Anda di halaman 1dari 26

PERCAKAPAN KI AJAR DENGAN NI CANTRIK

TENTANG MANITIS

NI Cantrik : Adakah suatu hukum kehidupan yang bisa saya pegang? Saya pedomani?
Saya percayai?

Ki Ajar : Aku tidak tahu. Semua berpulang pada dirimu.

NI Cantrik: Saya masih belum sepenuhnya melihat adanya keteraturan, pun saya belum
sepenuhnya melihat ketidakteraturan. Yang saya lihat hanyalah kebetulan-kebetulan yang
tidak bisa saya pahami. Bagaimana bisa terjadi demikian? Mengapa bisa terjadi demikian?

Ki Ajar: Sama, aku pun demikian.

NI Cantrik: Dan semakin saya lihat, semakin saya tidak memahami, mengapa “kebetulan-
kebetulan” itu seolah tidak tepat datangnya, tidak sesuai kehadirannya.

Ki Ajar: Begitulah.

NI Cantrik: Saya cuma bisa meraba-raba.

Ki Ajar: Aku juga.

NI Cantrik: Beri saya pegangan.

Ki Ajar: Cuma kamu yang bisa memberi, untuk dirimu sendiri.

NI Cantrik: Beri saya pemicu dari Ki Ajar, dari apa yang Ki Ajar pedomani, dari segala
pengalaman Ki Ajar, supaya saya bisa bercermin.

Ki Ajar: Ya, memang hanya itu yang aku bisa. Selebihnya terserah padamu, apakah
kesadaranmu bisa melihat sesuatu yang sama atau setidaknya mirip-mirip dengan apa yang
dilihat kesadaranku. Maka, bukalah segala kacamata yang kamu pakai sekarang. Lihat apa
adanya, lihat apa yang bisa kamu lihat, selanjutnya, terserah.

Ada sepasang suami-istri, hidupnya kurang sejahtera. Ibarat lembu, mereka kelebihan
beban. Pedati yang mereka tarik terlampu banyak berisi muatan. Namun apa mau dikata,
kehidupan tidak memberi banyak pilihan, kehidupan memberikan banyak keterbatasan.
Keduanya bukan orang terpelajar, tidak bisa mendapatkan pekerjan yang layak. Namun
sekali lagi, apa mau dikata, Tuhan tidak memberikan banyak pilihan, Tuhan banyak
memberikan keterbatasan. Dan keterbatasan yang paling fatal bagi mereka adalah
kurangnya kecerdasan. “Mungkin hanya momongan yang bisa menghibur, sedikit
menghibur segala kesesakan mereka.” Begitu kecerdasan mereka yang terbatas berkata.
Dan Tuhan rupanya tahu akan hal itu. Sang istri mengandung. Betapa bahagianya mereka.
Demi mewujudkan rasa syukur kepada Tuhan, mereka mengadakan selamatan,
mengundang tetangga kanan dan kiri, walaupun segalanya harus dibiayai dengan uang
hasil berhutang. Sama-sama mereka menghaturkan rasa terima kasih kepada Tuhan. Para
tetangga terenyuh, dengan tulus mereka ikut berdoa syukur. Dan kelahiran sang momongan
pun tiba.

Tapi, apa mau dikata, ternyata sang bayi lahir tidak wajar, kepalanya besar. Menurut
dokter, bayi itu terkena hydrocepallus, butuh biaya besar untuk membuatnya sembuh.
Betapa ironisnya. Banyak pemuka agama yang menasihati agar mereka bersabar, itu adalah
ujian, hendaknya berserah diri, menerima dengan lapang dada kehendak Tuhan, karena
pasti akan ada hikmah di balik semua itu. Kalaupun tidak ada, pasti kelak di alam “sana”
mereka akan mendapat ganti rugi atas segala kepahitan yang mereka alami. Kelak, tidak
tahu kapan. Di belakang mereka banyak juga tetangga yang kasak-kusuk bahwa kehadiran
momongan yang bercacat tersebut azab dari Tuhan kepada kedua orangtuanya. Suami-istri
itu cuma bisa diam. Mereka bisa apa lagi? Walau dalam hati kecil mereka merasa Tuhan
telah mempermainkan mereka. Lengkap sudah ujian tersebut. Ah.

Saat aku mendengarnya, aku cuma bisa berucap: “Kalau Tuhan memang hendak menguji
atau mengazab, seyogianya jangan menimpakan penderitaan ujian atau azab itu pada bayi
yang masih polos tersebut. Berikan saja hydrocepallus atau penyakit yang lain pada salah
satu orangtuanya. Kasihan kalau seorang bayi sekadar untuk bahan ujian atau azab bagi
orangtuanya. Demi tujuan itu, sang bayi harus mengalami kesakitan semenjak kelahiran
pertamanya. Adilkah? Naif, sangat naiflah Dia yang membuat ujian tersebut.”

NI Cantrik: Kebetulan yang tidak tepat.

Ki Ajar: Sebaliknya, ada sepasang suami-istri yang mapan, berharap punya momongan.
Tuhan mengabulkan, bersyukurlah mereka. Menjelang kelahiran, sang bayi bercacat.
Sama, terkena hydrocepallus juga. Tapi karena mereka kaya, penyakit sang bayi bisa
ditangani dengan mudah, Tuhan Maha Adil bagi mereka. Tuhan telah menguji mereka dan
mereka telah lulus dari ujian-Nya.

NI Cantrik: Kebetulan yang tepat.


Ki Ajar: Banyak contoh lain selain kasus lahir-melahirkan. Ada seseorang yang lahir
cantik tapi kurang kecerdasannya. Karena penampilan fisiknya, ia gampang memperoleh
pekerjaan layak. “Ini anugerah,” katanya. Tapi namanya kurang cerdas, pekerjaannya
amburadul. Ujung-ujungnya ia hanya menjadi penghibur sang bos. Dari sanalah ia
mendapatkan penghasilan, bisa menghidupi keluarganya. Di rumah, ayah dan ibunya
sering kali memanjatkan doa syukur karena anaknya telah memperoleh pekerjaan mapan.
Dalam kondisi keluarga yang kekurangan, dengan banyak adik yang masih butuh biaya
pendidikan, ditambah kondisi ayahnya yang sakit-sakitan, keadaan itu benar-benar sebuah
anugerah dari Tuhan. Padahal di sana, sang anak tengah melakoni peran yang bisa
membuat kedua orangtuanya jantungan.

Ada yang berkilah melihat kasus ini: “Ah, itu karena si cantik tidak kuat godaan.” Padahal
si cantik bukan tipe gampang tergoda. Dari mana mereka tahu? Si cantik melakukannya
karena memang tidak ada pilihan lain. Hanya itu yang ada di depannya. Dan hanya itu yang
bisa membantu keluarganya. Ada juga yang berkomentar: “Kecantikan adalah anugerah,
tapi bisa menjadi petaka bagi yang tidak bisa menjaganya.” Ah, gampang memang mulut
berucap. Si cantik dalam dilema. “Ah, seandainya aku cantik sekaligus cerdas, tidak
bakalan aku terjerat kehidupan seperti ini. Seandainya tidak cerdas pun, tapi keluarga tidak
semenderita seperti sekarang, tidak bakalan juga aku terjerat keadaan seperti ini,” si cantik
mengeluh. Dan para pembela Tuhan pun tetap menghakimi: “Dasar kamu saja yang tidak
kuat iman!”

NI Cantrik: Kebetulan yang kacau.

Ki Ajar:Sedangkan di lain tempat, ada yang dilahirkan cerdas, tapi tidak beruntung, karena
fisiknya pas-pasan dan berpenyakit asma akut. Lahir dari keluarga tidak mampu pula.
Kecerdasannya sia-sia. Tak berguna. Tak ada yang mau memanfaatkan kecerdasannya
karena penyakitnya. Mutiara yang lahir ini seolah lahir sia-sia, tak berguna. Si cerdas
berdoa: “Ah, Tuhan, mengapa Kau beri aku kecerdasan bila tak berguna, sia-sia, tidak bisa
dimanfaatkan? Lebih baik jangan beri aku kecerdasan, biar aku tidak sekecewa ini. Lantas,
apa tujuan-Mu?”

Kecerdasannya sia-sia hingga akhir hayatnya. “Ujian,” kata orang. “Kesia-siaan yang akan
berbalas kelak di alam ‘sana’,” sebagian lagi berkata. Ada yang menghakimi lebih ekstrem
bahwa itu azab. Dan ada pula yang sekadar berceloteh bahwa itu memang nasibnya. Ah,
ya sudah.

NI Cantrik: Wah, kacau!


Ki Ajar: Bahkan ada yang lebih ekstrem. Ada seseorang yang lahir di keluarga kaya-raya.
Semenjak kecil terbiasa dengan kemewahan dan kemanjaan. Segala kebutuhannya
tercukupi. Mau apa-apa tinggal suruh pembantu. Sekolahnya selalu bonafide. Kuliah pun
di luar negeri. Lepas kuliah, pekerjaan sudah siap menanti, tinggal meneruskan bisnis
keluarga. Sampai tua ia sejahtera. Padahal kerjanya cuma nyantai-nyantai saja. Tapi
keberuntungan seolah tak mau berhenti menghampiri. Kata orang itu hoki. Tuhan sayang
kepadanya. Dengan segala kekayaannya, dia bisa berbuat “semau gue”, bisa meniduri
segala jenis wanita yang ia kehendaki, bisa punya banyak istri simpanan. Walaupun begitu,
kehormatan dan keberuntungan tetap saja menghampirinya. Ada yang iri berkasak-kusuk:
“Lihat saja nanti kalau mati, pasti masuk neraka! Sekarang cuma dimanja sementara oleh
Tuhan.” Ada yang agak halus, walau mengandung kedengkian: “Ah, kasihan, dia tidak
kuat godaan harta. Kalau aku yang mengalami, pasti tidak bakalan seperti itu. Kasihan,
neraka akan menantinya.” Yang mengiri doanya jelek semua.

