Pendahuluan
Singgih yan têka ning yugãnta kali tan hana lêwiha sakeng mahàdhana,
tan wàktan guóa úùra paóðhita widagdha padha mangayapi-ng dhaneúwara,
sakweh ning rinahasya sang wiku hilang kula ratu padha hīna kãsyasih,
putrãdwe pita ninda ring bapa si úùdra banija warawīrya paóðhita (Kakawin Nitiśàstra,
IV.7)
Terjemahannya:
Jika zaman kali telah tiba tidak ada yang lebih mulia daripada orang kaya.
Tidak perlu disebutkan lagi para ilmuwan, prajurit, orang bijak, dan akademisi semua
mengabdi kepada orang kaya (konglomerat, investor).
Segala hal yang dirahasiakan para pendeta hilang, para pejabat pada dihina dan menderita
kesengsaraan.
Anak-anak berani kepada orang tua, para gelandangan berubah menjadi saudagar, lalu
menjadi penguasa dan pendeta.
Penulis Buku Shastra Wangsa, IBM Dharma Palguna (alm) mencermati dan mengakui
bahwa ada hubungan tidak sederhana, alias ruwet, antara śàstra dan wangsa. Menurutnya, pada
awalnya wangsa melahirkan berbagai jenis sastra tentang wangsa. Pada akhirnya, berbagai jenis
sastra tentang wangsa itulah menjaga, memelihara, mengembangkan, dan melembagakan wangsa.
Ia hendak melihat kesederhanaan (kejernihan) yang ada di balik keruwetan wangsa itu, dengan
cara menjaga jarak baca dengan objek garapan melalui permainan rasio dan rasa. Dalam rangka
itu, pengalaman membaca teks (sastra) dan pengalaman menulis adalah bekal menemukan
kejernihan (kesederhanaan) tersebut.
Apa hubungan dan ada apa dengan kutipan Kakawin Nitiśàstra di atas? Kutipan Kakawin
Nitiśàstra tersebut menunjukkan salah satu versi bagaimana wangsa dilukiskan dalam śàstra,
sekaligus mengindikasikan keruwetan sebuah zaman yang dinamakan Kaliyuga. Menurut kutipan
teks Kakawin Nitiśàstra di atas, pada masa Kali manusia diperbudak oleh uang dan harta kekayaan
(Singgih yan têka ning yugãnta kali tan hana lêwiha sakeng mahàdhana). Tidak ada wangsa yang
mampu menghindarkan diri dari jebakan uang. Semua wangsa mengabdikan diri pada uang (tan
wàktan guóa úùra paóðhita widagdha padha mangayapi-ng dhaneúwara). Uang atau harta
1
) Dibawakan pada acara Bedah Buku Shastra Wangsa Universitas Hindu Indonesia Tahun 2019, tanggal 30 April
2019, di Aula Rektorat UNHI, Denpasar.
2
kekayaan telah mengubah peradaban wangsa (si úùdra banija warawīrya paóðhita). Uang pula
menjatuhkan wangsa ke dalam kesengsaraan dan kehinaan (kula ratu padha hīna kãsyasih).
Begitulah kaliyuga, masa keguncangan jiwa, era konflik tampaknya menjadi sumber inspirasi bagi
penulis Buku Shastra Wangsa dalam upaya mewujudkan karya besarnya tersebut.
Sebagaimana diketahui bahwa śàstra/sastra Bali atau abjad Bali dinamakan Hanacaraka.
Mengapa dinamakan Hanacaraka? Hal itu berkaitan dengan kisah Prabu Ajisaka dengan dua abdi
(caraka) yang sangat setia yang diklaim sebagai legitimasi asal-usul Hanacaraka. Karena itu,
Hanacaraka semestinya dibaca dalam tiga bagian, yaitu (1) Ha (A), (2) hana, (3) caraka. Ha (A)
dapat berarti alpa, tidak ada, kosong, suwung, sunya, embang. Misalnya pada kata asusila ‘tidak
ada susila’; adharma ‘tidak ada kebenaran’. Hana berarti ada. Caraka berarti abdi. Sebagai sebuah
penanda, hanacaraka dapat bermakna ‘ada (hana) berasal dari tidak ada (A). Keberadaan ada
adalah sebagai abdi (caraka)’ dari Yang Tidak Ada (A). Jika demikian halnya, manusia sebagai
salah satu yang ada di muka bumi ini berasal dari Yang Tidak Ada (Tuhan). Manusia berasal dari
satu sumber dan keberadaan manusia sama adalah sebagai abdi (caraka, kaula) dari sumber yang
tunggal, yakni Yang Tidak Ada (Sang Hyang Embang/Sang Hyang Siwa Nirbana/Sang Hyang
Acintya).
