Anda di halaman 1dari 26

Rabu, 02 Januari 2013

contoh karya ilmiah

MASALAH KEMISKINAN DAN PENGEMIS DI


INDONESIA KHUSUSNYA DI KOTA SURAKARTA
Karya tulis ini disusun untuk memenuhi tugas Bahasa Indonesia kelas XI
Semester Genap

Disusun oleh:
Nama : caca
No : 25
Kelas : xi.ipa.1

SEKOLAH MENENGAH ATAS WARGA


SURAKARTA
2011

MOTTO

1. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.


2. Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, boleh jadi kamu menyukai
sesuatu padahal ia amat buruk bagimu.
3. Sesungguhnya akhir itu lebih baik dari permulaan.
4. Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang
mengubah nasibnya.
5. Belajar dari yang lama kita mempelajari yang baru.
6. He who is not everyday conquering some fear has not learned the secret of life (Ralph Waldo
Emerson)
7. Anyone who has never made a mistake has never tried anything new (Albert Einstein)
8. Knowledge of what is does not open the door directly to what should be. (Albert Einstein)
9. Anger is an acid that can harm do more to the vessel in which it is stored than to anything on
which it is poured (Mark Twain)
10. Kegagalan bukan akhir dari segalanya

PERSEMBAHAN

Karya tulis ini dipersembahkan kepada :

1. Ibu Dra.Ch.Titik Purwanti selaku kepala sekolah SMA Warga.


2. Ibu Dra.Maria Kristijani selaku wali kelas XI.IPA.I
3. Ibu Risqi Rahmawati, S.Pd. selaku pembimbing dalam karya tulis ini.
4. Keluarga tercinta yang selalu member dukungan.
5. Teman teman yang saya kasihi.

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini. Tak lupa shalawat salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Penyusunan Karya tulis dengan judul MASALAH KEMISKINAN DAN PENGEMIS
DI INDONESIA KHUSUSNYA DI SURAKARTA untuk memenuhi tugas mata pelajaran
Bahasa Indonesia yang telah disesuaikan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Selama proses penulisan karya tulis, banyak pihak yang terlibat baik secara langsung
maupun tidak langsung dalam memberikan bimbingan, bantuan, dan dorongan semangat yang
semuanya sangat berarti bagi penulis. Oleh karena itu penulis menyampaikan rasa terima kasih
kepada :
1. Dra.Ch.Titik Purwanti Kepala Sekolah SMA Warga yang telah memberi izin dalam penelitian
dan penyusunan laporan karya tulis ini.
2. Dra.Maria Kristijani selaku wali kelas XI.IA.I yang telah memberi dukungan dan bimbingan
secara moral.
3. Risqi Rahmawati,S.Pd selaku pembimbing yang telah membantu dalm pembuatan laporan karya
tulis ini.
4. Orang tua, keluarga, teman teman, dan bapak/ibu guru yang telah membantu baik secara
lagsung maupu tidak langsung.
Akhirnya Penulis berharap semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi siswa dan siswi SMA
Warga Surakarta. Penulis juga menyadari bahwa Karya Tulis ini masih jauh dari sempurna dan
banyak kesalahan yang terdapat dalam karya tulis ini. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat diharapkan oleh Penulis.
Surakarta, Februari 2010
Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .............................................................................. i
HALAMAN MOTTO ............................................................................. ii
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................. iii
KATA PENGANTAR ............................................................................ iv
DAFTAR ISI........................................................................................... v
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah................................................................................ 2
C. Tujuan Penelitian.................................................................................... 2
D. Manfaat Penelitian ................................................................................. 2
BAB II. KAJIAN TEORI
A. Pengertian Umum Pengemis .................................................................. 3
B. Macam-Macam Pengemis ...................................................................... 3
C. Latar Belakang Pengemis ....................................................................... 3
D. Pengertian Kemiskinan .......................................................................... 4
E. Pemahaman Kemiskinan ........................................................................ 6
F. Sejarah Kemiskinan ............................................................................... 7
G. Potret Pengemis di Indonesia ................................................................. 10
H. Penanganan di Kota-Kota di Indonesia ................................................. 12
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu ................................................................................. 16
B. Objek Penelitian ..................................................................................... 16
C. Jenis Penelitian ....................................................................................... 16
D. Sumber Data ........................................................................................... 16
E. Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 17
BAB IV. PEMBAHASAN
A. Alasan Menjadi Pengemis ...................................................................... 18
B. Realita Kehidupan Pengemis.................................................................. 18
C. Pandangan Masyarakat ........................................................................... 20
D. Penanggulangan Pengemis dan Kebijakan Kemiskinan ........................ 21
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................ 23
B. Saran .............................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 24

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam karya ilmiah ini penulis akan meneliti masalah tentang banyaknya pengemis yang
ada di Indonesia, khususnya di kota Solo. Seperti saat ini, sudah tidak jarang lagi pengemis
dapat di temui di berbagai tempat. Contohnya seperti di halaman supermarket, lampu merah,
tempat wisata, bahkan dapat pula di temui di rumah sendiri.
Banyak dari sebagian orang merasa terganggu dengan keberadaan mereka. Seperti
pengendara motor maupun mobil setiap berhenti saat lampu merah pasti langsung disodori
tangan menengadah. Begitu pula saat makan di lesehan, di warung makan, atau saat berkunjung
ke tempat wisata. Setiap tahunnya angka tingkat pengemis semakin peningkat , hal ini dapat
dibuktikan dengan setiap liputan berita yang menyangkut masalah kemiskinan maupun
pengangguran.
Namun demikian, suatu masalah yang terjadi pasti dapat pula terselesaikan. Begitu pula
dengan tingginya tingkat pengemis yang ada di Indonesia. Yaitu dengan cara adanya atau
dibuatnya hukum/pasal/larangan tenteng pengemis, yang kemudian di sosisalisasikan kepada
seluruh masyarakat Indonesia. Serta mendirikanya Balai Latihan Kerja (BLK) bagi mereka, agar
mereka mempunyai keterampilan bekerja. Oleh karena itu ,banyaknya pengemis di Indonesia
khususnya di kota Solo membuat penulis ingin meneliti hal tersebut.