NI Cantrik: Hehe.

Ki Ajar: Kebalikan dari contoh di atas, ada seseorang yang lahir dari keluarga miskin.
Semenjak kecil terbiasa dengan kekurangan, sehingga dia terpacu untuk rajin karena
tuntutan keadaan. Bila tidak rajin, mau makan apa? Sekolahnya pun kelas bawah, lulus
SMU sudah cukup bagus, tidak bisa kuliah karena keterbatasan. dia sangat rajin, tidak suka
bermalas-malasan. Toh keberuntungan juga selalu menjauh. Apa pun yang ia harapkan
lepas. Apa pun yang ia rencanakan matang-matang berantakan. Lelah juga akhirnya dia.
Semenjak kecil dia sudah sering mendapat ceramah agar jangan patah semangat, jangan
menyerah, sebab keberhasilan akan menantinya jika tekun, dan Tuhan selalu bersama
orang-orang yang sabar, semua akan indah pada waktunya. Toh ketika kehidupannya tetap
begitu-begitu juga, ia pun menjadi muak untuk mendengar celotehan semacam itu lagi. dia
mencari pegangan, bertanya ke sana-kemari, namun hanya jawaban klise yang didapai :
“Ujian, harus sabar.” dia protes, kurang sabar bagaimana lagi? Ada yang keras memberikan
jawaban: “Itu semua peringatan atas segala dosa-dosamu yang kamu lakukan walaupun
orang tidak tahu dosa apa dan kapan kamu melakukannya. Karena itu, perbaiki diri saja.”
Si rajin menggerutu: “Sok tahu.” Kalau memang semua yang dialaminya adalah hukuman,
lalu dosa apa yang ia lakukan? Di sana ada yang lebih hebat mengumbar maksiat, hidupnya
enjoy-enjoy saja!

Hati kecilnya berbisik: “Kalau memang aku telah berbuat dosa besar, kapan kulakukan?
Sebab penderitaan semacam ini sudah aku alami sejak aku mbrojol dari vagina Ibu. Lalu
kapan aku melakukan dosa itu? Apakah dosa turunan? Karena leluhurku mungkin pernah
memelihara tuyul? Seharusnya kalau penderitaanku akibat dosa-dosaku, harus ada rentang
waktu dari detik aku mbrojol sampai pada batas aku mengenal nikmatnya dosa; lalu ada
kesempatan untuk berbuat dosa dan kemudian hukuman bisa turun. Itu baru adil. Tapi
setahuku, sejak aku mbrojol aku sudah jadi terhukum sampai sekarang.”

Ada yang menasihati: “Jika kamu sabar, balasannya kelak di alam ‘sana’.” Waduh, kapan
itu? Apakah harus menunggu Kiamat? Wah, iya kalau ada alam “sana”, kalau tidak ada?
Yang memberikan nasihat pun belum pernah tahu keberadaan alam “sana” tersebut. Dan
kemudian aku dengar, orang ini menjadi atheis sampai sekarang.

NI Cantrik: Lucu juga dunia ini, ya. Dari semua kenaifan di atas, apa yang dapat kita lihat
dan simpulkan? Kekacauan? Ketidakteraturan?

Ki Ajar: Ketidakteraturan yang teratur.Sesungguhnya itulah yang terjadi.

NI Cantrik: Wah, kok bisa?

Ki Ajar: Ada “benang merah halus”yang menimbulkan semua kejadian itu. Ada
“sebab”, maka ada “akibat”.

NI Cantrik: Saya tidak melihat “sebab”. Saya hanya melihat “akibat”.

Ki Ajar: Semua kasus di atas harus ada “sebab” yang menjadi alasan kenapa ada
“akibat” demikian. Harus ada sebab suami-istri miskin atau kaya bisa hidup dalam
kemiskinannya atau kekayaannya. Harus ada sebab mengapa anak mereka lahir cacat dan
yang satu bisa disembuhkan dan yang satu tidak. Harus ada sebab mengapa si cantik yang
bodoh lahir di keluarga penuh beban seperti di atas. Harus ada sebab mengapa si anak orang
kaya bisa terus-menerus hoki sedangkan si rajin terus-menerus sial. Semua harus
ada sebabnya. Tanpa sebab, berarti dunia ini kacau-balau!

NI Cantrik: Mereka menuai “akibat” dari apa yang mereka lakukan, begitu?

Ki Ajar: Seharusnya demikian dan memang harus demikian.

NI Cantrik: Wah, kalau begitu, benar protes si rajin yang menggerutu bahwa seharusnya
kalau memang semua penderitannya, kesialannya, adalah tuaian dari “sebab” sebelumnya,
maka harus ada rentang waktu yang cukup untuk menanam “bibit penyebab”itu. Padahal
banyak contoh kasus mereka memang sudah lahir seperti itu. Lantas, rentang waktu mereka
menanam “bibit penyebab”kapan?

Ki Ajar: Berarti harus ada rentang waktu lain di mana seharusnya mereka punya
kesempatan menanam “bibit penyebab”itu.
NI Cantrik: Kelahiran sebelumnya, maksudnya?

Ki Ajar: Seharusnya begitu dan memang harus begitu.

NI Cantrik: Kalau memang demikian, si kambing hitam dari “akibat-akibat” seperti di


atas adalah diri kita sendiri? Jadi diri kita sendiri yang merangkai nasib untuk diri kita
sendiri?

Ki Ajar: Begitulah seharusnya dan memang harus begitu.

NI Cantrik: Kalau memang seperti itu, harus ada sesuatu yang menjadi saksi
sekaligus merekam segala yang kita tanam.

Ki Ajar: Alam. Sejatinya, apa yang kita pikirkan, apa yang kita ucapkan, dan apa yang
kita perbuat dengan badan kita, alam yang menjadi saksi dan perekamnya.

NI Cantrik: Dan juga menumbuhkannya?

Ki Ajar: Ya. Kita ambil contoh kasus pertama. Ada rentang waktu bagi sepasang suami-
istri miskin tersebut menanam suatu “sebab” yang tidak baik dan kelak akan berbuah
“akibat” yang tidak baik pula. Yitma atau Ruh yang memiliki frekuensi yang sama,
disebabkan segala aktivitas sebelum kematiannya, akan saling tarik-menarik. Apa yang
ditanam Yitma atau Ruh calon suami miskin dan Yitma atau Ruh calon istri yang miskin
tadi hampir mirip-mirip. Sehingga, frekuensi mereka sama. Jadilah mereka terikat dan
tertarik secara alamiah. Begitu lahir, mereka akan berjodoh dan menjadi suami-istri.
Tujuannya untuk menuai ”akibat” dari perbuatan buruknya di masa lalu yang mirip-mirip
tadi. Ada lagi Yitma atau Ruh lain yang juga memiliki frekuensi sama, tertarik dalam
kandungan sang istri. Lahirlah menjadi bayi yang bercacat tadi. Cacatnya adalah ”akibat”
dari perbuatan si bayi sendiri pada kehidupannya yang lalu. Tidak ada hubungannya sama
sekali dengan kedua orangtuanya. Kedua orangtuanya pada kelahiran sekarang
sekadar tempat yang sesuai untuk dia lahir-kembali ke dunia. Cuma itu. Jangan mencari
kambing hitam atas semua penderitaan yang mereka alami. Salahkan mereka sendiri.
Karena, apa pun “sebab” yang mereka tanam dulu harus tumbuh menjadi “akibat” yang
harus mereka nikmati sendiri. Bukan oleh orang lain.

NI Cantrik: Lantas, apa tujuan kehidupan ini? Apa sekadar lahir-mati lahir-mati hanya
untuk membuat “sebab” dan menikmati “akibat” saja? Wah, kok lucu kalau cuma seperti
itu. Terus peran Tuhan di mana? Kalau Tuhan memang ada.
Ki Ajar: Alam ibarat sebuah mesin. Mesin Semesta. The Universe Machine. Canggih,
sempurna, dan tidak pernah salah. Nah, walaupun sempurna, canggih, dan tidak pernah
salah, dia tetap juga sebuah mesin, benda mati yang tak berkesadaran. Tak berkesadaran
istilah Jawanya adalah Tan Pataya. Alam membentuk dirinya dari dirinya sendiri. Dan
kemudian berkembang oleh dirinya sendiri.

NI Cantrik: Mana mungkin sesuatu yang tak berkesadaran bisa membentuk dirinya
sendiri dan bisa berkembang oleh dirinya sendiri? Bukankah yang tak berkesadaran berarti
juga tak memiliki kecerdasan? Hanya seonggok benda mati. Dan sesuatu yang mati tidak
mungkin bisa beraktivitas tanpa ada yang Hidup dan Berkesadaran yang
menggerakkannya? Bukankah begitu?

Ki Ajar:Tepat.

NI Cantrik: Adakah yang berkesadaran di balik yang tak berkesadaran itu?

Ki Ajar: Itu adalah Taya. Taya berarti “kosong”, menunjuk sesuatu yang tak tergambarkan
dan melampaui segalanya. Dia yang berkesadaran Mutlak atau Taya. Siapakah Dia? Tak
ada definisi yang tepat untuk menggambarkan, menguraikan, dan menjelaskan-Nya.

NI Cantrik: Tuhan?

