Anda di halaman 1dari 25

BAB 1

KETUHANAN YANG MAHA ESA


1. Saddha (Keimanan)
Saddhā dalam bahasa Pali berarti “keyakinan”. Arti dari saddhā bukan hanya
sekedar kepercayaan, tetapi lebih dari itu, saddhā adalah keyakin. Keyakinan
disini bukan berarti kepercayaan yang membabi buta, atau asal percaya saja,
akan tetapi keyakinan yang berdasarkan pada fakta atau kebenaran.
Saddhā juga sering disebut sebagai yang pertama dalam urutan etika-etika
bajik bagi umat manusia. Seperti misalnya dalam Pattakamma Sutta (AN.II)
bahwa untuk memperoleh hal-hal duniawi yang diharapkan oleh umat awam,
yakni kekayaan, nama baik, umur panjang, dan terlahir di alam surga adalah
dengan memiliki saddhā

1.1. Keyakinan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa


Saddho sīlena sampanno yasobhogasamappito yaṃ yaṃ padesaṃ bhajati
tattha tatth’eva pūjito
Orang yang memiliki keyakinan dan moral yang sempurna,
Akan memperoleh nama baik, kekayaan, dan kehormatan di manapun ia
berada.
(Dhammapada, 303)

Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan sesuatu yang sangat
pribadi bagi manusia. Namun secara konseptual, sadha adalah suatu bentuk
keyakinan dalam ajaran Buddha yang diawali dengan
penyelidikan/penelitian atau “datang dan melihat” (ehipassiko) agar tidak
mengarah pada keyakinan buta.Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa tidak sama dengan kepercayaan terhadap keberadaan Amerika atau
kepercayaan terhadap bumi yang bulat.Keyakinan ini tidak mengubah sikap
atau perilaku kita dalam kehidupan sehari-hari.Namun keimanan kepada
Tuhan Yang Maha Esa mempengaruhi sikap atau perilaku seseorang sehari-
hari dalam bentuk pengabdian (attasanniyyana).

Untuk Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Buddha kita menemukan sabda
Buddha dalam Udana VIII,3 tercantum sebagai berikut: “Kalian tahu, para
bhikkhu, bahwa ada sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak terwujud, tidak
diciptakan, mutlak.Jika ia tidak dilahirkan, tidak terwujud, mutlak, maka
mustahil bagi kita untuk terbebas dari kelahiran, penjelmaan, penjelmaan,
dan kemunculan dari sebab-sebab masa lalu.Karena ada yang tidak
dilahirkan, tidak terwujud, tidak diciptakan dan mutlak, maka adalah
mungkin untuk terbebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan dan
kemunculan dari sebab-sebab masa lalu.

1.2. Keyakinan terhadap Tri Ratna / Tiratana


Keyakinan terhadap Tiratana/Triratna adalah keyakinan terhadap Buddha,
Dhamma, dan Sangha. Umat Buddha menjadikan Tiratana sebagai keyakinan
untuk mendorong diri mengakhiri penderitaan. Orang-orang beriman
kepada Buddha karena pengabdiannya dalam mengajarkan Dharma.
Seorang Buddhis yang mempunyai keyakinan terhadap Dharma, dengan
mengamalkan Dharma dalam hidup dan merealisasikannya, seseorang akan
mencapai kesucian, seseorang yang mencapai Kearahantaan, mengatasi usia
tua dan penyakit, penyakit, kematian dan memutus siklus reinkarnasi.Umat
Buddha percaya pada Sangha, karena berkat Sangha Dharma masih
terpelihara di dunia ini hingga saat ini. Tanpa Sangha, kita tidak dapat
mengetahui Dhamma yang dibabarkan oleh Buddha Gotama. Tisarana(tiga
perlindungan) merupakan ungkapan Saddha bagi umat Buddha.

1.3. Keyakinan terhadap adanya Boddhisatva, Arahat, dan Deva


Boddhisatva adalah calon Buddha atau seseorang yang bercita-cita dan
bertekad untuk menjadi Buddha. Buddha Sakyamuni Gotama sebelum
menjadi Buddha terlebih dahulu terlahir sebagai seorang Boddhisatva yang
harus menyempurnakan paramita atau sifat- sifat luhur.
Arahat adalah siswa Sang Buddha, karena ketekunan dan keyakinannya
melaksanakan ajaran Sang Buddha dalam kehidupan sehari-hari, berlatih
dalam sila, Samadhi, dan Panna, sehingga dapat mengatasi serta
melenyapkan semua kekotoran batin dan mencapai tingkat kesucian
tertinggi.
Dewa adalah makhluk yang hidup di di alam dewa/Surga, yang hidup dari
hasil ciptaannya sendiri berkat kekuatan karma baik atau kusala karma yang
dilakukan pada kehidupannya yang lampau maupun semasa di alam Dewa
1.4. Keyakinan terhadap Hukum Kesunyataan
Kasunyataan (Sacca) berarti apa yang sesungguhnya. Dalam bahasa
Sansekerta disebut Satya artinya fakta yang tidak dapat dibantah. Hukum
Kasunyataan berarti hukum abadi yang berlaku dimana-mana, mengatasi
waktu dan tempat serta keadaan. Ini berarti bahwa hukum Kasunyataan
bersifat kekal dan abadi sepanjang masa yang berlaku di semua tempat,
didalam semua keadaan di setiap waktu. Kasunyataan yang dibuat oleh
sesuatu yang kekal dan abadi yaitu Sanghyang Adi Budha.
Saddha terhadap hukum kesunyataan adalah kepercayaan akan adanya
hukum atau aturan dimana kita dapat merasakan adanya hukum yang
berlaku tidak bergantung tempat, waktu, keadaan, dan sasaran.
Sunyata/Suññata juga digunakan untuk mencirikan Yang Mutlak yang tidak
dapat dinyatakan dengan kata-kata manusia. Segala sesuatu yang hanya
dapat disadari oleh kemampuan luhur karena Pandangan Terang. Kenyataan
Mutlak, ialah yang berlaku dimana saja, dan kapan saja, tidak tergantung
pada waktu dan tempat. Kata suññata dan sunyata dipakai untuk mencirikan
Kenyataan Mutlak dan dalam bahasa Indonesia disebut kesunyataan.
Ada empat hukum Kesunyataan yaitu:
a. Cattari Ariya Saccani artinya Empat Kebenaran Mulia/ Empat Kesunyataan

Buddha menjelaskan “Pembebasan Diri dari Segala Derita” melalui


keempat faktor di dalamnya yaitu Dukkha seperti kelahiran, usia tua,
kesedihan, keinginan yang tidak tercapai, Sebab Dukkha ( Dukkha
Samudaya ) yaitu adanya nafsu keinginan, kehausan, kerinduan ( Tanha ),
Lenyapnya Dukkha ( Dukkha Nirodha ) seperti mengikuti jalan tengah dan
mencapai Nibbana dan Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha ( Dukkha
Nirodha Gaminipatipada ).

b. Kamma artinya Sebab-Akibat Perbuatan dan Punabbhava artinya


Kelahiran Kembali atau Tumimbal Lahir.

