Anda di halaman 1dari 12

DUNIA PARA SANG KAWI SASTRA JAWA KUNO

PERJUMPAAN ANAK NYASTRA DENGAN KALANGWAN


Oleh: Dr. Dra. Ni Nyoman Perni, M.Pd

Abstrak
Sastra Jawa Kuno banyak terlahir dari tangan-tangan Sang Kawi (hasta nikang
kawia kawi). Tetapi, tangan hanyalah sebagai instrumen. Sejatinya karya sastra
Jawa Kuno, seperti kidung dan kekawin terlahir dari sebuah laku sastra “Anak
Nyastra” yang larut dalam dunia keindahan. Dengan kata lain, terlahirnya karya
sastra Jawa Kuno dari Sang Kawi sesungguhnya perjumpaan Anak Nyastra
dengan kalangwan atau keindahan dalam tradisi nyastra. Perjumpaan tersebut
menjadi hal yang menarik dikaji dan ditelaah. Sebab di dalamya ada “laku/ambek”
Sang Kawi sebagai Anak Nyastra yang sudah luruh dalam dunia keindahan.
Ambek tersebut tentunya berhubungan dengan tindakan religius, magi, mistik dan
estetik yang selalu dihadirkan tidak saja dalam karya sastra, tetapi dalam ideping
idep (inti pikiran) dan laksananing laksana (inti tindakan). Dengan demikian,
karya sastra adalah cerminan dari ambek Sang Kawi sebagai Anak Nyastra dalam
menterjemahkan kalangwan (keindahan) dunia dengan segala isinya.
Kata Kunci: Sang Kawi, Anak Nyastra, Kalangwan

Abstract
Ancient Javanese Literature many born from the hands of the Kawi (hasta nikang
kawia kawi). How, of course. Genuine works of ancient Javanese literature, such
as chanting and marriage was born from a literary work "Anak Nyastra" which
dissolves in the world of beauty. In other words, the birth of Ancient Javanese
literature from Sang Kawi was actually the encounter of the Anak Nyastra with
the ears or the beauty in the literary tradition. The encounter became an
interesting subject studied and reviewed. Because in it there is "laku/ambek" Sang
Kawi as a Anak Nyastra who was decayed in the world of beauty. Ambek is
certainly associated with religious action, magic, mystic and aesthetic that is
always presented not only in literary works, the bell in “ideping idep” (core of
mind) and “laksananing laksana” (core action). Thus, the literary work is a
reflection of the Sang Kawi's ambition as the Anak Nyastra in translating the
world's kalangwan (beauty) with all its contents.
Keywords: Sang Kawi, Anak Nyastra, Kalangwan

A. PENDAHULUAN
Sastra Jawa Kuno merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang adiluhung.
Karya dari para pengarang sastra yang patut dihargai sebagai karya monumental
dunia. Bali sebagai pewaris karya sastra Jawa Kuno patut berbangga, sebab karya
tersebut masih dapat dijumpai hingga kini. Namun tidaklah cukup hanya
berbangga. Lebih penting dari kebangaan adalah melanjutkan tradisi bersastra
dalam laku kehidupan di rumah sastra. Sastra Jawa Kuno dalam
perkembangannya merupakan karya sastra yang bergenre Jawa Kuno. Dalam
artian, karya sastra yang menggunakan Bahasa Jawa Kuno, yakni bahasa tertua
bahasa Jawa dari abad ke-9 (Zoetmulder,1985:28). Jadi di Jawa pada abad ke-9
telah ditulis sastra Jawa Kuno pada rumah-rumah sastra dalam tradisi nyastra
yang sangat baik. Terlebih ketika berkuasanya raja Dharmawangsa Teguh Ananta
Wikarama Tunggadewa yang memiliki proyek besar “Mangajawaken Byasa
Mata”, yakni membahasa jawa kunokan karya dari Bhagawan Byasa, dan proyek
besar tersebut merupakan puncak kejayaan sastra Jawa Kono. Sebab banyak karya
sastra dihasilkan oleh pengarang sastra ketika itu.
Kemudian kebertahanan sastra Jawa Kuno sebagai karya sastra di Jawa
semakin teguh dalam kepemimpinan Kertarajasa sebagai raja Majapahit pertama.
Rumah sastra Jawa Kuno yang semula berada di Kediri bergeser ke Majapahit,
dan semakin kuat memberikan pengaruh ketika berkuasanya Raja Hayam Wuruk.