Ki Ajar: Kata Tuhan sendiri tidak cukup untuk menampung dan menggambarkan siapakah
“Taya”. Karena kata “Tuhan” menyiratkan sesosok personal, sebuah pribadi. Padahal
sesungguhnya, “Taya” bukanlah sebuah pribadi. “Taya” mengatasi semua pribadi, tak
berwujud, tak bersifat, bukan objek, bukan ini, bukan itu, bukan bukan dan bukan. Ada tapi
tak ada. Tak ada tapi ada. “Taya” yang Hidup dan Berkesadaran adalah sumber dari
segala-galanya. Tak bisa dibagi-bagi, ada semenjak dahulu, sekarang, dan selamanya.
Kekal abadi. Tak mengenal kemusnahan, tak bisa dinodai apa pun, melampaui segalanya,
senantiasa murni, Kebahagiaan Sejati, asal dan tujuan segala makhluk. Dia ada dan akan
selalu ada. Senantiasa seimbang, sempurna. “Taya” adalah Kesadaran Sejati Mutlak.
“Taya” adalah Hidup, Sanghyang Urip.

NI Cantrik: Energi Murni Mutlak.

Ki Ajar: Tepat. Dan manakala Yang Tak Tergambarkan ini mulai berkehendak, sedikit
kehendak, maka muncullah aktivitas-Nya yang mula-mula. Maka, menurunlah Dia.
Jatuhlah Dia dari kondisi semula Yang Mutlak Tak Tergambarkan. Dia Yang Menurun
adalah “Taya” Yang Mewujud. Semula, sebelum Dia menurun, Dia bisa digelari
Sanghyang Urip. Sanghyang Urip adalah Hakikat Hidup Tertinggi. Dan ketika Dia sudah
menurun, maka Dia bisa digelari Sanghyang Magawe Urip. Sanghyang Magawe Urip
berarti Hakikat Yang Membuat Kehidupan Duniawi. Bersamaan dengan aktifitas awal-
Nya, maka keseimbangan total terguncang. Muncullah Bayangan dari Tan Pataya
(Hakekat Ketidak Sadaran). Bayangan ini yang disebut Waranajati. Waranajati berarti
Hakikat Tabir. Disebabkan Waranajati, keberadaan semesta nanti akan dilingkupi dengan
kekuatan-Nya. Sehingga mampu mengecoh kesadaran makhluk yang bertempat di
semesta. Dari Waranajati lahir cikal-bakal material semesta, dikenal dengan nama Bintulu
atau dikenal dengan sebutan Ibuntajati. Bintulu adalah Hakikat Material. Sanghyang
Anguripi atau Keberadaan-Nya Yang Menurun bisa juga disebut Bapantajati. Sehingga
lantas dikenal pasangan Bapatajati Ibuntajati.

Jadi ada tiga ekistensi : Sanghyang Urip ekistensi awal. Kemudian Sanghyang Magawe
Urip eksstensi kedua dan ketiga Sanghyang Anguripi atau Bapantajati. Ketiganya adalah
Tunggal, hanya beda kedudukan saja. Sanghyang Urip eksistensi tak tergambarkan.
Ketika Dia mempersempit diri-Nya untuk menciptakan semesta maka berubah menjadi
Sanghyang Magawe Urip. Begitu Dia semakin mempersempit diri-Nya dan sudah
memiliki sifat-sifat maka disebut Sanghyang Anguripi atau Bapantajati.

Lantas, dari Kehendak Bapantajati inilah Bintulu atau Ibuntajati bergetar, bergemuruh,
beraktivitas, menciptakan dirinya sendiri. Dalam proses ini, terciptalah tiga sifat
dasar Bintulu atau Ibuntajati, yaitu: Manikmaya yaitu Ketenangan, Ismaya yaitu
Keinginan, dan Antaga yaitu Kemalasan. Siapa pun makhluk yang berbadan fisik dari
Bintulu atau Ibuntajati pasti memiliki tiga sifat dasar ini.

Apabila tiga sifat dasar Bintulu atau Ibuntajati ini seimbang, maka terseraplah semua
materi semesta, termasuk materi fisik makhluk, ke dalamnya. Diamlah Bintulu atau
Ibuntajati. Semesta lenyap. Apabila salah satu dari ketiga sifat dasar Bintulu atau
Ibuntajati ini goncang, maka terjadilah aktivitas Bintulu atau Ibuntajati dan dunia
material tercipta lagi, mewujud. Terserap, terwujud, terserap, terwujud. Tercipta, hancur,
tercipta, hancur. Demikianlah adanya.

NI Cantrik: Berarti, dunia material ini telah tercipta dan hancur berulang kali?

Ki Ajar: Benar.

NI Cantrik: Sampai kapan? Adakah batasan? Bukankah kalau ada awal, pasti ada akhir.
Bukankah demikian hukum dari benda yang tak berkesadaran? Ada Alpha ada Omega.
Dan apa hubungannya dengan bahasan kita kali ini?
Ki Ajar: Begini. Begitu Bapantajati berkehendak, beraktivitas, maka jatuhlah sebagian
dari “Taya” Yang Tak Tergambarkan. Jatuhlah “Sebagian dari Taya dari kondisi kesucian-
Nya” Cahaya-Cahaya Ilahi, Diri-Diri Suci. Inilah yang lantas kita kenal dengan Yitma
alias Ruh! Ruh kita ini! Jatuhnya Cahaya-Cahaya Ilahi, Diri-Diri Suci ini adalah
suatu Kekeliruan. Kekeliruan yang memang dikehendaki.

NI Cantrik: Jadi kelahiran “Kita” ini memang kehendak dari “Kita” sendiri?

Ki Ajar: Dan Bintulu atau Ibuntajati yang menyediakan tubuh-tubuh fisik, tubuh-tubuh
fana, sebagai sarana. Suatu sarana untuk perjalanan Diri-Diri Ilahi ini kembali ke asalnya
semula. Sangkan Paraning Dumadi.

Perjalanan ini butuh rentang waktu yang panjang


Ada yang berjalan cepat
Ada yang berjalan lambat
Ada yang jatuh lagi
Bahkan ada yang tidak jalan-jalan
Yang menyedihkan, ada yang jalan di tempat.

Setiap satu babak kehidupan habis, yaitu kelahiran dan kematian, Sang Yitma atau Ruh
akan dinilai, sampai di mana Kesadaran-Nya yang terkecoh oleh Waranajati
telah berkembang. Berkembang seperti Kesadaran-Nya semula. Kesadaran sebelum
mengalami kejatuhan. Bila belum juga berkembang, dia akan lahir lagi, belajar lagi,
berusaha lagi meningkatkan Kesadaran-Nya. Menemukan Kesadaran-Nya kembali. Inilah
yang disebut Manitis. Dalam bahasa kerennya disebut evolusi. Namun Manitis adalah
Evolusi Ruh, Evolusi Yitma.

NI Cantrik: Saya baru sadar! Kesadaran saya sekarang bisa melihat. Melihat benang
merah kehidupan ini. Walau masih samar.

Ki Ajar: Kejatuhan Yitma-Yitma ini terbagi dalam tiga tingkatan. Tingkatan atas,
menengah, dan bawah. Semakin ke bawah, semakin jauhlah dia dari Kesadaran Sejati-Nya.
Sangat bodoh. Tanpa pengetahuan. Kesadarannya remang-remang. Tanpa kecerdasan.
Maka, melalui tiga tingkatan inilah setiap Yitma harus menempuh evolusi-Nya. Tiga
tingkatan ini diibaratkan alam. Maka sering kali diistilahkan sebagai Tripada (Tiga Alam).

Alam pertama dikhususkan bagi Yitma-Yitma yang tidak begitu tenggelam Kesadaran-
Nya. Terciptalah alam penuh kenikmatan, penuh kegembiraan, penuh kesukacitaan, sedikit
penderitaan, sedikit duka, sedikit kesedihan. Alam ini dikenal dengan nama
Jonggringaloka atau Jonggringpada
Alam kedua dikhususkan bagi Yitma-Yitma yang Kesadaran-Nya setengah-setengah.
Artinya tetap tenggelam dalam kebodohan, namun setingkat di bawah alam pertama dan di
atas alam ketiga. Ada suka ada duka, ada gembira ada derita, berganti-ganti. Tak ada yang
mendominasi. Alam kedua ini dikenal dengan nama Ngarcasaloka atau Ngarcapada.

Alam ketiga dikhususkan bagi Yitma-Yitma yang Kesadaran-Nya terlampau tenggelam.


Maka terciptalah alam yang penuh penderitaan, kesedihan, kesesakan, sedikit sukacita,
sedikit keceriaan, sedikit kesenangan. Alam ini dikenal dengan nama Yomanisaloka atau
Yomanipada.

NI Cantrik: Masih belum jelas, Ki Ajar.

Ki Ajar: Intinya, untuk berevolusi, Manitis, dibutuhkan situasi dan kondisi khusus yang
mendukung. Evolusi membutuhkan cambukan, pemicu agar Yitma bisa tersadar dan terus
bergerak maju. Cambukan, pemicu itu adalah penderitaan dan kegembiraan.
Suka maupun duka. Tanpa dualitas itu, tanpa Rwabhīneda (dua pasangan yang
berbeda) itu, evolusi akan mandek, stagnan.

NI Cantrik: Jadi, semakin terperosok ke dalam kebodohan, semakin tenggelam


Kesadaran-Nya dalam ketidaktahuan, semakin lupa Yitma dengan siapa diri-Nya yang
sesungguhnya, semakin pula butuh pemicu yang keras? Penderitaan, derita, dan
semacamnya?

