PENDAHULUAN
Bentuk karya sastra diantaranya adalah puisi dan novel. Puisi adalah sebuah
karya sastra yang mementingkan kepadatan makna dalam setiap katanya, dan ini
seringkali membuat puisi dianggap sebagai karya sastra yang sangat sulit
dipahami, misterius, bahkan berdaya magis. Apalagi bila kita membaca karya-
karya penyair kontemporer seperti Tragedi Winka dan Sihka, Sepisaupi, O karya
Sutardji Calzoum Bachri, atau Sang Sing Song karya Ibrahim Sattah yang
seakan-akan tidak memiliki batasan sama sekali, baik dalam pemilihan kata
maupun bentuknya, mungkin kita akan langsung setuju dengan pendapat Auden
yang menyatakan bahwa kata-kata dalam puisi timbul dari pikiran dan perasaan
penyair yang sedang kacau (Kennedy, 1971:331). Tidak jarang pula kita dengar
bahwa karya-karya mereka hanyalah omong kosong yang dilakukan seseorang
yang mengaku dirinya penyair.
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Deviasi Leksikal, sebuah puisi disebut mempunyai deviasi leksikal bila puisi
tersebut memakai kata-kata yang menyimpang atau diselewengkan dari yang
biasa kita gunakan sehari-hari hanya untuk tuntutan estetis dan memberi
makna lebih dalam. Misalnya kata leluka sebagai kata luka, mentari sebagai
pengganti kata matahari, atau yang lebih ekstrim seperti yang tertulis dalam
puisi “O” karya Sutardji misalnya Okau sebagai pengganti kata kau, dan
sebagainya.
2. Deviasi Semantis, adalah deviasi yang menunjukkan bahwa sebuah kata
yang terdengar biasa dapat berarti luar biasa. Dan sebuah kata itu pun
maknanya dapat berbeda tergantung siapa dan bagaimana latar belakang
kehidupan dan budaya penulisnya. Misalnya: makna kata ‘hujan’. Bagi
penyair yang tinggal di daerah banjir, kata tersebut tentunya akan
dikonotasikan sebagai bencana, tetapi oleh penyair yang berasal dari daerah
yang kering kerontang tentunya akan dikonotasikan sebagai anugerah Tuhan
yang sangat besar. Contoh lain, pada bait pertama tanka Kanashiki Gangu
karya Takuboku Ishikawa. Kata kogarashi (angin kencang yang sangat
dingin yang berhembus pada akhir musim gugur) biasa dipakai oleh penyair
Jepang untuk mengungkapkan perasaan kesepian. Namun bagi Ishikawa
(berdasarkan latar belakang kehidupannya), kata tersebut bukan berarti
kesepian seperti layaknya orang yang tidak memiliki pendamping atau
kehilangan anak, istri, atau teman, melainkan untuk melukiskan
penderitaannya karena mengidap tuberkulosis, yang saat itu merupakan
penyakit yang masih sulit disembuhkan.
3. Deviasi Fonologis, adalah deviasi bunyi yang sengaja dilakukan untuk
kepentingan rima. Dalam puisi Chairil Anwar, banyak ditemui kata-kata
seperti peri untuk menggantikan kata perih, menggigir untuk menggantikan
kata menggigil, dan sebagainya. Dalam Kanashiki Gangu bait ke-40,
Ishikawa menuliskan kata nitayona untuk menggantikan kata nitayoona.
Semua itu ditulis hanya supaya tidak menyalahi rima yang aturannya sudah
ditentukan berdasarkan jenis puisinya.
4. Deviasi Morfologis, adalah deviasi dalam cara pembentukan kata. Yang
sering menggunakan deviasi ini adalah Rendra. Dalam puisi-puisinya sering
ditemui kata-kata seperti nangis, mungkret, ngangkang, sebagai pengganti
3
kata-kata ‘menangis’, ‘mengkerut’, ‘mengangkang’, dsb. Takuboku Ishikawa
menggunakan kata yasumite untuk yasunde dalam Kanishiki Gangu bait
ketiga.
5. Deviasi Sintaksis, pada deviasi ini penyair seringkali tidak mengindahkan
aturan yang harus ada dalam satu kalimat. Kadang-kadang antara kalimat
dengan kalimat tidak memakai titik sehingga bila kita tidak cermat
memperhatikannya, kita tidak akan mengerti kesatuan manakah yang dapat
kita sebut sebagai kalimat. Contohnya banyak ditemui dalam puisi karya
Sutardji. Misalnya dalam puisi di bawah ini:
………………..”
6. Dialek, deviasi ini sering ditemui dalam puisi yang ditulis oleh penyair-
penyair yang ingin mengungkapkan isi hatinya dengan tuntas tapi merasa
bahwa bahasa standard yang ada tidak bisa mewakili apa yang dirasakannya;
yang bisa mewakilinya adalah dialek daerahnya sendiri. Penyair yang sering
menggunakan deviasi dialek seperti ini diantaranya adalah Darmanto Jt.
(Misalnya dalam puisi : Kisah Karto Tukul dan Saudaranya Atmo mBoten)
dan Linus Suryadi (dalam puisinya Maria dari Magdala). Darmanto Jt
menggunakan kata-kata seperti gemrenggeng, boten, ples kepleng-kepleng,
dan sebagainya. . Linus Suryadi menggunakan kata-kata seperti diubeg-ubeg,
celingukan, dikeloni, dan sebagainya.
7. Register. Register adalah bahasa yang digunakan dalam sebuah kelompok
atau profesi tertentu dalam masyarakat. Register disebut juga dialek profesi,
biasanya hanya diketahui atau digunakan oleh segolongan atau sekelompok
kecil masyarakat. Contohnya: Istilah lembu peteng. Istilah ini biasanya hanya
digunakan di kalangan bangsawan Jawa yang berarti anak yang dihasilkan
dari hubungan yang tidak sah.
8. Deviasi Historis. Deviasi ini berupa penggunaan kata-kata kuno yang sudah
tidak dipakai lagi dalam kehidupan sehari-hari. Deviasi ini tujuannya untuk
mempertinggi nilai estetis sebuah puisi. Misalnya: kata Gangu dalam
Kanashiki Gangu karya Takuboku Ishikawa. Gangu sama artinya dengan
omocha atau mainan.
9. Deviasi Grafologis, adalah deviasi cara penulisan kata, kalimat, larik, dan
baris. Penyair dengan sengaja menulisnya tanpa mengindahkan kaidah yang
berlaku. Hal ini dipergunakan untuk memperoleh estetik. Tragedi Winka dan
Sihka karya Sutardji dan Kuncup karya J. E. Tatengkeng adalah contoh yang
tepat untuk deviasi ini.
4
2.2.1 Analisis puisi
Rustam Effendi
5
Bukan beta berbuat baru
a. Tipografi
Ini jelas berbeda dengan puisi “ Tragedi Sinka dan Winka yang penyusunanya secara
zig zag .
• Kata dipandang memiliki bunyi dan arti tertentu. Dalam bahasa sehari-hari
kata merupakan sesuatu yang otomatis dan familiar. Tapi dalam puisi kata
mengalami deotomisasi dan defamiliar,, tidak selalu mudah dipahami.
• Diksi dilakukan melalui pemilihan kata bermakna konotasi,
Bukan Beta Bijak Berperi’ ini memaparkan secara singkat mengenai adanya
keunikan pada penyimpangan konvensi puisi “Bukan Beta Bijak Berperi” karya
Rustam Effendi atas peraturan yang sudah ada. Keunikan itu dapat terlihat dari
berbagai hal mulai dari bentuk visual hingga perioditasnya. Adapun keunikan
lainnya ialah dalam bentukan puisi baru yang tercipta itu ternyata tidak sepenuhnya
terjadi perubahan total, masih ada sedikit kegayutan dengan konvensi yang sudah
ada, dalam puisinya “Bukan Beta Bijak Berperi”. Dengan kata – kata yang padat ia
mampu menyampaikan maksud pikirannya, yakni tentang kemerdekaan. Rustam
effendi melalui puisinya” bukan bet abijak berperi “ meggunakan pilihan kata yang
6
muidah dipahami berbeda dengan pengarang-pengarang sebelumnya yang
menggunakan kata-kata yang sukar dipahami oleh orang awam. Disini rustam
effendi termasuk dalam angkatan pujangga baru sehingga lebih dinamis . kata
katanya pun menggunakan kata –kata pilihan yang sebelumnya tentunya sudah
melalui pemilihan kata –kata yang tepat sehinng menghasilkan puisi yang indah.
Untaian kata yang indah dapat kita lihat pada bait berikut :
Pada bait ini dapat kita lihat tentang bagaimana penulis mengibaratkan dirinya
bukanlah orang hebat yang mampu mengubah konvensi syair yang telah ada. Iapun
bukan budak di negeri sendiri yang selalu harus menurut dan tunduk pada segala
peraturan orang asing, yang secara langsung maupun tidak telah menjajah negerinya.
Dalam puisi ini dapat saya jumpai berbagai bahasa kiasan yang digunakan
misalkan untuk menyebut diri penulis , menggunakan istilah (beta) selain itu dapat
kita jumpai berbagai majas ( gaya bahasa ) yang digunakan pengarang untuk
memperindah puisinya.:
• Majas personifikasi
• Majas metafora
Bentuk puisi di atas berupa puisi yang berselang – seling, baik jumlah kata
maupun suku katanya. Akan tetapi, jumlah suku kata beserta irama dan pola
persajakannya masih mudah mengingatkan kita pada bentuk pantun dan syair, dua
bentuk yang justru hendak dibuang dan dihindari oleh penyair. Penyimpangan
konvensi itu nampak pada puisi di atas. Menurut bentuknya, sajak “Bukan Beta
Bijak Berperi” itu adalah syair, sebab kelima bait berisi pernyataan yang
bersambungan. Namun, sajak dalam puisi itu berpola a b a b, bukan a a a a.
Sehingga, pola sajak yang tercipta akhirnya adalah pola sajak pantun. Isi sajak itu
berupa pernyataan perasaan pribadi, pernyataan perasaan dan pikiran si aku. Hal
seperti ini tidak dikenal dalam puisi Melayu. Akan tetapi, pola – pola bentuk yang
teratur, periodisitas sajak Rustam Effendi itu sesungguhnya masih merupakan
konvensi sajak Melayu atau tradisi dajak Melayu : tiap baris terdiri atas dua
periodus, tiap periodus terdiri atas dua kata. Dalam sajak itu korespondensi berupa
pembaitan, tiap bait terdiri dari 4 baris dan tiap baris terdiri dari dua satuan sintaksis
(kelompok kata atau gatra) dari bait pertama sampai bait terakhir. Korespondensi
dari awal bait, baris pertama sampai ke akhir bait,baris terakhir : susunannya serupa.
Dalam puisi ini kita juga menjumpai adanmya asonansi dan aliterasi , misalnya :
8
e. Imaji
perasaan
Pendengaran
g. Makna Puisi
Makna bait ke -1
Makna bait ke -2
Ia hanya merubah sedikit rangkaian seloka lama dengan sentuhan baru tanpa
meninggalkan konvensi yang sudah ada. Ia mencoba memberontak konvensi puisi
9
lama itu dengan menyingkirkan beberapa ketentuan – ketentuan dan menyusun
karya baru sesuai kata hati serta keinginannya.
Makna bait ke -3
Terkadang ia merasa kesulitan untuk menyampaikan apa yang ada dalam hati
dan pikirannya. Ia hanya bisa menunggu waktu yang tepat.
Makna bait ke -4
Kadang ia merasa susah atau sedih karena kemudahan tidak juga datang. Kadang
ia juga kesulitan untuk memberontak karena terikatnya ia dengan peraturan yang
tidak jelas faedahnya.
Makna bait ke -5
10
BAB III
PENUTUP
Semua deviasi di atas sering ditemukan dalam puisi. Namun tidak setiap
puisi memiliki kesembilan aspek deviasi tersebut secara lengkap. Ada yang hanya
memiliki 1 atau dua deviasi saja.
Deviasi konvensi linguistik dalam puisi tersebut sangat penting diketahui dan
dipahami oleh para penikmat, pemerhati, dan kritikus satra, agar bila ada bentuk-
bentuk atau pemilihan kata yang jauh melenceng dari yang seharusnya tidak
langsung dianggap sebagai puisi yang tidak bernilai sastra. Justru sebaliknya,
ketidakterbatasan dan keamatbebasan serta ketidakbiasaan dalam pemilihan kata dan
bentuk puisi seharusnya dipandang sebagai kekuatan puisi yang memiliki nilai yang
sangat berharga.
11