ABSTRACT
Dharmaśāstra is one of the Vedāṅgas and has the most important meaning and position in
Hindu society. Each era has its own Dharmaśāstra. Manawa Dharmaśāstra for the Kṛta Yuga period,
Gautama Dharmaśāstra for the Tretā Yuga period, Śaṅkha-likhita Dharmaśāstra for Dvāpara, and
Parāśara Dharmaśāstra for the Kaliyuga era. The Parāśara Dharmaśāstra book consists of 12 chapters.
The essence of the teachings of Parāśara Dharmaśāstra emphasizes the giving of alms for penance. Strict
observance of penance (tapa) was a virtue during the Satyayuga; knowledge of the self (jñana) in the
Tretāyuga; performing religious sacrifices (yajña) during the Dvāparayuga period, and performing
almsgiving (dānam) during the Kaliyuga period. This description emphasizes that in the Kaliyuga era,
giving alms becomes an activity that must be carried out. The obligations of the four classes are stated
that a brāhmaṇa must learn and teach the Vedas, a ksatriya must protect his citizens, vanquish enemy
forces bravely and govern the country, a vaiśya is to trade, raise livestock, and strive, the duty of a śudra
is to serve brahmanas, selling salt, honey, oil, milk, curd, whey, clear butter.
Keywords: Sin, Obligation, Parāśara Dharmaśāstra
I. Pendahuluan
Weda dipercaya oleh umat Hindu sebagai sumber ajaran agama Hindu dan hukum
Hindu. Melanggar ajaran agama dan tidak melaksanakan ajaran agama merupakan sebuah
kesalahan dan dianggap sebagai dosa yang harus ditebus di kehidupan yang akan datang.
Manusia harus selalu berpedoman kepada ajaran agama untuk menghindari dosa, dan
melaksanakan penebusan dosa sesuai dengan isi kitab sucinya atau sesuai hukum yang
berlaku di negaranya. Weda secara garis besar dibagi menjadi 2, yaitu Śruti, atau apa-apa yang
didengar dan Smṛti, atau apa-apa yang diingat. Weda merupakan sastra keagamaan paling
tua dan dipercaya sangat sacral bagi pemeluk agama Hindu, karena Weda adalah himpunan
śloka wahyu yang keasliannya tetap terjaga dengan baik. Maswinara (1998:1-2)
mengungkapka bahwa sejarah asal mula dari Smṛti, membawa kita pada Brahma yang
muncul dengan sendirinya, yang menyampaikan Smṛti ini kepada Mānu, kemudian
mengajarkannya kepada 10 orang Prajāpati pertama, yaitu: Marici, Atri, Aṅgira, Pulastya,
Pulaha, Kratu, Pracetā, Vasiṣtha, Bhṛgu dan Nārada. Dharmaśāstra Hindu ini bukanlah
sebuah buku tunggal, tetapi terdiri dari saṁhitā-saṁhitā atau kelompok hukum dari para bijak
yang suci, yang berjumlah 20 orang sesuai dengan daftar yang diberikan oleh Yājñavalkya,
yaitu: Mānu, Atri, Viṣṇu, Hārita, Yājñavalkya, Uśaṇā, Aṅgira, Yama, Apastamba, Samvarta,
Kātyāyana, Vṛhaspati, Parāśara, Vyāsa, Saṅkha, Likhita, Dakṣa, Goutama, Satātapa dan
Vasiṣṭha.
Kewajiban manusia berdasarkan isi dari Dharmaśāstra tidaklah sama setiap jamannya
atau yuga yang sering disebut dengan Catur Yuga. Demikian juga dengan dosa yang dilakukan
oleh manusia beserta penebusan dosanya tentu berbeda antar jamannya. Hal ini karena
karakter masing-masing jaman berbeda dan kewajiban khususnya kewajiban melaksanakan
ajaran agama yang harus dilaksanakan berbeda di setiap yuga.
II. Pembahasan
2.1 Parāśara Dharmaśāstra
Dharmaśāstra sebagai bagian dari kitab Wedāṅga, yaitu bagian batang tubuh dari Weda
yang tidak dapat dipisahkan dari kitab Weda Śruti lainnya, dianggap paling penting dan
menarik dari kitab-kitab śāstra lainnya yang memuat himpunan pokok ajaran Hindu.