Ki Ajar: Ya. Tanpa penderitaan Yitma tidak akan sadar. Tanpa penderitaan Yitma tidak
akan bergerak maju. Tanpa penderitaan Yitma tidak akan terpicu bergerak mencari sesuatu
yang bisa membahagiakan-Nya. Bukankah apa pun yang kita lakukan adalah demi
mengejar kebahagiaan? Semuanya, walau dalam cara pandang dan tingkat kesadaran yang
berbeda, sesuai dengan tingkat evolusinya. Ada yang menganggap materi sangat
membahagiakan; mati-matian kita mengejarnya. Ada yang menganggap kekuasaan
membahagiakan; mati-matian juga kita mengejarnya. Tapi bagi yang kesadarannya telah
mencapai tingkat tertentu, semua itu tidak berguna, tidak kekal, tipuan. Kebahagiaan
sesungguhnya adalah kembali merasakan, kembali menyadari kebersatuan dengan “Taya”
Yang Mutlak Abadi. Karena tidak ada kemusnahan di sana. Tidak ada yang fana di sana.
Kenikmatan duniawi tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan abadi yang tak
terbayangkan tersebut.
NI Cantrik: Dan sesungguhnya hasrat mengejar materi, kekuasaan, kemasyhuran, adalah
insting alamiah setiap Yitma yang merindui untuk menyadari kembali kebersatuannya
dengan Sang “Taya”. Bukankah begitu, Ki Ajar?

Ki Ajar: Ya. Hanya masalah waktu. Proses evolusi. Jika mereka benar-benar telah
menyadari bahwa materi, kemasyhuran, kedudukan, dan segala tetek-bengek duniawi ini
bisa cepat musnah, menguap bagai embun pagi, dan ketika penderitaan karena kemusnahan
itu datang, bisa dipastikan kesadaran mereka akan meningkat dalam taraf tertentu.
Bahwasanya kebahagiaan yang mereka kejar selama ini hanyalah semu, Ilusi, Waranajati.
Mulailah mereka akan menemukan kesadaran baru. Mereka mungkin akan bertanya:
Apakah ada kebahagiaan yang tak bisa musnah? Dari sini, evolusi mereka sudah maju
selangkah.

NI Cantrik: Pemicunya adalah penderitaan? Oh ya, Ki Ajar, aku masih butuh penjelasan
mengenai tiga tingkat kejatuhan Yitma tadi. Tolong diperjelas, ya.

Ki Ajar: Kalau saya bagi menjadi tiga tingkatan, sebenarnya kurang tepat. Sebab masih
ada satu golongan Yitma yang tidak ikut jatuh, yaitu Yitma yang Kesadaran-Nya masih
stabil. Meskipun begitu, dia telah terselimuti Waranajati.

NI Cantrik: Jelaskan selengkapnya, Ki Ajar.

Ki Ajar: Yitma-Yitma yang kejatuhannya tidak seberapa ini dikenal dengan


nama Danghyang atau leluhur Disebut Leluhur karena dari merekalah mulai terlahir
badan-badan fisik makhluk secara seksual. Seluruh makhluk penghuni Tripada (Tiga
Alam). Dari mereka terlahir jasad para Hyang yang kelak menghuni Jonggringsaloka,
lantas para Dhêngên yang kelak menghuni Yomaniloka dan jasad Wong (manusia) yang
kelak menghuni Ngarcapada. Sebelum jasad-jasad Hyang, Dhêngên, dan Wong tercipta,
mereka harus melahirkan jasad makhluk yang paling sederhana. Sebagai jasad awal untuk
menyesuaikan tingkatan kejatuhan Yitma yang sangat bodoh. Dari merekalah terlahir
jasad-jasad makhluk yang lahir melalui keringat, melalui pembelahan, dikenal dengan
nama kelahiran Êbun.

Lantas jika Yitma-Yitma yang menghuni jasad paling sederhana ini telah berevolusi
bermiliar-miliar tahun—apabila sudah siap—maka para Leluhur melahirkan jasad
makhluk yang lahir melalui benih atau biji, dikenal dengan nama kelahiran Winih.

Apabila Yitma-Yitma yang berevolusi melalui bentuk tumbuhan ini ada yang sudah siap
meningkat Kesadaran-Nya, maka para Leluhur melahirkan jasad-jasad makhluk yang lahir
melalui telur, dikenal dengan nama kelahiran Tigan.
Lantas apabila Yitma-Yitma sudah semakin siap, semakin maju proses evolusi-Nya, para
Leluhur melahirkan jasad-jasad makhluk yang lahir melalui kandungan, dikenal dengan
nama kelahiran Angsar.

Dan para Hyang, Dhêngên, serta Wong adalah hasil evolusi jasad yang sempurna dari
seluruh makhluk. Mereka dalam kategori Tigan untuk beberapa jenis Dhêngên dan
Angsar untuk Wong, dan beberapa jenis Dhêngên. Sedangkan Hyang memiliki keunikan
tersendiri dalam perkembang-biakannya. Dimensi Hyang memiliki kelahiran spontan.
Maksudnya mereka yang terlahir di dimensi Hyang akan lahir langsung secara tiba-tiba
dalam usia sekitar 16-17 tahunan.

NI Cantrik: Dan evolusi ini melalui kelahiran dan kematian yang berulang-ulang?
Manitis?

Ki Ajar: Benar! Perlu diketahui, proses Manitis Yitma dari bentuk sel lalu ke bentuk biji,
bentuk telur, dan kandungan yang masih di luar kelahiran Hyang, Dhêngên, dan Wong,
murni dibimbing Ibuntajati. Dibimbing oleh Alam. Benar-benar alami. Proses ini hanya
mengenal satu arah, terus maju, terus meningkat secara perlahan, tidak mengenal mundur.
Namun, apabila sudah lahir menjadi Hyang, Dhêngên, atau Wong, maka proses Manitis
atau evolusi ini bergantung pada kesadaran mereka sendiri.

NI Cantrik: Dan karena proses evolusi ini bergantung dari kesadaran mereka sendiri, maka
Hyang, Dhêngên, atau Wong bisa mempercepat, memperlambat, jalan di tempat, atau
mundur lagi ke belakang?

Ki Ajar: Benar, karena bentuk Hyang, Dhêngên, dan Wong, selain terbalut jasad fisik dari
Ibuntajati, Yitma juga telah menciptakan bayangan-Nya lagi, yang lebih kasar, yang
semakin menutupi kecemerlangan-Nya. Dikenal dengan Badan Halus atau Manikêm.
Dengan adanya Manikêm inilah ego mulai muncul, ingatan mulai ada, kecerdasan tumbuh
dan otomatis hukum Ngundhuh Wohing Pakarti mulai menjeratnya. Dan lucunya, Yitma
yang terlahir dalam wujud Hyang atau Dhêngên lebih mudah berkembang kesadaran-Nya
bila terlahir dalam wujud Wong.

NI Cantrik: Kok bisa? Kenapa begitu, Ki Ajar?

Ki Ajar: Alam Jonggringsaloka adalah alam yang penuh kenikmatan. Kondisi seperti ini
tidak menunjang peningkatan kesadaran. Tak ada penderitaan, tak ada dukacita. Kalaupun
ada, cuma sedikit, tak seberapa. Sedangkan Yomaniloka adalah alam yang penuh
penderitaan. Kondisi seperti ini pun tidak menunjang peningkatan kesadaran. Terlalu
menderita membuat makhluk Dhêngên sulit berbuat baik, sulit berpakarti baik. Karena
buah perbuatan baiknya terlalu lama tumbuh. Sungguh-sungguh mengerikan kondisinya.
Hanya kondisi alam yang seimbang, di mana suka dan duka berganti-ganti. Hanya alam
seperti inilah yang mampu secara sempurna menunjang peningkatan kesadaran. Dan hanya
Bumi, alam manusia, yang tepat dan cocok untuk meraih kesadaran purna kembali. Maka,
kelahiran kita sebagai manusia patut disyukuri!

NI Cantrik: Makanya derajat manusia lebih tinggi daripada Hyang dan Dhêngên? Aku
baru mengerti sekarang.

Ki Ajar: Apa pun yang kita pikirkan, ucapkan, dan lakukan, semuanya akan direkam
oleh Ibuntajati. Pikiran (Idhêp), perkataan (Ucap), dan perbuatan (Obah) baik itu yang
positif maupun negatif, semuanya akan menjadi benih bagi takdir kita. Yang positif akan
berbuah positif dan yang negatif akan berbuah negatif.

NI Cantrik: Jelaskan lagi, Ki Ajar.

Ki Ajar: Coba lihat sekelilingmu. Ambil satu contoh seorang anak manusia. Dia lahir dari
keluarga kaya, berarti ada buah pakarti positifnya yang tumbuh sehingga dia patut lahir
dalam keluarga kaya. Dia punya fisik sehat, berarti ada buah pakarti positifnya yang
tumbuh sehingga dia memiliki fisik prima. Dia tampan, berarti ada buah pakarti positifnya
yang tumbuh sehingga dia terlahir tampan; jika dia bodoh, berarti ada pakarti negatifnya
yang tumbuh sehingga menghalangi kecerdasannya. Dia tidak disukai wanita sehingga
sulit jodoh, berarti ada pakarti negatifnya sehingga dia sangkal jodoh. Nah, lahir dari
keluarga kaya, sehat, tampan, tapi bodoh dan sangkal jodoh adalah buah pakarti positif
dan negatif yang tumbuh bersamaan. Ini membentuk nasib orang tersebut.

NI Cantrik: Takdir, kita sendiri yang membuatnya. Hmm.

