Anda di halaman 1dari 7

BEST PRACTICE PENGAWAS SEKOLAH

BERKAT HP, GURU BANGGA, DAN SUPERVISIKU BERHASIL

Oleh:

Dra. Dyah Budiarsih, M.Pd

Pemandu Kelompok Kerja Pengawas Sekolah (KKPS)

Kabupaten Banyumas

I. LATAR BELAKANG

Saya seorang Pengawas TK/SD di Kecamatan Purwokerto Utara, Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa
Tengah. Salah satu tugas Pengawas Sekolah adalah melakukan pengawasan akademik terhadap guru
dalam proses pembelajaran. Sambil membawa instrumen pengamatan, pengawas sekolah biasa masuk
ke suatu kelas dan duduk di bangku paling belakang untuk mengamati guru dan siswa dalam melakukan
proses pembelajaran. Dulu, saya selalu kecewa dan tidak puas dengan hasil yang saya amati jika
melakukan supervisi terhadap guru kelas.

Skor apersepsi, kegiatan inti, dan kegiatan akhir pembelajaran dari 9 guru kelas SD di dabin 1 Kecamatan
Purwokerto Utara semester 2 tahun 2009/2010 rata-rata 1,61. Skor tersebut menunjukkan katagori
kurang maksimal, karena skor maksimal adalah 3,0. Hal ini disebabkan karena guru dalam melaksanakan
pembelajaran tidak lengkap sesuai pedoman atau aturan yang sesuai yaitu Permendiknas Nomor 41
Tahun 2007.

Gambar 1

Guru mengajar hanya dengan ceramah

Sebagian guru hanya menggunakan metode ceramah yang sesekali diselingi dengan pertanyaan atau
diskusi. Volume suara guru dikeraskan dan mata dipelototkan jika ada anak yang usil. Siswa kurang aktif
dan hampir tidak ada kolaborasi antar siswa, bahkan tidak jarang guru memperlihatkan kekesalannya
kepada siswa. Selain itu, jarang sekali terlihat ada alat peraga atau sarana pembelajaran yang digunakan.
Apalagi jika saya tiba-tiba masuk kelas, maka guru kelihatan terkejut, malu, bingung, dan canggung.
Melihat kondisi tersebut, sangat sulit bagi saya untuk membubuhkan nilai baik bagi guru.
Gambar 2

Kondisi sebelum pengawas melakukan supervisi

dengan benar, siswa kurang aktif

Sebenarnya dalam kegiatan KKG yang dilakukan setiap hari Sabtu. Saya berusaha ikut merumuskan
rencana kegiatan berdasarkan kebutuhan guru, sehingga materi contoh-contoh model pembelajaran
menjadi acara yang menarik karena setiap kelompok wajib melakukan simulasi atau melakukan lesson
study.

Berbekal cantoh-contoh tersebut diharapkan guru akan menerapkan di kelasnya. Namun apa yang
terjadi? Ketika saya datang berkunjung ke kelas dengan membawa instrumen pengamatan, tetap saja
mereka melakukan pembelajaran seperti semula. Bagaimanakah kondisi pembelajaran di kelas jika tidak
ada yang mengamati atau mengawasi? Berdasarkan informasi guru, kepala sekolah pun jarang
melakukan pengamatan di dalam kelas. Lalu, apa yang harus saya lakukan supaya guru melakukan
pembelajaran dengan baik dan tidak sekedar memenuhi jam pelajaran?

Agar dapat memecahkan masalah tersebut, saya berusaha mencari penyebab atau mengidentifikasi
masalah yang menjadi penyebabnya. Apakah mungkin karena masalah instrumen pengamatan yang
saya bawa ketika mengamati proses pembelajran? Membawa instrumen pengamatan ke dalam kelas,
seolah-olah pengawas sedang melakukan pengadilan terhadap guru dan menjatuhkan vonis berupa nilai
atau skor. Hal ini sangatlah tidak bijaksana. Saya berpikir, jika pengawas tidak membawa instrumen ke
dalam kelas, mungkin akan lebih baik. Guru tidak takut atau grogi. Lalu apa yang harus saya lakukan?

II. PEMECAHAN MASALAH

Apa masalah yang sebenarnya? Saya pelajari modul-modul kepengawasan yang saya peroleh. Modul
tersebut saya peroleh ketika pelatihan di LPMP dalam Program BERMUTU atau dalam kegiatan KKPS
yang diikuti. Berbekal sering membaca buku, ternyata setelah saya analisa dan saya renungi, penyebab
dari masalah guru mengajar tidak sesuai pedoman sebenarnya terletak pada diri saya sendiri selaku
pengawas, atau dapat dikatakan saya yang salah.

