engantar
Para tetua masyarakat Sunda selalu berharap agar sedapat mungkin
anak gadisnya tidak menikah dengan lelaki Jawa” begitulah apa yang ditulis
Mikihiro Moriyama (2003; 73). Banyak pasal yang menyebabkan hal itu terjadi;
salah satunya adalah stereotype atau praduga etnis. Menurut Moriyama, hal itu
terjadi karena salah satu kesadaran orang Sunda adalah Pasundan Bubat
(Moriyama, 2003; 4).
Cerita pokok Pasundan Bubat adalah narasi rencana pernikahan antara
Dyah Pitaloka, putri kerajaan Sunda, dengan Hayam Wuruk, raja Majapahit.
Namun pernikahan yang tidak jadi, karena Dyah Pitaloka tewas sebelum dinikahi.
Bagaimana Dyah Pitaloka tewas? Tak ada yang tahu pasti. Sama halnya dengan
cerita Pasundan Bubat yang punya banyak versi.
Pertanyaan saya dalam kasus ini sederhana; mengapa semua lelaki Jawa
tiba-tiba dianggap Hayam Wuruk dan semua gadis Sunda seolah-olah adalah
Dyah Pitaloka? Manakah Jawa dan manakah Sunda?
Pikiran Rakyat (23/06/2005) memuat tulisan Her Suganda berjudul
”Memandang Bubat dari Luar”. Yang disebut sebagai ”luar” oleh Her Suganda
adalah ”pengarang dari luar Jawa Barat”. Kompas (/0/2008) memberitakan
polemik rencana pembuatan Film Bubat yang tak kunjung selesai karena “masalah
harga diri ” antara pemerintah propinsi Jawa Barat dan Jawa Timur. Artinya, apa
yang disebut Jawa adalah selain Jawa bagian Barat, sementara Sunda adalah Jawa
bagian Barat.
Kasus Pasundan Bubat menjadi menarik untuk membicarakan dua etnis
yang berada dalam satu Pulau Jawa –Sunda dan Jawa. Pertama, dalam kasus
Pasundan Bubat, dua etnis selalu dibayangkan dengan mencari pijakan kerajaan
masa lalu –yang teritorialnya bisa melebihi territorial yang ditunjuknya sekarang.
Kedua, pada saat yang sama, dua etnis juga dibayangkan dalam batas territorial
tertentu –dan tidak akan melebihi territorial tersebut. Bagaimana hal ini bisa
terjadi?
Etnis dan wilayah etnis, dalam pandangan saya, selalu dibangun atas
pengetahuan tertentu, sedang pengetahuan selalu ditemukan alias tidak asali. Oleh
karenanya wilayah etnis Jawa-Sunda tidaklah alamiah.
Tidak alamiah ini kurang lebih mempunyai dua arti. Pertama, konsep
wilayah dan etnis itu sendiri digunakan sebagai sebuah cara pengaturan, sehingga
berhubungan dengan kekuasaan. Ia adalah wujud ‘ketegangan cara pandang”
antara mode kekuasaan yang lama dan mode kekuasaan yang baru. Dalam hal ini,
cara pandang manusia Pulau Jawa bertemu cara pandang kolonial Eropa.
Mengandaikan ‘yang lama’ dengan ‘yang baru’ hanya sebatas prakolonial
dan kolonial Eropa tentu saja problematis. Misalnya di pulau Jawa ada masa
kerajaan (Brahmanism-Buddhism) dan masa kesultanan Islam. Penyeragaman
perbedaan masa kerajaan (Brahmanism-Buddhism) dan masa Islam sebagai ‘yang
lama’ memang problematis, namun memisahkan keduanya secara total berdasar
pada kepercayaan (agama) bagi saya adalah epistemic judgement, sementara tugas
tulisan ini sendiri adalah terus bersitegang dengan permasalahan yang timbul dari
konstruk epistemik.
Kedua, ‘yang baru’ tidak mempunyai basis dalam pengetahuan masyarakat
Jawa/Sunda tetapi mempunyai kemampuan menghubungkan dirinya dengan ‘yang
lama’. Dengan begitu yang baru dan yang lama tidak melulu saling menggantikan
dalam kerangka temporalitas, melainkan selalu membangun hubungan dan
membentuk hybrid yakni: ‘margin . . . where cultural differences contingently and
conflictually touch’ (Bhabha, 994: 206).
2
Moertono dalam analisisnya mengenai tata-negara masa Mataram Islam abad
XIV-XIX (lihat Moertono, 985 (968): 33).
