PENDAHULUAN
Era millinium ke tiga ini masyarakat Indonesia benar-benar telah hidup
dalam sebuah global village yang ditandai dengan merebaknya aplikasi konsep
globalisasi dalam berbagai ranah kehidupan, termasuk di antaranya sektor
ekonomi, karena itu kita kenal istilah global market dan 'global ekonomi.
Kondisi ini merupakan sebuah realitas objektiI yang tak bisa dihandiri.
Globalisasi ekonomi merupakan tantangan bersama, yakni bagaimana masyarakat
bisa berperan secara kompetitiI dalam persaingan global dan tidak hanya sekedar
menjadi konsumen di tengah sumber daya alam yang melimpah. Ini
mengisyarakatkan pentingnya kualitas sumber daya manusia (modal insani) dalam
mengolah sumber-sumber daya alam.
Berbicara tentang sumber daya manusia tidak akan terlepas dari Iaktor
agama dan keberagamaan. Hal tersebut disebabkan karena masyarakat Indonesia
adalah masyarakat religious, dan tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa
komposisi terbesar adalah masyarakat pesantren dengan ideologi par excellence
Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah. Agama dalam hal ini menjadi dari objek materia
sumber daya manusia` (SDM) dan hasil kajiannya berupa budaya kerja dan
teologi kerja.
BAB II
PEMBAHASAN
DOKTRIN ASWA1A NU, BUDAYA KER1A DAN PENGEMBANGAN
SUMBER DAYA INSANI
A. SUMBER DAYA INSANI DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI
Dalam wacana ekonomi dikenal tiga sumber daya; sumber daya manusia
(SDM), sumber daya alam (SDA), sumber daya buatan (SDB). Di antara ketiga
sumber daya tersebut, sumber daya manusia adalah energi istimewa yang
berIungsi sebagai input kerja, yakni kerja sebagai proses penciptaan, atau
pembentukan nilai baru pada setiap unit sumber daya, pengubahan atau
penambahan nilai pada pada suatu unit alat pemenuhan kebutuhan. SDM atau
human resource dimaknai sebagai: 'the people who are ready, willing, and able
to contribute to organi:ational goal,` yakni mereka yang siap, mempunyai i`tikad
dan mempunyai kemampuan untuk berkontribusi dalam pencapaian tujuan
organisasi. Kata organisasi di sini tentu mempunyai cakupan makna yang luas.
Karena itu maka kualitas SDM (modal insani atau human resource ) sebagai
bagian dari Iaktor produksi memegang peranan penting terhadap sumber daya
yang lain. Ketersediaan SDA (modal dan Iasilitas) tidak menjamin adanya
kesejahteraan ekonomi dan bahkan, berkurang dan habisnya daya dukung alam
adanya sumber alam yang tidak bisa diperbaharui dan rusaknya ekosistem alam
bisa berakibat pada punahnya manusia. Berkaitan dengan relasi SDM, SDA dan
SDB ini, kita bisa melihat kasus Indonesia di satu sisi dengan Jepang atau Korea
Selatan di sisi yang lain. Manusia sebagai bagian dari sumber daya adalah unik
dan penuh misteri. Akan tetapi secara umum, manusia sebagai pribadi terbentuk
dan dipengaruhi oleh lingkungan; baik lingkungan vertikal (Iaktor genetika dan
tradisi, termasuk persepsi keagamaan), lingkungan horizontal (Iaktor geograIik,
Iisik dan sosial) maupun lingkungan kesejarahan. Ibn Khaldun lewat teori
sosiologinya menyatakan bahwa al-raful ibn bi`atih (manusia sebagai pribadi
adalah anak zaman dan lingkungannya). Pemikiran, sikap dan perilaku
ekonominya tidak bisa lepas dari pengaruh aIiliasi kelas dan internalisasi budaya
sekitar. Berdasar hal di atas, kualitas sumber daya manusia tidak selalu tercermin
dalam ketrampilan dan Iisik manusia akan tetapi juga pendidikan, kadar
pengetahuan, pengalaman/kematangan dan sikap atau nilai-nilai yang dimilikinya.
Berkaitan dengan unsur yang terakhir, pakar ekonomi memandang pentingnya
etos kerja dari human capital. Etos dalam pengertian sosiologis adalah
'sekumpulan ciri-ciri budaya, yang dengannya suatu kelompok membedakan
dirinya dan menunjukkan jati dirinya yang berbeda dengan kelompok-kelompok
yang lain. DeIinisi lain menyebutkan sebagai 'sikap dasar seseorang atau
kelompok orang dalam melakukan kegiatan tertentu. Etos dapat bersumber dari
nilai-nilai keagamaan atau juga buah dari perbincangan serta reIleksi yang cukup
panjang akhirnya diterima oleh individu dan komunitas. Etos kerja dalam tulisan
ini lebih ditekankan pada sumber nilai-nilai keagamaan dan tradisi yang telah
diinternalisasi oleh kelompok budaya tertentu. Etos kerja berkaitan erat dengan
budaya kerja yang mewujud dalam produktiIitas dan kualitas kerja. Sebagai
budaya, etos kerja bisa dinilai dan diukur sebagai tinggi atau rendah, kuat atau
lemah. Budaya kerja secara umum dideIinisikan sebagai sekolompok pikiran
dasar atau program mental yang dapat dimanIaatkan untuk meningkatkan
eIesiensi kerja dan kerja sama manusia yang dimiliki oleh suatu golongan
masyarakat. Selanjutnya budaya kerja dapat dibagi menjadi; sikap terhadap
pekerjaan (kesukaan terhadap kerja atau keterpaksaan) dan perilaku pada waktu
kerja (disiplin, berdedikasi, bertanggung jawab atau sebaliknya dan yang lainnya).
Menurut Budhi Parmitha, tingkat pendidikan (X) tidak langsung korelatiI dengan
pertumbuhan ekonomi (Y), akan tetapi harus ada variable Z yang memungkinkan
X berhubungan dengan Y. Variable Z tersebut adalah budaya kerja`.
Ada banyak anggapan dasar tentang kerja yang bersiIat korelatiI dengan sikap
terhadap pekerjaan; sikap negatiI atau positiI terhadap pekerjaan. Seperti
anggapan bahwa kerja adalah hukuman atau beban menimbulkan sikap negatiI
terhadap kerja yang mewujud dalam sikap menolak kerja dan kerja yang
dipersepsi sebagai hal yang menakutkan dan membosankan. Sementara anggapan
bahwa kerja adalah ibadah, aktualisasi diri dan kewajiban misalnya, akan
menimbulkan sikap positiI terhadap kerja sebagaimana ia menjadi perwujudan
rasa syukur, pengorbanan dan kerja untuk menaati perintah dan memenuhi janji.
Anggapan yang terakhir inilah yang bersiIat otonom, yakni kerja menjadi bagain
dari kesadaran diri yang berada pada tidak saja pada ruang kognitiI akan tetapi
juga ruang belief yang karenanya tidak sekedar terpengaruh oleh Iaktor reward
and punishment.
ditransmisikan juga bersiIat tradisional dan tanpa kritik serta re-evaluasi terhadap
tradisi. Tidak pula mereka abai dengan kegiatan perekonomian yang bercirikan
rasionalitas. Geertz sendiri dalam penelitian yang lain justru membuktikan bahwa
masyarakat santri di Mojokuto telah menunjukkan mentalitas kemandirian,
entrepreneurship. Menurutnya, mereka telah terlibat dalam aktivitas ekonomi dan
industri dengan mengembangkan organisasi kerja yang rasional.
Hal serupa juga telah ditunjukkan oleh para ounding ather NU. Sebagai
cikal bakal NU, K.H. Abdul Wahab Hasbullah selain mendirikan Madrasah
(Nahd}ah al-Wat}an, 1916), beliau juga mendirikan asosiasi yang disebut dengan
Nahd}ah al-Tuffa~r (1918).
Asosiasi yang didirikan ini paling tidak menunjukkan bahwa para pendiri
Jam`iyyah ini tidak alergi dengan aktivitas ekonomi, aktivitas keduniawiaan yang
bersiIat proIan. Bahkan ada kesan bahwa aktivitas tersebut merupakan bagian dari
ungkapan spiritualitas dan media da`wah serta sosialisasi semangat aswaja. Dalam
rentang waktu 1938 1939, NU juga menelurkan seperangkat program yang
disebut dengan 'Gerakan Khayr Ummah. Program ini dimaksudkan untuk
penguatan spirit kerja sama ekonomi antar masyarakat dengan upaya peningkatan
kesadaran nasional dan basis moralitas berdasar tiga prinsip: kejujuran, keimanan
(religiusitas) dan solidaritas. Untuk mengkomunikasikan spirit kerja sama
ekonomi ini, secara kreatiI NU menerbitkan tiga majalah: Kemudi, Berita
Nahdlatul Ulama dan Suara Nahdlatul Ulama.
Islam kelihatan lebih menggema dari pada meminjam seruan Ismail Faruqi
'tindakan ekonomi merupakan ungkapan spiritualitas Islam. Doktrin al-Itiqa~d
ila al-usus al-tsala~thah yang tidak dipahami secara kreatiI dan kontekstual juga
dinilai memberikan kontribusi terhadap keterbelakangan masyarakat santri dalam
perekonomian. Doktrin tersebut seolah menjadi mekanisme pembakuan nalar
kelompok ini. Dominasi teologi Asy`ariyah misalnya, lebih banyak membawa
pada paham jabariyah di mana perbuatan manusia lebih banyak ditentukan oleh
Tuhan tanpa banyak usaha-usaha yang rasional dank keras untuk menjemput
takdir Tuhan. Begitu juga dengan pola tasawwuI konvensional yang
dikembangkan lebih banyak mengambil jarak dengan hal-hal yang bersiIat
duniawi dan proIan dan terIokus pada kesalehan yang bersiIat individual. Karena
itu adanya upaya kalangan santri terpelajar yang mulai mengorientasikan pada
teologi rasional, dan usaha untuk memberikan pemaknaan tasawuI yang lebih
membumi (worldly asceticism) pantas untuk mendapatkan apresiasi tersendiri.
Dominasi keberagamaan yang bersiIat Iiqhiyyah orientasi pada halal-haram
dengan membatasi pada bingkai mazab al-Sha~Ii`i juga merupakan persoalan
tersendiri. Persoalan tersebut sesungguhnya terletak pada pola nalar Iiqhiyyah
yang dikembangkan. Pola nalar yang dikembangkan dalam mempersepsi Iiqh
didominasi oleh meminjam klasiIikasi epsitem Abid al-Jabiri epistem baya~ni
dengan ciri ketundukan pada otoritas teks dan otoritas salaf. Hal ini mengabaikan
rasionalitas, peran nalar dan realitas. Setiap realitas selalu bersiIat rasional dan
rasionalitas merupakan ciri yang tak terbantahkan dari masyarakat ekonomi.
Fiqh sebagai the king of Islamic Sciences seharusnya dapat menjadi starting
point untuk mempersepsi realitas secara dinamis dan kontekstual. Kenyataannya
pandangan ke-Iiqh-an masyarakat pesantren masih membelenggu dengan
pendekatan yang masih bersiIat normatiI. Fiqh lebih diposisikan sebagai alat
legislasi, pemilah antara yang halal, haram dan syubhat praktek ekonomi yang
datang dari luar. Fiqh tidak pernah dijadikan perangkat keilmuan yang bisa
memberikan inspirasi dan kreativitas ekonomi. Fiqh sebagai ilmu tentang hukum
syara yang bersiIat amali (praktis) banyak membahas perilaku ekonomi atau
yang disebut dengan fiqh muamalah. Khazanah tradisi ini, sayangnya, kurang
mendapatkan apresiasi dan reaktualisasi yang kontekstual dari masyarakat
pesantren. Fiqh sebagai reIleksi logis sosial budaya era tadwi~n cenderung
dianggap divine dan Iinal, sementara kebanyakan bentuk dan subtansi lembaga-
lembaga perekonomian modern beserta konsepnya bersiIat baru yang tidak pararel
dengan khazanah klasik. Akibatnya, aset ekonomi masyarakat pesantren yang
tidak sedikit, seperti saluran-saluran ekonomi zakat, inIaq, shadaqah dan wakaI
belum dapat didayagunakan secara optimal. Harta wakaI misalnya, bisa dipikirkan
lebih jauh ke arah harta produktiI yang bisa dikembangkan lewat saluran-saluran
investasi yang sesuai sehingga bisa dioptimalkan kemanIaatannya bagi
masyarakat. Hal ini jelas membutuhkan bekal wawasan ke-Iiqh-an yang progresiI.
Ikhtitam
Dari percikan pemikiran di atas kiranya dapat dipahami pentingnya
menjadikan aswaja sebagai basis wawasan etik pengembangan sumber daya insani
dalam percaturan perekonomian modern. Agama, dalam hal ini terbingkai dalam
doktrin aswaja NU, diyakini bisa memberikan pengaruh positiI dalam aktivitas
dan gerakan ekonomi rakyat. Pengaruh tersebut khususnya dalam bentuk
transendensi kerja dan kesadaran tugas kekhaliIahan manusia. Ini selaras dengan
tesis Weber tentang hubungan positiI antara etika protestan dengan perkembangan
ekonomi Eropa. Dalam kerangka di atas, 'gagasan baru aswaja yang dipelopori
Said Agil Siraj semakin menemukan momentumnya. Aswaja dalam taIsir baru
lebih dipahami sebagai metode berpikir (manha~f al-fikr) yang berprinsip pada
moderasi, keadilan dan toleransi, bukan mazab yang membelenggu. Sementara
orientasi yang dikembangkan adalah rasional-progresiI, lebih aktiI dan asketis,
sehingga kemiskinan dan ketidakberdayaan ekonomi dipahami karena Iaktor
manusia sendiri.
Walaupun begitu, paham aswaja bukanlah satu-satunya Iaktor pembentuk
etos dan budaya kerja. Kondisi sosial ekonomi juga turut membentuk etos kerja.
Muslim Abdurrahman menyatakan bahwa tanggung jawab kita bersama tidak saja
bagaimana menumbuhkan etos kerja untuk peningkatan produktiIitas secara
eIesien dan rasional, namun juga bagaimana menciptakan humanisasi kerja yang
tetap mampu memelihara nilai, harkat dan martabat manusia. Karena apalah
manIaatnya etos kerja yang tinggi, bila dibalik itu terjadi eksploitasi manusia
dalam proses pengelolaan dan pendayagunaan SDM.
BAB III
KESIMPULAN
Berbicara tentang sumber daya manusia tidak akan terlepas dari Iaktor
agama dan keberagamaan. Hal tersebut disebabkan karena masyarakat Indonesia
adalah masyarakat religious, dan tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa
komposisi terbesar adalah masyarakat pesantren dengan ideologi par excellence
Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah. Agama dalam hal ini menjadi dari objek materia
sumber daya manusia` (SDM) dan hasil kajiannya berupa budaya kerja dan
teologi kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Muchith Muzadi, NU dalam Perspektif Sefarah dan Afaran (Surabaya:
Khalista, 2006), 25.
Abid Rohmanu, 'Fiqh dan Tantangan Global, dalam :a, No. 05 (Mei, 2003),
81.
Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibn Kha/:n an/ Isamic 1ho:ht-Sty0 a Socia
P07sp0ctiv0 (America: G.K. Hall and Co. Boston, 1981), viii.
Laode Ida, NU Muda, Kaum Progresif dan Sekularisme Baru (Jakarta: Erlangga,
2004), 155.
M. Dawam Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan perilaku Politik Bangsa
(Bandung: Mizan, 1999), 390.
Talizidhuhu Ndraha, Pengantar Teori Pengembangan Sumber Daya Manusia
(Jakarta: Rineka Cipta, 1999), 6.