Anda di halaman 1dari 16

ANALISIS RESEPSI PADA PUISI SENJA DI PELABUHAN KECIL KARYA CHAIRIL

ANWAR

Oleh

Meisya Novitasari

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya

meisyanovita@student.ub.ac.id

Abstract

Poetry is a literary work that contains the poet's responses and opinions on various things. This
article that discusses the Poem of Puisi Senja di Pelabuhan Kecil by Chairil Anwar uses the
Literary Reception as the theory. Reception research means research on the acceptance or
enjoyment of literary works by readers (Endraswara 2008: 118). Reception research, examines
literary texts by starting with the reader as a reactant to the text. The meeting between the
reader and the literary text causes a process of interpretation of the text by the reader as an
objective, the result of which is the recognition of the meaning of the text (Nuryatin, 1998: 135).
One of the most famous Indonesian writers in the 45th generation is Chairil Anwar, he has
produced many literary works, including the poem Senja di Pelabuhan Kecil which was written
in 1946. This poem has a high meaning when studied properly.

Keywords: Reception, poetry, literary analysis.

Abstrak

Puisi adalah karya sastra yang berisi tanggapan serta pendapat penyair mengenai berbagai hal.
Artikel yang membahas tentang Puisi Senja di Pelabuhan Kecil Karya Chairil Anwar ini
menggunakan Resepsi Sastra sebagai teorinya. Penelitian resepsi berarti penelitian tentang
penerimaan atau penikmatan karya sastra oleh pembaca (Endraswara 2008: 118). Penelitian
resepsi, meneliti teks sastra dengan bertitik tolak terhadap pembaca sebagai pemberi reaksi
terhadap teks tersebut. Pertemuan antara pembaca dan teks sastra menyebabkan terjadinya proses
penafsiran atas teks oleh pembaca sebagai objektif, yang hasilnya adalah pengakuan makna teks
(Nuryatin, 1998: 135). Salah satu sastrawan Indonesia yang tersohor pada angkatan 45 yaitu
Chairil Anwar, beliau telah menghasilkan banyak karya sastra, di antaranya puisi Senja di
Pelabuhan Kecil yang dibauat pada tahun 1946. Puisi ini memiliki makna yang tinggi bila dikaji
dengan baik.

Kata kunci: Resepsi, puisi, analisis sastra.

1. PENDAHULUAN

Menurut Ratna (2015, hal 35) “Dalam teori kontemporer karya sastra didefinisikan
sebagai aktivitas kreatif yang didominasi oleh aspek keindahan dengan memasukan berbagai
masalah kehidupan manusia, baik konkret maupun abstrak, baik jasmaniah maupun rohaniah”.
Secara etimologis sastra berasal dari Sanskerta, dibentuk dari akar kata sas- yang berarti
mengerahkan, mengajar dan memberi petunjuk. Akhiran –tra yang berarti alat untuk mengajar,
buku petunjuk. Secara harfiah kata sastra berarti huruf, tulisan atau karangan. Kata sastra ini
kemudian diberi imbuhan su- (dari bahasa Jawa) yang berarti baik atau indah, yakni baik isinya
dan indah bahasanya.

Puisi adalah salah satu bentuk karya sastra. Menurut Saddhono (2017) karya sastra adalah
dunia dalam kata. Setiap pembaca karya sastra mempunyai persepsi yang berubah-ubah. Tanpa
adanya persepsi yang berubah-ubah karya sastra hanyalah artefak tanpa makna. Secara
etimologis kata puisi berasal dari bahasa Yunani poeima yang berarti membuat atau poeisis yang
berarti pembuatan, dalam bahasa Inggris disebut poem atau poetry. Puisi diartikan sebagai
membuat atau pembuatan karena seseorang dapat menciptakan dunia baru dalam puisi tersebut,
baik secara batiniah maupun lahiriah.

Resepsi sastra merupakan pendekatan dalam mengkaji karya sastra dengan titik fokus
pada respon pembaca. Pendekatan ini melihat relasi antara pembaca dan teks sastra. Pendekatan
resepsi sastra menyatakan bahwa makna karya sastra adalah interpretasi yang diciptakan atau
dikonstruksi atau dihasilkan oleh pembaca serta penulis. Ia memberikan perhatian pada tindak
kreatif pembaca dalam memasukkan makna ke dalam teks sastra.