Sementara Atja & Danasasmita (98: 62) juga mencatat bahwa kesatuan
politis di Sunda tidak mempertimbangkan teritorial. Menurut mereka, kesatuan
politis lebih mengutamakan manarekha yang diambil dari kata Sanskrit (mana =
memikirkan, menduga, menghitung; dan rekha = catat, gores). Term Manarekha
ini menurut mereka adalah sama dengan cacah, .
Lalu apa yang menjadi ‘space’ dalam pengaturan yang tidak mengenali
konsep teritorial/wilayah itu?
Robert Heine Geldern (963) menulis bahwa dalam konsep Mandala
kerajaan di Asia Tenggara, raja menjadi titik pusat/tengah dari empat sudut dalam
mandala. Raja (juga kraton/pusat kota) kadang dianggap merepresentasikan
Gunung Meru sebagai pusat kosmos dalam sistem pengetahuan Brahmanism-
Buddhism. Titik tengah itu, menurut Lombard (dalam Alfan et all (ed); 987; 327)
dikatakan “merupakan golongan yang istimewa”.
Raja/penguasa adalah pusat space, dengan kata lain, space itu sendiri.
Kasus tumpang tindihnya wilayah Ayutthya dan Majapahit di abad 4, seperti
ditulis Coedes di atas, hanya mungkin terjadi karena kehendak penguasa (titik
pusat) kerajaan jajahan tersebut hendak menyembah siapa. Sima di Jawa yang
lebih dibatasi desa lain dan bukan luas wilayahnya, sebagaimana ditulis
Darmosoetopo, barangkali lebih dikarenakan adanya pandangan bahwa di desa
lain tersebut terdapat manifestasi penguasa/‘titik pusat’ yang lain.
Penguasa adalah pusat dan inti. Order seperti ini mau tak mau harus
membicarakan dua hal penting; pertama bagaimana penguasa (gusti) dibicarakan
dan kedua bagaimana yang dikuasai (kawula) diperlakukan.
Bakker, yang menganalisis Jawa, mengemukakan, ketiadaan batas politis
di masa Majapahit menimbulkan “the importance of the conception of divine
"kingship" for securing political power and authority in Majapahit”. Muhammad
Yamin yang menganalisis Pararaton dan Batu Bertulis Rambahan, Batanghari
menyatakan juga: "…Dalam zaman Madjapahit perkataan tuhan bukan sadja
nama bagi jang Mahakuasa, melainkan djuga dipakai untuk menjatakan anggota
golongan sateria jang dianggap lebih teguh kesaktianja daripada manusia lain-
lain…” (Yamin, 962: 73).
Jika sebuah aturan ditegakkan dengan mendudukkan penguasa ‘seperti
tuhan’. Tubuh penguasa secara material harus diyakinkan sebagai bagian dari
tuhan. Akibatnya alur genealogi yang menghubungkan penguasa dengan penguasa
sebelumnya (karena dianggap sebagai perwujudan tuhan) menjadi dominan dalam
penulisan babad (lihat, Santoso, 979)
Konsepsi genealogi ‘orang terpilih’ dan linuwih/ ini compatible dengan
tatacara kuasa Islam –yang masuk setelah Brahmanism-Buddhism. Moertono
menunjukkan bagaimana mode kekusaan seperti ini tak hilang begitu saja ketika
kesultanan Islam berdiri (Moertono, 985 (968): 35; 62). Islam sendiri
mempunyai wacana kepemimpinan imamah (orang pilihan) dan konsep ilmu
laddunny yang merupakan produk dari teologi Syiah (lebih lanjut Adonis, 2007
(980): 287).
3
Jika penguasa ber-relasi dengan dewata atau tuhan, menjadi mungkin
untuk memikirkan penguasa bersifat ‘omnipresence’. Teritorial adalah kemanapun
seorang kawula pergi. Sepanjang ia adalah kawula, ia selalu terikat kepada
gustinya, tak peduli dimana teritorialnya. Relasi penguasa-kawula itulah teritori,
dengan kata lain, raja/penguasa itu sendiri adalah batas teritori.
Sampai jaman Mataram Islam hal ini masih terjadi. Misalnya permintaan
Mangkunegoro I (Pangeran Sambernyowo) dalam perjanjian Gianti II (757)
untuk menguasai daerah-daerah yang telah ditaklukkannya –yang sebenarnya
bermakna ‘daerah yang penguasanya takluk kepadanya’.
