Anda di halaman 1dari 9

1

Sapatha dalam Prasasti dan Manawa Dharmaśāstra1


Jingga Kelana2

Pengantar
Prasasti merupakan dokumen tertulis yang dikeluarkan seorang
raja atau pejabat tinggi kerajaan. Sebagai salah satu sumber tertulis,
prasasti memiliki tingkat keabsahan paling tinggi di antara tinggalan-
tinggalan tertulis dari masa lalu (Prihatmoko, 2016). Prasasti-prasasti Jawa
Kuno pada umumnya berisi tentang penetapan suatu daerah menjadi
śīma, dan ada sebagian kecil yang berisi mengenai putusan pengadilan
(jayapattra) atau pelunasan utang-piutang (suddhapattra) (Susanti, 2010).
Selain sambandha (alasan dikeluarkannya prasasti) seringkali dalam
sebuah prasasti juga ditemukan unsur-unsur sapatha. Sapatha berasal dari
bahasa Sanskerta berarti kutuk, sumpah, atau janji. Istilah ini dalam
prasasti kemudian dapat diartikan sebagai pernyataan sumpah. Sapatha
ini dapat memberikan jaminan kepada institusi politik dan agama, karena
kontrol sosial yang masih lemah, sehingga keberadaannya dianggap
mampu meminimalisasi pelanggaran. Kontrol sosial menjadi sesuatu yang
sangat penting dalam mengendalikan kasus-kasus sosial di masyarakat.
Sapatha merupakan legitimasi kekuasaan yang digunakan sebagai
alat untuk menjalankan kekuasaan dengan cara memberi sanksi atau
hukuman kepada mereka yang melanggar kebijakan dan ketentuan
seorang raja. Beberapa sapatha secara rinci menyebutkan kesengsaraan
yang akan dialami oleh para pelanggar, bukan saja kehidupan di dunia
tetapi sampai kehidupan di alam baka bahkan anak dan keturunannya
pun ikut terdampak. Turut pula disebutkan jenis-jenis sanksi, berbagai
macam perbuatan terlarang, dan nominal denda apabila sanksi itu tidak
diwujudkan secara fisik (Sumerta, 2016).
Jawa sebagai pulau yang pernah menjadi pusat peradaban Hindu
telah menerima banyak pengaruh dari agama tersebut. Mulai dari sistem
gagasan yang memunculkan falsafah atau pandangan hidup orang Jawa,
sistem sosial dalam masyarakat Jawa, ragam artefaktual. Semua itu adalah
1
Disampaikan dalam Diskusi Epigrafi Nasional (DEN) #17. Surabaya, 30 Juni 2021.
2
Arkeolog, anggota Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Komisariat Daerah Jawa
Timur, anggota Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia (PAEI) Komisariat Daerah Jawa
Timur, Tenaga Ahli Geopark Ijen Wilayah Banyuwangi, Pengurus Perhimpunan Pemuda
Hindu Indonesia (Peradah) Dewan Pimpinan Kabupaten Banyuwangi Bidang
Pendidikan dan Pengembangan SDM (2014-2017) dan Bidang Hukum dan HAM (2017-
2024).
2

bagian dari entitas peradaban serta kebudayaan Jawa yang memang


diilhami dari pemikiran Hindu. Bagi masyarakat Jawa yang beragama
Hindu membaca sejarah maupun kisah-kisah lama sangatlah dianjurkan.
Sebab, hal itu merupakan bagian dari proses yang harus dilalui sebelum
mempelajari Weda secara keseluruhan. Mahābhārata I.1.204 menyebutkan:

itihāsapurāṇābhyāṃ vedaṃ samupabṛṃhayet,


bibhety alpaśrutad vedo mām ayaṃ pratariṣyati

Terjemahan:
Hendaknya Weda dijelaskan melalui sejarah (itihāsa) dan kisah-
kisah kuno (purāṇa). Weda berpikir bahwa ia (orang yang bodoh
itu) akan memukul-Ku.

