Anda di halaman 1dari 5

Nama : Ni Kadek Dela Lestari

NPM : 202033122024
Kelas : F2 Akuntansi
Matkul : Pendidikan Agama Hindu

PEMAHAMAN TATWA DAN APLIKASINYA DALAM


KEHIDUPAN

Pengertian Tattwa
Dalam buku Upadesa (Sudharta & Puniatmaja, 2001:5) dijelaskan bahwa
tiga kerangka agama Hindu adalah satu kesatuan. Diibaratkan tattwa itu sebagai
kepala, susila itu sebagai hati, dan acara itu sebagai tangan dan kaki
agama. Tattwa berasal dari kata “tat” berarti hakikat, kebenaran, kenyataan, dan “twa”
berarti yang bersifat (Sura, dkk. 2002:116). Jadi, tattwa berarti yang bersifat
kebenaran atau kebenaran mutlak. Susila (su artinya baik, dan sila berarti tingkah
laku) tingkah laku yang baik (Sura, dkk. 2002:110). Kemudian, acara diartikan
sebagai adat atau praktik pelaksanaan agama Hindu.
Dalam acara  terkandung upacara yang berarti rangkaian tindakan dalam kegiatan
ritual, dan upakara berarti sarana kebaktian atau ritual (Sura, dkk. 2002:127). Ketiga
kerangka inilah yang diimplementasikan umat Hindu dalam kehidupan beragama,
baik secara individu maupun kolektif.
Tattwa berasal dari kata “tat” berarti hakikat, kebenaran, kenyataan, dan
“twa” berarti yang bersifat (Sura, dkk. 2002:116). Jadi, tattwa berarti yang bersifat
kebenaran atau kebenaran mutlak. Apabila darsana merupakan pandangan tentang
kebenaran itu, maka tattwa adalah kebenaran itu sendiri. Dalam berbagai lontar
berbahasa Jawa Kuna, istilah tattwa menunjuk pada prinsip-prinsip kebenaran
tertinggi. Siwatattwa  berbicara mengenai hakikat Siwa, Mayatattwa berbicara
mengenai hakikat maya, dan seterusnya. Dalam tattwa inilah terkandung dogma
agama Hindu yang harus dipercaya tanpa perlu dipertanyakan lagi. Misalnya, Dewa
Wisnu, warnanya hitam, senjatanya Cakra, letaknya di utara, aksara sucinya “I”
adalah kebenaran yang tidak dapat dibantah. Tattwa tidak memberikan ruang bagi
kritik rasional filsafat tentang kebenaran itu.
Tattwa agama Hindu di Indonesia merupakan hasil konstruksi dari ajaran
filosofis yang terkandung dalam kitab Weda, Upanisad, Sad Darsana, Tantrayana,
Shiwa Siddhanta, ke dalam ajaran Siwatattwa.  Konsep Nirguna Brahman dalam
Upanisad dan Adwaita Wedanta ditransformasikan menjadi konsep Paramasiwa  yang
juga bersifat nirguna. Paramasiwa kemudian beremanasi menjadi Sadasiwa yang
memiliki empat kemahakuasaan - Cadu Shakti, dan dalam penciptaan berevolusi
kembali menjadi Siwa. Evolusi penciptaan dalam Siwatattwa mengadopsi prinsip-
prinsip Samkhya, sedangkan involusinya mengadopsi ajaran Yogasutra
Patanjali. Konsep Shakti yang menjadi inti ajaran Tantrayana juga diadopsi
dalam Siwatattwa. Dengan demikian, Siwatattwa merupakan tattwa yang dianut umat
Hindu di Indonesia dan khususnya di Bali.
Ajaran Siwatattwa  dijabarkan dalam konsep Panca Sraddha, yaitu lima
sistem kepercayaan agama Hindu yang lebih tepat dikategorikan
sebagai tattwa,  daripada teologi ataupun darsana. Dalam hal ini, Panca
Sraddha tidak hanya dimaksud dengan konsep-konsep, melainkan dogma-
dogma ketuhanan (Brahman), jiwa (Atman), hukum Karmaphala,
Punarbhawa,  dan Moksa  sebagai bentuk keimanan umat Hindu di Indonesia. Dogma
ini dipercaya, diimani, dan dijadikan pedoman perilaku keagamaan umat Hindu.
Sederhananya, seorang disebut umat Hindu bila percaya adanyan Tuhan,
adanya atman,  adanya karmaphala, adanya punarbhawa (reinkarnasi), dan
adanya moksa. Pandangan teologi Hindu (Brahmawidya) dan darsana selanjutnya
berfungsi untuk memperkuat keimanan tersebut.

