Suatu hari di desa Manunggal Jaya, sebuah desa terpencil di Kalimantan Timur.
Seorang ibu hamil tua bernama Ny. C (39 tahun) datang ke pondok bersalin desa ditemani
seorang tetangganya.
Desa ini jauh dari rumah sakit dan membutuhkan waktu minimal 5 jam perjalanan
yang juga hanya dapat ditempuh menggunakan transportasi air.
Tetangga : (Tok, tok, tok!!) “Assalamu’alaikum Bu Bidan
Ibu Hamil : “(ekspresi ibu meringis kesakitan)”
Bidan : “Waalaikumsalam, mari silahkan masuk bu. Bagaimana? Ada yang
bisa saya bantu bu? (mempersilahkan duduk)”
Tetangga : “Ini Ibu Cintya udah mau lahiran, Bu Bidan”
Bidan : “Mari kalau begitu langsung berbaring saja di sini bu (menunjuk
tempat tidur)”
Ibu Hamil : “(menuju tempat tidur dan berbaring)”
Tetangga : “(membantu ibu berbaring ke tempat tidur)”
Bidan : “Ada buku untuk periksa hamilnya bu?”
Ibu Hamil : “Ehm…tidak Bu”
Bidan : “Buku yang pink itu? Ibu sudah pernah periksa hamil?”
Ibu Hamil : “Belum Bu, kalau pas hamil pertama dulu saya punya.”
Bidan : “Oh…ya baiklah kalau begitu.“
Ibu Hamil : “Suami saya sibuk, tidak ada yang mengantar buat periksa Bu, jauh
juga”
Bidan : “Hmm.. sayang sekali ya Bu, saya jadi tidak mengetahui bagaimana
perkembangan kehamilan Ibu.”
Bidan : Nama lengkap Ibu siapa ya?
Ibu Hamil : “Cintya Laura Natakusuma Tungga Dewi Puspita Ningrum, Ibu”
Bidan : “Wah nama yang bagus ya, nama panggilannya siapa Ibu”?
Ibu Hamil : “Cintya”
Bidan : “Oh ya. Ibu Cintya nama lengkap suami siapa Ibu?”
Ibu Hamil : “Joko Tingkir, Bu”
Bidan : “Umur Ibu dan suami?”
Ibu Hamil : “Saya 39 tahun, suami 42 tahun”
Bidan : “Ini hamil yang ke berapa ya Bu?”
Ibu Hamil : “Hamil ke tiga”
Bidan : “Sebelumnya pernah keguguran?”
Ibu Hamil : “Belum Bu…eh tidak pernah”
Bidan : “Hari pertama menstruasi terakhir tanggal berapa ya Bu?”
Ibu Hamil : “Haduh…. Kapan ya… pokoknya pas tahun baru itu saya udah nggak
mens Bu”
Bidan : “Berarti terakhir Mens Desember ya? Kalau tanggalnya biasanya
kapan mulainya?”
Ibu Hamil : “Iya Desember, ya tanggal tengah-tengah Bu, kadang 15, 16, 17,
kadang maju jadi 13, gitu nggak mesti Bu.”
Bidan : “ Oh ya, baiklah. Anak terakhir umur berapa ya?”
Ibu Hamil : “ Alhamdulillah sudah 4 tahun”
Kemudian Bidan melanjutkan anamnesanya sampai selesai secara lengkap dan
dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik. Dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik tersebut
didapatkan data : Ny.Cintya umur 39 tahun G3P2A0 usia kehamilan 40 minggu ±2 hari, janin
hidup, tunggal, intrauterine, punggung kiri, presentasi bokong, dalam persalinan kala I, fase
aktif, patologis.
TD 120/80 mmHg, nadi 75x/menit, RR 20x/menit, suhu 36,5°C, status present dan
obstetric dalam batas normal, TBJ 3100 gr, pembukaan 4 cm, eff 50%, KK utuh, teraba
bokong, bagian lain (-), penurunan bagian terendah di Hodge II, lendir darah (+)
Bidanpun segera memberitahukan tentang hasil pemeriksaan kepada Ny. Cintya.
Bidan : “Ibu….berdasarkan hasil pemeriksaan tadi, ibu sudah mengalami
pembukaan 4. Denyut jantung janin 140x/menit, normal ya Bu, sehat
adeknya. Tapi Ibu maaf ini bayinya sungsang… bokongnya yang ada di
bawah. Ya?
Ibu Hamil : “(terkejut) hah? Terus bagaimana Bu?”