B. Rumusan Masalah

Dengan penulisan karya ilmiah ini dapat dirumuskan beberapa peryataan yang meliputi
tentang hal-hal seperti pokok permasalahan tingginya angka tingkat pengemis sebagai pekerjaan
masyarakat di Indonesia khususnya di kota Solo yaitu sebagai berikut :

1. Apa yang menyebabkan masyarakat bekerja sebagai pengemis ?


2. Apakah seorang pengemis benar-benar miskin atau tidak mampu ?
3. Apakah tanggapan masyarakat dengan adaya pengemis ?
4. Bagaimana cara untuk menanggulangi banyaknya masyarakat yang bekerja
sebagai pengemis ?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan umum dari penulisan karya ilmiah ini adalah dapat mengetahui masala mengenai
banyaknya pengemis yang ada di Indonesia, khususnya di kota Solo. Serta agar dapat
mengetahui cara untuk mengatasi masalah tersebut. Sedangkan tujuan khusus dari karya ilmiah
ini adalah agar dapat mengetahui apa penyebab banyaknya pengemis yang ada di Indonesia
khususnya di kota Solo.

D. Manfaat Penulisan

Penulis mendapat manfaat banyak dari penelitian tentang banyaknya pengemis di


Indonesia, khususnya di kota Solo. Penulis dapat mengetahui kehidupan pengemis yang
sesungguhnya dan faktor-faktor apa saja yang menjadikan mereka bekerja menjadi pengemis.
Serta cara yang dapat digunakan untuk menanggulangi hal tersebut.

BAB II
KAJIAN TEORI

A. Pengertian Umum Pengemis


Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di
muka umum dengan pelbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.

B. Macam-Macam Pengemis
Pengemis dibedakan menjadi macam empat yaitu :
1. Pengemis musiman
yaitu pengemis yang hanya ada di hari-hari tertentu saja, seperti imlek, ramadhan, idul fitri dan
lain sebagainya.
2. Pengemis mangkal
yaitu pengemis yang hanya mengemis di tempat-tempet tertentu, dan pasti selalu ada di tempat
itu dengan pengemis yang sama.
3. Pengemis keliling
yaitu pengemis yang meminta-minta dengan cara keliling rumah-rumah penduduk di berbagai
desa maupun kota.
4. Pengemis sumbangan
yaitu pengemis yang meminta-minta dengan alas an meminta sumbangan untuk pembangunan
masjid dan lain sebagainya.

C. Latar Belakang Pengemis


Latar belakang pengemis sendiri bermacam-macam. Ada yang akibat rumahnya tergusur,
sehingga mereka (1 keluarga) menggunakan gerobak untuk berpindah-pindah tempat dan
mencari sumbangan/makanan. Ada pula yang meninggalkan kampungnya untuk mencari
kehidupan yang lebih baik di Jakarta, tapi tidak melengkapi dirinya dengan kemampuan yang
dibutuhkan sehingga akhirnya menjadikan pengemis sebagai profesi.
Perilaku pengemis sendiri bermacam-macam. Ada yang membawa/menggendong anak
kecil, ada yangg anggota tubuhnya luka-luka. Ada pula yang anggota tubuhnya cacat. Ada juga
yang mengancam dengan menyatakan lebih baik mengemis (minta uang) daripada menjambret,
dan masih banyak perilaku-perilaku lainnya.

D. Pengertian Kemiskinan
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi
kebutuhan dasar seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan.
Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya
akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian
orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya
dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah
mapan.
Dalam kamus ilmiah populer, kata Miskin mengandung arti tidak berharta (harta yang
ada tidak mencukupi kebutuhan) atau bokek. Adapun kata fakir diartikan sebagai orang yang
sangat miskin. Secara Etimologi makna yang terkandung yaitu bahwa kemiskinan sarat dengan
masalah konsumsi. Hal ini bermula sejak masa neo-klasik di mana kemiskinan hanya dilihat dari
interaksi negatif (ketidakseimbangan) antara pekerja dan upah yang diperoleh.
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka perkembangan arti definitif
dari pada kemiskinan adalah sebuah keniscayaan. Berawal dari sekedar ketidakmampuan
memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan hingga pengertian yang lebih
luas yang memasukkan komponen-komponen sosial dan moral. Misal, pendapat yang diutarakan
oleh Ali Khomsan bahwa kemiskinan timbul oleh karena minimnya penyediaan lapangan kerja di
berbagai sektor, baik sektor industri maupun pembangunan. Senada dengan pendapat di atas
adalah bahwasanya kemiskinan ditimbulkan oleh ketidakadilan faktor produksi, atau kemiskinan
adalah ketidakberdayaan masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh pemerintah sehingga
mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi. Arti definitif ini lebih dikenal
dengan kemiskinan struktural.
Deskripsi lain, arti definitif kemiskinan yang mulai bergeser misal pada awal tahun 1990-
an definisi kemiskinan tidak hanya berdasarkan tingkat pendapatan, tapi juga mencakup
ketidakmampuan di bidang kesehatan, pendidikan dan perumahan. Di penghujung abad 20-an
telah muncul arti definitif terbaru, yaitu bahwa kemiskinan juga mencakup kerentanan,
ketidakberdayaan dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi.
Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak hanya dialami oleh negara-
negara yang sedang berkembang, tetapi juga negara-negara maju, seperti Inggris dan Amerika
Serikat. Negara Inggris mengalami kemiskinan di penghujung tahun 1700-an pada era
kebangkitan revolusi industri yang muncul di Eropa. Pada masa itu kaum miskin di Inggris
berasal dari tenaga-tenaga kerja pabrik yang sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan upah
rendah, sehingga kemampuan daya belinya juga rendah. Mereka umumnya tinggal di
permukiman kumuh yang rawan terhadap penyakit sosial lainnya, seperti prostitusi, kriminalitas,
pengangguran.
Amerika Serikat sebagai negara maju juga dihadapi masalah kemiskinan, terutama pada
masa depresi dan resesi ekonomi tahun 1930-an. Pada tahun 1960-an Amerika Serikat tercatat
sebagai negara adi daya dan terkaya di dunia. Sebagian besar penduduknya hidup dalam
kecukupan. Bahkan Amerika Serikat telah banyak memberi bantuan kepada negara-negara lain.
Namun, di balik keadaan itu tercatat sebanyak 32 juta orang atau seperenam dari jumlah
penduduknya tergolong miskin.
Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian: kemiskinan absolut, kemiskinan
relatif dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil
pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup
minimum: pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong miskin
relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah
kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural berkaitan erat dengan sikap
seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat
kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantunya.