Metode saya dalam melakukan supervisi selama ini, tidak berbeda dengan guru. Masih menggunakan
metode klasik seperti yang dilakukan “nenek moyang” pengawas jaman dulu ketika melakukan supervisi.
Persepsi saya tentang supervisi sama sekali tidak sesuai dengan pedoman atau pengertian supervisi yang
sekarang. Saya masih mencampuradukkan pengertian pemantauan, supervisi, dan evaluasi.

Padahal dalam Permendiknas Nomor 41 tahun 2007 tentang Standar Proses halaman terakhir telah
dijelaskan apa yang harus dilakukan pengawas sekolah dalam melakukan pemantauan, supervisi, dan
evaluasi. Saya bertanya kepada teman sejawat juga tidak paham. Mungkin karena tulisan tersebut
terletak di halaman terakhir sehingga tidak terbaca.

Menurut Permendiknas tersebut, yang dimaksud dengan supervisi proses pembelajaran harus dilakukan
pada tahap perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian hasil pem¬belajaran. “Supervisi pembelajaran
diselenggarakan dengan cara pemberian contoh, diskusi, pelatihan, dan konsultasi”. Sedangkan ketika
masuk kelas melakukan pengamatan, disebut evaluasi proses pembelajaran. Evaluasi dilakukan untuk
me-nentukan kualitas pembelajaran secara keseluruhan, mencakup tahap perencanaan,`pelaksanaan
proses pembelajaran, dan penilaian hasil pembelajaran. Evaluasi proses pembelajaran diselenggarakan
de¬ngan cara membandingkan proses pembelajaran yang dilak¬sanakan guru dengan standar proses,
dan mengidentifikasi kinerja guru dalam proses pem¬belajaran sesuai dengan kompetensi guru.

Nah, berbekal pengertian supervisi tersebut, saya merubah persepsi dan cara kerja yang selama ini
dilakukan. Cara ini menggabungkan antara supervisi dan evaluasi. Sebelum saya masuk ke kelas untuk
melakukan “evaluasi” atau pengamatan proses pembelajaran, terlebih dahulu saya melakukan
“supervisi”.

Saya datang ke sekolah dan bertemu dengan kepala sekolah, saya sampaikan maksud kedatangannya
saya, yaitu akan melakukan supervisi terhadap guru yang sedang tidak mengajar. Kepala sekolah sempat
terkejut, “Lho supervisi guru yang tidak mengajar?” Kepala sekolah saya ajak menemui guru yang tidak
mengajar. Kebetulan pada saat itu yang sudah selesai mengajar adalah guru kelas V. Saya katakan
bahwa saya ingin melihat guru tersebut mengajar dan mendokumentasikan dalam gambar atau video.
Reaksi guru sangat spontan.

“Ah.. jangan dishooting, Bu! Malu…..” Kata guru tersebut dengan wajah penuh kekhawatiran.

“Tenang saja, Bu…!” Kata saya dengan ramah.

“Nyootingnya tidak sekarang, Bu… Kita akan latihan dahulu. RPP mana yang akan digunakan untuk
mengajar…, kalau Ibu sudah siap barulah dilaksanakan”

Saya berusaha melakukan supervisi dengan menerapkan metode diskusi dan konsultasi. Setelah saya
katakan bahwa akan latihan dulu, maka berubahlah wajah guru tersebut menjadi cerah.

“Ibu silakan memilih mata pelajaran dan materi apa yang akan dipraktekkan. Kita diskusikan dulu
bagaimana skenario pembelajarannya” kata saya.

“Oya … Bu…saya akan mencari RPP untuk 2 hari lagi” kata guru tersebut dengan penuh semangat.

Setelah menemukan RPP yang cocok maka guru tersebut membaca dan kami berdua berdiskusi tentang
alat peraga, metode, langkah-langkah pembelajaran, dan soal evaluasinya. Materi pelajarannya adalah
IPS sejarah. Guru tersebut sudah mulai tidak canggung, tidak malu, dan berani mengemukakan
pendapatnya. Dengan demikian pemberian contoh dan pelatihan dalam supervisi saya terapkan.
Hati saya benar-benar gembira karena tujuan saya melakukan supervisi dengan guru tidak takut,
ternyata berhasil. Harapan saya berikutnya, dua hari lagi melihat guru mengajar dengan baik. Tetapi
saya harus menyiapkan kamera. Padahal saya tidak memiliki kamera. Saya hanya mempunyai
handphone (HP) yang dapat digunakan untuk memotret dan merekam gambar.

