Anda di halaman 1dari 24

SEKOLAH CIPUTRA SURABAYA

Kawasan Puri Widya Kencana


Citra Raya, Surabaya
____________________________________________________________________________

Workshop

MENGAPRESIASI
&
MENGANALISIS PUISI
9 Mei 2014

Narasumber :
Dhenok Kristianti

1
BAB 1
PENGANTAR

Struktur dan ragam puisi sebagai hasil karya kreatif terus-menerus berubah. Hal ini nampak
apabila kita mengkaji ciri-ciri puisi pada zaman tertentu yang ternyata berbeda dari ke-khas-an puisi
pada zaman yang lain. Di masa lampau misalnya, penciptaan puisi harus memenuhi ketentuan jumlah
baris, ketentuan rima dan persyaratan lain. Itulah sebabnya Wirjosoedarmo mendefinisikan puisi
sebagai karangan terikat. Definisi tersebut tentu saja tidak tepat lagi untuk masa sekarang karena saat
ini penyair sudah lebih bebas dan tidak harus tunduk pada persyaratan-persyaratan tertentu. Hal ini
mengakibatkan pembaca tidak dapat lagi membedakan antara puisi dengan prosa hanya dengan
melihat bentuk visualnya. Misalnya saja pada sajak Mardi Luhung dan cerpen Dhenok Kristianti berikut
ini :
Dan aku turun ke tepi laut. Mendekatkan telinga ke permukaan
ombaknya. Cuma ingin mendengar: “Apa dan siapa yang
menggulung-gulungkan arah di dedasaran sana?” Dan ada ruang,
cahaya-remang, juga ganggang-ganggang yang menjulur seperti
rumbai. Juga yang selalu suntuk tertunduk. Dengan kening yang
menukik ke bawah. Seperti tak ingin menengadah. Hanya geseran
lumpur, koral dan karang-lembut-pucat yang ingin ditatapnya.
Selebihnya, memang untuk senyap dan lenyap.

Dan aku bergegas ke dataran bukit. Mendekatkan telinga ke dedaunan


dan bebunganya. Cuma ingin mendengar: “Apa dan siapa yang
serenik itu leluasa menyanyikan lagu hijau dan merah?” Lagu yang
meniupkan kerjap-butiran-embun. Kerjap yang nanti akan merambat
pelan di kerongkongan si jenazah yang terpilih. Si jenazah yang
ingin sekali merentangkan lengannya. Sambil berseru (meski tak
mungkin), tentang punggung langit, jembatan gaib dan kenaikan
yang lebih ke atas.
[….]

^^0^^

Tiba-tiba aku teringat sebilah keris yang disimpan di dalam almari.


Keris yang disediakan bagiku sebagai warisan leluhur. Keris yang
pernah mengakhiri hidup seorang permaisuri setelah ditinggal mati
oleh suaminya, rajanya sendiri. Aku menuju almari dan
mengambil keris pusaka itu. Kubuka bungkusnya, kuusap kelok-
kelok di sepanjang lempeng besi yang konon bertuah. Menggenggam
keris leluhurku yang terkenal sebagai ksatria berjiwa emas, ada

2
perasaan tak layak yang menguasaiku. Atau benda keramat lambang
kebangsawanan ini juga harus kurelakan untuk Men Wayan dan
Wayan? Barangkali memang mereka lebih mampu menjaga
kewibawaan jiwa ksatria daripada diriku maupun Bli Gung dan
Gung Wira. Suatu saat, semoga aku ikhlas menyerahkannya kepada
Men Wayan dan anaknya. Setidaknya telah teruji, mereka lebih
mampu menjaga hamparan sawah milik keluarga agar tetap hijau
dan berundak-undak. Kucium keris pusaka yang kuhormati, lantas
kusarungkan kembali. Air mataku titik di permukaannya.

Bentuk visual kedua contoh di atas sama, padahal Mardi Luhung memaksudkan karyanya
sebagai puisi, sedangkan Dhenok Kristianti memaksudkan karangannya sebagai cerita pendek
(prosa). Dengan demikian mendefinisikan puisi berdasarkan bentuk visualnya saja, pada masa
sekarang tidak relevan lagi.
Karena sulitnya mendefinisikan pengertian puisi, A. Teeuw dan Culler menyerahkan pada
penilaian pembaca. Menurut mereka pembacalah yang paling berhak menentukan suatu karya
termasuk prosa atau puisi (Teeuw, 1983 : 6; Culler, 1977 : 138). Pendapat demikian, meskipun
nampaknya menyelesaikan masalah, namun untuk studi keilmuan sangat lemah karena tidak ada
standar yang pasti.
Kecuali A. Teeuw dan Culler, banyak juga para sastrawan maupun peneliti sastra yang
mencoba mendefinisikan pengertian puisi. Berikut beberapa pendapat tersebut :

 Waluyo  Puisi adalah salah satu bentuk karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan,
dipersingkat dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias.

 Shahnon Ahmad  Puisi adalah salah satu bentuk karya sastra yang memiliki unsur-unsur
berupa emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan, pancaindera, susunan kata,
kata-kata kiasan, kepadatan dan perasaan yang bercampur-baur.

 Dhenok Kristianti  Puisi adalah salah satu jenis karya sastra yang memiliki berbagai
kekhususan, antara lain lebih merupakan cetusan perasaan/jiwa penulisnya. Karena
merupakan cetusan jiwa, maka bahasa puisi bersifat sangat personal. Penyair pada
umumnya memperhatikan diksi, gaya bahasa, dan bunyi bahasa, sehingga puisi yang
ditulisnya benar-benar mengekspresikan suasana batinnya.

Pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan secara sederhana sebagai berikut :

3
Puisi adalah salah satu bentuk karya sastra yang mengekspresikan secara padat
pemikiran dan perasaan penyairnya, digubah dalam wujud dan bahasa yang paling
berkesan.

Setelah kita definisikan apa itu puisi, selanjutnya kita dapat mengungkapkan perbedaan
antara puisi dan prosa sebagai berikut :

PUISI PROSA

1 Merupakan aktivitas jiwa yang Merupakan aktivitas menyebarkan


menangkap kesan-kesan, kemudian (men-dispersi-kan) ide/gagasan dalam
kesan-kesan tersebut dipadatkan (di- bentuk uraian, bahkan kadang-kadang
kondensasi-kan) dan dipusatkan. sampai merenik.