E. Pemahaman kemiskinan
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:
a) Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang,
perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi
kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
b) Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan
ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan
informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup
masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
c) Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di
sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.

F. Sejarah kemiskinan
Penanganan PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) dalam Panti
Permasalahan pengemis merupakan salah satu permasalahan sosial yang sulit untuk ditangani
Banyaknya jumlah pengemis yang kerap kali terlihat memadati setiap perempatan dan ruas-ruas
jalan utama bukan saja tidak sedap dipandang, melainkan menjadi isu serius yang perlu dicarikan
jalan pemecahannya bersama.
Kondisi di atas belum ditambah dengan kenyataan bahwa sebagian besar
pengemis di kota Jakartadan bahkan mungkin di beberapa kota besar lainnya-- adalah orang-
orang yang notabene bukan penduduk setempat. Pada tingkat yang ekstrem, kegiatan mengemis
merupakan aktivitas rutin yang terorganisasi dengan baik seperti temuan sebuah stasiun TV
swasta setahun yang lalu yang melaporkan adanya oknum anak pejabat yang turut aktif
mengelola organisasi pengemis. Selain itu, serbuan para PMKS (Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial), istilah khusus yang digunakan di lingkungan pekerja sosial, yang
diimpor dari luar kota Jakarta menyebabkan sulitnya menerapkan cara atau perlakuan yang
tepat untuk membina mereka.
Menariknya, munculnya pengemis tidak hanya menjadi masalah di negara-negara dengan
tingkat pertumbuhan ekonomi relatif lambat, seperti terjadi di negara-negara berkembang seperti
di Indonesia, Filipina, Bangladesh atau Thailand, kasus yang sama terjadi pula di berbagai
negara maju.
Inggris memiliki sejarah yang cukup panjang dengan pengemis, contohnya pengemis-
pengemis gypsi yang berasal dari Romania. Pada 1800 warga Inggris mengecap pengemis-
pengemis gypsi sebagai ofensif, suka mencuri, mengotori jalan dan kerap kali membuntuti orang
untuk mendapatkan uang. Kini, pengemis-pengemis yang berada di Inggris bukan hanya berasal
dari suku-suku gypsi Romania dan Chekoslovakia (sebelum berpisah) melainkan juga berasal
dari daerah konflik etnis di Eropa Timur seperti Bosnia, Kroasia, Kosovo, Serbia yang
meninggalkan negaranya untuk mencari perlindunganbiasa disebut sebagai asylum seekers
atau pencari suaka.
Mengapa Inggris? Di bawah protokol 1967 dan kesepakatan dengan PBB tahun 1951
Inggris telah setuju untuk menyediakan tempat bagi para pencari suaka, yang keselamatan
hidupnya terancam di negaranya sendiri. Peraturan menyebutkan segera sesudah mendapatkan
suaka, para pelarian ini akan diambil sidik jarinya dan memiliki alamat sendiri dengan
pengecualian mereka tidak akan menikmati hak penuh sebagai warga negara dan pengurusannya
diserahkan kepada pemerintahan setempat.
Tetapi, pada April 2001 pemerintahan Inggris memberlakukan peraturan baru yang lebih
ketat dan pada dasarnya tidak memperbolehkan para pencari suaka untuk bekerja, tidak
menerima benefit apa pun dari pemerintah dan, sebagai gantinya, hanya diberikan voucher
makan dengan ukuran 30% di bawah tingkat konsumsi yang wajar. Karena itu, mengemis
menjadi satu-satunya cara untuk bertahan hidup. Inilah potret kemiskinan dan sekaligus
melahirkan tindakan mengemis yang terjadi di negara modern seperti Inggris. Peraturan baru itu
mengindikasikan lahirnya sebuah kelas pengemis yang terstruktur yang dilahirkan oleh kebijakan
pemerintah.
Sadar dengan kebijakan yang berbahaya, pemerintahan lokal semisal Cambridge
menempuh cara dengan melibatkan stakeholder seperti Wintercomfort dan Jimmy's Nightshelter,
organisasi yang peduli dengan masalah gelandangan (homeless people), dengan menyalurkan
donasi yang diserahkan melalui lembaga tersebut. Uniknya, donasi itu dikumpulkan dari kotak-
kotak sumbangan resmi yang disebarkan di berbagai titik strategis di pusat kota. Selain itu,
tindakan hukum juga dikenakan bagi mereka yang tertangkap tangan menggunakan uang hasil
mengemis untuk mabuk-mabukan maupun membeli narkoba. Upaya mengurangi jumlah
pengemis juga dilakukan di kota-kota London, Westminter City, dan Camden dengan memasang
poster-poster yang mengimbau masyarakat untuk tidak memberikan uang kepada pengemis.
Di negara modern lainnya semisal Kanada, pemerintahan British Columbia (BC)
pada Oktober 2004 memberlakukan hukum yang membolehkan polisi mengenakan denda kepada
para pengemis yang bersikap dan berucap kasar, berada dalam radius lima meter dari perhentian
bus atau telepon umum koin, serta squeegee kid, orang-orangbiasanya anak-anakyang
membersihkan kaca mobil saat kendaraan berhenti di lampu merah Upaya
yang dinamai dengan Safe Street Acts ini sebetulnya meniru model yang diterapkan secara
sukses di negara bagian Ontario, Kanada. Peraturan ini mengelompokkan tindakan meminta
uang dengan ancaman, tindakan mengemis yang dilakukan olah dua orang atau kelompok,
menghambat jalan orang, berada sejauh lima meter dari ATM, perhentian bus, telepon umum dan
toilet umum sebagai kegiatan yang terlarang.
Meski peraturan ini menuai badai kritik dari lembaga advokasi setempat dan
anggota Partai Demokratik Baru (NDP), pemerintah British Columbia terus melenggang dengan
alasan bahwa kebanyakan pengemis adalah orang-orang yang sangat cukup makan, berpakaian
dengan sangat layak, sangat berlebih untuk diri mereka tetapi tidak mau membayar pajak.
Tambahan pula, begitu seriusnya masalah pengemis dan gelandangan di BC ini menyebabkan
pemerintah mengeluarkan peraturan lainnya yang dikenal dengan Trespass Act, yang melarang
gelandangan mendirikan tenda-tenda di pekarangan rumah orang.
Beberapa tindakan atau kebijakan mengurangi jumlah kemiskinan di sebagian
kota di negara-negara maju membuahkan hasil yang cukup signifikan. Studi yang dilakukan di
Notingham City, Inggris, menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan jumlah pengemis sebesar
85% dalam waktu enam bulan saja sejak program penanggulangan pengemis dilakukan. Program
ini mencakup; tindakan hukum bagi para pengemis yang agresif, pemberdayaan patroli polisi di
kota-kota, pengawas atau penyelia yang beroperasi di jalan dan memantau para pengemis, dan
sebuah kampanye simpatik yang ditujukan untuk masyarakat luas dalam bentuk poster yang
memberikan alternatif bantuan daripada memberikan uang kepada pengemis