Gambar 3

Supervisi dengan diskusi dan konsultasi

Apa yang saya lakukan tersebut, selain berdasarkan pedoman, juga mengacu pendapat ahli. Menurut
Cullen (2004:13-97), ada enam tugas penting yang harus dilakukan sebagai pembimbing, yaitu a)
Memunculkan kredibilitas, yaitu kejujuran, kompeten, inspirasi, dan visi; b) Mengatur dan
mengemukakan tujuan dan harapan; c) Memiliki rencana agar berhasil; d) Memunculkan kinerja diri dan
mempermudah pekerjaan; e) Memberi contoh; dan f) Memotivasi, membangun moral dan melakukan
hubungan interpersonal. Membimbing harus menerapkan 4F, yaitu be fair (adil), be firm (tegas), be
frank (jujur), dan be familiar (akrab).

Guru sebagian besar sudah sertifikasi, sehingga kebutuhan guru secara jasmani tercukupi, namun masih
membutuhkan kebutuhan yang lain. Mengacu teori kebutuhan Maslow bahwa kebutuhan manusia
terdiri dari lima tingkatan. Tingkatan yang paling rendah adalah kebutuhan fisiologi atau kebutuhan
dasar manusia, tingkat kedua kebutuhan keselamatan, tingkat ketiga kebutuhan berkelompok, tingkat
keempat kebutuhan penghormatan, dan tingkat paling atas adalah kebutuhan aktualisasi diri. Salah satu
bentuk aktualisasi diri adalah melakukan pekerjaan kreatif (Usman 2004:257-62).

Dengan demikian secara teori, kebutuhan guru sudah sampai tingkat keempat yaitu kebutuhan atas
penghormatan/penghargaan dan bahkan kebutuhan tingkat kelima yaitu kebutuhan untuk aktualisasi
diri.

Berdasarkan teori tersebut, saya berusaha memenuhi kebutuhan guru tentang penghargaan dan
aktualisasi diri yaitu melakukan pekerjaan kreatif sehingga mendapatkan penghormatan dari orang lain.

Benar saja, dua hari kemudian saya datang lagi ke SD yang sudah saya supevisi sebelumnya melalui
pemberian contoh, diskusi, konsultasi dan pelatihan sederhana. Saya masuk ke kelas V untuk melihat
guru melakukan proses pembelajaran. Saya melihat beberapa alat peraga dan sarana pembelajaran
sudah tersedia. Terlihat ada kartu segitiga yang di setiap sisinya bertuliskan materi sejarah yang saling
berkaitan. Sedangkan di meja anak-anak juga ada alat serupa dengan ukuran yang lebih kecil.

Saya masuk kelas mengajak kepala sekolah. Hal ini karena saya juga ingin membina kepala sekolah agar
mau melakukan supervisi seperti yang saya lakukan. Setelah memberi salam dan siswa menjawab
dengan antusias saya jelaskan maksud kedatangan saya dan kepala sekolah.
“Anak-anak, hari ini kami berdua ingin merekam kegiatan kalian dalam belajar karena kalian anak yang
pintar dan Bu Guru juga pandai dalam mengajar. Kalian menjadi bintang filmnya. Video ini akan kami
pamerkan dengan menayangkan di depan guru-guru lain di kecamatan. Apakah kalian siap?”

“Siaaaap…, Bu!” jawab anak-anak penuh antusias.

“Ikuti perintah guru, dan jangan lihat kamera ya…..!” kata saya sambil mencari tempat yang strategis
untuk mulain menyooting.

Guru mulai mengajar dan saya mulai mengaktifkan kamera HP. Proses pembelajaran berjalan dengan
aktif, guru percaya diri, siswa gembira, tidak ada yang bermain sendiri. Sambil memutar kamera HP ke
kanan dan ke kiri saya berkeliling di belakang anak-anak tanpa mengganggu jalannya pembelajaran.
Benar-benar proses pembelajaran yang sangat bagus, memuaskan. Saya acungi jempol untuk guru dan
anak-anak, mereka terlihat bangga serta berbinar senang.

Gambar 4

Guru dan siswa aktif dalam pembelajaran

Pengalaman tersebut saya terapkan di SD lain untuk mencari sasaran baru. Prosesnya sama, saya
lakukan supervisi dengan diskusi, pemberian contoh, pelatihan dan konsultasi. Saya katakan jika hasilnya
bagus akan ditayangkan pada forum KKG sehingga harus dipersiapkan dengan baik.

Tentu saja hal ini benar-benar saya lakukan, guru yang mengajar dengan teknik dan metode bagus,
videonya saya tayangkan pada pertemuan KKG atau KKKS. Dengan harapan, guru yang videonya
ditayangkan menjadi bangga dan akan mengulangi lagi dengan lebih baik. Sedangkan bagi guru yang
belum pernah dishooting akan mempersiapkan diri.

Gambar 5

Siswa aktif karena skenario pembelajaran berubah.

Gambar 6

Siswa lebih semangat

HP yang saya gunakan bukan HP masa kini yang canggih (karena saya tidak punya), tetapi HP Nokia S60
jaman dulu (jadul) dengan memory card saya ganti 2 GB. Memori yang besar dapat digunakan untuk
menyimpan banyak video dan foto. HP tersebut berwarna hitam dengan bentuk kecil, sehingga mudah
ditaruh dalam saku dan tidak rumit mengoperasikannya.