Jawanisasi melalui sastra Jawa Kuno tidak saja terjadi di Jawa, tetapi juga di luar
Jawa. Sebagaimana uraian Zoetmulder (1985:23), bahwa jawanisasi telah terjadi
secara sistematis terhadap masyarakat Bali melalui para Brahmin. Terlebih adanya
kontak dengan keraton Jawa dan Bali, meskipun kontak tersebut terkadang pasang
surut. Akan tetapi puncak kejayaan sastra Jawa Kuno di Jawa pada akhirnya redup
dan ditakdirkan lenyap. Banyak rumah sastra dan keraton tidak lagi menjalankan
tradisi nyastra. Sebab pergumulan politik kekuasaan dan agama menjadi sangat
dominan. Hal tersebut dampak dari meluasnya islamisasi di Jawa. Sastra Jawa
Kuno yang dulunya sebagai benteng budaya dan agama Hindu-Jawa terusir dari
pusat-pusat kekuasaan politik. Banyak mereka para pengarang sastra Jawa Kuno
berada di daerah pedalaman. Akan tetapi, di pedalaman pun mereka mulai mundur
setapak demi setapak dan berlahan-lahan harus tunduk pada agama Islam yang
semakin meluas.
Kemudian hanya Blambangan sebagai kerajaan kecil di ujung timur Jawa
yang tetap bertahan dengan tradisi Jawa Kuno. Mereka pun tidak bertahan lama,
dan berdasarkan keterangan Zoetmulder (1985); Ardika, dkk (2013), Blambangan
mengalami keruntuhan pada abad ke-17, dan menandakan lengkaplah peralihan
Jawa kepada Islam. Hal tersebut menandakan tamatnya sastra Jawa Kuno yang
selama 6 abad mewujudkan kebudayaan Hindu-Jawa . Selama berabad-abad sastra
Jawa Kuno menjadi perbentengan budaya Hindu-Jawa, dan peran pengarang
sastra atau disebut Sang Kawi tidak dapat diabaikan. Kesetiaan mereka untuk
mengabdi pada sastra Jawa Kuno melalui karya sastra merupakan keteguhan
budaya yang terlahir dari rumah sastra. Sang Kawi adalah sebutan mereka para
penyair Jawa Kuno yang secara totalitas berkarya (Agastia,1994:53). Mereka
terlahir dari bentukan “Anak Nyastra” yang menjadikan sastra sebagai lakunya.
Tidak saja demikian, Sang Kawi tidak saja mahir sebagai pengawi sastra tetapi
juga sebagai wiku (orang suci) yang sudah menyatu dengan lango, lelango dan
kalangwan (arti, makna dan filsafat keindahan).
Sang Kawi sebagai Anak Nyastra pada akhirnya bermuara di Bali. Bali
sebagai penjaga setia sastra Jawa Kuno melanjutnya tradisi Anak Nyastra di Jawa.
Sastra Jawa Kuno dikembangkan dengan sangat baik dalam rumah sastra orang
Bali oleh Anak Nyastra. Terutama keraton-keraton di Bali, para Sang Kawi yang
sebagai wiku tetap mempelajari sastra Jawa Kuno yang kemudian disadur, ditulis,
dibaca, dipelajari hingga dipraktikan. Keunikannya, kebanyakan orang Bali
umumnya tidak mengerti kekhasan sastra Jawa Kuno tetapi tetap dipelajari dalam
kekhidmatan mereka. Terlepas dari semua itu, Bali kini boleh dikatakan bukan
lagi “penjaga setia” sastra Jawa kuno. Sebab Sang Kawi sebagai Anak Nyastra
dalam tradisi nyastra sangat jarang dijumpai. Kendatipun ada beberapa rumah
sastra, tetapi perjumpaan mereka dengan dunia lango-lelanguan-kelanguan masih
belum nampak dalam laku. Berdasarkan hal itu, dunia Sang Kawi Sastra melalui
perjumpaan Anak Nyastra dengan Kelangwan menjadi sangat menarik untuk
dikaji.

