Anda di halaman 1dari 3

Jurnal Poetika Vol. II No.

1, Juli 2014

SEBUAH RUPA “JAWA” DALAM KALANGWANG

Arif Kurniar Rakhman


Peneliti Sastra dan Budaya di Komunitas Kembang Merak
Email: jek_arifrakhman@yahoo.com

Judul Buku: Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang |


Pengarang: P.J. Zoetmulder | Penerbit: Penerbit Djambatan |
Jumlah Halaman: 648 Halaman

Sang hyang candra bangun bahitra dateng ing kulem “Jawa” bisa juga menafsirkannya dalam gagasan-
anawa sasa mareng Jawa. gagasan yang lebih politis, yaitu lemah lembut di
(Sumanasataka 33.4 via Zoetmulder, 1985 :238) depan, kemudian menghujat di belakang. Cara
pikir ini tentu menghadirkan “Jawa” sebagai
pengecut, bukan “Jawa” yang gagah. Padahal

B agaimana menyimak identitas Jawa


dalam “rupa-rupa” riwayatnya? Sebuah
pertanyaan ringan sengaja terlontar ketika
di konteks lain, sejarah kerajaan di Jawa selalu
berkontestasi, bahkan selalu menghadirkan
resistensi antartokoh yang berkuasa. Tentu
pikiran kita mengimajinasikan “Jawa” dalam untuk merebut pengaruh dan hegemoni
sebuah multi ruang, mengingat cairnya narasi kekuasaan secara gagah, perang Diponegoro
yang diriwayatkan dari berbagai pilihan sudut bisa menjadi referensi yang menarik.
pandang. “Jawa” bisa kita hadirkan dalam Itulah kenapa “Jawa” menjadi sangat
sebuah perspektif geografis, yaitu dari Anyer seksi untuk dikaji, terutama oleh para sarjana
hingga Panarukan. Artinya, memahami “Jawa” Barat, simak Clifford Geertz, Bennedict
di luar itu adalah “bukan Jawa”, meskipun Anderson, Deniel S. Lev, Nancy K.Florida,
Sunda–yang secara wilayah masuk “Jawa”–, Andre Moller, atau bahkan P.J. Zoetmulder
tidak akan pernah merasa dirinya sebagai yang memosisikan “Jawa” sebagai objek kajian.
“Jawa” akibat proses kontestasi antara kerajaan Dari kajian-kajian itu ternyata “Jawa” juga tidak
Padjajaran dan kerajaan Majapahit yang terus dipersepsikan sama. P.J. Vent (1875) memberikan
direproduksi. Kemudian, memahami “Jawa” komentar bahwa orang Jawa selain mahir dalam
dari perspektif keraton tentu menghadirkan pertanian dan perdagangan, juga mahir dalam
“Jawa” dalam nuansa yang feodalistik, jauh dari meracik tembaga, memahat, bahkan mengecor
gagasan-gagasan yang terkesan modern dan logam. Konteks ini berbeda dengan Mulder
rasional. Hal ini tentu memberikan konsukuensi (1980) yang menganggap orang Jawa tidak
bahwa citra “Jawa” adalah masa lalu, berbentuk terlalu punya perhatian yang intens terhadap
klangenan, dan tidak relevan dengan era benda mateial dan kecakapan material. Dunia
sekarang. Padahal di konteks lain, harmonisasi kemudian dianggap remeh dibandingkan sisi
alam yang selalu dikampanyekan hari ini, sudah spiritual yang hadir. Komunikasi praktis tidak
sejak lama dihadirkan melalui berbagai teks dihargai, sedangkan komunikasi sosial memiliki
dan tradisi “Jawa”, melalui modal simbolik derajat lebih penting. Memang benar, dimensi
yang dihadirkannya. Nyi Loro Kidul mungkin waktu dan tempat bisa menjadi indikator
menjadi pilihan kampanye yang signifikan pada mengapa penelitian keduanya berbeda. Namun,
masanya untuk menjaga laut agar tetap asri dan tetaplah ada pesan bahwa ‘”Jawa” selalu dinamis.
terbebas dari eksploitasi manusia. Memahami Artinya, semua narasi atasnya pasti hadir dalam