Pudja (2004: vii-xi) mengungkapkan bahwa Dharmaśāstra merupakan salah satu dari
Wedāṅga dan mempunyai arti serta kedudukan terpenting dalam masyarakat Hindu. Terdiri
dari Śikṣa, Vyākaraṇa, Chanda, Nirukta, Jyotiṣa dan Kalpa. Adapun jenis Vedāṅga terpenting
dan yang ada hubungannya dengan kitab Dharmaśāstra ini adalah jenis Kalpa. Asal usul kitab
Kalpa ini bersumber pada Brāhmaṇa saṁhitā dan ditulis dalam bentuk sūtra atau śloka.
Berdasarkan penggunaannya, kelompok Kalpa vedāṅga ini terdiri atas empat jenis menurut
topiknya sendiri-sendiri. Keempat kelompok itu ialah:
a. Śrauta-sūtra, (manual untuk upacara besar),
b. Gṛhya-sūtra, (manual untuk orang berumah tangga).
c. Dharma-sūtra, (manual untuk melakukan pemerintahan).
d. Śulva-sūtra, (manual untuk membuat bangun-bangunan agama).
Bagian terpenting dari jenis kalpa ini ialah yang disebut kelompok "Dharma-sūtra",
membahas salah satu aspek dari kehidupan manusia yang disebut dharma, yaitu hukum yang
mengatur tentang hak dan kewajiban yang harus dikuti oleh manusia baik sebagai individu,
sebagai kelompok sosial, sebagai status sosial dalam keluarga, sebagai penguasa (raja,)
dsb.nya. Dharma adalah peraturan atau undang-undang (vyahāra) yang merupakan bagian
terpenting dari kebidupan beragama dan bermasyarakat. Dharma adalah kode etik yang harus
dihayati dan diamalkan sehingga menjadi kebiasaan-kebiasaan yang hidup (ācāra) dalam
masyarakat itu.
Berdasarkan teori relativitas Saṅkha-likhita, dikatakan bahwa:
1. Dharmaśāstra-nya Manu untuk jaman Kṛta Yuga.
2. Dharmaśāstra-nya Gautama untuk jaman Tretā Yuga.
3. Dharmaśāstra-nya Śaṅkha-likhita untuk Dvāpara.
4. Dharmaśāstra-nya Parāśara untuk jaman Kaliyuga.
bab 3 tentang ketidaksucian akibat kelahiran dan kematian, bab 4 tentang dosa bunuh diri,
penebusan dosa karena hidup pergaulan dengan golongan rendah, aturan perkawinan untuk
memperoleh anak, bab 5 tentang penebusan dosa akibat digigit oleh berbagai binatang atau
serangga, kremasi bagi seorang Brāhmaṇa yang dibunuh oleh seekor sapi atau seseorang yang
telah melakukan bunuh diri, bab 6 tentang penebusan dosa akibat membunuh burung-burung
dan binatang ternak, penebusan dosa akibat pembunuhan, dan lain-lain, bab 7 tentang
upacara Prayaściṭṭa (penyucian) untuk alat-alat/perkakas upacara, bab 8 tentang berbagai
macam upacara penebusan dosa, bab 9 tentang dosa akibat mencederai sapi, bab 10 tentang
penebusan dosa akibat hubungan seksual yang terlarang, bab 11 tentang penebusan dosa yang
berhubungan dengan makanan yang dilarang, bab 12 tentang berbagai macam upacara
penebusan dosa.
Inti ajaran Parāśara Dharmaśāstra menekankan pada pemberian sedekah (dānam) untuk
penebusan dosa (avidyā), yang hendaknya diartikan sebagai simbol pemutusan keterikatan
akan kemilikan, yang merupakan salah satu penghalang di jalan pencapaian kebebasan.
Pemberian yang semata-mata merupakan dana bagi penebusan dosa (avidyā) tidak akan ada
artinya bagi yang bersangkutan apabila keterikatan akan 'kemilikan' belum mampu ia
putuskan sehingga masih membelenggunya yang menyebabkan avidya (dosa) itu akan tetap
melekat pada dirinya.
Maswinara (1998:2-3) menyebutka bahwa menurut ajaran Hindu, masa atau jaman ini
dibagi menjadi 4 yuga atau siklus, dan setiap saṁhitā diperuntukkan bagi setiap yuga. Parāśara
memandang bahwa Mānu Saṁhitā (Mānava Dharmaśāstra) sesuai bagi Satya Yuga; Goutama
Saṁhitā bagi Tretā-Yuga; Śaṅkha dan Likhita sesuai bagi Dvāpara-yuga, sedangkan Saṁhita-
nya Parāśara sendiri diperuntukkan bagi Kali-yuga, namun pembagian ini tak pernah
diselidiki secara sungguh-sungguh.
