Anda di halaman 1dari 7

KEGIATAN BELAJAR IV : DASAR KEYAKINAN UMAT HINDU

1. URAIAN MATERI

Pemahaman masyarakat tentang pemahaman dan proses pembelajaran umat Hindu


banyak di mulai dan menggunakan sarana upacara keagamaan atau upacara adat.  Dengan
demikian tujuan penanaman konsep dasar Agama Hindu menjadi kabur dan dapat
membingungkan masyarakat, khususnya bagi penganut sebuat ritual keagamaan. Bahwa
dengan demikian sebenarnya para tetua Hindu telah meletakkan dasar yang kuat sebagai
Dasar keyakinan umat Hindu, yaitu Panca Srada dan Tiga Kerangka Dasar agama Hindu.

1.1. Panca Sradha

Secara etimologi panca sradha berasal dari 2 kata yaitu panca dan sradha . Panca yang
berarti lima sedangkan sradha adalah keyakinan ataupun kepercayaan . Jadi dapat kita
simpulkan bahwa panca sradha adalah lima keyakinan ataupun kepercayaan sebagai dasar
yang di miliki oleh umat hindu untuk menjalankan kehidupan di dunia ini . Adapun bagian-
bagian panca sradha itu yaitu :

1. Percaya Adanya Brahman

Maksud dari percaya adanya brahman adalah kita harus percaya bahwa adanya maha
pencipta atau biasa kita sebut tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) yang telah memberikan
kehidupan pada kita semua . Tuhan adalah sumber dari segala yang ada dan akhir dari segala
yang tercipta . Di dalam weda maupun mantra-mantra juga sudah di jelaskan di dalam nya
seperti :
“ Om tat Sat Ekam Ewa Adwityam Brahman “
Aarti nya, Tuhan atau ida sang hyang widhi wasa hanya satu tidak ada dua nya dan
maha sempurna .
“ Om Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadanti”
Arti nya Tuhan atau ida sang hyang widhi wasa itu hanya satu tetapi orang bijaksana
lah yang menyebutnya dengan berbagai macam nama .

Kemudian di dalam mantra tri sandya pun juga di sebutkan “  Eko Narayana na Dwityo’Sti
Kascit “ arti nya hanya satu tuhan atau ida sang hyang widhi wasa yang di sebut narayana dan
sama sekali tak ada dua nya.
2. Percaya Adanya Atman

Atma adalah percikan-percikan kecil dari brahman (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Atma
berasal dari kata an yang berarti bernafas . Setiap makhluk yang bernafas mempunyai atma ,
sehingga mereka dapat hidup . Jadi atma adalah hidupnya semua makhluk hidup baik itu
manusia , hewan , maupun tumbuhan . Atma berasal dari tuhan atau ida sang hyang widhi
wasa yang memberikan hidup kepada semua makhluk hidup di muka bumi ini . Badan kita
tidak akan berfungsi bila di dalam tubuh kita tidak ada atma .

Adapun sifat-sifat atma :

1.  acchedya berarti tak terlukai senjata,

2.  adahya berarti tak terbakar oleh api,

3.  akledya berarti tak terkeringkan oleh angin,

4 .  acesya berarti tak terbasahkan oleh air,

5 .  nitya berarti abadi,

6 .  sarwagatah berarti ada di mana-mana,

7 . sathanu berarti tidak berpindah – pindah,

8 . acala berarti tidak bergerak,

9 . awyakta berarti tidak dilahirkan,

10 . achintya berarti tak terpikirkan,

11 . awikara berarti tidak berubah,

12 . sanatana berarti selalu sama.

3. Percaya Adanya Karmaphala

Secara etimologi karma phala berasal dari 2 kata yaitu karma dan phala . Karma arti nya
perbuatan sedangkan phala yang arti nya hasil . Jadi dapat kita simpulkan karma phala arti
nya hasil sebuah perbuatan yang kita lakukan . Di dalam ajaran hindu kita mengenal nama
nya hukum karma phala yaitu hukum sebab akibat , setiap perbuatan yang kita lakukan pasti
mendapatkan phala nya atau hasil nya .Karma Phala di dapatkan sesuai apa yang kita lakukan
sesuai Tri Kaya Parisudha

Karma phala di bedakan menjadi 3 berdasarkan waktu nya :

a . Sancita Karma Phala

Sancita karma phala artinya perbuatan di masa / kehidupan lalu pada kehidupan sekarang
kita menerima hasil dari perbuatan tersebut

b. Prarabda Karma Phala

Prarabda karma phala arti nya perbuatan di masa / kehidupan sekarang pada kehidupan
sekarang pula kita menerima hasil dari perbuatan tersebut .

c . Kryamana Karma Phala

Kryamana Karma Phala arti nya perbuatan di masa / kehidupan sekarang pada kehidupan
yang akan datang kita menerima hasil dari perbuatan tersebut .