B. PEMBAHASAN
a) Sang Kawi Sastra
Keberadaan sastra Jawa Kuno tidak dapat terlepas dari peran Sang Kawi
sebagai penulis atau pengarang sastra Jawa Kuno. Karya sastra Jawa Kuno, baik
berbentuk Kekawin, Kidung, Pupuh dan dalam bentuk teks lainnya terlahir dari
kemahiran Sang Kawi. Banyak para ahli juga telah menulis peran Sang Kawi
dalam melahirkan karya sastra Jawa Kuno. Namun demikian, menjadi hal yang
penting keberadaan mereka dideskripsikan kembali, terlebih menelisik dunia
mereka dalam perjumpaanya dengan “rasa” keidahan (kalangwan).
Istilah Sang Kawi atau Kawi sering ditemui dalam berbagai genre karya
sastra Jawa Kuno. Mengacu pada uraian Agastia (1994:54), ada banyak istilah
Kawi dalam konteks sastra Jawa Kuno, seperti “Kawi Rajya” atau Kawi Nagara,
seperti dalam penggalan teks Hariwangsa ada menyebutkan “…,ya nimitta
nirang kawindra rajya,…”. Teks Bhatara Yuda juga penggalannya menyebutkan
“…,angheman rim anis ni kirti kawi rajya,…” Agastia (1994:54). Atas penggalan
beberapa teks tersebut, Kawi Rajya merujuk pada arti sang penyair kerajaan atau
pengarang sastra Jawa Kuno kerajaan.
Selain Kawi Rajya, ditemukan pula istilah Kawi Taruna atau Kawi
Mambang, seperti penggalan pada teks Sumanasantaka menyebutkan “…,priya
nika kawi taruna marek ri jong haji; ikang amawa pawwahan lituhayu praksita
kawi mambang uttama rare. Berdasarkan penggalan teks tersebut, jelas Kawi
Teruna/Kawi Mambang adalah merujuk pada sang penyair yang masih muda.
Muda dalam konotasinya dapat muda ilmu dan muda usia.
Selain Kawi Taruna, dalam sastra Jawa Kuno paling banyak ditemukan
istilah Kawi Wiku dan Kawi Sunya. Salah satunya yang dapat disebutkan dalam
kajian ini adalah dalam teks Sumanasantaka menyebutkan “…,wungkuk
angambekaken kawi milu kawilan kawi wikwa alawas,…”. Ada juga disebutkan
dalam teks Korawaserama, yakni “…,pinaka pamugeran ing mangitung sarwwa
tattwa de sang kawi rajya sang kawi sunya,…”. Berdasarkan atas petikan tersebut,
jelas istilah Kawi Wiku/Kai Sunya merujuk pada arti penyahir pertapa atau penyair
yang bergelut dalam dunia kesunyian. Selain itu ada juga istilah Kawindra dan
Kawiwasra yang merujuk pada arti penyair sastra Jawa Kuno baginda raja. Dapat
pula merujuk pada arti “sang raja penyair”.
Merujuk atas penggalan teks sastra Jawa Kuno tersebut, dapat dinyatakan
bahwa Kawi adalah sebuah istilah yang merujuk pada kelompok pengarang,
penulis, pengkaji dan sejenisnya yang professional dibidangnya. Dengan demikian
tepat uraian Zoetmulder (1985:179), bahwa istilah yang mengikuti Kawi adalah
menandakan keahliannya. Misalnya, Kawi Wiku adalah merujuk pada penyair dan
pengarang sastra Jawa Kuno yang bertugas pula sebagai sang wiku (pertapa).
Berkenaan dengan hal tersebut, Kawi atau Sang Kawi adalah seseorang yang lebur
dalam keindahan. Sura (1995:9) menjelaskan bahwa Sang Kawi adalah “hamba
keindahan”. Hamba keidahan yang dimaksud dalam konteks ini adalah Sang Kawi
sebagai pemuja keindahan. Sebagai pemuja keindahan dan lebur di dalamnya jelas
dapat diketahui dari hasil karya mereka yang mengandung “rasa keindahan”.
Istilah Kawi tidak saja merujuk pengarang, penulis, penyair dan
semacamnya. Dalam padangan teori semiotika sastra, Kawi adalah sebuah semion
penanda simbolik yang memiliki makna mendalam. Tidak saja mereka sebagai
penyair, tetapi “ngelakoni” sastra Jawa Kuno dalam sadhana dan perilaku mereka.
Dengan demikian, Kawi tiada lain adalah “pengarang” kehidupan dalam karas
laku. Karangan tersebut tentunya bukan doktrin piktif, tetapi ajaran spiritualitas
yang religius magi serta mistik. Oleh karena itu, Kawi mewakili semua
pengetahuan yang dimiliki oleh penyair professional sastra Jawa Kuno. Atas hal
tersebut, dalam teks Sutasoma menceritakan “ Tak ada sesuatu yang demikian
disukainya daripada bergaul dengan para Kawi agar dapat mengambil mereka
sebagai teladan dalam membuat pralapita-pralapita.
Makna interpretasi tersebut menunjuk pada hal, bahwa Kawi atau Sang
Kawi adalah kawi professional, dan pada masa kerajaan Jawa dan Bali mereka
tinggal di keraton dan istana meskipun mereka bukan keluarga raja. Hal tersebut
menunjukan peran sentral Sang Kawi dalam melanggengkan kekuasaan raja-raja
ketika itu. Sang Kawi dengan segala modal simbolik yang dimilikinya akan
menjadi pusat pengetahuan yang akan dijadikan pola anutan warga.
b) Anak Nyastra
Istilah Anak Nyastra sangat menarik ditelaah dalam konteks Sastra Jawa
Kuno. Sebab Anak Nyatsra sebuah istilah yang merujuk pada Sang Kawi sebagai
penekun sastra Jawa Kuno, dan berhubungan dengan segala sesuatunya yang
berkaitan dengan tradisi “Nyastra”. Lebih menariknya istilah nyastra sendiri
demikian sangat susah dijelaskan. Sang Kawi dinyatakan sebagai Anak Nyastra
tentunya ia adalah yang “menekuni” sastra yang bersifat religius Hindu.
Meminjam uraian Lanus (2017:1), bahwa seseorang dikatakan nyastra apabila ia
menekuni karya-karya sastra religius yang bernuansa Hindu (Sanskrit, Jawa Kuno,
dan Bali). Orang yang menekuni kakawin Jawa Kuno, ia bisa dikatakan nyastra,
dan yang menekuni Ramayana, Sarasamuscaya, serta berbagai tembang Jawa
Kuno, bisa dilabeli sebagai orang yang nyastra.
Pengertian nyastra semakin jelas ketika kita mencari arti kata sastra dalam
pembendaharaan bahasa Sanskerta atau Jawa Kuno. Kata sastra dalam arti
”aslinya” lebih banyak berarti teks-teks yang berasal dari kedewataan atau
naskah-naskah suci. Kata nyastra mirip arti kata filologi dalam arti yang ”paling
mula”, yaitu menekuni naskah-naskah atau file-file tua yang lebih banyak
mengandung muatan keagamaan dan ketuhanan (Lanus, 2017:1). Karya-karya
sastra yang lahir dari seorang yang nyastra, dari sisi makna kata ”asli” ini,
akhirnya bisa dipahami, lebih banyak bermuatan pencarian religius-filosofis yang
mengarah pada pencarian manusia yang merindukan perjumpaannya dengan
penciptanya. Atau lebih mengarah pada pembabaran sila (etika spiritual) yang
membimbing manusia, pembaca dan penulisnya, makin mendekatkan diri pada
persoalan religiusitas.
Bertolak atas deskripsi tersebut, dapat dikemukakan bahwa Sang Kawi
merupakan representasi dari Anak Nyastra yang menekuni karya sastra Jawa
Kuno yang bersifat religius Hindu. Dalam upaya menekuni sastra Jawa Kuno,
Sang Kawi sebagai Anak Nyastra tidak lain merupakan realisasi dari pencarian
mereka terhadap penguasa keindahan. Dengan demikian, Anak Nyastra lebih
kepada usaha Sang Kawi dalam menginternalisasi ajaran dalam sastra Jawa Kuno.
Jadi Anak Nyastra tidak saja berkutat dalam membuat karya sastra tetapi lebih
membatinkan ajaran dalam sastra. Jadi Anak Nyastra dalam tradisi nyastra adalah
sebuah proses aksara dan sastra dalam diri, dan tubuh dijadikan laboratorium yang
pantas bagi mereka.