Salah satu sastrawan Indonesia yang tersohor pada angkatan 45 yaitu Chairil Anwar,
beliau telah menghasilkan banyak karya sastra, diantaranya puisi Senja di Pelabuhan Kecil yang
dibauat pada tahun 1946. Puisi ini memiliki makna yang tinggi bila dikaji dengan baik. Puisi ini
akan dikaji dengan menggunakan teori resepsi.

Resepsi sastra mempunyai pandangan bahwa karya sastra mempunyai makna lebih dari
satu. Namun bukan tidak mungkin dalam waktu tertentu seorang pembaca mampu untuk
menemukan sebuah arti dan mereka hanya fokus terhadap satu arti itu serta tidak memperhatikan
arti yang lainnya. Didapati kenyataan bahwa resepsi karya itu bisa berbeda pada setiap pembaca
(Junus 1985, p. 2). Seperti yang disampaikan oleh Peer (2017) bahwa resepsi pembaca dalam
sastra itu sangat beragam tergantung seberapa jauh pemahamannya akan karya tersebut. Resepsi
sastra dapat dipandang sebagai bagian dari pendekatan atau aliran sastra. Melalui penelitian,
aliran sastra ini mengkaji atau menelaah teks sastra dengan memperhatikan kepedulian pembaca
atau penikmat sebagai orang yang memberikan kontribusi, tanggapan atau respons terhadap teks
sastra. Dalam menyampaikan respons terhadap suatu teks sastra, pembaca dipengaruhi faktor-
faktor yang antara lain ruang, waktu, dan kelompok sosialnya. Asumsi teori resepsi menghendaki
sebuah karya sebagai bagian dari rangkaian karya lain untuk penemuan arti dan posisi
historisnya terkait konteks pengalaman kesastraan (Sunanda & Arifin, 2020).

Salah satu sastrawan Indonesia yang tersohor pada angkatan 45 yaitu Chairil Anwar,
beliau telah menghasilkan banyak karya sastra, di antaranya puisi Senja di Pelabuhan Kecil yang
dibauat pada tahun 1946. Puisi ini memiliki makna yang tinggi bila dikaji dengan baik. Puisi ini
akan dikaji dengan menggunakan teori resepsi.

2. PEMBAHASAN

1. Struktur Fisik Puisi

Senja di Pelabuhan Kecil


Ini kali tidak ada mencari cinta

Di antara gudang, rumah tua, pada cerita

Tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut,

Menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut.

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelapa elang

Menyinggung muram, desir hari lari berenang

Menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak

Dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan

Menyisir semenanjung, masih pengap harap

Sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan

Dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.

a. Diksi
Diksi yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya.
Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan
banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Kata-kata yang ditulis
sangat dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan
kata itu dalam konteks atau dalam hubungan dengan kata yang lain, serta kedudukan kata
itu dalam konteks atau dalam hubungan dengan kata lain, serta kedudukan kata dalam
keseluruhan puisi itu.
Diksi yang digunakan penyair dalam puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” adalah
kata-kata muram. Diksi tentang kemuraman itu dipantulkan pada kata-kata ‘gudang’ dan
‘rumah tua’ pada bait pertama baris kedua yang berarti tempat atau sesuatu yang sudah
usang dan tidak terpakai lagi. Lalu kata ‘tiang’ memberikan makna bahwa ‘tiang’ selalu
dikaitkan oleh sesuatu yang tunggal, kesendirian, dan kesepian. ‘Temali’ memiliki makna
mengikat yang suatu saat bisa putus juga.
‘Kelepak elang’ yang terletak pada bait kedua bermakna adanya kesedihan yang
akan datang. Kata ‘tanah dan air tidur’ bermakna bahwa bumi akan berhenti sejenak.
Kata-kata yang berhubungan dengan pantai, pelabuhan, dan laut itu digunakan penyair
untuk mengungkapkan perasaannya yang duka dan sepi.
Diksi selanjutnya adalah sedu dan penghabisan pada bait ke tiga baris ke empat.
Kata sedu yang dimaksud adalah tangisan. Sementara kata penghabisan yang dimaksud
adalah terakhir.

