Anda di halaman 1dari 5

SEJARAH KAKAWIN DAN KIDUNG

PENDAHULUAN

Dalam menjalani hidupnya di dunia manusia, dia mengalami banyak kesempatan besar
yang baik bahagia maupun sengsara. Terkadang beberapa kesempatan mampu memiliki efek
tertentu yang seperti yang ditunjukkan oleh orang-orang yang mengalaminya adalah suatu
peristiwa yang istimewa, tidak mudah diabaikan, dan bahkan tidak jarang berubah menjadi
pertemuan dan teladan yang luar biasa berharga dalam hidupnya. Cara individu mengekspresikan
perasaan mereka saat bertemu. Pengalamannya tidak diragukan lagi berbeda, dan salah satunya
adalah dengan bernyanyi. Masa lalu bernyanyi, individu dapat mengomunikasikan perasaan yang
dialami dengan menuangkannya setiap kata yang membahas perasaannya untuk kemudian
diubah menjadi sebaris syair dalam bait-bait nada. Selain membuat lagunya sendiri yang
membahas kasih sayangnya untuk waktu lain dinyanyikan, orang juga sering mengutip atau
itulah yang menyanyikan lagu orang lain dianggap cocok atau mengatasi sensasi individu yang
akan memanfaatkan nyanyian tersebut.

Banyaknya budaya saat ini yang masuk ke Indonesia, sehingga membuat budaya dan
kualitas sosial Jawa semakin sepi dan banyak nilai-nilai mutakhir yang masuk. Budaya dan
bahasa Jawa Baru juga memahami istilah kidung yang hampir sama pentingnya dengan kidung
dalam bahasa Jawa Fokus, dan struktur kata kerjanya menjadi ngidung atau angidung. Arti ini
kemudian sering digunakan dalam penggunaan istilah kidung sebagai nyanyian atau nada ketat
dalam bahasa Jawa dan Indonesia masa kini. Kidung juga memiliki makna yang sangat dekat
dengan budaya Jawa dan juga memiliki banyak makna yang sangat mendalam dengan asumsi
kita mengetahui makna kidung itu sendiri.

Perbedaan yang paling jelas antara kidung dan kakawin adalah penggunaan bahasa.
Kakawin menggunakan bahasa Jawa Kuno, sedangkan kidung menggunakan bahasa Jawa. Satu
lagi kontras juga ditemukan bahkan tanpa jejak laghu pendidik (aturan nada) di kidung, yang di
kakawin menjadi salah satu prinsip standar.

1
PEMBAHASAN

KAKAWIN

Kata kakawin sebelumnya telah menemukan titik awalnya, tepatnya dari kata Sansekerta
kawi namun dua bahasa Jawa mengikat ka-dan -n memberinya nada mulatto. Dalam bahasa
Sansekerta, kata kawi pada awalnya berarti 'orang yang memiliki pemahaman luar biasa, orang
yang melihat masa depan, orang yang cerdas'; namun kemudian dalam penulisan Sansekerta
tradisional istilah ini menjadi sangat penting, khususnya seorang 'penulis'. Selanjutnya, dalam
perasaan inilah kata itu sering digunakan dalam tulisan Jawa Kuno. Menurut pedoman morfologi
Jawa Kuno, hal lain dibingkai yang ditetapkan dalam kata kawi namun dengan menambahkan
awalan ka- dan tambahan -n (ka-kawi-n), sedangkan yang penting adalah 'karya ilmiah, syair'. 1
Beberapa contoh wacana kakawin misalnya Arjunawiwaha, Bhatarayudha, Hariwangsa,
Kunjarakarna, Nagarakrtagama, Parthayajna, Ramayana, Smaradahana, Sutasoma,
Sumanasantaka, dan Siwaratrikalpa.2