Sloka dalam Ādiparwa di atas menegaskan tentang pentingnya


sejarah (itihāsa) dan kisah-kisah kuno (purāṇa) dalam pembelajaran Weda,
dan ini terbukti dalam penyebaran agama Hindu dari India ke Nusantara
(Miswanto, 2020). Banyak penguasa pada masa lalu yang kemudian
mengadopsi ajaran-ajaran yang tertuang dalam Catur Weda Samhita dan
bagian-bagiannya untuk menunjang jalannya roda pemerintahan.
Berkaitan dengan hal ini, Supratikno Rahardjo mengatakan keputusan
hukum pada masa lalu dilakukan berdasarkan kitab hukum tertulis,
hukum adat yang masih dijadikan sebagai sumber aturan tambahan, dan
pengetahuan hukum formal yang dikenal masyarakat setempat (Putri,
2018).
Pada masa lalu para penguasa telah menunjuk sejumlah pejabat
kehakiman yang bertugas memutus perkara atau sengketa. Keterangan
tentang pejabat-pejabat kehakiman itu termuat dalam prasasti dari zaman
Singhasari dan Majapahit. Mereka terdiri dari hakim yang dapat
membedakan yang benar dan yang salah dalam sebuah sengketa,
pemimpin agama yang dapat memutus sengketa, serta juru bicara
keagamaan yang dapat memutus sengketa.
Ada pula dharmādhyakṣa riṅ kaśaiwan (pemimpin keagamaan atau
ketua pengadilan agama Śiwa), dharmādhyakṣa riṅ kasogatan (pemimpin
keagamaan atau ketua pengadilan agama Buddha), dan dharmopapatti
(pejabat kehakiman). Mereka semua dalam kitab Pūrwādhigama disebut
sebagai bhujaṅga haji. Selain itu, Kitab Pūrwādhigama juga menyebut bahwa
seorang prāgwiwāka (hakim) hendaknya sempurna dalam memahami
pengetahuan yang tertuang dalam kitab Dharmaśāstra, Kuṭāra Mānawa,
Sārasamuccaya, Cāṇakya, dan Kāmandaka (Boechari, 2012). Penyusunan kitab
hukum secara sistematis muncul sejalan dengan semakin bervariasinya
3

jenis sanksi. Paling tidak ada tiga jenis hukuman yang pernah diterapkan
pada masa Jawa Kuno yakni kutukan yang mengerikan, denda uang, dan
hukuman badan (Putri, 2018). Menyimak narasi pengantar yang
demikian, maka makalah ini selanjutnya akan memaparkan sapatha yang
ada dalam prasasti dan Manawa Dharmaśāstra.

Manawa Dharmaśāstra sebagai Sumber


Manawa Dharmaśāstra adalah sebuah kitab Dharmasastra yang
dihimpun dengan bentuk sistematis oleh Begawan Bhrigu. Kitab ini
merupakan bagian dari Sad Wedangga dan dijadikan sebagai salah satu
sumber hukum dalam agama Hindu. Manawa Dharmaśāstra terbagi
menjadi 12 bab dan memuat delapan belas tata hukum. Penafsiran
terhadap pasal-pasal yang ada dalam Manawa Dharmaśāstra telah
berlangsung sejak tahun 120-825 M. Dipelopori oleh Kullubhatta dan
Medhitti. Pada masa Majapahit kitab ini lebih dikenal dengan nama
Manupadesa. Kutaramanawa yang disusun ketika Majapahit berada di
puncak kejayaannya menjadi acuan pokok terbentuknya hukum adat di
wilayah kekuasaannya (Kemenuh, 2017; Tristaningrat, 2019).
Hal ini dibenarkan I Wayan Ardika yang mengatakan bahwa
elemen-elemen hukum Hindu yang berlaku pada masa Bali Kuno tidak
jauh berbeda dengan ketentuan yang diterapkan pada masa Majapahit.
Kitab perundang-undangan yang disebutkan dalam prasasti Bali Kuno
antara lain Uttara Widdhi Balawan, Raja Wacana atau Raja Niti, Agama,
Manawakamandaka, Dasa Sila, Smerti, dan Pancasiksa. Kitab-kitab Hindu
tersebut digunakan sebagai acuan atau sumber hukum oleh para
penguasa Bali Kuno (Ardika, 2018).
Prasasti-prasasti dari masa pemerintahan Balitung di Mdang atau
Mataram Kuno sampai Kertajaya di Kaḍiri pada bagian sapatha-nya
memuat tentang pantangan yang harus ditaati oleh masyarakat.
Pantangan tersebut dikenal dengan nama pañca mahātāka. Prasasti-prasasti
yang memuat tentang hal itu di antaranya adalah prasasti Candi Asu (796
Ś), prasasti Mantyasih (829 Ś), prasasti Gulunggulung (851 Ś), prasasti
Waharu (851 Ś), prasasti Jru-jru (852 Ś), prasasti Paradah (865 Ś), prasasti
Cane (943 Ś), prasasti Pikatan (1038 Ś), prasasti Jaring (1103 Ś), dan
prasasti Lawadan (1127 Ś). Adapun perbuatan-perbuatan yang termasuk
dalam pañca mahātāka secara lengkap telah tertulis dalam prasasti
Mantyasih, yaitu membunuh seorang Brahmana, melakukan
pemerkosaan, durhaka kepada guru, membunuh janin, dan berhubungan
dengan orang yang melakukan empat kejahatan tersebut (Nugroho, 2016).
Sedangkan, dalam prasasti Baru (952 Ś) lima pantangan itu disebut
dengan nama pañcamahāpātaka. Prasasti ini dikeluarkan oleh Airlangga
dan berkaitan dengan penetapan Desa Baru sebagai śīma. Putra
4