G. Potret Pengemis di Indonesia


Kehadiran pengemis di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari melemahnya
kekuatan ekonomi secara makro untuk menolong tumbuhnya lapangan kerja baru dan sekaligus
menyerap tenaga kerja. Hal ini dipicu oleh krisis moneter pada 1998 yang menyebabkan
ambruknya perekonomian Indonesia yang secara ironis disebut-sebut sebagai macan baru asia
sebelum krisis terjadi. Ibarat dalam cerita dongeng, negara ini jatuh miskin hanya dalam sehari!
Dan sejak itu, halaman-halaman surat kabar dipenuhi dengan data terjadinya PHK besar-besaran
dan tumbuhnya angka kemiskinan yang fantastis. Proyeksi data yang diperkirakan oleh
International Labour Organisation (ILO) menyebutkan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia
pada akhir tahun 1999 mencapai 129,6 juta atau sekitar 66,3 persen dari seluruh jumlah
penduduk (BPS-UNDP, 1999). Sementara itu, menurut laporan BKKBN (2005), jumlah
masyarakat miskin di tanah air saat ini mencapai 36,1 persen dari total penduduk Indonesia
sekitar 220 juta jiwa, termasuk di dalamnya penduduk fakir miskin sebanyak 14,8 juta jiwa.
Yang mana pun data statistik yang kita gunakan, baik UNDP atau pun versi
BKKBN, yang jelas keadaan ini mengisyaratkan semakin bertambah banyaknya penduduk
Indonesia yang telah jatuh miskin! Situasi ini, menurut Edi Suharto, menyebabkan mencuatnya
beberapa fenomena sosial seperti ruwetnya tata kota karena bertambahnya jumlah PKL seperti
dialami di Bandung. Selain itu, munculnya gelandangan dan pengemis (PMKS) yang beroperasi
di jalan-jalan protokol di kota-kota besar dan sekarang meluas ke daerah-daerah ditengarai
sebagai efek samping krisis berkepanjangan.
Dalam kaca pandang Suharto, ada tiga kategori kemiskinan di Indonesia yaitu;
kelompok paling miskin atau fakir miskin kelompok miskin dan terakhir kelompok rentan.
Kelompok paling miskin adalah mereka yang betul-betul tidak memiliki akses terhadap berbagai
pelayanan sosial dan umumnya tidak memiliki pendapatan, kelompok miskin adalah kelompok
yang memiliki pendapatan meski kadang tidak mencukupi, atau setidaknya tidak butu huruf, dan
kelompok rentan adalah kelompok yang sewaktu-waktu bisa berubah menjadi miskin seiring
dengan berubahnya kondisi sosial politik. Buruh-buruh berupah kecil, tergolong ke dalam
kategori ter Sayangnya, Gepeng yang saban hari berkeliaran di jalanan tidak mudah
diidentifikasi atau dikelompokkan ke dalam kategori-kategori miskin seperti yang dijelaskan
sebelumnya. Hal ini menyebabkan, perlunya upaya ekstra keras untuk mengindentifikasi dan
meneliti keberadaan para Gepeng untuk memastikan tindakan yang tepat untuk mengatasi para
PMKS, utamanya di Yogyakarta. Tindakan penggarukan, seperti yang pernah penulis saksikan di
perempatan Kaliurang, mungkin bukan resep yang tepat seandainya pihak pemkot mengetahui
kalau sebagian besar tindakan mengemis itu adalah kegiatan yang terorganisasi dengan rapi.
Upaya hukum, dalam hal ini dengan menemukan bos pengemis dan menjeratnya dengan undang-
undang, harus ditempuh.
Sebuah tesis mahasiswi pascasarjana IAIN (Umami, 2005) yang dilakukan
dengan mengambil sampel tujuh anak-anak dari keluarga yang tinggal di perkampungan Gajah
Wong menyebutkan bahwa tindakan mengemis bukanlah lagi sekadar persoalan mengisi perut,
tetapi belakangan berkembang menjadi profesi, dengan melibatkan anak-anak. Orangtua kerap
kali memanfaatkan anak-anak untuk mencari nafkah di jalanan dan memberikan punishment dan
reward diukur dari jumlah uang yang dibawa pulang anak-anak itu ke rumah. Tindakan
kekerasan sering menyertai kekesalan orangtua terhadap anak-anak mereka yang menghasilkan
sedikit uang.