b. Bahasa Kiasan (Majas)


Bahasa kiasan dalam puisi merupakan sarana yang digunakan penulis untuk
mengungkapkan, menggambarkan, dan menegaskan suatu gagasan atau perasaan dalam
bentuk bahasa yang indah.
Pada puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” dapat ditemukan majas personifikasi yang
diungkapkan pengarang melalui frasa “rumah tua pada cerita, ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lagi berenang, dan kini tanah dan air tidur hilang ombak
dan sedu penghabisan bisa terdekap”. Lewat kata tersebut pengarang mecoba
menghidupkan rumah tua yang seakan mampu bercerita, dan menghidupkan juga kelepak
elang yang mampu menyinggung perasaan orang yang sedang muram. Hari pun
dikatakan pengarang seakan berlari dan berenang menjauh hingga pengarang bisa
memutar balik waktu itu. Pengarang juga berusaha menidurkan tanah sehingga terasa
dalamlah kebekuan hati seseorang yang digambarkan.
Gaya bahasa hiperbola juga kita jumpai pada kalimat "dari pantai keempat sedu
penghabisan bisa terdekap" ternyata mampu memberikan gambaran yang tepat tentang
kedukaan penyair yang mendalam.

c. Citraan
Citraan dapat didefinisikan sebagai kata atau susunan kata yang dapat
mengungkapkan pengalaman imajinasi. Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang
dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan
perasaan. Dengan daya imajinasi yang diciptakan penyair, maka pada kata-kata puisi itu
seolah-olah tercipta sesuatu yang dapat didengar, dilihat, ataupun dirasakan pembacanya.
Pada puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” citraan yang ditemukan terdapat pada kata
‘di antara gudang, rumah tua, kapal, perahu tiada berlaut, gerimis mempercepat kelam’.
Dengan membaca kalimat tersebut muncul dalam bayangan pembaca seakan-akan
melihat hal-hal tersebut.
Lalu pada kata ‘ada juga kelepak elang’ dan ‘desir hari lari berenang’. Dengan
membaca kalimat tersebut akan muncul dalam benak kita sensasi pendengaran bahwa
pembaca sedang mendengar kelepak elang dan mendengar desir hari.
Kemudian kata ‘aku sendiri’, ‘berjalan’, dan ‘menyisir semenanjung’. Kalimat
tersebut membuat pembaca merasa dituntun agar seakan-akan sedang merasakan
kesendirian.

d. Sarana Retorika
Sarana retorika merupakan salah satu unsur pembangun puisi yang digunakan
penyair sebagai alat untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan gagasan kepada
pembaca atau pendengar. Kedudukannya untuk mendukung makna puisi. Dalam puisi
sarana retorika berupa rangkaian kata-kata frase, atau kalimat yang akan merangsang
pikiran. Makna puisi merupakan wilayah isi atau unsur isi puisi, sarana retorika yang
berupa unsur pembangun struktur puisi merupakan wilayah bentuk lahiriah.
Angkatan 45, sesuai dengan aliran realisme dan ekspressionisme, banyak
memergunakan sarana retorika yang bertujuan intensitas dan eksprevitas. Di antaranya
hiperbola, litotes, dan penjumlahan. Demikian pula dengan puisi-puisi Chairil Anwar
yang banyak menggunakan sarana retorika hiperbola. Seperti pada kalimat "dari pantai
keempat sedu penghabisan bisa terdekap" yang memberikan gambaran yang tentang
kedukaan yang mendalam.