Sebab teritori terletak dalam relasi penguasa-kawula, kualitas dan
kuantitas kekuasaan akhirnya diletakkan dalam diri kawula (jumlah cacah) bukan
wilayah. Cacah/manarekha, yang meski dalam konstruksi pengaturan a la
Mandala tidak sepenting titik pusat (penguasa), pun akhirnya menjadi sangat
penting.
Pengusiran/tidak diakuinya seorang kawula menjadi ‘sanksi/hukuman’
berat kala itu. Hal itu dapat kita lihat dalam teks Siksakanda Ng Karesian, teks
Sunda abad 6 berikut ini:
”... jangan culas dalam kesetiaan kita, demikian
pula salah jawab kelihatan air muka tidak senang
raja kita. Jangan, pemali! Akan gugur hasil kita
bertapa, hilang jasa nenek-moyang, akan musnah
hasil jerih payah kita akan ditimpa kesengsaraan,
diusir oleh sang raja” (Atja&Danasasmita (terj)
98. Bold oleh penulis)
Lebih lanjut, Ong Hok Ham mencontohkan ketika keraton Mataram dibagi
(pada 755 Masehi dalam perjanjian Gianti I) pembagian itu bukan pembagian
wilayah/teritorial melainkan cacah(manarekha, pen.). (Ham, Ong Hok, 2002;
235). Hal yang sama dilaporkan Raffles saat menulis pengakuan kedaulatan
terhadap Mangkunegoro ”..with assignment of land to the extent of four thousand
chachas” (Raffles, 830(87); 252).
Bagi mode pengaturan lama, penguasa adalah satu-satunya space bagi
hamba. Dan dengan demikian, ia selalu sibuk membicarakan penguasa/gusti, tapi
tidak pernah membicarakan kawula dalam sistem pengetahuan. “Satu kata Raja
sudah cukup, karena orang Dama (Demak pen) sangat bergantung padanya”
demikian tulis De Graaf (2002 (958); 8) ketika menuliskan kepercayaan Jacob
Van Heemskerck pada otoritas raja di tahun 602.
Penguasa adalah tempat dimana seseorang dapat ditentukan identitas dan
eksistensinya, dengan demikian penguasa-lah yang memberi isi pada “cognitive or
mental boundaries situated in the minds of people”. Barangkali, seorang Sunda
adalah kawula yang mengabdi pada penguasa Kerajaan Sunda. Seorang Jawa
adalah kawula yang mengabdi pada penguasa Tanah Jawa.
Kolonial dan Kelahiran ‘Wilayah Etnis’ Sunda-Jawa
Problem saya selanjutnya tentu saja adalah bagaimana muncul teritori etnis
Sunda-Jawa seperti sekarang? Bagaimana muncul teritori sebagai space bagi
seseorang –dan bukan (lagi) penguasa/gusti?
4
Denys Lombard berspekulasi bahwa pemahaman ’geografis’ ketimbang
’wawasan kosmologis’ di kepulauan Nusantara dapat dibuktikan di dalam
berbagai naskah sastra Melayu Seperti Hikayat Hang Tuah dan Hikayat Iskandar
Zulkarnain. Tulisnya, dalam Hikayat Hang Tuah ”...sebagian besar tempat yang
disebutkan sudah dikenal namanya, dan bisa dipaparkan di atas sebuah peta yang
memungkinkan kita untuk merumuskan batas-batas sebuah cakrawala politik”
(lihat Alfan et all (ed). 987; 325-326).
Hal pertama yang harus dipahami dari gagasan Lombard adalah
pemahaman geografis dengan hanya menyebutkan kemampuan pengenalan nama
tidaklah sama dengan definisi teritori sebagai space yang sedang kita bicarakan
dalam tulisan ini. Tulisan ini telah menjelaskan bahwa penyebutan nama sebuah
tempat, misalnya Kediri dalam Negarakratagama, belum tentu mempengaruhi
kejelasan batas teritorial Kediri. Kedua, fokus tulisan ini adalah wilayah etnis,
dimana ia tidak hanya membicarakan perpindahan wawasan kosmologis menjadi
geografis, melainkan juga individu (dan bukan kawula) yang kemudian dapat
dikategorikan ber-’etnis’ tertentu.
Tahun 87, Sir Thomas Stamford Bingley Raffles (78–826), gubernur
jendral Inggris di Jawa, mempublikasikan History of Java. Moriyama
menekankan bahwa dalam konteks eksistensi bahasa Sunda karya Raffles itu
mempunyai peran yang sangat penting. Terlebih ia menjadi acuan bagi para
sarjana Belanda –dan dengan demikian, bagi pengetahuan selanjutnya.
