Pengantar
Prasasti merupakan dokumen tertulis yang dikeluarkan seorang
raja atau pejabat tinggi kerajaan. Sebagai salah satu sumber tertulis,
prasasti memiliki tingkat keabsahan paling tinggi di antara tinggalan-
tinggalan tertulis dari masa lalu (Prihatmoko, 2016). Prasasti-prasasti Jawa
Kuno pada umumnya berisi tentang penetapan suatu daerah menjadi
śīma, dan ada sebagian kecil yang berisi mengenai putusan pengadilan
(jayapattra) atau pelunasan utang-piutang (suddhapattra) (Susanti, 2010).
Selain sambandha (alasan dikeluarkannya prasasti) seringkali dalam
sebuah prasasti juga ditemukan unsur-unsur sapatha. Sapatha berasal dari
bahasa Sanskerta berarti kutuk, sumpah, atau janji. Istilah ini dalam
prasasti kemudian dapat diartikan sebagai pernyataan sumpah. Sapatha
ini dapat memberikan jaminan kepada institusi politik dan agama, karena
kontrol sosial yang masih lemah, sehingga keberadaannya dianggap
mampu meminimalisasi pelanggaran. Kontrol sosial menjadi sesuatu yang
sangat penting dalam mengendalikan kasus-kasus sosial di masyarakat.
Sapatha merupakan legitimasi kekuasaan yang digunakan sebagai
alat untuk menjalankan kekuasaan dengan cara memberi sanksi atau
hukuman kepada mereka yang melanggar kebijakan dan ketentuan
seorang raja. Beberapa sapatha secara rinci menyebutkan kesengsaraan
yang akan dialami oleh para pelanggar, bukan saja kehidupan di dunia
tetapi sampai kehidupan di alam baka bahkan anak dan keturunannya
pun ikut terdampak. Turut pula disebutkan jenis-jenis sanksi, berbagai
macam perbuatan terlarang, dan nominal denda apabila sanksi itu tidak
diwujudkan secara fisik (Sumerta, 2016).
Jawa sebagai pulau yang pernah menjadi pusat peradaban Hindu
telah menerima banyak pengaruh dari agama tersebut. Mulai dari sistem
gagasan yang memunculkan falsafah atau pandangan hidup orang Jawa,
sistem sosial dalam masyarakat Jawa, ragam artefaktual. Semua itu adalah
1
Disampaikan dalam Diskusi Epigrafi Nasional (DEN) #17. Surabaya, 30 Juni 2021.
2
Arkeolog, anggota Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Komisariat Daerah Jawa
Timur, anggota Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia (PAEI) Komisariat Daerah Jawa
Timur, Tenaga Ahli Geopark Ijen Wilayah Banyuwangi, Pengurus Perhimpunan Pemuda
Hindu Indonesia (Peradah) Dewan Pimpinan Kabupaten Banyuwangi Bidang
Pendidikan dan Pengembangan SDM (2014-2017) dan Bidang Hukum dan HAM (2017-
2024).
2
Terjemahan:
Hendaknya Weda dijelaskan melalui sejarah (itihāsa) dan kisah-
kisah kuno (purāṇa). Weda berpikir bahwa ia (orang yang bodoh
itu) akan memukul-Ku.
jenis sanksi. Paling tidak ada tiga jenis hukuman yang pernah diterapkan
pada masa Jawa Kuno yakni kutukan yang mengerikan, denda uang, dan
hukuman badan (Putri, 2018). Menyimak narasi pengantar yang
demikian, maka makalah ini selanjutnya akan memaparkan sapatha yang
ada dalam prasasti dan Manawa Dharmaśāstra.
Terjemahan:
Apabila ada orang jahat, yang tidak berhati-hati dan
mengindahkan segala ketentuan tentang daerah perdikan di Desa
Baru agar perbuatannya itu menyebabkan lima jenis bahaya besar
atau kejahatan yang dideritanya (Ardika, 2018).
Terjemahan:
Membunuh Brahmana, meminum sura, mencuri emas milik
seorang Brahmana, berzina dengan istri guru, dan bergaul dengan
orang-orang jahat. Mereka digolongkan sebagai mahāpatāka (Pudja,
2003).