H. Penanganan di kota-kota di Indonesia


Setiap kota memiliki dan menetapkan intervensi yang berbeda dalam menangani
masalah PMKS, contohnya Bandung. Peraturan daerah kota Bandung nomor 3/2005 tentang
penyelenggaraan K3 mencatumkan gelandangan dan pengemis dalam poin 19 dan 20 dan,
menariknya, perda itu juga menyebutkan Gepeng sebagai tuna sosial dalam poin ke-21, yang
menempatkan mereka setara dengan WTS. Anak jalanan diatur terpisah dan disebutkan dalam
poin ke-23. Isi peraturan itu lengkapnya menyebutkan:
1. Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan kehidupan
normal yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan
pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum serta
mengganggu Ketertiban, kebersihan dan keindahan.
2. Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka
umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharap belas kasihan dari orang lain serta
mengganggu ketertiban umum.
3. Tuna Sosial adalah penyandang masalah kesejahteraan sosial termasuk gelandangan, pengemis,
pengamen dan wanita tuna susila.
4. Tuna Susila adalah orang yang mengadakan hubungan seksual tanpa didasari dengan perkawinan
yang sah dengan mengharapkan imbalan/upah sebagai balas jasa serta mengganggu ketertiban
umum.
5. Anak Jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya berada di jalanan atau tempat-tempat
umum (bisa berpindah-pindah) serta mengganggu ketertiban umum.
Di kota, yang menurut data tahun 2003 memiliki 217 gelandangan dan 112
pengemis, implementasi peraturan daerah dilakukan dengan cara merazia para Gepeng dan
mengembalikan ke daerah asal mereka. Pemerintah kota Bandung juga menggunakan istilah
pragepeng bagi mereka yang baru menggelandang atau mengemis. Penanganan terhadap
pragepeng dilakukan melalui pembinaan di lingkungan pondok sosial (liposos) Cisarua Lembang
Kab. Bandung dan di Panti Budhi Dharma Palimanan Kab. Cirebon, dengan pengecualian para
gelandangan yang menderita penyakit mental (psikotis).
Kota Semarang termasuk kota yang melakukan kampanye simpatik dengan
menyebar spanduk ajakan untuk tidak memberikan sesuatu kepada anak jalanan, gelandangan,
dan pengemis di jalan protokol. Meski belakangan diketahui hal ini dilakukan untuk kepentingan
kampanye politik, tetapi upaya ini cukup penting untuk dicatat sebagai proses yang juga ikut
meletakkan batu-bata penanganan Gepeng yang secara serius digarap pemerintah kota.
Dengan melibatkan sekelompok peneliti, fakta yang ditemukan di Semarang
perihal anak jalanan, contohnya, diketahui sebenarnya orangtua anak jalanan tidak ingin anaknya
berkeliaran di tempat umum. Mereka turun ke jalan karena masalah ekonomi, dan sebagai tindak
lanjut para orangtua Anjal ini direkomendasikan untuk turut dilibatkan dalam formulasi
kebijakan.
Salah satu kemajuan yang telah dicapai melalui program pengurangan
kemiskinan, dikenal sebagai penanganan masyarakat urban Kawasan Kota Lama melalui
Lembaga Pendamping Buruh Tani dan Nelayan (LPU BTN) yang diketuai oleh Prof. Agnes
Widanti SH CN, adalah keberhasilan mengubah perilaku masyarakat untuk tidak mengemis.
Data menunjukkan pada 2004 sekitar 70% masyarakat penghuni kawasan kota lama adalah
pengemis. Setelah berjalan selama empat tahun, program itu berhasil mengurangi jumlah
pengemis dari yang asalnya sebanyak 300 orang menjadi 14 orang saja pada 2005
(suaramerdeka, 05/09/05).
Kunci keberhasilan program yang dilakukan LPU BTN adalah formulasi
keterlibatan anak-anak jalanan, orangtua anak jalanan dan elemen lain yang ikut diberdayakan
dalam penertiban masalah sosial. Dengan cara ini, penanganan PMKS diubah dari sekadar
penggarukan menjadi tujuan dengan jangka waktu relatif panjang.
Upaya penggarukan dan pembinaan di panti-panti sosial seperti yang pernah
dilakukan pemkot Jakarta, yang pada 2000 memiliki tiga ribu pengemis, terbukti tidak efektif
dan tidak impresif. Gagalnya terapi penggarukan disebabkan oleh logika razia yang tidak punya
arti lain selain penangkapan dan bukan mengedepankan dialog (Kompas, 30/06/05).
Usaha yang dilakukan JATIM dalam menangani PMKS termasuk impresif, dalam
arti program-program yang direncanakan termasuk luar biasa komplet dan ambisius. Pada 2005
saja pihak DINSOS Propinsi Jawa Timur mencantumkan sebanyak 47 layanan masyarakat yang
bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.
Di kota Solo,dengan memperlihatkan sejumlah cara penanganan pengemis yang
dilakukan di beberapa kota di negara-negara maju maupun di kota-kota Indonesia, setidaknya
pemkot Solo memiliki sejumlah amunisi untuk melakukan upaya yang lebih tepat sasaran,
berjangka panjang dan terutama lebih manusiawi.
Kondisi ekonomi secara makro memang tidak bisa dipungkiri memengaruhi
hampir semua sektor. Bukan hanya ekonomi tidak bisa bergerak melainkan program-program
sosial pun menjadi terhambat. Menggantungkan semata-mata pada harapan membaiknya
ekonomi makro jelas bukan jawaban. Pemkot Solo harus mencari cara-cara kreatif untuk
memulihkan ketertiban kota sekaligus mengembalikan harga diri para gelandangan dan
pengemis.
Penggunaan poster ANTIMEMBERI, misalnya, bisa dijadikan kampanye yang
efektif. Asumsinya, jika para Gepeng itu merasa jalanan sudah tidak menjadi tempat yang
menguntungkan maka mereka akan berhenti dengan sendirinya. Akan tetapi pihak pemkot juga
harus melakukan antisipasi kemungkinan munculnya kegiatan mengemis dalam bentuk lain,
misalnya menyamar dalam bentuk sumbangan-sumbangan bencana alam, dan mengupayakan
suatu program pemulihan.