2 Merupakan pencurahan jiwa yang Merupakan pengungkapan gagasan yang


bersifat liris (emosional) dan ekspresif. bersifat epis atau naratif.

3 Seringkali isi dan kalimat-kalimatnya Pada umumnya bermakna denotasi,


bermakna konotasi. walaupun memang ada beberapa karya
yang isinya konotasi.

Menganalisis puisi, seringkali terasa lebih sulit daripada menganalisis cerpen maupun
novel. Hal ini antara lain disebabkan sifat puisi yang personal itu seringkali disampaikan dalam
kalimat-kalimat yang padat dan bermakna simbolik. Kecuali itu hubungan antar kalimat, baris,
dan bait kadang-kadang sulit ditemukan.
Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah awal sebelum menganalisis puisi secara lebih
mendalam, yaitu :

1. Membaca puisi berulang kali.


2. Melakukan pemenggalan dengan membubuhkan garis miring tunggal ( / ) jika di
tempat tersebut diperlukan tanda baca koma, atau dua garis miring ( // ) mewakili
tanda baca titik, yaitu jika makna atau pengertian kalimat sudah tercapai.

4
3. Melakukan parafrase dengan menyisipkan atau menambahkan kata-kata yang dapat
memperjelas maksud kalimat dalam puisi.
4. Menceritakan kembali isi puisi dengan kata-kata sendiri dalam bentuk prosa. Dalam
menceritakan kembali, kita harus memperhatikan objek-objek dalam puisi, latar, dan
pelaku yang dikemukakan, sehingga dalam penceritaan tersebut terakomodasi secara
lengkap ‘dunia pengarang’ atau isi puisinya. Yang dimaksud ‘dunia pengarang’ adalah
dunia (cerita) yang diciptakan penyair di dalam puisinya.

Keempat langkah di atas, diharapkan membantu pembaca mendapat gambaran umum


tentang isi puisi. Hal tersebut akan berguna sebagai bekal untuk melangkah pada kegiatan analisis
secara lebih mendetail, baik analisis lapis bentuk maupun lapis makna.

^^0^^

BAB 2
ANALISIS PUISI BERDASARKAN LAPIS BENTUK (FISIK)

Lapis bentuk atau unsur fisik adalah unsur pembentuk puisi yang dapat diamati secara
visual. Dengan kata lain menyangkut bentuk puisi secara ‘lahiriah’ (bentuk fisik). Lapis bentuk
dalam puisi meliputi judul, tipografi, bunyi, diksi, gaya bahasa, dan citraan. Dalam menganalisis
puisi, unsur-unsur tersebut perlu diperhatikan, lebih-lebih yang sangat signifikan membentuk
makna. Memang, tidak semua unsur dalam lapis bentuk terdapat dalam sebuah puisi. Ada puisi
yang menonjolkan unsur diksi, citraan, dan bunyi, tetapi tidak mengutamakan salah atu unsur
lainnya.
Dengan demikian, dalam menganalisis puisi kita perlu mencermati unsur apa yang paling
menonjol dan unsur apa yang tidak menjadi perhatian penyairnya. Analisis kita sebaiknya
terfokus pada unsur-unsur yang dominan saja, sedangkan unsur yang sama sekali tidak ‘digarap’
oleh penyairnya tidak perlu dipaksakan untuk dianalisis.

1. Judul
Judul dalam sebuah karya, termasuk puisi, dapat diibaratkan sebagai sebuah
lubang kunci pada pintu. Melalui ‘lubang kunci’ itu kita dapat melongok ke dalam puisi.

5
Judul biasanya menggambarkan keseluruhan makna atau identiti puisi. Contoh pada puisi
Remy Silado yang berjudul “Communication Gap” berikut ini :

Ya
TUHAN
Tuhan Tuhan Tuhan
Tuhan
Tu
Han
Tu
han
Hantu
Hantu Hantu
Hantu Hantu Hantu
HANTU
Ay

Jika hanya membaca isi dan melihat bentuknya, puisi di atas sulit dimaknai karena
hanya seperti permainan kata dan bunyi yang dibolak-balik. Tetapi begitu kita membaca
judulnya “Communication Cap”, menjadi jelas bahwa penyebutan kata “tuhan” yang
diulang-ulang bisa terdengar sebagai “hantu”. Mungkin tujuan penulis, sesuai judulnya,
adalah mengungkapkan bahwa communication gap sangat berpotensi menimbulkan salah
pengertian yang fatal. Sesuatu yang baik dan mulia (Tuhan) bisa dipahami sebagai sesuatu
yang buruk seperti hantu, demikian juga sebaliknya. Pemahaman tersebut sangat
didukung oleh judul yang dipakai pengarang.
Jadi, dalam puisi judul merupakan bagian yang sangat penting. Kecuali sebagai
daya tarik, judul juga membantu pembaca memahami isi puisi.

2. Tipografi
Tipografi adalah tatanan larik, bait, kalimat, frase, kata, dan bunyi untuk
menghasilkan suatu bentuk fisik yang mampu mendukung isi, rasa, dan suasana puisi.
Tipografi (tata wajah puisi) merupakan pembeda penting antara puisi dengan prosa dan
drama. Larik-larik puisi tidak dibentuk dalam paragraf, namun berbentuk bait yang
‘perwajahannya’ tergantung pada kehendak penyair. Dalam puisi-puisi kontenporer
seperti karya-karya Sutardji Calzoum Bachri, tipografi dipandang sangat penting untuk
menentukan makna puisi dan membuat bentuk puisi menjadi menarik.
Bentuk tipografi bermacam-macam, misalnya bentuk puisi yang memenuhi/tidak
memenuhi halaman, penulisan dari tepi kanan/kiri, pengaturan baris, huruf, dan tanda
baca. Tipografi merupakan aspek bentuk visual puisi yang disebut juga ukiran bentuk.
Puisi tipografi adalah puisi yang lebih mementingkan gambaran visual. Dalam puisi
tipografi, penyair mengekspresikan gejolak hati dengan menonjolkan lukisan bentuknya.