Pergeseran arti ini pantas kita perhatikan, tidak karena dibentuk dengan ka-...-n (sesuatu
yang biasa), melainkan karena arti yang diperoleh memang demikian. Pada umumnya kata-kata
yang dibentuk dengan cara itu merupakan kata-kata benda yang abstrak, dan bila akarnya
menunjukkan suatu kelompok orang, maka pem¬ bentukan dengan ka-...-n berarti ’status
seorang’, ’pangkat seorang’, atau, dan ini bahkan lebih umum, ’bahwasanya ia seorang. .
Demikianlah kita berjumpa dengan kata kawikun ’status seorang wiku (seorang rahib atau
rohaniwan)’; kaprabhun ’kedudukan sebagai seorang raja ( prabhu) y ; bahkan kapandawan yang
berasal dari nama Pandawa , putera atau keturunan dari Pandu dalam arti kata ’eksistensinya
sebagai seorang Pandawa atau Mengenai kata kakawin kita mungkin lalu mengira, bahwa artinya
’kedudukannya sebagai seorang penyair, eksistensinya selaku seorang penyair’, bukan hasil
karyanya, yaitu syairnya. Pergeseran- pergeseran serupa ini, dari abstrak menjadi konkrit,
memang terjadi dalam bahasa Jawa Kuno, biarpun saya tidak tahu akan sebuah contoh lain
mengenai sebuah kata benda yang dibentuk dengan ka-...-n. Tetapi dalam kasus ini saya kira kita
boleh mengandaikan pengaruh bahasa Sanskerta, tidak hanya sejauh kata kawi sendiri dipinjam
dari bahasa itu, tetapi juga berdasarkan pembentukannya. Rupanya pembentukan ka-...-n dari

1
Zoetmulder, P.J. (1983). Kalangwan. Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan. Hal. 119.
2
Ibid., hal. 482.

2
kata kawi itu menjadi lazim karena dikira bahwa dengan demikian kata Sanskerta kawya dengan
tepat dialih bahasakan.

Perubahan morfologis yang menjadikan kawi => kawya merupakan suatu proses yang
sering dipakai dalam bahasa Sanskerta untuk membentuk sebuah kata benda yang abstrak
artinya; dalam periode Veda misalnya kita berjumpa dengan kata kawya yang berarti
’kebijaksanaan, pengetahuan seorang nabi’. Tetapi pada periode klasik - dan sastra periode inilah
yang dikenal oleh para sastrawan Jawa - kata kawya berarti ‘buah hasil dari puisi kraton’, sebuah
syair yang pada pokoknya bersifat epis, yang coraknya agak dibuat-buat (artifisial), dan justru
inilah sifat-sifat kakawin dalam sastra Jawa Kuno. Dalam membentuk sebuah istilah yang
menunjukkan jenis sastra ini para pujangga Jawa mengambil akar kawi, dan serupa dengan
proses pembentukan dalam bahasa Sanskerta yang menghasilkan kata kawya dari kata kawi,
serta menambahkan afiks-afiks yang dalam bahasa Jawa Kuno umum dipakai untuk membentuk
sebuah kata benda abstrak. Maka dari itu, perubahan arti yang mengalihkan sesuatu yang abstrak
menjadi konkrit, dapat diterangkan karena pengaruh bahasa Sanskerta.3

Kakawin dalam metrum tertentu terdiri dari tidak kurang dari satu refrein. Setiap
pengulangan kakawin memiliki empat baris dengan jumlah suku kata yang sama. Kemudian
rencana yang dikenal sebagai instruktur nada ini juga mirip. Pendidik melodi adalah jumlah suku
kata. Karya-karya abstrak Kakawin dalam karya Bali, salah satunya dimanfaatkan untuk
menyertai pelayanan yadnya. Ketika digunakan untuk pergi dengan layanan yadnya, kakawin
menahan kemampuan untuk tujuan memohon. Kakawin adalah istilah untuk syair Jawa kuno
menurut metrum India, Kidung adalah istilah untuk sajak paruh baya menurut meteran Jawa dan
tembang adalah ungkapan Jawa lainnya dalam kaitannya dengan meteran Jawa.4

KIDUNG

Kidung adalah suatu kata Jawa asli, sungguh asli.5 Kidung memang bisa dimanfaatkan,
untuk membuka ruang dalam sesuatu, untuk mewujudkan kebenaran. Pengalaman hermeneutik
memahami apa yang dikatakan, untuk situasi ini nadanya, sesuai dengan keadaan saat ini. Selain
itu, makna karya abstrak kidung bersifat dinamis, sementara, dan individual (Palmer, 2003).
3
Ibid., hal. 120
4
Wardhani,Novia Wahyu. Pembelajaran Nilai-Nilai Kearifan Lokal Sebagai Penguat Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Informal.
Hal 60.
5
Zoetmulder, P.J. (1983). Kalangwan. Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan. Hal. 119.

3
Kidung belum banyak diteliti dan disebarluaskan oleh para ahli seni adat. Para ahli telah
menguasai penyebaran teks kidung, termasuk Nada Sudamala (Callenfels, 1925) dalam sebuah
artikel berjudul "De Sudamala in de Hindu-Javaansche kunst".