e. Bunyi, Rima, dan Ritma


Bunyi dalam puisi adalah hal yang penting untuk menggambarkan suasana dalam
puisi. Dalam puisi bunyi bersifat estetik, merupakan unsur puisi untuk mendapatkan
keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi ini erat hubungannya dengan anasir-anasir musik,
misalnya lagu, melodi, irama, dan sebagainya. Pada puisi “Senja di Pelabuhan Kecil”
banyak bunyi yang mengandung k,p,t,s seperti kali, cinta, di antara, tua, cerita, tiang serta
temali, kapal, perahu, mempercaya, berpaut, mempercepat, kelam, kelepak, pangkal,
akanan, kini, tanah, tidur, tiada, aku sendiri, semenanjung, pengap, masih, sekali,
tiba,sekalian, selamat, pantai, keempat, penghabisan, terdekap, dan bisa.
Rima adalah suatu pengulangan bunyi (yang bisa berselang-selang) yang dijumpai
pada larik sajak ataupun pada akhir sajak yang sifatnya berdekatan. Rima akhir dari
setiap bait puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” adalah ‘a-a-b-b’/’a-a-b-b dan /’a-b-a-b’. Pola
ini mengingatkan kita pada syair pantun dan puisi baru. Pola rima akhir pada bait ketiga
berubah menjadi /abab/ bukan /aabb/ bukan seperti pada bait pertama dan kedua karena
bait ketiga ini merupakan puncak ungkapan penyair dalam puisi ini.
Ritma merupakan perulangan bunyi berturut-turut dan bervariasi, misalnya sajak
akhir, asonansi, dan aliterasi. Ritma berupa ikatan yang mengikat bait dengan
menggunakan keterangan kalimat. Pada bait pertama puisi “Senja di Pelabuhan Kecil”
menggunakan frase ‟ini kali” pada bait kedua menggunakan frase ‟gerimis” dan pada
bait ketiga menggunakan frase ‟tiada kata lagi”. Kata pengikat tersebut memunculkan
gelombang irama baru.

f. Tipografi
Tipografi merupakan pembeda yang penting antara puisi dengan prosa dan drama.
Larik-larik puisi tidak berbentuk paragraf, melainkan membentuk bait. Dalam puisi
banyak ditulis puisi yang mementingkan tipografi, bahkan penyair berusaha menciptakan
puisi seperti gambar. Puisi sejenis itu disebut puisi konkret karena tipografinya
membentuk gambar yang mewakili maksud tertentu. Dibandingkan tipografi non-
konvensional, jauh lebih banyak puisi dengan tipografi konvensional, dan pada puisi
“Senja di Pelabuhan Kecil” menggunakan tipografi puisi konvensional dengan dilengkapi
titik di tengah baris yang menunjukan bahwa gagasan pada suatu baris dalam puisi masih
berlanjut pada puisi berikutnya, misalnya :
Gerimis mempercepat kelam.
Ada juga kelepak elang menyinggung muram,
Desir hari lari berenang.

2. Analisis Resepsi Puisi


Penelitian resepsi sastra pada penerapannya mengacu pada proses pengolahan tanggapan
pembaca atas karya sastra yang dibacanya. Metode resepsi sastra mendasarkan diri pada teori
bahwa karya sastra itu sejak terbit selalu mendapatkan tanggapan dari pembacanya. Hal
tersebut memungkinkan adanya perbedaan tanggapan dari pembaca satu dengan pembaca
yang lain, karena setiap pembaca pastinya memiliki persepsi yang berbeda-beda terhadap
karya sastra yang dibacanya. Penulis menelaah sumber yang berkaitan dengan penelitian
dengan cara studi pustaka. Yaitu mencari bahan untuk pembahasan dari jurnal dan internet.

Senja di Pelabuhan Kecil

Ini kali tidak ada mencari cinta

Di antara gudang, rumah tua, pada cerita

Tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut,

Menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut.

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelapa elang

Menyinggung muram, desir hari lari berenang

Menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak

Dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan

Menyisir semenanjung, masih pengap harap


Sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan

Dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap

Berdasarkan studi pustaka yang dilakukan, terdapat tanggapan:

Pembaca pertama menanggapi bahwa pada puisi di atas tampak si penyair menceritakan
kesedihannya karena memendam cinta. Puisi ini ditulis Chairil Anwar ketika ia menjadi penyiar
radio Jepang dan jatuh cinta pada Sri Ayati, tetapi ia tak hendak mengungkapkannya. Melalui
puisi ini Chairil Anwar menggambarkan perasaan cintanya kepada Sri yang terselubung kabut
kesedihan karena cinta itu tak hendak ia ungkapkan. Hal ini tampak pada lirik “Ini kota tidak ada
yang mencari cinta” dan “Kapal perahu tiada berlaut”.