84
Jurnal Poetika Vol. II No. 1, Juli 2014

“rupa-rupa” yang berbeda. Maka, istilah “rupa- itulah bulan purnama dapat dikatakan telah
rupa” adalah pilihan kata untuk membedakan datang pada malam hari. Selain itu, hanya bulan
dengan kata “sebuah rupa”, agar tidak terkesan purnamalah yang mencerminkan ciri-ciri seekor
tunggal. Kelinci (hlm 238). Di konteks lain, posisi Jawa
Berdasarkan kesadaran itu, cara pikir dalam teks itu hanyalah suatu anakronisme, atau
kita hendaklah memilah “Jawa” dalam rupa- sekurang-kurangnya sebagai suatu anatopisme,
rupa yang berbeda. Rupa yang satu tentu mengingat latar cerita, nama kerajaan, bahkan
berbeda dengan rupa yang lain karena rupa nama tokoh sebenarnya berasal dari India.
yang lain menjadi tanda bagi hadirnya rupa Model seperti teks ini juga hadir dalam kakawin
yang satu. Termasuk ketika kita memahami lain, seperti tokoh Arjuna bertangan seribu
“Jawa” dalam wujud teks sastra kunonya, (Arjuna Sahasrabahu), kisah mengenai Rama
tentu dia menjadi tanda akan hadirnya rupa dengan kapaknya (Parasurama) atau dari
yang baru, sebuah rupa lain yang entah sudah lingkungan mitologi, dengan munculnya dewa
atau justru belum terkaji. Inilah pentingnya Siwa, Wisnu, dan raksasa. Artinya, latar belakang
dunia rupa “Jawa” yang saling menyambut. cerita tersebut hadir dari observasi penyair
Untuk itu, tetap diperlukan sebuah kajian yang sendiri tentang dunianya, yaitu perpaduan dunia
komprehensif agar membuka ruang yang satu, nyata dan dunia imajinasinya (hlm 239).
terutama terkait dengan sastra Jawa kuno dan Selain itu, penjelasan tentang
berbagai hal yang melingkupinya, agar terbuka harmonisasi alam dengan manusia menjadi
rupa-rupa yang lain. Zoelmulder lewat buku pilihan analisis yang menarik dari tulisan
Kalawang: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang Zoetmulder ini. Hal ini menjelaskan bagaimana
mencoba menawarkan itu. metafora-metafora menjadi sarana-sarana sastra
Ada banyak hal yang patut diapresiasi dan menjadi sumber bagi sejarah kebudayaan
dalam buku ini. Kekayaan dalam deskripsi data Jawa kuno. Ada beberapa contoh yang bisa
karya sastra Jawa kuno, dari yang mayor hingga dideskripsikan, misalnya deskripsi tentang
minor, adalah hal yang paling istimewa ketika kecantikan perempuan dikatakan bahwa
kita membaca buku ini. Simak bagaimana rambutnya hitam dan tebal laksana awan-awan
buku mendeskripsikan sastra purwa, misalnya yang jenuh dengan hujan lebat, raut mukanya
Adiparwa (hlm 80–84), Wirataparwa (hlm laksana rembulan, bibirnya merah laksana
84–86), Udyopagarwa (hlm 86–89) dan lain katirah, lengannya lentur dan ramping laksana
sebagainya, berbagai jenis kakawin mayor ranting-ranting pohon asoka, payudaranya
seperti ikhtisar Ramayana (hlm 278–288), laksana buah kelapa gading, serta betis yang
ikhtisar Arjunawiwaha gubahan Mpu Kanwa berbentuk indah menyerupai pudak (hlm 267).
(hlm 298–308), hingga beberapa kakawin minor Hal yang berbeda ketika mendeskripsikan
dari Subhadrawiwaha sampai Naraka Wijaya prajurit-prajurit yang merepresentasikan sifat
(hlm 480–507). Tidak lupa, eksplorasi Sastra perkasa. Dijelaskan ketika Bhima membunuh
Kidung hadir dalam buku ini, seperti Ikhtisar Dussasana, rambutnya menyerupai awan yang
Kidung Harsawijaya hingga Ikhtisar Waseng kemerah-merahan, matanya bersinar bagaikan
Sari (hlm 513–539). matahari yang terbakar, sendawanya terdengar
Kelebihan lain yang tercermin dari bagaikan gemuruh guntur (genter), dan tubuhnya
buku ini adalah kemampuannya meraba aspek bertetesan darah seperti awan yang diwarnai
sosiologis dan historis teks. Sebuah kutipan matahari (hlm 268). Dari deskripsi ini, ada
Sumanasataka 33.4 di atas adalah salah satu unsur pokok dalam alam pikiran Jawa kuno,
contoh yang menarik. Sarjana dari Belanda ini yaitu manunggaling (bersatunya) alam semesta
menjelaskan bahwa makna teks pasti bukanlah dengan makhluk yang ada di dalamnya (hlm
bulan baru karena kutipan tersebut merupakan 269).
deskripsi laut menjelang fajar; hanya pada saat Zoetmulder juga menjelaskan tentang