(2)  Panca Sraddha
Panca Sraddha  berasal dari Bahasa Sanskerta, panca berarti lima,
dan sraddha berarti kepercayaan atau keyakinan. Jadi, Panca Sraddha berarti lima
kepercayaan dalam agama Hindu (Sura, dkk:2002:78). Pengertian ini sejalan dengan
pendapat Zimmer (2003:49) bahwa sraddha adalah sikap percaya dan ketenangan
pikiran; sraddha menuntut dibuangnya setiap pikiran yang independen dan kritis;
yang dibutuhkan adalah sikap takzim (tunduk), dan keinginan berapi-api untuk
memperoleh kebenaran. Pada bab sebelumnya ditegaskan bahwa sraddha  lebih tepat
dijelaskan dalam terminologi tattwa, dibandingkan teologi ataupun darsana. Artinya,
rumusan kelima sraddha  ini adalah kebenaran mutlak (tattwa) yang harus dipercaya
umat Hindu sebagai landasan imannya. Lima kepercayaan tersebut adalah sebagai
berikut.
(1)  Percaya adanya Brahman.
(2)  Percaya adanya Atman.
(3)  Percaya adanya Karmaphala.
(4)  Percaya adanya Punarbhawa atau Samsara.
(5)  Percaya adanya Moksa.

Sraddha  memiliki kedudukan yang penting dalam agama Hindu. Hal ini
dijelaskan dalam kitab Yajur Weda XIX.30 “Sraddhaya satyam apnoti, sraddham
satye prajapatih” (‘Dengan sraddha orang akan mencapai Tuhan (Prajapati),
Prajapati menetapkan dengan sraddha menuju kebenaran (satya)’).  Sloka ini
menegaskan bahwa sraddha adalah dasar sekaligus jalan untuk mencapai Tuhan
karena sraddha akan menuntun manusia menuju satya.
Satya adalah kebenaran Brahman yang tanpa wujud (nirguna). Ini adalah
pengetahuan yang tertinggi. Untuk mencapai kebenaran tentang Brahman yang tanpa
wujud harus didasari oleh sraddha (kepercayaan). Brahman  juga tidak memiliki
karakteristik yang dapat diperbandingkan sehingga kebenarannya tidak dapat
diungkap melalui penyimpulan atau analogi (upamana). Oleh karena
itu, Brahman hanya dapat dipahami melalui naskah suci.
Selanjutnya, berdasarkan kepercayaan ini orang harus memiliki keberanian
untuk menentukan keputusan dan melakukan tindakan. Jadi, antara pengetahuan dan
tindakan sesungguhnya harus berjalan beriringan untuk mencapai kebenaran
tertinggi. Panca Sraddha tidak hanya menjelaskan tentang segala hal yang harus
dipercayai oleh umat Hindu, tetapi juga mengajarkan pentingnya pelaksanaan
tindakan berdasarkan kepercayaan tersebut. Hubungan antara kepercayaan dan
tindakan keagamaan sesungguhnya cukup mudah diamati dalam kehidupan beragama
umat Hindu. Prinsip-prinsip etika dan ritual yang dilaksanakan umat Hindu
seluruhnya dapat dijelaskan berdasarkan Panca Sraddha. Misalnya, umat Hindu
selalu berusaha untuk berbuat baik dalam kehidupan karena percaya pada
hukum karmaphala. Umat Hindu melaksanakan persembahyangan dan persembahan
(bhakti) karena percaya kepada Tuhan, dan seterusnya. Ini menegaskan bahwa
terdapat hubungan yang tidak terpisahkan antara Panca Sraddha dan tindakan
keagamaan umat Hindu.
Tuhan adalah jiwa semua makhluk (jivatman). Hakikat atman sama
dengan paramatman,  tetapi karena atman bertemu dengan unsur-unsur prakerti maka
sang atman  menurun kesadarannya. Akibat belenggu awidya (kegelapan pikiran),
Sang Atman lupa dengan kesejatiannya (lupa wyamoha). Ini menyebabkan manusia
harus terikat dengan hukum karmaphala karena
ketidakseimbangan triguna  (sattwam, rajas, tamas). Manusia akhirnya melakukan
perbuatan baik (subha karma) dan buruk (asubha karma), silih berganti dalam
kehidupannya. Setiap perbuatan (karma) melahirkan pahala
(phala). Karma dan phala ini mengikat manusia dan menentukan kehidupnya, baik
sekarang maupun yang akan datang. Pada kehidupan
sekarang, karmaphala menciptakan kegirangan (suka), kesedihan (suka), sakit
(lara), dan kematian (pati). Karmaphala ini juga akan dinikmati dalam kehidupan
setelah kematian sehingga lahir hukum punarbhawa.
Setelah manusia meninggal, ia harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Dalam Swargarohana Parwa dijelaskan bahwa roh-roh akan pergi ke
sorga (swarga) dan neraka (naraka). Pahala baik akan menempatkan manusia di
sorga,  setelah menghabiskan pahala buruk di neraka (naraka). Dalam Swargarohana
Parwa  dijelaskan bahwa phala yang lebih banyak akan dinikmati belakangan karena
menentukan kelahiran berikutnya. Singkatnya, apabila karma buruk lebih banyak,
maka roh akan menikmati sorga lebih dahulu untuk menikmati hasil karma baiknya
dan kemudian mempertanggung-jawabkan di neraka. Bekas-bekas karma dari sorga
dan neraka inilah yang menentukan kualitas kelahiran kembali (punarbhawa) dalam
kehidupan selanjutnya. 
Punarbhawa  mengikat setiap manusia yang masih terbelenggu oleh
ikatan karma. Kualitas kelahiran ditentukan oleh karma dalam kehidupan
sebelumnya. Kelahiran dari sorga disebut swargacyuta  dan kelahiran dari neraka
disebut narakacyuta. Rantai punarbhawa ini terputus, ketika manusia
mencapai moksa.  Agama Hindu memberikan jalan untuk
mencapai moksa.  Dalam lontar Wrhaspati Tattwa disebutkan sadhana telu (tiga
disiplin spiritual), yaitu jnana bhyudreka (memahami semua tattwa), trsna dosa
ksaya (melepaskan diri dari perbuatan dosa), dan indriya yoga marga (jalan
pengendalian indria). Ketiga tindakan ini dapat ditempuh manusia dalam
kehidupannya sehingga mencapai keadaan jiwanmukta (jiwa yang terbebas dari
belenggu karma). 

(3)  Siwatattwa
Terdapat beberapa sumber penting yang memuat ajaran Siwatattwa  di
Indonesia dan hampir seluruhnya ditulis dalam bahasa Jawa Kuna, yaitu Bhuwana
Kosa, Wrhaspatitattwa, Ganapati Tattwa, Sanghyang Mahajnana,
Tattwajnana, dan Jnanasiddhanta. Dalam kitab-kitab inilah ditemukan prinsip-
prinsip Siwatattwa. Secara umum dapat digambarkan
bahwa Siwatattwa membicarakan tentang hakikat Siwa dan emanasinya dalam alam
semesta. Teori evolusi semesta dalam Siwatattwa  jelas menunjukkan pengaruh kuat
dari Samkhya, sedangkan involusinya dipengaruhi oleh Yoga. Selain itu, juga
ditemukan pengaruh Tantrayana dalam konsep tentang Shakti dan Pangider-ider
dewata (para dewa penjaga arah mata angin). Ini menegaskan
bahwa Siwatatta merangkum seluruh pemikiran filsafat dan tattwa Hindu yang
dipandang sesuai dengan alam pikiran Indonesia.
Agama Hindu di Indonesia memuja Tuhan dengan sebutan Sang Hyang
Widhi Wasa. Nama ini berasal dari bahasa Jawa Kuna, yakni kata “Sang”, “Hyang”,
“Widhi”, dan “Wasa”. Kata Sang berarti yang dimuliakan, misalnya juga ditemukan
dalam kata Sang Arjuna, Sang Krshna, Sang Anoman, dan seterusnya.
Kata Hyang adalah kata dalam bahasa Jawa, Bali, dan daerah lain yang memiliki
pengertian seperti kata ‘dewa’. Seringkali kata ini didahului dengan
kata sang sehingga menjadi Sang Hyang (Sura, dkk., 2002:39). Sementara itu,
kata widhi (wi = sempurna, tuntas; dha = meletakkan/menaruh) takdir, aturan,
hukum, penguasa tertinggi, pencipta,  Tuhan Yang Maha Kuasa. Wasa berarti kuasa
(Sura, dkk., 2002:133). Jadi, Sang Hyang Widhi Wasa berarti Tuhan Yang Maha
Kuasa.
Dalam ajaran Siwatattwa, Sang Hyang Widhi Wasa adalah Bhattara Siwa itu
sendiri. Dalam rumusan Panca Sraddha kepercayaan kepada Sang Hyang Widhi
Wasa disebut Widhi Tattwa atau Widhi Sraddha. Widhi Tattwa berarti ajaran
mengenai kebenaran Tuhan (Widhi) yang pararel dengan
pengertian Brahmavidya (ilmu tentang hakekat Brahman). Pembahasan Widhi
Tattwa mencakup hakikat Tuhan, bukti adanya Tuhan, dan ke-Esa-an Tuhan.
Tujuannya adalah membangun kepercayaan atau ke-sraddha-an umat Hindu kepada
Sang Hyang Widhi Wasa sehingga dapat meningkatkan rasa bhakti dalam
dirinya. Orang tidak mungkin berbhakti kepada Tuhan, bila tidak percaya dengan ada-
Nya, bahkan telah ditegaskan dalam Yajur Weda XIX.30 bahwa
dengan sraddha  orang akan mencapai Tuhan.     

Anda mungkin juga menyukai