Dharmaśāstra yang dibahas disini diperuntukkan bagi 4 golongan sosial masyarakat
bukan dalam arti keturunan, tetapi dalam arti jabatan (profesi) yang menuntut syarat-syarat
mental yang harus dimiliki oleh masing-masing golongan. Golongan brāhnaṇa merupakan
golongan yang sudah mencapai tahap jñani, yang sudah mampu melepaskan keterikatan dan
selalu dalam keadaan seimbang; golongan kṣatriya, adalah mereka yang bekerja di bidang
pemerintahan, dimana semangat pengabdian bagi masyarakat luas mewarnai sikap mental
mereka; golongan vaiśya adalah mereka yang jabatannya menunjang dan mempersiapkan
kemakmuran material, sehingga sikap mental mereka dikuasai perhitungan untung rugi
material; sedangkan golongan śūdra, adalah mereka yang jabatannya memberikan pelayanan
material, sehingga sikap mental mereka menonjolkan 'kekuatan fisik’.
Bali (2022: 55) menyebutkan dana punia pada intinya bukan hanya
berbentuk persembahan berupa harta kekayaan saja, namun secara lebih luas, dana punia itu
dapat berupa nasehat atau wejangan para pandita, sifat yang tidak dengki, taat melakukan
Dharma. Tujuan pokok dan ajaran dana punia adalah untuk menumbuhkembangkan sikap
mental yang tulus pada diri pribadi umat manusia dalam melaksanakan ajaran Wairagya,
yaitu ketidak terikatan (keikhlasan) pada diri seseorang. Aryawati (2022: 40-41) menyebutkan
bahwa dana yang terkumpul dari kotak sesari maupun sumbangan yang berasal dari individu
maupun organisasi membutuhkan perwujudan pertanggungjawaban keuangan dari
pengurus. Hal ini bertujuan agar uang yang disumbangkan dapat digunakan untuk
membantu upacara yadnya dan kebutuhan maupun pembangunan pura.
Tentang pemberian atau dana, dijelaskan dalam Parāśara Dharmaśāstra I.28. yang
berbunyi: Abhigamya kṛte dānaṁ tretāsvāhūya dīyate, Dvāpare yācamānāya sevayā dīyate kalau.
Artinya: Pada jaman Satya si pemberi hadiah mencari-cari si penerimanya; pada jaman Treta
si pemberi mengundang si penerima hadiah di rumahnya dan menyuruhnya pergi bersama
hadiah tersebut; pada jaman Dvapara, pemberian diberikan pada mereka yang memintanya;
pada jaman Kaliyuga, hadiah diberikan sebagai pengganti pelayanan (dengan pamrih).
Selanjutnya Parāśara Dharmaśāstra I.29. menyebutkan: Abhigamyottanaṁ dānam ahūtañca iva
madhyanam, Adhamaṁ yācamānam syāt sevādānañca niṣphalam. Artinya: Pemberian yang
diberikan kepada seseorang dengan mencari di luar rumahnya merupakan pemberian yang
utama (terbaik); yang diberikan dengan mengundang si penerima di rumah si pemberi hadiah
merupakan pemberian nomor dua dan yang diberikan kalau diminta merupakan bentuk
pemberian yang terburuk. Pemberian yang diberikan sebagai pengganti suatu pelayanan
bukanlah pemberian sama sekali dan gagal untuk mendapatkan pahala.
Selain kewajiban pada jaman Kaliyuga berupa dana punia, Parāśara Dharmaśāstra
menjelaskan tentang kewajiban yang harus dilakukan oleh keempat golongan. Tentang
kewajiban ini dimulai dengan sloka I.31. yang berbunyi:
Dharmo jito hyadharmeṇa jitaḥ satyo ‘nṛtena ca,
Jitā bhṛtyaistu rājnaḥ strībhiṡ ca puruṣa jitāḥ
Artinya:
Kesalehan ditaklukan oleh ketidak salehan: kebenaran oleh kepalsuan; para raja oleh
pelayan mereka dan laki-laki oleh para wanita, di jaman Kaliyuga.