Ki Ajar: Takdir adalah akumulasi dari pakarti-pakarti positif maupun pakarti-pakarti


negatif kita di masa lalu. Takdir mengkondisikan kita, mendorong kita ke arah tertentu. Ke
arah yang menyenangkan atau yang tidak. Tapi buah pakarti positif yang sangat utama
adalah kesadaran. Contohnya adalah jika kita bertemu dengan seorang guru spiritual atau
teman yang membimbing atau menyertai kita dalam peningkatan kesadaran. Kekayaan dan
kecantikan tidaklah bisa mengalahkan keutamaan hal ini.

Ibarat seorang anak mendapat warisan sebidang sawah dari orangtuanya, luas dan kondisi
kesuburan sawah sudah ditentukan. Ada yang mendapat sawah luas, sedang, dan sempit.
Ada yang kondisi tanahnya subur, cukupan, dan gersang. Semua sudah kita warisi. Mau
tidak mau, suka atau tidak suka, itulah warisan kita. Takdir kita. Selanjutnya, kita sendiri
yang menentukan sawah itu, mau diapakan. Jangan mencari kambing hitam, sebab warisan
itu juga adalah hasil perbuatan kita di masa lalu. Yang berbuat harus berani bertanggung
jawab.

NI Cantrik: Lantas bisakah kita mengubahnya?

Ki Ajar: Nanti saja aku jawab tentang hal itu.

NI Cantrik: Dan pikiran, perkataan, serta perbuatan kita sekarang adalah benih-benih
takdir kita di masa mendatang, masa kelahiran selanjutnya. Nah, apakah bisa kita
mengubahnya sebelum tumbuh?

Ki Ajar: Nanti aku akan menjawabnya.

NI Cantrik: Dan apabila kita berbuat sesuatu pada masa kehidupan kita yang lalu, lantas
pada kehidupan sekarang ini berbalas, semisal pada kehidupan lampau kita telah berbuat
jahat pada orang lain, apakah pada kehidupan sekarang ini buah perbuatan jahat kita bisa
berupa dijahatin orang lain?

Ki Ajar: Ya. Dan biasanya, orang yang kamu jahati pada masa lalu itu jugalah yang pada
kelahiran sekarang, didorong oleh Ibuntajati, akan berbuat jahat padamu. Banyak kan tiba-
tiba kamu dijahati orang tanpa sebab yang jelas? Itu berarti kamu punya hutang pakarti
negatif padanya dan harus dibalaskan.

NI Cantrik: Wah, balas dendam itu namanya. Lantas, kalau kita membalas, bukankah
impas?

Ki Ajar: Tidak! Kamu akan menanam pakarti negatif lagi pada dia. Kalau pada kehidupan
sekarang dia tidak punya kesempatan membalas, maka pada kehidupan selanjutnya, pasti,
dibimbing Ibuntajati, dia akan bertemu kamu lagi untuk membalasnya.

NI Cantrik: Waduh, terus bagaimana?

Ki Ajar: Bila kamu dijahati, sadarkan dia, tegur dia, nasihati dia. Bila teguran kita tak
digubris, biarkan saja, jangan membalas. Sebab jika kamu membalas, kamu sekarang
malah yang punya hutang pakarti. Jangan membalas, maafkan. Bila kamu bisa memaafkan
dan tak membalas, maka Ibuntajati sendiri yang akan membalasnya. Bisa berupa penyakit,
musibah, kesialan, dan sebagainya. Jadi, jangan membalas, maafkan. Begitu kamu tidak
membalas, kamu tidak punya hutang pakarti, dan alam yang akan mengambil bagian
dalam proses pembalasan tersebut.
NI Cantrik: Begitu ya, Ki Ajar? Dan bila sebaliknya, tiba-tiba kita mendapat bantuan dari
orang lain yang tidak kita kenal, berarti buah pakarti positif kita tumbuh? Berarti orang
lain itu dulu, pada kehidupan yang lampau, punya utang budi sama kita? Bukankah begitu?

Sekarang yang jadi masalah, kadang kita melakukan suatu kejahatan yang tidak kita
sengaja. Misal, kita menabrak orang tanpa sengaja dan mengakibatkan kematiannya. Nah,
kita punya hutang atau tidak?

Ki Ajar: Tidak. Itu adalah proses pembalasan alam kepada orang tersebut, mungkin
pakarti negatifnya pada masa lalu tak jauh-jauh juga dari urusan nyawa. Kita hanya sebagai
perantara saja. Kita melakukannya tanpa didasari kepentingan pribadi. Tanpa didasari
dendam dan keuntungan-pribadi tertentu. Benar-benar tidak disengaja. Jika ini terjadi, kita
tidak punya utang pakarti negatif apa pun.

NI Cantrik: Berarti, keluarga korban yang tidak terima dan berusaha menjahati saya telah
menanam pakarti buruk baru? Saya harus mengingatkan dan memaafkannya, begitu?

Ki Ajar: Ya. Sebab apabila kita melakukan “kekerasan” tanpa sengaja, bukan demi
keuntungan ego kita, kita tidak punya utang pakarti apa pun.

NI Cantrik: Termasuk aparat penegak hukum. Mereka yang sekadar menjalankan tugas
menegakkan kebenaran. Menyakiti bukan demi keuntungan pribadi, tapi demi keselamatan
masyarakat banyak. Mereka akan lepas dari utang pakarti, begitu?

Ki Ajar: Bisa iya, bisa tidak.

NI Cantrik: Lho, kok?

Ki Ajar: Tergantung individunya. Sebab banyak juga dengan alasan melakukan kekerasan
demi menegakkan hukum, tapi tidak murni. Mereka berharap dan punya maksud lain demi
keuntungan dirinya sendiri. Nah, kamu pikir sendiri.

NI Cantrik: Iya, Ki Ajar. Lantas bagaimana kalau demikian?

Ki Ajar: Demi menegakkan kebenaran, demi keselamatan masyarakat, bukan demi


kepentingan pribadinya sendiri, seorang kesatria tidak berdosa melakukan kekerasan. Itu
adalah Dharmanya. Dharma kesatria. Malahan dia menanam pakarti baik. Jika seorang
kesatria mendapat upah dari masyarakat untuk keberlangsungan hidup rumah tangganya,
tapi tidak mau melindungi keselamatan masyarakat yang mengupahnya, maka dia berdosa
besar. Seorang kesatria yang gugur saat menunaikan Dharmanya, pintu surga terbuka lebar
baginya. Darahnya yang menetes di bumi akan menyuburkan tanah itu sendiri.

NI Cantrik: Heroik. Dan apabila pada kehidupan sekarang kita bertemu, bahkan jadi
begitu dekat, apakah berarti pada masa lalu kita punya hutang pakarti?

Ki Ajar: Ya, kita pernah bertemu pada masa lalu. Kita punya hutang budi satu sama lain,
kita punya hutang emosi satu sama lain. Dan hutang itu harus dibayar dalam kehidupan
sekarang.

NI Cantrik: Dan apabila saat ini kita berinteraksi dan terjalin hutang-hutang pakarti baru,
berarti pada kehidupan mendatang kita bakalan ketemu lagi? Berjodoh lagi?

Ki Ajar: Ya, begitulah. Renungkan, berapa banyak manusia di bumi ini? Mengapa kamu
tidak berjodoh untuk bertemu dan mengenal seluruhnya? Karena kamu tidak punya hutang
pakarti, baik positif maupun negatif, dengan mereka. Siapa pun yang dekat dengan kita
(ayah, ibu, paman, bibi, adik, istri, suami, keponakan), pada kehidupan lalu semuanya pasti
punya urusan dengan kita, sehingga harus berjodoh untuk dipertemukan dalam satu tempat.
Bila punya hutang pakarti, walaupun kita masing-masing lahir di ujung dunia yang
berbeda, alam akan mempertemukan kita dalam suatu kebetulan yang tak terduga.
Semuanya adalah hasil dari pakarti kita sendiri.

NI Cantrik: Indah sekali.

Ki Ajar: Makanya jangan kaget kalau ada adik-kakak yang bertengkar melulu. Itu bisa
disimpulkan, pada masa kelahiran yang lalu mereka memang sudah saling kenal dan punya
dendam yang belum tuntas. Dan pada kelahiran sekarang, karena terlalu melekatnya
dendam itu, dendam di antara keduanya, mereka terlahir sebagai saudara kandung. Alhasil,
selama mereka tidak disadarkan, tidak mengerti hukum Ngundhuh Wohing Pakarti dan
Manitis ini, mereka akan terus terhanyut dalam dendam masa silam. Hal-hal sepele yang
seharusnya tidak patut menjadi bahan pertengkaran bisa menjadi penyebab pertengkaran
hebat bagi mereka. Nah, hanya dengan kesadaran mereka berdualah dendam itu bisa
selesai. Dengan saling memaafkan, hutang pakarti mereka akan lunas. Cukup itu saja, ya.
Selanjutnya kamu bisa menganalisis sendiri. Lihat sekeliling kamu. Lihat, amati,
renungkan. Dan kamu akan semakin melihat kebenaran adanya hukum sebab-akibat serta
kelahiran-kembali ini.

NI Cantrik: Wah, setelah banyak yang meledak di otak saya karena pemicu yang Ki Ajar
berikan, kok malah saya merasa semakin banyak pertanyaan di dalam benak. Bagaimana
ini, Ki Ajar?
Ki Ajar: Itu menandakan proses evolusimu berjalan. Aku percaya para proses itu. Sebab,
dengan semakin banyak pertanyaan di benakmu, semakin kamu resah karenanya, maka
semakin pula terpacu kesadaranmu untuk menemukan jawaban, pemecahan, kebenaran.