Mahendradatta ini pernah menginap di desa tersebut, dan berjanji pada


malam hari untuk kelak menetapkan Desa Baru dengan status bebas
pajak, seandainya baginda dapat mengalahkan musuhnya di Hasin.
Setelah Airlangga berhasil mengalahkan musuhnya di Hasin, ia kemudian
memenuhi janjinya. Pada bagian akhir prasasti Baru ditulis sapatha
berikut.

//yāpwan hana sira wwang


durācāra tan yatnā i sarasa
nikêŋ śīma ṅke ring baru
kabwa-/t kaṛmaknanya
salwirning pañcamahāpātaka,..

Terjemahan:
Apabila ada orang jahat, yang tidak berhati-hati dan
mengindahkan segala ketentuan tentang daerah perdikan di Desa
Baru agar perbuatannya itu menyebabkan lima jenis bahaya besar
atau kejahatan yang dideritanya (Ardika, 2018).

Setelah penulis telusuri menggunakan pustaka yang ada ternyata


soal larangan itu juga disebutkan dalam Manawa Dharmaśāstra XI.55
dengan istilah mahāpatāka. Sloka selengkapnya adalah sebagai berikut.

brahmanahatya surapanam steyam gurwangganagamah,


mahanti patakanyahuh samsangaśsapi taih saha

Terjemahan:
Membunuh Brahmana, meminum sura, mencuri emas milik
seorang Brahmana, berzina dengan istri guru, dan bergaul dengan
orang-orang jahat. Mereka digolongkan sebagai mahāpatāka (Pudja,
2003).

Sapatha, Aturan Baku Para Penguasa


Masyarakat masa lalu mengidentikkan para penguasa kedatuan
mereka layaknya seperti dewa yang turun ke dunia. Kata-katanya pun
dimaknai sebagai sabda langsung dari dewata sesungguhnya. Bukti
adanya pandangan tentang dewa raja di Jawa dapat dilihat dari temuan
arca dan prasasti tentang keberadaan beberapa sosok penguasa yang
diarcakan sebagai tokoh dewa utama setelah mangkat. Sosok dewa yang
dihormati diyakini sengaja menitis ke dalam tubuh penguasa tersebut.
Tujuan penitisannya sungguh bermacam-macam namun intinya adalah
berkenaan dengan kesejahteraan masyarakat (Paramadhyaksa, 2014).
5

Berbagai macam kebijakan yang telah mereka buat dapat ditelusuri


melalui prasasti. Berdasarkan prasasti-prasasti tersebut para penguasa
yang lazim dikenal dengan sebutan raja apabila membuat kebijakan akan
berorientasi kepada tata hukum negara (Alnoza, 2020a), tentu di dalam
kebijakan itu ada unsur isi perintah beserta hukumannya. Prasasti tertua
di Indonesia yang memuat sapatha berasal dari masa Sriwijaya di
antaranya prasasati Karang Berahi, Kota Kapur, Talang Tuo, dan Telaga
Batu. Namun, di antara sekian prasasti Sriwijaya yang disebutkan itu
menurut penulis tidak ada pernyataan kutukan yang mengerikan. Seperti
dalam prasasti Telaga Batu hanya menyebut, … kamu akan dibunuh dengan
cara dikutuk (Alnoza, 2020b).
Tipe sapatha pertama yang sejenis dengan sapatha prasasti-prasasti
Sriwijaya dicontohkan oleh Manawa Dharmaśāstra III.56-57 berikut.

yatra naryastu pujyante ramante tatra dewatah,


yatraitastu na pujyante sarwastalah kriyah

(Manawa Dharmaśāstra, III.56).