Kerjasama dengan melibatkan lembaga non pemerintah yang reliable, selain dinas
sosial tentu saja, perlu juga dijajaki agar program tidak menguap di tengah jalan dan berubah
menjadi kontraproduktif. Stakeholders bisa dilibatkan untuk meneliti, mengidentifikasi dan
memetakan masalah secara jernih untuk selanjutnya memutuskan solusi terbaik. Hasil penelitian
itu bisa berupa usulan dalam bentuk penguatan keluarga Gepeng, pencarian orangtua asuh bagi
anak-anak usia sekolah, pembekalan keterampilan, dan usaha-usaha lainnya agar para
gelandangan dan pengemis memiliki penghasilan yang cukup. Biaya untuk mendanai program-
program sosial untuk Gepeng bisa dilakukan dengan mengumpulkan dana dari masyarakat
melalui penempatan boks-boks khusus yang disebar di mal-mal, supermarket, dan tempat belanja
lainnya yang strategis.
Selain itu, upaya hukum juga perlu ditempuh seandainya terdapat indikasi
kegiatan mengemis sebagai tindakan terorganisasi, atau perilaku Gepeng yang mengganggu dan
karena itu bisa dijerat hukum, misalnya pemerasan. Aparat polisi seharusnya dapat dilibatkan
sebagai pengawas dan menghentikan tindakan mengemis terorganisasi ini.

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Tempat dan waktu


Penelitian ini dilakukan di kota Solo, di perempatan lampu merah Panggung, Jebres dan
di samping pelataran Solo Grand Mall. Dan juga survey melalui internet.
Peneitian ini dilakukan selama dua bulan, dimulai dari bulan Januari hingga bulan
Februari 2011.

B. Objek penelitian
Objek penelitian karya tulis ini yaitu pengemis yang ada di perempatan lampu merah
Panggung, Jebres, samping pelataran Solo Grand Mall, dan pengemis yang dating meminta-
minta di kampong tempat tinggal.

C. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian
deskriptif. Data yang diperoleh dari sumber data yang kemudian diuraikan dalam bentuk kalimat.
Hasil penelitian juga disajikan secara deskriptif.

D. Sumber data
Data yang terdapat dalam penelitian ini diperoleh dari dua sumber yaitu sumber
data primer dan sumber data sekunder.

1. Sumber data primer

a. Pengemis
Data yang diperoleh dari sumber data ini adalah data tentang apa saja faktor-faktor yang
menyebabkan seseorang menjadi pengemis.

2. Sumber data sekunder


a. Internet
Data yang diperoleh dari sumber data ini adalah data mengenai kajian teori dan berita-berita
tentang pengemis di Indonesia.
b. Kajian pustaka
Data yang diperoleh dari sumber data ini adalah definisi tentang pengemis, kemiskinan, serta
pendapat-pendapat mengenai pengemis.

E. Teknik pengumpulan data


Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara dan
observasi.
1. Wawancara
Wawancara dilakukan dengan melakukan tanya jawab secara langsung terhadap sumber data.
Wawancara dilakukan untuk mengetahui factor-faktor yang menyebabkan masyarakat menjadi
pengemis. Dan mengetahui latar belakang pengemis sesungguhnya.
2. Observasi
Observasi dilakukan dengan melakukan penelitian terhadap objek penelitian observasi yang
dilakukan untuk memperoleh berita-berita mengenai banyaknya pengemis di Indonesia dan
prosentase tingkat pengemis se Indonesia.

BAB IV
PEMBAHASAN

A. Alasan Menjadi Pengemis


Seseorang berprofesi menjadi pengemis dikarenakan berbagai macam alasan, yang
akibat rumahnya tergusur, sehingga mereka (1 keluarga) menggunakan gerobak untuk
berpindah-pindah tempat dan mencari sumbangan atau makanan. Ada pula yang meninggalkan
kampungnya untuk mencari kehidupan yang lebih baik di kota besar, tapi tidak melengkapi
dirinya dengan kemampuan yang dibutuhkan sehingga akhirnya menjadikan pengemis sebagai
profesi. Serta ada pula yang mengatakan daripada menganggur di rumah lebih baik ngemis.