NI Cantrik: Saat ini, detik ini, mata ketiga saya seolah terbuka. Timbunan referensi berupa
konsep dan doktrin yang telah lama mapan di memori saya kini seolah-olah terbongkar.
Saya mempertanyakan lagi keabsahannya. Ada suatu kekuatan halus bersuara di hati
bahwasanya ada yang tak beres dengan semua kemapanan ini. Semakin ditepis, suara halus
dan lembut itu semakin meraja lela saja. Saya tak bisa mengelak lagi.

Ki Ajar: Itulah suara Yitma, suara Ruhmu sendiri, suara hati nurani. Tak bisa dibohongi
dengan segala macam pembenaran, segala macam konsep timpang, segala macam dalih.
Apa yang kurang beres, dia akan menyuarakannya. Apa yang kurang benar, dia akan
meneriakkannya.

NI Cantrik: Apakah ini yang dinamakan suara Roh Kudus, Ki Ajar?

Ki Ajar: Tepat dan tidak salah.

NI Cantrik: Apa yang harus saya lakukan?

Ki Ajar: Ikuti, pasrahkan dirimu, percaya pada Yitmamu sendiri. Lepaskan segala macam
kekhawatiran, ketakutan. Karena semua itu adalah asap kelabu yang menyelubungi
kebenaran suara Ruhmu sendiri. Karena itu semua berasal dari Jinêmmu, Krêkatmu,
Yatnamu, dan Idhêpmu. Naif dan terbatas. Jangan dengarkan. Dengarkan saja suara
Ruhmu, suara Yitmamu. Teguhlah.

NI Cantrik: Oh ya, Ki Ajar. Tolong ulas sekali lagi tentang Jinêm, Krêkat, Idhêp, dan
Yatna. Tentang Manikêm kita ini.

Ki Ajar: Yatna adalah Ingatan, Jinêm adalah Kesadaran, Krêkat adalah Perasaan, dan
Idhêp adalah Pikiran. Ditambah dengan Babahan Sapuluh yaitu: Pandêlêng
(penglihatan), Pamirêng (pendengaran), Pangambu (penciuman), Pangênyam
(pengecapan), Panggrayah (perabaan), Pangucap (pengucapan), Panggamêl (perabaan
dan kemampuan gerak tangan), Pamalaku (perabaan dan kemampuan gerak kaki),
Panyumbana (perabaan dan kemampuan gerak kelamin), dan Pasukêr (perabaan dan
kemampuan gerak dubur). Sepuluh indra ini dipimpin oleh Idhêp. Idhêp juga sering kali
disebut indra kesebelas. Semua itu membentuk Manikêm atau Badan Halus manusia.
Sedangkan Raga (Badan Fisik) manusia dibentuk dari Awang-awang atau Ruang, Angin,
Gêni atau Api, Banyu atau Air, dan Lêmah atau Tanah.

Jinêm adalah kesadaran yang berasal dari Ibuntajati. Kesadaran dari Ibuntajati ini disebut
consciousness atau Kesadaran-Kepahaman. Selain Kesadaran-Kepahaman, Jinêm juga
memuat Kesadaran-Jaga, yaitu kesadaran akan ruang dan waktu yang relatif. Saat kamu
sadar bahwa kamu ada, sadar bisa melihat, mendengar, merasa bertubuh, berada dalam
ruang dan waktu, itu berarti Kesadaran-Jagamu aktif. Kesadaran-Jaga ini akan menyusut
sementara bila kamu tidur dan pingsan. Atau kacau dan terganggu bila kamu mengonsumsi
alkohol atau narkotika, benda-benda yang bisa menganggu perangkat fisik Kesadaran-
Jaga, yaitu otak. Kamu bisa mabuk, fly, kacau, mengalami gangguan semipermanen bila
perangkat fisik Kesadaran-Jaga rusak. Kamu bisa berhalusinasi.

Krêkat adalah perasaan atau emosi atau ego. Krêkat adalah pusat di mana kamu merasakan
kesedihan, kegembiraan, ketakutan, kedamaian, ketenteraman, benci, cinta, rindu, dendam,
marah. Krêkat ini sensitif. Apa pun yang tidak membuat ia tersanjung atau apa pun yang
merugikan dia, dia akan meresponsnya dengan cepat. Muncullah ego. Bila ego memuncak
menguasai Jinêm, maka timbullah konsep-konsep timpang demi keuntungan pribadi
seperti yang banyak kita jumpai sekarang ini. Jinêm merumuskan secara mendetail
konsep-konsep semacam itu demi tuntutan Krêkat. Krêkat tidak cerdas, tapi bisa memaksa
kesadaran atau Jinêm menuruti dan memuaskan apa yang ia mau.

Idhêp adalah pikiran, alat untuk berkhayal, berilusi, mereka-reka, berandai-andai,


bermimpi, dan semacamnya. Biasanya muncul bila kita hendak tidur atau bermeditasi.
Inilah alat yang sangat liar. Tapi pikiran adalah pintu gerbang informasi dari dunia luar ke
dalam. Pikiran dikatakan pemimpin indra. Semua informasi dari luar, baik yang dicerap
mata, telinga, hidung, mulut, kulit, masuk melalui pikiran. Dari pikiran, informasi dari luar
tersebut akan mempengaruhi Krêkat, Jinêm, dan Yatna.

Yatna adalah ingatan atau memori. Segala bentuk pengalaman yang masuk lewat pikiran
direspons Krêkat, dianalisis Jinêm, dan akan tersimpan dalam Yatna sebagai data. Dari
sinilah kita memutuskan apakah pengalaman yang sama akan kita putuskan untuk dialami
lagi atau ditolak di masa mendatang. Yatna adalah gudang semuanya. Dalam Yatna semua
memori tersimpan. Dalam Yatna bertumpuk data-data yang menyenangkan atau tidak.

Keempat perangkat di atas membentuk Manikêm kita, Badan Halus kita. Manikêm
dihidupi Yitma atau Ruh, sebuah kekuatan abstrak yang menjadi generator kehidupan. Jika
diibaratkan perangkat komputer, Yitma atau Ruh adalah Listrik. Manikêm adalah
Software, sedangkan Raga adalah Hardware. Manikêm /Software bisa meninggalkan
Raga dalam kondisi tertentu; tidak berarti Raga harus rusak, sebab Energi masih mengalir
pada Hardware. Inilah yang disebut astral projection atau perjalanan astral. Manusia Jawa
mengenalnya dengan istilah Angraga Sukma. Bila Listrik terputus, tidak peduli Software
atau Hardware-nya masih bagus, maka kematianlah yang terjadi. Kapan-kapan kita bahas
lebih detail lagi. Yang penting, kamu sendiri sudah paham. Dan ini tadi sekadar buat kamu
mengingatnya kembali.

Nah, lampauilah Jinêmmu, Krêkatmu, Yatnamu, Idhêpmu. Biarkan Yitmamu mengambil


alih. Usahakanlah itu mulai sekarang. Jangan tunda-tunda lagi. Karena sesungguhnya apa
yang disebut setan adalah kecenderungan negatif dari Jinêm, Krêkat, Idhêp, Yatna, beserta
indra-indramu seperti yang telah aku paparkan di atas. Setan sebenarnya tidak ada, dia
cuma metafora. Setan adalah kecenderungan negatif dari Manikêmmu, yang membuat
kamu terombang-ambing dalam kehidupan ini. Bila kamu bisa melampauinya, bisa
mengikisnya, Kebahagiaan Sejati akan menghampirimu.

NI Cantrik: Ada orang bilang, bila ingin melihat setan, maka bercerminlah.

Ki Ajar: Tepat. Setan ada dalam dirimu. Setan hanyalah bayangan keruh Yitmamu karena
pengaruh Ibuntajati. Makanya dia sesat dan menyesatkan. Setan konon menurut keyakinan
mereka yang masih belum “sadar” bisa merasuki manusia dan mampu membuat kesadaran
manusia terpengaruh olehnya. Jika kesadaran kita sudah disetir setan, konon katanya kita
bisa melakukan perbuatan-perbuatan yang tak terpuji. Mencuri, memperkosa, minum
alkohol, menghisap ganja, bahkan melakukan pembunuhan, tanpa kita sadari.

NI Cantrik: Yang melakukan pemerkosaan manusia, yang disalahkan setan. Yang


mencuri dan menikmati hasil curian manusia, yang dijadikan kambing hitam setan. Itu
namanya “cuci tangan”. Tidak mau mengakui kesalahan sendiri, malah melemparkannya
kepada pihak lain. Kalau dipikir-pikir, kasihan benar si setan itu. Sudah diciptakan dalam
keadaan terkutuk, sudah tidak punya pilihan untuk meningkatkan derajat hidupnya, sudah
diciptakan hanya untuk jadi bahan bakar neraka, masih juga disalah-salahkan. Sungguh
merana nasibnya.

Ki Ajar: Dan Tuhan tidak mungkin menciptakan suatu makhluk hanya untuk dibuat
sebagai bahan bakar semata, sekadar buat kayu pengobar api neraka semata. Coba
renungkan lagi, Tuhan itu tiada dua-Nya, tiada banding-Nya. Jika ada makhluk yang
mampu menyamai-Nya, berarti makhluk tersebut luar biasa dan bisa menjadi pesaing
Tuhan. Sungguh hanya Tuhan saja yang bisa membimbing, menginfiltrasi, merasuki
kesadaran kita. Tiada kekuatan lain yang mampu melakukannya. Hyang pun tidak bisa.
Kita ini bukan robot yang bisa disetir-setir seenaknya. Kita ini Yitma, kita ini Ilahi.
Renungkan lagi, setan sesungguhnya cuma metafora. Metafora yang dibuat oleh orang
bijak masa lalu untuk menakut-nakuti orang-orang dulu yang kesadarannya masih rendah,
dangkal. Kini, evolusi kesadaran kita sudah lebih maju, sudah saatnya kita mengatakan
yang sesungguhnya. Buka ayat-ayat suci kembali, kamu akan menemukan kebenaran ini.