Selain tubuh, alam juga selalu dijadikan objek dan guru guna para Anak
Nyastra menemukan pembebasan memalui aksara dan sastra. Oleh karena itu,
Sang Kawi sangat pantas disebut sebagai Anak Nyastra yang terlahir dari tradisi
nyastra. Sebab Sang Kawi sudah mampu membatinkan ajaran sastra dalam diri. Ia
menekuni sastra bukan lagi mencari kemasyuran, harta dan tahta. Ia bukanlah
orang yang pongah dalam teriakan melalui karya sastra demi memupuk keakuan
diri. Karya mereka justru adalah karya sastra yang mencerahkan dalam rangka
manusia mencari kemanunggalan. Oleh karenanya, Sang Kawi berkarya sastra
adalah persoalan pencarian diri, sampai dalam berkarya ia merasakan bertemu
dengan dirinya, bahkan pembebasan dirinya sampai sang atma (jiwa) menjelaskan
hakikat dirinya, atutur ikang atma ri jatinya (Putra,1998:16).
c) Kalangwan
Kalangwan disebutkan oleh Zoetmulder (1985:181) merujuk pada
keindahan. Kemudian Kalangwan secara etimologi kata berasal dari kata lango,
yakni merujuk pada daya keindahan atau estetika. Dalam sastra Jawa Kuno, istilah
lango sering dipergunakan untuk mewakili “rasa” keindahan dari karya Sang
Kawi. Kemudian Kalangwan memunculkan arti, bahwa Sang Kawi adalah hamba
keindahan atau pemuja keindahan.
Menarik menyimak uraian Agastia (1994:55), bahwa lango atau
Kalangwan adalah merujuk pada Sang Kawi yang “mabuk” dengan dunia
keindahan. Mpu Tanakung melalui Kekawin Wrettasancaya yang melukiskan
kisah seorgng kawi dengan sangat memikat. Sebagaimana dijelaskan sebagai
berikut.“…,Seorang juita ditinggal sedih oleh kekasihnya yang meninggalkannya
tanpa pesan. Si juita lalu menghibur diri di sebuah taman yang indah, namun
taman itu tidak mampu menghapuskan derita rindu yang menghancurkan hatinya.
Sepasang burung (bernama Cakrangga dan Cakranggi) ditemui tengah menikmati
sejuknya air telaga. Kepada kedua burung itu si juita minta tolong untuk mencari
kekasihnya yang menghilang dan untuk mengajaknya pulang. Akhirnya sang
kekasih ditemui oleh burung itu tengah menikmati keindahan (anglanglang
kalangwan, angadon lango) disuatu pantai menulis kekawin,…”
Penggalan teks dari Kekawin Wrettasancaya tersebut menunjukkan
tentang kisah Sang Kawi sebagai penikmat keindahan dan hamba keindahan
dalam membuat kekawin. Hal tersebut sudah dapat dijadikan sebuah rujukan
bahwa Kalangwan merupakan dunianya Sang Wiku Kawi. Demikian kuatnya daya
keindahan sehingga ia tenggelam dalam keindahan itu sendiri. Sang Kawi tidak
akan dapat disebut Kawi ketika ia belum mampu mengalami perjumpaan dengan
Kalangwan.
d) Perjumpaan Sang Kawi Sebagai Anak Nyastra dengan Kalangwan
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dunia Sang Kawi adalah
keindahan (Kalangwan). Teks dari karya Mpu Tanakung sudah dapat menjelaskan
keindahan tersebut sebagai sebuah dimensi di mana Sang Kawi menenggelamkan
dirinya. Gambaran Mpu Tanakung tentang Sang Kawi tersebut sesungguhnya
penggambaran bagaimana Sang Kawi mengalami perjumpaan dengan Kalangwan.
Gambaran Sang Kawi yang tidak kuasa melawan hasrat dan dorongan batinnya
untuk angadon lango, yakni meramu keindahan.
Banyak teks Kekawin sesungguhnya menggambarkan persenggamaan
Sang Kawi dengan Kalangwan. Dalam perjumpaan tersebut ada kerinduan yang
mendalam untuk menyatu dengan keidahan. Atas hal itu, beberapa Sang Kawi
pada manggala sastra karya sastranya mencantumkan doa pujian kepada Ista
Dewata yang dipuja, seperti Mpu Tanakung memohon “digjayeng lango”, Mpu
Prapanca juga menginginkan lango. Terlebih Mpu Monaguna dalam Kekawin
Sumanasantaka menyatakan dirinya sebagai orang yang berusaha mencapai
lango, seperti yang ditulis Worsley, dkk (2014:48-49), yakni “…,sang suksemeng
kukus ing tanah kinikir ing kuku kari sedeng ing angregep lango,…”, yang
merujuk pada keinginan Sang Kawi untuk berjumpa dengan Kalangwan.