Berg (1927, 1930, 1931) mendistribusikan Kidung Sunda, Tune Ranggalawe, dan Tune
Harsa Wijaya dengan judul "Lagu Sunda, Inleiding, teks, vertaling en aanteekeningen"; "Rangga
Lawe, Middeljavaansche historicale roman"; dan "Lagu Harsa-Wijaya". Pada tingkat dasar,
dalam tiga ujian ini, Berg melihat tulisan kidung sebagai sentimen yang dapat diverifikasi.
Pembicaraan kidung sejauh kerangka abstrak dipelopori oleh Robson (1971) dalam sebuah
artikel berjudul "Wangbang Wideya Roman Panji Jawa". Dia berperan penting dalam
membangun dasar penelitian penulisan Kidung dengan melihat pada pembangunan Tune of
Wangbang Wideya. Metrum Tngahan dalam penulisan kidung dikaji oleh Vickers (1986; 2005)
dalam sebuah makalah berjudul "The Craving Ruler: an Investigation of the Kidung Malat as
Text".

Seperti yang dikemukakan oleh Zoetmulder (1985:143) yang mengatakan bahwa jumlah
tulisan kidung yang telah disebarluaskan sangat sedikit. Sementara itu, konsekuensi pemeriksaan
tulisan kidung diperlukan dalam kesiapan sejarah sosial. Minimnya ujian tulis kidung disebabkan
oleh beberapa kendala. Masalah utama adalah bahwa dalam teks-teks kidung tidak ada
aksentuasi yang dicatat bahwa satu baris berbeda dari satu baris lagi dalam bait tertentu. 6
Pembaca kidung dihadapkan pada lautan suku kata. Kemudian teks kidung yang sesekali
direplikasi mengalami perubahan yang lebih ekstrim dibandingkan teks kakawin. TV, tulisan
Kidung menggunakan bahasa sehari-hari idilis Jawa. Melihat tantangan-tantangan tersebut,
Zoetmulder (1985:144) mengusulkan bahwa penelitian tentang tulisan kidung mungkin lebih
cocok untuk peneliti Bali karena mereka masih dekat dengan tulisan kidung sampai sekarang.

Metrum Kidung dikenal sebagai metum tengah dan standar dasarnya setara dengan
metrum dalam syair Jawa saat ini, Macapat Halus. Sebagai tulisan kenabian, kidung memiliki
jiwa kenabian yang menjadi titik fokus atau titik pusat berkumpulnya aspek-aspek sosial dan
supranatural. Aspek sosial menyinggung keberadaan manusia dalam realitas. Kidung belum
diselidiki secara luas oleh analis abstrak adat.7

6
Ibid., Hal 119.
7
Yofi sastra. Pengertian kidung. Sinau njawani (blog). Diakses tgl 12 September 2022.

4
KESIMPULAN

Kakawin dan kidung merupakan karya yang aransemennya menggunakan bahasa Jawa
Kuno. Bagaimanapun, meskipun pada dasarnya mereka adalah sesuatu yang sama, terutama syair
Jawa kuno, Kakawin adalah karya teoretis dari Jawa Kuno yang dipengaruhi oleh India,
sementara Kidung pada mulanya adalah orang Jawa, dia sama sekali tidak tahu tentang istilah
Guru. juga, Tune atau Nada. suaranya panjang dan pendek. Bahkan, kidung meter sering disebut
sebagai meteran tengah dan aturan dasar meteran dalam syair Jawa saat ini begitu mocopat. Pada
umumnya, kidung sebagian besar belum diselidiki dan diapresiasi.

Secara garis besar, istilah-istilah tersebut menunjukkan perbedaan pokok yang cukup
signifikan, sedangkan istilah kakawin berasal dari metrum India, sedangkan istilah kidung
berasal dari bahasa Jawa lokal. Istilah sebenarnya sampai sekarang merekomendasikan
perbedaan.

DAFTAR PUSTAKA

Wardhani, Novia Wahyu. Pembelajaran Nilai-Nilai Kearifan Lokal Sebagai Penguat Karakter
Bangsa Melalui Pendidikan Informal. Hal 60.

Yofi sastra. Pengertian kidung. Sinau njawani (blog). Diakses tgl 12 September 2022.

Zoetmulder, P.J. (1983). Kalangwan. Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.

Anda mungkin juga menyukai