B. Realita Kehidupan Pengemis


Gencarnya pemberitaan media massa soal kampung pengemis memberikan pandangan
tentang suatu masyarakat dimana sebagian besar penduduknya memiliki profesi sebagai seorang
pengemis. Di kota Solo pun juga terdapat hal seperti itu. Bahkan di Kampung Lio, Kecamatan
Pancoran Mas, Depok Jawa Barat, hampir seluruh kepala keluarganya di desa ini, diduga terlibat
dengan sindikat perdagangan anak untuk dijadikan sebagai anak jalanan dan sebagai profesi
pengemis.
Dalam sebuah kampung yang dianggap sebagai kampung pengemis memiliki kriteria
tersendiri dan berbeda-beda di setiap kampung pengemis di daerah lainnya. Kriteria setiap
kampung ditentukan oleh mayoritas penduduk asal kampung tersebut, pengemis dari Kampung
Kebanyakan dan Desa Sukawarna, Kecamatan Serang, rata-rata berasal dari kampung tersebut.
Mereka berstatus janda dan istri yang ditinggal kerja suaminya keluar daerah. Pengemis asal
Kampung Waru, Kecamatan Cipocok Jaya, didominasi lanjut usia (lansia) yang hidup sendiri
dan tak diurus keluarganya.
Sedangkan di daerah Kecamatan Medan Satria, Kota Bekasi. Disebut sebagai
kampungnya pengemis, dikarenakan banyak warga yang berprofesi sebagai pengumpul barang
bekas, atau pengamen. Walaupun tidak semua warganya, karena juga ada penduduk yang
karyawan, pegawai, atau pedagang. Namun, para pengemis atau pengumpul barang bekas di
kedua kampung itu tidak tidur di emperan layaknya gelandangan. Mereka mengontrak kamar
atau bahkan rumah meski berukuran sempit. Tidak jarang, kamar berukuran 1,5 meter x 2 meter
dihuni dua sampai tiga orang.
Sedangkan dari pelacakan dan penelitian, pihaknya menemukan beberapa kesimpulan
atas fenomena di Desa Pragaan Daja Sumenep. Misalnya mengenai soal kriteria pengemis.
Pengemis dibagi menjadi 2 kriteria yaitu pengemis konvensional dan nonkonvensional.
Untuk pengemis konvensional, peneliti merujuk kepada mereka yang biasa mengemis
secara door to door, berada di emperan toko dan sebagainya. Ciri mereka biasanya menggunakan
baju compang camping dan jauh dari layak. Sedangkan pengemis nonkonvensional lebih maju
atau bisa dikatakan sebagai pengemis modern. Dianggap modern lantaran telah memanfaatkan
teknologi informasi dan ilmu pengetahuan. Misalnya, menggunakan nama-nama di alamat buku
telepon. Mereka yang termasuk pengemis modern biasanya tidak berpakaian compang camping,
tapi lebih necis. Dan, mereka tidak door to door. Tapi, dengan banyak mengirim proposal atau
menemui langsung membawa surat permintaan dana.
Dilihat secara empiris di lapangan, para pengemis di daerah sumenep, kondisi
ekonominya bisa dibilang mampu. Indikatornya, mereka memiliki rumah keramik, sepeda motor,
bahkan ada yang memiliki parabola. Dari beberapa studi lapangan itu, terdapat hubungkan teori
kemiskinan, kemiskinan fisik dan psikologis. Warga Pragaan Daja Sumenep misalanya
yang mengemis lebih kepada miskin secara psikologis. Mereka miskin secara psikologis
lantaran sebenarnya mampu, tapi menjadikan kegiatan mengemis sebagai mata pencaharian.
Kebanyakan pengemis menganggap kalau meminta-minta merupakan suatu perbuatan
yang mulia dari pada mencuri. Mereka terus berada dalam pemahaman itu, padahal keliru. Jelas-
jelas tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah.
Selain aspek psikologis, adanya faktor ekological context yang menjadi penyebab lain
dari masalah ini. Misalnya, dari segi regulasi ekonomi, di Desa Pragaan Daja Sumenep jauh dari
aktifitas pasar. Juga dari segi geografis, warga setempat hidup di tempat tidak produktif.
Pemerintah juga perlu introspeksi diri. Karena pemerintah selama ini sudah mengajarkan
masyarakatnya secara tidak langsung menjadi pengemis. Bantuan-bantuan dengan dalih
mengangkat derajat orang miskin tanpa seleksi yang ketat, sama saja dengan meninabobokan dan
mengajarkan masyarakat menjadi manja, malas, dan tanpa usaha. Beberapa kasus justru setelah
memperoleh bantuan, uangnya dipakai untuk memancing ataupun kenikmatan kehidupan dunia
lain. Bantuan yang dilakukan pemerintah tidaklah salah apabila sampai pada tahap tertentu
dihentikan, serta kepada siapa bantuan itu diberikan haruslah tepat.

C. Pandangan Masyarakat
Masyarakat memiliki berbagai tanggapan mengenai adanya keberadaan pengemis
disekitar mereka. Dari hasil survey yang telah dilakukan, sebagian besar masyarakat merasa
terganggu dengan keberadaan mereka. Bagaimana tidak, pengemis ada dimana-mana seperti di
halaman supermarket, lampu merah, tempat wisata, bahkan dapat pula di temui di rumah sendiri.
Sebagian masyarakat beranggapan bahwa pengemis itu seorang pemalas sehingga tidak perlu
diberi. Namun ada pula yang beralasan karena kasihan dan ingin membantu.

D. Penanggulangan Pengemis dan Kebijakan Kemiskinan


Untuk menanggulangi masalah banyaknya pengemis yang ada di Indonesia khususnya di
kota Solo, pemerintah dapat melakukan berbagai cara. Seperti membuat peraturan / larangan /
hukun mengenai mengemis , dan harus diberi sanksi yang tegas. Apabila telah dibuatnya
peraturan / larangan / hukun mengenai mengemis, maka hal tersebut haruslah segera
disosialisasikan kepada seluruh masyarakat negara.
Biasanya ada pengemis yang meminta-minta dengan alasan untuk sumbangan
pembangunan masjid, panti asuhan, dan lain sebagainya. untuk menangani hal seperti itu
seharusnya pemerintah bekerjasama dengan melibatkan lembaga non pemerintah yang reliable,
selain dinas sosial tentu saja, perlu juga dijajaki agar program tidak menguap di tengah jalan dan
berubah menjadi kontraproduktif. Stakeholders bisa dilibatkan untuk meneliti, mengidentifikasi
dan memetakan masalah secara jernih untuk selanjutnya memutuskan solusi terbaik. Hasil
penelitian itu bisa berupa usulan dalam bentuk penguatan keluarga pengemis, pencarian orangtua
asuh bagi anak-anak usia sekolah, pembekalan keterampilan, dan usaha-usaha lainnya agar para
gelandangan dan pengemis memiliki penghasilan yang cukup. Biaya untuk mendanai program-
program sosial untuk pengemis bisa dilakukan dengan mengumpulkan dana dari masyarakat
melalui penempatan boks-boks khusus yang disebar di mal-mal, supermarket, dan tempat belanja
lainnya yang strategis.
Selain itu, upaya hukum juga perlu ditempuh seandainya terdapat indikasi
kegiatan mengemis sebagai tindakan terorganisasi, atau perilaku pengemis yang mengganggu
dan karena itu bisa dijerat hukum, misalnya pemerasan. Aparat polisi seharusnya dapat
dilibatkan sebagai pengawas dan menghentikan tindakan mengemis terorganisasi ini.
Upaya penanggulangan kemiskinan Indonesia telah dilakukan dan menempatkan
penanggulangan kemiskinan sebagai prioritas utama kebijakan pembangunan nasional.
Kebijakan kemiskinan merupakan prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
2004-2009 dan dijabarkan lebih rinci dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) setiap tahun serta
digunakan sebagai acuan bagi kementrian, lembaga dan pemerintah daerah dalam pelaksanaan
pembangunan tahunan.
Sebagai wujud gerakan bersama dalam mengatasi kemiskinan dan mencapai Tujuan
pembangunan Milenium, Strategi Nasional Pembangunan Kemiskinan (SPNK) telah disusun
melalui proses partisipatif dengan melibatkan seluruh stakeholders pembangunan di Indonesia.
Selain itu, sekitar 60 % pemerintah kabupaten/ kota telah membentuk Komite penanggulangan
Kemiskinan Daerah (KPKD) dan menyusun Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah
(SPKD) sebagai dasar arus utama penanggulangan kemiskinan di daerah dan mendorong gerakan
sosial dalam mengatasi kemiskinan.
Adapun langkah jangka pendek yang diprioritaskan antara lain sebagai berikut:
a) Mengurangi kesenjangan antar daerah dengan; (i) penyediaan sarana-sarana irigasi, air bersih dan
sanitasi dasar terutama daerah-daerah langka sumber air bersih. (ii) pembangunan jalan,
jembatan, dan dermaga daerah-daerah tertinggal. (iii) redistribusi sumber dana kepada daerah-
daerah yang memiliki pendapatan rendah dengan instrumen Dana Alokasi Khusus (DAK) .
b) Perluasan kesempatan kerja dan berusaha dilakukan melalui bantuan dana stimulan untuk modal
usaha, pelatihan keterampilan kerja dan meningkatkan investasi dan revitalisasi industri.
c) Khusus untuk pemenuhan sarana hak dasar penduduk miskin diberikan pelayanan antara lain (i)
pendidikan gratis sebagai penuntasan program belajar 9 tahun termasuk tunjangan bagi murid
yang kurang mampu (ii) jaminan pemeliharaan kesehatan gratis bagi penduduk miskin di
puskesmas dan rumah sakit kelas tiga.