85
Jurnal Poetika Vol. II No. 1, Juli 2014

produksi dan teknik penulisan teks dalam buku harus dilontarkan sebagai wujud keseimbangan
ini, karena baginya proses penulisan teks adalah informasi. Zoetmulder dirasa masih belum
proses kebudayaan yang harus dicermati. Kita mampu menjembatani teks sastra mayor sebagai
harus membayangkan proses penulisan yang wujud dari sastra istana, melalui pemujaan
terjadi pada saat itu dalam keterbatasan. Padahal kepada raja, dengan sastra yang minor yang
keterbatasan itu adalah persoalan utama dalam merupakan sastra yang tidak berbicara pada
menyusun sebuah teks (puisi) dalam masyarakat istana sentris, meskipun data terhadap sastra
Jawa kuno (hlm 150). Dalam penjelajahan yang ini sulit sekali dilacak. Mungkin penelusuran
dilakukan Zotmulder, daun-daun palma/ental terhadap sastra lisan, sebagai representasi dari
atau lontar (suatu bentuk metatesis dari rol tal, sastra minor dan media oposisi dari sastra
yaitu au pohon tal) adalah bahan tulis tersebut mayor, bisa menjadi pintu yang menarik
(hlm 152). Selain itu, ada juga pudak, yaitu bunga untuk diteliti. Proses observasi yang dilakukan
pohon pandan, suatu jenis tanaman yang mirip Zoetmulder di Bali mestinya juga bisa melacak
dengan nanas. Tanaman ini sering tumbuh di itu, sehingga data yang didapat tidak hanya
sepanjang pantai dan sungai. Bunganya (pudak) terpaku pada proses mekanisme penulisan
tersusun menurut lapisan, berwarna kuning, sastra Jawa kuno saja. Sayangnya, hal ini tidak
terbungkus lonjong yang pada ujungnya dilakukan. Meskipun begitu, usaha itu terlihat
meruncing. Menurut Zoetmulder, bunga ini ada dengan minimal melakukan eksplorasi
sering diumpamakan dengan betis seorang berhadap beberapa kakawin yang tidak begitu
peempuan, bila kainnya terbuka sedikit (hlm populer (dalam konteks yang lain bisa menjadi
161). Ada juga alat tulis lain seperti tanah dan sastra minor), meskipun tetap berada pada
karas, meskipun proses pemaknaan terhadapnya lingkup istana sentris. Hal lain yang juga kurang
masih memerlukan penafsiran lebih lanjut dilakukan adalah usaha untuk mencari geneologi
karena informasi ini datangnya justru dari teks teks sastra kuno karena tentu banyak sekali
sastra Jawa kuno sendiri (hlm 154–155). versi naskah yang diteliti. Dengan melakukan
Keunggulan lain dari buku ini adalah langkah itu, minimal pembaca bisa mengetahui
penjelasan Zoetmulder tentang deskripsi relasi naskah versi mana yang diteliti, sehingga
Kawi (penyair) dengan raja yang dijunjungnya. langkah-langkah penelitiannya, seperti metode
Simak bagaimana Zoetmulder memberikan dan teori, juga bisa menjadi perbincangan yang
penjelasan tentang mpu Kanwa yang hangat di kalangan penikmat sastra.
menggubah syair Arjunawiwaha. Disebutkan Akhirnya, kehadiran buku Kalawan:
bila istilah samarakarya/operasi militer/perang Sastra Jawa Kuno dan Selayang Pandang karya
kita terima menurut arti yang sebenarnya, maka P.J. Zoetmulder patut diapresiasi karena
rupanya syair ini ditulis pada tahun 1028 dan telah memberikan informasi yang sangat
1035. Sangat masuk akal bahwa manggala-nya detail tentang teks Jawa kuno, mulai dari
ditujukan kepada Erlangga, biarpun namanya ikhtisarnya hingga hubungan kekuasaan yang
tidak disebutkan. Artinya, sangat jelas bahwa melingkupinya. Selain itu juga menjadi pintu
penyair yang bernama mpu Kanwa menulis masuk untuk membuka rupa-rupa identitas
syairnya di bawah perlindungan raja Erlangga “Jawa” yang lain, sebuah rupa yang tidak mesti
(hlm 308–309). Relasi ini juga tercermin antara harus berbaur dengan istana dan kekuasaan,
kawi yang lain dengan raja-rajanya, seperti mpu sebuah rupa yang menjelaskan bahwa “Jawa”
Tantular dengan Hayam Wuruk (hlm 429), tidak dalam narasi tunggal. Semoga. []
Prapanca dengan Hayam Wuruk (440–450),
mpu Monaguna dengan Warsajaya, seorang raja
setelah Erlangga (hlm 385) dan lain sebagainya.
Meski banyak sekali keunggulan dari
buku ini, ada beberapa kritik yang mestinya

86

Anda mungkin juga menyukai