri Susuhunan, Serat Wulang Reh, Babon asli saking Karaton
Surakarta, Katedak lan katiti dening R.S.Probohardjono, Solo : Ratna,
1959.
Poerbatjaraka dan Tardjan Hadidjaja, Kepustakaan Jawa, Jakarta : Jambatan,
1952.
Purbanagara, K.P.Harya, Serat Pitutur Jati Mawi Sekar, Surakarta : N.V. Budi
Utama, 1918.
Pringgodigdo, R.M.Mr.A.K., Sejarah Perusahaan-Perusahaan Mangkunegara,
terj. R.Tg. Muhamad Husodo Prenggokusumo, Yayasan Mangadeg
Surakarta, 1987.
, Lahir serta Tumbuhnya Kerajaan Mangkunegara, Rekso Pustoko
Mangkunegaran, 1938.
Resodidjojo (peny.), Terjemahan Serat Wulangreh Karya Sunan Paku Buwana
IV, Semarang: G.C.T. Van Dorp & Co., 1929
Ricklefs, M.C., A History of Modern Indonesia, London and Basingstoke: The
Macmillan Press Ltd., 1981.
Sarjono, Agus R. (ed), Pembebasan Budaya-Budaya Kita, Jakarta : Gramedia,
1999.
Shadily, Hasan and, John M. Echols, An Indonesian-English Dictionary, Ithaca:
Cornell University Press, 1963
Simuh, Mistik Islam Kejawen R.Ng. Ranggawarsita Studi terhadap Serat Wirid
Hidayat Jati, Jakarta : UI Press, 1988.
Sitorus, Fitzgerald K., ”Identitas Dekonstruksi Permanen”, dalam Mudji Sutrisno
dan Hendar Putranto, Hermeneutik Pascakolonial Soal Identitas,
Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Solomon, R. C. Solomon, Ethics and Exellence, Cooperation and Integrity in
Business, New York: Oxford University Press, 1993.
Soemohatmoko, “Pratelan Para Darah Dalem Kanjeng Goesti Pangeran Adipati
Arya Mangkunegara IV”, Manuskrip nomor 01, Surakarta: Reksa Pustaka
Mangkunegaran, 1923.
Soedjatmoko, Dimensi Manusia dalam Pembangunan, Jakarta : LP3ES, 1983.
Seotono, H.R, Timbulnya Kepentingan Tanam Perkebunan di Daerah
Mangkunegaran, Surakarta: Milik Perputakaan Rekso Pustoko Istana
Mangkunegaran (PRPIM), no. B.1731, 200
Sosrosudigdo, Sarwedi, Fungsi dan Arti Kebatinan untuk Pribadi dan Revolusi,
Jakarta: P.N. Balai Pustaka, 1965
270
Soetrisno, Falsafah Hidup Pancasila sebagaimana Tercermin dalam Falfasah
Hidup Orang Jawa, Yogyakarta : Pandawa, 1977.
Stromberg, Roland N, European Intellectual History Since 1789, New York:
Meredith-Century-Croff, 1968.
Sujamto, Refleksi Budaya Jawa dalam Pemerintahan dan Pembangunan,
Semarang, Dhahara Press, 1997.
Sullivan., Hadi Podo dan Joseph J., Kamus Ungkapan Indonesia-Inggris, Jakarta:
Balai Pustaka, 1989.
Sumodiningrat, Gunawan, “Budaya Jawa dan Integrasi Nasional”, dalam: Leila
Retna Kumala (Ket. Pan.), Keraton Surakarta dan Perubahan
Masyarakat, Membumikan Nilai-nilai Tradisional, Surakarta: Team
Simposium Nasional, 2003.
Surahardjo, Y.A., Mistisisme Suatu Introduksidi dalam Usaha Memahami Gejala
Mistik termasuk yang Ada di Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1983.
Suriasumantri, S.,”Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan, dan Keagamaan Mencari
Paradigma Kebersamaan”, dalam Deden Ridwan (ed.),Tradisi Penelitian
Agama Islam Tinjauan Antardisiplin Ilmu, Bandung: Nuansa, 2001.
Suryabrata, Sumadi, Metode Penelitian Ilmiah, Jakarta : Rajawali Press, 1988.
Suseno, Franz Magni Wayang dan Panggilan Manusia, Jakarta: P.T. Gramedia
Pustaka Utama, 1991
, Kuasa dan Moral, Jakarta: PT. SUN, 2001.
, 12 Tokoh Etika Abad ke-20, Yogyakarta: Kanisius, 2000.
, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta:
Kanisius, 2005.
, Etika Jawa dalam Tantangan, Yogyakarta : Kanisius, 1983.
, Etika Jawa sebuah Analisa Falsafi Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta
: Gramedia, 2001.
, Berfilsafat dari Konteks, Jakarta : Gramedia, 1992.
Sutherland, Heather, Terbentuknya sebuah Elite Birokrasi, (Jakarta: Sinar
Harapan, 1984.
Sutrisno, Sulastin (ed), Bahasa Sastra Budaya Ratna Munikam Untaian
Persembangan kepada Prof. Dr.P.J.Zoetmulder, Yogyakarta : UGM Press,
1985.
Suwito, N.S., Transformasi Sosial: Kajian Epistemologis Ali Syari’ati tentang
Pemikiran Islam Modern, Yogyakarta: Unggul Religi bersama STAIN
Purwakerta Press, 2000.
Tanpa Nama Pengarang, Punika Pemutan Lalampahanipun Raden Mas Hario
Gondokoesoemo, Putra ing Ngadiwidjajan ingkang sapisan, saking Garwa
271
Padmi angka 7 saking pambajengipun, Ingkang wekasan Djumeneng
Kangjeng Gusti Pangeran Hadipati Hario Mangkoenagoro ingkang
kaping IV, Surakarta: Manuskrip Koleksi Perpustakaan Reksa Pustaka
Mangkunegaran, No. 29, 1967.
Tanpa nama pengarang, Serat Sewaka, (ingkang gancaran), Manuskrip nomor
127, Surakarta: Reksa Pustaka Mangkunegaran , t. th.
Tanpa nama pengarang, Serat Raja Kapakapa, Manuskrip nomor 302, Surakarta:
Reksa Pustaka Mangkuneagaran, 1911
Tirtohamidjaja, Ki, Mitos Ratu Kidul dalam Perspektif Budaya, Jakarta:
Wedatama Widya Sastra, 2002
Tjandradiredja, Hana, Budaya dan Strategi Berkarakteristik dalam Mencapai
Keunggulan Pemasaran, Jakarta: Lembaga Penerbit Fak. Ekonomi UI,
2002.
Vlekke, Bernard H.M., Nusantara, A History of Indonesia, Bandung: Wholly
revised edition The Hague, 1959
Winardi, Kamus Ekonomi, Bandung : Alumni, 1984.
Wiryosuputra, RM. Sarwanto, Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya
Mangkunegara IV, Milik Rekso Pustoko Mangkunegaran, 2001.
Hadisutjipto, S.Z., Terjemahan Wedhatama Karya K.G.P.A.A. Mangkunagoro IV
Surakarta Hadiningrat. Jakarta : Pradnya Paramita, 1979.
, Kondjoek Ing Ngarsa Dhalem, Surakarta : Rekso Pustoko, 1998.
Zoetmulder, P.J., Kalangwan: A Survey of Old Javanese Literatur, (The Hague
Martinus Nijhoff, 1974
, Pantheisme en Monisme in de Javaanshe Soeloek Litteratuur, terj. Dick
Hartoko, Manunggaling Kawula Gusti, Jakarta : Gramedia, 1991.
272