6
Contoh 1 : tidak setiap derita
jadi luka
tidak setiap sepi
jadi duri
tidak setiap tanda
jadi makna
tidak setiap tanya
jadi ragu
tidak setiap jawab
jadi sebab
tidak setiap seru
jadi mau
tidak setiap tangan
jadi pegang
tidak setiap kabar
jadi tahu
tidak setiap luka
jadi tahu
memandang Kau
pada wajahku!

Pada contoh di atas, terlihat keunikan tipografi puisi tersebut. Puisi terdiri dari
kalimat-kalimat yang dipenggal, dan setiap penggalan ditulis pada baris berikutnya
dengan jarak tertentu, sehingga tampak ada ruang kosong yang memisahkan di antara
kalimat-kalimat yang dipenggal. Tipografi yang diusung ini tak hanya demi keindahan
bentuk, tetapi memberikan makna tertentu, bahwa ada jarak antara penyebab dan akibat.
Ini berarti, tidak semua penyebab langsung menimbulkan akibat (diandaikan penggal
kalimat pertama adalah penyebab, dan kalimat kedua akibat). Jarak tersebut juga
menunjukkan adanya jeda dalam permenungan penyair ketika dalam benaknya
berkecamuk berbagai pertanyaan yang ‘meminta’ jawaban. Artinya, tak setiap pertanyaan
pelik langsung ada jawabannya. Perlu jeda waktu untuk merenungkan, sampai timbul
kesadaran bahwa tidak semua penyebab mengakibatkan hal tertentu seperti yang
dipikirkan kebanyakan orang.
Dua baris terakhir, ditulis semakin menjorok di bawah kalimat ‘jadi tahu’. Ini
merupakan tanda bahwa kalimat-kalimat tersebut lebih erat hubungannya dengan kalimat
‘jadi tahu’ yang berada tepat di atasnya, dan semakin jauh hubungannya dari penggalan
kalimat di sisi kiri ‘tidak setiap luka’. Dengan demikian akan terbaca //jadi tahu/
memandang Kau/pada wajahku// Makna yang ingin dicapai dengan tipografi ini adalah,
setelah melalui perenungan mencari jawab tentang sebab-akibat, sampailah si aku lirik
pada jawaban bahwa akhirnya ia ‘jadi tahu’, untuk menemukan semua jawaban tersebut
adalah dengan ‘memandang Kau’ (Tuhan). Pertanyaan berikutnya, di mana dapat
memandang Tuhan? Kalimat terakhir yang ditulis menjorok ke kanan di bawah
‘memandang Kau’ adalah jawabannya, yaitu ‘pada wajahku’. Barangkali jawaban tersebut
bersumber pada keyakinan bahwa manusia sesungguhnya adalah citra Tuhan, sehingga

7
jika ingin ‘memandang Tuhan’, maka harus mengenali diri sendiri, sebab ‘wajah Tuhan’
ada ‘pada wajahku’

Contoh 2 :

Tragedi Winka dan Sihka

kawin
kawin
kawin
kawin
kawin
ka
win
ka
win
ka
win
ka
win
ka
winka
winka
winka
winka
winka
winka
sih
ka
sih
ka
sih
sih
sih
ka
sih
sih
sih
sih
sih
sih
ka
Ku

(O, Amuk, Kapak, 1981)

8
Tipografi pada puisi di atas sangat mendukung makna yang ingin disampaikan,
meskipun puisi hanya berupa repetisi kata dan suku kata saja, tetapi bentuk zigzag bisa
dimaknai sebagai jalan hidup yang berliku. Lima kata pertama berupa repetisi kata ‘kawin’
yang ditulis utuh, ini dapat diartikan kehidupan perkawinan yang utuh di tahun-tahun
awal pernikahan. Seiring berjalannya waktu yang ‘zigzag’, kata ‘kawin’ kemudian
terpenggal menjadi 2 suku kata, ‘ka’ dan ‘win’, menunjukkan kehidupan pernikahan yang
semakin berjarak dan tidak merupakan kesatuan lagi. Selanjutnya, makna ‘kawin’ dan
‘kasih’ pun berubah 180 derajat, ditunjukkan dengan penggalan kalimat ‘win-ka’ dan ‘sih-
ka’, yang tidak lagi memakai kata ‘kawin’ dan ‘kasih’, tapi kebalikannya. Jadi, makna kata
‘kawin’ dan ‘kasih’ dalam liku-liku perjalanan kehidupan, ternyata sudah sangat berubah
dari pengertian yang seharusnya. Manusia kawin-mawin tanpa dilandasi kasih, sebab
kawin sudah berubah menjadi sekedar ‘winka’ dan ‘kasih’ sudah berubah menjadi ‘sihka’.
Pada dua baris terakhir, tertulis secara berurutan dengan tipografi zigzag,
penggalan kata ‘ka’ dan ‘Ku’. Jika digabungkan akan terbaca sebagai kata ‘kaKu’.
Tipografi ini bisa bermakna keadaan akhir seseorang yang memaknai kehidupan
perkawinan secara salah, yaitu kaku, bisa juga diartikan bahwa pada akhirnya, orang
harus bertanggung jawab dan berhadapan dengan Tuhan atas sikap dan perilakunya
dalam perkawinan (perhatikan bahwa ‘Ku’ ditulis dengan ‘K’ besar).
Dengan seluruh uraian di atas, dapat dilihat bahwa tipografi puisi seringkali tak
hanya demi keindahan visual, tetapi dipakai juga untuk menyampaikan makna yang lebih
dalam.

3. Bunyi
Aspek bunyi dalam puisi berperan dalam menuansakan keindahan, karena pilihan
bunyi dalam puisi dapat memberikan efek (1) musikalitas, (2) irama, (3) nuansa makna,
dan (4) gambaran hubungan antarunsur pembangun puisi secara asosiatif.
Demikian pentingnya peranan bunyi dalam puisi, sehingga dalam perjalanannya
ada puisi-puisi yang sangat menonjolkan unsur bunyi. Misalnya saja Sajak Hugo Bal yang
diterjemahkan dengan judul ‘Ratapan Mati’, secara keseluruhan hanya berupa rangkaian
bunyi ‘kata-kata’ tanpa arti. Bahkan di Indonesia pada masa lampau dikenal bentuk puisi
mantera dan serapah yang memanfaatkan kekuatan bunyi. Di masa modern, dipelopori
Sutardji Calzoum Bachri, muncul puisi-puisi yang menomorsatukan peranan bunyi. Dalam
hal ini bunyi-bunyi yang dipakai disusun sedemikian rupa, sehingga menimbulkan daya
evokasi (daya kuat untuk membentuk pengertian).