Kamma adalah suatu perwujudan dari perbuatan, baik berkehendak atau


tidak berkehendak melakukannya ataupun perbuatan baik atau jahat
yang kita lakukan. Setiap perbuatan yang kita lakukan pasti memiliki
akibatnya sehingga kamma ini juga bisa kita sebut sebagai Hukum Sebab
Akibat Perbuatan.
c. Tilakkhana artinya Tiga Corak Umum dan Pancakkhandha artinya Lima
Kelompok Kehidupan atau yang disebut manusia.
Tilakhana adalah tiga corak universal yang artinya berlaku dimana mana.

d. Paticca Samuppada artinya Pokok Permulaan Sebab-Akibat yang Saling


Bergantungan.

Pattica Samuppada adalah sebab akibat yang saling bergantungan. Pattica


Samuppada merupakan suatu ajaran tentang prosea kelahiran dan
kematian, sekaligus menguraikan sebab musabab tumimbal lahir dan
penderitaan.

1.5. Keyakinan terhadap Kitab Suci


Ajaran agama Buddha bersumber pada kitab Tipitaka yang merupakan
kumpulan khotbah, keterangan, perumpamaan, dan percakapan yang
pernah dilakukan Sang Buddha dengan para siswa dan pengikutnya. Dengan
demikian, isi kitab tersebut semuanya tidak hanya berasal dari kata-kata
Sang Buddha sendiri melainkan juga kata-kata dan komentar dari para
siswanya.
Oleh para siswanya sumber ajaran tersebut dipilih menjadi tiga kelompok
besar yang dikenal dengan 'pitaka(keranjang)' yaitu Sutra Pitaka atau Sutta
Pitaka, Vinaya Pitakka, dan Abbidhamma Pitaka.
 Sutta Pitaka
Sutta Pitaka berisi dharma atau ajaran Sang Buddha kepada para siswanya. Sutta
Pitaka juga memuat uraian uraian tentang cara hidup yang berguna bagi para
Bhikkhu dan siswa lainnya.
Sutta Pitaka terbagi menjadi 5 yaitu :
a. Digha Nikaya terdiri dari 34 sutta panjang dan terbagi menjadi tiga vagga :
Silakkhandhavagga , Mahavagga, dan Patikavagga.
b. Majjhimanikaya, merupakan buku kedua dari Sutta Pitaka yang memuat
tokoh- tokoh menengah. Buku ini terdiri dari tiga bagian (pannasa). Dua
pannasa pertama terdiri atas 50 sutta dan panassa terakhir terdiri dari 52
sutta.
c. Angutaranikaya, merupakan buku ketiga dari Sutta Pitaka yang terbagi atas
sebelas nipata ( bagian) dan meliputi 9557 sutta.
d. Samyuttanikaya, merupakan buku keempat dari Sutta Pitaka yang terdiri
atas 7762 sutta. Buku ini dibagi menjadi lima vagga utama dan 56 bagian yang
disebut Samyutta.
e. Khuddakanikaya, terdiri atas 15 kitab.

 Vinaya Pitaka
Vinaya Pitaka berisi hal hal yang berkaitan dengan peraturan bagi para Bhikkhu &
Bhikkhuni. Vinaya Pitaka terbagi menjadi 3 yaitu :
1. Sutta Vibhanga, berisi peraturan bagi para Bhikkhu dan bhikkhuni. Bhikkhuni
Vibhanga berisi peraturan serupa bagi para bhikkhuni, tetapi jumlahnya lebih
Banyak.
2. Khandhaka, terdiri atas Mahavagga dan Culavagga. Kitab Mahavagga berisi
Peraturan-peraturan dan uraian tentang upacara pentabhisan bhikkhu,
upacara Uposatha pada saat bulan purnama dan bulan baru dimana
dibacakan Patimokkha ( peraturan disiplin bagi para bhikkhu), peraturan
tentang tempat tinggal selama Musim hujan ( vassa), upacara pada akhir
vassa (pavarana), peraturan-peraturan Mengenai jubah Kathina setiap tahun,
peraturan-peraturan bagi bhikkhu yang Sakit, peraturan tentang tidur, tentang
bahan jubah, tata cara melaksanakan Sanghakamma ( upacara Sangha), dan
tata cara dalam hal terjadi perpecahan. Kitab Cullavagga berisi peraturan
untuk menangani pelanggaran-pelanggaran, tata Cara penerimaan kembali
seorang Bhikkhu kedalam Sangha setelah melakukan Pembersihan atas
pelanggarannya, tata cara untuk menangani masalah-masalah Yang timbul,
berbagai peraturan yang mengatur cara mandi, mengenakan jubah,
Menggunakan tempat tinggal, peralatan, tempat bermalam dan sebagainya,
Mengenai perpecahan kelompok-kelompok Bhikkhu, kewajiban guru (Acariya)
Dan calon bhikkhu ( samanera), pengucilan dari upacara pembacaan
patimokkha, Pentabishan dan bimbingan dari bhikkhuni, kisah mengenai
pasamuan agung Pertama di rajagaha, dan kisah mengenai pasamuan agung
kedua di vesali.
3. Kitab Parivara memuat ringkasan dan pengelompokan peraturan-peraturan
Vinaya, yang disusun dalam bentuk tanya jawab untuk dipergunakan dalam
Pengajaran dan ujian.