NI Cantrik: Konon katanya setan dapat merasuki otak lewat pembuluh darah.

Ki Ajar: Kecenderungan negatif dari Manikêmmu memang telah menyatu dengan


jasadmu dan menutupi Yitmamu, bagaikan asap yang menyelubungi api. Kecenderungan
negatif dari Manikêmmu, berupa keserakahan, kekacauan, dendam, iri hati, amarah,
kebencian, kecemasan, termasuk trauma-traumamu, apakah tidak bisa disebut mengalir
lewat pembuluh darahmu dan merasuki otakmu?

NI Cantrik: Setan katanya tidak dapat mati sebelum kiamat datang, tapi dia dapat beranak-
pinak terus-menerus.

Ki Ajar: Kecenderungan negatif dari Manikêmmu memang tidak bakalan hancur, mati,
lenyap, terkikis, sebelum kamu dapat menemukan kesadaran Yitmamu kembali. Bila kamu
telah memperoleh kesadaran Yitmamu kembali, maka Kecenderungan negatif dari
Manikêmmu bahkan Manikêmmu akan pecah, lenyap. Segala keresahan, kegalauan, iri,
dendam, kebencian, trauma, buyar sudah. Bila kamu telah menemukan kesadaran Yitmamu
kembali, itulah kiamat. Itulah akhir bagi kamu. Karena kamu tidak akan terlahirkan lagi.
Tidak akan terjerat hukum dualitas lagi. Tidak akan terjerat Ngundhuh Wohing Pakarti
lagi. Tidak ada penderitaan lagi. Kamu telah sempurna, dan kiamat bagimu sudah tiba.
Kamu telah mencapai pantai Kebahagiaan Sejati, Kalêpasan.

Setan dikatakan terus beranak-pinak. Apa kamu tidak merasa dari hari kehari segala
keinginanmu, kecemasanmu, kekacauanmu, ketidakpastianmu, terus bertambah? Terus
beranak-pinak? Keinginanmu terus berteriak: kurang, kurang, kurang! Kekacauanmu terus
beranak-pinak, terus beranak-cucu. Hanya kamu yang bisa menghentikannya! Kiamatkan
dirimu, setan pasti akan mati.

NI Cantrik: Saya jadi paham, Ki Ajar. Kemarin bulan puasa. Konon si setan di penjara
sebulan penuh. Saya jadi paham sekarang apa maksudnya.

Ki Ajar: Dan sehabis bulan suci berlalu, setan keluar lagi, kan?

NI Cantrik: Ya, harus diusahakan dipenjara terus, Ki Ajar. Lantas moyang setan yang
disebut Iblis itu apa?
Ki Ajar: Bintulu atau Ibuntajati.

NI Cantrik: Lho, kok?

Ki Ajar: Bagaikan sekeping uang logam dengan dua sisi, Bintulu atau Ibuntajati
menjalankan hukum Ngundhuh Wohing Pakarti, hukum sebab-akibat bagi semua
makhluk fana yang jasad fisiknya berasal darinya. Dia berperan sebagai Sang Pendadar,
Sang Penggembleng, pada Kawah Candradimukha. Suka-duka, kaya-miskin, sehat-sakit,
panas-dingin, dan sebagainya, semuanya dilahirkan oleh Bintulu atau Ibuntajati untuk
menggembleng, untuk mendadar, para Hyang, Dhêngên, dan Wong. Namun di sisi lain,
Bintulu atau Ibuntajati juga bisa berubah menyesatkan. Banyak objek duniawi ini
disediakan oleh Bintulu atau Ibuntajati. Banyak kenikmatan duniawi ini dilahirkan dari
Bintulu atau Ibuntajati. Dan semua itu Waranajati, semua itu fana, semua itu racun.

Bintulu atau Ibuntajati bisa menjadi Iblis jika kesadaran kita menganggap bahwa semua
dualitas yang dia lahirkan kita terima dengan ketidaksadaran. Kita jadi senang berlebihan
jika sedang beruntung, kita jadi sedih berlebihan jika sedang menderita. Kita terombang-
ambing, tak tahu arah, bagai sepotong gabus terhanyut air bah. Bintulu atau Ibuntajati
berubah jadi Iblis dalam kesadaran konyol kita.

Bintulu atau Ibuntajati bisa menjadi Malaikat jika kesadaran kita benar-benar menyadari
bahwa suka-duka, sakit-sehat, semua itu hanya gemblengan, cambukan, demi peningkatan
kesadaran kita. Demi evolusi kita. Demi menuntun kita menggapai kesadaran purna.

NI Cantrik: Dengan demikian pada Kaliyuga ini, zaman kekacauan ini, bagi yang
kesadarannya masih kurang, Bintulu atau Ibuntajati dianggap telah benar-benar turun
menjadi Iblis bermata satu atau Dajjal? Dajjal sudah sedemikian hebat melahirkan objek-
objek kenikmatan duniawi yang kini menyebar demikian gampang melalui koran, majalah,
televisi, ponsel, dan internet. Cukup satu langkah, seluruh dunia terjangkau olehnya. Wah,
aku baru paham sekarang dengan ungkapan bahwa Dajjal menjangkau seluruh dunia hanya
dengan satu langkah belaka.

Ki Ajar: Dan maksud dari bermata satu?

NI Cantrik: Bintulu atau Ibuntajati yang telah melahirkan objek-objek kenikmatan


duniawi ini, bagi yang kesadarannya masih kurang, dianggap hanya punya satu fokus, satu
penglihatan, satu konsentrasi, yaitu; kenikmatan duniawi itu sendiri. Sedangkan
Kenikmatan Yang Sejati, Kenikmatan Yang Abadi, sudah tidak terlihat lagi. Oleh
karenanya Dajjal dikatakan bermata satu. Bukankah begitu?
Ki Ajar: Tepat. Dan yang konon katanya di dahinya ada tulisan “Pembangkang”?

NI Cantrik: Bintulu atau Ibuntajati, bagi yang kesadarannya masih kurang, terlihat jelas
sekarang hanya menyuguhkan hal-hal yang penuh pembangkangan, penuh pengingkaran
kepada Kebahagiaan Sejati.

Ki Ajar: Tepat sekali. Bagi mereka yang tidak goyah oleh godaan Dajjal dan tetap pada
jalan kebenaran dikatakan akan digergaji kepalanya. Maksudnya apa?

NI Cantrik: Yang tidak ikut edan dan gila-gilaan menikmati kenikmatan duniawi, yang
kini sedang diobral oleh Bintulu atau Ibuntajati, pastinya juga harus berpusing kepala
bagaikan terkena gergaji. Sudah, Ki Ajar. Saya sudah paham sekarang. Tidak perlu
menunggu-nunggu Sang Penguasa Kegelapan kelak turun. Sekarang Dajjal itu sudah
benar-benar turun.

Ki Ajar: Aku bersyukur karena pemahamanmu meningkat sekarang.

NI Cantrik: Kembali ke pokok bahasan kita, Ki Ajar. Setelah aku renungkan tentang
semua yang Ki Ajar uraikan, kok saya malah merasa sedikit apatis dengan kehidupan ini.
Jadi lemes, loyo. Sayamerasa apa pun yang aku lakukan, toh hasilnya juga tergantung buah
pakartiku dulu. Percuma saya bekerja keras mati-matian pada kehidupan kali ini jika tidak
punya tanaman pakarti baik di kehidupan lampau. Toh hasilnya juga kegagalan yang
didapat. Sebaliknya, kalau pada kehidupan kali ini aku menghabiskan waktu dengan
bermalas-malasan, tidak perlu mati-matian berusaha, jikalau punya tanaman pakarti baik
di kehidupan lampau, toh pasti hasilnya saya juga akan sukses. Saya jadi termangu-mangu,
Ki Ajar. Sungguh.

Ki Ajar: Aku dulu juga sempat merasakan hal yang sama. Namun bagaimanapun,
kesadaranku tidak bisa serta-merta menafikan kebenaran hukum Ngundhuh Wohing
Pakarti dan Manitis.

NI Cantrik: Lantas?

Ki Ajar: Aku tak mendapat jawaban pasti.

NI Cantrik: Lho? Lah, mendingan tidak usah tahu sekalian hukum Ngundhuh Wohing
Pakarti kalau tidak ada solusi.
Ki Ajar: Banyak yang hanya mengatakan: Terimalah. Dan solusinya: Banyaklah berbuat
baik sebagai tabungan nasibmu kelak. Aku diam, Yitmaku berbisik: Ada yang kurang benar
sedikit, cari jawabannya.

NI Cantrik: Maksud Ki Ajar?

Ki Ajar: Aku dulu sempat balik bertanya: Kalau pada kehidupan kali ini ada seseorang
yang telah kehabisan energi karena Ibuntajati telah mendorongnya, telah
memposisikannya pada batas kehancuran, kehidupannya benar-benar terlalu banyak
batasan, hingga melangkah saja sudah tidak mampu, apakah solusinya hanya terus-terusan
mengharap datangnya kematian? Mau berpakarti baik saja sulit, karena Ibuntajati benar-
benar telah menyudutkannya sedemikian rupa.

NI Cantrik: Memang ada yang sampai seperti itu?