Contoh :

9
Shanghai
Sutardji Calzoum Bachri

ping di atas pong


pong di atas ping
ping ping bilang pong
pong pong bilang ping
mau pong? bilang ping
mau mau bilang pong
mau ping? bilang pong
mau mau bilang ping
ya pong ya ping
ya ping ya pong
tak ya pong tak ya ping
ya tak ping ya tak pong
ku tak punya ping
ku tak punya pong
pinggir ping kumau pong
tak tak bilang ping
pinggir pong kumau ping
tak tak bilang pong
sembilu jarakMu merancap nyaring

(O, Amuk, Kapak, 1981)

Kecuali peranan bunyi untuk menyampaikan makna seperti pada puisi di atas,
kehadiran bunyi vokal dan konsonan dalam puisi seringkali juga sangat berpengaruh
terhadap imaji pembaca dan memperkuat perasaan yang digambarkan oleh penyair.
Misalnya vokal e, i, dan konsonan k, p, t, s, f memberikan nuansa imaji kecil, ramping,
ringan, tinggi, lincah; lebih menunjukkan perasaan senang, riang, kasih, suci, bersih.
Sedangkan vokal a, o, u, dan konsonan b, d, g, z, v, w memberikan nuansa imaji bulat,
besar, berat, rendah; serta menghadirkan perasaan murung, sedih, gundah, dan kecewa.
Itulah sebabnya banyak penyair yang mempertimbangkan bunyi dalam puisinya agar puisi
yang dihasilkan benar-benar mampu mengekspresikan perasaan yang dikehendaki.
Keindahan bunyi dibentuk oleh rima dan irama. Rima adalah persamaam bunyi
dalam puisi, sedangkan irama (ritme) adalah pergantian tinggi rendah, panjang pendek,
dan keras lembutnya bunyi diucapkan. Baik rima maupun irama mampu menciptakan
efek musikalisasi pada puisi, yang membuat puisi menjadi indah dan enak didengar,
meskipun tanpa dinyanyikan.

A. Macam-macam rima :
- Rima sempurna (seluruh suku akhirnya berima sama)
ma – lang

10
ma – ti
pa – lang
ha – ti

- Rima tak sempurna (hanya sebagian suku akhir yang sama)


pu – lang
pa – gi
tu – kang
ha – ri

- Rima mutlak (seluruh kata berima)


Mendatang-datang jua
Kenagan masa lampau
Menghilang muncul jua
Yang dulu sinau-silau

- Rima terbuka (rima pada suku akhir merupakan suku terbuka dengan vokal yang
sama).
bu – ka
ba – tu
mu – ka
pa – lu

- Rima tertutup (rima pada suku akhir adalah suku tertutup dengan vokal yang
diikuti konsonan yang sama).
hi – lang
su – sut
ma – lang
ta – kut

- Rima aliterasi (persamaan bunyi konsonan pada kata-kata yang sebaris maupun
pada baris yang berlainan)
Cintaku jauh di pulau, gadis manis sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar

- Rima Asonansi (persamaan bunyi vocal pada satu baris maupun pada baris-baris
berlainan)

Ajal bertakhta, sambil berkata:


“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”

11
- Rima Disonansi (persamaan bunyi vokal yang memberikan kesan sebagai bunyi-
bunyi yang berlawanan seperti pada kata ulang berubah bunyi.

tindak-tanduk Vokal ‘i’ dan ‘a’ pada kata pertama diperlawankan


dengan vokal ‘a’ dan ‘u’ pada kata kedua.

mondar-mandir Vokal ‘o’ dan ‘a’ pada kata pertama diperlawankan


dengan vokal ‘a’ dan ‘i’ pada kata kedua.

B. Bunyi efoni dan kakofoni :


- Bunyi efoni (euphony) adalah kombinasi-kombinasi yang merdu atau bunyi-bunyi
yang indah. Orkestrasi bunyi yang merdu ini biasanya dipakai untuk
menggambarkan perasaan mesra, kasih sayang atau cinta, serta hal-hal yang
membahagiakan maupun yang mengharukan. Yang termasuk bunyi-bunyi efoni
antara lain vocal a, i, u, e, o dan bunyi-bunyi konsonan terbuka, misalnya b, d, g,
j, l, m, n, ng, ny, h.

- Bunyi kakofoni (cacophony) adalah kombinasi bunyi yang yang tidak merdu,
parau. Biasanya puisi didominasi bunyi-bunyi k, p, t, s dan rima yang sangat tidak
beraturan. Bunyi kakofoni dipakai penyair untuk memperkuat suasana yang tidak
menyenangkan, kacau-balau, serba tak teratur, bahkan memuakkan.

Dapat disimpulkan, fungsi bunyi dalam mendukung suasana, perasaan, dan imaji pada puisi
adalah sebagai berikut :

 Vokal a, i, u, e, o
Efoni (euphony) :  Konsonan bersuara b, d, g, j Suasana mesra, penuh kasih
bunyi yang merdu  Bunyi liquida r, l sayang, gembira, bahagia.
dan indah.  Bunyi sengau m, n, ng, ny
 Bunyi aspiran s, h

Kakofoni  Dominasi bunyi-bunyi k, p, t, s. Suasana kacau, tidak teratur, tidak


(cacophony) : bunyi  Bunyi-bunyi tertutup di akhir menyenangkan.
yang tidak merdu, ucapan
parau  Rima puisi sangat tidak teratur

Vokal e, i  Perasaan riang, kasih, suci


Konsonan k, p, t, s, f  imaji : kecil, ramping, ringan,
tinggi.

12
Vokal a, o, u  Perasaan murung, sedih,
Konsonan b, d, g, z, v, w gundah, kecewa.
 imaji : bulat, berat, besar,
rendah.

4. Diksi/Pilihan Kata
Diksi adalah pemilihan kata secara tepat, padat, dan kaya makna. Pemakaian kata-
kata dalam puisi pada umumnya dipertimbangkan secara cermat dengan memperhatikan
makna denotatif maupun konotatifnya, sehingga terbangun suasana yang dikehendaki
oleh penyair dan mampu mempengaruhi imajinasi pembaca.
Diksi merupakan hal yang sangat penting dalam puisi. Diksi yang tepat, kecuali
dipakai untuk menyampaikan ekspresi penyair, juga berfungsi memperkuat keindahan
puisi. Dengan memilih diksi secara tepat, berarti sang penyair telah memfungsikan
kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan imaji dan gagasan tertentu pada pembaca.

Contoh :

Orang-orang miskin di jalan,


yang tinggal dalam selokan,
yang kalah dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan
[…]
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
[…]
Pada puisi di atas, beberapa diksinya sangat kuat, dihadirkan oleh sang penyair
untuk mengungkapkan perasaan secara tepat, menghidupkan imajinasi pembaca, bahkan
juga berperan dalam menyampaikan pesan moral. Misalnya diksi ‘yang tinggal dalam
selokan’, sangat ekspresif untuk menggambarkan betapa melaratnya para tokoh yang
dihadirkan dalam puisi. Efek imajinasi terasa lebih hidup, daripada misalnya, penyair
mengatakan ‘yang tinggal dalam gubuk reyot’. Tinggal dalam selokan lebih mengenaskan
karena bahkan gubuk reyot pun mereka tak punya. Selokan juga memberi nuansa kotor,

13
bau, dan jorok. Dengan satu kata tersebut pembaca mendapat gambaran/bayangan utuh
tentang sosok orang-orang miskin.
Kalimat lain yang juga sangat kuat diksinya adalah ‘memakan bangkai kucingnya’.
Diksi tersebut terasa sangat keras dan mengancam, lebih-lebih karena sebelumnya diawali
dengan kalimat ‘Jangan kamu bilang dirimu kaya’. Diksi tersebut akan terasa hambar
seandainya W.S. Rendra mengatakan dengan bahasa biasa, misalnya ‘tidak punya uang
atau tidak bisa makan’. Demikian pula diksi ‘trompah’ dan ‘blacu’. Trompah adalah alas
kaki dari kulit pohon atau kulit binatang yang hanya diikatkan saja pada kaki. Trompah
merupakan simbol yang amat tepat untuk menyampaikan makna ‘miskin’, ‘tidak
berpendidikan’ dan ‘kaum terbelakang’. Demikian juga kata ‘blacu’, menyimbolkan
kemiskinan, kesederhanaan, dan duka cita. Nampaknya dengan diksi-diksi tersebut, W.S.
Rendra berhasil menyampaikan pesan moral, agar orang kaya lebih menghargai dan rela
berbagai dengan kaum miskin di sekelilingnya.

5. Gaya Bahasa/Bahasa Figuratif


Bahasa figuratif adalah bahasa yang digunakan oleh penyair untuk menyatakan
sesuatu dengan tidak biasa, yakni melalui bahasa yang bersifat konotatif. Puisi pada
umumnya menggunakan bahasa yang dapat menimbulkan konotasi tertentu. Bahasa
figuratif yang sering disebut majas atau gaya bahasa, menyebabkan puisi menjadi
prismatis, artinya memancarkan banyak makna. Adapaun macam-amcam majas yang
sering menghiasi puisi antara lain metafora, simile, personifikasi, ironi, repetisi, hiperbola,
klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks.
Kecuali bahasa figuratif, dalam puisi sering muncul perlambangan-perlambangan,
misalnya lambang warna (psikologi warna), lambang benda (penggunaan benda untuk
menggantikan sesuatu yang ingin dikatakan), lambang bunyi (penggunaan kata dengan
bunyi-bunyi tertentu yang melambangkan perasaan), dan lambang suasana (suasana yang
dilambangkan dengan suasana lain yang lebih konkret).

Contoh :

Berapa kali berkali lelaki itu mengitari gunung?


Gunung yang sama, gunung yang itu itu juga
tanpa pernah mencapai puncaknya
Atau berapa gunung telah ia kelilingi,
tapi tak sekali pun kakinya menjejak puncak?

‘Gunung’ dalam puisi di atas bermakna konotatif, merupakan perlambangan dari


tujuan atau cita-cita. Kecuali lambang benda, pengulangan kata ‘gunung’ adalah juga
bahasa figuratif, yaitu majas repetisi yang digunakan untuk memberikan penekanan

14
makna dalam puisi ini tentang tujuan/cita-cita yang tinggi, yang mulia, yang perlu
perjuangan untuk mencapainya. Semua sifat yang merupakan ciri-ciri tujuan/cita-cita
dianalogikan dengan kata yang tepat, yaitu ‘gunung’.

6. Citraan/imagery
Citraan atau pengimajian adalah gambar-gambar dalam pikiran, atau gambaran
angan si penyair yang dituangkan dalam puisi dan mampu mempengaruhi kepekaan
inderawi pembaca, sehingga daya bayang/imajinasi pembaca ikut dibangkitkan. Ada tujuh
jenis citraan, sebagai berikut :

A. Citraan penglihatan (visual imagery)

Citraan penglihatan adalah citraan yang mempengaruhi indera penglihatan (mata)


pembaca, sehingga pembaca seolah-olah melihat sendiri sesuatu yang disampaikan
penyair dalam kata-kata/kalimatnya.

Contoh :
Ia dekap anak semata wayang berlari menembus malam,
segera mengetuk hati dokter

B. Citraan pendengaran (auditory imagery)

Citraan pendengaran adalah citraan yang dihasilkan oleh kata-kata yang merupakan
tiruan bunyi/suara, sehingga pembaca seolah-olah mendengar sesuatu yang disebutkan
dalam puisi tersebut. Jadi, citraan ini berhubungan dengan kesan dan gambaran yang
diperoleh melalui indera pendengaran (telinga).

Contoh :
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

C. Citraan perabaan (tactile imagery)

Citraan perabaan adalah citraan yang seakan-akan dapat dirasakan oleh indera peraba
(kulit). Dalam larik-larik puisi, ada kalanya terdapat diksi yang mempengaruhi reaksi
indera peraba, misalnya dingin, panas, lembut, kasar, dan sebagainya.