Berlainan dengan Moriyama yang fokus pada masalah kebahasaan Sunda,
saya melihat apa yang penting dari karya Raffles adalah cara lain bagaimana
’batas kultural’ Jawa-Sunda dibicarakan.
Pertama dalam History of Java terdapat ide mengenai wilayah etnis Sunda
dan Jawa. Kedua, pada saat yang sama, manusia di pulau Jawa untuk pertama
kalinya dibicarakan sebagai individu, yang bersama ide wilayah, adalah serangan
permulaan bagi pengaturan lama –dimana penguasa adalah satu-satunya space dan
kawula tak dibicarakan sebagai ’individu’.
Raffles dalam History of Java sangat yakin bahwa Jawa perlu dibedakan
dengan Sunda. Apa yang ia bedakan bukan hanya karakter penduduk, dan bahasa,
tapi juga pembagian wilayah Jawa-Sunda;
”...Great Java is to the island we are now
describing. ...it has there even a still more confined
application, being generally limited to the eastern
districts of the island, which may be considered as
Java proper, in contra-distinction to the western
districts which are for the most part inhabited by a
people called Sunda...”(Raffles, 1830 (1817): 4).
5
in its history when it was nearly equally divided
under the indipendent administration of two powers,
one established in the eastern and the other in the
western districts and as there is a marked
distinction between the descedants of these two
nations, the most general division of the country is
still into the western and eastern districts, to the
latter of which alone the term Java is applied by the
natives. (Raffles, 1830 (1817)
Gambar I. Peta Jawa versi Jono de Barros yang membagi Pulau Jawa
menjadi dua bagian (diambil dari Guillot, 2008: 264)
.
History of Java memuat juga tabel sensus populasi di Jawa. Tabel sensus
tentu berbeda dengan mode penulisan silsilah babad (yang tidak diindahkan oleh
Raffles dalam bukunya itu dan diekslusi dalam bab ’The Antique of Java’).
Dengan tabel sensus, manusia di Pulau Jawa dibicarakan, dan ’sistem
pengetahuan’ tidak lagi fokus pada genealogi penguasa. Di tangan Raffles, hamba
muncul sebagai ‘individu’.
Dengan demikian, cara melihat ’batas kultural’ manusia Jawa ter-
diskontinu di tangan Raffles. Berlainan dengan manusia Jawa yang menyematkan
batas kultural pada penguasa, Raffles menyematkan ’batas kultural’ pada subjek
manusia jawa sendiri (setelah kawula diganti entitasnya menjadi ’Individu’).
Dengan cara yang demikian, Raffles dapat mengatakan misalnya penutur bahasa
Sunda ”tak lebih daripada sepersepuluh jumlah seluruh penduduk pulau Jawa;
6
sisanya sebanyak sembilan persepuluh adalah penutur bahasa Jawa” (Raffles,
830 (87): 358; lihat juga Moriyama, 2003: 2).
Belanda yang penguasaannya di Jawa dipulihkan pada 86 mengisi ’batas
kultural’ yang telah ditetapkan Raffles. Hanya dengan landasan wilayah yang
terbagi menjadi dua, mereka misalnya dapat leluasa membicarakan Sunda sebagai
suatu etnis tersendiri, etnis yang berbeda dari Jawa.
Bagian barat pulau Jawa tak dikenali lagi sebagai Westernlanden, sebuah
term yang muncul setelah Perjanjian Gianti (lihat Niels, 2003: 200), melainkan
Sundalanden. Pada 84, terbit kamus bahasa Sunda yang pertama di Amsterdam.
Dalam pengantarnya, Roorda, sarjana Bahasa Timur yang dianggap paling
berwibawa menulis ”...bahasa itu dituturkan di wilayah barat Pulau Jawa, yang
oleh penduduk setempat disebut Sunda atau Sundalanden” (De Wilde, 84: v
dalam Moriyama, 2003: 24). Tahun 842, giliran Wolter Robert Van Hoevel
mempublikasikan penelitian perbedaan Orang Jawa dan Orang Sunda yang
disebutnya Sundanezen (dalam Moriyama, 2003: 25). Hingga pada 925,
Sundalanden sukses menjadi Provincie West Java, propinsi pertama di Hindia
Belanda ketika peraturan desentralisasi diterapkan pemerintah Hindia Belanda.