Bidan :”Ibu tenang dulu… Saya jelaskan ya Bu. Seharusnya memang posisi
normal bayi itu adalah bagian kepala yang di bawah…kalau bokong
yang dibawah banyak risiko yang dapat terjadi terutama pada bayinya
nanti. Maka dari itu persalinan sungsang harus dilakukan di RS dengan
dokter.”
Ibu Hamil : “Oh begitu ya Bu Bidan, memangnya kalau disini saja nggak bisa ya
Bu?”
Bidan : “Tidak bisa Ibu, risikonya sangat tinggi. Saya tidak memiliki
kewenangan untuk melahirkan bayi sungsang. Lagi pula karena ini
masih pembukaan 4, masih ada waktu untuk merujuk, karena biasanya
juga persalinan sungsang berlangsung lebih lama.”
Ibu Hamil : “ehm…saya harus bilang suami dulu Bu…kalau boleh di RS ya ke RS
nanti, wong saya ndak pernah lahiran di RS.”
Bidan : “Iya begini saja, sebaiknya saya berdiskusi dahulu dengan suami atau
keluarga terdekat, saya akan jelaskan tentang persalinan sungsang,
bagaimana jalan keluar yang terbaik. Semoga nanti diberi kemudahan
dalam mengambil keputusan. Kira-kira sekarang yang bisa dihubungi
siapa ya Bu?”
Ibu Hamil : “Kalau masalah seperti ini suami saya Bu, sama mertua saya harus
ikut musyawarah”
Tetangga : “Bu Bidan, ini harus segera, apa darurat ngga ya Bu? soalnya
keluarga ibu Cintya sedang dalam perjalanan kemari”
Bidan : “Iya...kira-kira berapa lama lagi ya Bu bisa sampai disini?”
Tetangga : “yah kira-kira sekitar 1,5-2 jam lagi, Bu”
“Kalau begitu saya hubungi lagi saja ya Bu biar cepat sampai sini.
(tetangga menghubungi keluarga)
Dua jam kemudian, keluarga ibu datang ke Polindes.
Suami : “Assalamualaikum”
Bidan &tetangga : “Waalaikummussalam, silahkan masuk Pak”
Bidan : “Ini Pak Joko ya?”
Suami : “Iya Bu, bagaimana keadaan istri saya bu?”
Bidan : “Tenang Pak, Bu….kondisi ibu dan bayi sehat. Saat ini ibu dalam
masa persalinan, tadi jam 10.00 masih pembukaan 4. Namun saya
butuh berdiskusi dengan bapak dan Ibu sekalian. Karena ada hal yang
harus diputuskan”
Ibu kandung : “Anak saya kenapa bu?”
Bidan : “Silahkan duduk dulu. Begini bu bapak, kondisi ibu dan bayi memang
sehat. Namun berdasarkan hasil pemeriksaan letak bayinya sungsang
atau bokongnya yang berada di bawah. Pada keadaan normal
seharusnya kepala yang berada di bawah. Karena bagian terberat dan
terbesar bayi itu adalah kepala, jadi yang seharusnya lahir dahulu
membuka jalan lahir adalah kepala, kalau bagian terbesar sudah bisa
lahir maka bagian lain seperti badan sampai kaki mudah juga keluarnya
nanti. Tapi kalau sungsang, yang di bawah bokong, nanti persalinannya
berbeda. Banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Seperti persalinannya
jadi lama karena bokong lebih ringan dan lebih lunak untuk membuka
jalan lahir, kemudian karena persalinannya yang lama bisa terjadi
gawat janin dan berlanjut setelah lahir bayinya tidak langsung
menangis, dan juga kadang kepalanya sulit lahir setelah badan lahir.
Untuk itu dalam menanganinya harus dengan tehnik khusus, dan
membutuhkan minimal 2 orang tenaga ahli. Selain saya tidak memiliki
wewenang untuk menolong persalinan sungsang, polindes juga tidak
memiliki alat yang lengkap jika terjadi sesuatu pada ibu maupun bayi.
Selain itu untuk merujuknya membutuhkan waktu yang lama, sehinga
ditakutkan akan terlambat. Untuk itu yang paling baik persalinan
sungsang itu dilakukan di RS dimana alat-alatnya sudah lengkap. Jadi
semisal terjadi hal-hal yang tidak diinginkan bisa segera diatasi.”
Suami : “(terdiam)”
Ibu Kandung : “Astagfirullahaladzim”
Mertua : “Lalu harus di rumah sakit gitu Bu?!”
Bidan : “Iya Ibu, karena saya tidak boleh menolong persalinan sungsang
karena risikonya yang sangat tinggi tersebut. Mumpung ini masih
pembukaan 4, jadi lebih baik mencegah dan antisipasi dini terlebih
dahulu”
Mertua : “Yang namanya lairan ya pasti ada risikonya! Bu Bidan ini terlalu
berlebihan!, tante saya lahiran sungsang di rumah ya ndak kenapa-napa
itu”
Ibu Kandung : “Iya Bu, apa ndak bisa diusahakan disini saja, lagian Bu Bidan pasti
sudah banyak pengalamannya”
Bidan : “Begini Ibu, ini bukan masalah pengalaman atau tidak pengalaman.
Saya memikirkan betul bagaimana yang terbaik untuk anak Ibu. Karena
saya tau apa risiko yang bisa terjadi. Ini mumpung anak ibu masih
pembukaan awal jadi alangkah baiknya kalau kita rujuk segera ke RS
agar segera mendapatkan penanganan yang maksimal”
Mertua : “Bu Bidan, memangnya di RS itu menjamin selamat apa?! Wong ya
banyak yang lairan di RS malah mati, justru kalau di RS itu nambah-
nambah masalah. Saya ini… lahiran 12 kali ngga tau posisi-posisi bayi
apa ya sehat-sehat saja bayinya! Pokoknya saya ngga setuju kalau
menantu saya di bawa ke RS!”
Ibu kandung : “Ibu besan, tenang dulu, ndak usah kenceng-kenceng ngomong sama
Bu Bidan.”
Mertua : “Saya khawatir Bu kalau anak menantu saya di bawa ke RS”
Ibu Kandung : “Lha iya, tapi gimana lagi. Bu Bidan, apa ndak bisa dicoba disini
dulu?”
Bidan : “Tidak bisa Ibu, itu namanya saya melanggar peraturan. Saya sudah
20 tahun bekerja sebagai Bidan. Saya rekomendasikan sekali Ibu
Cintya untuk dibawa ke RS. InsyaAllah semua bisa ditangani dengan
baik disana. Mudah-mudahan tidak terjadi risiko apapun. Tapi kalau
sudah berada di rumah sakit kan sudah ayem dulu Bu”
Suami : “Iya Bu Bidan, betul memang seperti itu” (sambil manggut-manggut)
Mertua : “Betal-betul apanya?! Nak…kamu itu ngga tau apa-apa soal lairan.
Pokoknya kalau bu bidan ngga mau nolong anak saya, biar saya bawa
pulang saja lairan sama mbah dukun! Apa-apaan ke rumah sakit.
Biayanya mahal, bahaya, jauh pula nanti kalau lahiran di jalan
bagaimana?! Ibu mau tanggung jawab? Cucu saya lair di perahu?! ”
Suami : “Ibuk! Ngga usah berlebihan begitu. Sini Ibu bicara sama saya saja.
Kasihan Bu Bidan sudah baik, ibu marah-marah ga jelas”
“Ibu, Bu Bidan ini kan sudah senior, ilmunya juga banyak, sudah kita
nurut saja apa saran beliau. Ibu ndak usah mikirin uang. Uang itu saya
yang cari, ibu ga usah rebut soal uang. Yang penting kan anak dan istri
saya selamat. Sekarang kita tanya saja sama Cintya maunya bagaimana.
Kalau dia pasti tidak mau lair di dukun Bu. Dia sudah modern. 2015
kok lair di dukun”
Mertua : (bertanya pada Cintya yang masih kesakitan di tempat tidur). “Nak,
bagaimana? Kamu mau lairan di RS?”
Ibu Hamil : “Iya Bu, ndak apa-apa. Saya manut Bu Bidan sama suami saya”
Suami : “Nah kan? Udah Ibu ga usah berfikir yang macam-macam lagi.”
Mertua : (terdiam sejenak) “Yowislah karepmu Jok”
Ibu Kandung : “ Iya, Ibu sini duduk saja dulu, tenangkan diri”
Bidan : “Bagaimana Pak Joko? Berarti setuju untuk dilakukan rujukan?”
Suami :”Iya Bu Bidan.”
Bidan :”Baiklah, saya periksa Ibu Cyntya dulu ya, nanti setelah ini kita
persiapkan untuk merujuk”
Suami : “ Iya Bu”
Akhirnya ibu dan bayi dapat ditolong dengan selamat. Ibu bidan melakukan
pencatatan dan pelaporan ke Puskesmas.