Anda di halaman 1dari 6

1

Śàstra Wangsa: Tutur Wangsa dan Wangsa Tutur)1


Oleh I Nyoman Suarka
Prodi Magister Kajian Budaya, FIB UNUD

Pendahuluan

Singgih yan têka ning yugãnta kali tan hana lêwiha sakeng mahàdhana,
tan wàktan guóa úùra paóðhita widagdha padha mangayapi-ng dhaneúwara,
sakweh ning rinahasya sang wiku hilang kula ratu padha hīna kãsyasih,
putrãdwe pita ninda ring bapa si úùdra banija warawīrya paóðhita (Kakawin Nitiśàstra,
IV.7)
Terjemahannya:
Jika zaman kali telah tiba tidak ada yang lebih mulia daripada orang kaya.
Tidak perlu disebutkan lagi para ilmuwan, prajurit, orang bijak, dan akademisi semua
mengabdi kepada orang kaya (konglomerat, investor).
Segala hal yang dirahasiakan para pendeta hilang, para pejabat pada dihina dan menderita
kesengsaraan.
Anak-anak berani kepada orang tua, para gelandangan berubah menjadi saudagar, lalu
menjadi penguasa dan pendeta.

Penulis Buku Shastra Wangsa, IBM Dharma Palguna (alm) mencermati dan mengakui
bahwa ada hubungan tidak sederhana, alias ruwet, antara śàstra dan wangsa. Menurutnya, pada
awalnya wangsa melahirkan berbagai jenis sastra tentang wangsa. Pada akhirnya, berbagai jenis
sastra tentang wangsa itulah menjaga, memelihara, mengembangkan, dan melembagakan wangsa.
Ia hendak melihat kesederhanaan (kejernihan) yang ada di balik keruwetan wangsa itu, dengan
cara menjaga jarak baca dengan objek garapan melalui permainan rasio dan rasa. Dalam rangka
itu, pengalaman membaca teks (sastra) dan pengalaman menulis adalah bekal menemukan
kejernihan (kesederhanaan) tersebut.
Apa hubungan dan ada apa dengan kutipan Kakawin Nitiśàstra di atas? Kutipan Kakawin
Nitiśàstra tersebut menunjukkan salah satu versi bagaimana wangsa dilukiskan dalam śàstra,
sekaligus mengindikasikan keruwetan sebuah zaman yang dinamakan Kaliyuga. Menurut kutipan
teks Kakawin Nitiśàstra di atas, pada masa Kali manusia diperbudak oleh uang dan harta kekayaan
(Singgih yan têka ning yugãnta kali tan hana lêwiha sakeng mahàdhana). Tidak ada wangsa yang
mampu menghindarkan diri dari jebakan uang. Semua wangsa mengabdikan diri pada uang (tan
wàktan guóa úùra paóðhita widagdha padha mangayapi-ng dhaneúwara). Uang atau harta

1
) Dibawakan pada acara Bedah Buku Shastra Wangsa Universitas Hindu Indonesia Tahun 2019, tanggal 30 April
2019, di Aula Rektorat UNHI, Denpasar.
2

kekayaan telah mengubah peradaban wangsa (si úùdra banija warawīrya paóðhita). Uang pula
menjatuhkan wangsa ke dalam kesengsaraan dan kehinaan (kula ratu padha hīna kãsyasih).
Begitulah kaliyuga, masa keguncangan jiwa, era konflik tampaknya menjadi sumber inspirasi bagi
penulis Buku Shastra Wangsa dalam upaya mewujudkan karya besarnya tersebut.

Mengapa dan ada apa dengan Kaliyuga?


