08 Mei
Jenis-jenis Pawiwahan dalam Manawa Dharmasastra
Dalam menjalani kehidupan sebagai seorang Hindu, maka telah diketahui
tahapan-tahapan yang ada dalam kehidupan ini. Tahapan-tahapan kehidupan
itu adalah Catur Asrama. Catur Asrama adalah empat tahap yang dijalani
oleh Hindu untuk mendapatkan keharmonisan hidup. Tugas serta kewajiban
pun disesuaikan dengan tahapan tersebut.
Tahapan-tahapan itu adalah :
1. Brahmacari Asrama adalah tingkat kehidupan berguru/ menuntut
ilmu. Setiap orang harus belajar (berguru). Diawali dengan upacara
Upanayana dan diakhiri dengan pengakuan dengan pemberian
Samawartana/ Ijazah.
Dalam kegiatan belajar mengajar ini siswa/ Snataka harus mengikuti
segala peraturan yang telah ditetapkan bahkan kebiasaan untuk
mengasramakan siswa sangat penting guna memperoleh ketenangan
belajar serta mempermudah pengawasan.
Brahmacari juga mengandung makna yaitu orang yang tidak
terikat/dapat mengendalikan nafsu keduniawian, terutama nafsu
seksual. Segala tenaga dan pikirannya benar- benar diarahkan kepada
kemantapan belajar, serta upaya pengembangan ketrampilan sebagai
bekal hidupnya kelak.
2. Grehasta Asrama adalah tingkat kehidupan berumahtangga. Masa
Grehasta Asrama ini adalah merupakan tingkatan kedua setelah
Brahmacari Asrama. Dalam memasuki masa Grehasta diawali dengan
suatu upacara yang disebut Wiwaha Samskara (Perkawinan) yang
bermakna sebagai pengesahan secara agama dalam rangka kehidupan
berumah tangga (melanjutkan keturunan, melaksanakan yadnya dan
kehidupan sosial lainnya). Oleh karena itu penggunaan Artha dan
Kama sangat penting artinya dalam membina kehidupan keluarga yang
harmonis dan manusiawi berdasarkan Dharma.
3. Wanaprastha Asrama adalah tingkat kehidupan ketiga dengan
menjauhkan diri dari nafsu- nafsu keduniawian. Pada masa ini
hidupnya diabdikan kepada pengamalan ajaran Dharma. Dalam masa
ini kewajiban kepada keluarga sudah berkurang, melainkan ia mencari
dan mendalami arti hidup yang sebenarnya, aspirasi untuk
memperoleh kelepasan/ moksa dipraktekkannya dalam kehidupan
sehari- hari.
yang dapat dikategorikan dalam bentuk hukum perdata agama, pidana serta
peraturan-peraturan
yang
bersifat
mengatur
kehidupan
sosial
kemasyarakatan secara umum. Jadi ia merupakan kitab hukum Hindu
dengan cakupan bahasan yang amat lengkap, luas dan ber-relevansi keluar
maupun kedalam.
Dalam Manawa Dharmasastra, maka jenis-jenis pawiwahan terdapat pada
Buku III (Tritiyodhayah) tentang Perkawinan, Yadnya Panca Yadnya, serta
Panca Sraddha. Disebutkan bahwa terdapat 8 cara/ jenis upacara perkawinan
Hindu, yaitu :Brahmana, Daiwa, Rsi (Arsa), Prajapati, Asura, Gandharwa,
Raksasa dan Paisaca. Seperti disebutkan dalam,
Manawa Dhaarmasastra III.20
Caturnamapi warnanam
striwiwahanni bodhata.
pretya
ceha
hitahitan
astawiwansamasena
Brahmana, Empat jenis terakhir untuk golongan Ksatria, dan keempat jenis
yang sama kecuali raksasa sah bagi Waisya dan Sudra.\
Manawa Dharmasastra III.25
Pancanam
tu
trayo
dharmya
dwawadharmyu
paicaccasuraccaiwa na kartawyu kadacana
smrtawiha,
Tetapi menurut peraturan undang-undang ini tiga dari lima bagian akhir
dinyatakan sah, sedangkan dua (lainnya) tidak sah, Picaca dan Asurawiwaha
tidak boleh dilaksanakan sama sekali
Dapat dijelaskan bahwa kedelapan jenis berturut-turut yaitu Brahma, Daiwa,
Rsi, Prajapati, Asura, Gandharwa, Raksasa, dan Paisaca. Dan menurut
penjelasan di atas, enam jenis pernikahan yang pertama itu sah yang berarti
boleh dilakukan dan disahkan menurut hukum ini, sedangkan cara kedua
terakhir tidak boleh disahkan karena melawan hukum kecuali ketentuan lain.
Dari keenam jenis ini lebih jauh ditentkan pula mana yang baik karena
member pahala dan mana yang tidak layak dilakukan oleh tiap-tiap warna
karena dapat menimbulkan penderitaan kalau dilakukan. Empat terakhir baik
dilakukan bagi golongan ksatrya, waisya dan sudra, sedangkan bagi Ksatrya,
perkawinan secara raksasa dapat pula dibenarkan. Paradox ini karena jaman
dahulu raja-raja memerangi musuh untuk mengawini seseorang sering
terjadi sehingga perkawinan semacam itu tidak dapat dielakkan.
Pengertian dari jenis-jenis perkawinan itu, maka dapat dilihat sebagai berikut
:
Manawa Dharmasastra III.27
Acchadya carcayitwa ca cruti cila wate swayam, ahuya danam kanyaya
brahma dharmah prakirtitah
Pemberian seorang gadis setelah terlebih dahulu dirias (dengan pakaian
yang mahal) dan setelah menghormati (dengan menghadiahi permata)
kepada seorang yang aktif dalam weda lagi pula budi bahasanya yang baik
yang diundang (oleh ayah si wanita) disebut Brahma Wiwaha
Menurut ayat di atas adalah calaon pengantin pria harus orang ahli weda
dan bertingkah laku suci, dapat dikawinkan dengan wanita, anak , dan calon
menantu pria yang khusus diundangkan nya untuk bersedia menerima
Dari penjelasan jenis-jenis pernikahan di atas, maka etika- etika yang ada
akan inti-inti pernikahan yang sesuai weda, sangatlah berhubungan erat
dengan hasil yang akan dicapai dari pernikahan tersebut. Maksud hasil itu
adalah pahala serta hal-hal baik atau hal buruk yang akan terjadi jika
pernikahan dilaksanakan dalam kehidupan ini. Empat yang pertama yaitu
brahma wiwaha, daiwa wiwaha, arsa wiwaha serta prajapati wiwaha adalah
pernikahan yang baik nilainya yang dijanjikan pasti akan mendapatkan
keturunan yang suputra pula. Di samping itu akan menghapus beberapa
tingkatan dosa-dosa leluhur kita serta kehidupan beberapa tingkatan
keturunan kita. Itu pasti dijelaskan dalam pembahasan Weda Smreti Manawa
Dharmasastra.
Selain ke empat perkawinan baik tersebut, empat sisanya akan pula
memberikan keburukan hasil jika dilaksanakan. Yaitu pahala akan
keturunannya menghasilkan pula keturunan tercela yang kejam,
pembohong, serta tidak menyukai apa itu agama serta membenci weda. Hal
itu juga dijelaskan dalam beberapa ayat Manawa Dharmasastra tersebut.
Perkawinan ini sekehendaknya agar dihindari dalam kehidupan manusia ini.
Yang ditekankan adalah dengan mengetahui apa-apa jenis pernikahan yang
ada dalam Manawa Dharmasastra, maka sekehendaknyalah mereka
(brahmacaryan) yang sedang dalam tahap pembelajaran sebelum mencapai
tahap grehasta melakukan pengekangan diri serta perencanaan yang lebih
matang untuk meningkat kepada tahap-tahap selanjutnya. Hal ini
diupayakan agar brahmacaryan memiliki kehidupan yang berkualitas dan
bermakna dalam kehidupan menjadi manusia ini.