\
7
Jawa adalah Negarakratagama, sementara Sunda adalah Kidung
Sundayana. Dalam membaca teks tersebut, orang Sunda tidak selalu merujuk pada
Kidung Sundayana dalam meneguhkan ”ke-sunda-annya”. Mereka juga membaca
Nagarakratagama, namun dengan pembacaan ’orang luar’ yang berbeda teritorial.
Misalnya jawaban Ayatroehadi kepada Aan Merdeka Permana di Harian Pikiran
Rakyat
Aan Merdeka Permana melalui Harian Pikiran Rakyat (29/6/998),
mengutip pendapat Drs. Aris Soviyani, Kepala Seksi Penyelamatan Benda
Purbakala Kota Mojokerto, meragukan terjadinya Pasundan Bubat. Alasannya,
karena perang tersebut tidak dilengkapi data akurat. Katanya, selama 6 tahun
bertugas mengikuti penggalian purbakala di Trowulan dan di lapangan Bubat, tak
ada temuan yang dapat mendukung terjadinya peristiwa itu.
Segera saja Prof. Ayatrohaedi, Guru Besar Arkeologi Universitas
Indonesia membalas artikel tersebut di harian yang sama pada edisi (/7/998).
Tulisannya lebih merupakan gugatan terhadap pendapat Aris Soviyani yang
meragukan peristiwa tersebut. Menurut Ayat, jika benar peristiwa tersebut tidak
pernah terjadi, ia bersyukur karena dengan demikian, salah satu dari yang
mengganjal keserasian hidup damai bertetangga memperoleh pijakan yang kuat
untuk dicampakkan. Namun, bagian lain tulisannya malah menepis dugaan selama
ini yang menyebutkan Trowulan sebagai pusat Kerajaan Majapahit. Ia
menggunakan dasar berita Negarakertagama. Dalam naskah tersebut, Bubat
dilukiskan sebagai bandar tempat kapal atau perahu berlabuh karena terletak di
tepi sungai besar.
Apa yang terjadi dalam narasi Pasundan Bubat sekarang pada akhirnya
menurut saya, adalah mental masa lampau dimana identitas diletakkan pada narasi
penguasa tetap mengada, tapi berubah cara membicarakannya. Dua jenis space
yang tergabung menjadi satu. Batas kultural lama yang tak memikirkan teritori
selalu dilihat dengan kacamata yang dibatasi teritori, sebuah hasil kerja keras
kolonial sejak Portugis, Inggris hingga pemerintah Hindia Belanda.
Dengan kata lain, ’batas administrasi’ yang dibayangkan Raffles dan
dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda yang barangkali ditujukan untuk
efisiensi birokrasi, sekarang malah diyakini sebagai ’darah’ yang sudah takdirnya
mengalir dalam tubuh ”manusia Jawa” dan ”manusia Sunda”. Pasundan Bubat
sendiri adalah sebuah ruang dimana percampuran yang lama dan yang baru jadi
satu. Pasundan Bubat adalah sebuah hybrid space bagi pembicaraan etnis di Pulau
Jawa; dimana ramalan Jayabaya mengenai pecahnya Pulau Jawa jadi dua,
barangkali, mendapatkan artinya.[ ]
8
9
DAFTAR USTAKA
0
Makalah/Artikel :
Bakker, JL Hans. The Hindu Javanese world view in Java : The structural
roots of the Pancasila state ; Proceeding of the 21st meetings of the
Canadian Council for Southeast Asian Studies The University of Alberta,
October 15-17 1993
Heine-Geldern, Robert. Conceptions of State and Kingship In Southeast
Asia; Revised version of an Article published in The Far Eastern
Quarterly Vol.2 pp 15-30 November 1942. 2nd Printing. 963. Southeast
Asia Program, Department of Asian Studies Cornell University, Ithaca,
New York
Jorgenson, Bent. Ethnic boundaries and the margins of the margin; In a
postcolonial and conflic resolution perspective dapat diakses di
www.gmu.edu/academic/pcs/jorgens.html
Mudjanto, G. (tanpa tahun). Konsep Kekuasaan Jawa dan Penerapannya
oleh Raja-Raja Mataram. Yogyakarta. Proyek Javanologi Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pendidikan dan Kebudayaan.
Surat Kabar:
Pikiran Rakyat Edisi 29 Juni 998
Pikiran Rakyat Edisi Juli 998
Pikiran Rakyat edisi 23 Februari 2005
Kompas Jawa Barat, edisi Oktober 2008