Seorang IBM Dharma Palguna memulai tulisannya dengan mencermati kaliyuga sebagai
setting dalam Dwijendra Tattwa. Mengapa dan apa maksudnya? Sebagai seorang penulis kreatif
dan inovatif, IBM Dharma Palguna ingin menemukan hal baru (novelty) dalam karya tulisnya,
berkaitan dengan kedatangan Majapahit sekaligus pembawa wangsa ke Bali. Umumnya
kedatangan Majapahit ke Bali cenderung dikaitkan dengan apa tujuan dan dalam rangka apa
Majapahit ke Bali, bukan mengapa Majapahit ke Bali? Ia melihat bahwa yang menyebabkan
Majapahit ke Bali adalah karena Majapahit mengalami Kaliyuga (keguncangan jiwa).
Keguncangan jiwa itu lebih disebabkan rusaknya tatanan nilai yang ada di Majapahit. Sementara
itu, wangsa justru dibawa oleh Majapahit ke Bali dengan setting Kaliyuga. Sekalipun telah menjadi
bagian integral dalam peradaban Bali, wangsa dilihat sedang mengalami keguncangan jiwa dan
potensial berdampak pada keguncangan jiwa Bali sendiri. Tatanan nilai yang ada di balik wangsa
telah rusak disebabkan fanatisme wangsa yang cenderung berlebihan di kalangan penganut,
pemeluk, penghayat, dan pendukung wangsa di Bali. Penganut, pemeluk, penghayat, dan
pendukung fanatik wangsa di Bali tidak mampu lagi melihat kejernihan yang ada pada wangsa itu
sendiri. Hal inilah yang dikhawatirkan menimbulkan keguncangan jiwa masyarakat Bali yang
dapat mengakibatkan keruntuhan atau kehancuran Bali, sebagaimana keruntuhan Majapahit di
Jawa Timur dulu, sehingga perlu diantisipasi, dengan mengajak masyarakat Bali melihat persoalan
wangsa secara jernih dengan cara membaca śàstra wangsa.

Apa itu śàstra bagi masyarakat Bali?


Dalam perbendaharaan kosa kata Bahasa Bali, śàstra/sastra adalah sebuah istilah. Di
samping berarti ajaran, pengetahuan, śàstra/sastra juga berarti huruf, aksara (Dinas Pendidikan
Dasar Propinsi Dati I Bali, 1990: 615). Dengan demikian, śàstra/sastra mempunyai kedudukan,
fungsi, dan makna yang sangat hakiki dalam kehidupan masyarakat Bali, termasuk bagaimana
śàstra/sastra berkelindan dengan wangsa.
3

Sebagaimana diketahui bahwa śàstra/sastra Bali atau abjad Bali dinamakan Hanacaraka.
Mengapa dinamakan Hanacaraka? Hal itu berkaitan dengan kisah Prabu Ajisaka dengan dua abdi
(caraka) yang sangat setia yang diklaim sebagai legitimasi asal-usul Hanacaraka. Karena itu,
Hanacaraka semestinya dibaca dalam tiga bagian, yaitu (1) Ha (A), (2) hana, (3) caraka. Ha (A)
dapat berarti alpa, tidak ada, kosong, suwung, sunya, embang. Misalnya pada kata asusila ‘tidak
ada susila’; adharma ‘tidak ada kebenaran’. Hana berarti ada. Caraka berarti abdi. Sebagai sebuah
penanda, hanacaraka dapat bermakna ‘ada (hana) berasal dari tidak ada (A). Keberadaan ada
adalah sebagai abdi (caraka)’ dari Yang Tidak Ada (A). Jika demikian halnya, manusia sebagai
salah satu yang ada di muka bumi ini berasal dari Yang Tidak Ada (Tuhan). Manusia berasal dari
satu sumber dan keberadaan manusia sama adalah sebagai abdi (caraka, kaula) dari sumber yang
tunggal, yakni Yang Tidak Ada (Sang Hyang Embang/Sang Hyang Siwa Nirbana/Sang Hyang
Acintya).
Hanacaraka Bali terdiri atas 18 konsonan (wyanjana), yaitu A, NA, CA, RA, KA, DA,
TA, SA, WA, LA, MA, GA, BA, NGA, PA, JA, YA, NYA dan 6 vokal (aksara suara), yaitu a, i,
u, é, o, e. Bilamana kita dapat menganggap atau mengumpamakan bahwa konsonan dan vokal
yang ada setelah A, merupakan turunan dan berasal atau bersumber dari A, maka aksara A
(baca:ö) dapat dimaknai sebagai Brahman, maka dariNya lahirlah beraneka konsonan dan vokal
yang dapat dimaknai sebagai atma yang memiliki bentuk, fungsi, dan makna berbeda-beda ibarat
jiwatman pada manusia. Keterbedaan dan keragaman bentuk, fungsi, dan makna konsonan ataupun
vokal itu disebabkan hakikatnya sebagai fonem, yakni sebagai satuan bunyi terkecil yang
membedakan arti. Hal ini dapat dianalogikan dengan yoni menurut teks Wrehaspatitattwa dan
Tattwajñana yang diklaim oleh penulis Buku Shastra Wangsa untuk menjelaskan mengapa dari
asal yang sama manusia bisa menjadi berbeda atau tidak sama. Yoni itu ada di dalam diri manusia
yang menyebabkan manusia menjadi tidak sama, dibedakan atas wangsa (soroh), sebagaimana
juga konsonan dan vokal dibeda-bedakan atau dikelompokkan berdasarkan katagori sehingga ada
berbagai jenis konsonan dan vokal. Demikian pula halnya manusia Bali dibedakan atas wangsa
(soroh) yang sejatinya menurut śàstra/sastra berasal dari sumber yang sama, yakni Wangsa
Hyang: Manusia Tunggal.
Lebih jauh, jika diperhatikan susunan Hanacaraka Bali yang berakhir dengan NYA, ada
kemungkinan bukan sesuatu yang bersifat kebetulan, melainkan sebuah penanda. Mengapa
Hanacaraka Bali berakhir dengan NYA? Hal itu dapat dipahami melalui hakikat NYA itu sendiri
4