 Abidhamma Pitaka
Abidhamma Pitaka berisi filsafat Buddha Dhamma yang disusun secara analitis dan
mencakup berbagai bidang seperti jiwa, logika, dan metafisika. Abidhamma Pitaka
terbagi menjadi 7 yaitu :
1. Dhammasangani, terutama menguraikan etika dilihat dari sudut pandangan
ilmu Jiwa.
2. Vibhanga, menguraikan apa yang terdapat dalam buku Dhammasangani
dengan Metode yang berbeda. Buku ini terbagi menjadi delapan bab ( vibhanga),
dan Masing-masing bab mempunyai tiga bagian : Suttantabhajaniya,
Abidhannabhajaniya, dan Pnnapucchaka atau daftar pertanyaan-pertanyaan .
3. Dhatukatha, terutama membicarakan mengenai unsur-unsur batin.
4. Puggalapannati, menguraikan mengenai jenis-jenis watak manusia (puggala),
Yang dikelompokkan menurut urutan bernomor, dari kelompok satu sampai
Dengan sepuluh, seperti sistem dalam kitab Anguttara Nikaya
5. Kathavatthu, terdiri atas 23 bab
6. Yamaka, terbagi menjadi sepuluh bab ( yang disebut Yamaka)
7. Patthana, menerangkan berbagai “ sebab-sebab) yang berkenaan dengan 24
Paccaya ( hubungan-hubungan atara batin dan jasmani)

1.6. Keyakinan terhadap Nirvana/ Nibbana


Nirwana, menurut agama Buddha, adalah konsep keadaan yang rumit
dimana seseorang dapat terbebas dari penderitaan di dunia dan menyatu
dengan alam semesta. Kesadaran orang yang mencapai Nirwana dapat
meninggalkan siklus reinkarnasi dan berada secara rohani saja, meskipun
tanpa unsur kepribadian. Kata Nirwana secara harafiah berarti “padam”
atau “meniup,” namun ketika maknanya diterapkan pada hidup rohani
seseorang, menjadi jauh lebih rumit. Nirwana dapat merujuk kepada
tindakan pemadaman – baik secara perlahan atau secara cepat (seperti
meniup sebuah lilin). Tujuan akhir agama Buddha adalah Nirwana, ketika
segala keinginan “dipadamkan”, dan keadaan orang diubahkan. Bayangkan
sebuah lilin yang menyala, kemudian dipadamkan. Tenaganya tidak
dihancurkan, melainkan berubah menjadi jenis tenaga yang lain. Ilustrasi
sederhana ini menggambarkan apa yang terjadi ketika seorang mencapai
Nirwana.

Bagaimana caranya untuk mencapai Nibbana?


Dengan melaksanakan delapan faktor jalan utama, yaitu pengertian benar
(Samma-ditthi), pikiran benar (Samma-sankappa). ucapan benar (Samma-
vaca), perbuatan benar (Samma-kammanta), penghidupan benar ( Samma-
avijja), usaha benar (Samma-vayama), perhatian benar (Samma-sati),
konsentrasi benar ( samma-samadhi)

2.Puja ( Bakti, Ketaqwaan)


Puja menjadi aktivitas keagamaan rutin dikalangan umat Buddha. Puja memiliki
arti menghormat terhadap obyek tertentu. Laku puja ini sudah dilakukan oleh
para siswa Buddha sejak masa kehidupan Buddha hingga saat ini. Laku puja
sudah menjadi budaya dan biasanya dipraktikkan dimanapun dan kapanpun
oleh umat Buddha ketika bertemu dengan sesama umat Buddha, saat di vihara,
candi, dan obyek pemujaan lainnya.
Puja bakti merupakan satu kegiatan umum yang dilakukan oleh umat Buddha
sebagai sarana untuk memberikan penghormatan tertinggi kepada Tiratana :
Buddha, Dhamma, Sangha.

2.1. Amisa Puja dan Patipati Puja


a. Amisa puja

Secara harfiah berarti pemujaan dengan persembahan. Kitab Mangalattha-


dipani menguraikan empat hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan
Amisa Puja ini, yaitu:
a. Sakkara: memberikan persembahan materi
b. Garukara: menaruh kasih serta bakti terhadap nilai-nilai luhur
c. Manana: memperlihatkan rasa percaya/yakin
d. Vandana: menguncarkan ungkapan atau kata persanjungan.

Selain itu, ada tiga hal lagi yang juga harus diperhatikan agar Amisa Puja
dapat diterapkan dengan sebaik-baiknya. Ketiga hal tersebut yaitu :
a. Vatthu sampada: kesempurnaan materi
b. Cetana sampada: kesempurnaan dalam kehendak
c. Dakkhineyya sampada : kesempurnaan dalam obyek pemujaa

b. Patipati puja

Patipati Puja adalah pemujaan dengan pelaksanaan. Sering juga disebut


sebagai Dhammapuja.
Menurut Kitab Paramatthajotika, yang dimaksud “pelaksanaan” dalam hal ini
adalah :
a. Berlindung pada Tisarana (Tiga Perlindungan), yakni Buddha, Dhamma, dan
Ariya Sangha
b. Bertekad untuk melaksanakan Panca Sila Buddhis (Lima Kemoralan) yakni
pantangan untuk membunuh, mencuri, berbuat asusila, berkata yang tidak
benar, mengkonsumsi makanan/minuman yang melemahkan kewaspadaan
c. Bertekad melaksanakan Atthanga Sila (Delapan Sila) pada hari-hari
Uposatha.
d. Berusaha menjalankan Parisuddhi Sila (Kemurnian Sila), yaitu:
– Pengendalian diri dalam tata tertib (Patimokha-samvara)
–Pengendalian enam indera (Indriya-samvara)
– Mencari nafkah hidup secara benar (Ajiva-parisuddhi)
– Pemenuhan kebutuhan hidup yang layak (Paccaya-sanissita)

2.2.sarana puja

Sarana Puja ada banyak sekali, antara lain :

2.2.1 Paritta, Sutera, Dharani, dan mantra.

Paritta pada dasarnya berarti perlindungan.