Berdasarkan uraian sloka I.31 di atas, maka perlu ditetapkan kewajiban oleh masing-
masing golongan untuk meminimalisir ketidaksalehan dan kepalsuan. Kewajiban masing-
masing golongan diantaranya dimuat dalam Parāśara Dharmaśāstra sloka I.38. tentang tugas
brāhmaṇa yang berbunyi:
Ṣaṭ karmabhir ato nityaṁ devatātithi pūjakaḥ,
Huta śeṣantu bhuñjāno brāhmaṇo nāva sīdati.
Artinya:
Seorang brāhmaṇa, yang sehari-harinya melaksanakan 6 kewajiban agama (sat karma)
dan makan sisa dari persembahan homa-nya setelah memuaskan para dewa dan para atithi
(tamu), tak pernah menderita nasib yang buruk dalam kehidupan.
6 kewajiban agama yang diperintahkan pada seorang brāhmaṇa pada jaman Satya yuga
yaitu belajar dan mengajarkan Veda, melaksanakan upacara kurban bagi diri dan orang lain
dan memberi serta menerima sedekah (pemberian). Tugas seorang brāhmaṇa juga disebutkan
dalam sloka I.39. yang berbunyi: Saṅdhyā snānaṁ japo homaḥ svādhyāyo devatārcanam,
Vaiśvadevātitheyañ ca șaț karmāņi dine dine. Artinya: Melaksanakan saṅdhyā, penyucian, japa,
dan homa, mempelajari Veda, pemujaan Ilahi, melaksanakan upacara kurban Vaiśvadeva dan
kegiatan memuaskan para atithi (pendatang yang berganti-ganti pada rumah seseorang),
merupakan 6 kewajiban agama sehari-hari yang diperintahkan kepada seorang brāhmaṇa.
Tugas lain dari seorang brāhmaṇa juga disebutkan dalam sloka II.2 yang berbunyi: Sa
pravadyāsa haṁ bhūyaḥ pārāśarya pracoditah, Ṣaṭ karma nirato vipraḥ ṛṣi karmāṇi kārayet. Artinya:
Brāhmaṇa yang sehari-harinya melaksanaka 6 tugas keagamaan yang dikenal sebagai sat
karma, sebaiknya mengusahakan pertanian sebagai cara hidupnya. Sloka II.6. yang berbunyi:
Japyaṁ devārcanaṁ homaṁ svādhyāyañ ca ivam abhyaset, Eka dvi tri catur viprāṇa bhojayet snātakāna
dvijaḥ. Artinya: Setelah itu sang dvijāti sebaiknya melaksanakan upacara japa, homa dan
pemujaan Tuhan harian; belajar Veda dan memberi makan satu, dua, tiga dan empat snātaka
brhāmaṇa. Sloka II.7 yang berbunyi: Svayaṁ kṛṣṭhe tathā kṣetre dhānyaiśca svayam arjitaiḥ, Nirkṛpet
pañca yajñāni kratu dīkṣañ ca kānrayet. Artinya: Di ladang yang telah dibajaknya sendiri dan
dengan uang yang diperoleh dengan keringatnya sendiri seorang dwijati sebaiknya
mengadakan 5 upacara kurban keagamaan harian yang dikenal sbagai pañca yajña dan
menjadikan dirinya sendiri untuk didiksa guna pengadaan upacara kurban Kratu. Sloka II..8
yang berbunyi: Tilā rasa na vikreyā vikreyā dhānyataḥ samāḥ, Viprasya ivaṁ vidha vṛttis tṛṇa
kāṣṭhādi vikrayaḥ. Artinya: Menjual minyak atau sari sayuran segar oleh seorang brāhmaṇa
dilarang berdasarkan hukum; tetapi ia berhak untuk menjual padi atau yang sekeluarga
dengan padi-padian, demikian pula jerami, kayu, berkas kayu bakar dan lain lainnya.
Tugas seorang kesatriya disebutkan dalam Parāśara Dharmaśāstra sloka I.58 yang
berbunyi:
Kṣatriyo hi prajā rakṣan śamjapāṇiḥ pracaṇḍavat,
Vijitya parasainyāni kṣitiṁ dharmeṇa pālayet
Artinya:
Para kesatriya harus melindungi warga negaranya, menaklukan kekuatan tentara musuh
dengan gagah berani dan memerintah negara sesuai dengan aturan-aturan kebajikan.