sebagai penunggalan aksara I dan YA menurut pangider dasa aksara yang menempati posisi di
tengah atau menurut ilmu linguistik dalam Bahasa Jawa Kuna, bunyi i dan ya di samping berubah
menjadi e juga bisa menjadi nya. Misalnya ramya menjadi rame, bapa +i ya menjadi bapanya
atau dalam Bahasa Bali menjadi bapane ‘ayahnya’. Aksara I merupakan aksara terakhir dalam
Pancadewata (SA, BA, TA, A, I) dan aksara Ya (NA, MA, ŚI, WA, YA) adalah aksara terakhir dalam
Pancabrahma. Keberadaan aksara I dan Ya sebagai aksara terakhir serta posisinya di tengah
sebagai titik pusat dalam pangideran dasa aksara memperkuat alasan mengapa aksara NYA
berada pada urutan terakhir dalam Hanacaraka Bali. A bermakna nol (awal) dan NYA bermakna
titik (akhir). Sebagaimana diketahui bahwa dewa yang menempati posisi tengah dalam pangider-
ider dewata nawa sanggha adalah Siwa. Dalam Siwa Sidhanta, Siwa merupakan dewa tertinggi,
yang diyakini sebagai sumber dan sekaligus tujuan terakhir. Hal ini di Bali dianalogikan dengan
peran Siwa sebagai pamuput dan pamralina.

Śàstra Wangsa: Tutur Wangsa dan Wangsa Tutur


Kehadiran buku Shastra Wangsa membawa harapan dan kerinduan penulisnya yang sangat
besar, yakni ingin menyelamatkan Bali dari keguncangan jiwa dan kehancuran yang ditengarai
akibat rusaknya atau rapuhnya tananan nilai yang ada di dalam wangsa. Ada kemungkinan seorang
IBM Dharma Palguna telah mengamati gejala yang dialami dan dilakukan wangsa yang telah
membangun peradaban Bali kini mengalami keguncangan jiwa yang bisa saja berdampak pada
keruntuhan Bali. Karena itu ia hendak mengajak masyarakat Bali membangun kesadaran yang
jernih dalam memahami dan memaknai wangsa dengan membaca Shastra Wangsa. Bukankah
dalam Kakawin Ramayana dijelaskan bahwa hakikat śàstra/sastra adalah lampu penerang yang
terang benderang (kalingha ning śàstra suluh nikàprabha) yang membuat para bijak senantiasa
tenang manakala mengarungi kali (wisata sang wruh rikanang jurang kali). Penganut, pemeluk,
penghayat, dan pendukung wangsa diajak membaca, mendalami, memahami tutur wangsa atau
wejangan tentang hakikat kesejatian wangsa yang ada di dalam tutur atau śàstra/sastra guna
membangun wangsa tutur, wangsa yang cerdas serta memiliki kesadaran jernih dalam memahami
dan memaknai wangsa. Wangsa hanyalah kulit yang membedakan kita bahkan dapat menjebak
kita ke dalam perpecahan atau kehancuran, jika kita tidak mampu membangun kesadaran (tutur)
akan makna wangsa itu dengan sejatinya. Literasi wangsa merupakan hal penting dan strategis
bagi masyarakat Bali, terutama generasi milenial. Tutur wangsa harus dibaca, didalami, dipahami
5