Perlindungan ini diperoleh dengan membaca atau mendengarkan Paritta
Sutta (khotbah Sang Buddha).
Melafalkan Paritta membawa kedamaian batin bagi mereka yang
mendengarkan dan meyakini kebenaran sabda Sang Buddha, serta
membuat pikiran bahagia sehingga mampu mengatasi rasa takut.
Umat Buddha percaya bahwa Paritta adalah kekuatan yang dahsyat dan
dapat digunakan kapan saja.
Pelafalan berpasangan gagal karena tiga alasan: penyumbatan kamma,
pencegahan kekotoran batin, dan kurangnya keyakinan.

2.2.2 VIHARA
Vihara adalah tempat untuk melaksanakan puja disertai sarana yang
lengkap dan memiliki fungsi tersendiri
a. Uposathagara juga bisa disebut Sima adalah tempat
perkumpulan para Bhikkhu untuk melaksanakan kegiatan
Sangha yaitu “Sanghakamma” dan juga merupakan bangunan
untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan
penerangan vinaya misalnya upacara penahbisan seseorang
menjadi Bhikkhu, pembacaan aturan kebhikkhuan dan
rehabilitasi kesalahan sedang dari para Bhikkhu
b. Dhammasala adalah tempat untuk melaksanakan puja bakti
yaitu membaca paritta, melakukan meditasi, pembabaran
dharma dan lain sebagainya
c. Kuti adalah tempat tinggal para bhikkhu, bhikkhuni serta
samanera dan samaneri
d. Perpustakaan adalah tempat koleksi buku agama Buddha dan
bacaan umum serta audio CD dan DVD
e. Pohon Bodhi, ada beberapa vihara yang memiliki pohon bodhi
guna mengingat para umat Buddha akan pencapaian
penerangan sempurna oleh Sang Buddha

2.2.3 Cetya atau Altar


Cetya adalah tempat untuk meletakkan lambang-lambang kesucian dan
kebjaksanaan Buddha, misalnya Buddha rupang yang menyinbolkan nilai-
nilai luhur Sang Buddha, lilin menyimbolkan penerangan yang diajarkan
oleh Sang Buddha, dupa melambangkan nama harum dari orang yang
memiliki sila, bunga melambangkan ketidakkekalan, air melambangkan
pembersihan dari segala kekotoran, buah melambangkan perwujudan
rasa hormat kepada Sang Buddha.

2.2.4 Stupa
Stupa adalah tempat untuk menyimpan relik Buddha, para Arahat siswa
Buddha. Sikap fisik dalam melaksanakan puja biasanya adalah dengan ber-
anjali ( merangkapkan kedua tangan di depan dada), namakara (bersujud
tiga kali dengan lima titik menyentuh lantai) ataupun padakhina (tangan
beranjali, berjalan mengelilingi obyek penghormatan dari kiri ke kanan,
dilakukan tiga kali dengan pikiran tertuju pada Tiratana.
2.3 Hari Raya Agama Buddha
Dalam kitab suci Tipitaka diuraikan mengenai empat hari suci agama Buddha,
yaitu:
2.3.1 Magha Puja
Magha Puja adalah hari suci agama Buddha yang memperingati 4
peristiwa penting yaitu berkumpulnya 1250 Bhikkhu tanpa
pemberitahuan, semuanya telah mencapai Arahat, memiliki enam
abhinna dan ditahbiskan oleh Sang Buddha dengan “Ehi Bhikkhu”
Peristiwa ini dinamakan Caturangga-sannipata, yang berarti pertemuan
besar para Arahat yang diberkahi dengan 4 faktor seperti diatas. Peristiwa
penting ini hanya terjadi satu kali dalam kehidupan Sang Buddha Gotama
yaitu pada saat purnama penuh di bulan Magha ( Februari), tahun 587 SM
(9 bulan setelah Sang Buddha mencapai Bodhi).
2.3.2 Waisak
Waisak memperingati 3 peristiwa penting pada Buddha Gotama, yaitu:
1. Pangeran Sidharta lahir di taman Lumbini tahun 623 SM
2. Pertapa Gotama mencapai bodhi atau penerangan sempurna di Bodhi
Gaya pada usia 35 tahun.
3. Buddha Gotama mencapai Parinibbana (mangkat) di Kusinara pada usia
80 tahun. Peristiwa suci waisak mengajak umat Buddha untuk
merenungkan dan menghayati kembali perjuangan hidup Buddha Gotama.
2.3.3 Asadha
Peristiwa Asadha merupakan peristiwa yang mempunyai arti penting,
bahkan mempunyai nilai keramat bagi kemanusiaan. Sebab, dengan
terjadinya peristiwa Asadha itulah, maka sampai saat ini umat Buddha
masih dapat mengenal Buddha Dhamma yang merupakan rahasia hidup
dan kehidupan ini.
Hari suci Asadha memperingati tiga peristiwa penting, yaitu:
1. Khotbah pertama Sang Buddha kepada lima orang pertapa di Taman
Rusa
Isipatana
2. Terbentuknya Sangha Bhikkhu yang pertama
3. Lengkapnya Tiratana/Triratna

2.3.4 Kathina
Kathina adalah hari suci agama Buddha yang dirayakan pada akhir masa
vassa dan disini juga sekaligus waktu bagi para umat Buddha untuk
berdana kepada para Bhikhhu sebagai tanda rasa syukur. Para Bhikkhu
hanya mempunyai 4 kebutuhan pokok yaitu Civara ( Jubah ), Pindapata
( Makanan ), Senasana ( Tempat Tinggal ), Gilanapaccayabhesajja ( Obat-
Obatan )

Dari keempat hari suci tersebut, hanya hari suci waisak yang telah
ditetapkan sebagai hari libur nasional di Negara Indonesia oleh
Pemerintah dengan keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 3
tahun 1983. Hari suci Waisak mulai menjadi hari libur nasional sejak
waisak 2527 yang jatuh pada tanggal 27 Mei 1983.

