MAKALAH
Disusun oleh :
292016046 / RS16B
Puisi adalah karya sastra yang bentuk kesustraannya paling tua. Karya sastra
bersifat imajinatif. Karya-karya besar dunia yang bersifat monumental ditulis
dalam bentuk puisi. Karya-karya pujangga besar seperti: Oedipus, Antigone,
Macbeth, Mahabharata, Ramayana, Bharata Yudha, dan sebaginya yang ditulis
dalam bentuk puisi. Bahasa sastra bersifat konotatif karena banyak puisi yang
menggunakan makna kias dan makna lambang (majas). Dibandingkan dengan
bentuk karya sastra yang lainnya, puisi lebih bersifat konotatif. Bahasanya lebih
memiliki banyak kemungkinan makna. Hal ini disebabkan terjadinya
pengkonsentrasian atau pemadatan segenap kekuatan bahasa di dalam puisi.
Strktur fisik dan struktur batin puisi juga padat. Keduanya bersenyawa secara
padu bagiakan telur dalam adonan roti (Reeves, 1978: 26).
BAB II
KAJIAN DAN APRESIASI PUISI
A. Struktur Global
Puisi yang berjudul “Senja di Pelabuhan Kecil” karya Chairil Anwar di atas
termasuk dalam puisi modern, bukan puisi lama dan bukan puisi baru (Angkatan
Pujangga Baru) dengan melihat struktur baris dan bait yang digunakan. Adanya
tanda titik di tengah baris menunjukkan adanya perbedaan antara puisi lama dan
puisi baru. Puisi di atas terdiri dari tiga bait dan masing-masing bait terdapat
empat baris. Dari masing-masing bait dan baris mengungkapan tema kedudukan
yang dapat dilihat dari penggunaan pilihan bahasanya dan dengan didukung
adanya penggambaran alam dan suasana yang diimajinasikan oleh Chairil sebagai
penyair puisi.
1) Bait I : Pada bait I puisi yang berjudul “Senja di Pelabuhan Kecil”
menceritakan cinta yang sudah tidak dapat diperoleh kembali. Chairil
menggambarkannya dengan gudang, rumah tua, cerita tiang dan temali,
kapal dan perahu yang tiada bertaut. Dari benda-benda tersebut Chairil
mengungkapkan bahwa adanya perasaan sedih dan sepi.
2) Bait II : Pada bait II puisi yang berjudul “Senja di Pelabuhan Kecil” tidak lagi
memfokuskan pada benda-benda pelabuhan seperti bait pertama. Pada bait II
ini lebih mengungkapkan suasana yang ada di pelabuhan yang bahwa di
pelabuhan itu turun gerimis yang “mempercepat kelam” yang
menggambarkan bahwa hati Chairil sebagai penyair lebih muram. Dan “hari-
hari seakan lari berenang” yang menggambarkan bahwa kegembiraan telah
musnah atau hilang. Diikuti dengan suasana di pantai yang pada saat itu
membuat hati Chairil sedang dipenuhi oleh harapan yang dapat menghibur
hatinya “menemu bujuk pangkal akanan”, tetapi harapan tersebut kembali
musnah atau hilang “kini tanah, air tidur, hilang ombak” yang menjelaskan
bahwa bagaimana jika laut kehilangan ombak, begitu juga manusia yang
kehilangan harapan dan kebahagian.
3) Bait III : Pada bait III puisi yang berjudul “Senja di Pelabuhan Kecil” Chairil
lebih menggambarkan mengenai dirinya sendiri bukan lagi seperti pantai dan
benda-benda disekeliling pantai yang terdapat pada bait I dan II. Chairil pada
saat itu merasa bahwa dirinya sendiri “aku sendiri” tidak ada lagi harapan dan
kebahagian yang ia dapatkan melainkan hanya dalam sebuah kesendiran dan
kesedihan. Dalam kesendirian dan kesedihan Chairil berusaha menyisir atau
menulusi semenanjung “berjalan menyisir semenanjung”. Pada awal
perjalanan Chairil menyisir semenanjung membawa harapan yang besar.
Namun sesampainya di ujung tujuannya, orang yang diharapkan bisa
menghibur dirinya dari kesendirian dan kesedihannya malah mengucapkan
“selamat jalan” yang menggambarkan bahwa hati Chairil pada saat itu
hancur, tidak ada lagi harapan yang ingin ditujunya. Betapa mendalam
kesedihannya yang ternyata penulusurannya sampai keempat tidak sama yang
diharapkan sehingga membuat Chairil pada saat itu menangis sedu-sedan
“dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap”.