Tambahan tugas seorang kesatriya disebutkan pada sloka I.57 yang berbunyi:
Anṛtā hy anadhīyānā yatra bhaikṣacarā dvijāḥ,
Taṁ grāmaṁ daṇḍayedrājā caura bhakta prado hi saḥ
Artinya:
Seorang raja dapat menghukum para penghuni desa dimana tinggal brāhmaṇa yang
telah lalai belajar Veda dan hidup dengan mengemis; karena hal itu berarti mereka
menyembunyikan para pencuri (dalam penyamaran brāhmaṇa).
Tugas seorang kesatriya dalam Parāśara Dharmaśāstra tidak hanya memimpin kerajaan,
bahwa jika ada seorang kṣatriya yang menjadi petani wajib menyenangkan para dewa dan
brāhmaṇa sesuai sloka II.15 yang berbunyi: Kṣatriyo ‘pi kṛṣiṁ kṛtvā dvijān devāṁś ca pūjayet,
Vaiśyah śūdraḥ sadā kuryāt kṛṣivāṇijya śilpakān. Artinya: Bahkan seorang petani kṣatriya
sebaiknya menyenangkan para dewa dan brāhmaṇa dengan hasil dari ladangnya, seorang
vaiśya atau śūdra hendaknya selalu hidup dengan berdagang, bertani ataupun kerajinan
tangan.
Tugas seorang vaiśya adalah berdagang, memelihara ternak, dan berusaha sebagaimana
disebutkan dalam Parāśara Dharmaśāstra sloka I.61 yang berbunyi:
Loha karma tathā ratnaṁ gavāñca prati pālanam,
Vāṇijyaṁ kṛṣi karmāṇi vaiśya vṛttir udāhṛta.
Artinya:
Berdagang permata dan logam, memelihara ternak, berniaga dan berusaha,
kesemuanya itu termasuk profesi dari seorang vaiśya.
Kewajiban seorang śudra adalah harus melayani brahmana seperti dijelaskan dalam
sloka 1.62:
Śudrāṇām dvija śuśrūșā paro dharmaḥ prakīrttitaḥ,
Anyathā kurute kiñcit tan bhavet tasya niṣphalam.
Artinya:
Melayani brahmana merupakan kebijakan tertinggi bagi para sudra, di mana kebajikan
lain yang dilaksanakannya tak akan membuahkan hasil.
Selain melayani brahmana, seorang śudra mempunyai kewajiban tambahan dan larangan
sebagaimana disebutkan dalam sloka I.63 yang berbunyi: Lavaṇaṁ madhū tailañca dadhi takraṁ
ghṛtam payaḥ, Na duṣyecchūdrajātīnāṁ kuryat sarvasya vikrayam. Artinya: Seorang śudra tak
berbuat dosa dengan menjual garam, madu, minyak, susu, dadih susu, air dadih, mentega
bening. Sloka I.64. mengungkapkan bahwa: Avikreyaṁ madyamāṁ sama bhakṣyasya ca
bhakṣaṇam, Agamyägamanañ ca iva śūdro ‘pi narakaṁ vrajet. Artinya: Seorang śūdra sebaiknya
tidak makan sesuatu yang dilarang ataupun mendekati seorang wanita yang terlarang
baginya, karena kalau tidak ia akan dihukum di neraka.
Larangan golongan śūdra disebutkan bahwa mereka tidak boleh meminum susu dari
Kapila, mengenal wanita brāhmaṇa dan mengucapkan Weda, karena akan membuat mereka
masuk neraka seperti disebutkan dalam sloka I.65:
Kapilā kṣīra pānena brāhmaṇi gamanena ca,
Vedākṣara vivāreṇa śūdrasysa narakam dhruvam.
Artinya:
Minum susu dari seekor lembu Kapila, mengenal wanita brāhmaṇa dan mengucapkan
Veda merupakan kegiatan yang bila dilakukan seorang śūdra akan dihukum di neraka.
III. SIMPULAN
Kitab Parāśara Dharmaśāstra terdiri dari 12 Adhyāya atau bab, serta menjadi kitab
Dharmaśāstra yang diperuntukkan bagi jaman Kaliyuga. Parāśara Dharmaśāstra disusun oleh
Parāśara. Inti ajaran Parāśara Dharmaśāstra menekankan pada pemberian sedekah (dānam)
untuk penebusan dosa (avidyā), yang hendaknya diartikan sebagai simbol pemutusan
keterikatan akan kemilikan, yang merupakan salah satu penghalang di jalan pencapaian
kebebasan. Pemberian yang semata-mata merupakan dana bagi penebusan dosa (avidyā) tidak
akan ada artinya bagi yang bersangkutan apabila keterikatan akan 'kemilikan' belum mampu
ia putuskan sehingga masih membelenggunya yang menyebabkan avidya (dosa) itu akan tetap
melekat pada dirinya.