2.3.5 Hari Raya Buddhis Mahayana


1. Upacara hari lahirnya Pangeran Sidharta yang jatuh pada tanggal 8
bulan penanggalan lunar, biasanya pada hari tersebut diadakan puja
bakt pencurahan air bunga pada rupang bayi pangeran sidharta
2. Hari-hari besar agama Buddha dan Bodhisatva lainnya diantaranya hari
bhaisaja guru Buddha ( akhir bulan 9 penanggalan lunar)
3. Amitabha Buddha ( tanggal 17 bulan 11 penanggalan lunar)
4. Maitreya Bodhisatva ( tanggal 1 bulan I penanggalan lunar bertepatan
dengan tahun baru imlek)
5. Avalokitesvara Bodhisatva (tanggal 19 bulan 2,6,9 penanggalan lunar)
6. Mahastmaprapta Bodhisatva (tanggal 3 bulan 7 penanggalan lunar)
7. Ksitigarbha Bodhissatva ( akhir bulan 7 penanggalan lunar)
8. Hari Ulambana
3. Buddha, Bodhisatva, dan Arahat
Buddha adalah orang yang mencapai kesadaran sempurna (kesucian
tertinggi) dengan usahanya sendiri, lalu mengajarkan Dhamma ajarannya
kepada semua umat manusia.
Dalam khuddhaka nikaya, Buddha diartikan sebagai berikut:
- Dia Sang Penentu (Bujjhita) kebenaran
- Ia yang telah mencapai penerangan sempurna
- Ia yang memberikan penerangan (Bodhita) dari generasi ke generasi
- la yang telah mencapai kesempurnaan melalui penembusan, sempurna
penglihatannya, mencapai kesempurnaan tanpa bantuan apapun.
Buddha terbagi menjadi tiga, yaitu:
1. Samma Sambuddha, orang yang berusaha hingga mencapai penerangan
sempurna (Bodhi), mampu mengajarkan Dhamma kepada makhluk lain
sehingga mereka pun dapat mencapai penerangan sempurna.
2. Pacekka Buddha, nama yang diberikan kepada seseorang yang telah
mencapai penerangan sempurna, tetapi tidak dapat mengajari orang lain.
3. Savaka Buddha, tingkat kesucian bagi seseorang yang telah mencapai
penerangan sempurna setelah belajar dari Samma Sambuddha.

Boddhisatva adalah orang yang bertekad untuk menjadi Buddha.Boddhisatva


digolongkan menjadi tiga kelompok:
1. Pannadhika Bodhisatva, calon samma sambuddha yang memiliki panna yang
kuat.
2. Saddhadhika Bodhisatva, calon samma sambuddha yang memiliki saddha
yang kuat.
3. Viriyadhika Bodhisatva, calon samma sambuddha yang memiliki viriya
(semangat) yang kuat.
Arahat adalah orang yang telah mencapai kesucian batin tertinggi mengikuti
ajaran Buddha.
Terdapat empat macam arahat yaitu :
1. Sukkhavipassako, yaitu arahat yang memiliki pandangan terang saja.
2. Tevijjo, yaitu arahat yang selain mencapai kesucian batin, juga memiliki
tiga macam kemampuan batin.
3. Chalabhinno, yaitu arahat yang memiliki enam kemampuan batin.
4. Patisambhidappato, yaitu arahat yang memiliki empat macam
kemampuan batin.

4.PancaNiyama(Lima Hukum Alam)


Salah satu pandangan keliru mengenai hukum kamma adalah menganggap
hukum kamma merupakan satu-satunya hukum yang mengatur kehidupan
manusia dan menganggap hasilnya (vipaika) sebagai nasib atau takdir yang
tidak bisa diubah, sehingga seseorang hanya bisa (pasrah menerima hasil dari
Bamma (amma vipaka). Tetapi kenyataannya tidaklah Demikian.
Dalam Abhidhamma Vatura 54, dan Digha Nikaya Atthakatha II-432
menjelaskan bahwa Hukum Kamma sendiri hanya merupakan satu dari 24
sebab (paccaya 24) atau salah satu dari Panca Niyama (Lima Hukum) yang
bekerja di alam Semesta ini, masing-masing hukum alam ini memiliki sifat-
sifatnya sendiri dan tidak diatur oleh suatu kekuatan sosok makhluk Adikuasa
manapun.

Menurut agama Buddha, semua fenomena di alam semesta ini bekerja


menurut salah satu dasar dari ima Hukum Alam (Panca Miyama Dhamma),
Hukum alam semesta inilah yang mengatur segala gejala, proses, alttivitas,
sebab-akibat batin dan jasmani (fisik) yang ada dialam semesta itu sendiri.
Hukum ini tidak bisa diraba, dilihat, didengar dan dicium keberadaannya,
namun bisa diketahui dan dipelajari cara kerjanya dari gejala-gejala yang
muncul secara fisik maupun batin. Hukum alam ini terdiri atas:
4.1 Utu Niyama
Hukum ini merupakan hukum kepastian atau keteraturan musim. Hukum ini
mengatur kepastian pergantian musim dan perubahan-perubahan temperatur
di alam semesta. Hukum ini juga mengatur energi seperti terjadinya kilat dan
petir, mengatur semua benda-benda sesuai dengan hukum fisika, kimia, dll
4.1.1 Alam semesta
Menurut pandangan Buddhis, alam semesta sangatlah luas. Dalam alam
semesta terdapat banyak tata surya. Hal ini diterangkan Sang Buddha
sebagai jawaban atas pertanyaan Bhikkhu Ananda, sebagai berikut:
"Ananda apakah kau pernah mendengar tentang Sahassi
Culanikalokadhatu (Seribu Tata Surya Kecil)?

Di dalam seribu tata surya terdapat seribu matahari, seribu bulan, seribu
gunung Sineru, seribu Jambudipa, seribu Aparagoyana, seribu
Uttarakuru, seribu Pubbavideha, empat ribu maha samudera, empat ribu
maharaja (manusia), seribu Tusita, seribu Nimmanarati, seribu
Paranimmitavassavatti dan seribu alam Brahma. Ananda inilah yang
dinamakan Sahassi Culanikalokadhatu. Ananda, seribu kali Sahassi
Culanikalokadhatu dinamakan Dvisahassi Majjhimalokadhatu. Seribu
Dvisahassi Majjhimalokadhatu dinamakan Tisahassi Mahasahassi
lokadhatu. Dan bila Tathagata mau, maka ia dapat memperdengarkn
suaranya sampai terdengar di Tisahassi Mahasahassi lokadhatu ataupun
melebihi itu lagi." (Ananda Vagga, Anguttara Nikaya)

4.1.2 Kejadian Bumi dan Manusia

Kejadian bumi dan manusia menurut pandangan buddhis adalah


berlangsung dalam proses yang sangat lama sekali. Proses kejadian ini
merupakan suatu proses evolusi. tetapi bukan teori evolusi dari Darwin.