dengan secerdas mungkin guna mendapatkan kesejatian hakikat wangsa itu sendiri dalam rangka
membangun wangsa tutur.
Shastra Wangsa, entah dalam upaya melepas wangsa ataupun mempertahankan wangsa,
mengajarkan dan menyadarkan kita dengan ajaran wangsa dari para tokoh legendaris wangsa Bali,
agar mampu menjadi wangsa tutur, wangsa yang mampu memahami bahwa asal dan tujuan semua
wangsa Bali itu adalah tunggal. Asal dan tujuan semua wangsa itu sama, tunggal, yakni Wangsa
Hyang: Manusia Tunggal. Manusia berbeda karena yoni. Yoni disebabkan wasana, yakni karma
yang dilakukan manusia terdahulu yang pahalanya dinikmati sekarang dalam penjelmaan. Karena
itu, perbedaan yang ada di antara wangsa Bali bukanlah hal yang harus dipertentangkan, melainkan
harus dipasangkan sebagai hal yang saling melengkapi agar dapat dioperasionalkan dalam upaya
menggerakkan kehidupan masyarakat Bali secara utuh, serta dijadikan titik tolak untuk mencapai
konsensus dalam membangun Bali secara sakala dan niskala. Kewangsaan seseorang justru
termanisfestasikan melalui penampilan, tingkah laku, tatakrama, dan tindakan (yan ring jàti kula
pracàra winaya mwang úīlakarmenggita) yang senantiasa diterangi śàstra/sastra agar menjadi
wangsa tutur, wangsa yang berpenampilan, bertingkah laku, bertatakrama, dan bertindak arif
bijaksana, bukan sebaliknya menjadi wangsa aturu yang diselumuti kegelapan, egois, arogan,
kecongkaan, kemurkaan, ataupun anarkis. Śàstra/sastra, termasuk Shastra Wangsa, merupakan
salah satu produk peradaban Bali yang mendokumentasikan pengalaman dan cara pandang para
leluhur dalam menanggapi hidup dan kehidupan. Śàstra/sastra dan wangsa adalah dua hal
berkelindan. Sebagaimana halnya śàstra/sastra mampu menjadi penerang membangkitkan
kesadaran manusia, maka wangsa pun semestinya menjadi api dalam pemujaan yang menyala
menerangi kegelapan para penganut, pemeluk, penghayat, dan pendukung wangsa dari fanatisme
yang berlebihan. Penulis buku Shastra Wangsa mengingatkan kita bahwa wangsa dibawa ke Bali
oleh Majapahit berlatar belakang konflik, keguncangan jiwa (kaliyuga). Karena itu, jangan sampai
wangsa di Bali menjadi sumber konflik, sekalipun perdebatan antar wangsa di Bali bukan hal baru
lagi. Di tengah kekhawatiran atas wangsa Bali yang berlatar konflik (kaliyuga) itu, Shastra
Wangsa menjadi sarana, jalan, dan tujuan menata kembali tatanan nilai wangsa yang rusak yang
sangat potensial mengakibatkan keruntuhan, bukan hanya keruntuhan wangsa Bali sendiri,
melainkan juga keruntuhan Bali secara keseluruhan.

Daftar Pustaka
6

Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Dati I Bali. 1990. Kamus Bali-Indonesia. Denpasar.

Palguna, IBM Dharma. 2018. Shastra Wangsa Kamus Istilah Wangsa Bali. Denpasar: Bali
Wisdom.

Suarka, I Nyoman. 2012. “Filsafat Aksara (Bali) dalam Perspektif Karya-karya Sastra Kawi”.
Makalah dibawakan pada Seminar Nasional dan Temu Alumni Jurusan Sastra Bali,
Fakultas Sastra, Universitas Udayana, tanggal 22 September 2012. Denpasar.

Suarka, I Nyoman dan A.A. Gede Bawa. 2017. “Nilai-nilai Luhur Budaya Bangsa dalam Kakawin
Nitiśàstra sebagai Modal Budaya Melakukan Revolusi Mental”. Laporan Penelitian.
Denpasar: Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Udayana.

Zoetmulder, P.J. dan S.O. Robson. 1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia I, II. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai