Anda di halaman 1dari 5

PERSENTUHAN ISLAM DENGAN KEBUDAYAAN MELAYU DAN JAWA

Dalam islam terdapat ajaran Tauhid, suatu konsep sentral yang berisi ajaran bahwa
tuhan adalah pusat dari segala sesuatu, dan manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya
kepada-Nya. Konsep ini dijelaskan dalam beberapa literatur dengan penjelasan yang berbeda.
Dipesantren-pesantren tradisional salafi, kalimat la ilaha illa Allah sering ditafsirkan sebagai
berikut: pertama, la maujud illa Allah (Tidak ada yang “wujud” kecuali Allah) ; kedua, la
ma’buda illa Allah (tidak ada yang disembah kecuali Allah) ; ketiga, la maqshud illa Allah
(Tidak ada yang dimaksud kecuali Allah ; dan ke-empat, la mathlub illa Allah (Tidak ada yang
diminta kecuali Allah).
Implikasi dari doktrin itu adalah tujuan kehidupan manusia hanyalah keridhoan-Nya.
Doktrin bahwa hidup harus diorientasikan untuk pengabdian kepada Allah inilah yang
merupakan kunci seluruh ajaran islam. Dengan demikian, konsep menganai kehidupan dalam
islam adalah konsep teosentris, yaitu bahwa seluruh kehidupan berpusat pada Tuhan.
(kuntowijoyo, 1991 : 229)
Doktrin tauhid mempunyai arus balik kepada manusia. dalam banyak ayat Al-qur’an
kita temukan bahwa iman, yaitu keyakinan religius yang berakar pada pandangan teosentris,
selalu dikaitkan dengan amal, yaitu perbuatan atau tindakan manusia. Dalam surat Al-‘Ashr
(103) ayat 2-3 dikatakan bahwa manusia benar-benar dalam kerugian kecuali orang-orang yang
beriman dan beramal shaleh. Oleh karena itu, antara iman (yang teosentris) dan amal shaleh
(yang antroposentris) tidak dapat dipisahkan. Ini berarti bahwa iman (Tauhid) harus
diaktualisasikan menjadi aksi kemanusiaan. Atas dasar itulah, Kuntowijoyo (1991 : 229)
berpendapat bahwa konsep teosentrisme dalam islam ternyata bersifat humanistik.

Demikianlah, sekilas tentang inti dari seluruh nilai ajaran islam yang menjadi tema
sentral peradaban islam. Dari tema sentral tersebut muncul sistem simbol, sisitem yang
terbentuk karena proses dialektik antara nilai dan kebudayaan (Kuntowijoyo, 1991 : 229). Pada
bagian berikut kita akan berbicara tentang sistem budaya di dindonesia.

Indonesia pernah mengalami dualisme kebudayaan, yaitu antara kebudayaan keraton dan
kebudayaan populer. Dua jenis kebudayaan ini sering dikategorikan kebudayaan tradisional.
Kebudayaan istana atau kebudayaan keraton dikembangkan oleh abdi-dalem atau
pegawai istana, mulai dari pujangga sampai arsitek. Raja berkepentingan menciptakan simbol-
simbol budaya tertentu untuk melestarikan kekuasaannya. Biasanya bentuk-bentuk
kebudayaan yang diciptakan untuk kepentingan itu berupa mitos. Dalam sastra kerajaan, mitos-
mitos itu di himpun dalam babad, hikayat, dan lontara. Hampir semua mitos dalam sastra
semacam ini berisi tentang kesaktian raja, kesucian, atau kualitas suprainsani raja. Efek yang
hendak dicapai dari penciptan mitos-mitos tersebut adalah agar rakyat loyal terhadap
kekuasaan raja. Sebagai contoh dalam babad jawa digambarkan bahwa raja adalah pemegang
“wahyu” yang dengannya ia merasa sah untuk mengklaim dirinya sebagai wakil tuhan untuk
memerintah rakyatnya. Sultan agung bergelar khalifatullah atau wakil tuhan di tanah jawa
(Kuntowijoyo, 1991: 230-1). Di samping itu, para pegawai istana juga menciptakan sastra
mistik dengan tujuan untuk memberikan pengetahuan tentang kosmologi. Sastra-sastra mistik
kerajaan seolah-olah memberikan pesan agar manusia bisa memahami dunianyadalam konteks
kosmologi keraton. Dua produk budaya yang bersifat mitis dan mistis yang diciptakan oleh
keraton sama-sama ditujukan untuk mempertahankan status quo kerajaan. Dalam rangka
melegitimasikan kekuasaan mutlaknya, raja menciptakan semacam istilah genealogis bahwa
dia adalah keturunan dewa (hinduisme). Pada saat yang sama, dia juga mengklaim bahwa
dirinya adalah keturunan para nabi (islam).(kuntowijoyo, 1991:231)
AKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA MELAYU (Studi Tentang Ritus Siklus Kehidupan Orang Melayu di
Pelalawan Provinsi Riau) Hidayat 92004 Kebudayaan tradisional Melayu Pelalawan adalah
kebudayaan yang berasaskan pada kepercayaan animism-dinamisme dan pada pemikiran mendalam
generasi terdahulu, dalam wujud adat dan tradidi. Kebudayaan itulah yang menjadi pedoman,
pemberi arah (orientasi) dan pengendali dari perilaku dan semua tindakan orang Melayu Pelalawan.
Berdasarkan catatan sejarah, abad VII/VIII Masehi atau abadpertama Hijriah, kebudayaan tradisional
Melayu Pelalawan telah bersentuhan dengan Islam yang dibawa oleh para pedagang Muslim dari
Timur Tengah, tetapi belum berakulturasi secara intensif, karena berhadapan dengan Hinduisme-
Budhisme yang masih kuat dan adanya counter action dari Cina. Persentuhan yang intensif baru
berlangsung pada abad XIII/XIV Masehi atau abad VII/VIII Hijriah. Pada masa inilah proses akulturasi
Islam dan budaya tradisional Melayu Pelalawan dapat dikatakan benar-benar terjadi dan berhasil
mentransformasikan kebudayaan tradisional Melayu Pelalawan menjadi kebudayaan Melayu yang
berasaskan Islam. Transformasi kebudayaan inilah yang ditegaskan dalam ungkapan; Adat bersendi
syara’, dan yang dikatakan Melayu adalah beragama Islam, berbudaya (beradat istiadat) Melayu dan
berbahasa Melayu. Ungkapan tersebut menyatakan bahwa: 1) Kebudayaan Melayu Pelalawan
adalah kebudayaan yang berasaskan nilai-nilai Islam (syara’). 2) Islam adalah identitas kemelayuan
seseorang. 3) Orang Melayu yang melepaskan Islam, berarti ia melepaskan kemelayuannya.
Keberhasilan Islam mentransformasikan kebudayaan tradisional Melayu Pelalawan menjadi
kebudayaan Melayu yang berasaskan syara’ adalah realitas yang sangat menarik untuk diteliti dan
menimbulkan pertanyaan, yaitu: 1) Bagaimanakah Proses akulturasi tersebut sehingga Islam mampu
mengubah budaya tradisional Melayu Pelalawan menjadi kebudayaan Melayu yang berasaskan Islam
(syari’ah). 2) Mengapa dalam proses akulturasi tersebut Islam mampu menempatkan diri pada posisi
dominan sehingga Islam menjadi asas kebudayaan dan identitas kemelayuan seseorang? Melalui
penelitian diskriptif-kualitatif dengan pendekatan ethnometodologi dalam perspektif
fungsionalisme-struktural yang dilakukan, disertasi ini menyimpulkan bahwa: Akulturasi Islam dan
budaya Melayu Pelalawan telah mentransformasi berbagai aspek kebudayaan; 1) Transformasi
sistem kepercayaan orang Melayu Pelalawan dari animisme-dinamisme kepada aqidah tauhhid Islam
yang bersumber dari wahyu; 2)Transformasi adt (ritus siklus kehidupan, sistem pemerintahan dan
sistem sosial), dari berasaskan pemikiran generasi terdahulu kepada adat yang berasaskan syara’; 3)
Transformasi tradisi dari berasaskan mitos dan tujuan kepada tradisi sebagai sarana sosialisasi nilai-
nilai dan solidaritas. Akulturasi Islam dan budaya Melayu Pelalawan berlangsung melalui proses
gradual: 1) Tergesernya mantera dan tawar oleh do’a dalam sistem perobatan Melayu, sehingga
menyadarkan orang Melayu Pelalawan untuk berkepercayaan tauhid kepada Allah SWT. 2)
Tergesernya posisi pemimpin tradisional (pemangku adat, dukun, bomo, dan pawang) oleh ulama
dalam struktur sosial orang Melayu Pelalawan sehingga institusi ulama berada pada posisi dominan.
3) Perubahan konsep dan sistem politik kerajaan Melayu Pelalawan dari kerajaan kepada kesultanan.
Perubahan ini menimbulkan konsekuensi: a) Raja atau sulţān adalah khalifah Allah, bukan penguasa
mutlak; b) Sulţān wajib memelihara institusi kesultanan sebagai institusi politik Islam dan berperan
aktif dalam pengembangan wacana dan aktivitas kebudayaan; c) sulţān tidak berwenang membuat
hukum sendiri. Kewenangannya terbatas pada menafsirkan, memahami, menjabarkandan
menerapkan Islam (al-Qur’an dan Sunnah Rasul); d) Dalam membuat ketentuan hukum, menetapkan
keputusan, atau menyelesaikan berbagai persoalan, sultan harus meruju’ kepada sumber ajaran
Islam dan meminta fatwa pada ulama. Keharusan ini menjadikan ulama berperan aktif dan strategis
untuk mengakulturasikan Islam dan Kebudayaan Melayu Pelalawan. Perubahan konsep, sistem
politik dan sistem hukum tersebut menjadikan Kerajaan Pelalawan sebagai Kerajaan Islam berbentuk
Teokrasi Konstitusional, karena nilai-nilai Islam (syari’ah) menjadi dasar dalam berkehidupan
berbangsa, bernegara dan bermasyarakatnya. Meskipun Pelalawan tidak menyatakan diri sebagai
kerajaan Islam, atau menyatakan Islam sebagai agama resmi kerajaan. Temuan penelitian ini
memberi berbagai kontribusi baik secara akademik, empiris maupun praktis operasional. Secara
akademik, kontribusi penelitian ini adalah: 1) Dilihat dari sisi antropologi, nilai-nilai Islam akan
mendominasi dan mengakar kuat dalam sistem budaya suatu masyarakat apabila nilai-nilai Islam
berakulturasi ke dalam budaya masyarakat melalui proses yang intensif, gradual, akomodatif,
empatif, dan berkelanjutan, bukan frontal dan konfrontatif; 2) Dari sisi sosiologi, akulturasi Islam ke
dalam suatu masyarakat dapat menjadikan Islam sebagai suatu identitas dan pengikat solidaritas
suatu komunitas (spirit de corps), karena itu identitas dan solidaritas suatu komunitas tidak mutlak
berdasarkan kesatuan etnis. Ia juga dapat juga terbentuk atas kesatuan aqidah. Kesatuan sosial
inilah yang disebut dengan ummat; 3) Dakwah islamiyah yang dilaksanakan dengan pendekatan
cultural, akomodatif –empatik, menghasilkan respon yang positif-simpatik, dapat menekan
intensitas konflik karena perbedaan sistem dan orientasi nilai, mengembangkan toleransi, saling
menghormati, dan menerima kemajemukan keberagaman umat sebagai realitas historis dan
manusiawi. Secara empiris, akulturasi Islam ke dalam budaya Melayu Palalawan, telah menjadikan
Islam sebagai identitas kemelayuan orang Pelalawan, sehingga identitas kemelayuan tidak
selamanya didasarkan pada faktor genetis, tapi juga dapat terbentuk atas dasar aqidah. Dengan
demikian, “Melayu” adalah konsep terbuka yang dapat dimasuki siapa saja melalui koridor Islam.
Sebaliknya kemelayuan orang Melayu akan hilang apabila tidak berbajukan Islam. Secara praktis
operasional, penelitian ini memberi kontribusi bahwa orang-orang Melayu akan mencapai kemajuan
apabila pandangan hidup mereka yang dogmatis-mistis ditransformasikan kepada pandangan hidup
yang rasional empiris melalui transformasi pemikiran dan pemahaman mereka atas Islam dan nilai-
nilai budayanya sendiri, sehingga keberagamaan dan keberbudayaan orang-orang Melayu menjadi
lebih rasional.

HUBUNGAN KEBUDAYAAN MELAYU SEBELUM ISLAM MASIK

Kata Melayu berasal dari kata mala (yang berarti mula) yu (yang berarti negeri) seperti yang
dinisbahkan kepada Ganggayu yang berarti negri gangga. Pendapat ini bisa melayani dengan
cerita rakyat Melayu yang paling luas dikenal yaitu cerita si kelampai atau kelambai.

Sedangkan kata islam makna masuk dalam perdamaian, dan orang muslim adalah orang yang
damai dengan Allah dan damai dengan manusia lain.

Teori Kedatangan Islam di Melayu

Menurut Muhammad Naquib al-attas ada beberapa teori tentang kedatangan dan penyebaran
islam di kwlupauan Melayu. Faktor faktornya: 1. Faktor Perdagangan. 2. Faktor Perkawinan
(pendatang muslim dengan wanita pribumi). 3. Faktor Permusuhan (antara orang muslim dan
orang kristen). 4. Faktor Politik. 5. Faktor Penghargaan ideologi Islam.

C. Pengaruh Islam ke Kebudayaan Melayu

Melayu sebagai sebuah budaya sangat erat kaitannya dengan islam. Hal ini tentu memberikan
pengaruh besar dalam pesan dan perkembangan kebudayaan itu sendiri. Dengan adanya
islamisasi dalam kebudayaan melayu, maka hubungan antara islam dan melayu tidak dapat
ditentukan satu sama lain.
Dijelaskan bahwa tempat asal kedatangan islam ke nusantara terdapat beberapa teori.
Diantaranya ada yang menyatakan bahwa islam datang langsung dari Timur Tengah, tetapi
ada juga yang beranggapan melalui India yang berhubungan dengan kaum muslim yamg
mendiami kawasan pantai timur India. Ditilik berdasar mazhab hukum islam, ada juga yang
mengatakan ialam masuk melalui Mesir dengan alasan minat mazhab yakni syafi'i.

Pengaruh islam terhadap melayu ini sangat signifikan karena langsung menghujam ke aspek
yang sangat dalam, mempengaruhi kepercayaan dan keagamaan. Aspek ini kemudian
membawa pengaruh turunan ke pola hidup keseharian bangsa melayu, termasuk kebudayaan
adat dan istiadat.

Pengaruh islam yang kuat terhadap kebudayaan melayu pada akhirnya memberikan wajah
baru bagi lebudayaan melayu. Melayu yang sebelumnya masih menganut kepercayaan
Hindhu-Budha selanjutnya mulai tergantikan dengan islam dan membawa kebudayaan
melayu menjadi banyak orang bernafaskan islam yang kita saksikan.

Dalam perjalanannya, kadang agama mempengaruhi tradisi, kadang pula yang mempengaruhi
agama. Hal ini karena didalam agama dan tradisi terdapat siatem nilai dan simbol. Dua hal
tersebut yang membuat agama tidak terasa kaku. Agama mampu berkembang secara
progresif sesuai dengan pemahaman masyarakat.

ISLAM DAN BUDAYA JAWA

Di zaman postmodernisme, kita memahami bahwa masyarakat Jawa masih memiliki akulturasi
yang tinggi terhadap nilai-nilai Islam. Adanya kebudayaan Jawa yang berkembang di daerah-
daerah menunjukkan Islam menyebar di Indonesia melalui kultur kebudayaan. Kita dapat
melihat di daerah sekitar Pantura seperti Jepara, Demak, Pati, Kudus, dan Rembang. Tradisi
kebudayaan masyarakat Jawa di daerah ini masih sangat kental dengan budaya dan adat istiadat
kejawen atau tradisional.

Seperti tradisi memberikan sedekah sering dilakukan oleh para keluarga Jawa pada tetangga
sebagai wujud rasa syukur atas nikmat yang diberikan Tuhan. Biasanya kegiatan tersebut
dilakukan dengan cara bersama-sama di kediaman orang yang memiliki mempunyai hajat atau
acara besar atau pada ketetapan hari-hari besar. Dengan mengumpulkan para tetangga dan
diiringi dengan doa kepada Sang Maha Kuasa. Tradisi adat tersebut biasanya dilaksanakan
masyarakat desa yang masih melestarikan adat kejawen yang dikenal dengan
slametan (shodaqoh keselamatan).

Tradisi slametan menjadi simbolisasi masyarakat Jawa dalam menciptakan Islam kultural.
Dakwah agama Islam yang diajarkan para Walisongo dalam menciptakan kerukunan bersikap
secara santun dan toleran. Sehingga masyarakat Jawa banyak yang memeluk agama Islam
lantaran corak dakwah para wali bersifat inklusif. Mafhum, masyarakat Jawa perlu masa
transisi dari tradisi hinduisme menuju tradisi baru yaitu Islam Nusantara. Satu sisi mereka
mempercayai dan mengakui kebenaran yang tersimpul dari ajaran-ajaran Islam, namun pada
sisi lain mereka tetap mempercayai hal-hal yang berhubungan dengan tradisi warisan
kebudayaan pra Islam yaitu Hindu-Budha. Mengutip keadaan tersebut sampai saat ini masih
tetap eksis, meskipun sebagian masyarakat Jawa sudah tidak lagi memaknai sakralitas yang
terdapat pada kebudayaan terdahulu.

Fakta sosialnya, tradisi Jawa tersebut menunjukkan adanya praktik keagamaan yang sering
dijumpai adalah slametan. Salah satu adat istiadat yang dianggap sebagai ritual keagamaan
dalam masyarakat Islam Jawa. Mengadakan upacara slametan terkadang diambil berdasarkan
keyakinan keagamaan yang murni, akan tetapi terkadang hanya menjadi sebuah kebiasan rutin
yang dijalankan dalam suatu adat keagamaan. Peristiwa itu menjadi kebiasaan rutin yang dapat
diartikan dalam kehidupan keseharian masyarakat Jawa tradisional yang masih kental dengan
kebiasaan lamanya. Masyarakat Jawa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diikuti oleh
norma-norma hidup karena sejarah, tradisi, maupun agama. Hal ini dapat dilihat dalam keadaan
masyarakat Jawa di sekitar kita yaitu dengan ciri kekerabatan antar sesama masyarakat.

Banyak sekali anak-anak di Jawa yang masih kental terhadap hukum adat yang ada di daerah.
Misalnya dalam hal-hal tertentu setiap lelaki masih bekerja membantu kerabat dalam
mengerjakan tanah pertanian, membuat rumah, memperbaiki jembatan, dan lain sebagainya.
Kebudayaan yang mereka bangun merupakan serangkaian hidup tolong menolong antar warga.

Keadaan masyarakat di Jawa masih sangat terjalin keaslian dan kedamaian antar warga dan
keluarga inilah yang menjadikan adat kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang yang masih
dijalankan di masyarakat Jawa. Internalisasi kebiasaan yang berurutan dan sudah menjadi
keyakinan mutlak bisa menjadikan sebuah tradisi yang awet. Tanpa latar belakang dari budaya
luar pun, tipikal masyarakat Jawa masih ajeg dan inklusif akan tradisi yang dibawakan oleh
nenek moyangnya.

Namun, perkembangan budaya saat ini mengalami pengaruh globalisasi. Akan tetapi tidak
jarang masyarakat Jawa masih melestarikan tradisi untuk melestarikan kebudayaan dalam
kehidupan sehari-hari. Paham Islam kultural memiliki akar yang kuat sehingga masyarakat
masih menjalankan tradisi. Oleh karena itu, meskipun banyak dari masyarakat Jawa yang
sudah masuk Islam, namun keaslian akan tradisi Jawa masih dijunjung sekali seperti
tradisi slametan yang masih sering kita jumpai di setiap acara-acara penting kehidupan
masyarakat Jawa.

Slametan diadakan pada setiap kesempatan peristiwa-peristiwa penting yang melibatkan


masyarakat, keluarga, tetangga, dan sanak saudara. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa
masyarakat yang rukun tanpa membedakan dari mana dan siapa mereka. Rukun yang berarti
harmoni sosial dan ketentraman serta ketenangan bersama merupakan nilai sosial yang amat
penting dalam kehidupan masyarakat desa.

Sebuah realitas yang unik ini merupakan pembumian akan tradisi lokal. Siapa yang tidak
bangga dengan kultur yang dimiliki daerah Jawa yang masih sempat kita telurusi
perkembangan dan keunikannya. Dengan memanfaatkan sedikit rezeki yang diberi Tuhan, kita
bisa menyedekahkan apa yang kita punya melalui acara slametan. Meskipun bagi masyarakat
Jawa masih banyak yang menggunakan yang mencampurkan dengan simbolis mistik kejawen
seperti adanya kemenyan dan bunga-bungaan. Akan tetapi mereka masih tetap memasukkan
unsur Islami dan memadukannya dengan adat Jawa tersebut. Jadi menurut saya, slametan bisa
menjadi ajang untuk mengungkapkan rasa syukur pada Sang Kuasa dan menjadi ajang untuk
bersedekah antar sesama umat muslim dalam menjaga persaudaraan. (Ed. dw)

Anda mungkin juga menyukai