Terjemahan:
Di mana wanita dihormati, di sanalah para dewa merasa senang.
Tetapi di mana mereka tidak dihormati, maka tidak ada upacara
suci apapun yang akan berpahala (Pudja, 2003).

śosanti jamayo yatra winaśyacu tatkulam,


na śosanti tu yatraita wardhate taddhi sarwada

(Manawa Dharmaśāstra, III.57).


Terjemahan:
Di mana warga wanitanya hidup dalam kesedihan, keluarga itu
akan cepat hancur. Tetapi di mana wanita tersebut tidak menderita
maka keluarga itu akan selalu bahagia (Pudja, 2003).

Pada masa Mataram Kuno sejumlah sapatha atau kutukan


mengerikan mulai dicantumkan dalam prasasti. Di dalam prasasti
tersebut biasanya dinyatakan bahwa orang yang mengganggu keberadaan
śīma akan mendapatkan malapetaka seperti berikut: kadyanggāning hayam
pjah tan waluy mahurip, kadi lwīrnikang hantlū remuk satasīrnna … (seperti
tubuh ayam yang telah mati tidak dapat kembali hidup lagi, seperti telur
yang telah remuk berkeping-keping). Kadang ditambahkan kalimat kadi
parnnah sang hyang brahma tumunubra ikang kayu saka gēgongan hilang gēsēng
tanpa hamban hawu kerir (seperti api membakar kayu karena apinya besar,
kayu bakar semuanya dan abunya hilang tertiup angin).
6

Prasasti Waharu IV menyebut bahwa yan apara paran umaliwat ing


tgal sahutēn dening ulā mandhi, ring alas dmakēn dening wyāghra … ring wwai
sahutēn dening wuhaya… yan hudan sāmbērēn dening glap yan angher ing
umah katibana bjrāgni glap tanpa hudan liputēn gēsēngana de sang agni … (jika
pergi melewati tegalan agar dipatuk ular berbisa, jika pergi ke hutan
supaya ditubruk macan … jika pergi ke sungai supaya dimakan buaya …
jika sedang turun hujan supaya disambar petir, jika sedang di rumah
supaya kejatuhan halilintar dan petir tanpa hujan supaya terbakar oleh
api). Prasasti Gandakuti (964 Ś) menyebut selain siksaan seperti itu, masih
ditambahi dengan lumaku ring gunung kalbu ing jurang parang tan tike
umahnya (jika sedang berjalan di gunung supaya jatuh ke dalam jurang
sehingga tidak dapat kembali ke rumahnya) (Haryono, 1999).
Bunyi sapatha yang demikian juga diterapkan dalam prasasti
Waruṅgahan. Prasasti ini dikeluarkan oleh Śrī Mahārāja Narārrya
Saṅgramawijaya pada tahun 1227 Ś. Disebutkan dalam prasasti bahwa anak
keturunan serta saudara Pāduka Mpuṅku Śrī Buddhaketu memohon kepada
sang raja agar Desa Waruṅgahan ditetapkan kembali sebagai swatantra.
Adapun isi sapatha prasasti tersebut secara lengkap dapat disebutkan
sebagai berikut.

…yan aparaparan humalintaŋ riŋ tgal sahutěn deniṅ ulā manḍi, yan
pareṅ alas, dmak niŋ moŋ, maṅ alaṅka hana mimaŋsārit ni wanaspati, yan
haliwat ri wwa ya göŋ, sahutěn dening wuhaya, mumul, tuwiran, yan
haliwat ya ring ratā kasaṇḍuṅen ruyuṅawuk kasopa wulaṅuna, kuneŋ pwa
yan hudan adṛs sāmběṛn deniŋ glap, humuṅgu pwa ya rī sthānanya,
katibana ta ya bajrāgni tanpa warṣa, himutěn gsěṅana de saŋ hyaṅ agni
saha dṛwyanya tan panolih ariwuntat, taruŋ ri paṅa dgan, tāmpyal, ri
kawanuwalītṅěnan, tutuḥ, tuṇḍunya, blah kapalanya, cucup utěknya, sbit
wtīnya, rantan ususnya wtwakěn ḍaḷmanya, duduk atinya, paṅan
dagiŋnya, inum rāḥnya, athěr pěpědakěn weh aprāla ntika, araḥ ta kita
kamu hyaŋ susuk lor, kidul, kulwan, wetan, byěṅakěn riṅ ākāśa sulā

Terjemahan:
Bagi pelanggar keputusan raja, apabila ia melintasi kebun akan
digigit ular berbisa, apabila melintas di hutan, ada harimau yang
siap menerkam dan ular besar di dalam hutan, orang yang
melintasi air dengan suara, ia akan diterkam buaya, ikan, ular
besar, apabila berjalan atau melintasi jalan atau tanah yang rata
akan terbentur ruyuṅawuk hingga kehilangan ingatan, jika berasa
dalam situasi hujan yang sangat lebat gelap gulita, dan berlindung
di kediaman, ia akan terkena petir tanpa hujan, api akan membakar
semua miliknya dari depan hingga yang ada di belakang, jika ia
melawan kawanuwalītṅěnan, cerca, belah kepalanya, minum
7

otaknya, lukai hatinya, urai ususnya hingga bagian dalam, congkel


hatinya, makan dagingnya, ambil nyawanya, jemur badannya
hingga hancur sampai bagian dalam (Khabibah dan Wiguna, 2020).

Pada masa pemerintahan Airlangga di Kaḍiri siapapun yang


berbuat ulah terhadap status keswatantraan akan terkena hukuman
(denda) sebanyak emas 1 masa dan 1 kupang (prasasti Cane, 943 Ś) atau 1
kati (prasasti Patakan), akan ditimpa karma berat pañcamahāpātaka di dunia
dan akhirat, mengalami kehancuran dan tidak terampunkan (prasasti
Baru, 952 Ś), dibunuh, belahlah kepalanya, tikam hatinya, penderitaan
seperti lamanya sang hyang bulan dan matahari menerangi seluruh dunia,
demikianlah lamanya mengalami, bencana besar (prasasti Terep II, 954 Ś),
mati jatuh, mati tenggelam, dan mati dimakan ular (963 Ś) (Susanti, 2010).
Tipe sapatha yang keras dan meledak-ledak seperti prasasti Jawa
Kuno tersebut dalam Manawa Dharmaśāstra termaktub dalam Bab VIII.
Sapatha-sapatha itu mengungkap bahwa bagi orang yang memberi
keterangan yang salah atau kesaksian palsu maka ia akan tersiksa oleh
lapar, dahaga, buta (Manawa Dharmaśāstra VIII.93), jatuh terjungkir
(Manawa Dharmaśāstra VIII.94), dan diancam hukuman denda sebesar 200
pana (Manawa Dharmaśāstra VIII.273). Denda itu kemudian diserahkan
kepada sang raja (Manawa Dharmaśāstra VIII.287) atau dalam prasasti
disebut dengan istilah dṛwya haji. Apabila ada orang yang sengaja
merusak bendungan sebuah waduk sang raja akan menghukumnya
dengan membenamkan orang itu ke dalam air, menghukum mati, atau
memperbaiki kerusakan tersebut dan dikenai denda yang sangat tinggi
(Manawa Dharmaśāstra VIII.279).
Selain menggunakan satuan pana, denda-denda dalam sapatha
Manawa Dharmaśāstra juga menggunakan satuan masa seperti denda yang
disebutkan dalam prasasti Cane (943 Ś). Manawa Dharmaśāstra VIII. 298
menyebut bahwa apabila ada orang yang sengaja melukai keledai,
kambing, dan domba diancam denda sebesar 5 masa, membunuh anjing
atau babi akan didenda sebesar 1 masa.
Para penguasa pada masa lalu membuat kebijakan dan beraneka
macam sapatha semata-mata untuk memenuhi kewajibannya sebagai
pelindung alam semesta. Tugas mulia ini masih dijalankan oleh Airlangga
ketika ia menjadi seorang pendeta bergelar Aji Paduka Mpuṅku Saŋ Pinaka
Chatra niŋ Bhūwana, yang berarti menjadi payung dunia. Gelar itu
tercantum dalam prasasti Gandhakuti (964 Ś) (Susanti, 2010). Tentang
kewajiban itu Manawa Dharmaśāstra VIII.304 dan 306 mengatakan bahwa
raja yang melindungi rakyat dan seluruh mahluk dengan baik berhak
mendapatkan pahala.
8

Penutup
Para penguasa atau lazimnya disebut raja pada masa lalu untuk
melegitimasikan kekuasaannya mereka akan memakai gelar yang
mengandung unsur-unsur kedewataan tertentu karena dianggap sebagai
titisan dewa oleh rakyatnya. Selain itu, mereka membuat prasasti baik
dari batu maupun logam yang di dalamnya tidak jarang mencantumkan
sapatha atau kutukan. Kebijakan raja dan hukuman bagi setiap orang yang
melanggar berdasarkan kajian dalam makalah ini ternyata berkorelasi
dengan ajaran dan sapatha Manawa Dharmaśāstra.

Referensi
Alnoza, M. (2020a). Konsep Raja Ideal pada Masa Sriwijaya Berdasarkan
Bukti-bukti Tertulis. Jumantara 11 (2), 97-112. DOI:
https://doi.org/10.37014/jumantara.v11i2.1041.

Alnoza, M. (2020b). Figur Ular pada Prasasti Telaga Batu: Upaya


Pemaknaan Berdasarkan Pendekatan Semiotika Peirce. Berkala
Arkeologi 40 (2), 267-286. DOI:
https://doi.org/10.30883/jba.v40i2.591.

Ardika, I.W. (2018). Sapatha dalam Relasi Kuasa dan Pendisiplinan pada
Masa Bali Kuno Abad IX-XIV Masehi. Berkala Arkeologi 38 (1), 1-
16. DOI: https://doi.org/10.30883/jba.v38i1.231.

Boechari. (2012). Jayapattra: Sekelumit tentang Pelaksanaan Hukum


dalam Masyarakat Jawa Kuno. Dalam Melacak Sejarah Kuno
Indonesia Lewat Prasasti, 237-248. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.

Haryono, T. (1999). Sang Hyang Watu Teas dan Sang Hyang Kulumpang:
Perlengkapan Ritual Upacara Penetapan Sima pada Masa
Kerajaan Mataram Kuna. Humaniora 11 (3), 14-21. DOI:
https://doi.org/10.22146/jh.666.

Kemenuh, I.A.A. (2017). Sumber Hukum Hindu dalam Manawa


Dharmasastra. Purwadita 1 (2), 37-43. Diunduh dari
http://jurnal.stahnmpukuturan.ac.id.

Khabibah, A., Wiguna, I.G.N.T. (2020). Penetapan Kembali Desa


Warunggahan sebagai Sima di Tuban Jawa Timur. Humanis 24
(1), 76-84. DOI: https://doi.org/10.24843/JH.2020.v24.i01.p10.
9

Miswanto. (2020). Paradoks Mitologi Hindu di Jawa: Relevansinya sebagai


Tutur dan Batur Umat Hindu. Jñanasidhânta 1 (2), 31-40. Diunduh
dari http://jurnal.stahnmpukuturan.ac.id.

Nugroho, A.P. (2016). Refleksi Hardiknas 2 Mei: Raja Jawa dan Rakyatnya
Wajib Menghormati Guru. Diunduh dari
https://hurahura.wordpress.com.

Paramadhyaksa, I.N.W. (2014). Perwujudan Konsep Kerajaan Surga pada


Pusat Kota Kerajaan di Bali. Forum Arkeologi 27 (2), 145-154. DOI:
http://dx.doi.org/10.24832/fa.v27i2.73.

Prihatmoko, H. (2016). Kajian Epigrafis Prasasti Babahan. Forum Arkeologi


29 (3), 117-136. DOI: http://dx.doi.org/10.24832/fa.v29i3.100.

Pudja, G., Sudharta, T.R. (2003). Manawa Dharmaśastra: Compendium


Hukum Hindu. Jakarta: CV. Nitra Kencana Buana.

Putri, R.H. (2018). Sumber Hukum Jawa Kuno. Diunduh dari


https://historia.id.

Sumerata, I.W. (2016). Makna Sapatha pada Prasasti Sukawana. Forum


Arkeologi 29 (3), 137-146. DOI: http://
dx.doi.org/10.24832/fa.v29i3.90.

Susanti, N. (2010). Airlangga: Biografi Raja Pembaru Jawa Abad XI. Depok:
Komunitas Bambu.

Tristaningrat, M.A.N. (2019). Manawa Dharmasāstra: Kitab Hukum


Hindu dalam Fungsi Memperkuat Konsep Egalitarian di
Masyarakat. Pariksa 3 (1), 29-38. Diunduh dari
http://jurnal.stahnmpukuturan.ac.id.

Anda mungkin juga menyukai