Pembaca kedua beranggapan bahwa penyair dalam kondisi patah hati dan masih berharap
bisa kembali pada kekasihnya. Hal ini tergambar pada kalimat “Ini kali tidak ada yang mencari
cinta / menghembus diri dalam mempercaya maut berpaut”. Selain itu, penyair semakin
menyadari bahwa harapan dan kerinduannya untuk kembali pada kekasihnya semakin mustahil.
Hal ini tergambar pada kalimat “Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang / dan kini
tanah dan air tidur hilang ombak”. Dalam bait ketiga, penyair menggambarkan situasi yang
semakin jelas, di mana kehilangan itu semakin dirasakan oleh penyair.

Pembaca ketiga menyatakan dalam puisi ”Senja di Pelabuhan Kecil”, terasa bahwa
penyair sedang dicengkeram perasaan sedih yang teramat dalam. Tetapi kesedihan yang
diungkapkan tidak memberikan kesan cengeng atau sentimental. Dalam kesedihan yang amat
dalam, penyair ini tetap tegar. Di dalam puisi ini juga digambarkan rasa cinta dalam bentuk
kesedihan yang mendalam yang dialami oleh si penyair namun dia tetap tegar menghadapinya.
Penyair dalam keadaan muram, penuh kegelisahan, dan merasa tidak sempurna dengan
kehidupannya. Penyair seperti sedang mencari cintanya yang hilang.

Lalu dari penulis sendiri beranggapan bahwa si dari puisi “Senja Di Pelabuhan Kecil” ini
lebih menonjolkan kesendirian yang dirasakan penyair, karena penyair ingin melukiskan
perasaannya melalui syair yang dibuatnya. Dalam puisi ini penyair mengungkapkan bahwa
kegagalan cinta itu menyebabkan hatinya sedih dan tercekam. Ia membutuhkan seseorang untuk
menghibur dirnya. Namun seseorang yang diharapkan tersebut justru pergi meninggalkannya.
Penyair merasa itu semua merupakan sebuah kegagalan. Hal itu menyebabkan seolah-olah
penyair kehilangan segala-galanya.

Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa puisi Chairil Anwar yang
berjudul “Senja di Pelabuhan Kecil” memiliki kekuatan yang ada pada pilihan kata-katanya.
Setiap kata mampu menimbulkan imajinasi yang kuat, dan membangkitkan kesan yang berbeda-
beda bagi pembacanya. Pada puisi di atas sang penyair berhasil menghidupkan suasana, dengan
gambaran yang hidup, ini disebabkan bahasa yang dipakainya mengandung suatu kekuatan dan
tenaga, sehingga memancarakan rasa haru yang dalam. Inilah kehebatan Chairil Anwar, dengan
kata-kata yang biasa mampu menghidupkan imajinasi kita. Walaupun penilaian setiap pembaca
berbeda, akan tetapi pada umumnya para pembaca beranggapan bahwa puisi tersebut bernilai,
walaupun didasarkan horizon harapan masing-masing persepsi.

3. Struktur Batin Puisi

Senja di Pelabuhan Kecil

Ini kali tidak ada mencari cinta

Di antara gudang, rumah tua, pada cerita

Tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut,

Menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut.