Pelaksanaan penebusan dosa yang ketat (tapa) merupakan kebajikan pada masa
Satyayuga; pengetahuan tentang sang diri (jñana) pada Tretāyuga; pelaksanaan upacara kurban
keagamaan (yajña) pada masa Dvāparayuga, dan melaksanakan amal sedekah (dānam) pada
masa Kaliyuga. Uraian ini mempertegas bahwa pada jaman Kaliyuga, dana punia menjadi
sebuah kegiatan yang harus dilaksanakan.
Kewajiban keempat golongan disebutkan bahwa seorang brāhmaṇa harus melaksanakan
6 kewajiban agama (sat karma) dan makan sisa dari persembahan homa-nya setelah
memuaskan para dewa dan para tamu, yaitu belajar dan mengajarkan Veda, melaksanakan
upacara kurban bagi diri dan orang lain dan memberi serta menerima sedekah (pemberian).
Tugas seorang brāhmaṇa juga melaksanakan saṅdhyā, penyucian, japa, dan homa, mempelajari
Veda, pemujaan Ilahi, melaksanakan upacara kurban Vaiśvadeva dan kegiatan memuaskan
para atithi, melaksanakan upacara japa, homa dan pemujaan Tuhan harian; belajar Veda dan
memberi makan satu, dua, tiga dan empat snātaka brhāmaṇa.
Tugas seorang kesatriya disebutkan dalam Parāśara Dharmaśāstra melindungi warga
negaranya, menaklukan kekuatan tentara musuh dengan gagah berani dan memerintah
negara sesuai dengan aturan-aturan kebajikan, menghukum para penghuni desa dimana
tinggal brāhmaṇa yang telah lalai belajar Veda dan hidup dengan mengemis; karena hal itu
berarti mereka menyembunyikan para pencuri (dalam penyamaran brāhmaṇa). Tugas seorang
vaiśya adalah berdagang, memelihara ternak, dan berusaha. Kewajiban seorang śudra
adalah harus melayani brahmana, menjual garam, madu, minyak, susu, dadih susu, air dadih,
mentega bening.
Daftar Pustaka
Adnyana, I. G., Sueca, I. N., & Supandi, I. N. A. (2020). Persepsi Umat Hindu Terhadap Ajaran
Dana Punia Dalam Kitab Bhagawad Gita Di Desa Duda Timur Kecamatan Selat
Kabupaten Karangasem. Upadhyaya: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama, 1(1), 56-63.
Aryasita, P. M., & Yudantara, I. G. A. P. (2022). Mengungkap Akuntabilitas Pengelolaan Dana
Punia Pada Pura Dang Kahyangan Jati, Kabupaten Jembrana, Bali. Jurnal Ilmiah
Akuntansi Dan Humanika, 12(2), 354-363.
Aryawati, N. P. A., & Sukendri, N. (2022). Dana Punia Sebagai Sumbangan Keagamaan Umat
Hindu Lombok Dari Sisi Akuntansi. Guna Sewaka, 1(1), 35-43.
Bali, S. I. K. (2022). Implementasi Dana Punia Menurut Ajaran Agama Hindu. Maha Widya
Duta: Jurnal Penerangan Agama, Pariwisata Budaya, dan Ilmu Komunikasi, 1(1), 54-61.
Pudja, Gede, dan Sudharta, Tjokorda Rai. 2004. Mānava Dharmaśāstra (Manu Dharmaśāstra).
Surabaya: Paramita.
Ratini, N. K. (2018). Strategi Penggalian Dana Punia Pada Umat Hindu Kota Palu Dalam
Pembangunan Candi Kurung Pura Agung Wana Kertha Jagatnatha Sulawesi Tengah
(Perpekstif Pendidikan Agama Hindu). Maha Widya Bhuwana: Jurnal Pendidikan, Agama
Dan Budaya, 1(2), 87-92.
Sentana, K. D., Ariputra, I. P. S., & Dewi, K. T. (2022). Proses Filterisasi Era Kali Yuga
Berlandaskan Pendidikan Agama Hindu. Guna Widya: Jurnal Pendidikan Hindu, 9(2), 168-
175.
Tim Redaksi. 2018. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima. Jakarta: Badan Pengembangan
Dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan.