Anda di halaman 1dari 7

METAFORA KEHIDUPAN DALAM PUISI

CHARIL ANWAR “CATATAN TAHUN 1946”

TUGAS AKHIR

Untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Stilistika

yang diampu oleh Dr. Taufik Dermawan, M.Hum

NIP 195903061984031001

Disusun Oleh:

ROIYUL MUFIDAH

NIM 190212614029

Off. EE

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SASTRA INDONESIA
PROGRAM STUDI S1 BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
MEI 2020
CATATAN TAHUN 1946
(Chairil Anwar)

1.
Ada tanganku, sekali akan jemu terkulai,
Mainan cahya di air hilang bentuk dalam kabut,
Dan suara yang kucintai ‘kan berhenti membelai.
Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut.
Kita –anjing diburu-hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang
Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang

2.
Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu
Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat.
Dan kita nanti tiada sawan lagi diburu
Jika bedil sudah disimpan, cuma kenangan berdebu;

3.
Kita memburu arti atau disertakan kepada anak lahir sempat.
Karena itu jangan mengerdip, tatap dan penamu asah,
Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering sedikit mau basah!

1946

1
PENDAHULUAN

Secara etimologis, stilistika dimaknai sebagai ilmu tentang penggunaan


bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra. Menurut Dick Hartoko Rahmanto
(1986:137), gaya bahasa adalah cara yang dipakai seseroang untuk
mengungkapkan diri (gaya pribadi). Gaya bahasa merupakan sebuah susunan
perkataan yang terjadi karena perasaan dalam hati pengarang yang dengan sengaja
atau tidak menimbulkan suatu perasaan dalam hati pembaca.
Gaya bahasa selalu bersifat subjektif dan tidak akan objektif. Gaya bahasa
merupakan cara yang dipilih oleh seorang penulis untuk mengungkapkan apa
yang dituangkan dalam tulisannya. Gaya bahasa atau juga dikenal dengan majas
digunakan dalam penulisan karya sastra dalam bentuk puisi dan prosa. Namun,
lebih umum ditemukan dalam puisi.
Bahasa merupakan kunci utama dalam puisi. Gaya bahasa puisi berbeda
dengan bahasa yang digunakan dalam sehari-hari. Bahasa puisi unik dan estetik.
Oleh karena itu, seorang penyair harus pintar mempermainkan kata hingga puisi
terlihat indah dan, yang utama, dapat dipahami oleh pembaca.
Penyair menggunakan latar kehidupan dan alam sebagai acuan.
penggambaran kehidupan dikemas dalam majas atau gaya bahasa dengan disertai
imaji yang mendukung estetika puisi. Dengan kata lain, penyair menggunakan
puisi sebagai curahan hati yang membahas tentang segala permasalahan
kehidupan dengan tujuan membawa orang lain masuk ke dalam hatinya.
Salah satunya dalam puisi “Catatan Tahun 1946” karya Chairil Anwar.
Puisi berjudul “Catatan Tahun 1946” ini pertama kali diterbitkan dalam Pantja
Raja pada 1 Februari 1947 yang digabung dalam Deru Campur Debu dan Tiga
Menguak Takdir.
Puisi “Catatan Tahun 1946” merupakan puisi bertemakan perjuangan,
dimana berkaitan erat dengan situasi selama berjuang untuk bangsa Indonesia.
Chairil menggambarkan perjalanan meraih kemerdekaan untuk Indonesia, yang
kemudian ia tuang dalam sebuah catatan di tahun 1946, pasca kemerdekaan.
Dalam puisi “Catatan Tahun 1946”, terdapat beberapa majas atau gaya
bahasa di dalamnya. Majas yang dominan adalah majas metafora. Inilah yang
menjadi tujuan makalah ini yaitu menganalisis majas metafora dalam puisi

2
“Catatan Tahun 1946” yang berkaitan erat dengan keadaan kehidupan pada masa
1946.

PEMBAHASAN

Majas adalah gaya bahasa yang digunakan penulis untuk


menyampaikan sebuah pesan secara imajinatif dan kias. Hal ini bertujuan
membuat pembaca mendapat efek tertentu dari gaya bahasa yang
cenderung ke arah emosional. Majas biasanya bersifat tidak sebenarnya
alias kias ataupun konotasi dimana dapat menghasilkan interpretasi dari
segi kata ataupun makna yang berbeda-beda dalam mata pembaca.

Salah satu majas yang umum dikenal yaitu majas metafora. Majas
metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan suatu benda dengan
benda lain karena mempunyai sifat yang sama atau hampir sama. Salah
satu contoh majas metafora terdapat dalam puisi Chairil Anwar berjudul
“Catatan Tahun 1946”.

Puisi “Catatan Tahun 1946” mengangkat tema kehidupan sosial,


keadaan di masa tahun 1946. Dalam puisi ini, Chairil Anwar
menggunakan majas metafora dengan pemilihan diksi yang unik. Dalam
mendapatkan arti bahasanya perlu membalik susunan kalimat atau
menyusun bahasa secara normatif, diberi tambahan kata sambung, kata-
kata dikembalikan dalam bentuk morfologinya yang normatif. Selain itu
juga dapat dengan memberi sisipan-sisipan kata dan kata sinonimnya,
seperti contoh berikut ini,

Ada tanganku, sekali (waktu nanti) akan jeru terkulai, mainan


cahaya di air (akan) hilang bentuk(nya), dan suara (orang) yang kucintai
akan berhantu membelai(ku). (karena itu), kupahat batu nisan (untukku)
sendiri dan kupagut (diatas kuburanku).