Contoh :

15
Kapuk randu, kapuk randu!
Selembut tudung cendawan
Kuncup-kuncup di hatiku
Pada mengembang bermerkahan
(WS Rendra, Ada Tilgram Tiba Senja)

D. Citraan penciuman (olfactory)

Citraan penciuman adalah citraan yang berhubungan dengan kesan atau gambaran
yang dihasilkan oleh indera penciuman. Citraan ini muncul ketika membaca atau
mendengar kata-kata tertentu, pembaca seperti ikut merasakan mencium sesuatu.

Contoh :

Anakku, kelam hatimu seperti kegelapan tahtaku


Aku membaui anyir darah di sekelilingku

E. Citraan pencecapan (gustatory)

Citraan pencecapan adalah citraan yang berhubungan dengan kesan atau gambaran
yang dihasilkan oleh indera pencecap. Pembaca seolah-olah mencicipi sesuatu yang
menimbulkan rasa tertentu, pahit, manis, asin, pedas, enak, nikmat, dan sebagainya.

Contoh :

Air suci dari ketujuh sendang,


Dan kembang tujuh rupa dari ketujuh rasa tuba,
Ia taburi dengan dendam berwarna jelaga

F. Citraan gerak (kinaesthetic imagery)

Citraan gerak adalah gambaran tentang sesuatu yang seolah-olah dapat bergerak,
sehingga pembaca dapat mengimajinasikan gerakan tersebut.

Contoh :

Dalam gamang gambar-gambar berpendaran :


tertatih di pematang,
pelukan ibu dan ayah,
kawan-kawan yang menyeretnya ke sendang,
lantas menggosok tubuhnya dengan batu padas

G. Citraan perasaan (feeling imagery)

16
Citraan perasaan adalah kata-kata atau kalimat dalam puisi yang berhasil
mempengaruhi perasaan pembaca, misalnya rasa sedih, gembira, haru, marah, cemas,
kesepian, dan sebagainya.

Contoh :
Alangkah pilu siutan angin menderai
Mesti berjuang menghabiskan lagu sedih
Kala aku terpeluk dalam lengan-lenganmu
Sebab keinginan saat ini mesti tewas dekat usia

H. Citraan intelektual
Citraan intelektual adalah citraan yang dihasilkan oleh metafora atau asosiasi-asosiasi
intelektual.

Contoh :
Aku batu muntahan gunung
Menggumpal bersama hawa panas dan percik api

^^o^^

BAB 3
ANALISIS PUISI BERDASARKAN LAPIS MAKNA (BATIN)

Lapis makna atau unsur batin dalam puisi antara lain meliputi feeling (sikap penyair), tone
(nada puisi), simbolisme, tema, amanat, dan unsur metafisis. Kegiatan menganalisis puisi baru
dipandang tuntas jika berhasil membongkar lapis makna, sebab dengan demikian puisi mencapai
fungsinya yang tertinggi sebagai karya sastra, yaitu mendewasakan kepribadian pembaca.

1. Sikap Penyair/Feeling
Perasaan (feeling) merupakan sikap penyair terhadap pokok persoalan yang ditampilkan
dalam puisi yang ia ciptakan. Perasaan penyair dapat dikenali melalui ungkapan-ungkapan
yang digunakan, misalnya untuk menyatakan perasaan marah, kecewa, empati dan
sebagainya seorang penyair menggunakan kata-kata atau kalimat yang menunjukkan perasaan
tersebut.
Sikap/feeling dalam puisi antara lain membenci, marah, empati, antipati, mendukung dan
lain-lain.

17
2. Nada /tone
Nada adalah cara penyair menuangkan perasaan/feeling-nya ke dalam puisi. Kadang-
kadang, dua penyair yang berbeda memiliki perasaan yang sama terhadap satu tema tertentu,
tetapi penyampaiannya dengan nada yang berlainan. Misalnya antara Toto Sudarto Bachtiar
dan Chairil Anwar, ternyata mereka memiliki perasaan yang sama tentang tema pengemis/
peminta-minta, yaitu rasa simpati. Meskipun demikian, rasa simpati keduanya disampaikan
dengan nada yang berbeda. Toto Sudarto menyampaikan perasaannya dengan nada lembut
dan mengharukan, sedangkan Chairil menyampaikan dengan nada keras dan sinis.
Nada dalam puisi antara lain sedih, kagum, menggurui, menasihati, mengejek, menyindir,
dan lain-lain.

3. Tema
Sebagai salah bentuk karya sastra, puisi selalu memiliki tema. Tema puisi adalah pokok
pikiran, ide, atau gagasan yang disampaikan penyair melalui puisi yang diciptakannya.
Seringkali sulit menemukan tema puisi, tetapi dengan serangkaian langkah menganalisis lapis
bentuk dan lapis makna, tema puisi dapat diinterpretasikan. Jadi, dalam menentukan tema
puisi, kita tidak boleh mengabaikan hasil analisis pada langkah-langkah sebelumnya agar tema
yang kita peroleh tidak menyimpang dari analisis sebelumnya.

4. Amanat (Pesan)
Amanat adalah himbauan atau pesan yang hendak disampaikan penyair melalui puisinya.
Berdasarkan tema puisi, kita dapat menyimpulkan amanat/pesan puisi, meskipun penyair
tidak secara khusus mencantumkan amanat dalam puisinya. Amanat puisi tersirat di balik kata
dan juga di balik tema yang diungkapkan penyair (Waluyo, 1991:130).

5. Unsur Metafisis
Unsur metafisis, berupa sifat-sifat metafisis (yang sublim, yang tragis, mengerikan atau
menakutkan dan yang suci), yang mampu membuat pembaca masuk dalam permenungan
yang mendalam. Puisi yang bagus biasanya mampu menghadirkan unsur metafisis ini,
sehingga dapat menghidupkan kontemplasi pada pembacanya (Joko Pradaopo, 2010:15).

^^o^^

18
Contoh menganalisis puisi secara sederhana :

MATA PISAU
(Sapardi Djoko Damono)

Mata pisau itu tak berkejap menatapmu;


kau yang baru saja mengasahnya
berpikir : ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu

Tahap I : Membaca puisi di atas berulang kali (lakukanlah!)

Tahap II : Melakukan pemenggalan

MATA PISAU
(Sapardi Djoko Damono)

Mata pisau itu / tak berkejap menatapmu;//


kau yang baru saja mengasahnya /
berpikir : // ia tajam untuk mengiris apel /
yang tersedia di atas meja /
sehabis makan malam //
ia berkilat / ketika terbayang olehnya urat lehermu //

Tahap III : Melakukan parafrase

MATA PISAU
(Sapardi Djoko Damono)

Mata pisau itu / tak berkejap menatapmu;//


(sehingga) kau yang baru saja mengasahnya /
berpikir : // (bahwa) ia (pisau itu) tajam untuk mengiris apel /
yang (sudah) tersedia di atas meja /
(Hal) (itu) (akan) (kau) (lakukan) sehabis makan malam //
ia (pisau itu) berkilat / ketika terbayang olehnya urat lehermu //

19
Tahap IV : Menentukan objek dalam puisi dan makna konotatif kata/kalimat

 Pisau  Sesuatu yang memiliki dua sisi, bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang positif,
bisa pula disalahgunakan sehingga menghasilkan sesuatu yang buruk, jahat, dan
mengerikan.
 apel  Sesuatu yang baik dan bermanfaat.
 (terbayang olehnya) urat lehermu  Sesuatu yang mengerikan.

Tahap V : Menceritakan kembali isi puisi

Berdasarkan hasil analisis tahap I – IV di atas isi puisi dapat disimpulkan sebagai berikut :
Seseorang terobsesi oleh kilauan mata pisau. Ia bermaksud akan menggunakannya nanti
malam untuk mengiris apel. Sayang, sebelum hal itu terlaksana, tiba-tiba terlintas bayangan yang
mengerikan. Dalam hati ia bertanya-tanya, apa jadinya jika mata pisau itu dipakai untuk mengiris
urat leher!
Dari pemahaman terhadap isi puisi tersebut, pembaca disadarkan bahwa tajamnya pisau
memang dapat digunakan untuk sesuatu yang positif (contohnya mengiris apel), namun dapat
juga dimanfaatkan untuk hal yang negatif dan mengerikan (digambarkan mengiris urat leher).
Dengan memperhatikan hasil kerja tahap 1 hingga 5, dapat dikemukakan unsur-unsur
intrinsik puisi “Mata Pisau” sebagai berikut :

No. Definisi “Mata Pisau”

1 Feeling : Penyair tidak setuju pada tindakan seseorang


Perasaan/sikap penyair terhadap yang memanfaatkan sesuatu yang dimiliki
pokok persoalan yang untuk tujuan-tujuan negatif.
dikemukakan dalam puisi.

2 Nada : Nada puisi “Mata Pisau” cenderung datar,


Tone yang dipakai penulis dalam tidak nampak luapan emosi penyairnya.
mengungkapkan pokok pikiran.

20
3 Tema : Sesuatu hal dapat digunakan untuk kebaikan
Gagasan utama penulis yang (bersifat positif), tetapi sering juga
dituangkan dalam karangannya. disalahgunakan untuk hal-hal yang bersifat

negatif. Contoh : anggota tubuh, kecerdasan,


ilmu dan teknologi, kekuasaan dll.

4 Amanat : Hendaknya kita memanfaatkan segala hal


Pesan moral yang ingin yang kita miliki untuk tujuan positif supaya
disampaikan penulis melalui hidup kita punya makna
karangannya

Kecuali itu ada unsur metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi/masuk dalam
permenungan. Dalam puisi di atas, unsur metafisisnya adalah bagaimana puisi tersebut mampu
membuat pembaca merenungkan untuk tidak menyalahgunakan hal-hal yang dimilikinya,
misalnya kepercayaan, kekuasaan, modernisasi, ilmu pengetahuan, teknologi, dan lain
sebagainya.
Pembaca dapat mengingat kembali, peristiwa-peristiwa dalam kehidupan nyata yang
menunjukkan bahwa kerap kali manusia menyalahgunakan sesuatu yang positif menjadi negative
dan membahayakan.

^^o^^

21
Contoh menganalisis puisi berdasarkan lapis bentuk dan lapis makna :

Cintaku Jauh di Pulau

Cintaku jauh di pulau,


gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,


di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya

Di air yang tenang, di angin mendayu,


di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”

Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!


Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,


kalau ‘kumati, dia mati iseng sendiri

(Chairil Anwar, 1946)

A. Berdasarkan lapis bentuk :

Ditinjau lapis bentuknya, puisi ”Cintaku Jauh di Pulau” di atas menunjukkan intensitas
Chairil antara lain dalam hal bunyi, diksi, dan citraan. Kekuatan bunyi ditunjukkan dalam rima,
asonansi, aliterasi, bunyi-bunyi efoni maupun kakofoni. Rima a a b b yang terdapat pada bait ke-
2, 3, dan 4 menghadirkan efek puitis, sekaligus memaksimalkan keindahan puisi.
Pada bait pertama baris kedua asonansi ‘i’ dikontraskan dengan aliterasi ‘s’ /gadis manis
sekarang iseng sendiri // Asonansi ‘i’ tersebut merupakan bunyi efoni yang mewakili perasaan
cinta dan keindahan, sementara aliterasi ‘s’ adalah bunyi kakofoni yang menyiratkan situasi yang
tidak menyenangkan atau kesedihan. Dengan demikian, dapat disimpulkan perasaan yang
terkandung pada bait ini adalah kerisauan hati aku lirik yang tidak memiliki kesempatan lagi
untuk menemui kekasihnya sebab ajal lebih dulu memanggil; padahal segala sesuatunya seakan

22
mendukung kerinduannya itu. /Perahu melancar, bulan memancar // Kegalauan aku lirik
disampaikan dengan sangat kuat melalui saling melilitnya bunyi asonansi dan aliterasi, bunyi
efoni dan kakofoni dalam baris-baris tersebut.
Dalam hal pilihan kata, Chairil juga menunjukkan kecermatannya. Misalnya pemakaian
diksi ‘pacar’ (pada bait ke-2 baris ke-2), mampu mendatangkan nuansa keindahan karena berima
sama dengan kata ‘memancar’ yang terdapat pada baris sebelumnya. Seandainya penyair
memakai kata ‘kekasih’ atau ‘cintaku’, pastilah rima puisi tidak tercapai.
Di sisi lain, Chairil memanfaatkan diksi tidak sekedar demi keindahan bunyi, tetapi juga
untuk memperkuat makna. Hal ini terlihat pada kata ‘Ajal bertakhta’ (bait ke-3 baris ke-3). Pada
umumnya, kata ‘bertakhta’ dipakai untuk menyebut kepemimpinan seorang raja yang memiliki
kekuasaan. Chairil memakai kata tersebut sebagai analogi untuk ‘ajal’. Dengan diksi tersebut,
pembaca mendapat gambaran tentang kekuasaan ajal yang tak bisa dibelokkan atau ditawar.
Kekuasaan ajal seperti kekuasaan raja yang bersifat mutlak. Jika ajal memanggil, segala yang
dimiliki, bahkan harapan yang belum kesampaian, harus ditinggalkan. Untuk menunjukkan
betapa berkuasanya sang ajal itulah, Chairil menggunakan kata bertakhta.
Kecuali bunyi dan diksi, puisi “Cintaku Jauh di Pulau” juga memiliki citraan yang sangat
kuat. Secara keseluruhan puisi ini didominasi oleh citraan penglihatan, sehingga dalam bayangan
pembaca, tergambar suasana laut dengan air yang tenang, sementara di langit bulan bersinar
terang. Kecuali citraan penglihatan, ada juga citraan pendengaran pada kalimat /“Tujukan
perahu ke pangkuanku saja.”/ dan citraan perasaan yang membuat pembaca tersentuh, seolah
ikut mengalami penyesalan serta keputusasaan si aku lirik ketika ia mendesah, /“Amboi ! Jalan
sudah bertahun kutempuh! // Perahu yang bersama kan merapuh! // Mengapa Ajal memanggil
dulu / Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!//

B. Berdasarkan lapis makna :

Lapis makna dalam puisi antara lain meliputi feeling (sikap penyair), tone (nada puisi),
atmosfer puisi, simbolisme, tema, dan amanat. Kegiatan menganalisis puisi baru dipandang tuntas
jika berhasil membongkar lapis makna, sebab dengan demikian puisi mencapai fungsinya yang
tertinggi sebagai karya sastra, yaitu mendewasakan kepribadian pembaca.
Sebelum sampai pada kegiatan menganalisis unsur-unsur dalam lapis makna, lebih dahulu
puisi diparafrasekan dan diceritakan kembali isinya dengan kata-kata sendiri. Misalnya puisi
“Cintaku Jauh di Pulau” karya Chairil Anwar, berisi tentang kegundahan hati seorang laki-laki
yang berlayar untuk menemui kekasihnya di tempat jauh. Kerinduan laki-laki tersebut terbantu
oleh keadaan cuaca yang mendukung. Langit terang dan laut pun tenang. Nampaknya laki-laki
itu telah menyiapkan segala sesuatunya untuk bertemu kekasihnya. Ia membawa oleh-oleh
sebagai tanda cinta. Sayangnya, sebelum tiba di tempat kekasihnya, ajal lebih dulu memanggil.

23
Laki-laki itu begitu sedih dan putus asa, tetapi tak dapat menunda keputusan takdir. Ia hanya
mampu membayangkan bahwa kekasihnya juga akan mati setelah ia tiada.
Berdasarkan penceritaan kembali tersebut, dengan mencermati diksi puisi, dapat
disimpulkan bahwa feeling penyair dalam puisi ini adalah kegundahan hati menerima ajal karena
masih ada keinginan/harapan yang belum tercapai. Feeling tersebut diperkuat dengan kalimat-
kalimat pada bait ke-4 (Mengapa ajal memanggil dulu / Sebelum sempat berpeluk dengan
cintaku?!//
Selanjutnya, perasaan/feeling penyair dikemukakan dengan nada sendu penuh kesedihan
dan nada putus asa. Nada sendu penuh kesedihan nampak terutama pada bait ke-2 baris ke-3
dan ke-4 (angin membantu, laut terang, tapi terasa / aku tidak ‘kan sampai padanya //);
sedangkan nada putus asa tertera pada baris terakhir, /kalau ‘kumati, dia mati iseng sendiri).
Nada puisi ini sangat mempengaruhi atmosfer puisi secara keseluruhan, yaitu atmosfer yang
mengharukan, murung, sedih.
Puisi Chairil Anwar ini secara denotatif mengungkapkan hubungan antara sepasang
kekasih yang terpisah jauh, tetapi sesungguhnya dapat pula diartikan secara simbolis. Dalam
pengertian simbolis, yang dimaksud ‘gadis manis’ bisa jadi adalah cita-cita atau keinginan. Alam
yang mendukung (angin membantu, laut terang) merupakan simbol kemampuan si aku lirik
untuk menggapai impiannya. Dengan demikian, secara konotatif puisi ini ingin menyampaikan
perjalanan hidup seseorang dalam menggapai cita-citanya yang kandas di tengah jalan karena
kematian lebih dulu datang.
Berdasarkan seluruh analisis yang telah diuraikan, tema puisi dapat disimpulkan, yaitu
keinginan yang tidak tercapai, sedangkan amanatnya adalah pesan agar kita memanfaatkan
waktu sebaik mungkin, sehingga dapat mencapai impian sebelum ajal menjemput. Lebih lanjut
unsur metafisis dalam puisi ini mampu mengajak pembaca merenungkan tentang kehidupan,
misalnya tentang betapa singkat waktu untuk hidup, tentang takdir yang dapat ditawar dan lain-
lain. Ini adalah unsur metafisis yang terdapat dalam puisi.

^^0^^

Daftar Pustaka :
 Hakim, Zaenal. 1996. Edisi Kritis Puisi Chairil Anwar. Cetakan I. Jakarta: Dian Rakyat.
 Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Pengkajian Puisi. Gajah Mada University Press:
Yogyakarta
 http://cabiklunik.blogspot.com/2008/10/oase-budaya-diponegoro.html
 http://larnokatro.blogspot.com/2011/04/sajak-datang-dara-hilang-dara-karya.html

24

Anda mungkin juga menyukai