Gambar 7

Inilah HP S60 milikku yang sangat membantu pekerjaan saya.

Sesampai di kantor, foto atau video saya pindahkan ke laptop. Dengan menayangkan kembali video
pembelajaran guru, saya dapat mengisi instrumen pengamatan/penilaian proses pembelajaran dengan
lebih detail. Jika tidak sempat di kantor saya dapat melakukannya di rumah.

Hasil rekaman video pembelajaran yang bagus, saya tayangkan pada kegiatan KKG, bahkan pernah saya
gunakan sebagai model dalam menatar kepala sekolah dalam pelatihan Induksi Guru Pemula dan
Penilaian Kinerja Guru.

Nah, hasil dari rekaman video yang saya tayangkan pada pertemuan KKG, KKKS, KKPS atau bahkan pada
forum guru yang lain, ternyata dapat memotivasi para peserta pertemuan sehingga menjadi lebih
semangat. Mereka tidak mengantuk sebab menyaksikan video/film tentang contoh langsung penerapan
metode pembelajaran. Perlu diketahui bahwa guru dalam melakukan proses pembelajaran rata-rata
mempraktikkan model-model pembelajaran yang telah dipelajari dalam KKG BERMUTU. Harapannya
bagi guru yang videonya ditayangkan tentu merasa bangga sehingga kebutuhan keempat dan kelima
terpenuhi.

Kamera HP tersebut tidak hanya digunakan dalam proses pembelajaran di kelas, namun juga digunakan
untuk memotret berbagai macam hal yang ada di sekolah sebagai bahan pembinaan untuk kepala
sekolah. Misalnya memotret berbagai bentuk tempat sampah di sekolah baik yang masih bagus maupun
yang sudah rusak. Memotret isi almari kelas atau almari kepala sekolah, ada yang rapi ada pula yang
amburadul. Slogan-slogan di sekolah, majalah dinding, penataan halaman/taman sekolah, penataan
ruang perpustakaan, kegiatan siswa dalam lomba, dan sebagainya.

III. PENUTUP

Kasus ini merupakan pengalaman sangat berharga bagi saya. Sekarang, setiap supervisi saya datangi
guru untuk diskusi, pemberian contoh, pelatihan, dan konsultasi tentang praktik pembelajaran yang
akan dilakukan. Guru dan siswa terlihat puas, tidak canggung, tidak malu, tidak takut, berani bertanya
kepada pengawas. Sementara itu instrumen penilaian proses pembelajaran dapat diisi dengan lebih
detail. Dampak lain dari keberhasilan saya dalam melakukan supervisi menggunakan kamera/video HP
dan memamerkannya dalam forum KKG, guru menjadi bangga dan senang seolah-olah mendapat
penghargaan. Guru adalah manusia biasa yang butuh perhatian dan motivasi dalam melaksanakan
tugasnya.

Bagi guru lain peserta pertemuan, dapat mengimpor pengalaman baru karena melihat atau menonton
contoh langsung pembelajaran yang baik. Dampak bagi peserta didik juga menjadi lebih semangat dan
lebih akrab dengan pengawas karena merasa senang bisa difoto atau dishooting. Kalau saya datang,
mereka minta difoto. Dengan demikian hubungan pengawas dengan yang diawasi (yang semula kaku,
takut, malu) menjadi gembira, bangga, dan akrab.

Kunci sukses dari pengalaman berharga ini adalah, seorang Pangawas Sekolah harus tanggung jawab dan
konsekuen dalam melaksanakan tugas kepengawasan sehingga harus selalu belajar dan berusaha
mencari cara baru agar dapat melaksanakan tugas sesuai pedoman. Kemauan untuk membaca kebijakan
pemerintah, petunjuk, peraturan, pedoman dan pengetahuan masa kini sangat dianjurkan agar dalam
bekerja tidak copy paste “nenek moyang”. Jangan sampai kreatifitas pengawas tertinggal dengan
kreatifitas guru-guru yang semakin inovatif. Semoga berguna bagi pembaca, khususnya para Pengawas
Sekolah. Membuat foto atau video tidak harus menggunakan peralatan mahal, hanya dengan “HP
bekas” seharga di bawah 1 juta pun jadilah!

DAFTAR PUSTAKA

Cullen, Jack., Len D’Innocenzo (terjemahan). 2004. Memaksimalkan Kinerja. Yogyakarta: Tugu Publisher.

Permendiknas No. 41 tahun 2007 tentang Standar Proses.

Usman, Husaini. 2004. Manajeman Pendidikan. Yogyakarta: Pascasarjana UNY

Anda mungkin juga menyukai