3
Di samping itu, pembahasan majas metafora yang terdapat dalam puisi “Catatan
Tahun 1946” sebagai berikut :

Bait pertama

Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut.


Kita—anjing diburu—hanya melihat sebagian sandiwara sekarang
Tidak tahu Romeo dan Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang

Pada dua larik pada bait pertama tersebut memiliki metafora yang kuat.
Kita anjing yang diburu bermakna bahwa kita yaitu si anjing yang diburu.
Kalimat itu menggambarkan situasi yang dihadapi oleh “kita” dalam kehidupan
yang sebenarnya dapat terbayangkan oleh pembaca. Sangat jelas bukan
merupakan hal yang menyenangkan.

Selain itu, Chairil juga membangun imaji yang lebih menekan yaitu hanya
melihat sebagian sandiwara sekarang dan tidak tahu Romeo dan Juliet berpeluk
di kubur atau di ranjang. Petikan puisi ini bermakna apa yang telah diketahui
tentang sejarah manusia masih belum lengkap yaitu tentang sebuah “sandiwara”
yang belum jelas ujungnya.

Dalam petikan ini pula, terdapat metafora yang diperluas yaitu


memperluas metafora dari petikan puisi yang lain. Seperti dalam petikan
Romeo dan Juliet yang Chairil menyusupkan sebuah drama sandiwara
seperti dalam kehidupan yang merupakan panggung sandiwara. Metafora
inilah yang diperluas oleh Chairil pada petikan selanjutnya, yakni kita
hanya melihat sandiwara sekarang. Romeo dan Juliet dihadirkan tidak
hanya sebagai ilusi, namun dimanfaatkan untuk membangun imaji dan
makna.

Berpeluk di kubur atau di ranjang merupakan sebuah pertanyaan,


bermakna betapa kuat dan tak terkukur rasa cinta. Betapa tipisnya batas
antara duka dan suka. Selain itu, metafora juga terdapat pada petikan puisi
batu nisan yang merupakan metafora untuk karya yang agung,
melambangkan kematian.

4
Bait kedua

Dan kita nanti tiada sawan lagi diburu


Jika bedil sudah disimpan, cuma kenangan berdebu

Larik puisi ke sembilan ini menceritakan bahwa kehidupan Indonesia


selama dalam keadaan sawan, seperti anak yang tidak bisa tenang, merewel, dan
meradang dengan suhu yang tinggi. Kata diburu merujuk pada situasi dimana
pada saat sedang diburu konflik-konflik.

Jika bedil sudah disimpan bermakna bahwa jika saja peperangan usai.
Maka cuma kenangan berdebu, berarti bahwa kata “usai” hanya hal yang
diidamkan saja dan tidak pernah terwujud.

Bait ketiga

Karena itu jangan mengerdip, tatap dan penamu asah


Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering sedikit mau basah!

Penamu asah, petikan tersebut menggambarkan bahwa penyair


mengingatkan kita untuk terus mengasah kemampuan untuk terus berkarya dalam
mengisi kemerdekaan.

Kertas gersang digambarkan seperti kekosongan. Dalam larik ini, penyair


membandingkan kertas gersang dan tenggorokan sedikit mau basah, seperti
layaknya sebuah kekosongan yang kita miliki dan kemampuan atau bakat yang
masih kurang juga ingin diisi dan diasah demi negara dan bangsa.

5
KESIMPULAN

Stilistika adalah ilmu tentang penggunaan bahasa dan gaya bahasa


di dalam karya sastra. Gaya bahasa merupakan cara yang dipilih oleh
seorang penulis untuk mengungkapkan apa yang dituangkan dalam
tulisannya. Gaya bahasa selalu bersifat subjektif dan tidak akan objektif.

Gaya bahasa puisi berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam


sehari-hari. Penyair menggunakan gaya bahasa kiasan untuk memperindah
puisi dan menarik hati pembaca agar terbawa dalam perasaannya. Penyair
juga menggunakan gaya bahasa atau dikenal juga dengan majas untuk
mengemas penggambaran latar kehidupan yang menjadi acuan untuk
meningkatkan estetika puisi.

Salah satu pemanfaatan tersebut digunakan dalam puisi “Catatan


Tahun 1946” karya Chairil Anwar. Puisi terebut merupakan
penggambaran perjuangan untuk Indonesia dan penggambaran pasca
kemerdekaan, dimana kini giliran masa depan yang dipertaruhkan.

Dalam puisinya, Chairil membawa kesan diksi yang unik dimana


mendapatkan arti bahasanya perlu membalik susunan kalimat atau
menyusun bahasa secara normatif, diberi tambahan kata sambung, kata-
kata dikembalikan dalam bentuk morfologinya yang normatif.

Selain itu, dalam puisi “Catatan Tahun 1946” terdapat metafora


yang kuat dan metafora yang diperluas yang menambah kesan estetika
terhadap pembaca. Chairil berhasil membawa pembaca masuk pada
keadaan tahun 1946 saat itu. Walaupun bahasa yang digunakan masih sulit
dimengerti bagi orang awam.

Anda mungkin juga menyukai