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelapa elang

Menyinggung muram, desir hari lari berenang

Menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak

Dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan


Menyisir semenanjung, masih pengap harap

Sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan

Dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap

a. Rasa
Puisi mengungkapkan perasaan penyair. Nada dan perasaan penyair akan dapat
kita tangkap kalau puisi itu dibaca keras dalam poetry reading atau deklamasi. Membaca
puisi dengan suara keras akan lebih membantu kita menemukan perasaan penyair yang
melatarbelakangi terciptanya puisi tersebut. Perasaan yang menjiwai puisi bisa perasaan
gembira, sedih, terharu, terasing, tersinggung, patah hati, sombong, tercekam, cemburu,
kesepian, takut, dan menyesal.
Perasaan penyair pada waktu menciptakan puisi merasakan kesedihan, kedukaan,
kesepian, dan kesendirian itu disebabkan oleh kegagalan cintanya. Bahkan sedu tangisnya
berkumandang sampai ke pantai keempat karena kegagalan cintanya. Harapan untuk
mendapatkan perempuan pujaannya diumpamakan sebagai ”pelabuhan cinta”.
Perasaan penyair digambarkan oleh kepakan sayap elang dan lari berenang yang
menambahkan terdapatnya sayu kelemahan yang bersemayam di dalam jiwanya.
Dikarenakan kelam serta sepinya itu, suara kelepak elang pun hingga dapat
didengarkannya. Suara kelepak sayap itu menambahkan lagi serta memperdalam
keduakaannya, hal tersebut merasakan tambahan hatinya yang sangat muram. Harapan
yang dirasakan untuk dapat berjumpa dengan kekasih hatinya timbul tenggelam seperti
“lari berenang”, namun tiba-tiba muncul “bujuk pangkal akanan”. Penyair masih
diombang-ambingkan antara munculnya kembali harapan untuk memadu kasih dengan
sang pujaan hati dengan putusnya akan rasa harapan itu. Hal tersebut tergambar pada bait
berikut:
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
Menyinggung muram, desir hari lari berenang
Menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini, tanah, air tidur, hilang ombak.
Kemudian atensi penyair memusatkan rasa dari suasana pelabuhan serta terhadap
semua benda yang berada sekitar pelabuhan dengan bermacam rupa. Di pelabuhan itu
jatuh rintik gerimis yang “mempercepat kelam” hal ini menambah kesedihan penyair, dan
“kelepak elang” yang “menyinggung muram” hal ini pun membuat perasaan penyair
lebih muram, dan “hari-hari seakan lari berenang” mengisyaratkan bahwa kegembiraan
telah musnah. Suasana yang terjadi bersamaan di pantai tersebut suatu saat hal yang
membuat hati penyair diisi penuh dengan intensi untuk terhibur “menemu bujuk pangkal
akanan”, tapi kenyataannya suasana yang berda tepat di pantai itu lenyap seketika, sebab
“kini tanah, air tidur, hilang ombak”. Bagaimanakah jika laut kehilangan ombak? seperti
halnya manusia yang kehilangan harapan dan kebahagiaan. Bait ini mempertegas suasana
kedudukan penyair.
Bait berikutnya merasakan kesedihan terhadap yang perasaan didapatinya. Seperti
halnya pada bait berikut:

Tiada lagi. Aku sediri. Berjalan

Menyisir semenanjung, masih pengap harap

Sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan

dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap

Selanjutnya bagian bait ketiga tersebut pandangan penyair sangat dikhususkan


yakni pada dirinya sendiri dan bukan lagi terhadap pantai dan benda-benda sekitar pantai
itu. “Dia merasa aku sendiri”. Tidak ada lagi sesuatu hal yang akan diharapkan dengan
memberikan lipuran dalam kesendirian dan kedukaannya itu. Dalam kesendirian itu, ia
menyusuri “semenanjung”. Yang pada awalnya ia berjalan dengan disaratkan impian.
Namun setibanya di penghujung “sekalian selamat jalan”. Jadi, selepas penyair berbatas
penghujung tujuan,ternyata seseorang tersebut yang sebuah rasa akan diharapkan serta
menggirangkannya itu telah mentuturkan selamat jalan. Penyair memandang bahwa tidak
ada impian sekalipun. dengan menuju tujuannya. Sebab itu penyair yang berada di dalam
kesendirian dan kedukaanya, penyair mengungkapkan serta merasakan “dari pantai
keempat sedu penghabisan bisa terdekap”. Betapa sangat dalam yang dirasakan dari
sedihnya itu, sehingga ternyata dari “pantai keempat” sendu-sedan tangisannya dapat
dirasakan.

b. Nada
Nada mengungkapkan sikap penyair terhadap pembaca. Dari sikap itu terciptalah
puisi. Nada duka yang diciptakan penyair dapat menimbulkan suasana iba hati pembaca.
Nada kritik yang diberikan penyair dapat menimbulkan suasana penuh pemberontakan
bagi pembaca. Nada religius dapat menimbulkan suasana khusyuk.
Nada iringan hati dari puisi ini adalah iringan nada bercerita sambil meratap. Sang
penyair mengkisahkan sebuah urungan kisah cintanya yang disertai ratapan yang amat
mendalam, bahwa terciptanya urungan hatinya itu membuat sangat terluka serta sendu
sedihnya benar teramat dirasakan sangat kuat. Puisi tersebut ditandai dengan bahasa puisi
yang digunakan adalah bahasa pragmatis. Hal ini disampaikan secara kamuflase secara
eksplisit. Penggunaan gaya bahasa atau majas hiperbola di dalam beberapa bait puisi
tersebut cukup memperjelas, membuat intens, dan tidak menggangu pemahaman makna.
Menurut Aeni, & Lestari (2018) gaya bahasa memungkinkan kita dapat menilai pribadi,
watak, dan kemampuan seseorang yang mempergunakan bahasa tersebut. Contohnya
halnya pada salah satu baris “dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap”.

c. Amanat
Amanat merupakan kesan yang ditangkap pembaca setelah membaca puisi.
Amanat dirumuskan sendiri oleh pembaca.Sikap dan pengalaman pembaca sangat
berpengaruh kepada amanat puisi. Cara menyimpulkan amanat puisi sangat berkaitan
dengan cara pandang pembaca terhadap suatu hal. Meskipun ditentukan berdasarkan cara
pandang pembaca, amanat tidak dapat lepas dari tema dan isi puisi yang dikemukakan
penyair.
Amanat yang bisa kita dapat setelah membaca atau menganalisis puisi dari Chairil
Anwar ini adalah penyair ingin mengutarakan serta mengungkapkan kegagalan cintanya
yang menyebabkan hatinya merasa amat sedih dan terekam. Kegagalan paduan kasihnya
itu menyebabkan seolah kehilangan segala-galanya. Cinta yang sungguh-sunguh dapat
menyebakan seseorang mengalirkan dari perasaan menghayati apa arti kegagalan yang
dirasakan itu secara total sebagai pembaca tentunya hal tersebut bisa di jadikan sebuah
renungan bahwa kegagalan sebuat cinta bukan akhir dan segalanya dan hal tersebut
tentunya kita dapatkan kembali dari pelabuhan yang lebih luas atau harapan yang lebih
besar menanti di masa depan.

d. Tema
Tema adalah gagasan pokok (subject-matter) yang dikemukakan oleh penyair
melalui puisinya. Tema mengacu pada penyair. Pembaca sedikit banyak harus
mengetahui latar belakang penyair agar tidak salah menafsirkan puisi tersebut. Karena
itu, tema bersifat khusus (diacu dari penyair), objektif (semua pembaca harus
menafsirkan sama), dan lugas (bukan makna kias yang diambil dari konotasinya).
Tema puisi Chairil Anwar ini yakni sebuah kedukaan, kedukaan terlihat dan
terasa jika ditangkap lewat pengunaan bahasanya. Sejalan dengan Somad (Sulkifli &
Marwati, 2016) munculnya tema tertentu akan memberikan dorongan yang kuat untuk
menghasilkan karya puisi. Seperti pada bait berikut ini :

Ini kali tidak ada yang mencari cinta

di antara gudang, rumah tua, pada cerita

tiang serta temali kapal, perahu tiada berlaut

menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Seperti bait kesatu penulis menceriatakan angan harapan perasaan kasih yang
sepertinya tidak akan dapat dirasa kembali. Penyair menggambarkan rumah tua, cerita
tiang, gudang dan kapal, serta temali, dan perahu yang tiada berlaut. Benda-benda itu
semuanya mendeskripsikan perasaan lirih kesepian serta kesedihan. Penyair memandang
seakan-akan bahwa benda-benda yang berada tepat di pelabuhan itu membisu kepadanya
itu. Contohnya halnya pada salah satu baris “menghembus diri dalam mempercaya mau
berpaut”.

Simpulan dan Saran


Penelitian resepsi berarti penelitian tentang penerimaan atau penikmatan karya sastra oleh
pembaca. Penelitian ini umumnya menggunakan teknik studi pustaka dalam pengumpulan data
tanggapan pembaca. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini setelah dilakukan analisis
adalah terdapat keterkaitan antara struktur fisik, analisis resepsi, dan struktur batin. Struktur fisik
meliputi diksi, citraan, bahasa kiasan, sarana retorika, bunyi, rima dan ritma, dan tipografi.
Struktur batin meliputi tema, nada, perasaan, dan amanat. Struktur-struktur tersebut saling
berkaitan satu dengan yang lainnya sehingga menghasilkan makna yang menyeluruh, sehingga
dapat disimpulkan:

1) Struktur fisik meliputi diksi, pengimajian, bahasa kiasan, sarana retorika, bunyi,
rima dan ritma, dan tipografi. Diksi pada puisi Senja di Pelabuhan Kecil yaitu
menggunakan pilihan kata dalam puisi ini terlihat biasa dan terkesan kata-kata
yang digunakan dalam kesehariaannya. Tetapi Chairil memberikannya sebagai
kata-kata yang mengandung makna konotasi. Chairil mampu mengolah pilihan
kata sebaik mungkin walaupun dengan bahasa percakapan tapi mampu
menghadirkan makna yang dalam. Citraan pada puisi ini yaitu menggunakan
imaji visual, audio, dan perasaan. Bahasa kiasan pada puisi ini yaitu majas
personifikasi dan hiperbola yang diungkapkan pengarang sehingga mampu
memberikan gambaran yang tepat tentang kedukaan penyair yang mendalam.
Sarana retorika pada puisi ini yaitu sarana retorika hiperbola. Seperti pada kalimat
"dari pantai keempat sedu penghabisan bisa terdekap" yang memberikan
gambaran yang tentang kedukaan yang mendalam. Bunyi pada puisi ini yaitu
mengandung k,p,t,s. Rima pada puisi ini yaitu ‘a-a-b-b’/’a-a-b-b dan /’a-b-a-b’.
Ritma pada puisi ini yaitu menggunakan frase ‟ini kali” pada bait kedua
menggunakan frase ‟gerimis” dan pada bait ketiga menggunakan frase ‟tiada kata
lagi”. Tipografi pada puisi ini yaitu menggunakan tipografi puisi konvensional
dengan dilengkapi titik di tengah baris yang menunjukan bahwa gagasan pada
suatu baris dalam puisi masih berlanjut pada puisi berikutnya.
2) Dalam analisis puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” berdasarkan pendekatan resepsi
ini menimbulkan adanya perbedaan makna antara satu pembaca dengan pembaca
yang lainnya. Pembaca pertama menanggapi bahwa pada puisi di atas tampak si
penyair menceritakan kesedihannya karena memendam cinta. Pembaca kedua
beranggapan bahwa penyair dalam kondisi patah hati dan masih berharap bisa
kembali pada kekasihnya. Lalu dari penulis sendiri beranggapan bahwa si dari
puisi “Senja Di Pelabuhan Kecil” ini lebih menonjolkan kesendirian yang
dirasakan penyair, karena penyair ingin melukiskan perasaannya melalui syair
yang dibuatnya.
3) Struktur batin meliputi tema, nada dan suasana, perasaan dan amanat. Nada yang
digunakan dalam puisi ini adalah iringan nada bercerita sambil meratap. Rasa
yang terdapat dalam puisi ini adalah kesedihan, kedukaan, kesepian, dan
kesendirian yang disebabkan oleh kegagalan cintanya. Amanat yang terdapat
dalam puisi yaitu cinta yang sungguh-sunguh dapat menyebakan seseorang
mengalirkan dari perasaan menghayati apa arti kegagalan yang dirasakan itu
secara total sebagai pembaca tentunya hal tersebut bisa di jadikan sebuah
renungan bahwa kegagalan sebuat cinta bukan akhir dan segalanya dan hal
tersebut tentunya kita dapatkan kembali dari pelabuhan yang lebih luas atau
harapan yang lebih besar menanti di masa depan. Tema yang ada pada puisi
adalah kedukaan.

Anda mungkin juga menyukai