Kejadian bumi disebutkan secara singkat dalam Mahaparinibbana Sutta,


yaitu: "Bumi yang luas ini terbentuk dari zat cair, zat cair terbentuk dari
udara, dan udara ada di angkasa."
Kejadian manusia diuraikan secara singkat kutipan dari Aganna Sutta
yang merupakan percakapan Sang Buddha dengan Vasettha, sebagai
berikut:

Vasettha, terdapat suatu saat, cepat atau lambat, setelah suatu masa
yang lama sekali. ketika dunia ini hancur. Dan ketika hal ini terjadi,
umumnya makhluk-makhluk terlahir kembali di Abhassara (alam cahaya);
disana mereka hidup dari ciptaan batin (mano maya), diliputi
kegiuran,memiliki tubuh yang bercahaya, melayang-layang di angkasa,
hidup dalam kemegahan. Mereka hidup demikian dalam masa yang lama
sekali.

Pada waktu itu bumi kita ini semuanya terdiri dari air, gelap gulita. Tidak
ada matahari atau bulan yang nampak, tidak ada bintang-bintang
maupun konstelasi-konstelasi yang kelihatan, siang dan malam belum
ada, laki-laki dan perempuan belum ada. Makhluk- makhluk hanya
dikenal sebagai makhluk-makhluk saja. Vasettha, cepat atau lambat
setelah suatu masa yang lama sekali bagi makhluk-makhluk tersebut,
tanah dan sarinya muncul keluar dari dalam air.

Sama seperti bentuk buih(busa) di permukaan nasi susu masak yang


mendingin. demikianlah munculnya tanah itu. Tanah itu memiliki warna,
bau, dan rasa. Sama seperti dadi susu/ mentega murni, demikianlah
warna tanah itu;sama seperti madu tawon murni, demikianlah manis
tanah itu. Kemudian vasettha, diantara makhluk- makhluk yang memiliki
sifat serakah(lolajatiko) berkata: "O,apakah ini? dan mencicipi sari tanah
itu dengan jarinya.

Dengan mencicipinya, maka ia diliputi oleh sari itu, dan nafsu keinginan
masuk ke dalam dirinya. Makhluk-makhluk lainnya mengikuti contoh
perbuatannya, mencicipi sari-sari tanah itu dengan jari, makhluk-
makhluk mulai makan sari tanah, memecahkan gumpalan sari tanah
tersebut dengan tangan mereka.

Dan dengan melakukan hal ini, maka cahaya dalam tubuh makhluk-
makhluk itu lenyap. Dengan lenyapnya cahaya tubuh mereka, maka
matahari, bulan, bintang-bintang dan
konstelasi-konstelasi nampak, siang dan malam terjadi. Demikianlah
vasettha, sejauh bumi terbentuk kembali.

4.1.3 Kehancuran Bumi

Kehancuran bumi kita berlangsung karena dipengaruhi oleh ulah


manusia, juga oleh hukum universal (Dhammaniyama) itu sendiri. Bumi
kita hancur karena terjadi ketidak teraturan sistem rotasi orbit tata surya
sehingga terjadi persilangan orbit dengan sistem beberapa tata surya
yang lain.

sebagai berikut: Para bhikkhu, bentuk apapun tidak kekal, goyah, dan
tidak tetap. Akan tiba suatu masa setelah bertahun-tahun atau ratusan
tahun, tidak ada hujan. Kalau tidak ada hujan, maka semua bibit
tanaman, pohon-pohon besar di hutan menjadi layu, kering. dan mati.

Selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama,
matahari kedua muncul, maka semua sungai kecil dan danau kecil surut,
kering dan tiada. Selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu akhir masa
yang lama, matahari ketiga muncul, maka semua sungai besar seperti
Gangga dan Yamuna surut, kering dan tiada.

Dalam Anguttara Nikaya, Sang Buddha menjelaskan tentang hancurnya


bumi kita ini. raja gunung-gunung mengeluarkan, memuntahkan, dan
menyemburkan asap.

Selanjutnya matahari keempat muncul, maka semua danau besar


menjadi surut dan kering. Selanjutnya matahari kelima muncul, maka air
maha samudera sampai sedalam mata

kaki. Selanjutnya matahari keenam muncul, maka bumi ini dengan


Gunung Sineru sebagai

Para Bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir
masa yang lama, matahari ketujuh muncul, maka bumi ini dengan
Gunung Sineru terbakar, menyala berkobar-kobar dan menjadi sebuah
bola api yang berpijar, akibatnya bumi hangus total tanpa ada bara
maupun debu yang tersisa, bagaikan mentega atau minyak yang terbakar
hangus tanpa sisa. (Sattakanipata, Anguttara Nikaya)

4.2 Bija Niyama


Hukum ini merupakan hukum kepastian atau keteraturan biji. Hukum ini
mengatur tentang botani dan biologi. Hukum ini mengatur kehidupan tumbuh-
tumbuhan, yaitu biji-biji tertentu akan menghasilkan tanaman atau buah
tertentu; buah-buah tertentu memiliki citarasa tertentu dan lain-lain.
Contoh lainnya adalah perkembangan hewan atau tumbuhan, mutasi gen
manusia, pembuahan, pertumbuhan biji menjadi tumbuhan, pembentukan
janin, pertumbuhan sel, dan sebagainya.
4.3 Kamma Niyama
Hukum ini merupakan hukum kepastian atau keteraturan perbuatan (karma).
Hukum ini memastikan bahwa kamma baik akan menghasilkan kebahagiaan,
sedangkan karma tidak baik akan menghasilkan penderitaan.
Perbuatan bisa dilakukan melalui pikiran, ucapan, dan tindakan. Hukum karma
mengatur semua sebab yang dihasilkan oleh perbuatan akan memberikan
akibat atau hasil dari perbuatan yang dilakukan.
Misal: Musim virus corona, seseorang tidak mneghiraukan peringatan
pemerintah, sehingga masih berkumpul ramai-ramai, dari perbuatan tersebut
akhirnya mendapatkan hasil terjangkit virus corona.
4.4 Citta Niyama
Hukum ini merupakan hukum kepastian atau keteraturan kesadaran. Hukum ini
mengatur kepastian kemunculan dan kelenyapan kesadaran (citta). Hukum ini
mengatur tentang kekuatan energi dari pikiran, dan juga mengatur kekuatan-
kekuatan chi (tenaga supranatural).
4.5 Dhamma Niyama
Hukum ini merupakan hukum kepastian atau keteraturan fenomena (dharma).
Hukum ini mengatur fenomena-fenomena lain yang tidak termasuk di empat
hukum di atas.
Contohnya kejadian bumi bergetar saat Bodhisattva Gautama lahir, turunnya
hujan panas dan dingin untuk memandikan Bodhisattva Gautama ketika
terlahir di dunia, dan munculnya gempa bumi yang dahsyat ketika Sang Buddha
mengambil keputusan untuk memasuki nibbna.

5. Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Ajaran Buddha


Agama Buddha bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa dicapai bukan melalui proses evolusi atau penalaran,
melainkan melalui penerangan sempurna. Dalam agama Buddha terdapat
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa memungkinkan manusia untuk
bebas dari lingkaran samsara ( lingkaran kelahiran yang berulang-ulang); dan
Tuhan Yang Maha Esa merupakan perlindungan sampai tercapainya
pembebasan mutlak (Nibbana).

5.1 Lokuttara dan Ariya

Ketuhanan Yang Maha Esa diterima dalam agama Buddha dan tergolong
dalam bidang Lokuttara, mengatasi semua alam dan tidak terbatas, yang
tidak mungkin dilukiskan dengan bahasa manusia yang terbatas.

Untuk menyelami kitab Udana VIII, 3, seseorang harus mengembangkan


pengertiannya, pegertian dunia(lokiya) sampai pengertian yang
mengatasi keduniawian (lokuttara). Ariya Puggala berarti orang suci.

5.2 Kitab Udana VIII.3


Keesaan Tuhan diistilahkan dengan Atthi Ajatam Abhutam Akatam
Asamkhatam dengan arti sesuatu yang tak dilahirkan, tak dijelmakan, tak
diciptakan, dan bersifat Maha Mutlak. Keesaan Tuhan dalam agama
Buddha lebih ditekankan pada konsep Impersonal Good
atau dalam agama Hindi lebih dikenal dengan Brahma Nirguna. Dia yang
dilukiskan sebagai Annata, sesuatu yang berwujud tanpa sosok dan tidak
bisa dibandingkan atau disamakan dengan sesuatu apa pun. Dia yang
ada di mana-mana dan tidak ke mana-mana.

6. Samadhi, sebagai landasan dalam memahami dan mengerti


Ketuhanan Yang Maha Esa
Samādhi bala adalah salah satu kekuatan yang patut dimiliki setiap orang.
Kekuatan konsentrasi / keteguhan pikiran memiliki keterkaitan dengan meditasi
(samādhi).
Di tengah sangat liarnya pikiran yang sedemikian cepatnya berproses tanpa
dapat disadari oleh pemikiran biasa, maka pengamatan terhadap pikiran
menjadi bagian penting dalam ajaran Buddha. Jika selama ini pikiran yang
mengendalikan kehidupan kita, maka sudah saatnya kita dapat mengendalikan
pikiran. Hanya dengan melatih konsentrasi melalui meditasi, kita dapat
mengendalikan pikiran sendiri.

6.1 Bhavana
adalah sinonim dengan bhavana, yang berarti pengembangan batin.
Bhavana terdiri dari dua macam, yaitu Samatha Bhavana dan Vipassana
Bhavana.

6.1.1 Vipassana Bhavana


adalah meditasi pandangan terang, yang dilakukan dengan
mengembangkan pengertian sempurna mengenai sebuah objek,
dan biasanya dimulai dengan Kayanupassana satipatthana atau
perhatian saksama pada jasmani,dst hinga mencapai kesucian batin.

6.1.2 Samatha Bhavana


adalah meditasi ketenangan batin, yang berarti pengembangan, yaitu
pengembangan batin dalam melaksanakan pembersihannya. Istilah lain
yang arti dan pemakaiannya hampir sama dengan bhavana adalah
samadhi. Samadhi berarti pemusatan pikiran pada suatu obyek.

6.2 Nivarana, Jhana, Abinna Nivarana


adalah gangguan yang bersifat batin yaitu rintangan atau kekotoran batin
yang menghalangi pikiran untuk mencapai pemusatan pikiran. Rintangan
ini berasal dari dalam diri kita sendiri.

Nivarana : gangguan yang bersifat batin, rintangan atau kekotoran batin


yang menghalangi pikiran untuk men
capai pemusatan pikiran. Nivarana ada 5 yaitu :
A. Nafsu indriawi ( kamacchanda )
B. Kehendak jahat ( vyapada )
C. Kelambanan & Kemalasan ( thina middha )
D. Keresahan & Kekhawatiran ( uddhacca kukkucca )
E. Keraguan ( vicikiccha )
Nivarana dapat diatasi dengan pencapaian jhana jhana, dengan
munculnya jhana maka nivarana dapat diendapkan, nivarana tidak
akan muncul jika kita berada dalam kondisi pemusatan pikiran yang
kuat
Jhana adalah kondisi batin yang terpusat yang ditemui dalam meditasi,
bisa juga diartikan sebagai kesadaran atau pikiran yang memusat dan
melekat kuat pada obyek kammathana atau meditasi. Jhana terdapat 2
macam yaitu
- Rupa Jhana : Jhana yang diperoleh dari obyek yang berbentuk
- Arupa Jhana : Jhana yang diperoleh dari obyek tanpa bentuk
Masing masing memiliki 4 tingkatan
Terdapat 5 Faktor untuk mencapai Jhana, antara lain
1. Vitakka : usaha pikiran untuk menangkap objek
2. Vicara : pikiran yang telah menangkap objek
3. Piti : kegiuran atau kenikmatan
4. Sukkha : kebahagiaan
5. Upekkha : keseimbangan batin
Abhinna adalah kemampuan batin luar biasa yang dilakukan oleh
mereka yang berhasil dalam meditasi pada kehidupan sekarang
maupun pada kehidupam lampau. Abhinna akan muncul jika telah
mencapai Jhana tingkat 4
Terdapat 2 macam abhinna yaitu :
1. Lokiya Abhinna

2. Lokuttara Abhinna

6.3 Visuddhi dan Samyojana


Visudhi adalah sarana menyatakan tekad untuk berlindung dan
menjalankan ajaran Buddha, Dhamma, dan Sangha.
Tujuan mengikuti visudhi adalah untuk memperkuat keyakinan kita
terhadap Triratna.
Dalam agama Buddha, sebuah belenggu, rantai atau ikatan
(Pāli: samyojana, saŋyojana, saññojana) jiwa, mengikat mahluk hidup
kepada saṃsāra, lingkaran kehidupan beserta dengan dukkha. Dengan
memutuskan seluruh belenggu, seseorang mencapai nibbāna

10 halang menyebabkan makhluk berputar dalam samsara, antara lain :


1. Pandangan sesat tentang adanya pribadi, jiwa atau aku yang kekal
(sakkaya-ditthi).

2. Keragu-raguan yang skeptis pada Buddha, Dhamma, Sangha, dan


tentang kehidupan yang lampau dan kehidupan yang akan datang, juga
tentang hukum sebab akibat (vicikicchã).

3. Kemelekatan pada suatu kepercayaan bahwa hanya dengan


melaksanakan aturan-aturan dan upacara keagamaan seseorang dapat
mencapai kebebasan (silabbata-parãmãsa).

4. Nafsu indriya (kãma-rãga).

5. Dendam atau dengki (vyãpãda).

6. Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam bentuk (rüpa-rãga).


Alam bentuk (rüpa-rãga) dicapai oleh seseorang apabila ia meninggal
sewaktu dalam keadaan samadhi dan telah mencapai Jhãna I, Jhãna II,
Jhãna III atau Jhãna IV .

7. Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam tanpa bentuk (arüpa-


rãga). Alam tanpa bentuk (arüpa-rãga) dicapai oleh seseorang apabila ia
meninggal sewaktu dalam keadaan samadhi dan telah mencapai Arüpa
Jhãna I, Arüpa Jhãna II, Arüpa Jhãna III atau Arüpa Jhãna IV (lihat TABEL).

8. Perasaan untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain (mãna).


9. Kegelisahan (uddhacca). Suatu kondisi batin yang haus sekali karena
yang bersangkutan belum mencapai tingkat kebebasan sempurna
(arahat).

10.Kebodohan atau ketidak-tahuan (avijjã).

6.4 Ariya Puggala


Ariya-puggala , (Pali: “orang mulia”) singkatan ariya , Sansekerta arya-
pudgala , dalam Buddhisme Theravada , seseorang yang
telah mencapai salah satu dari empat tingkat kesucian.

6.4.1 Sotapanna
Sotapanna diberikan kepada seseorang yang telah mendapatkan
pemahaman tentang Kesunyataan Luhur sampai pada suatu tahap
tertentu yang dimulai dengan pandangan aci sbg suatu landasan.
Sotapanna, orang suci yang paling banyak akan terlahir tujuh kali lagi.

Terdapat tiga macam Sotapanna, yaitu:

1. Ekabiji Sotapanna, adalah sotapanna yang terlahir kembali sekali lagi

2. Kolamkola Sotapanna, adalah sotapanna yang terlahir dua atau tiga


kali lagi

3. Sattakkhattuparana Sotapanna, adalah sotapanna yang terlahir tujuh


kali lagi.

6.4.2 Sakadagami

Sakadagami, orang suci yang paling banyak akan terlahir sekali lagi.

Sakadagami adalah tingkat selanjutnya dari Sotapanna, yang masih


memiliki belenggu akan nafsu indria dan dendam atau dengki, dan satu
tingkatan di bawah Anagami, yang sudah tidak lagi terbelenggu oleh
nafsu indria dan dendam atau dengki.
6.4.3 Anagami

Anagami (Pali: Anāgāmi, yang berarti "tidak pernah kembali") adalah


seseorang yang telah mencapai tingkat kesucian ketiga,
setelah Sotapanna dan sakadagami sebelum mencapai tingkatan Arahat.
Orang-orang yang telah menggapai tahap pencerahan ini akan terlahir
kembali di alam Suddhāvāsa ketika mereka telah wafat. Di alam
tersebutlah para anagami menggapai tingkat pencerahan terakhir
yaitu Arahat
Para anagami telah terbebas dari Lima Belenggu (Pañcorambhāgiyāni-
Samyojanāni), yaitu:

 Pandangan salah tentang aku atau diri (Sakkāya-diṭṭhi)


 Keragu-raguan (Vicikicchā)
 Kemelekatan terhadap peraturan dan ritual (Sīlabbata-parāmāsa-
diṭṭhi)
 Nafsu indrawi (Kāma-rāga)
 Dendam atau dengki (Vyāpāda)

6.4.4 Arahat

adalah siswa mulia yang telah menghancurkan semua belenggu batin,


dan kehidupannya ketika mencapai kearahatan adalah kelahirannya yang
terakhir, karena setelah meninggal dunia (parinibbana), maka tidak aka
nada kelahiran baginya dalam suatu alam kehidupan manapun.
terdapat 4 macam arahat, yaitu: sukhavisako,tevijjo.chalabhinno.dan
patisambhidapatto.

7. Konsep Keselamatan
7.1 Ortodoks, keselamatan sepenuhnya tergantung dari pengampunan
Ortodoks : segala kebahagiaan dan penderitaan yang terjadi atas
kehendak atau maunya Tuhan, dalam arti apapun yang dilakukan oleh
manusia tidak berarti, aktif atau pasif, Tuhanlah yang menentukannya
7.2 Heterodoks, keselamatan dapat terjadi sebab adanya pengampunan dan
usaha
Heterodoks : segala sesuatu memang ditentukan oleh Tuhan namum
manusia juga harus memiliki usaha agar tercapai keinginan manusia itu
sendiri
7.3 Independen, keselamatan sepenuhnya tergantung dari usaha manusia
Independen : Buddhisme, 100% kebahagiaan dan penderitaan berasal dari
dalam diri manusia itu sendiri

Anda mungkin juga menyukai