4. Percaya Adanya Punarbhawa

Punarbhawa berasal dari 2 kata yaitu punar dan bhawa . Punar yang berarti kembali
dan bhawa berarti menjelma atau lahir . Jadi kesimpulan dari punarbhawa adalah kelahiran
atau penjelmaan kembali secara berulang-ulang . Punarbhawa sering kita sebut dengan
reinkarnasi . Sebenarnya kita hidup di dunia ini adalah untuk kita berbenah diri karena di
kehidupan kita dahulu masih belum sempurna dan masih banyak memiliki dosa yang belum
bisa kita bayar atau lunasi dan tergantung dari amal dan prilaku dan perbuatan kita di masa
lampau,masa sekarang,dan masa yang akan datang.

5. Percaya Adanya Moksa

Nah ini dia tujuan dari hidup kita di dunia ini menurut kepercayaan agama hindu dari
ajaran panca sradha ini, yaitu moksa.Moksa berasal dari kata muc yang memiliki arti bebas.
Bebas dari segala ikatan karma, ikatan duniawi( suka dan duka ) ikatan hidup, ikatan cinta
kasih dll. Dimaana jika suatu atma telah mencapai moksa maka sang atma tidak akan terikat
lagi dengan urusan keduniawian alias free dari segala sesuatu yang menyangkut aspek karma
phala, samsara dan lain lainya. Syarat utama untuk mencapai moksa adalah menjalankan
semua jaran agama dengan benar .  Jika telah mencapai moksa biasanya di sebut juga dengan
kalimat “Mokharatam Jagadhita ya ca iti Dharma”
Adapun tingkat-tingkatan dari moksa :

a . Samipya

Samipya adalah moksa yang dapat dicapai oleh para maha Rsi/yogi dengan kematangan tapa ,
membuka intuisinya sehingga dapat menerima wahyu dan memahami hakekakat hidup sejati.

b. Sarupya/ Sadarmya

Sarupya / sadarmya adalah moksa yang dapat dicapai oleh kesadaran sejati ketika atma dapat
mengatasi segalanya . Hal ini dapat dicapai oleh Awatara . Beliau bisa mengatasi segalanya
dan dapat menentukan sendiri kapan akan meninggalkian dunia ini .

c . Salokya

Salokya adalah tingkatan moksa yang dicapai oleh atma yang telah mampu mencapai tingkat
tuhan . Misalnya leluhur atau orang tua yang telah diaben.

d. Sayujya

Sayujya adalah tingkat kebebasan yang paling tinggi dimana atma telah bersatu dengan
brahman atau tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa ) . “Brahman Atman Aikyam “ yang arti
nya brahman dan atma tunggal.

1.2 Tiga Kerangka Dasar Agama Hindu

1 . Tattwa ( Filsafat )
Tattwa berasal dari kata tat dan twa. Tat berarti ”itu” dan twa juga berarti ”itu”. Jadi
secara leksikal kata tattwa berarti ”ke-itu-an”. Dalam makna yang lebih mendalam kata
tattwa bermakna ”kebenaranlah itu”. Kerapkali tattwa disamakan dengan filsafat ketuhanan
atau teologi. Di satu sisi, tattwa adalah filsafat tentang Tuhan, tetapi tattwa memiliki dimensi
lain yang tidak didapatkan dalam filsafat, yaitu keyakinan. Filsafat merupakan pergumulan
pemikiran yang tidak pernah final, tetapi tattwa adalah pemikiran filsafat yang akhirnya harus
diyakini kebenarannya. Sebagai contoh Wisnu disimbolkan dengan warna hitam, berada di
utara, dan membawa senjata cakra. Ini adalah tattwa yang harus diyakini kebenarannya,
sebaliknya filsafat boleh mempertanyakan kebenaran dari pernyataan tersebut. Oleh sebab itu
dalam terminologi Hindu, kata tattwa tidak dapat didefinisikan sebagai filsafat ,tetapi lebih
tepat didefinisikan sebagai dasar keyakinan Agama Hindu. Sebagai dasar keyakinan Hindu,
tattwa mencakup lima hal yang disebut panca sradha.
2. Susila
Susila berasal dari kata ”su” dan ”sila”. Su berarti baik, dan sila berarti dasar, perilaku
atau tindakan. Secara umum susila diartikan sama dengan kata ”etika”. Definisi ini kurang
lebih tepat karena susila bukan hanya berbicara mengenai ajaran moral atau cara berperilaku
yang baik, tetapi juga berbicara mengenai landasan filosofis yang mendasari suatu perbuatan
baik harus dilakukan. Bandingkan dengan kata ”etika” yang berarti filsafat moral.
Sebaliknya, kata ”moral” berarti ajaran tentang tingkah laku yang baik. Perbuatan
”membunuh” misalnya, secara moral tindakan membunuh dilarang untuk dilakukan, tetapi
”etika” memberikan landasan bahwa tidak semua tindakan membunuh adalah dilarang.
Tindakan membunuh yang dilarang adalah ketika didasari oleh rasa kebencian dan
kemarahan, sebaliknya membunuh bagi seorang tentara dalam sebuah peperangan dibenarkan
secara etika Sampai di sini jelas bahwa antara ”moral” dan ”etika” dibedakan secara
konseptual. Moral selalu menjadi bagian dari etika, tetapi etika belum tentu masalah moral
karena etika berbicara tentang ”perilaku baik” yang harus dilakukan manusia dalam aspek-
aspek kehidupan yang lebih luas. Moral adalah etika-etika khusus yang berlaku dalam skup
tertentu. Etika Hindu, etika Islam, etika Kristen, etika Bali, etika Jawa, etika bisnis dan
seterusnya merupakan ajaran moral yang dianjurkan oleh masing-masing institusi tertentu,
baik institusi agama maupun institusi sosial. Suatu tindakan yang dianggap bermoral di suatu
komunitas, belum tentu bermoral di komunitas yang lain. Merujuk pada perbedaan definisi di
atas, terminologi kata ”susila” lebih tepat diterjemahkan dalam kata etika karena memberikan
landasan suatu perbuatan. Perintah Sri Khrisna kepada Arjuna untuk membunuh Guru-
gurunya secara moral tidak dapat dibenarkan karena tindakan membunuh terlarang dilakukan.
Akan tetapi secara etika hal itu dibenarkan karena melenyapkan kejahatan adalah kewajiban
dari seorang ksatrya..