Ki Ajar: Aku terpacu mencari jawabannya, terdorong karena dulu punya seorang teman
wanita yang mengalami trauma masa lalu yang begitu hebat. Dia pernah mendapat
perlakuan buruk dari laki-laki. Dan hal itu sangat melukainya. Kesan itu tertanam erat di
Yatnanya, sehingga pada perkembangan selanjutnya, setiap kali bertemu laki-laki mana
pun, pasti dia ketakutan. Bahkan aku mendapati sendiri, keringat dinginnya pasti keluar
setiap dia harus bertemu langsung dengan seorang lelaki. Termasuk jika bertemu
denganku.

NI Cantrik: Sampai sejauh itu.

Ki Ajar: Aku kasihan juga. Dia pernah memaksakan diri curhat denganku. Pada suatu
kesempatan, dia bertanya kepadaku. Begini pertanyaannya: Apakah ini semua buah pakarti
burukku di masa lalu? Aku tidak segera menjawab. Karena jika dijawab ya, tidak ada
gunanya baginya. Yang terpenting, aku harus mencarikan solusi buatnya, bukannya
memberikan sesuatu yang membuat dia semakin merasa bersalah di tengah
penderitaannya.

Asal kamu tahu, dia sudah banyak melakukan terapi, berbagai terapi. Mendatangi psikiater,
tak ada hasil. Mungkin biaya juga menjadi salah satu faktor, dan itu juga buah pakarti
buruk dia, lahir dalam keluarga pas-pasan. Mendatangi ahli hipnotis, hasilnya juga tidak
maksimal. Ikut pelatihan Yoga, sang instruktur kelihatannya juga tak acuh, katanya.

Dia mengeluh, terpaksa mengeluh. Dia bilang kepadaku: Bagaimana aku bisa berinteraksi
secara maksimal? Bagaimana aku bisa berbuat positif untuk bekerja bebas di luar dengan
bercampur para lelaki? Mana mungkin ada perusahaan yang hanya berisi wanita? Mana
bisa aku berpakarti baik kalau begini? Banyak lelaki tidak bersalah harus aku buat
tersinggung, marah, terhina. Mereka tidak mengerti keadaanku, kondisiku. Aku merasa
saat ini aku sudah merasakan buah pakarti buruk, tapi tidak punya kesempatan untuk
berbuat pakarti baik. Alam telah menutup akses buat aku untuk berpakarti baik. Setiap
hari pasti ada saja laki-laki yang salah-paham dengan sikapku. Maafkan aku. Maafkan aku.
Tapi apakah mereka bisa mengerti? Satu-dua yang bisa memahami, tapi banyak juga yang
tidak paham. Dan mau tidak mau, aku banyak berbuat dosa pada mereka yang tidak paham.
Dan yang parah, bukan hanya kaum Adam saja yang menyalahpahami kondisiku, kaum
Hawa pun jadi ikut-ikutan. Mereka mempunyai kawan lelaki dan dengan niat baik
memperkenalkannya kepadaku. Tetapi aku membuat mereka kecewa karena sikapku yang
tidak menyenangkan kepada kawan lelakinya. Ujung-ujungnya, mereka menjauhiku,
membenciku.

NI Cantrik: Wah!

Ki Ajar: Itu hanya salah satu contoh saja.

NI Cantrik:Lantas, apa yang Ki Ajar berikan kepadanya?

Ki Ajar: Simak uraianku ini. Ada tiga jenis Ngundhuh Wohing Pakarti, yaitu: Beteng
Pakarti, Kajêng Pakarti, dan Pasah Pakarti.

NI Cantrik: Jelaskan kepada saya.

Ki Ajar: Beteng Pakarti adalah timbunan semua pakarti, positif maupun negatif. Dan kini,
pada kelahiran sekarang, telah mewujud dan menjadi dasar bagi takdir kita.

NI Cantrik: Contohnya?

Ki Ajar: Kamu lahir dari keluarga berkecukupan. Lahir dalam kondisi fisik sempurna.
Lahir dalam kondisi cerdas. Semua sudah terjadi, semua sudah menjadi fondasimu. Itulah
Beteng Pakarti.

NI Cantrik: Lantas, Kajêng Pakarti?

Ki Ajar: Kajêng Pakarti adalah timbunan semua pakarti, positif maupun negatif. Dan
kini, pada kelahiran sekarang, belum mewujud dan belum pasti.

NI Cantrik: Contohnya?
Ki Ajar: Apakah nanti keluarga kamu atau kamu sendiri akan tetap hidup dalam kondisi
berkecukupan? Apakah nanti kondisi fisikmu tetap sempurna? Apakah nanti tetap tajam
kecerdasanmu? Itulah Kajêng Pakarti.

NI Cantrik: Dan inilah yang bisa diramal oleh ahli ramal. Melihat Kajêng Pakarti kita.

Ki Ajar: Benar. Lalu Pasah Pakarti. Ia adalah segala aktivitas kita semenjak kesadaran
kita tumbuh, semenjak kita lepas dari masa balita. Semenjak itu, Ibuntajati mulai merekam
pikiran, perkataan, dan perbuatan kita.

NI Cantrik: Selepas masa balita?

Ki Ajar:Ya. Catat itu. Semenjak akil balik segala aktivitas kita akan direkam oleh alam
semesta, oleh Ibuntajati. Semenjak itulah kita menanam takdir kita, menguntai takdir kita.
Tanaman pakarti yang kita lakukan pada kehidupan kita kali ini ada yang tumbuh segera
secara instan, ada yang terending pending sementara, ada yang pending lama, bahkan ada
yang pending hingga kita terlahirkan lagi kelak.

NI Cantrik: Menjadi Beteng Pakarti dan Kajêng Pakarti di kehidupan kita kelak.

Ki Ajar: Pintar. Dan apabila kamu berbuat baik pada kehidupan sekarang, lalu perbuatan
baikmu berbuah seketika, berarti mungkin Pasah Pakarti yang berperan, atau
malah Kajêng Pakarti.

NI Cantrik: Pasah Pakarti yang berperan atau malah Kajêng Pakarti? Hmm, ya, saya
paham. Tapi begini, Ki Ajar. Misal, kita sakit. Lantas kita berbuat positif dengan mencari
penyembuhan. Tak lama kemudian kita sembuh. Berarti, mungkin Pasah Pakarti
berperan. Artinya, usaha kita menuai hasil saat itu juga. Tapi jika Kajêng Pakarti yang
berperan, artinya kesembuhan kita ternyata bukan karena usaha kita saat itu, tapi memang
pakarti baik kita di kehidupan lalu yang tumbuh. Lantas, usaha kita saat itu ke mana? Sia-
siakah?

Ki Ajar: Akan berbuah di kemudian hari. Bisa berbuah kesehatan fisik kamu. Atau, jika
kamu sakit, tanpa diminta ada yang datang menolong dengan sukarela.

NI Cantrik: Sekarang pertanyaan pokok saya. Kalau memang Ibuntajati hanyalah sebuah
mesin, berarti dia dirancang untuk menumbuhkan hasil secara tepat dan bisa
diperhitungkan, bisa diperkirakan tumbuhnya, bisa dihitung secara matematis.
Masalahnya, mana mungkin sebuah mesin punya pertimbangan dan kesadaran? Kita ambil
contoh, jika kita menanam biji jagung, pasti dapat diperkirakan tiga bulan setengah lagi
akan tumbuh tongkol jagungnya. Bukankah begitu? Namun pada kenyataannya, Ibuntajati
seolah punya kebijakan sendiri, kesadaran sendiri, pertimbangan sendiri. Tumbuhan
pakarti kita tidak bisa kita perhitungkan kapan tumbuhnya secara tepat. Nah, ini yang
membuat saya bertanya-tanya.

Ki Ajar: Kamu cerdas. Sesungguhnya segala bibit pakarti yang telah direkam oleh
Ibuntajati, setelah kita mati dan siap lahir lagi, akan diambil alih oleh Bapantajati pada
proses selanjutnya. Bapantajati yang akan menentukan kapan pakarti itu mewujud dalam
kehidupan kamu. Dia akan memilihkan waktu yang tepat. Dia punya rencana, dan rencana-
Nya cuma satu: semua demi peningkatan kesadaran kita. Tak ada yang lain. Bapantajati
punya kuasa. Bapantajati punya kebijaksanaan. Hukum Alam, siapa yang menanam pasti
akan menuai, bukanlah harga mati. Bapantajati punya wewenang tak terbatas untuk
mengubahnya. Demi peningkatan kesadaran kita.

NI Cantrik: Menyimak dari apa yang Ki Ajar uraikan barusan, berarti ada juga pakarti
baik dan pakarti buruk kita yang tidak bisa tumbuh?

Ki Ajar: Ya. Karena jangankan pakarti, kita menanam biji tumbuhan saja kadang kala
tidak tumbuh, disebabkan tanah yang tidak subur. Maka simaklah: Buat dirimu sebagai
tanah yang gersang, dengan mendekatkan diri kepada-Nya, memohon ampunan-Nya,
menebarkan kasih kepada sesama, berfikir positif, beraktivitas positif, jujur, dan lurus,
sehingga pakarti burukmu tidak bisa tumbuh. Buatlah dirimu sebagai tanah yang subur,
dengan mendekatkan diri kepada-Nya, memohon ampunan-Nya, menebarkan aktivitas
positif, jujur, dan lurus, sehingga pakarti baikmu bisa tumbuh subur.

Itu kuncinya.

Dan teman wanitaku itu telah menerapkannya. Hasilnya, Dia berangsur-angsur sembuh
sekarang. Bapantajati telah membantunya, telah ikut campur tangan. Sikap ini dinamakan
Sumarah yaitu memasrahkan diri secara total kepada-Nya. Niscaya dia akan mengulurkan
tangan-Nya.

KI Ajar Damar Shashangka.

Bogor, 08 Maret 2021

Anda mungkin juga menyukai