Hanacaraka Bali terdiri atas 18 konsonan (wyanjana), yaitu A, NA, CA, RA, KA, DA,
TA, SA, WA, LA, MA, GA, BA, NGA, PA, JA, YA, NYA dan 6 vokal (aksara suara), yaitu a, i,
u, é, o, e. Bilamana kita dapat menganggap atau mengumpamakan bahwa konsonan dan vokal
yang ada setelah A, merupakan turunan dan berasal atau bersumber dari A, maka aksara A
(baca:ö) dapat dimaknai sebagai Brahman, maka dariNya lahirlah beraneka konsonan dan vokal
yang dapat dimaknai sebagai atma yang memiliki bentuk, fungsi, dan makna berbeda-beda ibarat
jiwatman pada manusia. Keterbedaan dan keragaman bentuk, fungsi, dan makna konsonan ataupun
vokal itu disebabkan hakikatnya sebagai fonem, yakni sebagai satuan bunyi terkecil yang
membedakan arti. Hal ini dapat dianalogikan dengan yoni menurut teks Wrehaspatitattwa dan
Tattwajñana yang diklaim oleh penulis Buku Shastra Wangsa untuk menjelaskan mengapa dari
asal yang sama manusia bisa menjadi berbeda atau tidak sama. Yoni itu ada di dalam diri manusia
yang menyebabkan manusia menjadi tidak sama, dibedakan atas wangsa (soroh), sebagaimana
juga konsonan dan vokal dibeda-bedakan atau dikelompokkan berdasarkan katagori sehingga ada
berbagai jenis konsonan dan vokal. Demikian pula halnya manusia Bali dibedakan atas wangsa
(soroh) yang sejatinya menurut śàstra/sastra berasal dari sumber yang sama, yakni Wangsa
Hyang: Manusia Tunggal.
Lebih jauh, jika diperhatikan susunan Hanacaraka Bali yang berakhir dengan NYA, ada
kemungkinan bukan sesuatu yang bersifat kebetulan, melainkan sebuah penanda. Mengapa
Hanacaraka Bali berakhir dengan NYA? Hal itu dapat dipahami melalui hakikat NYA itu sendiri
4
sebagai penunggalan aksara I dan YA menurut pangider dasa aksara yang menempati posisi di
tengah atau menurut ilmu linguistik dalam Bahasa Jawa Kuna, bunyi i dan ya di samping berubah
menjadi e juga bisa menjadi nya. Misalnya ramya menjadi rame, bapa +i ya menjadi bapanya
atau dalam Bahasa Bali menjadi bapane ‘ayahnya’. Aksara I merupakan aksara terakhir dalam
Pancadewata (SA, BA, TA, A, I) dan aksara Ya (NA, MA, ŚI, WA, YA) adalah aksara terakhir dalam
Pancabrahma. Keberadaan aksara I dan Ya sebagai aksara terakhir serta posisinya di tengah
sebagai titik pusat dalam pangideran dasa aksara memperkuat alasan mengapa aksara NYA
berada pada urutan terakhir dalam Hanacaraka Bali. A bermakna nol (awal) dan NYA bermakna
titik (akhir). Sebagaimana diketahui bahwa dewa yang menempati posisi tengah dalam pangider-
ider dewata nawa sanggha adalah Siwa. Dalam Siwa Sidhanta, Siwa merupakan dewa tertinggi,
yang diyakini sebagai sumber dan sekaligus tujuan terakhir. Hal ini di Bali dianalogikan dengan
peran Siwa sebagai pamuput dan pamralina.
dengan secerdas mungkin guna mendapatkan kesejatian hakikat wangsa itu sendiri dalam rangka
membangun wangsa tutur.
Shastra Wangsa, entah dalam upaya melepas wangsa ataupun mempertahankan wangsa,
mengajarkan dan menyadarkan kita dengan ajaran wangsa dari para tokoh legendaris wangsa Bali,
agar mampu menjadi wangsa tutur, wangsa yang mampu memahami bahwa asal dan tujuan semua
wangsa Bali itu adalah tunggal. Asal dan tujuan semua wangsa itu sama, tunggal, yakni Wangsa
Hyang: Manusia Tunggal. Manusia berbeda karena yoni. Yoni disebabkan wasana, yakni karma
yang dilakukan manusia terdahulu yang pahalanya dinikmati sekarang dalam penjelmaan. Karena
itu, perbedaan yang ada di antara wangsa Bali bukanlah hal yang harus dipertentangkan, melainkan
harus dipasangkan sebagai hal yang saling melengkapi agar dapat dioperasionalkan dalam upaya
menggerakkan kehidupan masyarakat Bali secara utuh, serta dijadikan titik tolak untuk mencapai
konsensus dalam membangun Bali secara sakala dan niskala. Kewangsaan seseorang justru
termanisfestasikan melalui penampilan, tingkah laku, tatakrama, dan tindakan (yan ring jàti kula
pracàra winaya mwang úīlakarmenggita) yang senantiasa diterangi śàstra/sastra agar menjadi
wangsa tutur, wangsa yang berpenampilan, bertingkah laku, bertatakrama, dan bertindak arif
bijaksana, bukan sebaliknya menjadi wangsa aturu yang diselumuti kegelapan, egois, arogan,
kecongkaan, kemurkaan, ataupun anarkis. Śàstra/sastra, termasuk Shastra Wangsa, merupakan
salah satu produk peradaban Bali yang mendokumentasikan pengalaman dan cara pandang para
leluhur dalam menanggapi hidup dan kehidupan. Śàstra/sastra dan wangsa adalah dua hal
berkelindan. Sebagaimana halnya śàstra/sastra mampu menjadi penerang membangkitkan
kesadaran manusia, maka wangsa pun semestinya menjadi api dalam pemujaan yang menyala
menerangi kegelapan para penganut, pemeluk, penghayat, dan pendukung wangsa dari fanatisme
yang berlebihan. Penulis buku Shastra Wangsa mengingatkan kita bahwa wangsa dibawa ke Bali
oleh Majapahit berlatar belakang konflik, keguncangan jiwa (kaliyuga). Karena itu, jangan sampai
wangsa di Bali menjadi sumber konflik, sekalipun perdebatan antar wangsa di Bali bukan hal baru
lagi. Di tengah kekhawatiran atas wangsa Bali yang berlatar konflik (kaliyuga) itu, Shastra
Wangsa menjadi sarana, jalan, dan tujuan menata kembali tatanan nilai wangsa yang rusak yang
sangat potensial mengakibatkan keruntuhan, bukan hanya keruntuhan wangsa Bali sendiri,
melainkan juga keruntuhan Bali secara keseluruhan.
Daftar Pustaka
6
Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Dati I Bali. 1990. Kamus Bali-Indonesia. Denpasar.
Palguna, IBM Dharma. 2018. Shastra Wangsa Kamus Istilah Wangsa Bali. Denpasar: Bali
Wisdom.
Suarka, I Nyoman. 2012. “Filsafat Aksara (Bali) dalam Perspektif Karya-karya Sastra Kawi”.
Makalah dibawakan pada Seminar Nasional dan Temu Alumni Jurusan Sastra Bali,
Fakultas Sastra, Universitas Udayana, tanggal 22 September 2012. Denpasar.
Suarka, I Nyoman dan A.A. Gede Bawa. 2017. “Nilai-nilai Luhur Budaya Bangsa dalam Kakawin
Nitiśàstra sebagai Modal Budaya Melakukan Revolusi Mental”. Laporan Penelitian.
Denpasar: Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Udayana.
Zoetmulder, P.J. dan S.O. Robson. 1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia I, II. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.