3.Upacara

Sementara itu kata acara berasal dari bahasa Sankerta yang menurut Sanskrit- English
Dictionary karangan Sir Moonier Williems (Sudharma, 2000:1) bahwa kata ”acara” antara
lain diartikan sebagai berikut.

a. Tingkah laku atau perbuatan yang baik; 


b. Adat istiadat; 
c. Tradisi atau kebiasaan yang merupakan tingkah laku manusia baik perseorangan
maupun kelompok masyarakat yang didasarkan atas kaidah-kaidah hukum yang ajeg. 

Dalam bahasa Kawi mempunyai tiga pengertian sesuai dengan sistem penulisannya (ācāra,
acāra, dan acara). Kata ācāra berarti kelakuan, tindak-tanduk, kelakuan baik, adat, praktik,
dan peraturan yang telah mantap. Kata acāra bermakna pergi bersama atau teman. Dapat
dibandingkan dengan kata cāraka yang bermakna teman atau ia yang pergi bersama. Dalam
bahasa Bali diterjemahkan dengan kata parēkan yang bermakna ia yang selalu dekat.
Sedangkan kata acara berarti tidak berjalan. Bandingkan dengan kata carācara yang berarti
tumbuh-tumbuhan, dengan makna yang tidak dapat berjalan. Dari ketiga makna tersebut,
makna yang digunakan dalam pengertian Acara Agama Hindu ialah makna yang pertama
(ācāra), yang memiliki pengertian : (1) Kelakuan, tindak-tanduk, atau kelakuan baik dalam
pelaksanaan agama Hindu; (2) adat atau suatu praktik dalam pelaksanaan agama Hindu; dan
(3) peraturan yang telah mantap dalam pelaksanaan Agama Hindu.

Pengertian dari kata acara juga ditemukan dalam kitab Sarasamuccaya (177), sebagai berikut:

”nihan pajara mami, phala sang hyang weda inaji, kapujan sang hyang siwagni, rapwan
wruhing mantra, yajnangga widdhiwaidhanadi, dening dana hinanaken, bhuktin danakena,
yapwan dening anakbi, dadyaning alingganadi krida mahaputri-santana, kuneng phala sang
hyang aji kinawruhan, haywaning gila ngaraning swabhawa, ācāra ngaraning prawrtti
kawaran ring aji”

Artinya:

Inilah yang hendak hamba beritahukan, gunanya kitab suci Weda itu dipelajari, Siwagni patut
dipuja, patut diketahui mantra serta bagian-bagian dari korban kebaktian, widhi-widhana dan
lain-lainnya. Adapun gunanya harta kekayaan disediakan adalah untuk dinikmati dan
disederhanakan, akan gina wanita adalah untuk menjadi istri dan melanjutkan keturunan baik
pria dan wanita, guna sastra suci adalah untuk diketahui dan diamalkan, ācāra adalah
tindakan yang sesuai dengan ajaran agama.

Dari ketiga pengertian Tri Kerangka Dasar agama Hindu maka semakin jelas bahwa
ketiganya memang tidak dapat dipisahkan. Tattwa menjadi landasan teologis dari semua
bentuk pelaksanaan ajaran agama Hindu. Susila menjadi landasan etis dari semua perilaku
umat Hindu dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, dan dengan alam
lingkungannya. Sedangkan ācāra menjadi landasan prilaku keagamaan, tradisi, dan
kebudayaan religius. Acara mengimplementasikan tattwa dan susila dalam wujud tata
keberagamaan yang lebih riil dalam dimensi kebudayaan. Tanpa adanya acara, agama
hanyalah seperangkat ajaran yang tidak akan nampak dalam dunia fenomenal. Secara sosio-
antropologis, acara menjadi identitas suatu agama karena ia melembaga dalam sebuah sistem
tindakan. Sebaliknya, tattwa (ketuhanan) sangat abstrak sifatnya, demikian halnya dengan
susila yang tidak hanya dibentuk oleh agama, melainkan juga oleh tradisi, adat, kebiasaan,
tata nilai dan norma-norma sosial.

Anda mungkin juga menyukai