Terjemahan:
Di mana wanita dihormati, di sanalah para dewa merasa senang.
Tetapi di mana mereka tidak dihormati, maka tidak ada upacara
suci apapun yang akan berpahala (Pudja, 2003).
…yan aparaparan humalintaŋ riŋ tgal sahutěn deniṅ ulā manḍi, yan
pareṅ alas, dmak niŋ moŋ, maṅ alaṅka hana mimaŋsārit ni wanaspati, yan
haliwat ri wwa ya göŋ, sahutěn dening wuhaya, mumul, tuwiran, yan
haliwat ya ring ratā kasaṇḍuṅen ruyuṅawuk kasopa wulaṅuna, kuneŋ pwa
yan hudan adṛs sāmběṛn deniŋ glap, humuṅgu pwa ya rī sthānanya,
katibana ta ya bajrāgni tanpa warṣa, himutěn gsěṅana de saŋ hyaṅ agni
saha dṛwyanya tan panolih ariwuntat, taruŋ ri paṅa dgan, tāmpyal, ri
kawanuwalītṅěnan, tutuḥ, tuṇḍunya, blah kapalanya, cucup utěknya, sbit
wtīnya, rantan ususnya wtwakěn ḍaḷmanya, duduk atinya, paṅan
dagiŋnya, inum rāḥnya, athěr pěpědakěn weh aprāla ntika, araḥ ta kita
kamu hyaŋ susuk lor, kidul, kulwan, wetan, byěṅakěn riṅ ākāśa sulā
Terjemahan:
Bagi pelanggar keputusan raja, apabila ia melintasi kebun akan
digigit ular berbisa, apabila melintas di hutan, ada harimau yang
siap menerkam dan ular besar di dalam hutan, orang yang
melintasi air dengan suara, ia akan diterkam buaya, ikan, ular
besar, apabila berjalan atau melintasi jalan atau tanah yang rata
akan terbentur ruyuṅawuk hingga kehilangan ingatan, jika berasa
dalam situasi hujan yang sangat lebat gelap gulita, dan berlindung
di kediaman, ia akan terkena petir tanpa hujan, api akan membakar
semua miliknya dari depan hingga yang ada di belakang, jika ia
melawan kawanuwalītṅěnan, cerca, belah kepalanya, minum
7
Penutup
Para penguasa atau lazimnya disebut raja pada masa lalu untuk
melegitimasikan kekuasaannya mereka akan memakai gelar yang
mengandung unsur-unsur kedewataan tertentu karena dianggap sebagai
titisan dewa oleh rakyatnya. Selain itu, mereka membuat prasasti baik
dari batu maupun logam yang di dalamnya tidak jarang mencantumkan
sapatha atau kutukan. Kebijakan raja dan hukuman bagi setiap orang yang
melanggar berdasarkan kajian dalam makalah ini ternyata berkorelasi
dengan ajaran dan sapatha Manawa Dharmaśāstra.
Referensi
Alnoza, M. (2020a). Konsep Raja Ideal pada Masa Sriwijaya Berdasarkan
Bukti-bukti Tertulis. Jumantara 11 (2), 97-112. DOI:
https://doi.org/10.37014/jumantara.v11i2.1041.
Ardika, I.W. (2018). Sapatha dalam Relasi Kuasa dan Pendisiplinan pada
Masa Bali Kuno Abad IX-XIV Masehi. Berkala Arkeologi 38 (1), 1-
16. DOI: https://doi.org/10.30883/jba.v38i1.231.
Haryono, T. (1999). Sang Hyang Watu Teas dan Sang Hyang Kulumpang:
Perlengkapan Ritual Upacara Penetapan Sima pada Masa
Kerajaan Mataram Kuna. Humaniora 11 (3), 14-21. DOI:
https://doi.org/10.22146/jh.666.
Nugroho, A.P. (2016). Refleksi Hardiknas 2 Mei: Raja Jawa dan Rakyatnya
Wajib Menghormati Guru. Diunduh dari
https://hurahura.wordpress.com.
Susanti, N. (2010). Airlangga: Biografi Raja Pembaru Jawa Abad XI. Depok:
Komunitas Bambu.