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Banyaknya pengemis di Indonesia, membuat melemahnya perekonomian Indonesia
secara makro. Memperlihatkan dimata dunia bahwa Indonesia negara yang miskin,
sesungguhnya Indonesia kaya akan sumber daya alamnya. Seorang pengemis meminta-minta
diberbagai tempat seperti di lampu merah, tempat wisata, bahkan dapat pula di temui di rumah,
hal tersebut mengganggu kenyamanan masyarakat.
Perilaku mengemis menjadikan seseorang malas untuk bekerja, buat apa capek-capek
mengeluarkan tenaga jika hanya dengan bermodalkan tangan menengadah dan tampang yang
memelas sudah dapat menghasilkan uang. Dan sekarang ini di Indonesia telah terbentuk undang-
undang baru mengenai larangan untuk mengemis , dan larangan bagi yang memberi pengemis.

B. Saran
Dalam menghadapi banyaknya pengemis di Indonesia , diperlukan sosialisasi kembali
kepada masyarakat mengenai undang-undang tentang larangan untuk mengemis, dan larangan
bagi yang memberi pengemis. Pemerintah harus lebih tegas dalam memberikan sanksi ataupun
hukuman bagi masyarakat yang melanggar.
Dalam menghadapi kemiskinan di zaman global diperlukan usaha-usaha yang lebih
kreatif, inovatif, dan eksploratif. Selain itu, globalisasi membuka peluang untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat Indonesia yang unggul untuk lebih eksploratif. Di dalam menghadapi
zaman globalisasi ke depan mau tidak mau dengan meningkatkan kualitas SDM dalam
pengetahuan, wawasan, skill, mentalitas, dan moralitas yang standarnya adalah standar global.
BAB V
PENUTUP

E. Kesimpulan
Banyaknya pengemis di Indonesia, membuat melemahnya perekonomian Indonesia
secara makro. Memperlihatkan dimata dunia bahwa Indonesia negara yang miskin,
sesungguhnya Indonesia kaya akan sumber daya alamnya. Seorang pengemis meminta-minta
diberbagai tempat seperti di lampu merah, tempat wisata, bahkan dapat pula di temui di rumah,
hal tersebut mengganggu kenyamanan masyarakat.
Perilaku mengemis menjadikan seseorang malas untuk bekerja, buat apa capek-capek
mengeluarkan tenaga jika hanya dengan bermodalkan tangan menengadah dan tampang yang
memelas sudah dapat menghasilkan uang. Dan sekarang ini di Indonesia telah terbentuk undang-
undang baru mengenai larangan untuk mengemis , dan larangan bagi yang memberi pengemis.

F. Saran
Dalam menghadapi banyaknya pengemis di Indonesia , diperlukan sosialisasi kembali
kepada masyarakat mengenai undang-undang tentang larangan untuk mengemis, dan larangan
bagi yang memberi pengemis. Pemerintah harus lebih tegas dalam memberikan sanksi ataupun
hukuman bagi masyarakat yang melanggar.
Dalam menghadapi kemiskinan di zaman global diperlukan usaha-usaha yang lebih
kreatif, inovatif, dan eksploratif. Selain itu, globalisasi membuka peluang untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat Indonesia yang unggul untuk lebih eksploratif. Di dalam menghadapi
zaman globalisasi ke depan mau tidak mau dengan meningkatkan kualitas SDM dalam
pengetahuan, wawasan, skill, mentalitas, dan moralitas yang standarnya adalah standar global.
DAFTAR PUSTAKA
Nugroho, Gunarso Dwi.2006. Modul Globalisasi. Banyumas. CV. Cahaya Pustaka
Santoso Slamet, dkk. 2005. Pendidikan Kewarganegaraan. Unsoed : Purwokerto.
Santoso, Djoko. 2007. Wawasan Kebangsaan. Yogyakarta. The Indonesian Army Press
Riyadi, Slamet dkk. 2006. Kewarganegaraan Untuk SMA/ MA. Banyumas. CV. Cahaya Pustaka.
www.pu.go.id/publik/p2kp/des/memahami99.html
www.geocities.com/rainforest/canopy/8087/miskin.html
www.geology.com/social/canopy/2078/pengemis.html
http://fosmake.blogspot.com/20/07/08/kemiskinan-pengemis25.html

Anda mungkin juga menyukai