Telah dijelaskan sebelumnya, kata lango memang sulit mencari padanan
katanya. Tetapi, lango merujuk pada rasa keindahan, dan Sang Kawi
menggunakan kata lango dalam setiap karya sastra mereka sesungguhnya
menyiratkan perjumpaan mereka dengan lango sebagai yoga sastra. Dengan
demikian, perjumpaan para Sang Kawi dengan keindahan sudah terwakilkan
dengan kata lango dalam karya sastra mereka, yakni sebuah proses dalam mereka
mempersatukan diri dengan Tuhan sebagai sumber keindahan. Melalui angadon
lango dalam karya sastra, Sang Kawi berusaha menyelami Yang Mutlak dalam
kondisnya yang transenden lalu menemukan identifikasi total dan kebenaran final,
melalaui hilangnya seluruh kesadaran.
Berkenaan dengan hal tersebut, Zoetmulder (dalam Agastia,1994:59)
sampai pada kesimpulan bahwa bagi Sang Wiku Kawi, kemanunggalan dengan
dewa keindahan merupakan baik jalan maupun tujuan. Jalan menuju terciptanya
sebuah karya yang indah dalam kekawiannya. Kemudian yoga yang diungkapkan
dalam bait manggala menjadikan penyair mampu “mengeluarkan tunas-tunas
keindahan” (along lango), karena ia sudah dipersatukan dengan dewa keindahan.
Tetapi pada lain pihak, yoga juga merupakan tujuan, karena ketekunan Sang Kawi
melakukannya sehingga ia mencapi pembebasan terakhir. Sebagaimana dalam
doktrin Siwaistis, bahwa kemanunggalan (Adwaitam) adalah juga kebahagiaan
(Anandam) tertinggi.
Berdasarkan atas uraian tersebut, perjumpaan Sang Kawi dengan
Kalangwan adalah sadhana yang dilakukan melalui karya sastra. Oleh karena itu,
tiada lain ia adalah Sidha Yogi yang mencapai kelepasan. Sang Kawi yang
demikian sangat pantas disebut dengan Mahakawi, yakni Sang Kawi yang telah
mencapai tingkat kesucian diri (Agastia,1994:60).
C. PENUTUP
Berdasarkan atas uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa Sang Kawi
adalah sebuah istilah yang merujuk pada kelompok pengarang, penulis, pengkaji
dan sejenisnya yang professional dibidangnya. Selanjutnya Anak Nyastra sebuah
istilah yang merujuk pada Sang Kawi sebagai penekun sastra Jawa Kuno, dan
berhubungan dengan segala sesuatunya yang berkaitan dengan tradisi “Nyastra”.
Kemudian, Kalangwan merupakan rasa keindahan yang sulit dijelaskan, dan
perjumpaan Sang Kawi dengan Kalangwan sesungguhnya adalah gambaran Sang
Kawi dalam kemanunggalannya dengan dewa penguasa dan sumber keindahan
mealalui yoga sastra.

DAFTAR PUSTAKA
Agastia, IBG. 1994. Dikaki Pulau Bali Sejumlah Esei Sastra. Denpasar: Yayasan
Dharma Sastra Denpasar.
Ardika, I Nyoman, dkk. 2013. Sejarah Bali dari Prasejarah Hingga
Modern.Denpasar: Udayana University Press.
Lanus, Sugi, I Nyoman.2017. Apakah jika Orang Bali Baca Karya Neitzsche Bisa
Disebut “Nyastra”? – Merunut Kembali Arti Kata Sastra. Artikel di
Tatkala.Com (Diunduh: 5 Sepetember 2017 pukul 21.00 wita).
Putra. Nyoman. 1998. Wrahaspati Tattwa. Surabaya: Paramita.
Sura, I Gede.2005. Siwa Tattwa. Bangli: Kantor Departemen Agama Bangli.
Worsley, Peter, dkk.2014. Kakawin Sumanasantaka Mati karena Bunga
Sumanasa. Jakarta: Grafika Mardi Yuana.
Zoetmulder.P.J.1985. Kalangwann Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta:
Anggota IKAPI Djambatan.
Zoetmulder. P.J dan Robson, S.O,2014. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Jakarta:
Pustaka Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai